CHF Ec ASHD

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

CHF ec.

ASHD

Atherosklerotis: kelainan dimana arteri kehilangan kemampuan elastisitasnya. Atheroskerosis dapat terjadi pada arteri dengan rentang diameter dari aorta sampai kurang lebih 3 mm. Arteri yang paling sering terkait: aorta, koroner, karotis, serebral, dan femoral. Lesi yang paling awal: lapisan/plaque lemak pada tunika intima (terdiri dari foam cells (makrofag yang menelan lemak dan sel limfosit T) yang akan meluas ke tunika media (terdiri dari foam cells dan otot polos). Kemudian lesi ini akan diselubungi oleh fibrous cap. Plaque lalu akan akan mengalami vaskularisasi (dari vasa vasorum arteri), yang akan memberi akses kepada sel-sel inflamasi dan menyebabkan perdarahan intraplaque yang akan melemahkan plaque tersebut. Plaque yang robek dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan thrombosis.

Pada fase awal pembentukan plaque, arteri masih dapat berkompensasi dengan meningkatkan diameternya, sehingga tidak ada gangguan aliran (koroner normal dapat melebar dan meningkatkan aliran darah 5-6 kali di atas tingkat istirahat). Ketika plaque menutupi > 40% lumen, arteri tidak bisa berkompensasi lagi dan aliran darah ke organ akan terganggu menyebabkan iskemia (keadaan kekurangan oksigen, sementara dan reversibel) (gejala: stable angina). Iskemia > 30-45 menit dapat menyebabkan kerusakan seluler yang irreversibel. Jika terjadi erosi superfisial pada plaque (ditambah dengan trombosis yang terbatas), meskipun tidak ada hambatan pada aliran, dapat menyebabkan terjadinya unstable angina atau myocard infarction. Ruptur dalam dari plaque dengan penyumbatan total arteri koroner dapat menyebabkan myocard infaction. Atherosklerosis pada arteri yang telah lemah akibat proses penuaan menyebabkan aneurisma dan ruptur dapat terjadi.

Faktor risiko: 1. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun. 2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause (akibat efek perlindungan estrogen) 3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial) atau lingkungan (gaya hidup)

4. Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih.


5. Peningkatan lipid serum

6. Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress (robekan),


meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal bebas, mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan meningkatkan adhesi leukosit.

7. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada lamanya), mereka
yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively modified LDL.

8. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi lebih


tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat kelainan metabolisme lemak atau predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama dengan oxidatively modified LDL.

Oxidation of low-density lipoprotein. The figure shows the mechanisms by which oxidized low-density lipoprotein contributes to atherosclerosis. (a) Oxidized low-density lipoprotein is chemotactic for circulating monocytes. (b) Oxidized low-density lipoprotein inhibits the movement of resident macrophages out of the arterial intima. (c) Resident macrophages generate free radicals and contribute to production of oxidized low-density lipoprotein, leading to the generation of foam cells. (d) Oxidized low-density lipoprotein is cytotoxic and this leads to endothelial cell damage and loss of integrity. 9. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori 10. Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen 11. Gaya hidup kurang bergerak 12. Stres psikologik 13. Tipe kepribadian: tipe A (mencerminkan persaingan kuat, agresif, merasa diburu waktu) mempercepat atherogenesis.

Iskemia: terjadi bila kebutuhan oksigen melebihi supply yang ada. Fungsi ventrikel kiri dapat terganggu akibat: gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia akibat penurunan pembentukan fosfat berenergi, asidosis yang cepat akibat hasil akhir metabolisme anaerob (asam laktat). Pada EKG gambaran yang tampak: gelombang T terbalik dan depresi segmen ST. Angina pektoris: nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium. Mekanismenya belum jelas, sepertinya karena reseptor saraf nyeri terangsang oleh metabolit yang tertimbun atau oleh suatu zat kimia antara yang belum diketahui, atau oleh stres mekanik lokal akibat kontraksi miokardium yang abnormal. Gambaran khasnya: tekanan substernal, kadang-kadang menyebar turun ke sisi medial lengan kiri (banyak penderita dengan nyeri yang tidak khas). Umumnya angina dipicu oleh aktivitas ayang meningkatkan kebutuhan akan oksigen dan akan menghilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin. Angina Prinzmetal lebih serig pada waktu istirahat akibat spasme setempat dari arteri epikardium (mekanisme penyebabnya belum jelas).

Infark yang klasik meliputi trias berikut: 1. Klinis khas: nyeri dada yang lama dan hebat, biasanya disertai mual, muntah, keringat dingin. Sekitar 20-60% dapat asimptomatik/tidak fatal. 2. Meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel miokardium yang nekrosis: kretinin fosfokinase (CK/CPK), glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT) dan laktat dehidrogenase (LDH). Yang paling spesifik: isoenzim MB-CK. 3. EKG: Q wave nyata, elevasi segmen ST,dan T wave terbalik.

Komplikasi ASHD: 1. CHF 2. Syok kardiogenik 3. Disfungsi otot papilaris 4. VSD 5. Ruptura jantung 6. Aneurisma ventrikel 7. Tromboembolisme 8. Perikarditis

9. Sindrom Dressler 10. Aritmia: merupakan komplikasi paling sering (90%) pada miokard infark. Aritmia timbul
akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Gambaran aritimia bisa dilihat dari EKG.

CHF (gagal jantung kiri dan kanan) akibat ASHD merupakan akibat disfungsi miokardium atau kontraktilitasnya (gagal jantung bisa disebabkan tiga hal: preload, afterload, dan contractility). Komplikasi yang paling sering setelah miokard infark ialah gagal jantung kiri yang

menyebabkan kongesti vena pulmonalis. Adanya peningkatan tekanan vaskular paru-paru membebani ventrikel kanan yang berakibat pada kongesti vena sistemik. Klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association) menyatakan hubungan antara gejala dan derajat aktivitas fisik: 1. NYHA I: gejala tidak muncul pada kegiatan sehari-hari 2. NYHA II: gejala muncul pada kegiatan sehari-hari 3. NYHA III: gejala muncul pada kegiatan lebih ringan dari kegiatan sehari-hari 4. NYHA IV: gejala muncul ketika istirahat

Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kiri:

1. Dispnea (perasaan sulit bernafas) bersifat progresif akibat kongesti vaskular paru (dari
kongesti vena paru-edema interstitial-edema alveolar) sehingga mengurangi kelenturannya dan terjadilah peningkatan kerja pernapasan. 2. Dispnea saat beraktivitas: gejala awal gagal jantung kiri. 3. Orthopnea: akibat redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh yang di bawah sirkulasi sentral. 4. Dispnea nokturnal paroksismal/mendadak terbangun karena dispnea: sifatnya lebih spesifik untuk gagal jantung kiri daripada dispnea dan dan orthopnea. 5. Asma kardiale: mengi akibat bronkospasme, terjadi waktu malam atau aktivitas fisik.

6. Batuk nonproduktif: sekunder akibat kongesti paru terutama pada posisi berbaring.
7. Ronkhi: akibat transudasi cairan paru-paru (ciri khas gagal jantung), awalnya di bagian bawah paru sesuai gravitasi. 8. Gallop ventrikel: S3, ciri khas gagal jantung kiri. Tanda ke depan pada gagal jantung kiri: 1. Kelemahan dan keletihan (mudah capek): akibat berkurangnya perfusi organ-organ seperti kulit dan otot rangka, manifestasi paling dini. 2. Pucat dan dingin: vasokonstriksi perifer. 3. Sianosis: penurunan lebih lanjut curah jantung dan peningkatan kadar Hb tereduksi. 4. Demam ringan atau keringat berlebih: vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh melepaskan panas. 5. Insomnia, gelisah, bingung: akibat penurunan curah jantung lebih lanjut. 6. Kehilangan berat badan progresif (kaheksia kardia): curah jantung rendah, anoreksia akibat kongesti viseral, keracunan obat, atau diet tidak mengundang selera.

7. Takikardi: karena perangsangan sistem simpatik.


8. Denyut nadi lemah: tekanan nadi rendah (perbedaan tekanan sistolik dan diatolik rendah). 9. Pulsus alternans: gagal jantung kiri berat.

Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kanan: 1. Gejala saluran cerna: anoreksia, rasa penuh, mual, akibat bendungan hati dan usus. 2. Peningkatan JVP 3. Bendungan vena leher 4. Uji refluks hepatojugular positif: peningkatan JVP pada kompresi manual kuadran kanan atas abdomen. 5. Hepatomegali 6. Nyeri tekan hati: peregangan kapsula hati. 7. Edema perifer: sekunder terhadap penimbunan cairan di ruang interstitial, mula-mula di daerah yang tergantung terutama di malam hari. 8. Edema anasarka: gagal jantung yang berlanjut. 9. Peningkatan berat badan: retensi cairan, biasanya mendahului edema. 10. Kuat angkat substernal: terangkatnya sternum pada sistolik, karena pembesaran ventrikel kanan.

Rontgen 1. Kongesti vena paru: berkembang jadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang lebih berat 2. Redistribusi vaskular pada lobus atas paru 3. Kardiomegali

Laboratorium 1. Hiponatremia pengenceran 2. Kalium dapat normal atau menurun sekunder akibat terapi. Hiperkalemia dapat terjadi akibat tahap lanjut gagal jantung karena gangguan ginjal. 3. BUN dan kreatinin dapat meningkat sekunder akibat perubahan laju filtrasi glomerulus. 4. Urine: lebih pekat, berat jenis lebih tinggi, kadar natrium berkurang. 5. Kelainan fungsi hati: pemanjangan masa protrombin ringan. 6. Peningkatan bilirubin dan enzim hati, aspartat aminotransaminase (AST) dan alkali fosfatase serum: terutama pada gagal jantung akut.

Penanganan 1. Bedrest untuk meringankan beban jantung 2. Diet jantung 3 3. Oxygen 3 L/menit

4. IVFD D 5% gtt VIII/minute (micro drip) bila BSS tidak tinggi 5. Diuretik oral/parenteral sampai edema hilang: furosemid IV 1x 40 mg karena
mempunyai onset kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat sehingga sesuai untuk situasi yang akut

6. ACE inhibitor: captopril 3 x 6.25 mg untuk menurunkan angka morbiditas dan


mortalitas karena paradigma baru menyatakan terdapat korelasi antara penghambat neurohormonal dalam mencegah progresitivitas gagal jantung 7. Beta bloker dosis kecil dapat dimulai setelah diuretik dan ACEI diberikan

8. Digitalis bila ada aritmia supravemtrikulaer (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau
ketiga obat di atas belum memuaskan. Intoksikasi dapat dipermudah bila terjadi gangguan fungsi ginjal (ureum/kretinin meningkat) atau kadar kalium kurang (<3.5 meq/L): digoxin 1x 0,5 mg (sifatnya meningkatkan kekuatan kontraktilitas dan memperbaiki irama jantung)

9. Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien
dengan hipokalemia: Spironolakton 1 x 25 mg 10. Antitrombotik: acetilsalycilat acid 1x 75 mg untuk mencegah tromboemboli akibat gangguan irama jantung

CHF ec. ASHD


Definisi CHF (gagal jantung kiri dan kanan) akibat ASHD merupakan akibat disfungsi miokardium atau kontraktilitasnya (gagal jantung bisa disebabkan tiga hal: preload, afterload, dan contractility). Komplikasi yang paling sering setelah miokard infark ialah gagal jantung kiri yang menyebabkan kongesti vena pulmonalis. Adanya peningkatan tekanan vaskular paru-paru membebani ventrikel kanan yang berakibat pada kongesti vena sistemik. Usia: penyakit yang serius jarang sebelum usia 40 tahun. 2. Jenis kelamin: wanita relatif terlindung sampai setelah menopause akibat efek perlindungan estrogen) 3. Riwayat keluarga: dapat akibat kelainan genetik (gangguan lipid familial) atau lingkungan (gaya hidup) Ras: Amerika-Afrika lebih rentan dibandingkan kulit putih. Peningkatan lipid serum Hipertensi: mempercepat atherogenesis dengan meningkatkan sheer stress (robekan), meningkatkan pembentukan hidogen peroksida dan radikal bebas, mengurangi pembentukan nitrit oksida oleh endotelium dan meningkatkan adhesi leukosit. Merokok: tergantung jumlah rokok yang diisap perhari (bukan pada lamanya), mereka yang merokok satu pak rokok 2x lebih rentan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Asap rokok dapat menyebabkan pembentukan oxidatively modified LDL. Gangguan toleransi glukosa: penderita diabetes cenderung memiliki prevalensi lebih tinggi, mekanismenya belum pasti tapi mungkin akibat kelainan metabolisme lemak atau predisposisi degenerasi vaskular berkaitan dengan gangguan toleransi glukosa. Hiperglisemia dapat memacu glukosilasi non enzimatik dari LDL yang menginisiasi terjadinya atherosklerosis dengan cara yang sama dengan oxidatively modified LDL. Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori Obesitas: meningkatkan beban kerja jantung dam kebutuhan akan oksigen Gaya hidup kurang bergerak Stres psikologik Tipe kepribadian: tipe A (mencerminkan persaingan kuat, agresif, merasa diburu waktu) mempercepat atherogenesis. NYHA I: gejala tidak muncul pada kegiatan sehari-hari NYHA II: gejala muncul pada kegiatan sehari-hari NYHA III: gejala muncul pada kegiatan lebih ringan dari kegiatan sehari-hari NYHA IV: gejala muncul ketika istirahat 1. Klinis khas: nyeri dada yang lama dan hebat, biasanya disertai mual, muntah, keringat dingin. Sekitar 20-60% dapat asimptomatik/tidak fatal. 2. Meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel miokardium yang nekrosis: kretinin fosfokinase (CK/CPK), glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT/GOT) dan laktat dehidrogenase (LDH). Yang paling spesifik: isoenzim MB-CK.

Faktor resiko ASHD

Klasifikasi fungsional NYHA

Trias Infark

Komplikasi ASHD

3. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Tanda gagal jantung

EKG: Q wave nyata, elevasi segmen ST,dan T wave terbalik. CHF Syok kardiogenik Disfungsi otot papilaris VSD Ruptura jantung Aneurisma ventrikel Tromboembolisme Perikarditis Sindrom Dressler Aritmia: merupakan komplikasi paling sering (90%) pada miokard infark. Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Gambaran aritimia bisa dilihat dari EKG. Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kiri: 1. Dispnea (perasaan sulit bernafas) bersifat progresif akibat kongesti vaskular paru (dari kongesti vena paru-edema interstitial-edema alveolar) sehngga mengurangi kelenturannya dan terjadilah peningkatan kerja pernapasan. 2. Dispnea saat beraktivitas: gejala awal gagal jantung kiri. 3. Orthopnea: akibat redistribusi aliran darah dari bagianbagian tubuh yang di bawah sirkulasi sentral. 4. Dispnea nokturnal paroksismal/mendadak terbangun karena dispnea: sifatnya lebih spesifik untuk gagal jantung kiri daripada dispnea dan dan orthopnea. 5. Asma kardiale: mengi akibat bronkospasme, terjadi waktu malam atau aktivitas fisik. 6. Batuk nonproduktif: sekunder akibat kongesti paru terutama pada posisi berbaring. 7. Ronkhi: akibat transudasi cairan paru-paru (ciri khas gagal jantung), awalnya di bagian bawah paru sesuai gravitasi. 8. Gallop ventrikel: S3, ciri khas gagal jantung kiri. Tanda ke depan pada gagal jantung kiri: 1. Kelemahan dan keletihan (mudah capek): akibat berkurangnya perfusi organ-organ seperti kulit dan otot rangka, manifestasi paling dini. 2. Pucat dan dingin: vasokonstriksi perifer. 3. Sianosis: penurunan lebih lanjut curah jantung dan peningkatan kadar Hb tereduksi. 4. Demam ringan atau keringat berlebih: vasokonstriksi kulit menghambat kemampuan tubuh melepaskan panas. 5. Insomnia, gelisah, bingung: akibat penurunan curah jantung lebih lanjut. 6. Kehilangan berat badan progresif (kaheksia kardia): curah jantung rendah, anoreksia akibat kongesti viseral, keracunan obat, atau diet tidak mengundang selera. 7. Takikardi: karena perangsangan sistem simpatik. 8. Denyut nadi lemah: tekanan nadi rendah (perbedaan tekanan sistolik dan diatolik rendah). 9. Pulsus alternans: gagal jantung kiri berat. Tanda gagal ke belakang pada gagal jantung kanan: 1. Gejala saluran cerna: anoreksia, rasa penuh, mual, akibat bendungan hati dan usus. 2. Peningkatan JVP 3. Bendungan vena leher 4. Uji refluks hepatojugular positif: peningkatan JVP pada

kompresi manual kuadran kanan atas abdomen. 5. Hepatomegali 6. Nyeri tekan hati: peregangan kapsula hati. 7. Edema perifer: sekunder terhadap penimbunan cairan di ruang interstitial, mula-mula di daerah yang tergantung terutama di malam hari. 8. Edema anasarka: gagal jantung yang berlanjut. 9. Peningkatan berat badan: retensi cairan, biasanya mendahului edema. 10. Kuat angkat substernal: terangkatnya sternum pada sistolik, karena pembesaran ventrikel kanan. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Hiponatremia pengenceran Kalium dapat normal atau menurun sekunder akibat terapi. Hiperkalemia dapat terjadi akibat tahap lanjut gagal jantung karena gangguan ginjal. o BUN dan kreatinin dapat meningkat sekunder akibat perubahan laju filtrasi glomerulus. o Urine: lebih pekat, berat jenis lebih tinggi, kadar natrium berkurang. o Kelainan fungsi hati: pemanjangan masa protrombin ringan. o Peningkatan bilirubin dan enzim hati, aspartat aminotransaminase (AST) dan alkali fosfatase serum: terutama pada gagal jantung akut. Rontgen o Kongesti vena paru: berkembang jadi edema interstitial atau alveolar pada gagal jantung yang lebih berat o Redistribusi vaskular pada lobus atas paru o Kardiomegali o o Bedrest untuk meringankan beban jantung Diet jantung 3 Oxygen 3 L/menit IVFD D 5% gtt VIII/minute (micro drip) bila BSS tidak tinggi Diuretik oral/parenteral sampai edema hilang: furosemid IV 1x 40 mg karena mempunyai onset kerja yang cepat dan masa kerja yang singkat sehingga sesuai untuk situasi yang akut ACE inhibitor: captopril 3 x 6.25 mg untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena paradigma baru menyatakan terdapat korelasi antara penghambat neurohormonal dalam mencegah progresitivitas gagal jantung Beta bloker dosis kecil dapat dimulai setelah diuretik dan ACEI diberikan Digitalis bila ada aritmia supravemtrikulaer (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau ketiga obat di atas belum memuaskan. Intoksikasi dapat dipermudah bila terjadi gangguan fungsi ginjal (ureum/kretinin meningkat) atau kadar kalium kurang (<3.5 meq/L): digoxin 1x 0,5 mg (sifatnya meningkatkan kekuatan kontraktilitas dan memperbaiki irama jantung) Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia: Spironolakton 1 x 25 mg Antitrombotik: acetilsalycilat acid 1x 75 mg untuk mencegah tromboemboli akibat gangguan irama jantung

Radiologi

Tatalaksana

Prognosis

CHF ec. REMATIK HEART DISEASE


Etiologi Insiden Patofisiologi Streptococcus B hemoliticus group A Usia 5-15 tahun Infeksi SBHA tonsilitis, nasofaringitis, otitis media terbentuk Ab membentuk kompleks dengan Ag tubuh yang mirip dengan Ag SBHA (katup jantung) inflamasi katup jantung katup jantung menebal gangguan penutupan dan pembukaan katup (paling banyak mitral) stenosis, regurgitasi CHF Mayor: - artritis (radang sendi, berpindah-pindah, nyeri sendi, pembengkakan sendi) - karditis - chorea - eritema marginatum - nodul subkutan Minor: - demam (remitent) - eritema nodosum Umumnya penderita datang dengan keluhan sesak - sesak ketika beraktifitas (dyspnue d effort) aktifitas butuh O2 lebih banyak jantung takikardia untuk meningkatkan cardiac output waktu diastolik memendek banyak darah yang terbendung bendungan paru sesak - sesak dalam posisi berbaring (orthopnue) posisi baring bendungan paru sesak - terbangun malam hari karena sesak (paroksismal nokturnal dyspnue) posisi tidur bendungan paru sesak Pada penderita dengan keluhan sesak perlu dipertimbangkan kelainan2 sbb.: - kelainan pulmonal sesak dipengaruhi cuaca, debu asma sesak dengan keluhan batuk lama TB paru - Kelainan ginjal sesak disebabkan pendorongan diafragma ke atas oleh asites. Sesak disertai sembab kelopak mata pagi hari dan asites, TD tinggi, BAK sedikit. - Kelainan hepar sesak disebabkan pendorongan diafragma ke atas oleh asites. Sesak disertai asites, BAK kuning teh, BAB darah.

Gejala RHD

Keluhan (Subjektif)

10

- Kelainan darah disertai keluhan badan lemas, anemis. - Kelainan neuromuskular sesak disertai ganguan otot-otot pernapasan Keluhan tambahan: - palpitasi AF - Nyeri dada LVH dan iskemik miokard - fatique - hemoptisis ruptur v bronkhial yang melebar akibat bendungan - suara parau kompresi n laryngeus reccurent kiri oleh a pulmonalis yang membesar Umum: Nadi :normal/bisa AF, irregular RR : normal/ Organ: Mata: conjungtiva palpebra pucat +/+ Sklera ikterik -/Leher: - JVP meningkat tek RV Pulmo: RB Cor: ictus cordis bisa terlihat dan teraba batas atas jantung naik, batas kanan jantung bergeser ke lateral M1 , murmur sistolik, diastolik, opening snap Abdomen: cembung jika terjadi asites, hepatomegali akibat bendungan jantung kanan. Ekstremitas: edema tungkai akibat bendungan perifer Rontgen thorax: cardiomegali EKG Echocardiografi Kateterisasi Nonfarmakologis: - Istirahat/ tirah baring kebutuhan O2 - Diet rendah garam retensi cairan beban jantung Farmakologis - Diuretik umumnya digunakan furosemid - Digoksin AF - Antikoagulan warfarin - Salisilat - Kortikosteroid - Antibiotik

Pemeriksaan Fisik (Objektif)

Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana

11

ASMA BRONKHIAL Definisi Asma bronkial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American Thoracic Society) Sampai saat ini pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons salauran napas berlebihan. Asma sebagai penyakit inflamasikalor, rubor, tumor, dolor, functio laesa dan infiltrasi sel radang. 2 jalur yang ditempuh untuk mencapai keadaan inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas yaitu jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Hiperaktivitas Saluran Napas (HSN)Pasien Asma sangat peka terhadap rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamine dan metakolin), dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik , selain peka terhadap rangsangan tersebut, pasien juga sangat peka terhapdap lergen spesifik. Inflamasi Saluran napas Kerusakan Epitelsalah satu konsekuensi inflamasi dalah kerusakan epitel. Perubahan struktur karena kerusakan epitel ini meningkatakan penetrasi allergen, mediator serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf otonom mudah terangsang. Sel-sel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang bersifat bronkodilator. Kerusakan sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokontriksi lenih mudah terjadi. Mekanisme neorologisterjadi peningkatan respons saraf parasimpatis Gangguan Intriksikotot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN. Obstruksi Saluran NapasMeskipun bukan factor utama. Obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada HSN . Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus, sumbatan mucus, edema, dan inflamasi diniding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama fase ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas tetap lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan bantuan otot-otot bantu napas. Patofisiologi asma terbagi kedalam ketiga fase. Pertama, munculnya asma ditandai adanya peningkatan respon dinding bronkial. Kedua, reaksi asma fase ini, berupa bronkokonstriksi, dimana terjadi : (1) rangsangan antigen terhadap dinding bronkial; (2) terjadinya proses degranulasi sel mest yang melepaskan histamin, kemotaktik, proteolik serta heparin; dan (3) bronkokonstriksi otot polos. Ketiga, reaksi asma fase lanjut, berupa inflamasi alergi dimana terjadi : (1) sel-sel inflamasi melibatkan sel mast, eosinofil; (2) pelepasan sitokin, bahan-bahan vasoaktif dan asam arakhidonat; (3) inflamasi sel-sel epitelial dan endotelial; (4) pelepasan interleukin 3 (IL-3) dan IL-6, tumor necrotic factor (TNF), Interferon-gamma. -Gejala klasik paling umum adalah batuk, sesak napas dan mengi yang timbul secara tiba-tiba (relative cepat) dan dapat hilang segera dengan spontan atau dengan pengobatan - Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin

Patogenesis dan etiologi

Patofisiologi

Keluhan

12

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan pernapasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari. -pada beberapa orang biasa didahului gejala pendahuluan yang biasa disebut aura asmatik berupa sensasi atau perasaan abnormal, seperti rasa tidak enak didada, rasa gatal di dagu, dada depan atau didaerah antar belikat atau bersin-bersin sesudah terpapar oleh suatu pencetus. Sesudah itu timbullah gejala asma yang biasa dimulai dengan rasa tercekik pada seluruh dada, rasa dingin atau terbuka disternum. Kemudian timbul rasasesak napas yang berangsur menjdi semakin berat. - batuk dimula-mula kering tidak produktif kemudian makin keras dan seterusnya semakin produktif kemudian semakin keras seterusnya menjadi produktif yang mula-mula encer kemudian menjadi kental. Warna dahak jernih atau putih tetapi juga bias kekuningan atau kehijauan terutama bila ada infeksi sekunder. Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat. Mengi (wheezing) sering dapat didengar tanpa stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi memanjangdisertai ronhki kering sibilantis dan mengi (wheezing). Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang daripada inspirasi bahkan lebih. Jika tidak ditemukan kelainan paru, dapat dicoba pasien bernapas dalam dengan cepat 3-4x. Pada pasien asma hal ini dapat menginduksi serangan-serangan batuk bahkan mengi. Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan: Pasien dalam keadaan capek dengan posisi duduk lemah, bahu terangkat, lengan di samping berpegangan pada meja atau sisi tempat tidur Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada yang pada perkusi terdengar hipersonor. Pernapasan makin cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu napas, sehingga tampak retraksi supra sterna, supraklavikula dan sela iga serta pernapasan cuping hidung. Takikardi makin hebat disertai dehidrasi. Timbul pulsus paradoksus dimana terjadiu penurunan tekanan sistolis >10 mmHg pada saat inspirasi. Normal tidak lebih daripada 5mmHg, pada asma berat bias sampai 10 mmHg atau lebih. Penderita gelisah, banyak keringat, sukar tidur dan susah bicara. Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan cepat dan dangkal dengan bunyi pernapasan dan Wheezing tidak terdengar (silent chest). Tekanan darah menurun, sianosis, gangguan irama jantung, kesadaran menurun, dari disorientasi dan apati sampai koma. Pada pemeriksaan mata mungkin ditemukan miosis dan edema pupil. Pemeriksaan radiology Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan

13

2. 3.

4.

5.

pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB ( Right bundle branch block). Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative. Scanning paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paruparu. Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Pengobatan non farmakologik: Memberikan penyuluhan menghindari faktor pencetus Pemberian cairan Fisiotherapy Beri O2 bila perlu Pengobatan Farmakologis Bronkodilator -Agonis B 2 -Metilxantin -Antikolinergik Antiinflamasi -Antikolinergik -Natrium Kromolin Dubia ad Bonam 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pneumotoraks Pneumodiastinum dan emfisema subkutis Atelektasis Aspergilosis bronkopulmoner alergik Gagal napas Bronchitis Fraktur iga

Tatalaksanaan

Prognosis Komplikasi

14

TUBERKULOSIS PARU
I.1Definisi Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Penyakit ini biasanya ditularkan melalui inhalasi percikan ludah (droplet), dari orang ke orang, dan mengkolonisasi bronkiolus atau alveolus. Kuman juga dapat masuk ke tubuh melalui saluran cerna, ingesti susu tercermar yang tidak dipasteurisasi, atau kadang-kadang melalui lesi kulit. Sebagian besar kuman (>80%) Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil mengenai organ tubuh lain (Braunwald et. al., 2002, Depkes RI, 2002). Tuberkulosis paru dapat memberikan gejala berupa gejala respiratorik yaitu batuk kering, batuk berdahak, bahkan batuk berdarah, dapat juga ditemukan gejala sesak napas dan nyeri dada. Selain gejala pernapasan pada tuberkulosis paru ditemukan pula gejala sistemik yaitu demam menjelang malam hari, keringat malam, nafsu makan menurun diikuti penurunan berat badan. Di bidang penyakit paru dikenal beberapa keadaan kegawatan yang memerlukan tindakan yang segera dan atau intensif. Hemoptisis terutama yang masif merupakankegawatan yang cukup sering dijumpai sealin asma atau pneumotoraks. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai batuk darah. Batuk darah atau hemoptysis adalah ekspektorasi darah atau dahak yang bercampur darah yang berasal dari saluran napas di bawah glotis. Batuk darah harus dipastikan apakah benar-benar merupakan batuk darah. Hal ini penting dibedakan terutama menyangkut penatalaksanaannnya. Hemoptisis bisa dalam jumlah banyak atau hanya berupa garis merah cerah pada dahak. Batuk darah masif merupakan keadaan gawat dalam bidang kedokteran, dan tidak ada kegawatan penyakit paru yang lebih menakutkan dibandingkan hemoptysis. Kriteria batuk darah masif sendiri adalah: Bila batuk darah kurang lebih 600 cc dalam 24 jam, dan dalam pengamatan Bila penderita batuk darah kurang lebih 600 cc per 24 jam tetapi lebih dari250 Batuk darah kurang dari 600 cc tetapi lebih dari 250 cc per 48 jam pad batuk darah tidak berhenti. cc per 24 jam. Kadar HB kurang dari 10 gr%, sedngkan batuk darah berlangung terus.

pemeriksaan HB lebih dari 10 gr%, dari pengamatan selama 48 jam ternyata batuk darah tidak berhenti. Ada tiga mekanise bagamana batuk darah dapat menyebabkan kematian seketika, yaitu: Asfiksia Kehilangan darah banyak dalam waktu singkat. Penyebaran penyakit kebagian-bagian paru yang sehat.

15

I.2 Etiologi Mycobacterium tuberculosis, kuman penyebab penyakit TB, termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis adalah parasit intraseluler fakultatif yang menimbulkan penyakit dengan pertumbuhan dalam makrofag, tetapi dapat juga berproliferasi dalam ruangan ekstraseluler dari jaringan yang terinfeksi, dan mampu in vitro dalam sistem biakan bebas sel.

I.3 Patogenesis
Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara.. Bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan napas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5m. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari cabang trakeo-bronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau focus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal+limfadenitis regional= kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi : 1. sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (ini yang banyak terjadi).

2. sembuh dengan meningggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus,
keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan kurang lebih 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant. 3. berkomplikasi dan menyebar secara : a. perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, b. secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus,

16

c.

secara limfogen, ke organ tubuh lainnya, Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberkulosis primer.

d. secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis Post-primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel DatiaLanghans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan bermacammacam jaringan ikat. Berdasarkan jumlah kuman, virulensi, dan imunitas pasien sarang dini ini dapat menjadi: 1. Direabsorpsi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang yang mula-mula meluas tapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar, akan terjadilah kavitas. Hemoptysis dapat disebabkan oleh kavitas aktif atau proses inflamasi tuberkulosis di jaringan paru. Pada kelainan fibrokavitas arteri bronkialis dapat membesar dan terjadi anastomosis bronkopulmoner yang mudah tererosi dan berdarah. Apabila tuberkulosis berkembang menjadi fibrosis dan perkijuan, dapat terjadi aneurisma arteri pulmonalis dan bronkiektasis yang juga dapat mengakibatkan hemoptysis. Hemoptysis dapat juga merupakan bagian dari sndrome

lobus tengah kanan (right middle lobe sndrome), yaitu obstruksi bronkus lobus tengah kanan paru yang mengakibatkan atelektasis dan/atau pneumonitis. Obstruksi tersebut dapat disebabkan oleh parut dan/atau peradangan karena infeksi, termasuk tuberkulosis, maupun penekanan kelenjar getah bening yang juga dapat disebabkan oleh tuberculosis. I.4 Terminologi Terminologi yang dipakai pada penulisan ini mengacu pada terminologi standar yang dikeluarkan oleh WHO dan Depkes RI. Secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam tiga

17

kelompok, yaitu: terminologi yang berkaitan dengan tipe penderita, terminologi yang berkaitan dengan diagnosis, dan terminologi yang berkaitan dengan pengobatan. I.4.1 Terminologi yang berkaitan dengan tipe penderita Kasus baru Penderita TB paru yang sebelumnya tidak pernah mendapat OAT atau yang pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan. Kasus kambuh Penderita TB paru BTA positif yang sebelumnya sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA memberikan hasil positif. Kasus gagal Penderita TB paru BTA positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA tetap positif pada akhir pengobatan fase awal setelah mendapat terapi sisipan, 1 bulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku untuk penderita TB paru BTA negatif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA justru menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal. Kasus pindahan (Transfer in) Penderita TB paru di Kabupaten / Kotamadya lain yang sekarang menetap di Kabupaten / Kotamadya ini. Kasus berobat setelah lalai Penderita TB paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan belum dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif. Kasus kronik Penderita TB paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah mendapatkan pengobatan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik.

I.4.2 Terminologi yang berkaitan dengan diagnosis TB paru BTA positif Penderita TB paru dengan salah satu kriteria sebagai berikut : o Sputum BTA positif paling sedikit 2 kali berturut-turut Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali dengan kultur M. tuberculosis

o
positif

18

Sputum BTA positif paling sedikit 1 kali, klinis/radiologis sesuai

dengan TB paru. Pada program penanggulangan tuberkulosis Nasional, kriteria yang dipakai hanya kriteria pertama. Dalam beberapa kepustakaan dipakai istilah TB aktif. TB paru BTA negatif Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut : Klinis dan radiologis sesuai dengan TB paru Sputum BTA negatif Kultur negatif atau positif Istilah lain yang sering dipakai adalah TB paru tersangka dan TB tak aktif. Bekas TB paru Penderita TB paru dengan kriteria sebagai berikut : Bakteriologis (sputum BTA dan kultur) negatif Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB yang aktif, terlebih bila gambaran serial foto toraks tidak mengalami perubahan. I.4.3 Terminologi yang berkaitan dengan hasil pengobatan Sembuh Penderita TB paru BTA positif yang telah mendapatkan pengobatan lengkap dan pada pemeriksaan dahak ulang (1 bulan sebelum AP dan pada AP BTA menjadi negatif). Pengobatan lengkap Penderita TB paru yang telah selesai pengobatannya, tetapi status kesembuhan (perubahan BTA positif menjadi negatif) tidak dapat ditentukan. Penderita BTA positif, akibat tidak dilakukan pemeriksaan dahak ulang atau dilakukan satu kali dengan hasil BTA negatif, sedangkan pada penderita BTA negatif, akibat konversinya tak dapat ditentukan. Gagal Penderita TB paru yang BTA nya tetap positif / menjadi positif pada akhir fase awal pengobatan dengan sisipan , satu bulan sebelum AP atau pada AP (lihat atas). Meninggal Penderita TB paru yang meninggal karena sebab apapun selama pengobatan. Lalai (default)

19

Penderita TB paru yang pindah ke Kabupaten / Kotamadya lain dengan hasil pengobatan yang tidak diketahui.

I.5 Diagnosis Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, gambaran foto toraks, pemeriksaan basil tahan asam dan pemeriksaan laboratorium penunjang. I.5.1 Gejala klinis Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali sampai gejala yang sangat berat seperti gangguan pernapasan dan gangguan mental. Secara garis besar gejala dibagi atas gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik (paru). 1. Gejala sistemik Gejala ini mencakup demam lama pada malam hari, keringat malam, badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan. 2. Gejala respiratorik Gejalanya antara lain : batuk, sesak napas dan rasa nyeri pada dada. Batuk biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau purulen, batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek, sesak napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut. 1.5.2 Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subferis), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda: infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain) penarikan paru, diafragma, dan mediastinum sekret di saluran napas suara napas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus. 2. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA dan lateral. Kelainan yang didapat harus dinilai secara arif dan cermat, penilaian aktif atau tidaknya suatu lesi sebaiknya berdasarkan foto serial, bukan berdasarkan pada pembacaan foto tunggal. Gambaran lesi yang menyokong kearah TB paru aktif biasanya berupa infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas (terutama lebih dari satu), bercak milier ataupun adanya efusi

20

pleura unilateral. Gambaran lesi tidak aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis, kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan hilus dan deviasi trakea. Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American Thorasic Society) membagi kelainan radiologik paru atas 3 kelompok : 1. Lesi minimal Lesi dengan densitas ringan sampai sedang tanpa kavitas, pada satu atau dua paru dengan luas total tidak melebihi volume satu paru yang terletak diatas sendi kondrosternal kedua atau korpus vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela iga) 2. Lesi sedang Lesi terdapat pada 1 atau 2 paru dengan luas total tak melebihi batas sebagai berikut : Lesi dengan densitas sedang, luas seluruh lesi tidak melebihi satu Lesi dengan densitas tinggi / konfluen, luas seluruh lesi tidak Bila ada kavitas ukurannya tak melebihi 4 cm. volume paru. melebihi luas 1/3 paru. 3. Lesi luas Luas melebihi lesi derajat sedang 3. Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan BTA Pemeriksaan sputum BTA mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis TB paru. Dahak yang terbaik adalah dahak yang diambil pada pagi sebelum makan, kental, purulen dengan jumlah minimal 3 5 ml. Dahak tersebut diperiksa tiga hari berturut-turut dengan pewarnaan Ziel Neellsen atau Kinyoun Gabbet. Untuk lebih efisien, Depkes RI menganjurkan pengambilan dahak sewaktu, dahak pagi dan dahak sewaktu yang dikumpulkan hanya dalam 2 hari. Kesulitan mendapatkan dahak dapat diatasi dengan minum satu gelas teh manis atau tablet GG 200 mg pada malam hari sebelum tidur. Esok harinya penderita disuruh melakukan aktifitas ringan dan menarik napas dalam beberapa kali, bila merasa akan batuk, napas ditahan selama mungkin baru dibatukkan. Pengeluaran dahak dapat juga di induksi dengan inhalasi larutan garam hipertonik atau dengan bronchial washing, memperlihatkan peningkatan jumlah kuman yang bermakna setelah pemberian 1 tablet GG (200 mg) pada 75 penderita (55,1%) TB paru yang diperiksanya. BTA dinyatakan positif bila BTA dijumpai setidaknya pada dua dari tiga pemeriksaan BTA yang dilakukan. Pemeriksaan ulang BTA harus dilakukan bila

21

BTA hanya dijumpai pada 1 kali pemeriksaan, adanya BTA pada pemeriksaan ulang (walaupun satu kali) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis BTA positif. Pembacaan BTA berdasarkan skala IUALTD (tabel 1) Tabel 1. Pembacaan hasil BTA berdasarkan skala IUALTD Hasil Negatif Ragu- ragu + ++ +++ Jumlah BTA per lap. pandang BTA (-) per 100 lapangan pandang BTA 1 - 9 per 100 lapangan pandang BTA 10 - 99 per 100 lapangan pandang BTA 1 10 per 1 lapangan pandang BTA > 10 per 1 lapangan pandang

Sensitifitas sputum BTA cukup rendah, bervariasi antara 9,6 24,4, sensitifitas ini akan meningkat antara 50 80% bila sarana dan kemampuan petugas laboratoriumnya baik. 2. Kultur Pemeriksaan kultur mempunyai sensitifitas sekitar 20 30%, superior dibanding pemeriksaan BTA langsung, namun membutuhkan waktu yang lebih lama ( 8 minggu). Metoda yang paling sering dipakai adalah metoda konvensional seperti Lowenstein Jensen, Ogawa, dan Kudoh, pembacaan jumlah kuman yang tumbuh didalam kultur dinyatakan dengan negatif sampai 4+, semakin tinggi nilai positifnya mencerminkan semakin banyak kuman yang tumbuh. Teknik lain yang banyak dipakai belakangan ini adalah teknik radiometric (BACTEC), dengan teknik ini waktu yang dibutuhkan untuk identifikasi kuman menjadi lebih cepat, sekitar 12 20 hari. Pemeriksaan kultur dan uji resistensi tidak dilakukan secara rutin. Pemeriksaan ini diutamakan pada kasus dengan riwayat OAT sebelumnya (kasus kambuh dan kasus gagal) dan pada daerah dengan kasus resistensi OAT yang tinggi. 3. Darah rutin Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Kelainan yang dapat dijumpai adalah anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan leukosit dan limfositosis.

I.6 Pengobatan Penatalaksanaan batuk darah

22

Kecepatan perdarahan dan efek terhadap pertukaran gas menentukan penatalaksanaan hemoptysis. Bila perdarahan hanya sedikit atau hanya berupa bercak di dahak dan umumnya pertukaran gas tidak teganggu, maka penegakan diagnosis menjadi prioritas. Namun bila terjadi perdarahan masif, maka usaha untuk mempertahankan jalan napas dan pertukaran gas harus didahulukan. Dasar-dasar pengobatan yang diberikan dalam penatalaksanaan batuk darah masif adalah sebagai berikut: mencegah penyumbatan jalan napas memperbaiki keadaan umum penderita menghentikan perdarahan mengobati penyakit yang mendasarinya.

I.6.1. Mencegah penyumbatan jalan napas Mengistirahatkan pasien umumnya dapat mengurangi perdarahan. Penderita yang masih memiliki reflek batuk yang baik dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang masih terasa menyumbat saluran napas. Pasien dapat di bantu dengan penghisapan darah dari jalan napas dengan alat penghisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk. Penderita yang tidak mempunyai reflek batuk yang baik , diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah yang diduga menjadi sumber perdarahan dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat karena dapat mengakibatkan penyumbatan dan asfiksia. Kematian akibat hemoptysis sendiri lebih sering diakibatkan oleh asfiksia daripada oleh karena perdarahan. Pada perdarahan masif terkadang dibutuhkan intubasi dan bahkan ventilator mekanik untuk menjaga jalan napas dan pertukaran udara. 0bat-obat antitusif tidak dianjurkan untuk digunakan dengan alasan batuk yang adekuat mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan darah dari jalan napas dan mencegah asfiksia. Obat antitusif mungkin dibutuhkan pada kasus batuk darah dengan bercak minimal tetapi batuk sangat kuat. Batuk-batuk yang terlalau banayk malah akan merangsang terjadinya perdarahan. I.6.2. Memperbaiki keadaan umum penderita 1.pemberian oksigen jika ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi 2.pemberian cairan untuk hidrasi 3.tranfusi darah 4.memperbaiki keseimbangan asam dan basa

Pada keadaan batuk darah masif bila perlu dapat dilakukan:

23

I.6.3. Menghentikan perdarahan Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam kepustakaan disebutkan hemoptisis berhenti dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatik, vasopresin (pitrissin), ascorbic acid belum diketahui khasiatnya secara jelas. Apabila ada kelainan di dalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik meberikan faktor tersebut dengan infus. Obat-obat antitrombosit hendaknya dihentikan. Di biro pulmonologi RSAL Mintohardjo masih memberikan hemostatika (Adona Decynone) intravena 3-4 x 100 mg/ hari atau peroral. Walaupun khasiatnya belum jelas, diharapkan paling tidak dapat memnerikan ketenangan bagi pasien maupun dokter sendiri. I.6.4. Mengobati penyakit yang mendasari Bila sebabnya infeksi (misalnya bronkiektasis, bronkitis kronik dan fibrosis kistik yang terinfeksi) antibiotik harus di berikan disertai teofilin atau agonis beta adrenergik (sebagai peangsang gerakan mukosiliar). Pada tuberkulosis paru yang terinfeksi selain obat antituberculosis antibiotik non spesifik juga harus diberikan. Pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), antibiotik belum pernah diteliti betul namun tampaknaya antibiotika spektrun luas membantu mempercepat penghentian hemoptysis. Bila penyebabnya gagal jantung maka terapi gagal jantung harus diberikan. Keganasan di bronkus harus diupayakan untuk direseksi. Terapi lain yang di gunakan di dunia kedokteran saat ini mencakup terapi foto laser, terapi emboli, dan reseksi bedah dari paru atau lobus yang berdarah. Terapi foto laser sulit digunakan untuk g\hemoptysis yang sangat masif. Reseksi bedah tampaknya berguna pada kasus-kasus yang berindikasi bedah misalnya keganasan, trauma serta fistula arteri trakealis. Namun untuk tuberkulosis, bronkiektasis terinfeksi, bronkitis maupun kelainan koagulasi, tindakan bedah masih kontroversial. Tidak ada kematian pada kasus-kasus tersebut pada perdarahan kuarang dari 200 ml/hari. Di indonesia dimana terapi embolisasi dan laser umumnya belum tersedia, terapi bedah harus dipertimbangkan pada perdarahan lebih dari 250 ml/hari. Namun pada sentra dengan kemapuan embolisasi dan terapi laser, tindakan bedah hanya dibatasi pada kasus yang dapat dioperasi pada perdarahan 1 liter/ hari atau lebih. Penatalaksanaan tuberkulosis paru Sebelum ditemukannya OAT, prinsip pengobatan TB paru terdiri dari : isolasi penderita di sanatorium, tirah baring, sinar matahari sebanyak mungkin, diet tinggi kalori tinggi protein, terapi simptomatis dan tindakan bedah. Cara ini tidak memeberikan hasil yang memuaskan, angka kesembuhan hanya 25%, 60% kasus meninggal dan sisanya menjadi kronik.

24

Perubahan mendasar pengobatan TB paru dimulai sejak 1943 dengan ditemukannya streptomisin oleh Schatz, Bugie dan Waksman, diikuti dengan penemuan OAT lainnya seperti PAS (1946), isoniazid (1951), pirazinamid (1954), rifampisin (1963) dan etambutol (1967). Sejalan dengan penemuan tersebut, paduan OAT dan lama pengobatan mengalami perkembangan (tabel 2). Era sebelum tahun 1970 umunya OAT diberikan selama 1 sampai 2 tahun dengan paduan yang tidak mengandung rifampisin, pengobatan ini dikenal dengan pengobatan jangka panjang. Sejak 1970 sampai sekarang, WHO merekomendasikan pemakaian OAT jangka pendek yaitu pengobatan yang diberikan dalam jangka waktu 6 sampai 9 bulan dengan paduan OAT yang mengandung rifampisin.
Tabel 2. Priode < 1940 194019501960197019801990Kebijakan Perkembangan pemakaian OAT OAT S + PAS H + S + PAS H+S+E R + H + E/S R + H + Z + E/S R + H + Z +E/S Lama terapi (bulan) 25% 24 18 24 18 69 6 6 50% 50 90% > 95% Keberhasilan

Sanatorium Rawat jalan, Supervisi Rawat jalan + DOTS

Prinsip pengobatan tuberculosis Pengobatan TB paru bertujuan untuk meningkatkan angka kesembuhan, menurunkan kematian, mencegah komplikasi, mencegah kekambuhan, mencegah resistensi serta memutuskan rantai penularan, untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan : 1. Pengobatan sekurang-kurangnya menggunakan 2 macam OAT efektif Basil tuberkulosis mempunyai sensitifitas yang berbeda terhadap OAT. Basil yang hidup di luar sel sensitif terhadap OAT tertentu, sedangkan basil yang berada didalam sel sensitif terhadap OAT lainnya, oleh karena itu dianjurkan pemberian 2 macam OAT efektif atau lebih untuk mencegah terjadinya kekambuhan dan resistensi. Berdasarkan sensitifitas tersebut, Mitchison mengelompokkan kuman tuberkulosis dalam 4 populasi : Populasi A : adalah populasi basil diluar sel yang menunjukkan metabolisme aktif. Populasi ini sensitif dengan INH, rifampisin, streptomisin dan atambutol.

25

Populasi B : adalah populasi basil di luar sel yang semi-dormant, metabolisme aktif hanya sekali terjadi, itupun dalam waktu yang singkat. Populasi ini hanya sensitif terhadap rifampisin. Populasi C : adalah populasi basil didalam sel yang semi dormant, hidup dalam lingkungan asam dengan pertumbuhan yang sangat lambat. Populasi ini sensitif terhadap pirazinamid, rifampisin dan INH. Populasi D : adalah populasi basil didalam sel yang sepenuhnya bersifat dormant. Populasi ini sukar dibunuh oleh OAT apapun. Mangunnegoro dan Block menganjurkan pemakaian 4 OAT pada kasus baru BTA positif. Paduan ini dianggap efektif untuk mencegah resistensi sekunder, menjamin pengobatan tetap adekuat (dalam hal terdapatnya resistensi primer terhadap salah satu OAT) dan memperkecil resiko kambuh. 2. Pengobatan dibagi atas 2 fase, yaitu : a. Fase awal Efek yang ingin dicapai pada fase awal adalah efek bakterisidal, yaitu kemampuan obat untuk memusnahkan bakteri yang sedang bermetabolisme aktif. Efek diperoleh dengan memberikan kombinasi OAT yang bersifat bakterisidal kuat seperti rifampisin dan INH, yang diberikan setiap hari selama 1 sampai 3 bulan. b. Fase lanjutan Efek yang ingin dicapai pada fase lanjutan adalah efek sterilisasi, yaitu efek obat untuk memusnahkan populasi kuman yang semi-dormant. Untuk mendapatkan efek tersebut, paling sedikit kita harus memberikan 2 OAT selama 4 sampai 11 bulan, dapat dosis harian ataupun dosis berkala. 3. Paduan yang diberikan sebaiknya paduan jangka pendek Paduan jangka pendek mempunyai efektifitas yang setara dengan paduan jangka panjang. Cohn memperlihatkan konversi yang cepat (rata-rata 4,6 minggu), kesembuhan yang tinggi (100%), efek samping dan kekambuhan yang rendah (1,6%), pada 125 penderita yang menggunakan paduan RHZS/1 R2H2Z2S2/4R2H2. Paduan jangka pendek mempunyai beberapa keuntungan. Paduan ini selalu mengandung rifampisin, yang kita ketahui efektif terhadap seluruh populasi basil tuberkulosis baik yang didalam maupun diluar sel, disamping itu kelengkapan dan ketaatan berobat akan lebih baik, karena waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat. 4. Lakukan uji resistensi pada kasus gagal dan kambuh Uji resistensi sangat bermanfaat pada kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya, baik kasus kambuh maupun kasus gagal pengobatan. Pada kasus

26

tersebut dianjurkan paduan 4-5 macam OAT atau lebih dengan paling sedikit 2 OAT baru yang masih sensitif. 5. Pemberian dosis berdasarkan berat badan Idealnya dosis OAT diberikan berdasarkan berat badan penderita (tabel 3),

namun untuk memudahkan pemberian beberapa pusat rujukan memberikan dosis OAT berdasarkan pengelompokkan berat badan. Tabel 3. Dosis OAT menurut WHO DOSIS REKOMENDASI OAT CARA KERJA HARIAN INTERMITENT 3x/Mg 10 (8 12) 10 (8 12) 35 (30 40) 15 (12 18) 30 (25 35) 2x/Mg 15 (13 17) 10 (8 12) 50 (40 60) 15 (12 18) 45 (40 50)

H R Z S E

Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakterisidal Bakteriostatik

3 (4 6) 10 (8 12) 25 (20 30) 15 (12 18) 15 (15 20)

Pengobatan TB paru menurut program Depkes/WHO Program pemberantasan TB di Indonesia menggunakan paduan OAT jangka pendek. OAT program ini dikemas dalam bentuk blister dosis harian (kombipak) dan disediakan satu paket untuk satu orang penderita. Penyediaan OAT dalam bentuk paket satu orang satu paket akan menjamin tidak terjadinya penderita putus berobat akibat tidak tersedianya obat, sedangkan kemasan dalam bentuk kombipak adalah untuk menjamin penderita menelan obat dengan tepat sesuai dengan jenis dan jumlahnya. Satu-satunya kelemahan OAT program ini adalah dosisnya yang sudah tetap, sehingga penyesuaian dosis untuk kasus-kasus dengan penyulit dan penyesuaian dosis berdasarkan berat badan tidak dapat dilakukan. Alur pengobatan dapat dilihat pada gambar 1 Kategori I Kategori ini diindikasikan untuk penderita baru BTA positif, penderita baru BTA negatif dengan kelainan radiologis yang luas dan penderita TB ekstra paru yang berat. Contoh TB ekstra paru berat, antara lain TB ginjal, TB miliar, meningitis TB, peritonits TB, perikarditis TB, pleural efusi bilateral dan osteomielitis / spondilitis. Pengobatan dibagi atas fase awal dan fase lanjutan. Pada fase awal diberikan RHZE setiap hari selama 2 bulan (2RHZE), sedangkan pada fase lanjutan diberikan RH tiga kali seminggu selama 4 bulan (4R3H3). Alternatif lain yang diperbolehkan WHO dapat dilihat pada tabel 6.

27

Kategori-2 Kategori-2 diindikasikan untuk kasus gagal, kambuh dan pengobatan setelah lalai. Kategori ini terdiri atas 3 bulan fase awal dan 5 bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan suntikan streptomisin setiap hari selama 2 bulan pertama dan paduan RHZE setiap hari (2RHZES/1RHZE), pada fase lanjutan diberikan RHE tiga kali seminggu (5R3H3E3). Dosis dan alternatif OAT menurut WHO dapat dilihat pada tabel 6 dan 7. Kategori-3 Kategori ini diindikasikan untuk kasus baru TB paru dengan BTA negatif dan TB ekstra paru ringan. Contoh TB ekstra paru ringan adalah TB kelenjar, TB kulit, TB tulang (selain tulang belakang), TB sendi dan pleural efusi unilateral. Pengobatan terbagi atas 2 bulan fase awal dan 4 bulan fase lanjutan, pada fase awal diberikan paduan RHZ setiap hari (2RHZ), pada fase lanjutan diberikan paduan RH tiga kali seminggu (4R3H3). Dosis dan alternatif OAT menurut WHO dapat dilihat pada tabel 6 dan 7. Tabel 6. Regimen pengobatan berdasarkan kategori (WHO)

I.1 Katego
ri I

Kriteria Penderita

I.2 Pilihan Regimen Pengobatan


Fase Awal 2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS) 2 RHZE (RHZS)* 2 RHZES / 1 RHZE* 2 RHZES / 1 RHZE 2 RHZ 2 RHZ 2 RHZ* 6 EH 4 RH 4 R3H3* 5 R3H3E* Fase Lanjutan 6 EH 4 RH 4 R3H3*

- Kasus baru BTA (+) - Kasus baru BTA (-) Ro (+) yang sakit berat - Kasus baru TB ekstra paru yang berat - BTA (+) Kambuh Gagal Putus berobat - Kasus baru BTA (-) - TB ekstraparu ringan Kasus kronik

II

III

IV

Rujukan ke spesialis untuk memakai obat sekunder

* Yang diterapkan di Indonesia I.8 Epidemiologi Tuberkulosis Distribusi dan Prevalensi Tuberkulosis ditemukan di seluruh dunia. Dahulu, sewaktu hubungan antarnegara masih sulit, masih ada beberapa rumpun suku bangsa yang bebas TB (misalnya suku eskimo sebelum kedatangan orang-orang Denmark dan beberapa suku penghuni pulaupulau terpencil di Samudera Pasifik). Tetapi dengan makin mudahnya hubungan antarnegara sejak abad XVI, sekarang TB menjadi salah satu penyakit mancanegara yang mematikan.

28

Berbagai faktor memang berperan di sini, termasuk kemiskinan, program penanggulangan yang tidak baik, dan timbulnya infeksi HIV/AIDS. I.9 Program Pemerintah Dalam Penanggulangan TB Paru TB paru masih merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia, bahkan TB paru ditetapkan sebagai global emergency oleh WHO. Untuk menurunkan angka mortalitas akibat TB paru, WHO telah menetapkan berbagai kebijakan diantaranya DOTS (directly observed treatment short-course). Kebijakan, program, dan strategi pemerintah dalam penanggulangan TB paru diantaranya :

1.

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) DOTS merupakan strategi pemerintah yang mulai diterapkan pada 1999. Strategi DOTS untuk menghentikan penyebaran tuberkulosis terdiri dari lima komponen, yaitu komitmen politis, diagnosis akurat dengan pemeriksaan mikroskopis, pengobatan dengan OAT dan ketaatan berobat, ketersediaan OAT yang tidak terputus, dan pencatatan serta pelaporan. Program TB nasional merencanakan untuk meningkatkan peran masyarakat melalui inisiatif berbasis masyarakat (Community Based Initiative atau COMRI) pada 2004, dan juga akan melakukan beberapa riset operasional tentang anggota keluarga yang menjadi PMO. Salah satu strategi DOTS yang sangat efektif dalam menurunkan prevalensi kematian akibat TB paru adalah PMO (pengawas menelan obat). PMO umumnya masih anggota keluarga.

2.

Gerdunas (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis) Pada 1999 pemerintah Indonesia menetapkan TBC sebagai prioritas kesehatan nasional. Gerdunas TB adalah satu gerakan multisektor dan multikomponen dalam masyarakat yang terkait dalam P2TB (Depkes RI, 2000) yang berupaya untuk mempromosikan percepatan pemberantasan tuberkulosis. Gedurnas merupakan pendekatan terpadu yang mencakup rumah sakit dan sektor swasta dan semua pengambil kebijakan lain, termasuk penderita dan masyarakat. Tujuan Gedurnas TB secara internal organisasi Depkes adalah untuk mengkoordinasikan manajemen P2TB secara lintas bidang dan secara ekstrernal adalah untuk melibatkan sektor lain yang bersedia secara aktif dalam P2TB.

3.

Penyuluhan TB Salah satu bentuk perhatian pemerintah dalam usahanya untuk menurunkan jumlah penderita TB paru adalah dengan penyuluhan TB. Penyuluhan TB sangat perlu dilakukan karena masalah TB berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB.

29

4.

Komitmen Internasional Pemerintah Indonesia menyediakan sejumlah besar dana untuk pengendalian tuberkulosis, dan telah menjanjikan US$ 19,8 juta untuk obat-obatan dan gaji staf. Anggaran sebesar ini mencakup 54% dari kebutuhan seluruhnya sebesar US$ 36,5 juta. Hal ini merupakan bukti dari komitmen politis untuk menghentikan dan menurunkan penyebaran tuberkulosis pada 2015. Komitmen internasional lain mencakup Deklarasi Amsterdam tahun 2000, dimana Menteri Kesehatan menyetujui untuk mencapai 70% angka deteksi kasus pada 2005 dan keberhasilan pengobatan sebesar 85%.

CIRRHOSIS HEPATIS
Subjektif: Keluhan Utama: Keluhan Tambahan: RPP Pemeriksaan Fisik Perut membesar Nafsu makan menurun, mual, muntah, mudah lemas. Pada lakilaki sering muncul impotensi,dan hilangnya dorongan seksualitas. R/ Sakit Kuning R/ Minum Alkohol R/ Minum Jamu S: Spider nevi E: Eritema Palmar K: Kolateral Vein A: Ascites S: Splenomegali I: Inversi albumin globulin H: Hematemesis melena Pemeriksaan yang lain adalah jari gada, atrofi testis, ikterus, asterixis bilateral, Demam yang tidak begitu tinggi akibat nekrosis hepar, batu pada vesika felea akibat hemolisis dan pembesaran kelenjar parotis. Test fungsi hati SGOT, SGPT, ALT, AST. Alkali fosfatase(2 sampai 3 kali), GGT, Bilirubin,albumin, globulin, Waktu protrombin. USG Abdomen Simptomatis; Hepatoprotector, vitamin,Curcuma.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Radiologi Tatalaksana Prognosis

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)


Definisi Penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel dan reversibel parsial. Terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis Kronk: Kelainan saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lain. Emfisema: Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

30

Faktor Risiko

Patofisiologi

Keluhan (Subjektif)

1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. 2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja. 3. Hiperaktiviti bronkus 4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang 5. Defisiensi antitripsin alfa-1. Perubahan patologis yang khas pada PPOK dijumpai pada saluran nafas besar (central airway), saluran nafas kecil (peripheral airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Saluran napas besar: Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat kelainan ini meyebabkan hipersekresi mukus. Saluan napas kecil: Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair akan menghasilkan struktur remodelling dari saluran napas dengan peningkatan jaringan kolagen dan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan terjadi obstruksi saluran napas permanen. Parenkim paru: Destruksi parenkim paru secara khas terjadi pada emfisema sentri lobuler. Kelainan tersebut lebih sering terjadi pada bagian atas pada kasus ringan namun bila berlajut dapat terjadi pada seluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary caplary bed. Perubahan vaskuler pulmonal: Ditandai dengan penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan alamiah PPOK Umumnya penderita datang dengan keluhan sesak napas dan batuk. Sesak napas: Mula-mula ringan dan secara gradual pada akhirnya dapat mengganggu aktivtas sehari-hari. Sesak napas bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi. Suara mengi/wheeezing: Tidak jarang ditemukan pada pasien PPOK dan ini menunjukkan komponen reversibel dari penyakitnya, biasanya disebabkan karena udara lewat saluran nafas yang sempit akibat radang atau adanya sikatrik Batuk kronik: Batuk kronik dengan dahak yang episodik dan memberat pada saat pagi hari. Dahak biasanya mukoid dan bisa menjadi purulen pada eksasrbasi. Batuk darah: Terutama dijumpai saat eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran napas yang mengalami peradangan khasnya Blood-streaked purulen sputum. Nyeri dada: Disebabkan oleh pleuritis, pneumothorak, dan emboli paru.

31

Pemeriksaan Fisik (Objektif)

Organ: Thorak (Pulmo) Inspeksi: - Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/ mencucu) - Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot-otot bantu pernapasan - Hipertropi otot-otot bantu pernapasan - Pelebaran sela iga - Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat JVP meningkat dan terjadi edema tungaki. - Penempilan pink puffer (emfisema) dan Blue bloater (Bronkitis kronik) Palpasi : - Pada emfisema stemfremtus melemah, sela iga melebar Perkusi : - Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong kebawah. Auskultasi : - Suara nafas vesikuler normal, atau melemah - Terdapat ronki basah di basal dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - Ekspirasi memanjang - Bunyi jantung terdengar jauh * Udem tungkai, JVP meningkat, hepar teraba dan tanda hipertensi pulmonal Adalah tanda kor pulmonale kronikum dekompensata. Spirometri : Merupakan pemeriksaan gold standar. Pemeriksaan VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/ KVP VEP1/ VEP1 prediksi < 80 %, VEP1/KVP < 75% Radiologi : Pada emfisema: - Diafragma datar - Volume paru bertambah besar - Gambaran jantung menggantung (Pendulum, tear drop, eye drop appearence) - Ruang retrosternal melebar. - Hiperinflasi dan hiperlusen Pada bronkitis kronik: - Normal - Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus. Darah - Pemeriksaan darah rutin seperti Hb, Ht, Leukosit Gambaran klinis: Anamnesis dan pemeriksaan fisik Diagnosis pasti dan gold standar dengan spirometri.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Diagnosis Tatalaksana

Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi: 1. Edukasi 2. Obat-obatan 3. Terapi Oksigen 4. Ventilasi mekanik 5. Nutrisi 6. Rehabilitasi Pada terapi obat-obatan secara umum akan diberikan golongan: - Bronkodilator

32

- Antiinflamasi - Antibiotika - Antioksidan - Mukolitik - Antitusif Untuk lebih jelas silakan di baca: * Buku ajar ilmu penyakit paru prof. Hood alsagaff ** Buku pedoman diagnosis dan penatalaksanaan PPOK di Indonesia

HEPATOMA
Subjektif: Keluhan Pada awal penyakit kadang-kadang tidak ada keluhan, atau keluhannya samar-samar, sehingga pasien tidak sadar sampai pada suatu saat tumor sudah besar. Keluhan yang sering dirasakan adalah adanya perasaan sakit atau nyeri yang sifatnya tumpul, tidak terus menerus, terasa penuh di perut kanan atas, tidak ada nafsu makan karena perut selalu terasa kenyang sehingga berat badan menurun secara drastis. Pasien merasakan adanya pembengkakan perut kanan atas atau daerah epigastrium, kadang-kadang ada keluhan seperti peritonitis lokal atau difus. Dalam keadaan seperti itu perlu dipikirkan perdarahan intra-abdominal. R/ Kuning (Hepatitis B/C, Sirosis Hepatis) R/ Minum Alkohol R/ Minum Jamu R/ Merokok Kulit: Ikterus Mata: Ikterus Abdomen: Hepar teraba, konsistensi keras, permukaan berdungkuldungkul, tepi tumpul. Leukositosis, anemia, gangguan pembekuan darah, serum feritin meningkat, dan peningkatan SGOT, SGPT. AFP meningkat Foto polos abdomen (adanya kalsifikasi) USG abdomen CT scan abdomen Skintigrafi hati (scaning) MRI(tepat untuk menentukkan stadium tumor) Biopsi Hati (Diagnosis pasti/gold standard) Sukar diobati baik dengan operasi maupun dengan sitostatika. Prognosis jelek. Tanpa pengobatan biasanya terjadi kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien KHS stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan pemberian sitostatik, umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun, sebaliknya pasien KHS stadium lanjut mempunyai masa hidup yang lebih pendek.

RPP

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Tumor marker Radiologi

Histopatologi Tatalaksana Prognosis

33

SINDROM NEFROTIK
Definisi Etiologi Sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), edema anasarka, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. a. Primer (sebagian besar tidak diketahui sebabnya) penyakit parenkim ginjal primer GN Glomerulonefritis membranosa Glomerulonefritis kelainan minimal Glomerulonefritis membranoproliferatif Glomerulonefritis pascastreptokok b. Sekunder Infeksi (HIV, Hepatitis B,C, Sifilis, Malaria, Skistosoma, TB, Lepra) Obat dan toksin (emas, penisilamin, kaptopril, heroin, probenesid, air raksa, antiinflamasi nonsteroid) Keganasan (adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, MM, Ca ginjal) Penyakit sistemik dan jaringan ikat yang mempengaruhi glomerulus (diabetes, amiloidosis, SLE, Purpura Henoch-Schonlein, dll.) - Reaksi Ag-Ab permeabilitas membran glomerulus me proteinuria masif hipoalbuminemia tek. onkotik plasma me difusi cairan ke interstitiel edema. - Selain itu, difusi cairan ke interstitiel hipovolemi aktivasi RAA system dan aktivasi simpatik & katekolamin reabsorbsi Na + air me & resistensi perifer serta vaskuler glomerulus me edema diperberat. - Hiperkolesterolemia akibat mobilisasi lemak tubuh untuk sintesa protein setelah terjadi keseimbangan negatif. Umumnya penderita datang dengan keluhan sembab seluruh tubuh. Edema pada awalnya timbul pada kelopak mata pada pagi hari dan hilang di siang hari. Edema kemudian menjalar ke tungkai, kemaluan, dan perut. Bila os sudah mengalami sembab seluruh tubuh beserta asites nafas terasa sesak (menyesak) sehingga os lebih enak bila dalam posisi duduk. Anamnesis untuk mencari kelainan ginjal yang menyebabkan edema/ etiologi SN: - Buang air kecil menjadi jarang dan sedikit. BAK seperti air cucian daging (hematuri), nyeri kepala, mual, muntah/ hipertensi ensefalopati GNA Riwayat radang tenggorokan atau infeksi kulit (impetigo) Poststreptococcus GN - Riwayat sering makan, minum, dan BAK (baik pada penderita dan keluarga) DM - Riwayat bengkak disertai kemerahan pada wajah pada sisi yang sama (Malar rash) SLE - Riwayat bercak-bercak merah pada tungkai dan bokong disertai nyeri sendi Purpura Henoch-Schonlein - Riwayat sakit kuning Hepatitis - Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria Malaria - Riwayat minum obat-obatan atau toksin (emas, penisilamin, kaptopril, heroin, probenesid, air raksa, antiinflamasi nonsteroid) Efek obat dan toksin Umum: TD biasanya dijumpai hipertensi ringan. Organ: Kepala:

Patofisiologi

Keluhan (Subjektif)

Pemeriksaan Fisik (Objektif)

34

Leher:

Puffy face dan edema palpebra Konjungtiva tak anemis menyingkirkan DD/ GGK Sklera tak ikterik menyingkirkan DD/ kelainan hepar Pernafasan cuping hidung dan sianosis perioral (-) menyingkirkan sesak krn jantung/paru Kelenjar parotis membesar merupakan tanda malnutrisi pada hipoalbuminemia berat dan berlangsung lama. Malar rash (-) menyingkirkan DD/ nefropati lupus

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium

Biopsi ginjal

Tatalaksana

- JVP tdk meningkat menyingkirkan DD/ edema krn jantung Thoraks: - Spider naevi (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar - Cor: dbn untuk menyingkirkan DD/ kelainan jantung - Pulmo: adakah tanda efusi pleura dan pneumonia yang dpt terjadi pada penderita SN akibat hipoalbuminemia dan infeksi. Abdomen: - Cembung, pekak samping, shifting dullness (+) ascites - Venektasi (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar. Genitalia: - Edema scrotum/labia Ekstremitas: - Edema pretibial dan dorsum pedis serta Muercke line (garis putih di kuku). - Sianosis dan clubbing (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan jantung. - Eritema palmaris (-) untuk menyingkirkan DD/ kelainan hepar. Darah - Hb normal, kecuali bila telah terjadi penurunan fs. ginjal - Leukosit normal, kecuali bila ada infeksi yang sering didapati pd penderita SN (akibat terbuangnya Ig) - LED meningkat (akibat inflamasi) - Profil lipid meningkat (bila telah terjadi hipoalbuminemia berat), sedangkan pada lupus nefritis dan nefropati DM normal. - Elektrolit (Na, K) umumnya normal, tapi dpt terjadi hipokalemi akibat aldosteronisme sekunder (peningkatan reabsorbsi Na, menyebabkan loss K) dan pemberian diuretik tdk hemat K. - Ureum & Kreatinin bervariasi, dpt meningkat bila telah terjadi komplikasi GGA akibat kompresi tubulus proximal krn edema intrarenal. Urin - Cenderung oliguri - Proteinuria (5-30 g/hari), Esbach (protein urin kuantitatif u/ mengukur kadar protein urin dalam 24 jam): > 3,5 g/dl Sedimen sel, silinder, oval fat bodies dapat + Untuk mengetahui tipe GN Nonfarmakologis: - Istirahat/ tirah baring - Diet rendah garam, diet protein 0,8-1 g/kgBB/hari (rendah protein krn bila protein akan memperberat proteinuria yang telah ada) Farmakologis - Diuretik umumnya digunakan furosemid atau HCT dengan atau tanpa kombinasi dengan pottasium sparing diuretics (spironolakton)*. 35

Prognosis

Komplikasi

Atau diawali dg furosemid, bila resisten dpt dikombinasi dgn tiazid, asetazolamid, metazolam.** - Pengobatan proteinuria dan hipertensi ACE inhibitor & AIIRA - Steroid (1 mg/kgBB/hari) dapat diberikan pada SN primer/idiophatic (krn sebagian bsr SN adalah tipe minimal lesion yang umumnya respon thd steroid), tapi bila setelah beberapa wkt tidak ada perbaikan berarti bukan tipe minimal lesion. - Pengobatan kausal pada SN sekunder - Bila terdapat faktor risiko CAD (a.l usia tua, merokok, riwayat keluarga dg CAD, dll.) berikan gol. statin. Tergantung usia, jenis kelamin, komplikasi yg terjadi, dan kelainan histopatologi ginjal. - Umur muda dan wanita prognosis > baik dibandingkan umur tua dan laki-laki. - Makin awal timbul komplikasi gagal ginjal dan hipertensi prognosis makin buruk. - Pengobatan >6 bln sejak gejala klinis muncul prognosis buruk. - SN lesi minimal prognosis lebih baik daripada SN lesi non minimal. - Kematian umumnya terjadi akibat GGK dengan sindrom azotemia, infeksi sekunder (renal/ekstrarenal), kegagalan sirkulasi akut. 1. Malnutrisi akibat hipoalbuminemia berat 2. Infeksi sekunder penurunan Ig 3. Koagulopati peningkatan faktor pembekuan 4. Aterosklerosis akibat hiperlipidemia yang berlangsung lama dan tidak terkontrol 5. Syok hipovolemik akibat ekstravasasi cairan iv ke interstitiel 6. Gagal ginjal kompresi tubulus akibat edema intrarenal.

* Buku PAPDI lama ** Buku PAPDI baru

ABSES HEPAR
Etiologi Subjektif: Keluhan Entamoeba Hystolitica (Abses Hepar Amoebik/AHA) Abses Hati Piogenik/AHP (bakteri dan jamur) Sering pada laki-laki - Nyeri spontan perut kanan atas, dan bila berjalan ditandai dengan jalan membungkuk sambil kedua tangan diletakkan di atas tempat sakit. - Nyeri bila ditekan pada perut kanan atas, dan biasanya os miring ke sisi kanan untuk mengurangi sakit atau berhenti bernapas sejenak (Ludwig sign). - Demam panas tinggi dan menggigil. Mual, muntah, nafsu makan dan BB BAK warna gelap, BAB spt kapur, , Riwayat diare dengan lendir dengan/tanpa darah. (riwayat dapat ada/tidak shg jika tidak ada riwayat disentri maka tidak menyingkirkan abses hepar) Ikterik, Hepatomegali, Nyeri tekan, fluktuasi, asites. Serologi Amoeba, Leukositosis (shift to the left), LED, Alkalaine

RPP Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjang

36

Laboratorium Kultur dan Resistensi Radiologi Histopatologi Tatalaksana

fosfatase, SGOT, SGPT, dan bilirubin . Hemoglobin dan Albumin . Kultur dan Resistensi (gold standard) untuk menemukan penyebab. R thorak & Abdomen: Peninggian diafragma kanan, air fluid level di bawah diafragma. USG abdomen Aspirasi hepar ditemukan pus warna merah tengguli Istirahat Diet TKTP Terapi awal dengan Antibiotika metronidazol 4 x 500 mg selama 5-10 hari sampai didapatkan hasil kultur dan resistensi aspirasi. - Jika abses hepar > 7 cm diteruskan dengan terapi nivaquin 3 x 10 mg selama 3 minggu. - Aspirasi cairan pus jika abses pecah atau kurang respon dengan pengobatan. Bonam EDEMA

Prognosis

Pada penderita dengan keluhan edema perlu dipertimbangkan kelainan2 sbb.: - Kelainan ginjal Edema pada awalnya timbul pada kelopak mata pada pagi hari dan hilang di siang hari. Edema kemudian menjalar ke tungkai, kemaluan, dan perut. - Kelainan jantung Keluhan bengkak disertai sesak nafas. Penderita tidur dengan bantal yang lebih tinggi. Terbangun di malam hari karena sesak atau ingin BAK. - Kelainan hepar Perlu ditanyakan adakah riwayat sakit kuning atau berkontak dengan penderita sakit kuning, adakah riwayat tranfusi. - Alergi (angioedema) Tanyakan mengenai adanya atopi baik terhadap makanan maupun obat-obatan (juga riwayat alergi pada keluarga). Ajukan pertanyaan terhadap masing2 keluhan yang mewakili tiap kelainan sehingga satu per satu kelainan dapat disingkirkan.

37

Anda mungkin juga menyukai