Tugas Makalah PHI

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.I I.II I.III I.IV Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penulisan Manfaat Penulisan 1 1 1 2

BAB II RANGKUMAN DASAR ILMU HUKUM DI INDONESIA II.I II.II II.III II.IV II.V II.VI Definisi Hukum Sejarah Hukum Sumber Hukum Dasar Hukum Hukum Positif Dasar Kemanunggalan 3 9 14 17 18 22 22 24

II.VII Pluralisme II.VIII Gejala Hukum BAB III HUKUM BERDASARKAN KRITERIA III.I III.II Kepentingan atau Tujuan Fungsi

25 26 27 28

III.III Berlakunya Hukum III.IV Sifat BAB IV PENUTUP IV.I IV.II DAFTAR PUSTAKA Simpulan Saran

29 29 30

BAB I PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang Masalah Fenomena yang berkembang saat ini dalam pembelajaran ilmu hukum khususnya mahasiswa ilmu hukum adalah kurangnya informasi dan media yang memberi pengetahuan secara relevan, tepat dan benar adanya. Dengan demikian perlu adanya kumpulan makalah yang dibuat oleh perorangan dalam mengerti dasar ilmu hukum khusunya hukum yang ada di Indonesia

I.II Rumusan Masalah I.II.I I.II.II I.II.III I.II.IV I.II.V I.II.VI Apa definisi dari hukum Apa dasar dari hukum Sumber hukum yang ada di Indonesia Gejala hukum Indonesia Sejarah hukum yang ada di Indonesia Kriteria atau penggolongan hukum

I.II.VII Pluralisme hukum I.II.VIII Dasar kemanunggalan hukum I.II.IX Hukum positif

I.III Tujuan Penulisan I.III.I Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk mempermudah mempelajari hukum di indonesia. I.III.II Tujuan Khusus

Pemenuhan tugas Pengantar Hukum Indonesia di Universitas Udayana fakultas hukum tahun 2013.

I.IV Manfaat Penulisan Penulisan ini dapat bermanfaat bagi orang awam maupun seseorang yang ingin mengetahui tentang ilmu hukum yang ada di Indonesia.

BAB II RANGKUMAN DASAR ILMU HUKUM DI INDONESIA

II.I

Definisi Hukum

Terdapat beberapa pengertian atau definisi hukum menurut para ahli yang berbedabeda satu sama lain. Hal ini terjadi karena hingga saat ini belum ada kesepahaman antara para ahli mengenai definisi hukum yang dapat disepakati.pengertian hukum berdasarkan ahli adalah sebagai berikut : Soerojo Wignjodipoero,

hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang berisikan suatu perintah dan larangan atau perizinan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal, hukum bersifat memaksa serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan bermasyarakat.

J.C.T. Simorangkir, SH & Woerjono Sastroparnoto,

hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa dan menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib dimana pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan mengakibatkan hukuman yang tertentu

SM. Amin, SH,

hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri atasi norma dan sanksi-sanksi hukum

M.H. Tirtaatmidjaja, SH,

hukum adalah semua aturan norma yang harus diturut dalam tingkah laku tindakantindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta

Wirjono Prodjodikoro,

hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat tertentu

Prof. Achmad Ali,

Seperangkat kaidah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya dan jika kaidah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal

Prof. Soedikno Mertokusumo,

Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi

Mochtar Kusumaatmadja,

Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan

Abdulkadir Muhammad, SH,

Segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya

R. Soeroso SH,

Himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya

Plato,

Merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat

Aristoteles,

Sesuatu yang sangat berbeda daripada sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar

Tullius Cicerco (Romawi) ,

Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan

Schapera,

Setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan

Hugo de Grotius,

Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right)

Paul Bohannan,

Merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum

Leon Duguit,

Seluruh aturan tingkah laku anggota suatu masyarakat, dimana aturan tersebut daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan/diikuti oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika ada yang melanggar, maka akan menimbulkan reaksi bersama terhadap seseorang atau beberapa orang yang melakukan pelanggaran itu

Pospisil,

Aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengendalian

Immanuel Kant,

Keseluruhan syarat-syarat yang dengan syarat-syarat tersebut kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain menuruti peraturan hukum mengenai kemerdekaan

Thomas Hobbes,

Perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain

Roscoe Pound,

Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individu yang lainnya dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang dapat mempengaruhi individu lainnya. Hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif atau A Law as a tool of social engineering

John Austin,

Seperangkat perintah yang diberikan baik langsung maupun tidak langsung dari pihak mereka yang berkuasa kepada warga masyarakatanya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi

Rudolf von Jhering,

Keseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara

Karl Von Savigny,

Aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat

Van Vanenhoven,

Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari dan dengan gejala-gejala lain

Karl Marx,

Suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu

Holmes,

Sesuatu yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan

Utrecht,

Himpunan petunjuk hidup,perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut
7

dapat

menimbulkan

tindakan

oleh

pemerintah/penguasa itu. Himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan laranganlarangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan oleh karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri.

Berikut merupakan tambahan definisi-definisi tentang hukum menurut para ahli : Van Apeldoorn,

hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya sehingga tidak mungkin menyatakanya dalam (satu) rumusan yang memuaskan.
I Kisch,

oleh karena hukum itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera maka sukarlah untuk membuat definisi tentang hukum yang memuaskan.
Lemaire,

hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal itu menyebabkan tak mungkin orang membuat suatu definisi apapun hukum itu sebenarnya.
Grotius,

hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksisanksi yang djatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas pengendalian.
Aristoteles,

hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekadar mengatur dan mengekpresikan bentuk dari kontitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku hakim dan putusannya di pengadilan untk menjatuhkan hukuman terhadap pelangggar.
Schapera,

hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh pengadilan.
Paul Bohannan,

hukum adalah merupakan himpunan kewajiban yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum.
Pospisil,

hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat menjadi kewajiban melalui sanksisanksi yang dijatuhkan terhadap setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatuotoritas pengendalian.
Karl von Savigny,

hukum adalah aturan yang tebentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Marxist,

hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
John Austin,

melihat hukum sebagai perangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) meruipakan otoritas tertinggi.

Selain pengertian hukum menurut para ahli yang disebutkan diatas, terdapat juga pengertian hukum secara umum sebagai berikut:

Himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, dibuat oleh lembaga yang berwenang dan bersifat memaksa serta berisi perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi

II.II

Sejarah Hukum

Sejarah tata hukum Indonesia terdiri atas sebelum tanggal 17 agustus 1945 dan sesudah tanggal 17 agustus 1945. Berikut merupakan kronologi historisnya.

Masa Verenigde Oost Indische Compagnie(VOC) ( 1602 1799) Sebelum kedatangan belanda pada tahun 1596, orang indonesia atau nusantara pada zaman itu tunduk pada hukum tidak tertulis yang berlaku di daerah indonesia ( hukum adat). Setelah orang-orang belanda mendirikan VOC pada tahun 1602, VOC diberi hak istimewa dalam berdagang yang sibeut hak octrooi yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Peraturan tersebut merupakan hukum positif orang belanda di daerah perdagangan. Lalu setiap peraturan-peraturan yang dibuat itu dihimpun dan diumumkan dengan nama Statuten van Batavia ( statuta betawi) pada tahun 1642. Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif untuk semua kalangan yang berada di daerah hindia belanda. Dengan demikian tata hukum yang berlaku pada kurun waktu tersebut adalah aturan yang berasal dari daerah belanda dan kebijakn gubernur jendral VOC serta aturan adat baik tertulis maupun tidak bagi golongan pribumi.

Masa Besluiten Regerings ( 1814 1855) Setelah adanya penyerahan kembali daerah nusantara dari pihak inggris ke pihak belanda, para komisaris jendral belanda saat itu tidak membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya dan tetap memberlakukan peraturan yang berlaku pada masa inggris berkuasa di indonesia, yakni mengenai landrente ( hak tanah), usaha pertanian, dan susunan pengadilan buatan Rafles. Pada tahun 1830 pemerintah belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata yang dapat terlaksana pada tanggal 1 oktober 1838. Selanjutnya di hindia belanda timbul pemikiran untuk mengkodifikasikan hukum perdata yang berlaku di daerah kolonial tersebut. Maka tanggal 15 Agustus 1839 komisi undang undang yang dibentuk oleh menteri jajahan belanda menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian disempurnakan oleh mr. H.L. Wicher yaitu : 1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie ( RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan. 10

2. Algemene Bepalingen van Wetgeping (AB) atau Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan. 3. Burgerlijk Wetboek ( BW) atau Kitab Undang Undang Hukum Sipil (KUHS). 4. Wetboek van Koophandel ( WVK) atau Kitab Undang Undang Hukum Dagang ( KUHD). 5. Reglement op de Burgerlijke Rechts vordering (RV) atau Peraturan Tentang Acara Perdata ( AP). Berdasarkan kenyataan sejarah di atas maka pada saat itu berlaku peraturan tertulis yang dikodifikasikan, yang tidak dikodifikasikan, serta peraturan tidak tertulis ( hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan eropa.

Masa Regerings Reglement ( 1855 1926) Pada saat itu peraturan dasar yang dibuat oleh raja bersama dengan parlemen untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan indonesia adalah Regerings Reglement (RR). Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu : 1. Kitab hukum pidana unutk golongan eropa sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda waktu itu. 2. Algement Politie Strafreglement sebagi tambahan kitab hukum pidana untuk golongan eropa. 3. Kitab hukum pidana bagi orang bukam eropa yang isiinya hampir sama dengan kitab hukum pidana eropa tahun 1866. 4. Politie Strafreglement bagi orang bukan eropa. 5. Wetboek van Strafrecht atau hukum perdana materiil.

Masa Indische Staatsregeling ( 1926-1942) Pada tanggal 23 Juni 1925 RR tersebut diubah menjadi Indische Staatsregeling ( IS) atau peraturan ketatanegaraan indonesia yang membagi golongan penduduk untuk menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan, yaitu : 1. Bagi golongan eropa adalah hukum perdata yaitu Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel. Untuk hukum pidana materiil yaitu Wetboek van Strafrecht. Untuk

11

hukum acara yang dilaksanakn dalam proses pengadilan bagi golongan eropa di jawa dan madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechts Vordering untuk proses perdata dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses perkara pidana. Adapun acara peradilan di luar jawa dan madura diatur dalam Rechts Reglement Buitengewesten (RBg). 2. Bagi golongan pribumi atau bumiputra hukum perdatatnya adalah hukum adat yang tidak tertulis tetapi kedudukannya dalam kolonial Hindia Belanda tidak mutlak dan dapat diganti dengan ordonasi jika dikehendaki dengan pemerintah Hindia Belanda. Adapun hukum yang berlaku bagi golongan pribumi dengan contoh adalah Staatblad 1927 nomor 91 (koperasi pribumi), Staatblad 1931 nomor 53 ( pengangkatan wali di Jawa dan Madura), Staatblad 1933 nomor 74 ( perkawinan orang kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon), Staatblad 1933 nomor 75 (pencatatan jiwa bagi orang Indonesia), Staatblad 1939 nomor 569 ( Maskapai Andil) dan Staatblad 1939 nomor 570 ( perhimpunan pribumi). Sedangkan hukum perdana materiil yang berlaku di golongan pribumi antara lain adalah hukum pidana materiil ( Wetboek van Strafrecht), Hukum acara perdata untuk daerah jawa dan madura ( Inlands Reglements) dan bagi acara peradilan peradilan di luar jawa dan madura diatur dalam Rechts Reglement Buitengewesten. 3. Bagi golongan timur asing berlakulah hukum perdata dan hukumm pidana adat mereka, namun beberapa golongan timur asing juga tunduk dengan hukum acara yang berlaku di daerah Eropa dan hukum acara yang berlaku bagi golongan pribumi

Masa Jepang (Osamu Seirei) Pada masa ini pemerintah di Indonesia berpedoman terhadap undang-undang yang disebut dengan Gun Seirei melalui Osamu Seirei dan peraturan pelaksana Osamu Kanrei. Osamu Seirei berlaku secara umum, sedangkan Osamu Kanrei sebagai peraturan pelaksana isinya juga mengatur hal yang diperlukan unutk menjaga ketertiban umum dan keamanan. Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina dan Indonesia Timur Asing bukan Cina yang dulunya tunduk terhadap hukum Eropa tetap berlaku baginya hukum perdata Eropa tersebut. Adapun bagi golongan Indonesia dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak tunduk terhadap hukum Eropa teap memberlakukan hukum-hukum perdata adatnya. Selanjutnya pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 12

1942, Osamu Seirei nomor 25 tahun 1944, yang memuat aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus, sebagai pelengkap peraturan yang ada sebelumnya.

Masa Tahun 1945 1949 Setelah bangsa Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, saat itu juga pemerintah Indonesia mengambil sikap untuk mengambil sikap untuk menentukan nasib bangsa sendiri, mengatur dan menyusun negarnya serta menetapkan tata hukumnya , sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar 1945. Menurut ketentuan pasal 1 dan 2 aturan peralihan tersebut dapat diketahui bahwa semua peraturan dan lembaga yang telah ada dan berlaku pada zaman penjajahan Belanda maupun Jepang, tetap diberlakukan dan difungsikan. Dengan demikian tata hukum yang berlaku pada masa tersebut adalah semua peraturan yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang dan peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun 1945 1949.

Masa Tahun 1949 1950 Berdasarkan hasil konferensi meja bundar tahun 1949, berlakulah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum yang berlaku pada waktu itu adalah peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945 1949 dan peraturan baru yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat selama kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950. Berdasarkan ketentuan pasal 192 KRIS aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di Negara Republik Indonesia Serikat.

Masa Tahun 1950 1959 Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara kesatuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku sampai tanggal 4 Juli 1959. Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan pasal 142 UUDS 1950, dan ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun waktu tersebut. 13

Masa Tahun 1959 Sekarang Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak berlaku lagi dan kembali berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sampai sekarang. Adapun tata urutan peaturan yang diatur berdasarkan ketetapan MPR nomor III tahun 2000 adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang Dasar 1945. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3. Undang-Undang. 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. 5. Peraturan Pemerintah. 6. Keputusan Presiden. 7. Peraturan Daerah.

II.III Sumber Hukum Ada 2 sumber hukum yatu sumber hukum dalam arti materil dan formil : Sumber hukum materiil Sumber hukum materiil adalah faktor yg turut serta menentukan isi hukum. Dapat ditinjau dari berbagai sudut misalnya sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, agama, dll. Dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb). Atau faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat darimana materi hukum tiu diambil. Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Faktor tersebut adalah faktor idiil dan faktor kemasyarakatan. Faktor idiil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk UU ataupun para pembentuk hukum yang lain dalam melaksanakan tugasnya. Faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam masyarakat dan tunduk pada

14

aturan-aturan yang berlaku sebagai petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dll Dalam berbagai kepustakan hukum ditemukan bahwa sumber hukum materil itu terdiri dari tiga jenis yaitu (van Apeldoorn) : 1) sumber hukum historis (rechtsbron in historischezin) yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini dibagi menjadi : a) Sumber hukum yg merupakan tempat dapat ditemukan atau dikenal hukum secara historis : dokumen-dokumen kuno, lontar, dll. b) Sumber hukum yg merupakan tempat pembentuk UU mengambil hukumnya. 2) sumber hukum sosiologis (rechtsbron in sociologischezin) yaitu Sumber hukum dalam arti sosiologis yaitu merupakan faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, seperti misalnya keadaan agama, pandangan agama, kebudayaan dsb. 3) sumber hukum filosofis (rechtsbron in filosofischezin) sumber hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi dua : a) Sumber isi hukum; disini dinyatakan isi hukum asalnya darimana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu : -pandangan theocratis, menurut pandangan ini hukum berasal dari Tuhan -pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari akal manusia -pandangan mazhab hostoris, menurut pandangan isi hukum berasal dari kesadaran hukum. b). Sumber kekuatan mengikat dari hukum yaitu mengapa hukum mempuyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.

Sumber hukum formal Sumber hukum formal adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi sumber hukum formal merupakan 15

dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh masyarakat maupun oleh penegak hukum. Macam-macam sumber hukum formal : 1) Undang-undang, yaitu suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara Menurut Buys, Undang-Undang itu mempunyai 2 arti :

Dalam arti formil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan UU karena cara pembuatannya (misalnya, dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen) Dalam arti material, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat setiap penduduk.

2) Kebiasaan (custom) adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. 3) Jurisprudensi (keputusan hakim) adalah keputusan hakim yang terdahulu yag dijadikan dasar pada keputusan hakim lain sehingga kemudian keputusan ini menjelma menjadi keputusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu. Seorang hakim mengkuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dgn isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang sama. Ada 2 jenis yurisprudensi : 1. Yurisprudensi tetap keputusan hakim yg terjadi karena rangkaian keputusan yang serupa dan dijadikan dasar atau patokanuntuk memutuskan suatu perkara (standart arresten) 2. Yurisprudensi tidak tetap, ialah keputusan hakim terdahulu yang bukan standart arresten.

16

4) Traktat (treaty) adalah perjanjian yang diadakan oleh 2 negara atau lebih yang mengikat tidak saja kepada masing-masing negara itu melainkan mengikat pula warga negara-negara dari negara-negara yang berkepentingan. Traktat dibagi menjadi : 1. Traktat bilateral, yaitu traktat yang diadakan hanya oleh 2 negara, misalnya perjanjian internasional yang diadakan diadakan antara pemerintah RI dengan pemerintah RRC tentang Dwikewarganegaraan. 2. Traktat multilateral, yaitu perjanjian internaisonal yang diikuti oleh beberapa negara, misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa. E. Perjanjian (overeenkomst) adalah suatu peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Para pihak yang telah saling sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya (asas pact sunt servanda). F. Pendapat sarjana hukum (doktrin) adalah pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya.

II.IV Dasar Hukum Dasar hukum adalah norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang menjadi landasan atau dasar bagi setiap penyelenggaraan atau tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang perorangan atau badan hukum. Selain itu dasar hukum juga dapat berupa norma hukum atau ketentuan dalam peraturan perundangundangan yang menjadi landasan atau dasar bagi pembentukan peraturan perundangundangan yang lebih baru dan atau yang lebih rendah derajatnya dalam hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Bentuk yang disebut terakhir ini juga biasanya disebut sebagai landasan yuridis yang biasanya tercantum dalam considerans peraturan hukum atau surat keputusan yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga tertentu. Dasar hukum dalam pembentukan Surat keputusan merupakan sesuatu yang penting karena menunjukkan darimana kewenangan seorang pejabat atau lembaga tertentu

17

mendapatkan legitimasi untuk membuat surat keputusan itu. Demikian halnya dengan dasar hukum yang biasanya disebutkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seperti peraturan pemerintah dan peraturan daerah. Dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud tersebut adalah merujuk darimana perintah untuk membuat pengaturan tersebut diperoleh oleh suatu peraturan daerah dan atau darimana sumber kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga tertentu untuk membuat produk perundang-undangan yang sebagaimana dimaksud. Setiap penyelenggaraan tugas, fungsi dan wewenang oleh lembaga-lembaga negara harus memiliki dasar hukum atau paling tidak tindakan atau penyelenggaraan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika serta ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penentuan suatu dasar hukum dapat dilakukan dengan mengambil ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang isinya kurang lebih menyuratkan perintah atau larangan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum. Dasar hukum merupakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara jelas dapat dimengerti maksud dan tujuannya karena secara tegas menyebutkan ketentuan tersebut sebagai pendukung sebuah tindakan hukum. Sedangkan hukum dasar memuat ketentuan peraturan hukum berupa prinsip-prinsip hukum umum atau secara garis besarnya saja, tidak terperinci dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam hukum dasar inilah kemudian dibuat penjabaran yang menguraikan ketentuan tersebut secara lebih spesifik dalam peraturan perundang-undangan.

II.V

Hukum Positif Hukum positif dalam hilisan ini adalah Hukum Positif Indonesia. Dan yang diartikan

sebagai hukum positif adalah: "kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. " Penekanan " pada saat ini sedang berlaku, karena secara keilmuan Rechtwefenschap, pengertian hukum positif diperluas. Bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Perluasan ini timbul karena dalam definisi keilmuan mengenai hukum positif dimasukkan unsur "berlaku pada waktu tertenu dan tempat tertentu." Hukum yang pernah berlaku, adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif, walaupun dimasa lalu. Memasukkan

18

hukum yang pernah berlaku sebagai hukum positif dapat pula dikaitkan dengan pengertian keilmuan yang membedakan antara ius constitutum dan ius constituendum. Ius

constituendum lazim didefinisikan sebagai hukum yang diinginkan atau yang dicita-citakan,
yaitu "hukum" yang telah didapati dalam rumusan-rumusan hukum tetapi belum berlaku. Berbagai rancangan peraturan perundang-undangan (RUU, RPP, R.Perda, dan lain-lain rancangan peraturan) adalah contoh-contoh dari ius constituendum. Termasuk juga ius

constituendum adalah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan tetapi belum


berlaku misalnya: Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah menjadi Undang-Undang pada tahun 1986, tetapi baru dijalankan lima tahun kemudian (1991). Selama lima tahun tersebut, Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 merupakan ius constituendum. Pada suatu ketika didapati berbagai rancangan perubahan Undang-Undang Dasar yang telah di susun PAH I MPR, merupakan ius constituendum yang diharapkan suatu ketika ditetapkan sebagai ius constitution. Dipihak lain ada ius constitutum yaitu hukum yang berlaku atau disebut hukum positif. Hukum yang pernah berlaku adalah

ius constitutum walaupun tidak berlaku lagi, karena tidak mungkin dimasukkan sebagai ius constituendum.
Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis.

1. Hukum Positif Tertulis, dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus. 1.1 Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari: a) Peraturan perundang-undangan; yaitu hukum positif tertulis yang dibuat, ditetapkan, atau dibentuk pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang menurut atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tertentu dalam bentuk tertulis yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum. Termasuk dalam kategori peraturan perundangundangan adalah aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari wewenang pembentukannya, peraturan perundang-undangan dapat dibedakan antara yang bersifatkenegaraandanyang bersifat administrasi negara. Selanjutnya ditinjau dari daya ikatrlya ada yang bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan ada 19 yang bersifat administrasi negara

(admnistratiefrechttelijk). Ditinjau dari lingkungan tempat berlaku, dapat dibedakan antara peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah. b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy rides), yaitu peraturan yang dibuat baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasar pada peraturan perundang-undangan, delegasi, atau mandat, melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari Freis Ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Aturan kebijakan hanya didapati dalam lapangan administrasi negara, karena itu keientuan aturan kebijakan hanya dalam lapangan hukum administrasi negara. Termasuk kedalam kategori ini adalah "surat edaran, juklak, juknis." Pada saat ini didapati juga semacam aturan kebijakan yang dikeluarkan oleh badan yang bukan administrasi negara seperti Surat Edaran Mahkamah Agung. Meskipun dari segi bentuk, menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat Edaran Mahkamah Agung tidak perlu dikategorikan sebagai aturan kebijakan. Pertama; Mahkamah Agung bukan administrasi negara. Kedua; wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan pada kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang. Ketiga; Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang terbatas yaitu sebagai pedoman yang berisi petunjuk bagi badan peradilan tingkat rendah yang mandiri dalam menjalankan fungsi peradilan. 1.2 Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis yang berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan administrasi negara dan yang ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara. Disebut berlaku khusus karena hanya berlaku untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan atau obyek atau obyek-objek tertentu yang bersifat konkrit. Berbagai hukum positif tertulis yang berlaku khusus, adalah: a) Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit. Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau keputusan semacam ini lazim disebut atau dinamakan beschikking. Pada negara-negara berbahasa Inggris disebut decree. Bentuk hukum yang dipergunakan adalah keputusan, seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lain-lain. Termasuk kedalam kategori ini keputusan administrasi negara mengenai pengangkatan atau pemberhentian pejabat dalam lingkungan administrasi negara, pemberian atau pencabutan hak atau izin atas obyek tertentu dan lain-lain yang bersifat konkrit dan tertentu subyek dan 20

atau obyeknya. Ketetapan atau keputusan konkrit badan-badan kenegaraan yang bertindak untuk dan atas nama negara bukan atas nama pemerintah (administrasi negara). b) Ketetapan atau keputusan suatu lembaga negara yang berwenang mengangkat atau memberhentixan pejabat lembaga negara lainnya. Misalnya Ketetapan MPR yang mengangkat dan memberhentikan Presiden clan Wakil Presiden. Ketetapan MPR mengangkat Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai arti hukum yang bersifat konstitutif. Seorang menjadi Presiden atau Wakil Presiden bukan karena ada Ketetapan melainkan karena dipilih MPR. Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan mulai berwenang menjalankan jabatan sejak mengucapkan sumpah bukan karena ada Ketetatapan MPR. Praktek ketatanegaraan semacam ini tidak akan didapati lagi karena dimasa depan, Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

2. Hukum Positif Tidak Tertulis, yang dapat dibedakan atau terdiri dari Hukum Adat, Hukum Keagamaan, Hukum Yurisprudensi, Hukum Tidak Tertulis lainnya: a) Hukum Adat, yaitu hukum ash bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif tertulis atau karena yurisprudensi. b) Hukum keagamaan sebagai hukum positif, adalah hukum dari agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan suatu kebijakan Pemerintah yang mengakui semua sistem keyakinan atau sistem kepercayaan yang oleh pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan -melalui undang-undang- sebagai hukum positif. c) Hukum Yurisprudensi, adalah hukum positif yang berlaku secara umum yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan sifat hukum antara putusan hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus 21

berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat suatu putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja. d) Hukum Kebiasaan, yaitu hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam praktek penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dan hukum yang tumbuh dan dijalankan dalam praktek komunitas perniagaan, dan lain-lain. Hukum-hukum ini sebenarnya merupakan (hukum) adat istiadat. Secara singkat dapat disebut hukum adat.

II.VI Dasar Kemanunggalan Indonesia adalah negara demokratis dan menempatkan kedaulatan di tangan rakyat serta menempatkan hukum sebgai panglima atau penguasa, karena Indonesia juga merupakan negara hukum. Opini ini menyatakan politik, kekuasaan dan hukum dalam praktiknya menjadi manunggal karena proses pembuatan UU adalah sebuah proses politik yang dibuat bersama antara pemerintah dan DPR.

II.VII Pluralisme Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum. Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism). Gagasan pluralisme hukum sebagai sebuah konsep, mulai marak pada dekade 1970an, bersamaaan dengan berseminya ilmu antropologi. Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai hukum negara yang berlaku seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama,

22

maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71). Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di antaranya: (i) pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum yang digunakan; (ii) pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum. Selain itu kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan. Lagi pula, pluralisme hukum belum bisa menawarkan sebuah konsep jitu sebagai antitesis hukum negara. Pluralisme hukum hanya dapat dipakai untuk memahami realitas hukum di dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan yang ada di indonesia dengan contoh adalah dalam menentukan batas usia dewasa seseorang. Dalam KUHP yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut pasal 294 dan 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya diputus, ia tidak kembali menjadi "belum cukup umur". Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Sedangkan menurut UU no. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dalam pasal 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Menurut uu no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Penentuan batas usia dewasa anak menurut beberapa peraturan perundangundangan seperti yang telah diuraikan satu persatu diatas, merupakan potret bagi pemberlakuan beberapa peraturan perundang-undangan yang masih berlaku sampai dengan saat ini, hal tersebut merupakan cermin bagi masyarakat untuk menentukan batas usia saja tidak hanya diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tetapi di ada di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kita yang berbeda-beda dalam menentukan batas usia dewasa anak.

23

II.VIII

Gejala Hukum

Manusia, dari lahir sampai meninggal, hidup dalam pergaulan di antara manusia lain. Manusia adalah anggota masyarakat. Oleh Aristoteles (ahli filsafat Yunani) berkata Manusia itu zoon politicon. Masing-masing manusia berkepentingan yang sama dan yang berbeda. Misalnya kepentingan penjual menerima pembayaran dan kepentingan pembeli menerima barang/jasa. Pertentangan antara kepentingan itu dapat menimbulkan kekacauan bilamana tidak ada suatu kekuasaan yakni tata tertib yang dapat menyeimbangkan (in evenwicht houden) kepentingan yang bertentangan tersebut. Sebab itu, supaya perdamaian dalam masyarakat tetap terpelihara, maka oleh manusia sendiri dibuat petunjuk hidup (levensvoorschriften). Petunjuk itu diberi nama kaidah (norm) terdapat dalam hukum, kebiasaan, adat istiadat, agama dan kesusilaan. Petunjuk itu menjadi suatu gejala sosial , yang terdapat dalam masyarakat. Hukum adalah suatu gejala sosial. Dan tiada masyarakat yang tidak mengenal hukum. Hukum berusaha membawa jaminan bagi seseorang, bahwa kepentingannya diperhatikan oleh tiap orang lain. Misalnya pasal 1474 dan 1513 KUH Perdata. Ketentuan pertama membawa jaminan bagi pembeli menerima penyerahan barang. Ketentuan kedua membawa jaminan bagi penjual menerima pembayaran. Oleh ketentuan tersebut maka dua kepentingan disetarakan. Sebagai gejala sosial, hukum menjadi suatu aspek dari kebudayaan. Seperti halnya dengan agama, kesusilaan, adat istiadat dan kebiasaan, yang masing-masing menjadi anasir-anasir kebudayaan kita.

24

BAB III HUKUM BERDASARKAN KRITERIA

III.I

Kepentingan atau Tujuan Berikut merupakan tujuan hukum menurut teori-teori yang ada di seluruh dunia :

1. Teori etis (etische theorie) Teori ini mengajarkan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles filsuf Yunani dalam bukunya Ethica

Nicomachea

dan Rhetorica

yang

menyatakan hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi kepada setiap orang yang

berhak menerimanya. Selanjutnya Aristoteles membagi keadilan dalam 2 jenis, yaitu :


1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaannya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. 2. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah yang sama banyaknya tanpa mengingat jasa masing-masing. Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau sesuatu hal tanpa memperhitungkan jasa masing-masing. Keadilan menurut Aristoteles bukan berarti penyamarataan atau tiap-tiap orang memperoleh bagian yg sama. 2. Teori utilitas (utiliteis theorie) Menurut teori ini, tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Pencetus teori ini adalah Jeremy Betham. Dalam bukunya yang berjudul introduction to the morals and

legislation berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang
berfaedah/manfaat bagi orang.

25

Apa yang dirumuskan oleh Betham tersebut diatas hanyalah memperhatikan hal-hal yang berfaedah dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Sulit bagi kita untuk menerima anggapan Betham ini sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa apa yang berfaedah itu belum tentu memenuhi nilai keadilan atau dengan kata lain apabila yang berfaedah lebih ditonjolkan maka dia akan menggeser nilai keadilan kesamping, dan jika kepastian oleh karena hukum merupakan tujuan utama dari hukum itu, hal ini akan menggeser nilai kegunaan atau faedah dan nilai keadilan. 3. Teori campuran Teori ini dikemukakan oleh Muckhtar Kusmaatmadja bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Di samping itu tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya. 4.Teori normatif-dogmatif Tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum (John Austin dan van Kan). Arti kepastian hukum disini adalah adanya melegalkan kepastian hak dan kewajiban. Van Kan berpendapat tujuan hukum adalah menjaga setiap kepentingan manusia agar tidak diganggu dan terjaminnya kepastiannya. 5. Teori Peace (damai sejahtera) Menurut teori ini dalam keadaan damai sejahtera (peace) terdapat kelimpahan, yang kuat tidak menindas yang lemah, yang berhak benar-benar mendapatkan haknya dan adanya perlindungan bagi rakyat. Hukum harus dapat menciptakan damai dan sejahtera bukan sekedar ketertiban.

III.II Fungsi 1. Hukum berfungsi sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hukum sbg petunjuk bertingkah laku untuk itu masyarakat harus menyadari adanya perintah dan larangan dalam hukum sehingga fungsi hukum sebagai alat ketertiban masyarakat dapat direalisir.

26

2. Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin. Hukum yg bersifat mengikat, memaksa dan dipaksakan oleh alat negara yang berwenang membuat orang takut untuk melakukan pelanggaran karena ada ancaman hukumanya (penjara, dll) dan dapat diterapkan kepada siapa saja. Dengan demikian keadilan akan tercapai. 3. Hukum berfungsi sebagai alat penggerak pembangunan karena ia mempunyai daya mengikat dan memaksa dapat dimamfaatkan sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat ke arah yg maju. 4. Hukum berfungsi sebagai alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum tidak hanya mengawasi masyarakat semata-mata tetapi berperan juga untuk mengawasi pejabat pemerintah, para penegak hukum, maupun aparatur pengawasan sendiri. Dengan demikian semuanya harus bertingkah laku menurut ketentuan yg berlaku dan masyarakt pun akan merasakan keadilan. 5. Hukum berfungsi sebagai sarana untuk menyelesaikan pertingkaian. Contoh kasus tanah.

III.III Berlakunya Hukum Berdasarkan berlakunya, hukum dapat dibagi menjadi : 1. Berdasarkan tempat berlakunya suatu hukum : a. Hukum nasional, yaitu hukum yang berlaku pada suatu wilayah negara tertentu. Bagi seorang warga negara suatu negara maka hukum negaranya merupakan hukum nasionalnya, sedangkan hukum negara lain disebutnya sebagai hukum asing. b. Hukum internasional, yaitu hukum yang berlaku di wilayah berbagai negara. c. Hukum asing, adalah hukum yang berlaku di negara lain. 2. Berdasarkan waktu berlakunya suatu hukum : a. Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu. Ius constitutum ini disebut juga dengan hukum positif. b. Ius Constituendum, yaitu hukum yang dicita-citakan (diharapkan ) berlaku pada masa yang akan datang.

27

c. Hukum Alam ( Nature Law), yaitu hukum yang berlaku di mana-mana, kapan saja dan untuk siapa saja. Jadi hukum alam ini bersifat universalis, tidak mengenal batasan dan bersifat abadi.

III.IV Sifat Berdasarkan sifatnya, hukum dapat digolongkan dalam: 1. Hukum yang bersifat memaksa (imperatif), ketentuan hukum yang tidak dapat di kesampingkan oleh para pihak. 2. Hukum yang bersifat mengatur (fakultatif), ketentuan hukum yang dapat di kesampingkan oleh para pihak apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat ketentuan sendiri dalam perjanjian.

28

BAB IV PENUTUP

IV.I

Simpulan

IV.II Saran

29

DAFTAR PUSTAKA

Kurnia, Titon Slamet S.H., M.H., Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2009. Ishaq, S.H., M.Hum., Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. I Ketut Wirawan, S.H., M.Hum. dan I Ketut Tjukup, S.H., M.H., Bahan Kuliah : Pengantar Ilmu Hukum, Bagian Dasar Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 2005. Sudarsono, Drs., S.H., M.Si., Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001. Mertokusumo, Prof. Dr. Sudikno, S.H., Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986. www.statushukum.com www.tiarramon.wordpress.com www.harliandasaputra.blogspot.com www.p2d.org www.emakalah.com www.pdhi1956.wordpress.com

30

Anda mungkin juga menyukai