Nanopartikel
Nanopartikel
Nanopartikel
Disusun oleh: KHAIRUL AMRY (N11109294) SASMITA SARI (N11109299) RESTI ANUGERAH R (N11109300) SYAHRIANI SYAHRIR (N11109301)
MAKASSAR 2012
1. Pengertian Nanopartikel Nanopartikel didefinisikan sebagai suatu dispersi partikulat atau partikel padat dengan ukuran berkisar pada range 10-1000nm. Obat yang dilarutkan, entrapped, di kapsulasi atau attached pada matriks
nanopartikel. Dengan mengandalkan metode preparasi, nanopartikel, nanosphere atau nanokapsul dapat diperoleh. Nanokapsul merupakan sistem dimana suatu sediaan obat dibatasi ruangnya dengan
membungkusnya dalam suatu membran polimer, sedangkan nanosphere merupakan sistem matriks dimana suatu obat dapat terdispersi secara seragam.
Sekarang ini, kemampuan biodegradasi polimer nanopartikel dimana suatu partikel disalut dengan polimer hidrofilik seperti poli(etilen glikol) atau PEG yang diketahui sebagai partikel long-circulating yang telah digunakan sebagai pelengkap dari penghantaran potensial obat karena kemampuan dari sediaan obat untuk beredar (sirkulasi) pada waktu yang lama pada organ target khusus, sebagai pembawa DNA pada terapi gen dan kemampuannya pada penghantaran protein, peptida dan gen.
2. Keuntungan Nanopartikel Beberapa keuntungan dari penggunaan nanopartikel sebagai sistem panghantaran pada sediaan obat : 1. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan dari nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi untuk mencapai target obat pasif maupun aktif setelah pemberian parenteral. 2. Nanopartikel dapat dijadikan sebagai metode pelepasan obat (pelepasan terkontrol dan pelepasan berlanjut) dari sediaan obat selama penghantaran dan kerja lokal, perubahan distribusi pada organ dari obat dan eliminasi obat untuk mencapai peningkatan efek terapeutik dan mengurangi efek samping. 3. Pelepasan terkontrol dan karakteristik degradasi dari partikel yang dapat dengan segera diatur dengan pemilihan matriks. Muatan obat yang relatif tinggi dan obat dapat digabungkan ke dalam sistem tanpa adanya reaksi kimia, dan ini merupakan faktor yang penting untuk menjaga aktifitas obat. 4. Target site-specific dapat dicapai dengan menyerang ligan targen pada permukaan partikel atau menggunakan magnetic guidance. 5. Sistem ini dapat digunakan untuk rute yang bervariasi pada penghantaran termasuk oral, nasal, parenteral, intraokular, dan lainnya.
3. Teknologi Nanopartikel Pembuatan Tulang Sintesis Pada ilmu ortopedi, pencangkokan tulang menggunakan
perkembangan dari bentuk tulang dalam kerusakan osseous disebabkan oleh trauma atau intervensi operasi. Materi pencangkokan biasanya digunakan untuk menutupi kerusakan pada tulang atau memudahkan penyatuan. Bracing, casting, external fixation atau instrumen internal untuk sementara waktu dapat menstabilkan bagian yang rusak dengan proses perbaikan, tetapi proses biologi dari pertumbuhan tulang baru dan penyatuannya merupakan hasil akhir yang terpenting. Beberapa syarat yang menunjang definisi. Bahan osteokonduktif menyediakan gantungan dimana tulang baru dapat dibentuk, bahan osteoinduktif menginduksi sel prekursor, bahan osteopromotif
menginduksi proliferasi dari osteoblas, dan bahan osteogenik memiliki kemampuan secara langsung untuk menyediakan sel pembentuk tulang. Bahan pencangkokan tulang yang ideal harus memiliki segala sifat ini. 3.1 Tulang buatan dan komposisinya 3.1.1 Tulang buatan dari coral laut Para ahli telah menggunakan koral sebagai bahan pengisi tulang (bone filler) dan bahan perancah (scaffold). Tapi koral sulit diolah sesuai kebutuhan individu yang memerlukan Dan pada akhirnya menuai protes dari para pencinta lingkungan, mengingat untuk membuat diperlukan coral laut yang sangat banyak.
3.1.2 Tulang buatan dari tulang manusia lain Hal lain juga bisa dilakukan dengan menggunakan tulang manusia lain, biasanya tulang orang yang telah meninggal. Namun, hal ini berisiko karena kerap kali ada perbedaan imunologi yang menjadikan pergantian tulang tidak berjalan baik. Dengan cara ini, risiko penularan penyakit juga sangat besar. 3.1.3 Tulang buatan dari kapur (hidroksi apatit) Dua dasa warsa terakhir ini banyak dikembangkan material Hidroksiapatit (HA) dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 sebagai tulang sintetis. Di samping sifat-sifat yang menonjol dari Hidroksiapatit adalah berpori, terserap ulang (resorpsi), bioaktif, tidak korosi, inert dan tahan aus. Akan tetapi kelemahan sifat-sifat pada Hidroksiapatit adalah getas, mudah patah, ini menjadi kendala dalam desain. Upaya untuk itu telah dilakukan penelitian sintesis Ti-HA dengan mensubstitusi titanium pada Hidroksiapatit dengan cara basah/ larutan di Laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik ditinjau dari aspek porositas, densitas, daya serap air, kuat tekan, kekerasan, kuat tarik dan modulus elastisitas. Pada penelitian ini dilakukan sintesis Hidroksiapatit yaitu
mereaksikan suspensi 0,5M Ca(OH)2 dan 0,3M H3PO4 (Mo). Sintesis TiHA dilakukan dengan mereaksikan 0,3M H3PO4 dengan konsentrasi tetap yang telah dicampur dengan larutan TiCl3 dengan variasi ; 0,490M Ca(OH)2 dan 0,010M TiCl3 (Ml); 0,485M Ca(OH)2 dan 0,015M TiCl3 (M2)
; 0,480M Ca(OH)2 dan 0,020M TiCl3 (M3) ; 0,475M Ca(OH)2 dan 0,025M TiCl3 (M4). Reaksi dilakukan dalam reaktor dengan pengadukan terus menerus dan dimonitor pH, saat reaksi suhu dipertahankan 40-50C. Reaksi dilakukan selama 2 jam dan dilakukan replikasi 4 kali. Hasil dicuci dengan aquades supaya bebas khlor, disaring kemudian dipanasi pada suhu 110C. Hasilnya dihaluskan berupa serbuk dan dicetak dalam bentuk kubus untuk uji kuat tekan, silinder tipis untuk uji kekerasan dan sifat fisika, bentuk balok untuk uji degradasi. Dari kelima senyawa hasil sintesis M0, M1, M2, M3, M4 diidentifikasi komposisi kimianya dengan sinar-x. Pada senyawa hasil sintesis Titanium-Hidroksiapatit substitusi 0,025M TiCl3 (M4) dilakukan analisis DTA dan TGA untuk menentukan suhu pembakaran yaitu 800C, 1000C, 1100C, 1200C. Hasil
pembakaran, pada Hidroksiapatit suhu 1200C, dan hasil sintesis Titanium-Hidroksiapatit suhu (M4) 1000c, 1100c, 1200c diidentifikasi komposisi kimianya dengan sinar-x. Hasil komposisi kimia dari
Hidroksiapatit adalah Ca5(PO4)3OH; Ca3(PO4)2.xH2O ; Ca3(PO4)2, sedang hasil komposisi kimia dari sintesis Titanium-Hidroksiapatit (M4) adalah CaS(PO4)30H; Ca Ti(PO4)6; Ca3(PO4h .xH20 ; Ca5(PO4)3OH; Ca Ti(PO4)6; Ca3(PO4)2.xH2O; Ca3(PO4)2. Kemudian dilakukan pengujian sifat mekanik yang meliputi porositas, densitas, daya serap air, kuat tekan, kekerasan, kuat tarik dan modulus elastisitas. Pengujian didapat makin tinggi suhu pembakaran dan
makin tinggi substitusi titanium pada HA makin kecil porositasnya. Harga densitas makin besar dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tingginya substitusi titanium pada HA. Harga daya serap air makin kecil dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tingginya substitusi titanium pada HA Harga daya serap Ti-HA (M4) pada suhu 1200C adalah 0,49% lebih kecil dibanding dengan Hidroksiapatit (M0) adalah 3,28%. Harga kuat tekan makin tinggi dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tingginya substitusi titanium pada HA. Harga kuat tekan pada Ti-HA (M4) suhu 1200C adalah 36,268 MPa dan lebih tinggi dibanding dengan Hidroksiapatit (M0) 24,162 MPa . Harga kekerasan makin tinggi dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tinggi substitusi titanium pada HA. Harga kekerasan pada Ti-HA (M4) pada suhu 1200C adalah 18,093 MPa dan pada HA (M0) adalah 11,878 MPa. Harga kuat tarik makin tinggi dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tingginya substitusi titanium, demikian pula harga modulus elastisitas makin naik dengan makin naiknya suhu pembakaran dan makin tinggi substitusi titanium pada HA Harga kuat tarik pada Ti-HA (M4) pada suhu 1200C adalah 4,690 MPa dan pada HA (M0) adalah 2,542 MPa. Adapun harga Modulis Elastisitas pada Ti-HA (M4) pada suhu 1200C adalah 53,295 MPa dan pada HA (M0) adalah 30,622 MPa. Pengujian degradasi dilakukan dengan merendam senyawa hasil dengan larutan SBF/ Syntetic Body Fluid selama 12 minggu, hasil bentuk
fisik HA maupun Ti-HA tetap seperti semula, tidak terdekomposisi dan tidak terdegradasi. Pengujian biokompatibilitas dilakukan dengan pengujian toksik dan penumbuhan sel fibroblast (cell line BHK 21 clone 13) secara in vitro, dengan hasil pengujian HA(M0) maupun Ti-HA (M4) pada suhu 1200 C tidak toksik dan dapat ditumbuhi sel, pertumbuhan sel yang terbanyak adalah Ti-HA (M4) pada suhu l000C. Hasil sintesis substitusi titanium pada Hidroksiapatit pada penelitian ini adalah meningkatkan sifat mekanik meliputi porositas, densitas, daya serap air dan kuat tekan, kekerasan serta memenuhi persyaratan sebagai biomaterial tulang sintetis. Adapun senyawa Ti-HAyang diperoleh M1, M2, M3, M4 dapat digunakan sebagai tulang sintetis alternatif: yang dalam aplikasinya harus disesuaikan dengan peruntukan dan tempat implannya perlu dikaji lebih lanjut. 3.1.4 Tulang Buatan Dari Gipsum (Karbonat Apatit) Potensi untuk menghasilkan tulang buatan ini terbuka luas, mengingat Indonesia sangat kaya akan mineral, yakni gipsum dan batu kapur. Dengan memakai bahan gipsum dan batu kapur ini biayanya bisa ditekan sehingga harganya bisa lebih murah, menjadi Rp 200.000 per gram. Cara ini juga ramah lingkungan dan tak berisiko sebagaimana halnya bila memakai tulang manusia. Terlebih lagi, proses penyerapan
oleh jaringan tubuh berjalan lancar. Sehingga remodeling tulang menjadi sempurna. Hal ini disebabkan zat karbonat apatit sesuai jaringan tubuh. Berdasarkan riset yang telah dilakukan, proses penggantian tulang cedera menggunakan karbonat apatit lebih bagus jika dibandingkan dengan cara kimiawi yang sudah digunakan yang disebut dengan hidroksi apatit yang menunjukkan remodeling tulang berjalan lambat. Jika menggunakan hidroksi apatit dalam waktu 2-4minggu masih tersisa hidroksi apatitnya. Tetapi jika menggunakan karbonat apatit setelah empat minggu tulang baru yang benar-benar bersih sudah dapat
menggantikannya. Pembuatan tulang dari gipsum dan batu kapur ini menggunakan teknik karbonasi dan fosfatisasi. Dengan cara itu, batu kapur dan gipsum bisa diubah menjadi karbonat apatit yang memiliki kandungan yang sesuai dengan sistem metabolisme dan jaringan tulang manusia. Dalam sistem kimiawi dasar, gipsum merupakan kalsium solfat, sedangkan kapur adalah kalsium hidroksida. Ketika dicampur air, sesuai sifatnya gipsum akan menjadi bahan yang mudah dibentuk. Sedangkan kapur ketika bereaksi dengan karbon dioksida akhirnya bisa membentuk kalsium karbonat. Selanjutnya dengan fosfatisasi akhirnya membentuk karbonat apatit. Gipsum disini hanya membentuk setting-nya untuk pembentukan tulang sesuai yang dibutuhkan.
3.2 Tulang buatan nanopartikel Tulang alami telah diketahui dengan baik sebagai suatu jenis nanokomposit organik-inorganik 3 dimensi yang berjalin yang terdiri dari kristal hydroxyapatite (HAp, Ca10(PO4)6(OH)2) yang tersimpan dalam fibrous kolagen. Struktur spesifik ini mengarah pada keuntungan kombinasi yaitu fleksibiliti karena kolagen fibrous dan kekuatan mekanik yang tinggi karena apatit tulang. Mengembangkan bahan bioaktif karbonat apatit dari beberapa jenis mineral untuk dijadikan scaffold atau perancah tulang berporus tiga dimensi adalah sesuatu hal mungkin. Jika serbuk scaffold yang diproduksi dapat dikombinasi agar tidak usah prefabrikasi, akan lebih menguntungkan. Sebab nantinya penggantian tulang menjadi lebih baik karena bahan penggantinya dapat disuntikkan, mengisi bagian yang hilang, dan membentuk porus nano-interkonektif di dalam tubuh. Nano kalsium dan posfat komposit dipergunakan sebagai tulang sintetis sebagai pengganti tulang manusia. Contohnya BATAN, P2TBDU mengembangkan teknologi pelapisan grafit pada struktur untuk menjadi pelumas padat. P3IB sedang mengembangkan bahan fero magnetik untuk agen kontras MRI, dan nanokomposit NdFeB. P3TIR sedang membuat bio-material hydroxyapatite (HAp) sebagai bahan biokompatibel untuk mengganti bahan gigi dan tulang manusia.
3.2.1 Nanokomposit 1. chitosan-Hap nanocomposites Chitosan dihasilkan dari kitin yang merupakan polisakarida natural yang ditemukan pada kepiting, udang, lobster, koral, jamur dan fungi. Diantara polimer organik, chitosan memiliki karakteristik yang menarik sebagai tulang sintesis seperti toksisitas rendah,
biodegradabilitas, dan fleksibilitas tinggi. Sebagai tambahan chitosan mempunyai sisi untuk pembentukan kompleks dengan kalsium.
Kombinasi antara Chitosan dan Hidroksiapatit dapat meniru karakteristik tulang alami dibandingkan dengan hanya Chitosan atau hanya Hidroksiapatit saja. Chitosan-Hap nanocomposites disiapkan melalui reaksi mekanokimia
1. 1 g serbuk chitosan dilarutkan dalam 120 ml larutan asam asetat 0,2 mol/L kemudian diaduk selama 30 menit 2. pH larutan kemudian diatur pada pH 10 dengan larutan berair amonia 3. Calcium hydrogen phosphate dihydrate dan calcium nitrate tetrahydrate ditambahkan pada chitosan, kemudian diaduk selama 5 menit 4. Setelah itu dilakukan penggilingan dengan ball-mill pada suhu lingkungan selama 9 jam 5. Setelah penggilingan diaduk pelan pada berbagai temperatur dari 25-600C selama 24 jam 6. Disaring dan residu dicuci dengan ultrapure water sampai pH netral 7. Dikeringkan pada suhu 600C dalam oven
4. Teknologi Nanopartikel Menciptakan Obat HIV Para peneliti berupaya memasukkan molekul obat HIV dalam partikel polimer yang sangat kecil yang mengeluarkan obat secara perlahan waktu disuntikkan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan terapi HIV: ART suntikan yang dapat kita pakai sebulan sekali.
Perusahaan dan obat yang paling jauh menjalani penelitian ini adalah Tibotec/Johnson and Johnson dengan rilpivirine (TMC278), obat golongan NNRTI yang masih belum disetujui. Rilpivirine dipilih karena bentuk tabletnya mempunyai masa paruh yang lama dan bioavailabilitas yang tinggi, yang berarti dosis sehari sekali hanya 25mg (dibandingkan dengan 600mg untuk protease inhibitor (PI) darunavir produksi Tibotec). Dr. Gerben van tKlooster mempresentasikan temuan ini dalam Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) ke-15 di Boston. Tibotec membentuk TMC278 sebagai penyangah partikel kecil yang dikeluarkan secara perlahan. Mereka tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana partikel ini dibuat, tetapi mengatakan bahwa pembuatannya melibatkan teknologi NanoCrystal. Partikel ini kurang lebih berdiameter 200 nanometer (nm, seperlimaribu milimeter), yang
sebanding dengan ukuran virus HIV (120nm). Kemudian dalam beberapa percobaan, penyanggah ini didosiskan sebagai suntikan di bawah kulit atau dalam otot pada tikus (dengan dosis 20mg per kg) dan pada anjing (dengan dosis sampai 300mg per hari). Suntikan tunggal dari satu bentuk tertentu kemudian diberikan secara subkutan atau intramuskular pada relawan yang HIV-negatif dengan dosis obat 200, 400 dan 600mg.
Rilpivirine dengan pelepasan sustained-release, memberi tingkat obat yang tertahan dan dapat diukur selama dua bulan pada tikus dan selama enam bulan pada manusia. Dalam penelitian terhadap hewan, pemberian subkutan memberikan tingkat obat yang tertahan lebih lama dibandingkan dengan pemberian intramuskular. Tetapi tidak ada perbedaan pada manusia. Ini adalah sesuatu yang baik karena relawan pada penelitian ini mengalami efek samping yang cukup tinggi benjolan yang keras (indurasi), nyeri dan pembengkakan pada tempat suntikan yang terjadi pada suntikan di bawah kulit namun tidak terjadi pada suntikan dalam otot. Gerben van tKlooster mengatakan bahwa konsentrasi obat paling tinggi tercapai kurang lebih tiga jam setelah suntikan. Tingkat dalam tubuh setelah satu dosis menurun ke tingkat IC90 efektif yang terendah dengan konsentrasi rilpivirine 94ng/ml (nanogram per milliliter) dalam beberapa hari. Tetapi uji coba pada anjing menunjukkan bahwa dengan dosis berulang mencapai tingkat obat yang stabil dalam tubuh. Van tKlooster menunjukkan model PK yang masih berupa teori ini menunjukkan bahwa setelah tingkat stabil ini tercapai, suntikan secara bulanan kemungkinan cukup untuk memastikan konsentrasi rilpivirine tidak turun di bawah batas IC90. Van tKlooster mengatakan langkah selanjutnya adalah untuk memekatkan rilpivirine dalam nanopartikel secara lebih efisien sehingga volume yang disuntikkan dapat dikurangi.
Dia menambahkan: Saya berharap saya meyakinkan Anda terhadap kemungkinan munculnya pemberian dosis antiretroviral (ART) yang benarbenar dilakukan dengan jangka waktu yang lama pada rangkaian profilaksis dan terapeutik, memberi isyarat bahwa Tibotec juga tertarik dengan bentuk suntikan yang dikeluarkan secara perlahan ini untuk dipakai sebagai profilaksis pre-exposure (PrPP) atau dalam mikrobisida. Dia mengatakan bahwa Tibotec secara aktif mencari molekul untuk dipasangkan dengan rilpivirine sehingga terapi suntikan kombinasi tersebut dapat ditemukan. Dia mengatakan bahwa obat semacam darunavir memerlukan dosis harian yang terlalu besar untuk
memungkinkannya dijadikan sebagai formulasi injeksi yang dikeluarkan secara perlahan, karena volume injeksi yang besar tidak dapat ditoleransi. Tetapi kelompok lain yang berpusat di Universitas Creighton di Omaha, Nebraska, berhasil menciptakan nanopartikel yang mengandung lopinavir, ritonavir dan efavirenz yang dapat dikeluarkan secara perlahan. Sejauh ini mereka hanya melakukan uji coba terhadap unsur pengeluaran obat dari partikel dengan menahannya dalam medium di piring laboratorium. Tingkat obat terbanyak yang dapat dicapai dalam medium ini tercapai dalam enam hari, tetapi pada hari ke-30 konsentrasi obat dalam medium tersebut masih ada, lebih dari 30mg/ml obat bahkan dengan perubahan medium secara rutin,. Mereka juga melakukan uji coba
untuk menunjukkan bahwa nanopartikel mudah diserap oleh makrofag yang diambil dari monosit manusia, sejenis sel sistem kekebalan. Dari keterangan lain menggambarkan secara rinci cara memakai nanopartikel. Dalam uji coba lain di Universitas Creighton, ilmuwan berhasil memasukkan Indinavir ke dalam nanopartikel kemudian
mengambil makrofag yang diambil dari sumsum tulang belakang ( bonemarrow-derived macrophag/BMM), sejenis sel sistem kekebalan lain, untuk menyerapnya. Kemudian obat ini diinjeksikan pada tikus yang pernah mempunyai ensefalitis terkait HIV. BMM secara luar biasa mampu berpindah menuju otak tempat sel dirusak karena peradangan terkait HIV. Sebaliknya BMM tidak ditemukan di bagian otak yang tidak meradang. Model ini memberi cara yang luar biasa dan sangat tepat untuk membidik obat yang biasanya tidak mampu menembus sawar darah-otak secara efisien, mencapai bagian otak yang paling membutuhkan obat tersebut. Terakhir, tim dari Universitas North Carolina mengaitkan CCR5 inhibitor yang biasanya tidak aktif pada nanopartikel emas, dengan demikian kegiatan anti-HIV dapat diaktifkan kembali. Tujuan untuk melakukan ini adalah untuk menciptakan molekul kompleks obat-emas yang besar yang dapat berperan sebagai dan berinteraksi dengan protein virus yang besar, dan pada akhirnya mengembangkan mekanisme untuk memasukkan unsur ke dalam ruang sel yang terbukti sulit dibidik dengan obat molekul kecil. Sebuah contoh termasuk faktor kemampuan virus
untuk menulari (viral infectivity factor/vif), protein HIV tambahan yang selama bertahun-tahun merupakan target yang menggiurkan untuk mengantar obat HIV tetapi selama ini terhindar dari obat penghambat.
Para peneliti percaya bahwa nanopartikel emas dapat menjadi sumber kehidupan baru karena menjanjikan sumber obat yang baru. Mengingat obat yang
sebelumnya didesain untuk menghentikan HIV, tidak dipergunakan lagi karena efek sampingnya. Obat tersebut adalah TAK-779, yang pertama kali diajukan oleh para peneliti pada 1996 dan dibuktikan efektif menahan virus dari sistem kekebalan tubuh. Tapi dihentikan pada 2005 karena ditemukan tanda iritasi pada bekas injeksinya, sedangkan penggunaan secara dosis minum kurang efektif.
Para peneliti telah mengetahui bahwa molekul garam amoniak memicu hasil yang jelek. Namun mereka tidak dapat menemukan pengganti yang mampu menunjukkan fungsinya dengan mengikatkan obat ke sel T, yaitu sel darah putih yang melawan infeksi termasuk HIV. Meski TAK-779 dikatakan sukses, Christian Melander, asisten profesor kimia di Universitas negeri North Carolina mengatakan para
ilmuwan terus mencari penggantinya, yang mungkin mereka ternyata telah menemukannya.
Universitas negeri North Carolina, dan Daniel Feldheim, dari asosiasi profesor analitik dan material kimia di Universitas Colorado, melaporkan pada Journal of the American Chemical Society bahwa nanopartikel emas mungkin adalah jawabannya. Para teknisi di MIT telah mempelajari potensial nanopartikel emas yang digunakan untuk menembus membran pelindung disekitar sel tanpa merusaknya. Tapi, ketika ilmuwan MIT menggunakan nanopartikel sebagai perantara pengantar obatnya, Melander dan timnya ingin nanopartikel juga menjadi bagian dari obatnya itu sendiri.
Peneliti menemukan pada tes di laboratorium dimana 12 molekul TAK-779 (yang dimodifikasi tanpa mengandung molekul garam amonia)
dirangkaikan dengan satu nanopartikel emas, memberikan hasil yang sama untuk menahan HIV. Ukuran dari partikel emas (dengan diameter 2 nanometer) cocok dengan protein HIV yang mereka coba menahannya. Ini akan
membuatnya cocok untuk menghentikan protein viral dari kontak dengan reseptornya.
Masalahnya adalah HIV akan menyerang reseptor yang berbeda pada sel T. Dan hambatan lainnya adalah bahwa HIV memiliki kemampuan untuk bermutasi, dan dapat menjadi kebal terhadap obat yang diberikan untuk kesekian kalinya. Langkah berikutnya dari para peneliti ini adalah membuat nanopartikel mampu mengantar obat anti-HIV langsung ke otak manusia, dimana HIV bersembunyi, bereplikasi dan bermutasi.
Daftar Pustaka 1. Van tKlooster G et al. Long-acting TMC278, a parenteral-depot formulation delivering therapeutic NNRTI concentrations in preclinical and clinical settings. Fifteenth Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston. Abstract 134. 2008. 2. Destache C et al. Ritonavir-, lopinavir-, and efavirenz-containing nanoparticles: in vitro release of ART. Fifteenth conference on Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston. Abstract 743. 2008. 3. Dou HY et al Anti-retroviral nanoformulations for HIV-1-associated cognitive impairments. Fifteenth conference on Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston. Abstract 745. 2008. 4. Bowman MC. HIV-1 inhibition with multi-valent gold nanoparticles. Fifteenth conference on Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston. Abstract 744. 2008.
5. Vankatesan, J; Kim, SK. Chitosan Composites for Bone Tissue Engineering-An Overview. 2010. Online. http://marinedrug-08-