Transplantasi Organ

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

BAB 1. PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia juga mengalami perkembangan di berbagai bidang. Salah satunya adalah kemajuan di bidang kesehatan yaitu teknik transplantasi organ. Transplantasi organ merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak berfungsi dengan organ dari individu yang lain. Sampai sekarang penelitian tentang transplantasi organ masih terus dilakukan. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat. Permintaan untuk transplantasi organ terus mengalami peningkatan melebihi ketersediaan donor yang ada. Sebagai contoh di Cina, pada tahun 1999 tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78 angka. Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah 356. Jumlah tersebut semakin meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi. Tidak hanya hati, jumlah transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat drastis. Setidaknya telah terjadi 3 kali lipat melebihi Amerika Serikat. Ketidakseimbangan antara jumlah pemberi organ dengan penerima organ hampir terjadi di seluruh dunia. Sedangkan transplantasi organ yang lazim dikerjakan di Indonesia adalah pemindahan suatu jaringan atau organ antar manusia, bukan antara hewan ke manusia, sehingga menimbulkan pengertian bahwa transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain atau dari satu tempat ke tempat yang lain di tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk mengganti organ yang rusak atau tak berfungsi pada penerima. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu cara penyembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan etik, moral, agama, hokum, atau social budaya ikut mempengaruhinya. Selain itu, kemajuan iptek kedokteran bartumpu pada riset yang dilakukan, termasuk riset biomedik yang di lakukan pada manusia sebagai subjek. Riset 1

biomedik yang melibatkan manusia sebagai subjek penilitian (riset biomedik pada manusia) tidak dapat di hindarkan, walaupun telah di lakukaan uji coba pada hewan, karena adanya perbedaan spesies antara ke duanya. Jadi walaupun hasil ujicoba pada hewan ternyata efektif dan aman, belum tentu hasilnya sesuai dengan manusia sebagai subjek. Uji coba pada manusia sebagai final test site harus di lakukan juga dan ini memerlukan persyaratan dan pengawasan yang ketat termasuk dari segi etik oleh peneliti-peneliati yang kompeten, jujur,objektif dan terbuka. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan transplantasi organ ? 2. Apa yang dimaksud dengan riset biomedik pada manusia ? 3. Bagaimana kasus transplantasi di Indonesia ? 4. Bagaimana kasus riset biomedik pada manusia di Indonesia ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui secara lengkap mengenai transplantasi organ. 2. Untuk mengetahui secara lengkap mengenai riset biomedik pada manusia. 3. Untuk mengetahui kasus yang ada di Indonesia mengenai transplantasi organ. 4. Untuk mengethaui kasus riset biomedik pada manusia di Indonesia.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh Transpalantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif. Walaupun transplantasi organ dan atau jaringan itu telah lama dikenal dan hingga dewasa ini terus berkembang dalam dunia kedokteran, namun tindakan medik ini tidak dapat dilakukan begitu saja, karena masih harus dipertimbangkan dari segi non medik, yaitu dari segi agama, hukum, budaya, etika dan moral. Kendala lain yang dihadapai Indonesia dewasa ini dalam menetapkan terapi transplantasi, adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LDR) dan donasi organ Jenazah. Karena itu diperlukan kerjasama yang saling mendukung antara para pakar terkait (Hukum, kedokteran, sosiologi, pemuka agama, pemuka masyarakat), dengan pemerintah dan swasta (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). 2.1.1 Sejarah dan Perkembangan Transplantasi Tahun 600 SM di India, Susruta telah melakuakan transpalantasi kulit. Semantara jaman Renaissance, seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan hal yang sama (Ardi Pratama, 2011). Diduga John Hunter ( 1728 1793 ) adalah pioneer bedah eksperimental, termasuk bedah transplantasi. Dia mampu membuat criteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan trnsplantasi yang tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi belum ditemukan (Ardi Pratama, 2011).. Pada abad ke 20, Wiener dan Landsteiner menyokong perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah system ABO dan system Rhesus. Saat ini perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan dalam keberhasilan tindakan transplantasi (Ardi Pratama, 2011)..

Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi modern makin berkembeng dengan ditemukannya metode metode pencangkokan, seperti (Ardi Pratama, 2011): a. b. c. 2.1.2 2011): 1. Rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan utnuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik (pasal 1 butir 5 UUK) 2. Transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat.
3. Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu

Pencangkokkan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner olah Dr. George E. Green. Pencangkokkan jantung, dari jantung kera kepada manusia oleh Dr. Cristian Bernhard, walaupun resepiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari. Pencakokkan sel sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke penderita Parkinson oleh Dr. Andreas Bjornklund. Pengertian Transplantasi Ada beberapa pengertian transplantasi organ, antara lain (Ardi Pratama,

dari suatu tempat ke tempat lain jaringan atau organ manusia tertentu dari suatu tempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan kondisi tertentu.
4. Pasal 1 ayat 5 UU Kesehatan Memberikan pengertian Transplantasi

adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu (Ardi Pratama, 2011): 4

1. 2.

Eksplantasi, yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal. Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain. Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan

tindakan transplantasi, yaitu (Ardi Pratama, 2011): 1. Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan jaringan / organ. 2. Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan/ organ tubuh baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan / organ tersebut, untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi. 2.1.3 Jenis-jenis Transplantasi Hingga waktu ini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan, baik berupa sel, jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999):
1. Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu

sendiri.
2. Allograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama

spesiesnya.
3. Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik,

misalnya pada gambar identik.


4. Xenograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama

spesiesnya. Organ atau jaringan tubuh yang akan dipindahkan dapat diambil dari donor yang hidup atau dari jenazah irang yang baru meninggal (untuk keperluan ini, definisi meninggal adalah mati batang otak). Organ atau jaringan yang dapat diambil dari donor hidup adalah kulit, ginjal, sumsum tulang dan darah (transfusi darah). Organ/jaringan yang diambil dari jenazah adalah jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas, paru-paru, dan sel otak. Dalam dasawarsa terakhir ini telah pula 5

dikembangkan teknik transplantasi seperti transplantasi arteria mamaria interna dalam operasi lintas koroner oleh Goerge E. Green, dan transplantasi sel-sel substansia nigra dari bayi yang meninggal kepada pasien penyakit parkinson. Semua upaya dalam bidang transplantasi tubuh, jaringan dan sel manusia itu tentu memerlukan peninjauan dari sudut hukum dan etika kedokteran (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi (Ardi Pratama, 2011): 1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri. 2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain. 3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies lainnya. 2.1.4 Aspek Hukum Transplantasi Dari segi hukum, transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu usaha mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini adalah suatu perbuatan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Dalam PP No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, bedah anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia, tercantum pasal-pasal tentang transplantasi sebagai berikut (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999): Pasal 1. c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang dibentuk oleh beberapa jenis sel dan mempunyai bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh tersebut. d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang sama dan tertentu.

e. Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. f. Donor adalah orang yang menyumbangkan alat atau jaringan tubuhnya kepada orang lain utnuk keperluan kesehatan. g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan, dan atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Ayat g diatas mengenai definisi meninggal dunia kurang jelas, karena itu IDI dalam seminar nasionalnya telah mencetuskan fatwa tentang masalah mati yang dituangkan dalam SK PB IDI No. 336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 maret 1988 yang disusul dengan SK PB IDI No. 231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Selanjutnya dalam PP tersebut diatas terdapat pasal-pasal berikut (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999) : Pasal 10. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan/atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia. Pasal 11. 1. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang ditunjuk oleh Mentri Kesehatan.
2. Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan

oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan. Pasal 12.

Dalam rangka transplantasi, penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Pasal 13. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14 dan Pasal 15 dibuat di atas kertas bermaterai deng an 2 (dua) orang saksi. Pasal 14. Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persetujuan tertulis keluarga yang terdekat. Pasal 15. 1. Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai oprasi, akibat-akibatnya, dan kemungkinankemungkinan yang dapat terjadi. 2. Dokter sebagai mana dimaksut dalam ayat (1) harus yakin benar, bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. Pasal 16. Donor atau keluarga donor yang menionggal dunia tidak berhak atas kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17. Dilarang memperjual belikan alat atau jaringan tubuh manusia. Pasal 18. Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk ke dan dari luar negri. Sebagai penjelasan Pasal 17 dan 18, disebutkan bahwa alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada setiap insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek untuk mencari keuntungan. Pengiriman alat dan atau jaringan tubuh manusia ke dan dari luar negri haruslah dibatasi dalam 8

rangka penelitian ilmiah, kerja sama dan saling menolong dalam keadaan tertentu (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Selanjutnya dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, dicantumkan beberapa pasal tentang transplantasi sebagai berikut (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999): Pasal 33. 1. Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, tranfusi darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi. 2. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta trasnfusi darah sebagaimana dimaksut dalam ayat (1) dilakukan hanya untukn tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Pasal 34. 1. Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di saranan kesehatan tertentu. 2. Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris dan keluarganya. 3. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksut dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peratura Pemerintah. Apabila diperhatikan kedua pasal di atas, isi dan tujuanya hampir sama dengan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 19 tentang bedah mayat klinis, bedah mayat anatomis dan transplantasi alat serta jaringan tubuh manusia.Dalam Undang-Undang kesehatan kembali ditegaskan bahwa transplantasi organ atau jaringan tubuh dan transplantasi darah hanya dapat dilakukan untuk tujuan kemanusiaan, dilarang untuk dijadikan objek untuk mencari keuntungan, jual beli, dan komersialisasi bentuk lain (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). 2.1.5 Aspek Etik Transplantasi

Transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Dari segi etik kedokteran tindakan ini wajib dilakukan jika ada indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI, yaitu (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999): Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindunhi hidup insani. Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Bertitik tolak dari pasal-pasal tersebut diatas, maka para dokter harus menguasai, mengembangkan dan memanfaatkan iptek transplantasi untuk kemashlahatan pasien dan keluarganya (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Pasal-pasal tentang transplantasi dalam PP No. 18 tahun 1981, pada hakekatnya telah mencakup aspek etik, terutama mengenai dilarangnya memperjual belikan alat atau jaringan tubuh untuk tujuan transplantasi ataupun meminta kompensasi material lainnya. Namun timbul pertanyaan, jika tidak boleh diperjual belikan atau diganti rugi, bagaimana caranya meningkatkan jumlah donor. Apakah imbalan non material diperbolehkan? Misalnya meminta narapidana menjadi donor dan kepadanya diberikan pengurangan masa pidana atau remisi sebagai imbalan. Agaknya transaksi ini bukan mustahil dilaksanakan, karena tidak ada yang dirugikan, bahkan saling menguntungkan (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam tindakan transplantasi adalah penentuan saat mati seseorang akan diambil organnya, yang dilakukan oleh 2 (dua) orang dokter yang tidak ada sangkut paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi. Ini berkaitan dengan keberhasilan transplantasi, karena bertambah 10

segar organ atau jaringan bertambah baik hasilnya, namun jangan sampai terjadi penyimpangan, dimana pasien yang hampir meninggal tetapi belum meninggal telah diambil organ tubuhnya. Penentuan saat meninggal seseorang di rumah sakit modern dewasa ini dilakukan dengan pemeriksaan elektroensefalografi dan dinyatakan meninggal jika telah terdapat mati batang otak dan secara pasti tidak terjadi lagi pernafasan dan denyut jantung secara spontan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh para dokter lain yang bukan pelaksana transplantasi, agar benarbenar objektif (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999). 2.2 Riset Biomedik Pada Manusia Kemajuan IPTEK Kedokteran bertumpu pada riset yang dilakukan, termasuk riset biomedik yang dilakukan pada manusia sebagai subjek. Riset biomedik yang melibatkan melibatkan manusia sebagai subjek penelitian (riset biomedik pada manusia) tidak dapat dihindarkan, walaupun telah dilakukan uji coba pada hewan, karena adanya perbedaan spesies antara keduanya. Jadi walaupun hasil uji coba pada hewan ternyata efektif dan aman, belum tentu hasilnya sesuai dengan manusia sebagai subjek. Uji coba pada manusia sebagai The final test site harus dilakukan juga, dan ini memerlukan persyaratan dan pengawasan yang ketat termasuk dari segi etik oleh peneliti yang kompeten, jujur, objektif, dan terbuka. Riset biomedik pada manusia harus bertujuan untuk menyempurnakan tatacara diagnosis, terapi, pencegahan serta pengetahuan tentang etiologidan patogenesis penyakit. Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah untuk kesejahteraan umat manusia, jadi nilai sebenarnya suatu ilmu pengetahuan terletak pada penerapannya dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu diingat bahwa dalam riset biomedik pada manusia, kesejahteraan individu lebih penting dari penemuan ilmiah baru apapun. Uji coba pada hewanpun, yang merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, memerlukan pertimbangan dari segi etik, antara lain menyangkut cara memperoleh hewan percobaan, masalah transportasi, perkandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan dan pengawasa oleh dokter hewan, teknik pelaksanaan uji coba sehingga tidak menimbulkan rasa nyeri padanya (dengan 11

anestesi) dan lain-lain. Uji coba pada hewan ini meliputi riset fisiologik, patologik, toksikologik dan terapeutik. 2.2.1 Uji Klinik Uji coba pada manusia dilakukan jika memperoleh kesan, bahwa uji coba pada hewan cukup aman dan memuaskan. Walaupun begitu uji klinik (clinical trial) obat baru pada manusia masih dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut: Tahap 1 : Untuk pertama kalinya obat dicobakan pada manusia. Subjek disini terjadi dari sukarelawan yang sehat. Uji coba fase I ini dilakukan di suatu rumah sakit atau lembaga dengan pengawasan yang ketat oleh para ahli. Perhatian ditujukan untuk mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada orang yang sehat. Dari segi etik riset, uji klinik tahap I Tahap II : umumnya tergolong riset non terapeutik. Obat dicobakan pada sekelompok kecil penderita yang diharapkan akan mendapat manfaat terapeutik atau diagnostik dari obat tersebut. Subjek diseleksi dengan ketat dan diawasi oleh ahli yang kompeten. Tujuan utama dari tahap ini aalah untuk mengetahui apakah obat baru ini mempunyai efek terapeutik pada penderita. Disamping itu dicatat pula data lain Tahap III : seperti pada tahap I. Obat diberikan pada sejumlah besar penderita dengan kondisi yang menyerupai keadaan dimana obat dipakai sehari-hari di masyarakat. Ini berarti bahwa seleksi pasien tidak terlalu ketat dan obat mungkin diberikan oleh dokter umum atau orangorang yang tidak ahli benar. Efek samping yang agak jarang dijumpai mungkin telah dapat terlihat pada tahap ini. Bila hasil uji klinik tahap III ini dinilai aman dan efektif maka obat Tahap IV : dapat dipasarkan. Disini dapat dikumpulkan data efektivitas maupun efek samping obat dalam penggunaan jangka panjang. Demikian pula kemungkinan timbulnya kecenderungan penggunaan berlebihan atau penyalahgunaan. 12

2.2.2

Deklarasi Helsinki Dalam riset biomedik pada manusia terdapat panduan yang tercantum dalam Deklarasi Helsinki (1964) dari world Medical Association (WMA) yang direvisi di Tokyo (1975), di Venesia (1983), di Hongkong (1989), serta International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects oleh Council for International Organizazion of Medical Sciences (CIOMS) dan WHO (1993). Dalam Deklarasi Helsinki tercantum prinsip dasar riset, etik riset kedokteran yang dikombinasi dengan pengobatan (riset klinik) dan riset biomedik non terapeutik pada manusia (riset biomedik non klinik), yang berbunyi sebagai berikut: a. Prinsip Dasar
1. Riset biomedik pada subjek manusia harus memenuhi prinsip ilmiah dan

berdasarkan

eksperimen

laboratorium

hewan

percobaan

dan

pengetahuan yang adekuat dari literatur ilmiah. 2. Disain dan pelaksanaan eksperimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu protokol untuk kemudian diajukan kepada suatu komisi independen yang ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi komentar dan bimbingan. 3. Riset biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medikyang kompeten. Tanggungjawab atas manusia yang diteliti terletak pada tenaga medik yang kompeten, dan bukan pada manusia yang diteliti, walaupun subjek telah memberikan persetujuannya. 4. Riset biomedik pada manusia tidak boleh dikerjakan kecuali bila kepentingan tujuan penelitian tersebut sepadan dengan resiko yang akan dihadapi subjek. 5. Setiap penelitian pada subjek manusia harus diketahui oleh peneliti secara seksama megenai resiko yang mungkin timbul dan manfaat potensial, baik bagi subjek maupun bagi orang lain. Kepentigan subjek harus lebih diutamakan daripada kepentingan ilmu pengetahuan maupun kepentingan masyarakat. 13

6. Dalam penelitian, hak seseorang untuk melindungi integritas dirinya harus selalu dihormati. Peneliti harus berusaha menekan sekecil mungkin dampak penelitian terhadap integritas mental, fisik dan kepribadian subjek. 7. Seorang dokter tidak dipebolehkan ikut dalam proyek riset dengan subjek manusia kalau ia tidak dapat memperkirakan bahaya apa yang mungkin timbul. Dokter juga harus menghentikan penelitian bila bahaya yang dijumpai ternyata melampaui manfaat yang diharapkan. 8. Dalam mempublikasikan hasil penemuannya, maka harus dilaporkan hasil yang akurat eksperimen yng dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip yang digariskan dalam Deklarasi Helsinki tidak boleh diterima untuk publikasi. 9. Dalam setiap riset pada manusia, maka kebanyakan subjek yang bersangkutan harus diberitahu tentang tujuan, metode, manfaat serta bahaya potensial dan rasa tidak enak yang akan dialami. Kepada subjek juga harus dijelaskan bahwa ia bebas untuk menolak berpartisipasi dalam penelitian dan bila ia ikut berpartisipasi ia bebas untuk mengundurkan diri setiap saat. Dokter harus meminta persetujuan setelah penjelasan dari subjek dan ini sebaiknya dalam bentuk tertulis. 10. Dalam meminta persetujuan setelah penjelasan ini, dokter harus berhatihati bilamana ada kemungkinan bahwa pasien merasa tergantung dari dokternya atau dalam keadaan dimana subjek memberi persetujuan dibawah paksaan. Dalam keadaan seperti ini, persetujuan pasien hendaknya diminta oleh dokter lain yang ikut dalam riset dan tidak terikat oleh hubungan dokter pasien dengan subjek yang bersangkutan. 11. Untuk penderita yang tidak kompeten secara hukum, maka persetujuan setelah penjelasan harus diminta dari pelindungnya yang sah menurut hukum setempat. Bila keadaan fisik atau mental subjek tidak memungkinkan untuk memberi persetujuan setelah penjelasan atau bila subjek masih anak dibawah umur, izin diminta dari keluarganya sesuai dengan hukum yang berlaku setempat. 14

12. Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma etik yang dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip Deklarasi Helsinki. b. Riset Kedokteran yang dikombinasi dengan pengobatan (Riset Klinik) 1. Dalam mengobati penderita, dokter harus bebas menggunakan cara diagnosis atau terapi yang baru, bila dirasakan bahwa cara ini memberi harapan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan kesehatan atau mengurangi penderitaan. 2. Manfaat, bahaya dan rasa tidak enak yang ditimbulkan oleh suatu metoda baru haruslah ditimbang terhadap kelebihan dari metoda diagnosis dan terapi yang ada pada saat itu. 3. Dalam setiap studi kedokteran, setiap pasien (termasuk pasien dalam kelompok kontrol) harus mendapat metoda diagnosis dan terapi yang baik. 4. Penolakan pasien untuk berpartisipasi dalam suatu studi sama sekali tidak boleh mempengaruhi hubungan dokter-pasien. 5. Bila dokter menganggap esensial untuk tidak meminta persetujuan setelah penjelasan maka alasannya harus dicantumkan dalam protokol riset dan disampaikan kepada panitia yang independen (lihat butir 1 & 2). 6. Dokter dapat mengkombinasikan riset kedokteran dengan pengobatan untuk mendapat pengetahuan kedokteran yang baru, tetapi hanya bila riset ini mempunyai nilai diagnosis atau terapeutik terhadap pasien yang bersangkutan. c. Riset Biomedik Non Terapeutik pada manusia (Riset Biomedik Non Klinik) 1. Dalam riset biomedik pada manusia dengan tujuan ilmiah murni, adalah tugas dokter untuk tetap menjadi pelindung nyawa dan kesehatan manusia yang diteliti. 2. Subjek harus sukarelawan, baik orang sehat atau pasien dimana disain penelitian tidak berhubungan dengan penyakit yang dideritanya.

15

3. Peneliti atau kelompok peneliti harus menghentikan riset bila dipertimbangkan bahwa bila riset dilanjutkan akan membahayakan orang yang diteliti. 4. Dalam melakukan riset pada manusia, kepentingan ilmu pengetahuan atau kepentingan masyarakat tidak boleh didahulukan daripada pertimbangan kesejahteraan subjek. d. Riset pada subjek khusus 1. Riset pada anak-anak Anak-anak tidak diperkenankan untuk dipakai sebagai subjek riset yang boleh dan dapat dilaksanakan pada orang dewasa. Akan tetapi partisipasi anak adalah mutlak perlu untuk mengadakan riset mengenai penyakit anak dan kondisi yang hanya dijumpai pada anak dan rawan bagi anak. Selalu diperlukan persetujuan salah satu atau kedua orang tua/walinya setelah penjelasan yang lengkap mengenai tujuan sebuah eksperimen dan kemungkinan akan resiko dan rasa tidak enak. Jika usia anak telah memungkinkan, persetujuannya harus juga diperoleh setelah dijelaskan antara lain kemungkinan rasa tidak enak yang mungkin timbul. Anak yang sudah berumur lebih dari 7 tahun, biasanya dapat memberi persetujuannya, namun sebaiknya juga disertai persetujuan orang tua atau walinya. Anak-anak dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh dijadikan subjek penelitian, jika penelitian tersebut tidak bertujuan untuk memberi keuntungan bagi mereka, kecuali jika eksperimen tersebut bertujuan untuk mengetahui suatu kondisi yang khas bagi masa Balita atau masa kanak-kanak. 2. Riset pada wanita hamil atau wanita yang menyusui Sebenarnya tidak ada masalah mengenai persetujuan setelah penjelasan terhadap wanita hamil dan yang menyusui, tetapi mereka janganlah diikutsertakan dalam penelitian nonterapeutik, yang mengandung kemungkinan membahayakan janin atau neonatus, kecuali bila eksperimen ii bermaksud ingin mengungkapkan masalah mengenai 16

kehamilan atau laktasi. Penelitian terapeutik diizinkan hanya dengan tujuan meningatkan kesehatan ibu, tanpa merugikan kesehatan janin atau bayi. Juga yang meningkatkan viabilitas janin, meningkatkan perkembangan bayi, atau meningkatkan kemampuan ibu untuk pertumbuhan baik janin maupun bayi.
3. Riset pada penderita dengan penyakit jiwa dan cacat mental

(Mentally ill and mentally defective person) Untuk kelompok ini dianut pertimbangan yang sama seperti pada anak-anak. Mereka ini janganlah diikutsertakan dalam riset yang dapat dilakukan pada oang dewasa yang tidak berpenyakit jiwa. Namun hanya merekalah yang dapat digunakan sebagai subjek untuk meneliti sebab berbagai penyakit jiwa dan pengobatannya. Persetujuan dari anggota keluarganya kadang-kadang tidak dapat dipercaya kaena mereka sering dianggap oleh keluarganya sebagai beban. Namun persetujuan harus diperoleh, juga kalau mereka telah dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, sebagai hasil keputusan pengadilan.
4. Riset pada mereka dengan status sosial yang lemah (vulnerable)

lainnya Kualitas persetujuan dari calon subjek golongan ini harus pula benar-benar diperhitungkan, karena sukarelawannya dapat terpengaruh karena keuntungan yang mereka peroleh sebagai hasil keikutsertaannya dalam penelitian. Mereka ini adalah mahasiswa kedokteran, atau siswa sekolah perawat, karyawan laboratorium dan karyawan rumah sakit, karyawan industri farmasi dan anggota angkatan bersenjata.
5. Risrt dalam masyarakat yang sedang berkembang (development

communities) Masyarakat pedesaan di negara yang sednag berkembang tidak mengerti konsep dan teknik ilmu kedokteran eksperimental. Selain itu dipedesaan ini sering terdapat kesakitan dan kematian dari berbagai penyakit yang mungkin tidak dijumpai di masyarakat yang maju. Riset 17

mengenai pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit terseut amatlah penting, dan hanya dapat dilaksanakan didaerah yang besar resikonya. Persetujuan keikutsertaan dalam penelitian masyarakat yang sedang berkembang ni dapat diperoleh melalui pemimpin formal/tokoh masyarakat yang dapat dipercaya, setelah mereka memberikan penjelasn secukupnya kepada masyarakat. Kewajiban Peneliti meliputi : 1. Melakukan penyempurnaan rancangan penelitian termasuk protokol dan petunjuk pelaksanaannya menjadi suatu dokumen resmi penelitian. 2. Melaksanakan penelitian sesuai dengan protokol penelitian. 3. Melaksanakan tertib administratisi dan kearsipan termasuk rekm medik dan informed consent setiap subjek penelitian.
4. Menyimpan laporan pelaksanaan penelitian yang tersiri dari:

a. b.

Laporan periodik Laporan khusus sesegera mungkin tentang kasus cacat, kematian subjek atau kasus serius lainnya yang tidak diduga sebelumnya dan dapat membahayakan subjek penelitian.

c. 2.2.3

Laporan akhir penelitian, paling lambat 3 bulan setelah penelitian selesai.

Persetujuan Mengikuti Penelitian (Informed Consent) Suatu hal yang harus diperoleh penelti dari subjek penelitian adalah

persetujuan mengikuti penelitian setelah penjelasan (Informed consent). Menurut Panitia Hak Asasi Komite Etik IFGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics), informed consent adalah persetujuan yang diperoleh secara bebas tanpa adanya tekanan atau bujukan, setelah subjek peneliti memperoleh keterangan yang wajar, jelas dan lengkap serta disampaikan dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh subjek penelitian. Peeliti harus menjelaskan semua keterangan menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan, manfaat dan resiko yang mungkin timbul dalam bahasa yang dapat dipahami oleh subjek penelitian. Sebagai tolok ukur bahwa sbjek telah 18

memahami penjelasan yang diberikan penelitian, ialah dengan meminta subjek sendiri menerangkan dengan kata-kata subjek menandatangani informed consent dan bagi mereka yang buta aksara dapat membubuhkan cap jempolnya dimuka saksi-saksi. Aspek yang perlu dicantumkan dalam suatu Persetujuan Keikutsertaan dalam Penelitian adalah sebagai berikut; 1. Pengakuan subjek penelitian bahwa ia secara sukarela bersedia berpartisipasi dalam penelitian itu. 2. Penjelasan tentang latar belakang dan sebab penelitian dilakukan. 3. Pernyataan tentang berapa lama subjek penelitian dilakukan perlu berpartisipasi dalam penelitian tersebut. 4. Gambaran tentang apa yang diharapkan dari subjek penelitian, setiap prosedur eksperimen perlu dijelaskan. 5. Gambaran mengenai manfaat dan resiko (efek samping) yang mungkin dialami subjek. 6. Gambaran tentang untung (termasuk imbalan) atau rugi bagu subjek. 7. Informed mengenai pengobatan dan alternatifnya yang akan diberikan kepada subjek bila mengenai resiko dalam penelitian tersebut. 8. Gambaran tentang terjaminnya rahasia biodata dari hasil pemeriksaan medik subjek. 9. Nama orang yang dapat memberikan penjelasan kepaa calon subjek penelitian tentang sifat penelitian, hak subjek sebagai peserta dan masalah medik yang mungkin timbul dalam pelaksanaan penelitian. 10. Pegertian bahwa partisipasi dalam penelitian adalah sukarela dan subjek dapat memutuskan untuk meninggalkan penelitian sewaktu-waktu tanpa dirugikan. 11. Jumlah subjek penelitian yang akan ikut serta dalam penelitian tersebut dan lokasi dimana penelitian akan dilaksanakan. 12. Penjelasan tentang penelitian kontrasesi, yang mungkin terjadi keagalan, dan resiko terhadap janin jika terjadi kehamilan dalam waktu penelitian itu.
2.2.4

Panitia Etik Penelitian

19

Dalam upaya melindungi subjek peelitian dan peneliti di rumah sakit pendidikan atau lembaga penelitian biomedik yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian, perlu dibentuk panitia etik (Ethical Commitee). Panitia etik bertugas sebagai kelompok kerja dalam mempertimbangkan masalah etik penelitian biomedik pada manusia dan memberikan saran serta rekomendasi yag berkaitan dengan sesuatu penelitian. Personalia panitia etik diupayakan terdiri dari berbagai unsur, pria dan wanita dengan aneka ragam keahlian dan latar belakang mencakup bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, psikologi, hukum, sosial0budaya, keagamaan dan tokoh masyarakat. Wewenang panitia etik semata-mata meninjau rancangan penelitian dari segi etik, hukum dan agama, sedangkan tinjauan dari segi ilmiahnya dilakukan oleh Panitia Tinjauan Kesejawatan (Peer review commitee), yang personalianya terdiri dari para pakar cabang ilmu terkait.

20

BAB 3. KASUS DAN ANALISIS 3.1 3.1.1 Transplantasi Organ Kasus Korban Pasien Cangkok Ginjal Di China

Ditulis oleh NTD China Kamis, 08 Januari 2009 Seorang perempuan Hubei mengatakan bahwa setelah menerima transplantasi ginjal di Wuhan, ayahnya meninggal karena infeksi paru-paru. Pada mulanya setelah berbulan-bulan terlihat seperti operasi yang sukses, lalu kondisinya memburuk, akhirnya kematian datang menjemputnya. Transplantasi ginjal itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup ayah Deng Li, akan tetapi ternyata berakhir dengan malapetaka. Deng mengatakan ayahnya yang berumur 44 tahun jatuh sakit setelah menerima transplantasi ginjal dari dokter di Rumah Sakit Wuhan University Zhongnan. Dan setelah 6 bulan kemudian dia meninggal karena infeksi paru-paru. Deng mengatakan bahwa orang-orang di pedalaman China hanya tahu sedikit tentang pengobatan medis yang mereka terima. Pada mulanya ayahnya berada dalam kondisi kesehatan yang bagus, dia hanya merasa sedikit tidak enak ketika pergi ke kamar mandi. Akan tetapi, pemeriksaan medis mengatakan bahwa dia akan meninggal kalau tidak menjalani operasi transplantasi ginjal.

21

Ahli bedah Wen Zhixiang mendorong pasien untuk menerima ginjal dari donor berumur 23 tahun. Setelah transplantasinya selesai, pasiennya malah menderita infeksi paru-paru 2 kali. Ketika anggota keluarga pasien mempertanyakan sumber ginjal itu, ahli bedah mengatakan kepada mereka bahwa ginjal itu berasal dari Rumah Sakit Militer 161 di Wuhan. Deng Li mengatakan:Dokter berkata: ginjal yang saya gunakan untuk mengganti ginjal ayahmu bukanlah berasal dari jalur resmi normal. Ini adalah bisnis pribadi. Dia memberitahukan kepada kita bahwa dia tidak dapat memberikan tanda terima karena ginjal itu tidak berasal dari sumber sah pemerintah. Akhirnya dia secara pribadi mengakuinya. Deng kemudian pergi ke Departemen Kesehatan Propinsi Hunan dan berbagai otoritas untuk menyelidiki secara persis darimana datangnya organ itu. Dia menemukan bahwa ahli bedah itu tidak memenuhi syarat sebagai seorang dokter tranplantasi ginjal. Deng dan keluarganya kemudian melakukan tuntutan hukum, akan tetapi pengadilan tidak bersedia menerima kasusnya. Seseorang di kantor pemerintah propinsi mengatakan kepada kami, 'Saya beritahu yang sebenarnya, ginjal ini adalah berasal dari tahanan yang dieksekusi. Ginjal ini datang dari pengadilan. Apa gunanya melakukan tuntutan hukum? Setelah itu, pihak rumah sakit malah mengancam saya untuk mencabut kasus itu kalau masih ingin hidup. Biaya untuk transplantasi organ melebihi 200.000 yuan, yang mana kebanyakan didapatkan keluarga pasien dari mengutang. Pengacara yang mereka sewa, menarik kasus tuntutan itu dan tidak mau membantu lagi karena terus menerima ancaman-ancaman dari pihak otoritas komunis. Mereka mengharapkan pihak dari luar China bisa memberikan sedikit bantuan. Sumber : http://erabaru.net/china-news-a-culture/44-china-update/824-korbanpasien-cangkok-ginjal-di-china- (di akses tanggal 12 November 2011)

22

3.1.2

Analisis

Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi (Ardi Pratama, 2011): 1. Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh orang itu sendiri. 2. Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke tubuh orang lain. 3. Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh spesies lainnya. Hingga waktu ini telah dikenal beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan, baik berupa sel, jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai berikut (M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999):
1.

Autograft, yaitu pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh itu sendiri. Allograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang sama spesiesnya. Isograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada gambar identik. Xenograft, yaitu pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang tidak sama spesiesnya. Ada dua komponen penting yang mendasari tindakan transplantasi, yaitu

2.

3.

4.

(Ardi Pratama, 2011): 1. 2. Eksplantasi, yaitu usaha mengambil jaringan atau organ manusia yang hidup atau yang sudah meninggal. Implantasi, yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau tubuh orang lain. Disamping itu, ada dua komponen penting yang menunjang keberhasilan tindakan transplantasi, yaitu (Ardi Pratama, 2011): 1. Adaptasi donasi, yaitu usaha dan kemampuan menyesuaikan diri orang hidup yang diambil jaringan atau organ tubuhnya, secara biologis dan psikis, untuk hidup dengan kekurangan jaringan / organ. 23

2.

Adaptasi resepien, yaitu usaha dan kemampuan diri dari penerima jaringan/ organ tubuh baru sehingga tubuhnya dapat menerima atau menolak jaringan / organ tersebut, untuk berfungsi baik, mengganti yang sudah tidak dapat berfungsi lagi. Kasus di atas termasuk dalam jenis transplantasi hemotransplantasi dan

Allografi karena organ ginjal diterima dari orang lain. Kemudian, asal usul organ yang ditransplantasikan belum jelas karena dokter yang melaksanakan pembedahan ternyata mendapatkan organ ginjal dengan cara ilegal. Dalam kasus ini, adaptasi resipien kurang baik dengan bukti bahwa pasien selanjutnya menderita infeksi paru dua kali bahkan berujung pada kematian. Ini berararti tubuh pasien menolak organ ginjal yang ditransplantasikan sehingga justru tidak membuat kinerja organ menjadi lebih baik, malah menimbulkan infeksi organ lainnya. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi Terkait Kasus Korban Pasien Cangkok Ginjal Di China Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah (a) donor hidup, (b) jenazah dan donor mati, (c) keluarga dan ahli waris, (d) resepien, (e) dokter dan pelaksana lain, dan (f) masyarakat. Hubungan pihak pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplantasi akan dibicarakan dalam uraian dibawah ini (Ardi Pratama, 2011): a. Donor Hidup Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah. 24

b.

Jenazah dan donor mati Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh sungguh untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan

c.

Keluarga donor dan ahli waris Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah timbulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.

d.

Resipien Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.

e.

Dokter dan tenaga pelaksana lain 25

Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat persetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal hal yang mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tanggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan pertimbangan kepentingan pribadi.
f. Masyarakat

Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh. Dalam kasus ini, jelas terjadi timbulnya rasa tidak puas dari keluarga korban. Selain karena terjadi infeksi paru paru pasca operasi, kenyataan bahwa organ yang diterima adalah ilegal baik sumber maupun cara mendapatkanyya, keluarga juga harus menerima penolakan pengadilan yang tidak mau menerima kasusnya. Kesepakatan awal tidak mencirikan adanya rasa etika dan bermoral dari dokter yang bersangkutan. Dalam hal ini, dokter yang menangani pembedahan ternyata bukan seseorang yang ahli, sehingga infeksi pasca operasi transplantasi masih terjadi. Dan terungkap bahwa dokter tersebut memilki motif bisnis pribadi dalam hal ini, yang mana berarti dokter telah melanggar soal etika dan moral. Dokter tidak mematuhi prosedur yang ada dengan mencari organ melalui jalur non resmi.

26

3.2

Riset Biomedik pada Manusia 3.2.1 Kasus Inseminasi Buatan (Bayi Tabung) Perkembangan teknologi kedokteran telah mengalami lompatan yang sangat menakjubkan, salah satunya adalah tekonologi rekayasa reproduksi atau Assisted Reproductive Technology (ART) atau yang dikenal dengan bayi tabung. Teknologi ini dapat dinikmati dengan harga sekitar 10- 20 juta rupiah per satu siklus, tergantung dari institusi yang melakukan. Angka keberhasilan bayi tabung di Indonesia sudah semakin meningkat, disamping karena faktor teknologi juga tergantung dari faktor umur sang ibu. Inseminasi buatan ini sendiri dilakukan pada kasus-kasus infertilitas. Dimana seorang wanita mempunyai masalah reproduksi berupa hipofungsi ovarium, gangguan pada saluran reproduksi dan rendahnya kadar progesterone. Sedangkan pada pria berupa abnormalitas spermatozoa kriptorkhid, azoospermia dan rendahnya kadar testosteron. Selain untuk memperoleh keturunan, faktor kesehatan juga merupakan fokus utama penerapan teknologi reproduksi. Untuk alasan yang kedua ini, masih belum banyak dikenal di Indonesia, tetapi tidak tertutup kemungkinan di masa mendatang. Inseminasi buatan ini dapat dilakukan dengan 2 cara: 1. Teknik IUI (Intrauterine Insemination), dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim hingga ke lubang uterine (rahim). 2. Teknik DIPI (Direct Intraperitoneal Insemination), dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum). Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak 0,52 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi terlentang selama 1015 menit. Resiko injeksi sperma ini adalah terjadinya kerusakan genetika. Secara alamiah, sperma yang sudah dilengkapi enzim bernama akrosom berfungsi sebagai pengebor lapisan pelindung sel telur. Dalam proses pembuahan secara alamiah, hanya kepala dan ekor sperma yang masuk ke dalam inti sel telur. Sementara dalam 27

proses inseminasi buatan, enzim akrosom yang ada di bagian kepala sperma juga ikut masuk ke dalam sel telur. Selama enzim akrosom belum terurai, maka pembuahan akan terhambat. Selain itu prosedur injeksi sperma ini juga memiliki resiko melukai bagian dalam sel telur, yang berfungsi pada pembelahan sel dan pembagian kromosom. Sehingga bayi dari hasil inseminasi buatan memiliki resiko cacat bawaan lebih besar dibandingkan pada bayi normal. Selain hal di atas, saat ini telah dikenal istilah Surrogate Mother atau ibu susu. Program Surrogate Mother (SM) ini dilakukan untuk : 1. Inseminasi buatan (Artificial Insemination /AI). Sperma berasal dari suami dan ovum berasal dari si SM, secara hukum istri harus mengadopsi anak tersebut 2. Fertilisasi in-vitro/ transfer embrio (in-vitro fertilization/ IF atau Embryo Transfer/ET). Embrio yang merupakan hasil kombinasi sel telur dari istri dan sperma dari suami yang diimplantasikan pada rahim SM. Anak yang dilahirkan tidak memiliki hubungan darah dengan si SM. Nama pasangan suami istri tersebut dapat ditulis pada akte kelahiran si anak. 3. Fertilisasi in-vitro/ donor sel telur (In-vitro fertilization/ INV with Egg Donor / EG). Sel telur berasal dari pendonor atau penderma dan sperma berasal dari sang suami. Kemudian embrio ditanam di rahim si SM. Secara genetic anak tersebut tidak berhubungan darah dengan si SM. Secara hukum hanya nama sang ayah (suami) saja yang dicantumkan pada akte kelahiran anak. Si istri mengadopsi anak tersebut 4. Inseminasi buatan dengan donor ( Artificial Insemination by Donor / AID). Sel telur berasal dari SM dan sperma berasal dari penderma. Embrio kemudian diinjeksikan ke dalam rahim si SM. Program ini dilakukan karena pasangan suami istri mandul. Secara genetik si anak berhubungan darah dengan si SM. Suami dan istri keduanya dapat mengadopsi anak tersebut 5. Donor Sel Telur (Egg Donor). Si SM mendonorkan sel telurnya dan dibuahi oleh sel sperma dari sang suami. Embrio tersebut ditanamkan pada rahim si istri. Si anak berhubungan darah dengan si SM, namun karena istri yang

28

mengandung dalam rahimnya. Maka si istri tidak perlu mengadopsi anak tersebut. 6. Embrio Somatik. Embrio berasal dari perkembangan teknologi seperti kloning. Di Amerika Serikat saat ini sudah terdapat peraturan yang mengatur dan mengijinkan hal ini. Bahkan dipandang dari sisi etis, hal ini sudah dianggap sesuatu yang etis karena untuk dapat menjadi seorang SM harus memenuhi kriteria baik fisik maupun psikologis yang ditetapkan oleh Surrogate Mother Inc. Sumber:http://deetha-nezz.blogspot.com/2011/06/inseminasi-buatan-bayitabung.html (diakses tanggal 12 november 2011) 3.2.1 Analisis Kasus Kemajuan iptek kedokteran bartumpu pada riset yang dilakukan,termasuk riset biomedik yang di lakukan pada manusia sebagai subjek. Riset biomedik yang melibatkan manusia sebagai subjek penilitian (riset biomedik pada manusia) tidak dapat di hindarkan, walaupun telah di lakukaan uji coba pada hewan, karna adanya perbedaan spesies antara ke duanya. Jadi walaupun hasil ujicoba pada hewan ternyata efektif dan aman, belum tentu hasilnya sesuai dengan manusia sebagai subjek. Uji coba pada manusia sebagai final test site harus di lakukan juga dan ini memerlukan persyaratan dan pengawasan yang ketat termasuk dari segi etik oleh peneliti-peneliati yang kompeten, jujur,objektif dan terbuka, Pembuatan bayi tabung di Indonesia ditinjau dari segi etika tidak melanggar, tapi dengan syarat sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah. Jangan sampai sperma berasal dari bank sperma, atau ovum dari pendonor. Sementara untuk kasus, sperma dan ovum berasal dari suami-istri tapi ditanamkan dalam rahim wanita lain alias pinjam rahim, masih banyak yang mempertentangkan. Bagi yang setuju mengatakan bahwa si wanita itu bisa dianalogikan sebagai ibu susu karena si bayi di beri makan oleh pemilik rahim. Tapi sebagian yang menentang mengatakan bahwa hal tersebut termasuk zina karena telah menanamkan gamet dalam rahim yang bukan muhrimnya. Tetapi sebenarnya UU RI No.23 Thn.1992 tentang kesehatan

29

pasal 16 ayat (1) dan (2) a, b ditegaskan bahwa Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, tetapi upaya kehamilan tersebut hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah yaitu: hasil pembuahan sperma dan ovum harus berasal dari pasangan suami istri tersebut, untuk kemudian ditanamkan dalam rahim si istri. Jadi untuk saat ini wacana Surrogate Mother di Indonesia tidak begitu saja dapat dibenarkan. Untuk pemilihan jenis kelaminpun sebenarnya secara teknis dapat dilakukan pada inseminasi buatan ini. Dengan melakukan pemisahan kromosom X dan Y, baru kemudian dilakukan pembuahan in vitro sesuai dengan jenis kelamin yang diinginkan. Dengan banyaknya perbedaan pendapat dari banyak pihak terkait, para dokter menambil suatu kesimpulan berdasarkan pada Deklarasi Helsinki, yaitu antara lain: 1. 2. Riset biomedik pada manusia harus memenuhi prinsip-prinsip ilmiah dan didasarkan pada pengetahuan yang adekuat dari literatur ilmiah Desain dan pelaksanaan experimen pada manusia harus dituangkan dalam suatu protokol untuk kemudian diajukan pada komisi independen yang ditugaskan untuk mempertimbangkan, memberi komentar dan kalau perlu bimbingan 3. Penelitian biomedik pada manusia hanya boleh dikerjakan oleh orang-orang dengan kualifikasi keilmuan yang cukup dan diawasi oleh tenaga medis yang compete 4. Dalam protokol riset selalu harus dicantumkan pernyataan tentang norma etika yang dilaksanakan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi Helsinki. Dengan demikian, masih diperlukan campur tangan pemerintah untuk membuat suatu aturan resmi mengenai pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang lebih intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi ini.

30

Bab 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan Transpalantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang sangat bermanfaat bagi pasien dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Ini adalah terapi pengganti (alternatif) yang merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organnya, karena hasilnya lebih memuaskan dibandingkan dengan terapi konservatif. Pasal 1 ayat 5 UU Kesehatan Memberikan pengertian Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Riset biomedik pada manusia harus bertujuan untuk menyempurnakan tatacara diagnosis, terapi, pencegahan serta pengetahuan tentang etiologidan patogenesis penyakit. Tujuan akhir ilmu pengetahuan adalah untuk kesejahteraan umat manusia, jadi nilai sebenarnya suatu ilmu pengetahuan terletak pada penerapannya dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu diingat bahwa dalam riset biomedik pada manusia, kesejahteraan individu lebih penting dari penemuan ilmiah baru apapun. 4.2 Saran

31

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Inseminasi Buatan Bayi Tabung. [serial online]. http://deethanezz.blogspot.com/2011/06/inseminasi-buatan-bayi-tabung.html (12 november 2011) Hanafiah, M. Jusuf dan Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. NTD, China. 2009. Korban Pasien Cangkok Ginjal Di China. [serial online]. http://erabaru.net/china-news-a-culture/44-china-update/824-korban-pasiencangkok-ginjal-di-china-. (12 november 2011) Pratama, ardi. 2011. Transplantasi Organ. [serial online]. http://www.scribd.com/doc/47358769/Transplantasi-Organ (12 november 2011)

32

Anda mungkin juga menyukai