Kewaspadaan Universal-Contoh RS

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 142

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN


KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN
KEWASPADAAN UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR
DI RUMAH SAKIT PALANG MERAH INDONESIA BOGOR
TAHUN 2011



SKRIPSI



AYU SAHARA
0806316442




FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JANUARI 2011
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
i




UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN
KEWASPADAAN UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR
DI RUMAH SAKIT PMI BOGOR TAHUN 2011


SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat


AYU SAHARA
0806316442



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT
DEPARTEMEN ADMINISTRASI KEBIJAKAN DAN KESEHATAN
PEMINATAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT
DEPOK
JANUARI 2012
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
ii

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ayu Sahara
NPM : 0806316442
Program Studi : Manajemen Rumah Sakit, Departemen
Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, FKM UI
Tahun Akademik : 2008 - 2012

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi
saya yang berjudul.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN
PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN KEWASPADAAN
UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR DI RS PMI BOGOR TAHUN
2011
Apabila suatu saat nanti saya terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya
akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Depok, 2 J anuari 2012



( Ayu Sahara )


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
iii



HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS


Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar


Nama : Ayu Sahara
NPM : 0806316442
Tanda Tangan :
Tanggal : 6 J anuari 2012


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Ayu Sahara
NPM : 0806316442
Program Studi : Manajemen Rumah Sakit, Departemen
Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, FKM UI
J udul Skripsi :Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan
Kewaspadaan Universal /Kewaspadaan Standar di
Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2011
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelas Sarjana Kesehatan
Masyarakat pada Program Studi S1 Reguler, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia


DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, M.P.H ( )


Penguji : Prof.dr. Anhari Achadi, SKM, D.Sc ( )


Penguji : Habib Priyono, SKM, M.Si ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 6 J anuari 2012
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Ayu Sahara
NPM :0806316442
Program Studi: Sarjana Kesehatan Masyarakat
Departemen : Administrasi Kebijakan dan Kesehatan
Fakultas : Fakultas Kesehatan Masyarakat
J enis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam
Penerapan Kewaspadaan Universal /Kewaspadaan Standar di Rumah Sakit PMI
Bogor
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok
Pada Tanggal: 6 J anuari 2012
Yang menyatakan

( Ayu Sahara )

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Ayu Sahara
Alamat : J alan Kapuk, No 70A, Margonda, Depok
Tempat Tanggal Lahir : Matang Glumpang Dua, 11 Agustus 1990
Agama : Islam
J enis Kelamin : Perempuan

Riwayat Pendidikan
1. SDN Bertingkat Peusangan Tahun 1996 2002
2. SMPN 1 Peusangan Tahun 2002 2005
3. SMAN 1 Bireuen Tahun 2005 2008
4. FKM UI Peminatan MRS Tahun 2008 2012

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencaai gelas Sarjana Kesehatan
Masyarakat J urusan Manajemen Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit
bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan
terima kasih kepada:
(1) Ibu Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, M.P.H, selaku dosen pembimbing yang
telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dan
mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;
(2) Bapak Habib Priyono, SKM, M.Si., selaku pembimbing lapangan yang telah
menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu saya dalam
penyusunan skripsi ini;
(3) Bapak Ahmad, Bapak Tony, Bapak J ulianto, Bapak Aqib, Ibu Uum, Bapak
Yani, Bapak Dikdik, Ibu Atik, dan karyawan RS PMI lainnya yang tidak bida
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam usaha memperoleh data
yang saya perlukan.
(4) Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan dukungan material dan moral
serta doa yang tidak mampu terbalaskan;
(5) Abang Edy, Kak Pi, Kak Ella, Dek Shifa, dan seluruh keluarga yang telah
memberikan dukungan semangat dan doa;
(6) Sahabat (Dinar, Dila, Naila, Agi, Ila, Amy, Wuri, Icha, Vina, Uchi, Dian, Kak
Dinda, Kak Renate, Mba Yul, Amik dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan
satu persatu) yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi
ini;
(7) Teman-teman MRS08 dan teman-teman se-angkatan 2008 yang telah
memberikan semangat dan doa;
(8) Teman-teman 70Aers, yang telah juga memberikan semangat dan doa.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
viii

Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Depok, J anuari 2012
Ayu Sahara

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
ix

ABSTRAK

Nama : Ayu Sahara
Program Studi : Sarjana Kesehatan Masyarakat
J udul : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan
bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan
Standar di RS PMI Bogor

Kewaspadaan Universal/Standar direkomendasikan untuk mencegah pajanan
penyakit infeksi lewat darah seperti HIV, Virus Hepatitis B, dan Virus Hepatitis C
di pelayanan kesehatan. Di RS PMI Bogor, kepatuhan penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar diantara perawat dan bidan adalah rendah, dilihat dari kasus
kecelakaan tertusuk jarum suntik yang terjadi diantara perawat tahun 2009-2011,
masing-masing 6, 4, dan 8 kasus. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
menggunakan rancangan cross sectional. Sebanyak 100 self administered
questionnaires disebarkan dan hanya 82 kuesioner lengkap yang kembali. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan perawat dan
bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar dan faktor faktor yang
berhubungan. Dalam penelitian ini, hanya 52,4 % perawat dan bidan yang
memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Dari hasil uji chi square, variabel yang
secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar adalah iklim keselamatan kerja dan pelatihan dan ketersediaan
APD. Peneliti menyarankan diadakan pelatihan dan sosialisasi SOP dan kebijakan
terkait kewaspadaan universal.
Kata kunci: Kewaspadaan Universal/Standar, Tertusuk jarum suntik, Penyakit
infeksi lewat darah.

xvii +113 hlm,6 gambar; 15 tabel; 3 lamp
Daftar acuan : 50 (1980 2011)


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
x

ABSTRACT

Name : Ayu Sahara
Study Program : Public Health Program Undergraduate Program
Title : Factors Associated with Compliance to Universal/Standard
Precautions among Nurses and Midwives at PMI Hospital,
Bogor.
Universal/Standard Precautions are recommended to prevent blood-borne
infections (e.g. HIV, HBV, and HCV) exposure in health care setting. Compliance
with Universal/Standard Precautions among nurses and midwives is suboptimal at
PMI Hospital, Bogor. It was showed from needle stick injury cases occurred
among nurses each of 6, 4, and 8 cases in 2009 2011. This research is
descriptive using cross sectional design. A total of 100 self administered
questionnaires were distributed to nurses and midwives, and 82 completed
questionnaires were returned. The purpose of this study is to find out compliance
rate with Universal/Standard Precautions among nurses and midwives and factors
related. In this research, only 52.4 % nurses and midwives who had a high
compliance rate. Based on chi square test, safety climate and training and
availability of PPE were significantly associated with compliance to
Universal/Standard Precautions. The researcher suggests establishing the training
and socializing SOP and policy related to Universal/Standard Precautions.
Keywords: Blood-borne Infection, Needlestick Injury, Universal/Standard
Precautions.

xvii +113 pages, 6 pictures; 15 tables; 3 appendices
References: 52 (1980 2011)

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xi

DAFTAR ISI

HALAMAN J UDUL ..................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN ............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJ UAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................................................. v
RIWAYAT HIDUP PENULIS ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................. vii
ABSTRAK ..................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xvii

1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 9

2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10
2.1 Bloodborne Infection ........................................................................ 10
2.1.1 HIV ........................................................................................ 10
2.1.2 Hepatitis B ............................................................................ 13
2.1.3 Hepatitis C ............................................................................ 13
2.2 Kewaspadaan Standar ....................................................................... 13
2.2.1 Sejarah Perkembangan Kewaspadaan Standar ................... 13
2.2.2 Komponen Kewaspadaan Standar ....................................... 15
2.2.2.1 Kebersihan Tangan .................................................. 15
2.2.2.2 Alat Pelindung Diri .................................................. 19
2.2.2.3 Linen ......................................................................... 22
2.2.2.4 Pengelolaan Alat Kesehatan .................................... 22
2.2.2.5 Pencegahan luka tusukan jarum dan
benda tajam lainnya ................................................. 24
2.2.2.6 Pengelolaan Limbah ................................................ 27
2.3 Kepatuhan (Compliance) .................................................................. 29
2.3.1 Definisi Perilaku Kepatuhan ................................................ 29
2.3.2 Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Standar ...... 30
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xii

2.3.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan terhadap
Penerapan KU/KS ................................................................ 31
2.3.3.1 Pengetahuan ............................................................. 31
2.3.3.2 Persepsi tentang Risiko ............................................ 32
2.3.3.3 Risk Taking Personality ........................................... 34
2.3.3.4 Efficacy of Prevention ............................................. 34
2.3.3.5 Hambatan Penerapan KU/KS ................................... 35
2.3.3.6 Beban Kerja .............................................................. 35
2.3.3.7 Safety Climate .......................................................... 36
2.3.3.8 Safety Performance Feedback ................................ 36
2.3.3.9 Pelatihan dan Ketersediaan APD ............................ 36

3. KERANGKAR TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,
DEFINISI OPERASIONAL ................................................................ 38
3.1 Kerangka Teori ................................................................................. 38
3.2 Kerangka Konsep .............................................................................. 40
3.3 Hipotesis ............................................................................................ 41
3.4 Definisi Operasional ......................................................................... 43

4. METODE PENELITIAN .................................................................... 47
4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 47
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 47
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 47
4.4 Pengumpulan Data ............................................................................ 51
4.4.1 Data Primer ........................................................................... 51
4.4.2 Data Sekunder ....................................................................... 51
4.5 Uji Instrumen .................................................................................... 51
4.6 Pengolahan Data ............................................................................... 53
4.7 Analisis Data ..................................................................................... 54
4.7.1 Analisis Data Univariat ........................................................ 54
4.7.2 Analisis Data Bivariat .......................................................... 55

5. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 56
5.1 Sejarah RS PMI Bogor ..................................................................... 56
5.2 Profil RS PMI Bogor ........................................................................ 57
5.3 Visi, Misi, Motto, Tujuan dan Fungsi RS PMI Bogor ................... 58
5.4 Struktur Organisasi RS PMI Bogor ................................................. 59
5.5 Komite PPI RS PMI Bogor .............................................................. 61

6. HASIL PENELITIAN .......................................................................... 72
6.1 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 72
6.2 Penyajian Hasil Penelitian ................................................................ 72
6.2.1 Karakterisik Responden ....................................................... 72
6.2.2 Hasil Analisis Univariat ....................................................... 73
6.2.3 Hasil Analisis Bivariat ......................................................... 85

7. PEMBAHASAN .................................................................................... 89
7.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................... 89
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xiii

7.2 Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar .................................................... 90
7.3 Pengetahuan tentang Transmisi HIV, HBV dan HCV ................... 92
7.4 Persepsi terhadap Risiko .................................................................. 94
7.5 Risk-Taking Personality ................................................................... 96
7.6 Efficacy of Prevention ...................................................................... 98
7.7 Hambatan dalam Penerapan UP/SP ................................................ 99
7.8 Beban Kerja ....................................................................................... 101
7.9 Safety Climate ................................................................................... 102
7.10 Safety Performance Feedback ....................................................... 104
7.11 Pelatihan dan Ketersediaan APD ................................................... 105

8. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 107
8.1 Kesimpulan ........................................................................................ 107
8.2 Saran .................................................................................................. 107

DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 109

LAMPIRAN
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xiv

DAFTAR GAMBAR


Gambar 2.1 Distribusi dan J umlah Pajanan HIV pada Petugas Kesehatan
Berdasarkan Pekerjaan (1981-2001)
Gambar 2.2 Langkah-langkah Mencuci Tangan
Gambar 2.3 Alat Pelindung Diri
Gambar 2.4 Cara Pengelolaan J arum Suntik
Gambar 2.4 Model Determinan Perilaku Kepatuhan
Gambar 3.1 Model Determinan Perilaku Kepatuhan
Gambar 3.2 Kerangka Konsep

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xv

DAFTAR TABEL


Tabel 4.1 Pengambilan Sampel dengan Menggunakan Teknik Proporsional
Tabel 4.2 Hasil Cronbachs Alpha Kuesioner
Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RS PMI Bogor
Tahun 2011
Tabel 6.2 Hasil Analisis Univariat Variabel Kepatuhan dan Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar di RS PMI Bogor
Tabel 6.3 Kepatuhan terhadap Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar
oleh Perawat dan Bidan di RS PMI Bogor
Tabel 6.4 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Pengetahuan
tentang Transmisi HIV, HBV, dan HCV di RS PMI Bogor 2011
Tabel 6.5 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Persepsi
terhadap Risiko di RS PMI Bogor 2011
Tabel 6.6 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Risk-Taking
PersonalityI di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.7 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Efficacy of
Prevention di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.8 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Hambatan
Penerapan KU/KS di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.9 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Beban Kerja di
RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.10 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Safety Climate
di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.11 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Safety
Performance Feedback di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Pelatihan dan
Ketersediaan APD di RS PMI Bogor Tahun 2011
Tabel 6.13 Hasil Analisis Bivariat Faktor Kepatuhan dengan Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xvi

DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Struktur Organisasi RS PMI Bogor
Lampiran 3 SOP Alat Pelindung Diri
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
xvii

Daftar Singkatan

APD : Alat Pelindung Diri
CDC : Centers for Disease Control and Prevention
HBC : Hepatitis C Virus
HBV : Hepatitis B Virus
HIV : Human Immunodeficiency Virus
KS : Kewaspadaan Standar
KU : Kewaspadaan Universal
OSHA : Occupational Safety and Health Administration
NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health, CDC
UP :Universal Precautions
SOP : Standar Oparting Procedure
SP :Standard Precautions
WHO : World Health Organization

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


1
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kejadian penyakit infeksi di rumah sakit dianggap sebagai suatu masalah
serius karena mengancam kesehatan dan keselamatan pasien dan petugas
kesehatan secara global. Selain itu, kejadian infeksi ini juga berdampak pada
kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan
(Luo, et.al., 2010).
Petugas kesehatan berisiko terpajan penularan penyakit infeksi blood
borne seperti HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C, yang berasal dari sumber infeksi
yang diketahui atau yang tidak diketahui seperti benda terkontaminasi, jarum
suntik bekas pakai dan benda tajam lainnya. Secara global, lebih dari 35 juta
petugas kesehatan menghadapi risiko luka perkutan akibat terkena benda tajam
yang terkontaminasi. Insiden terpapar mikroorganisme yang diobservasi diantara
semua petugas kesehatan yang paling tinggi terpajan adalah perawat (Efstathiou,
et.al., 2011). Hal ini terjadi karena perawat adalah petugas kesehatan yang paling
sering kontak dengan pasien baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
upaya memberikan asuhan keperawatan kepada pasien.
Kecelakaan yang paling umum terjadi di pelayanan kesehatan adalah
tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit
seorang petugas pelayanan kesehatan (Yayasan Spiritia, 2009). Penelitian
menunjukkan bahwa rata-rata risiko transmisi virus melalui blood-borne pada
kecelakaan tertusuk jarum yaitu 30 % untuk virus Hepatitis B, virus Hepatitis C
yaitu 3%, dan kurang lebih 0,3 % untuk virus HIV (Weston, 2008).
WHO (2002) mengestimasikan bahwa sekitar 2,5 % petugas kesehatan di
seluruh dunia menghadapi pajanan HIV dan sekitar 40 % menghadapi pajanan
virus Hepatitis B dan Hepatitis C (Sadoh, et.al., 2006) dan 90 % dari infeksi yang
dihasilkan dari pajanan tersebut berada di negara berkembang (Reda, et.al., 2010).
Di negara berkembang, tingginya frekuensi infeksi terjadi karena penggunaan
injeksi yang tinggi di fasilitas kesehatan, yang sebagian besar menggunakan jarum
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
2

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
suntik.
Di Amerika Serikat, lebih dari 8 juta petugas kesehatan di Rumah sakit
terpajan darah atau cairan tubuh lainnya, diantaranya melalui jenis kontak: luka
dengan intrumen tajam yang terkontaminasi seperti jarum dan pisau bedah (82%),
kontak dengan selaput lendir mata, hidung atau mulut (14%), terpajan dengan
kulit yang terkelupas atau rusak (3%), dan gigitan manusia (1%), dan 800000
kejadian luka dengan instrumen tajam yang terkontaminasi tersebut terjadi setiap
tahun di antara semua petugas kesehatan (CDC, 2004).
Di Pakistan, penggunaan injeksi sangat tinggi di mana 13,6 suntikan per
orang yang diberikan setiap tahun. Lebih dari 50% dari suntikan ini dengan
menggunakan jarum suntik bekas pakai. Penggunaan kembali jarum suntik, dan
recapping jarum mengakibatkan prevalensi virus Hepatitis B (HBV) dan virus
Hepatitis C (HCV) di Pakistan lebih dari 10% dan sebagian besar infeksi tersebut
terjadi karena penggunaan jarum suntik (Janjua, et.al., 2007).
Data Penelitian pada 114 petugas kesehatan di 10 puskesmas DKI Jakarta
menunjukkan sekitar 84% di antaranya pernah tertusuk jarum bekas. Ditemukan
prevalensi HBsAg positif sebesar 12,5% pada kelompok dokter gigi dan 13,3%
pada petugas laboratorium, padahal prevalensi pada petugas kesehatan umumnya
sekitar 4% (Hudoyo, 2004 dalam Basuki dan Hadi, 2007). Penelitian lain yang
dilakukan di RSUD Kabupaten Cianjur (Hermana, 2009) menyebutkan bahwa
jumlah perawat yang mengalami luka tusuk jarum dan benda tajam lainnya adalah
cukup tinggi yaitu sebanyak 61,34%.
Petugas pelayanan kesehatan terutama perawat sering terpajan
mikroorganisme, banyak yang dapat menyebabkan infeksi serius atau bahkan
mematikan. Untuk melindungi dan mengurangi kemungkinan penularan infeksi
tersebut, pada tahun 1970 seperangkat pedoman pencegahan pertama di keluarkan
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat untuk
membantu petugas kesehatan melindungi dirinya sendiri dan pasien dari transmisi
mikroorganisme, diikuti dengan revisi pada tahun 1983.
Pada tahun 1985-88, CDC mengeluarkan Universal Precautions
(Kewaspadaan Universal). Di dalam Kewaspadaan Universal, petugas kesehatan
diharuskan untuk memperlakukan setiap pasien dengan asumsi bahwa pasien
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
3

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
berpotensi menularkan/ tertular penyakit infeksi (Efstathio, et.al., 2011).
Selanjutnya pada tahun 1996, CDC merekomendasikan Kewaspadaan Universal
untuk digantikan sebutannya menjadi Standard Precautions (Kewaspadaan
Standar) yang menggabungkan Universal Precautions dan Body Substance
Isolation (Franklin, 2009). Akan tetapi, walaupun CDC sekarang menggunakan
istilah Standard Precautions untuk mendeskripsikan tindakan perlindungan
terhadap pajanan pada petugas kesehatan dan pasien, istilah Universal
Precautions masih digunakan secara luas di kalangan petugas klinis (Kirkland,
2011).
Kewaspadaan Standar diterapkan di pelayanan kesehatan dengan tujuan
untuk mengendalikan infeksi secara konsisten serta mencegah penularan bagi
petugas kesehatan dan pasien. Studi menunjukkan bahwa kepatuhan pada
penerapan Kewaspadaan Standar diantara petugas kesehatan untuk menghindari
paparan mikroorganisme masih rendah (Mehta, et.al., 2010). Sulastri (2001) yang
meneliti tingkat kepatuhan petugas kamar bedah di RSUP Persahabatan tahun
2001 menunjukkan bahwa hanya 26,9 % yang memiliki kepatuhan baik dan
73,1% yang memiliki kepatuhan sedang. Berkurangnya nilai kepatuhan karena
masih ditemukan petugas yang kurang patuh dalam hal cuci tangan, penggunaan
alas kaki, dan pemasangan kembali tutup jarum. Penelitian yang lain yaitu Saroha
Pinem (2003) yang meneliti tentang penerapan kepatuhan Kewaspadaan Universal
oleh Bidan di Puskesmas kecamatan Wilayah Jakarta Timur Tahun 2003
memperlihatkan bahwa hanya 16,7% bidan yang menerapkan Kewaspadaan
Universal dengan benar.
Faktor-faktor yang berkontribusi pada rendahnya kepatuhan tersebut
adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya waktu, kelupaan, kurangnya
keterampilan, ketidaknyaman, iritasi kulit, dan kurangnya pelatihan (Efstathiou,
et.al., 2011). Di Indonesia, rendahnya kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan
Standar disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dalam pengendalian infeksi,
misalnya fasilitas cuci tangan di bangsal-bangsal hanya sedikit yang tersedia dan
jika tersedia kadang-kadang tanpa sabun atau handuk. Kadang - kadang air
mengalir juga tidak tersedia. Selain itu, pembersih tangan yang berbasis alkohol
tidak tersedia secara luas dan sering ada kekurangan sarung tangan, gaun dan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
4

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
masker. Di banyak rumah sakit, kontainer untuk pembuangan benda tajam juga
sering tidak tersedia (Duerink, et.al., 2006).
Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar terkait
dengan perilaku kesehatan. Menurut DeJoy (1995;1996;2000) dalam Brevidelli
dan Tamara (2009) kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal dapat dilihat dari
tiga level: individu/pekerja, tugas dan dinamika pekerjaan, dan konteks organisasi.
Tingkat pertama menggambarkan kesehatan pekerja dengan karakteristik
personalnya dan pengalaman kerjanya. Pada tingkat kedua, menggambarkan tugas
pekerjaannya dan dinamika kesehatan kerjanya, dimana tuntutan petugas
kesehatan untuk merawat pasien bersaing dengan keselamatan pribadinya. Tingkat
ketiga, menggambarkan konteks organisasi, dimana organisasi tersebut mungkin
mempunyai nilai budaya keselamatan dan dukungan pimpinan untuk mendukung
penerapan Kewaspadaan Standar.
RS PMI Bogor adalah rumah sakit bertipe B rumah sakit terbesar di Bogor
dan menjadi rumah sakit rujukan daerah Bogor. Untuk melindungi dan mencegah
penularan infeksi bagi petugas kesehatan dan pasien, RS PMI Bogor telah
menerapkan Kewaspadaan Standar. Kewaspadaan Standar termasuk dalam SPO
(Standar Prosedur Operasi) yang harus dipatuhi oleh perawat di RS PMI Bogor
dalam melakukan kegiatan klinisnya. Namun, penerapan Kewaspadaan Standar
oleh petugas kesehatan khususnya perawat masih belum optimal. Hal ini
didasarkan pada masih ditemukannya perawat yang mengalami perlukaan akibat
tertusuk jarum suntik (Bidang SDM, 2011).
Grafik 1.1 Data Kecelakaan Pegawai Tertusuk Jarum
dan Benda Tajam Lainnya RS PMI Bogor Tahun 2009-
2011
0
2
4
6
8
10
2009 2010 2011
k
a
s
u
s

[Sumber: Bidang SDM, 2011]
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
5

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Berdasarkan grafik di atas terlihat pada tahun 2009, 2010, dan 2011
masing-masing terjadi 6 kasus, 4 kasus dan 8 kasus. Secara kuantitatif kasus
tersebut tidak menunjukkan angka kejadiaan yang signifikan. Hal ini terjadi
karena kasus tertusuk jarum dan benda tajam lainnya seperti fenomena gunung es.
Artinya, kejadiaan tertusuk jarum dan benda tajam lainnya yang dilaporkan hanya
sedikit, padahal pada kenyataannya banyak perawat yang mengalami kecelakaan
kerja tertusuk jarum.
Jika ditinjau berdasarkan trend-nya, trend jumlah kasus tertusuk jarum dan
benda tajam lainnya pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun
2009. Sebaliknya, pada tahun 2011 (Januari-September) kejadiaan kasus ini
mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan
berpotensi terus mengalami peningkatan jumlah kasus jika dihitung dari Januari
sampai dengan Desember. Selan itu, pada tahun 2009, terdapat 1 (satu) orang
bidan yang mengalami penyakit akibat kerja yaitu tertular virus Hepatitis B
akibat tertusuk jarum (Seksi K3 RS PMI Bogor, 2011).
Didasari atas latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat dan bidan
di RS PMI Bogor tahun 2011.

1.2 Perumusan Masalah
Perawat sebagai petugas kesehatan yang memberikan pelayanan memiliki
frekuensi dan peluang yang tinggi untuk terinfeksi. Untuk mengendalikan
kejadian infeksi pada petugas kesehatan, RS PMI Bogor menerapkan kebijakan
kewaspadaan universal (universal precautions) pada petugas kesehatan selama
melakukan praktik klinisnya. Akan tetapi, kepatuhan akan penerapan
kewaspadaan universal masih rendah dilihat dari angka kejadian pegawai yang
tertusuk jarum suntik dan benda tajam lainnya yang mengalami peningkatan kasus
pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
6

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Berdasarkan data kecelakaan pekerja yang tertusuk jarum di RS PMI
Bogor dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 (Januari-September) yaitu
masing-masing 6 kasus, 4 kasus, dan 8 kasus (Sumber: Bidang SDM, September
2011). Berdasarkan data tersebut, trend jumlah kasus tertusuk jarum dan benda
tajam lainnya pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun 2009.
Sebaliknya, pada tahun 2011 (Januari-September) kejadiaan kasus ini mengalami
peningkatan dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan berpotensi terus
mengalami peningkatan jumlah kasus jika dihitung dari Januari sampai dengan
Desember. Pada tahun 2009, terdapat 1 kasus penyakit akibat kerja yaitu bidan
yang tertular virus Hepatitis B akibat tertusuk jarum (Seksi K3 RS PMI Bogor,
2011). Dilatari atas hal tersebut, maka perumusan masalahnya adalah belum
diketahuinya tingkat kepatuhan perawat dan bidan terhadap penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar dan faktor-faktor yang berhubungan.

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor?
2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor?
3. Bagaimana hubungan faktor individu (pengetahuan tentang transmisi
penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking
personality, efficacy of prevention) dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI
Bogor?
4. Bagaimana hubungan faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP,
beban kerja (workload)) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor?
5. Bagaimana hubungan faktor organisasi (Safety climate, Safety performance
feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)) dengan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
7

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran kepatuhan perawat dan bidan terhadap penerapan
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan
Standar di RS PMI Bogor tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran kepatuhan penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat di RS PMI Bogor.
2. Diketahuinya hubungan faktor individu (pengetahuan tentang transmisi
penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking
personality, efficacy of prevention) dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI
Bogor.
3. Diketahuinya hubungan faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP,
beban kerja (workload)) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor.
4. Diketahuinya hubungan faktor organisasi (safety climate, safety performance
feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)) dengan
kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
8

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi RS PMI Bogor
Dengan diketahuinya tingkat kepatuhan penerapan kewaspadaan universal
oleh perawat dan bidan di RS PMI Bogor dan faktor-faktor yang berhubungan,
maka dapat dilakukan intervensi untuk meningkatkan perilaku kepatuhan
sehingga penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dapat
terlaksana menurut kebijakan dan prosedur .
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengalaman mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
3. Bagi Pembaca
Dapat menjadi referensi bacaan sehingga menambah wawasan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya berhubungan dengan
kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan universal.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor tahun 2011. Penelitian ini
dilakukan karena penerapan kewaspadaan universal oleh perawat dan bidan belum
optimal, yang salah satu penyebabnya terkait dengan perilaku kepatuhan
perawatnya. Objek penelitian ini adalah perawat dan bidan RS PMI Bogor.
Variabel yang akan diteliti terdiri dari variabel independen yang terdiri
dari faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan
HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention),
faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan Universal Precautions/Standard
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
9

Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Precautions, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety
performance feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD))
dan variabel dependen yaitu kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan
Desember 2011 di RS PMI Bogor. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
menggunakan rancangan cross sectional.



Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


10
Universitas Indonesia Universitas Indonesia

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Blood-Borne
Menurut OSHA (2000), Bloodborne pathogen means pathogenic
microorganisms that are present in human blood and can cause disease in
humans (penyakit infeksi yang ditularkan melalui darah mengandung pengertian
bahwa adanya mikroorganisme ynag bersifat pathogen yang ada di darah manusia
dan dapat menyebabkan penyakit pada individu tersebut.
Ada beberapa cara penularan atau transmisi infeksi yang ditularkan
melalui darah atau cairan tubuh lainnya, diantaranya (McCulloch, 2000):
a. Pajanan perkutan, melalui: peralatan injeksi; kulit yang kompromis karena
terkontaminasi benda tajam seperti jarum suntik, peralatan, atau pecahan
kaca; tranfusi produk darah yang terinfeksi, luka yang terbuka dan lesi
kulit; dan gigitan manusia
b. Pajanan Mucocutaneous, melalui: sexual intercourse, persalinan dan
penyusuan oleh ibu yang terinfeksi dan kontaminasi membran mukosa
(mata, hidung, mulut).
Di pelayanan kesehatan, penyakit infeksi ini termasuk dalam penyakit yang
paling berisiko terpajan kepada petugas kesehatan melalui penanganan limbah
klinis dan kontak dengan darah dan cairan tubuh lainnya. Diperkirakan delapan
juta petugas kesehatan terpajan penyakit infeksi lewat darah dan berpotensial
berakibat fatal (Healey and Kenneth, 2009). Yang paling signifikan adalah HIV,
Hepatitis B dan Hepatitis C. Virus Hepatitis B diketahui menimbulkan risiko
terbesar bagi pekerja kesehatan (McCulloch, 2000).
2.1.1 HIV
Secara global, mayoritas infeksi HIV disebabkan oleh virus human
immunodeficiency. Diketahui terdapat dua jenis virus HIV, yaitu HIV-1 dan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
11


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

HIV-2. HIV-1 sering ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV-2 ditemukan
terutama di Afrika Barat (Corwin, 1997).
Virus HIV adalah virus jenis retrovirus yang mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV menginfeksi tubuh dengan
periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan muncul
tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan
menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dan CD4
+

dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut
menghancurkan CD4
+
dan limfosit (Nursalam dan Ninuk, 2010).
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh cairan
tubuh, termasuk darah, semen, cairan vagina, dan air susu. Secara lebih lengkap,
berikut cara penularan HIV (Nursalam dan Ninuk, 2010):
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, oral dan anal dengan penderita HIV
tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual
berlangsung, air mani, cairan vagina dan darah dapat mengenai lepaut
lendir vagina, penis, dubur dan mulut sehingga HIV masuk ke dalam darah
(PELKES, 2005). Selain itu, selama hubungan berlangsung dapat terjadi
lesi sehingga memudahkan masuknya virus ke dalam tubuh.
2. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi
fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan
darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh
darah dan menyebar ke seluruh tubuh.



Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
12


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

4. Pemakaian alat-alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat
lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air main yang terinfeksi
HIV.
5. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum , pisau, silet, menyunat seseorang,
membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV
sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.
6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User- IDU) sangat
berpotensi menularkan HIV.
Di pelayanan kesehatan, baik petugas maupun pasien berisiko tinggi
terinfeksi HIV. Diantara petugas kesehatan tersebut, perawat adalah yang paling
tinggi berisiko terpajan (Gambar 2.1). Mereka berpotensi terpajan darah yang
tercemar melalui transfusi atau jarum suntik dan benda tajam lainnya yang
terkontaminasi. Pajanan ke jarum suntik yang tercemar dapat terjadi secara tidak
sengaja di fasilitas pelayanan kesehatan atau melalui tukar menukar jarum
selama pemakaian obat intravena (IV) (Corwin, 1997).

Gambar 2.1 Distribusi dan Jumlah Pajanan HIV pada Petugas Kesehatan
Berdasarkan Pekerjaan (1981 - 2001)
[Sumber: NIOSH, 2004 dalam Healey and Kenneth, 2009)
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
13


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2.1.2 Hepatitis B
Virus hepatitis B merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan
kronis, sirosis dan karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia (McCulloch, 2000).
Virus Hepatitis B adalah suatu virus DNA untai-ganda yang disebut partikel
Dane. Virus ini memiliki sejumlah antigen inti dan permukaan yang telah
diketahui secara rinci yang dapat diidentifikasi di laboratorium dari sampel darah.
Antigen yang biasanya dihasilkan pertama kali oleh hepatosit yang terinfeksi
adalah antigen permukaan di selubung virus yang disebut HBsAg. Identifikasi
antigen ini, bersifat diagnostik untuk infeksi hepatitis B aktif (Corwin, 1997).
Penyakit ini bersifat serius dan biasanya menular melalui kontak dengan
darah yang mengandung virus. Penyakit ini juga ditularkan melalui hubungan
kelamin, dan dapat ditemukan di dalam semen dan cairan tubuh lainnya. Yang
berisiko khusus mengidap HBV adalah pemakai obat-obat terlarang intravena,
para pekerja kesehatan, dan heteroseks atau homoseks yang aktif secara seksual
(Corwin, 1997).

2.1.3 Hepatitis C
Hepatitis C dahulu disebut hepatitis non-A non-B, diidentifikasi tahun
1989. Virus RNA ini saat ini merupakan penyebab tersering infeksi hepatitis yang
ditularkan melalui suplai darah komersial. HCV ditularkan dengan cara yang sama
seperti HBV, terutama melalui transfusi darah. Virus ini juga dapat menimbulkan
keadaan kronik. Individu yang terinfeksi HCV berisiko mengalami kanker hati
(Corwin, 1997).

2.2 Kewaspadaan Standar (Standard Precautions)
2.2.1 Sejarah Perkembangan Kewaspadaan Standar
Sejarah perkembangan tindakan Kewaspadaan Isolasi di rumah sakit
bermula pada tahun 1970. Pada tahun tersebut, dikeluarkan pedoman Isolation
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
14


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Techniques for Use in Hospital, 1
th
ed, yang memperkenalkan tujuh kategori
Kewaspadaan Isolasi dengan color-coded cards: strict, respiratori, pelindung,
enteric, kulit dan luka, discharge, dan darah. Lima tahun berikutnya, yaitu pada
tahun 1975, kembali dikeluarkan Isolation Techniques for Use in Hospital, 2
nd
ed,
yang memiliki konsep kerangka kerja yang sama dengan edisi sebelumnya (CDC,
2007).
Pada tahun 1983, CDC mengeluarkan pedoman Isolation Precautions di
Rumah Sakit. Pada pedoman tersebut, ada dua sistem untuk isolasi yaitu kategori
khusus (category specific) dan penyakit khusus (disease-specific). Selain itu,
Protective Isolation dieliminasi dan Kewaspadaan darah diperluas mencakup
cairan tubuh. Kategori yang ada pedoman meliputi: Strict, Respiratory, AFB,
Enteric, Drainage/Secretion, Blood and Body Fluid (CDC, 2007)
Selanjutnya pada tahun 1985-88, dikembangkan pedoman Universal
Precautions (UP) sebagai respons terhadap epidemi HIV/AIDS. Prinsip Universal
Precautions adalah pedoman kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh harus
di aplikasikan pada semua pasien, tanpa memandang status infeksinya. UP tidak
berlaku untuk feses, sekresi nasal, sputum, keringat, air mata, urin, atau muntahan
kecuali yang terkontaminasi dengan darah. Pada pedoman ini, ditambahkan pula
Alat Pelindung Diri (APD) untuk melindungi petugas kesehatan dari pajanan
terhadap membran mukosa. Direkomendasikan pula untuk mencuci tangan
sesudah melepas sarung tangan. Hal lain, ditambahkan juga rekomendasi khusus
untuk penanganan jarum suntik dan benda tajam lainnya; dimana konsep ini
kemudian diintegrasikan kedalam aturan OSHA 1991 terkait pajanan terhadap
blood-borne pathogen di fasilitas pelayanan kesehatan (CDC, 2007).
Pada tahun 1987, Body Substance Isolation dikeluarkan oleh CDC.
Pedoman ini menekankan bahwa untuk menghindari kontak dengan bagian tubuh
pasien yang basah dan cairan tubuh berpotensi terinfeksi kecuali keringat,
walaupun tidak ada darah sekalipun. Pada pedoman ini, digunakan juga beberapa
komponen yang ada pada Universal Precautions (CDC, 2007).
Kemudian pada tahun 1996 CDC kembali mengeluarkan pedoman isolasi
di rumah sakit yaitu Standard Precautions. Pedoman ini disusun oleh HICPAC
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
15


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

(Healthcare Infection Control Practice Advisory Committee). Standard
Precautions (Kewaspadaan Standar) merupakan kombinasi dan pengembangan
dari Universal Precautions dan Body Substance Isolation. Kewaspadaan Standar
didasarkan pada prinsip bahwa semua darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi
kecuali keringat, kulit yang intak (tidak utuh) dan selaput mukosa mengandung
agen infeksius yang dapat menular (CDC, 2007). Kewaspadaan standar meliputi
kebersihan tangan, penggunaan sarung tangan, gaun, masker, pelindung mata, dan
praktik injeksi yang aman. Selain itu, peralatan untuk perawatan pasien yang
mungkin terkontaminasi harus ditangani dengan baik untuk mencegah penularan
agen infeksius (Franklin, 2009). Dalam Kewaspadaan Standard juga mencakup
tiga kategori Transmission-Based Precaution yaitu airborne, droplet, dan contact
(CDC, 2007).
CDC sekarang menggunakan istilah Standard Precautions untuk
mendeskripsikan tindakan perlindungan terhadap pajanan pada petugas kesehatan
dan pasien. Namun demikian, istilah Universal Precautions masih digunakan
secara luas di kalangan petugas klinis dan pelayanan kesehatan sebagai pedoman
untuk pengendalian infeksi (Kirkland, 2011).
Penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar (Universal
Standard) diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen melalui darah
dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin
dilaksanakan terhadap semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan
(FPK) (WHO, 2008).

2.2.2 Komponen Kewaspadaan Standar
Komponen Kewaspadaan Standar diantaranya meliputi:
2.2.2.1 Kebersihan Tangan
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukan tindakan perawatan walaupun pemakaian sarung tangan atau alat
pelidung lain untuk menghilangkan/ mengurangii mikroorganisme yang ada di
tangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
16


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan
(Depkes, 2003).
Tiga cara mencuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,
yaitu (Depkes, 2003):
1. Cuci tangan hieginek atau rutin, untuk mengurangi kotoran dan flora yang
ada di tangan dengan menggunakan sabun atau deterjen.
2. Cuci tangan aseptik, dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien
dengan menggunakan antiseptik.
3. Cuci tangan bedah (surgical handscrub), yaitu sebelum melakukan
tindakan bedah cara aseptik dengan menggunakan antiseptik dan sikat
steril.

a. Indikasi Cuci Tangan
Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi
perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan yang
dimungkinkan terjadinya pencemaran, seperti (Depkes, 2003):
1. Sebelum melakukan tindakan, misalnya: memulai pekerjaan (baru tiba di
tempat kerja), saat akan memeriksa (kontak langsung dengan pasien), saat
akan memakai sarung tangan steril atau sarung tangan yang telah
didesinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk melakukan suatu tindakan, saat
akan memakai peralatan yang telah di- DTT, saat akan melakukan injeksi,
saat hendak pulang pulang ke rumah.
2. Setelah melakukan tindakan yang dimungkin terjadinya pencemaran,
misalnya: setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat-alat bekas
pakai dan bahan-bahan lain yang berisiko terkontaminasi, setelah
menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya, setelah
membuka sarung tangan (cuci tangan sesudah membuka sarung tangan
perlu dilakukan karena ada kemungkinan sarung tangan berlubang atau
robek), setelah dari toilet/ kamar kecil, setelah bersin atau batuk.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
17


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

b. Sarana Cuci Tangan
Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan
saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis
atau kimiawi saat cuci tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi di
permukaan kulit (Depkes, 2003).
c. Prosedur Cuci Tangan
1. Cuci Tangan Hiegenis atau Rutin
Menurut Depkes (2008) dalam Emiliyawati (2009), cuci tangan rutin harus
dilakukan sebagai berikut:
a) Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih,
b) Tuangkan sabun secukupnya, pilih sabun cair,
c) Ratakan dengan kedua telapak tangan,
d) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan
sebaliknya,
e) Gosok dengan kedua telapak tangan dan sela-sela jari,
f) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saing mengunci,
g) Gosok ibu jari kiri putar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan
sebaliknya,
h) Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak dengan tangan kiri dan
sebaliknya,
i) Bilas kedua tangan dengan air mengalir
j) Keringkan tangan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai
benar-benar kering,
k) Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
18


Universitas Indonesia Universitas Indonesia


Gambar 2.2 Langkah-langkah Mencuci Tangan
[sumber: www.ginaseptiani.blogspot.com]

2. Cuci Tangan Aseptik
Cuci tangan aseptik biasanya dilakukan saat akan melakukan tindakan
aseptik pada pasien atau saat akan kontak dengan penderita pada keadaan tertentu.
Persiapan dan prosedur pada cuci tangan aseptik sama dengan persiapan dan
prosedur pada cuci tangan hieginis hanya bahan deterjen atau sabun diganti
dengan antiseptik setelah mencuci tangan tidak boleh menyentuh bahan yang
tidak steril (Depkes, 2003).
3. Cuci tangan Bedah
Menurut Tiedjen, dkk (2004) dalam Emaliyawati (2009) , tujuan cuci
tangan bedah adalah menghilangkan kotoran, debu dan organism secara
mekanikal dan mengurangi flora tetap selama pembedahan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
19


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Langkah-langkah cuci tangan bedah adalah:
a) Lepaskan cincin, jam tangan dan gelang.
b) Basahi kedua lengan bawah hingga siku, dengan sabun dan air bersih.
(Jika menggunakan sikat, sikat harus bersih disterilisasi atau DDT sebelum
digunakan kembali, jika digunakan spon harus dibuang setelah
digunakan).
c) Bersihkan kuku dengan pembersih kuku.
d) Bilaslah tangan dan lengan bawah dengan air.
e) Gunakan bahan antiseptik pada seluruh tangan dan lengan bawah sampai
siku dan gosok tangan dan lengan bawah dengan kuat selama sekurang-
kurangnya 2 menit.
f) Angkat tangan lebih tinggi dari siku, bilas tangan dan lengan bawah
seluruhnyadengan air bersih.
g) Tegakkan kedua tangan ke atas dan jauhkan dari badan, jangan sentuh
permukaan atau benda apapun dan keringkan kedua tangan itu dengan lap
bersih dan kering atau keringkan dengan diangin-anginkan.
h) Pakailah sarung tangan bedah yang steril atau DDT pada kedua tangan.

2.2.2.2 Alat Pelindung Diri
Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lender
petugas dari risiko pajanan darah, semua cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang
tidak utuh dan selaput lendir pasien (Depkes, 2003).
Jenis-jenis Alat Pelindung terdiri dari:
a. Sarung tangan
b. Pelindung wajah/ masker/ kaca mata
c. Penutup kepala
d. Gaun pelindung (baju kerja/ celemek)
e. Sepatu pelindung (sturdy foot wear)


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
20


Universitas Indonesia Universitas Indonesia














[sumber:Depkes, 2003 dalam www.yayasanspritia.co.id]

a. Sarung Tangan
Alat pelindung diri (APD) digunakan untuk melindungi kulit dan selaput
lendir petugas dari risiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret,
ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Salah satu alat pelindung
diri adalah sarung tangan (Depkes, 2003).
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak
dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Dikenal ada tiga jenis sarung
tangan, yaitu (Depkes, 2003):
1. Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi
dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir
misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka.
Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada
sarung tangan steril.
2. Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus
digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril
baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tinggi.
Gambar 2.2 Alat Pelindung Diri
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
21


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

3. Sarung tangan rumah tangga. Sarung tangan ini terbuat dari latex atau vinil
yang tebal, seperti sarung tangan yang biasa digunakan untuk keperluan
rumah tangga. Sarung tangan rumah tangga dipakai pada waktu
membersihkan alat kesehatan. Sarung tangan ini juga dapat digunakan lagi
setelah dicuci dan dibilas bersih.

b. Pelindung Wajah (Masker dan Kacamata)
Pelindung wajah terdiri dari dua macam pelindung yaitu masker dan
kacamata, dengan berbagai macam bentuk, yaitu ada yang terpisah dan ada pula
yang menjadi satu. Pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk melindungi
selaput lender hidung, mulut dan mata selama melakukan tindakan atau perawatan
pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain, termasuk
tindakan bedah ortopedi atau perawatan gigi (Depkes, 2003).
Masker, kacamata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan
petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko
tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antaralain pembersihan
luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai
(Depkes, 2003)

c. Penutup Kepala
Tujuan pemakaian penutup kepala adalah mencegah jatuhnya
mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-
alat/area steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/ rambut petugas dari
percikan bahan-bahan pasien (Depkes, 2003).

d. Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk memproteksi kulit dan mencegah
kotornya pakaian selama tindakan yang umumnya bisa menimbulkan percikan
darah, cairan tubuh, sekret, dan ekskresi (WHO, 2008). Jenis bahan dapat berupa
bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Selain itu, jika dipandang
dari macam aspeknya, gaun pelindung terdiri dari gaun pelindung tidak kedap air
dan gaun pelindung kedap air, gaun pelindung steril dan non steril.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
22


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi, misalnya pada saat
membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase,
menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang pembuangan, mengganti
pembalut, menangani pasien dengan pendarahan masif, melakukan tindakan
bedah termasuk otopsi, perawatan gigi, dan lain-lain (Depkes, 2003).

e. Sepatu Pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah untuk melindungi kaki petugas
dari tumpahan/ percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan. Sepatu khusus
sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan tahan tusukan. Sepatu
pelindung digunakan ketika bekerja di ruang tertentu seperti: ruang bedah,
laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang pemulasaraan jenazah dan petugas
sanitasi.

2.2.2.3 Linen
Linen harus diperhatikan cara penanganan, transportasi, dan pemrosesan
linen yang telah dipakai. Cegah pajanan pada kulit dan membran mukosa serta
kontaminasi pada pakaian dan cegah penyebaran patogen ke pasien lain dan
lingkungan (WHO, 2008).
Pada akhir tindakan, dengan menggunakan sarung tangan, ambil linen/kain
penutup lapangan operasi, masukkan dengan hati-hati ke dalam kontainer atau
kantung plastik. Kemudian diikat, untuk dikirim ke tempat pencucian. Bila kain/
linen tercemar, beri larutan klorin 0,5% pada 5 bagian yang terpapar darah/cairan
plastik, diikat, diberi label bahan menular, kirim ke tempat pencucian (Depkes,
2003).

2.2.2.4 Pengelolaan Alat Kesehatan
Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah penyebaran infeksi melalui
alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam kondisi steril dan siap
pakai (Nursalam dan Ninuk, 2010). Pengelolaan alat dilakukan melalui empat
tahap (Depkes, 2003):

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
23


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

1. Dekontaminasi
Dekontaminasi merupakan langkah pertama dalam menangani alat bedah
dan sarung tangan yang tercemar. Segera setelah alat digunakan, alat harus
direndam di larutan klorin 0,5 % selama 10 menit. Langkah ini bertujuan
mencegah penyebaran infeksi alat kesehatan atau suatu permukaan benda,
menginaktivasi virus serta dapat mengamankan petugas yang
membersihkan alat tersebut dari risiko penularan (Nursalam dan Ninuk,
2010).
2. Pencucian
- Setelah dekontaminasi, dilakukan pembersihan. Pembersihan dapat
dilakukan dengan mencuci alat-alat kesehatan tersebut dengan deterjen
netral dan air dan jangan lupa menggunakan sarung tangan.
- Deterjen digunakan dengan cara mencampurkannya dengan air dan
digunakan untuk membersihkan partikel dan minyak serta kotoran
lainnya.
- Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan darah, misalnya
kursi roda, tensimeter, infuse pump, dan lain-lain cukup dilap dengan
larutan deterjen, air dan sikat.
3. Desinfeksi dan Sterilisasi
a. Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau
semua mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali endospora bakteri.
Biasanya dilakukan dengan menggunakan cairan kimia, pasteurisasi
atau perebusan. Dikenal ada beberapa macam desinfeksi, yaitu:
1) Desinfektan kimiawi: alcohol, klorin dan ikatan klorin, formaldehid,
glutardehid, hidrogen peroksida, yodifora, asam parasetat, fenol,
ikatan auronimum kuartener.
2) Desinfeksi fisik: radiasi dengan ultraviolet, pasteurisasi, dan
menggunakan mesin desinfektor (flushing and washer disinfector)
3) Desinfeksi tingkat tinggi (DTT), merupakan alternatif
penatalaksanaan alat kesehatan apabila sterilisasi tidak tersedia atau
tidak mungkin dilaksanakan. DTT dapat membunuh semua
mikroorganisme termasuk Hepatitis B dan HIV, namun tidak dapat
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
24


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

membunuh endospora dengan sempurna. Cara melakukan DTT
antaralain:
- merebus dalam air mendidih selama 20 menit,
- rendam dalam desinfektan kimiawi seperti glutaraldehid,
formaldehid 8%.
- DTT dengan uap (steamer)
b. Sterilisasi adalah proses menghilangkan seluruh mikroorganisme dari
alat kesehatan termasuk endospora bakteri. Sterilisasi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
1) Sterilisasi fisik, seperti: pemanasan basah, pemanasan kering,
radiasi sinar gamma, dan filtrasi.
2) Sterilisasi kimiawi, menggunakan bahan kimia dengan cara
merendam (misalnya dalam larutan glutaraldehid) dan menguapi
dengan gas kimia (diantaranya dengan gas etilin oksida).
4. Penyimpanan
Dari cara penyimpanannya, ada dua cara penyimpanan:
1) Alat yang dibungkus. Selama peralatan masih terbungkus, semua alat
steril dianggap tetap steril. Untuk penyimpanan yang optimal, simpan
bungkusan steril dalam lemari tertutup di bagian yang tidak terlalu
sering dijamah, suhu udara sejuk dan kering atau kelembaban rendah.
2) Alat yang tidak terbungkus. Alat yang tidak terbungkus harus
digunakan segera setelah dikeluarkan. Alat yang tersimpan pada wadah
steril dan tertutup apabila yakin tetap steril paling lama 1 minggu,
tetapi kalau ragu-ragu harus disterilkan kembali.

2.2.2.5 Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya
Benda tajam sangat berisiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga
meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah misalnya
penularan infeksi HIV/AIDS, Hepatitis B dan C di sarana kesehatan. Penularan
penyakit infeksi tersebut sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat
dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan oleh alat tajam lainnya
(Depkes, 2003).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
25


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada
saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai ke dalam
tutupnya. Oleh karena itu, sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum
suntik tersebut, melainkan langsung saja di buang ke tempat penampungan
sementara tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti
dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa ditutup
kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu tangan (one-
hand scoop) untuk mencegah jari tertusuk jarum (Depkes, 2003).
Gambar 2.3 Cara Pengelolaan Jarum Suntik
[Sumber: www.utexas.edu/safety/ehs]

Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan,
maka diperlukan suatu wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air
atau tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampungan jarum suntik
bekas pakai harus dapat dipergunakan dengan satu tangan, agar pada waktu
memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah
tersebut ditutup dan diganti setelah bagian terisi dengan limbah, dan setelah
ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah (Depkes, 2003).


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
26


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Pencegahan Luka Tusuk Jarum dan Pajanan Darah Menggunakan Hirarki
Kontrol.
Berikut ini adalah hirarki dari control dalam upaya menegah terjadi luka
tertusuk jarum dan pajanan darah (WHO, 2010):
a. Elimination of hazard Menghilangkan bahaya dari area tempat petugas
bekerja adalah cara yang efektif untuk mengontrol hazard; pendekatan ini
seharusnya digunakan bila memungkinkan, contohnya:
- Menghilangkan menggunakan benda tajam dan jarum suntik bila
memungkinkan (misalnya dengan menggunakan jet injectors for
needles and syringes, atau menggunakan needleless intravenous
systems;
- Mengurangi penyuntikan yang tidak perlu;
- Menghilangkan benda Tajam yang tidak diperlukan seperti towel clips.
b. Engineering controls Peralatan yang digunakan untuk mengisolasi atau
menghilangkan bahaya dari tempat kerja;
- Menyediakan kontainer tempat pembuangan benda tajam;
- Menggunakan alat pelindung.
c. Administrative controls Termasuk diantaranya kebijakan, seperti SOP,
misalnya:
- Alokasi sumber daya sebagai perwujudan komitmen untuk
keselamatan dan kesehatan petugas;
- Adanya komite pencegahan luka tertusuk jarum;
- Menghilangkan semua peralatan yang tidak aman;
- Secara konsisten mengadakan training penggunaan APD yang aman.
d. Work Practice controls Pengontrolan untuk mengubah perilaku
pekerjanya, untuk mengurangi pajanan hazards, Misalnya
- Tidak recapping jarum.
- Menempatkan kontainer benda tajam di tempat yang mudah dijangkau.
- Menyegel dan membuang benda tajam yang terdapat pada kontainer
ketika sudah terisi .
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
27


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

e. Personal Protective Equipment Menyediakan alat pelindung bagi
pekerja, misalnya : eye goggle, sarung tangan, masker dan baju pelindung.

2.2.2.6 Pengelolaan Limbah
Sebagai output dari pelayanan perawatan pasien dihasilkannya limbah,
baik limbah rumah tangga maupun limbah medis. Limbah rumah tangga adalah
limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh sehingga disebut
sebagai risiko rendah. Sebaliknya, limbah medis yaitu limbah yang berasal dari
bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien sehingga
dikategorikan limbah berisiko tinggi dan bersifat menularkan penyakit (Depkes,
2003). Oleh karena itu, pastikan pengelolaan limbah harus aman.
Limbah medis dapat berupa limbah klinis, limbah laboratorium, dan
limbah berbahaya. Limbah klinis dapat berupa darah atau cairan tubuh lainnya,
material yang mengandung darah kering, jaringan tubuh, dan benda-benda tajam
bekas pakai. Baik limbah klinis maupun limbah laboratorium harus diperlakukan
sebagai limbah infeksius berdasarkan aturan setempat (WHO, 2008).
Cara penanganan limbah klinis antara lain:
- Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir/ pembakaran (incinerator),
smeua jenis limbah klinis ditampung di dalam kantong kedap air, biasanya
berwarna kuning.
- Ikat secara rapat kantong yang sudah berisi 2/3 penuh

Sedangkan cara penanganan limbah laboratorium, antara lain:
- Sebelum keluar dari ruangan laboratorium dilakukan sterilisasi dengan otoklaf
selanjutnya ditangani secara prosedur pembuangan limbah klinis
- Cara pembuangan yang terbaik untuk limbah medis adalah dengan insinerasi
- Satu-satunya cara lain adalah dengan menguburnya dengan metode kapurasi.

a. Pemilahan
Pemilahan dilakukan dengan menyediakan wadah (kantong plastik
berwarna) sesuai dengan jenis sampah medis. Kantong warna kuning untuk
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
28


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

limbah infeksius, hitam untuk bahan non-medis, merah untuk bahan beracun, dan
lain-lain (Depkes, 2003).

b. Penanganan
Penanganan sampah dari berbagai sumber dilakukan dengan cara (Depkes,
2003):
- Wadah tidak boleh penuh atu luber. Bila wadah sudah terisi bagian maka
segera dibawa ke tempat pembuangan akhir.
- Wadah berupa kantong plastik dapat diikat rapat pada saat pengangkutan, dan
akan dibuang berikut wadahnya.
- Pengumpulan sampah harus tetap pada wadahnya, jangan dituangkan pada
gerobak.
- Petugas yang menangani harus selalu menggunakan sarung tangan dan sepatu,
serta harus mencuci tangan dengan sabun setiap selesai mengambil sampah.

c. Penampungan Sementara
Syarat yang harus dipenuhi wadah sementara, antara lain:
- Ditempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien dan
pengunjung.
- Harus bertutup dan kedap air serta tidak mudah bocor agar terhindar dari
jangkauan serangga, tikus, dan binatang lainnya.
- Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.

Untuk benda tajam, wadah penampung sementara harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
- Tahan bocor dan tusukan
- Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu tangan
- Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
- Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan satu tangan
- Ditutup dan diganti setelah bagian terisi dengan limbah
- Ditangani bersama limbah medis


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
29


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

d. Pembuangan/ Pemusnahan
Seluruh sampah akhirnya harus dilakukan pembuangan atau pemusnahan.
Sistem pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran (insinerasi).
Pengelolaan (pembuangan) limbah cair antara lain:
- Sistem penyaluran harus tertutup
- Kemiringan saluran 2
o
4
o
untuk menjaga endapan dalam saluran
- Belokan (elbow) saluran harus lebih besar dari 90
o

- Bangunan penampung harus kedap air, kuat, dilengkapi mainhole dan lubang
hawa
- Penempatan lokais harus mempertimbangkan keadaan muka air tanah dan
jarak dari sumber air.

Untuk benda tajam, pengelolaan antaralain:
- Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan ke dalam
kantong media sebelum insinerasi
- Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat
dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain
- Adapun metode yang digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan
perlukaan.


2.3 Kepatuhan (Compliance)
2.3.1 Definisi Perilaku Kepatuhan
Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Semua perilaku individu pada dasarnya dibentuk oleh kepribadian
dan pengalamannya (Rivai dan Muyadi, 2009). Perilaku adalah keseluruhan
(totalitas) pemahaman dan aktivitas antara faktor internal dan faktor eksternal
(Notoatmodjo, 2007).
Heynes, et.al (1979) dalam Estathitio (2011) mendefinisikan kepatuhan
yang diterima secara luas dalam pengaturan perawatan kesehatan. Menurut
konteks ini, kepatuhan adalah sejauh mana perilaku tertentu (misalnya, mengikuti
perintah dokter atau menerapkan gaya hidup sehat) sesuai dengan instruksi dokter
atau saran kesehatan. Kepatuhan dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
30


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

berbagai faktor seperti budaya, faktor ekonomi dan sosial, self-efficacy, dan
pengetahuan. Pedoman yang memandu perilaku individu ada dalam berbagai
peraturan (termasuk peraturan perawatan kesehatan), tetapi tidak selalu dipatuhi.
Sedangkan menurut Sarafino (1990) dalam Smet (1994) mendefinisikan
kepatuhan (atau ketaatan) (compliance atau adherence) sebagai Tingkat pasien
melakukan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau
oleh yang lain
Dua definisi kepatuhan di atas, lebih merujuk kepada perilaku kepatuhan
pasien dalam pengobatan. Namun demikian, definisi ini juga dapat diaplikasikan
pada petugas kesehatan, yaitu perilaku petugas kesehatan mengikuti standar
prosedur dan kebijakan yang berlaku di pelayanan kesehatan.
Albery dan Marcus (2008) menjelaskan, in the context of health
psychology, adherence refers to the situation when the behaviour of an individual
matches the recommended action or advice proposed by a health practitioner or
information derived from some other information source (such as advice given in
a health promotion leaflet or via a mass media campaign).


2.3.2 Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Standar
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar merupakan seperangkat
pedoman direkomendasikan untuk diterapkan dalam setiap praktik kerja untuk
melindungi petugas kesehatan dari pajanan penyakit infeksi yang menular lewat
darah (blood-borne pathogen). Pedoman tersebut meliputi kebersihan tangan,
pemakaian APD, pengelolaan benda tajam, dan lain-lain. Namun pada
kenyataannya, penerapan kepatuhan adalah masih rendah. Hal ini terkait dengan
perilaku kesehatan petugas kesehatan.
Perilaku kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan
Standar dapat ditinjau dari work-system analisys (Gambar 2.4) yang terdiri dari
faktor pekerja/individu, faktor pekerjaan/tugas dan faktor lingkungan/organisasi
(Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed) (1998)).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
31


Universitas Indonesia Universitas Indonesia














Gambar 2.4 Model Determinan Perilaku Kepatuhan
[Sumber: Mc Govern, et.al. (2000)]

2.3.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Terhadap
Penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar
2.3.3.1 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan
sebagainya. Pengetahuan orang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat
yang berbeda-beda, yang dapat di bagi ke dalam 6 tingkat pengetahuan
(Notoatmodjo, 2007):

Personal Traits
Sosiodemografi, Sikap,
Kepercayaan, Nilai,
Pengetahuan, dan
Pendidikan
Work-related
requirements
Pengalaman,
Keterampilan, Cognitive
demands, Beban Kerja,
Work Stress.
Organizational Factors
Pelatihan, Peer Review,
Dukungan Administratif,
Safety climate.
KEPATUHAN
CORRESPONDING
OR
CONFLICTING
DEMANDS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
32


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai memanggil (recall) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang
diketahui tersebut pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

2.3.3.2 Persepsi tentang Risiko
Sikap yang paling sering diteliti dalam konteks keselamatan (safety)
adalah persepsi risiko. Dalam konteks ini (Young dan David, 2005), Websters
New Universal Un-abridged Dictionary (1983) menjelaskan bahwa risk is
defined as the perceived chance of injury, damage, or loss. Perceived risk is
considered important because it has the potential to influence peoples intent to
seek out warning information and comply with warnings (Wogalter, Desaulniers,
and Brelsford, 1987; DeJoy, 1989, 1991; Dingus, Wreggit, and Hathaway, 1993).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
33


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Jadi, persepsi risiko adalah istilah yang mengacu pada penilaian seseorang
mengenai karakteristik dan tingkat keparahan bahaya dari risiko.
Persepsi terhadap risiko digunakan dalam penelitian perilaku untuk
menentukan dampaknya pada tingkat kepatuhan. Dejoras (1992) dan Donner
(1990) menyatakan ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan.
Otsubo (1988) menggunakan tingkat risiko sebagai variabel independen pada
studi perilaku kepatuhan (Wolgater, et.al.2005).
Menurut HBM, kemungkinan individu melakukan pencegahan tergantung
secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health
belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of
injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits
and cost) (Machfoedz dan Eko, 2007).
Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan
muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau
kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah
bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku
pencegahan juga akan meningka (Machfoedz dan Eko, 2007)t.
Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada (Machfoedz
dan Eko, 2007) :
a) Perceived vulnerability (ketidak-kekebalan yang dirasakan), kemungkinan
bahwa mereka dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi
mereka.
b) Perceived severity (keseriusan yang dirasakan). Orang-orang akan
mengevaluasi sejauh mana penyakit akan menjadi serius apabila
mengembangkan masalah kesehatan atau membiarkan penyakitnya tidak
ditangani.


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
34


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2.3.3.3 Risk-Taking Personality
Definisi risk-taking menurut Levenson (1990 adalah risk taking is defined
as any purposive activity that entails novelty or danger sufficient to create anxiety
in most people. Risk taking can be either physical or social, or a combination of
the two. Risk taking refers to the tendency to engage in behaviors that have the
potential to be harmful or dangerous, yet at the same time provide the opportunity
for some kind of outcome that can be perceived as positive. Driving fast or
engaging in substance use would be examples of risk-taking behavior. They may
bring about positive feelings in-the-moment. However, they can also put you at
risk for serious harm, such as an accident (www.ptsd.about.com) Berdasarkan
definisi ini dapat diambil makna bahwa risk-taking mengacu pada kecenderungan
untuk terlibat dalam perilaku yang memiliki potensi menjadi berbahaya atau
berbahaya, namun pada saat yang sama memberikan hasil yang dapat dirasakan
sebagai sesuatu yang positif. Misalnya, mengebut atau menggunakan narkoba
merupakan contoh perilaku risk-taking. Mereka sebagai risk-taker mungkin
memiliki perasaan yang sangat puas atau senang saat melakukan hal tersebut.
Akan tetapi, hal ini dapat menempatkan mereka pada risiko yang sangat
berbahaya seperti pengebut mengalami kecelakaan sedangkan pengguna narkoba
mengalami overdosis. Sedangkan risk-taking personality adalah sikap seseorang
terhadap perilaku berisiko (Mc Gorven, et.al., 2000).

2.3.3.4 Efficacy of Prevention
Efficacy of prevention pada individu akan terwujud apabila didukung
dengan efektivitas tindakan pencegahan (precautionary) yang ada serta persepsi
individu itu sendiri terhadap kemampuannya untuk berhasil mengikuti
precautionary tersebut (self-efficacy).
Self Efficacy dapat didefinisikan sebagai sejauh mana individu meyakini
mereka mampu menghadapi tantangan dalam hidup. Kemampuan diri membentuk
bagian teori kognitif sosial dari Bandura (Bandura 1986) yang yakin bahwa
perilaku dipelajari, melalui modeling, visualisasi, pemantauan diri, dan pelatihan
keterampilan. Perilku ditentukan oleh harapan dan insentif. Harapan dikategorikan
dalam:
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
35


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

- Harapan tentang petunjuk lingkungan keyakinan tentang bagaimana
kejadian-kejadian dihubungkan.
- Harapan hasil keyakinan tentang perilaku mungkin mempengaruhi hasil
- Harapan kemampuan harapan tentang kompetensi diri seseorang untuk
melakukan perilaku yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil.

2.3.3.5 Hambatan penerapan UP/SP
Hambatan dalam menerapkan UP/SP yang dirasakan responden jelas
mempengaruhi kemampuan dan kemauan petugas kesehatan untuk patuh dengan
penerapan pedoman KU/KS (DeJoy, et.al., 1995). Hambatan penelitian ini dapat
diterjemahkan sebagai adanya konflik kepentingan antara melayani kebutuhan
pasien dengan kebutuhan responden melindungi diri. Akibatnya, dalam situasi-
situasi tertentu (keadaan emergensi), perawat dan bidan sering mengabaikan
pedoman KU/KS, misalnya menggunakan APD.

2.3.3.6 Beban Kerja
Beban kerja yang dimaksudkan dalam konteksi ini adalah penilaian
responden terhadap tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Berdasarkan
penelitian dalam DeJoy (1995), salah satu faktor pekerjaan yaitu beban kerja
ditemukan tidak dapat memprediksikan kepatuhan. Namun, menurut Kelen, et.al.,
1990 dalam DeJoy (1995), ketidakcukupan waktu menjadi alasan yang kuat pada
ketidakpatuhan.
Beban kerja termasuk dalam salah satu variabel pemicu stress di
lingkungan kerja. Salah satu cara stress dapat mempengaruhi kesakitan dan
kesehatan adalah the health behavior route. Faktor beban kerja ini dapat
menyebabkan dampak yang merugikan, termasuk perilaku. Stress dapat secara
langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu
(Smet, 1994).

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
36


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

2.3.3.7 Safety Climate
Menurut (Zohar, 1980 dalam Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed)
(1998) safety climate refers to the perceptions that workers share about safety in
their organization Dari definisi ini dapat diartikan bahwa safety climate atau
iklim keselamatan kerja adalah persepsi pekerja mengenai kondisi dan situasi
keselamatan kerja di organisasinya.
Sedangkan menurut Griffin dan Neal dalam Benedetto (2011), iklim
keselamatan kerja adalah persepsi responden mengenai kebijakan, prosedur, dan
tindakan-tindakan yang diambil terkait dengan keselamatan kerja.
Keselamatan kerja yang positif adalah ada komitmen untuk menjadikan
keselamatan kerja sebagai sesuatu hal yang penting dan diprioritaskan, dimana
komitmen tersebut diwujudkan baik dalam kata-kata maupun tindakan.
Keselamatan kerja harus diintegrasikan ke dalam sistem manajemen organisasi,
artinya keselamatan kerja harus ditangani/ dianggap penting dengan fungsi
fungsi organisasi yang lain (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998).

2.3.3.8 Safety Performance Feedback
Safety performance feedback merupakan umpan balik yang baik yang
bersifat formal maupun informal yang diterima dari pimpinan, supervisor, dan
rekan kerja. Umpan balik yang bersifat formal misalnya penilaian kinerja.
Sedangkan umpan balik yang bersifat informal cenderung lebih tidak tegas dan
berhubungan dengan interaksi antara rekan kerja (DeJoy, et.al., 1995).

2.3.3.9 Pelatihan dan Ketersediaan APD
Menurut teori Green, et.al., (1980) menjelaskan bahwa salah satu faktor
pendukung yang mempengaruhi perilaku tertentu adalah ketersediaan sumber
daya. Tanpa adanya dukungan sumber daya yang memadai akan menghambat
sesorang untuk melakukan sesuatu dengan baik.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
37


Universitas Indonesia Universitas Indonesia

Dalam konteks kepatuhan dengan KU/KS, ketersediaan sumber daya yaitu
adanya fasilitas yang mendukung pekerja untuk melaksanakan kewaspadaan
universal/standar, misalnya adanya sarana dan prasarana cuci tangan, alat
pelindung diri (APD), bahan/perlengkapan untuk desinfektan dan sterilisasi, dan
perlengkapan untuk penanganan benda tajam dan pengelolaan sampah medis.


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
38
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 Kerangka Teori
Dalam menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam penerapan
kewaspadaan universal, mengacu pada teori pendidikan kesehatan yaitu model PRECEDE oleh
Laurence Green (1980), dan modifikasi oleh DeJoy (1986b) yaitu untuk aplikasi perilaku
melindungi diri sendiri ditempat kerja (McGovern, et.al., 2000).















Gambar 3.1 Model Determinan Perilaku Kepatuhan
[Sumber: Mc Govern, et.al. (2000)]
Personal Traits
Sosiodemografi, Sikap,
Kepercayaan, Nilai,
Pengetahuan, dan
Pendidikan
Work-related
requirements
Pengalaman,
Keterampilan, Cognitive
demands, Beban Kerja,
Work Stress.
Organizational Factors
Pelatihan, Peer Review,
Dukungan Administratif,
Safety climate.
KEPATUHAN
CORRESPONDING
OR
CONFLICTING
DEMANDS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
39


Universitas Indonesia
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.1, terdapat 3 faktor utama yang berhubungan
dengan kepatuhan, yaitu faktor personal traits (faktor individu), faktor work-related
requirements (faktor pekerjaan/tugas), dan organizational factors (faktor organisasi) (Mc
Govern, et.al., 2000).
1. Faktor individu meliputi:
- demografi (jenis kelamin, umur, pendidikan),
- karakteristik pekerjaan (jumlah jam kerja/hari, profesi, lama kerja),
- pengetahuan (pengetahuan umum mengenai HIV dan KU, pengetahuan mengenai
transmisi HIV, cara alternatif penularan HIV),
- sikap dan persepsi (sikap terhadap pasien dengan HIV, persepsi seseorang tentang risiko
HIV pada pekerjaannya, persepsi individu bahwa KU sebagai hambatan dalam job
performance, dan efficacy of Universal Precautions, dan sikap terhadap perilaku
berisiko),
- keyakinan (pada kemampuan seseorang untuk melindungi dirinya dari HIV pada
pekerjaan)
2. Work-related factors, meliputi:
- Cognitive demand
- Job ambiguity
- Beban kerja
- Stress terkait pekerjaan
3. Organizational factors, meliputi:
- Iklim keselamatan kerja (safety climate)
- Ketersediaan APD
- Pelatihan tentang Pemakaian APD
- Pelatihan tentang Kewaspadaan Universal

Dengan menggunakan framework yang sama yaitu model PRECEDE (Green, et.al.,
1980) dimodifikasi oleh DeJoy (1986a) untuk aplikasi melindungi diri sendiri di tempat kerja,
DeJoy, Gershon,& Murphy (1995) menjelaskan, untuk menentukan kepatuhan pekerja terhadap
Universal Precautions, ada empat faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
40


Universitas Indonesia
1. Faktor demografi, terdiri dari : umur, lama kerja pada pekerjaan saat ini, lama kerja
bekerja sebagai perawat.
2. Karakteristik pribadi pekerja, meliputi: personal risk-taking tendencies, khawatir tertular
HIV saat bekerja, pengetahuan tentang KU yang dirasakan (perceived knowledge of UP) ,
dan nilai dari tindakan pencegahan yang dirasakan (perceived value of preventive action).
3. Faktor tugas pekerjaan, meliputi: job hindrance or barriers (hambatan pekerjaan), beban
kerja, role ambiguity, kenyamanan secara fisik saat bekerja.
4. Organisasi, terdiri dari: ketersediaan APD, performance feedback, dan safety climate.

3.2 Kerangka Konsep
Dalam peneltian ini, tidak semua variabel yang ada di kerangka teori dijadikan kerangka
konsep penelitian. Ada beberapa variabel yang tidak dimasukkan karena peneliti ingin
memfokuskan penelitian pada variabel tertentu. Variabel yang diambil menjadi kerangka konsep
(Gambar 3.2) adalah variabel yang diadopsi dari model studi McGovern, et.al.(2000) dan DeJoy,
Gershon,& Murphy (1995).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor individu (pengetahuan tentang
transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality,
efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja
(workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, dan pelatihan dan
ketersediaan APD). Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan perawat
dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Standar di RS PMI Bogor. Berikut adalah
gambar kerangka konsep dalam penelitian ini:
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
41


Universitas Indonesia


















3.3 Hipotesis
Dalam penelitian ini, selain bertujuan untuk melihat gambaran kepatuhan perawat dan
bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar juga bertujuan untuk
melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Hipotesis nol
untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
H
0
1 : Tidak ada perbedaan antara faktor individu dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar.
Variabel Independen Variabel Dependen
Faktor Individu
- Pengetahuan tentang
transmisi penularan HIV,
HBV,dan HCV
- Persepsi terhadap risiko
- Risk-taking personality
- Efficacy of prevention
Faktor Pekerjaan
- Hambatan dalam penerapan
UP/SP
- Beban Kerja (workload)

Faktor Organisasi
- Safety climate
- Safety Performance
Feedback
- Pelatihan dan Ketersediaan
APD
Kepatuhan Perawat dan
Bidan dalam Penerapan
Kewaspadaan Universal/
Standar
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
42


Universitas Indonesia
H
0
2 : Tidak ada perbedaan antara faktor pekerjaan dengan kepatuhan perawat dan
bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar.
H
0
3 : Tidak ada perbedaan antara faktor organisasi dengan kepatuhan perawat dan
bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar.


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

43

3.4 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur
Skala
ukur
Hasil ukur
Variabel Dependen
1. Kepatuhan dalam
penerapan KU/KS
Perilaku perawat dalam
melindungi dirinya dan pasien
dari penyakit yang ditularkan
melalui darah atau cairan
tubuh lainnya dengan
melakukan tindakan
tindakan khusus sesuai
dengan pedoman
kewaspadaan
universal/kewaspadaan
standar.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 11
pertanyaan. Variabel
kepatuhan diukur dengan
perhitungan 5 - poin skala
likert:
Selalu : 5
Sering : 4
Kadang-kadang : 3
Jarang : 2
Tidak pernah : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 11 -
55.

0. Tidak Patuh, bila <
median
1. Patuh, bila median

Variabel Independen
2. Pengetahuan
tentang transimisi
HIV, HBV, dan
HCV
Kemampuan responden
dalam menjawab
pertanyaan secara benar.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 6
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5 -
poin skala likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 -
30.

0. Tidak baik, bila <
median
1. Baik, bila median.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

44

3. Persepsi terhadap
risiko
Penilaian responden
mengenai karakteristik
dan tingkat keparahan
bahaya dari risiko.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 3
pertanyaan. Item pertama
merupakan pertanyaan negatif.
Variabel kepatuhan diukur
dengan perhitungan 5 - poin
skala likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
Untuk pertanyaan (-) perhitungan
dilakukan sebaliknya.
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 -
15.

0. Tidak baik, bila <
mean
1. Baik, bila mean.
4. Risk-taking
personality
Sikap responden terhadap
perilaku berisiko (Mc
Govern, et.al., 2000).
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 4
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5 -
poin skala likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1

Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 4
20.

0. Risk taker, bila
median.
1. Non Risk Taker, bila
< median
5. Efficacy of
prevention
Kepercayaan perawat dan
bidan bahwa mereka
mampu mencegah
terpajan penyakit infeksi
lewat darah dengan
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 3
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5 -
poin skala likert:
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 -
15.

0. Tidak baik, bila <
median
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

45

mengikuti pedoman
Kewaspadaan
Universal/Standar
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
1. Baik, bila median .
6. Hambatan dalam
penerapan UP/SP
Persepsi perawat dan
bidan mengenai konflik
mendahulukan kebutuhan
melayani pasien dengan
kebutuhan perawat dan
bidan melindungi diri
sendiri (DeJoy, Gershon,
& Murphy, 1998) dan
konflik-konflik lain
seperti kurangnya waktu,
ketidaknyamanan dan
ketidakterbiasaan
menggunakan APD.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 6
pertanyaan negatif. Variabel
kepatuhan diukur dengan
perhitungan 5 - poin skala likert:
Sangat Setuju: 1
Setuju : 2
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 4
Sangat Tidak Setuju : 5
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 -
30.

0. Tinggi, bila < median
1. Rendah, bila
median
7. Beban kerja
(workload)
Penilaian responden
terhadap tuntutan
pekerjaan yang harus
diselesaikan.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 3
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5 -
poin skala likert:
Sangat Sering: 5
Sering : 4
Cukup Sering : 3
Tidak Sering: 2
Sangat Tidak Sering : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 -
15.

0. Tinggi, bila median
1. Rendah, bila <
median

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

46

8. Safety Climate Persepsi responden
mengenai kebijakan,
prosedur, dan tindakan-
tindakan yang diambil
terkait dengan
keselamatan (Griffin dan
Neal dalam Benedetto,
2011).
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 7
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5 -
poin skala likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 7 -
35.

0. Tidak baik, bila <
mean
1. Baik, bila mean.
9. Safety Performance
feedback
Umpan balik baik yang
bersifat formal maupun
informal yang diterima
oleh perawat dan bidan
dari pimpinan,
supervisor, dan rekan
kerja.
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 5
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan skala
likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 5 -
25.

0. Tidak baik, bila <
mean
1. Baik, bila mean.
10. Pelatihan dan
ketersediaan APD
Persepsi responden
mengenai pelatihan dan
ketersediaan APD di RS
PMI Bogor
Dengan mengisi kuesioner.
Jumlah pertanyaan terdiri 6
pertanyaan. Variabel kepatuhan
diukur dengan perhitungan 5
poin skala likert:
Sangat Setuju: 5
Setuju : 4
Ragu - ragu : 3
Tidak Setuju: 2
Sangat Tidak Setuju : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 -
30.

0. Tidak baik, bila <
mean.
1. Baik, bila mean.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

47


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


47
Universitas Indonesia

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan desain cross sectional.
Alasan penggunaan desain penelitian ini karena ingin mengetahui hubungan
antara variabel independen dan variabel dependen dimana pengukuran kedua
variabel tersebut dilakukan pada waktu yang bersamaan. Variabel independen
dalam penelitian ini adalah faktor individu (pengetahuan tentang transmisi
penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality,
efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP,
beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance
feedback, pelatihan dan ketersediaan APD). Sedangkan variabel dependen dalam
penelitian ini adalah kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan perencanaan dan
evaluasi dalam upaya promosi kesehatan bagi petugas kesehatan khususnya
masalah perilaku kepatuhan perawat dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar dan dapat menunjang penelitian selanjutnya.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di RS PMI Bogor yang berlokasi di Jl.
Pajajaran No. 80, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat dan bidan pelaksana di
RS PMI Bogor yaitu sebanyak 352 orang. Jumlah populasi ini diperoleh dari hasil
akumulasi total perawat di ruangan-ruangan sebagai berikut: Instalasi Gawat
Darurat, Paviliun Anggrek, Paviliun Melati, Paviliun Mawar, Ruang Aster, Ruang
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
48


Universitas Indonesia

Alamanda, Ruang Dahlia, Ruang Soka, Ruang Seruni, Ruang Gardena, Ruang
Cempaka, Kamar Bersalin (VK), IBS & CSSD, Recovery Room & Anastesi,
Poliklinik Afiat, Poliklinik Reguler, Ruang VVIP dan Hemodialisa.
Besar sampel penelitian dihitung menggunakan rumus proporsi binomunal
(binomunal proportions). Dengan jumlah populasi yang diketahui (N), maka besar
sampel dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Kothari, 1990 dalam
Murti, 2010):
n =
n : jumlah sampel minimal yang diperlukan
: derajat kepercayaan 90% (1,96)
d : derajat akurasi presisi yang diinginkan = 10%
p : estimasi proporsi yang patuh terhadap kepatuhan penerapan
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Karena tidak ada
data sebelumnya tentang prevalensi populasi, maka p=0,5
(Lemeshow et al., 1990 dalam Murti, 2010).
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan
jumlah sampel perawat pelaksana sebanyak 76 orang. Untuk mencegah
kekurangan dan missing dalam pengisian sampel, maka peneliti menambahkan
cadangan sampel sebanyak 30 % sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi
100 sampel.
a. Metode Sampling
Selanjutnya, agar populasi dapat terwakili, maka dalam penelitian ini
dilakukan pembagian (probability) dengan cara proporsional pada setiap unit
perawatan agar jumlah responden sebanyak 100 orang memiliki peluang yang
sama. Teknik ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
49


Universitas Indonesia

n
2
n
2
: banyaknya sampel tiap ruangan
n : banyaknya populasi tiap ruangan
N : banyaknya populasi penelitian.
N
1
: banyaknya sampel penelitian
Jumlah populasi penelitian (N) adalah sebanyak 260 responden. Angka ini
diperoleh dari hasil akumulasi jumlah perawat dan bidan di ruangan-ruangan yang
menjadi kriteria inklusi. Sedangkan sampel penelitian (N
1
) sebanyak 76
responden. Dengan menggunakan rumus perhitungan di atas, berikut perolehan
sampel dalam penelitian ini (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Pengambilan Sampel dengan Menggunakan Teknik Proporsional
No Nama Ruangan
Jumlah Perawat dan
Bidan Per Ruangan
Hasil
1 IGD 23 23/260 x 100 = 8
2 Pav. Anggrek 19 19/260 x 100 = 7
3 Pav. Melati 15 15/260 x 100 = 6
4. Pav. Mawar 17 17/260 x 100= 7
4 R. Aster 20 20/260 x 100 = 8
5 R. Alamanda 17 17/260 x 100 = 7
6 R. Dahlia 21 21/260 x 100 = 8
7 R. Seruni 26 26/260 x 100 = 10
8 R. VK (Kamar Bersalin) 16 16/260 x 100 = 6
10 VVIP 21 21/260 x 100 = 8
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
50


Universitas Indonesia

No Nama Ruangan
Jumlah Perawat dan
Bidan Per Ruangan
Hasil

11 Poliklinik Afiat 21 21/249 x 110 = 8
12 Poliklinik Reguler 26 26/260 x 100 = 10
13 Hemodialisa 18 18/260 x 100 = 7
Jumlah 260 100

b. Kriteria Inklusi
Yang termasuk dalam di dalam sampel penelitian ini adalah perawat
pelaksana yang berada di seluruh unit perawatan RS PMI Bogor, yaitu Instalasi
Gawat Darurat, Paviliun Anggrek, Paviliun Melati, Paviliun Mawar, Ruang Aster,
Ruang Alamanda, Ruang Dahlia, Ruang Soka, Ruang Seruni, Ruang Gardena,
Ruang Cempaka, Kamar Bersalin (VK), VVIP, Poliklinik Afiat, Poliklinik
Reguler, dan Hemodialisa.
c. Kriteria Eksklusi
Perawat pelaksana yang tidak termasuk dalam kriteria penelitian ini
antaralain perawat pelaksana yang berstatus karyawan magang, perawat pelaksana
yang tidak bersedia di wawancara, dan perawat pelaksana yang sedang cuti. Selain
itu, ada beberapa ruangan yang tidak diambil menjadi area penelitian yaitu IBS
dan CCSD. Hal ini dikarenakan pekerjaan perawat yang sangat padat dan sering
berada di ruangan bedah sehingga peneliti tidak dapat mendistribusikan kuesioner
di ruangan tersebut.




Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
51


Universitas Indonesia

4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Data Primer
Data primer dalam penelitian ini berupa data kuesioner. Dalam
pengumpulan data primer ini, peneliti dibantu oleh pembimbing lapangan dan dua
orang teman dalam menyebarkan kuesioner ke ruangan ruangan yang menjadi
sampel penelitian. Penyebaran kuesioner bersifat self-administered questionnaire.
Artinya, kuesioner setelah dibagikan ke perawat dan bidan tidak ditunggu
pengisiannya pada saat itu juga. Kuesioner diambil setelah adanya kesepakatan
waktu pengambilan.

4.4.2 Data Sekunder
Jenis data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil telaah dokumen,
meliputi: profil rumah sakit, struktur organisasi PPI (Pengendalian dan
Pencegahan Infeksi), ketenagaan, kebijakan Kewaspadaan Universal, data
kecelakaan pegawai dan data penyakit akibat kerja.

4.5 Uji Instrumen
Untuk memenuhi kriteria sebuah penelitian yang dianggap sebagai
penelitian maka kecermatan pengukuran sangat diperlukan. Ada dua syarat utama
yang harus dipenuhi oleh alat ukur untuk memperoleh suatu pengukuran yang
cermat, yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas berasal dari kata validity yang
berarti sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data.
Sedangkan reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2007).
Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (kuesioner) dilakukan dengan
cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya.
Suatu variabel dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
52


Universitas Indonesia

signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan yaitu koefisien
korelasi Pearson Product Moment atau disimbolkan dengan huruf r (Hastono,
2007).
Keputusan uji:
- Bila r hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel valid.
- Bila r hitung lebih kecil dari r tabel artinya variabel valid.
Untuk mengetahui reliabilitas, dapat dilakukan dengan cara melakukan uji
Cronbachs Alpha. Keputusan ujinya adalah: (Hastono, 2007)
- Bila Cronbachs Alpha 0,6 artinya variabel adalah reliabel.
- Bila Cronbachs Alpha < 0,6 artinya variabel tidak reliabel.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner ini diadaptasi dari Skala Psikometrik
Gershon, et.al (1995) dan DeJoy, et.al., (1995) dalam Brevidelli dan Tamara
(2009). Alasan pemilihan kuesioner ini adalah karena kuesioner ini telah banyak
digunakan untuk meneliti kepatuhan terhadap Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar, diantaranya Brevidelli dan Tamara (2009),
McGovern et.al., (2000), dan Kermode, et.al., (2005).
Secara lebih rinci, berikut ini adalah hasil Crombach kuesioner pada
penelitian Brevidelli dan Tamara (2009) dan Gershon (1995).

Tabel 4.2 Hasil Cronbach's Alpha Kuesioner
Variabel Hasil Cronbachs Alpha
Kepatuhan (Gershon,1995) = 0,65
Pengetahuan tentang transmisi HIV = 0,86
Pelatihan dan ketersediaan APD = 0,82
Hambatan penerapan UP/SP = 0,69
Risk-taking personality = 0,72
Beban kerja (workload) = 0,73
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
53


Universitas Indonesia

Efficacy of prevention = 0,67
Persepsi terhadap risiko = 0,68
Dukungan Manajemen terhadap praktik kerja
aman (safety climate)
= 0,80
Safety Performance Feedback = 0,69

Dalam proses pengadaptasi kuesioner, kuesioner terlebih dahulu
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dimana bentuk original menggunakan
Bahasa Inggris. Untuk menjaga konsistensi makna kuesioner, penerjemahan
dilakukan bersama-sama dengan pembimbing akademik dan seorang mahasiswa
yang berprofesi sebagai perawat.

4.6 Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data. Agar
analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada empat tahapan dalam
pengolahan data yang harus dilalui, yaitu (Hastono, 2007):
1. Editing
Editing adalah kegiatan untuk melakukan pengecekan isian kuesioner
apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah:
a. Lengkap: semua pertanyaan sudah terisi jawabannya
b. Jelas : jawaban pertanyaan apakah sudah cukup jelas terbaca
tulisannya
c. Relevan: jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan
d. Konsisten: apakah ada beberapa pertanyaan yang berkaitan isi
jawabannya konsisten
2. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/ bilangan.


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
54


Universitas Indonesia

3. Processing
Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati
pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data
yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan
cara meng-entry data dari kuesioner ke paket program komputer. Paket
program yang digunakan adalah paket program SPSS for windows.
4. Cleaning
Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di-
entry apakah ada kesalahan atau tidak. Ada beberapa cara melakukan
cleaning data, yaitu:
a. Mengetahui missing data
Cara mendeteksi adanya missing data adalah dengan melakukan list
(distribusi frekuensi) dari variabel yang ada.
b. Mengetahui variasi data
Dengan mengetahui variasi data, maka akan diketahui apah data yang
di masukkan benar atau salah. Cara mendeteksinya adalah dengan
mengeluarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel.
c. Mengetahui konsistensi data
Cara mendeteksinya ketidakkonsistensi data adalah dengan cara
menghubungkan dua variabel.

4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Data Univariat
Analisis univariat dilakukan pada masing-masing variabel sesuai dengan
jenis datanya. Jenis data pada variabel dependen adalah katagorik karenanya
analisis univariat yang dilakukan adalah dengan menghitung distribusi proporsi
kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar. Begitu juga dengan variabel independen dimana
jenis datanya adalah katagorik sehingga analisis univariat yang dilakukan adalah
dengan menghitung proporsi faktor individu (pengetahuan tentang transmisi
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
55


Universitas Indonesia

penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality,
efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP,
beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance
feedback, pelatihan dan ketersediaan APD).

4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel
independen antaralain: faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan
HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of
prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja
(workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback,
pelatihan dan ketersediaan APD) dengan variabel dependen (kepatuhan perawat
dalam penerapan kewaspadaan universal di RS PMI Bogor). Pemilihan uji
statistik untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan uji chi square (x
2
)
dimana variabel dependen dan independen adalah katagorik. Selanjutnya,
dilakukan pengujian statistik dengan membandingkan nilai p dengan nilai ( =
0,01). Pemilihan nilai = 0,01 tersebut didasarkan pada alasan bahwa penelitian
ini meneliti mengenai hal-hal yang tidak boleh ada kesalahan karena apabila
terjadi kesalahan akan berakibat fatal.
Ketentuan yang berlaku adalah:
- Bila nilai p nilai , maka keputusannya Ho ditolak. Artinya, ada
perbedaan /hubungan kejadian yang signifikan antara kelompok data satu
dengan kelompok data yang lain.
- Bila nilai p > nilai , maka keputusannya Ho gagal ditolak. Artinya, tidak
ada perbedaan kejadian antara kelompok data satu dengan kelompok data
yang lain.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


56
Universitas Indonesia

BAB 5
GAMBARAN UMUM

5.1 Sejarah RS PMI Bogor
Sejarah RS PMI Bogor berawal dari berdirinya sebuah rumah sakit yang
diprakarsai oleh kelompok sosial orang-orang Belanda pada tahun 1931, dimana
pada tahun 1938 pengelolaannya dilakukan oleh NERKAI (Nederlansch Rode
Kruis Afdeling Van Indonesie), dan diantara tahun 1942-1945 dikuasai oleh
Penguasa Jepang. Setelah Jepang kalah perang dan meninggalkan Indonesia,
pengelolaan rumah sakit kembali dilakukan oleh NERKAI.
Tahun 1948, rumah sakit tersebut dihibahkan pengelolaannya kepada
Pengurus Palang Merah Indonesia Cabang Bogor dan diberi nama Rumah Sakit
Kedung Halang yang dipimpin oleh Dokter Respondek kemudian pada tahun
1951 diserahkan kepada Markas Besar Palang Merah Indonesia dan ditunjuk
sebagai rumah sakit umum serta berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum
Palang Merah Indonesia (RS PMI) Bogor.
Untuk pengelolaannya, tahun 1964 dibentuk suatu Yayasan Rumah Sakit
Umum PMI Bogor yang diketuai oleh Ibu Hartini Soekarno dan berinduk pada
markas Besar Palang Merah Indonesia. Tahun 1965 RS PMI Bogor bekerjasama
dengan RS Cipto Mangunkusumo dengan cara memperbantukan tenga medis dan
paramedis RSCM di RS PMI Bogor
Tahun 1966 Yayasan Rumah Sakit PMI Bogor dibubarkan setelah
sebelumnya merestorasi bangunan RSU PMI Bogor. Baru pada tahun 1970 RS
PMI Bogor mendapatkan status Rumah Sakit tipe C menurut standar hasil
Workshop Hospital. Sejak saat itu, RS PMI Bogor lebih berkiprah seperti pada
tahun 1972, yaitu Poliklinik Kebidanan ditunjuk sebagai Poliklinik Keluarga
Berencana Wilayah Bogor dan sebagai bentuk kepedulian dalam pelayanan pada
masyarakat dan pada tahun 1980 RS PMI Bogor bekerjasama dengan BPDPK
(Sekarang PT ASKES Indonesia).
Pada tanggal 14 September 1994 dilakukan pemugaran RS PMI Bogor
dengan ditandai acara peletakan batu pertama oleh Ibu Tien Soeharto. Dalam
rangka meningkatkan pelayanan pada masyarakat, tanggal 15 maret 1999 telah
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
57


Universitas Indonesia

dibuka ruangan perawatan paviliun melati lantai III, Instalasi bedah sentral
dilantai AII serta pusat diagnostik di lantai I gedung paviliun melati. Penambahan
ruang perawatan kelas I & II mawar digedung sayap kanan depan menghadap
Kebun Raya Bogor pada tanggal 1 Juni 1999, Paviliun Anggrek kelas I & II di
gedung eks kamar bedah pada tahun 2000.
Untuk meluaskan pelayanan di semua segmen masyarakat dan menunjang
sistem subsidi silang, RS PMI Bogor memiliki tenaga medis dokter spesialis yang
lengkap dan berpengalaman yang ditunjang dengan peralatan diagnostik yang
modern dan lengkap. Selain itu, dilakukan renovasi gedung unit gawat darurat
(Emergency) dibulan Agustus 2002 dan tanggal 14 Juli 2002 dimulai renovasi eks
ruang perawatan paviliun Mawar menjadi POLIKLINIK EKSEKUTIF yang
beroperasi pada bulan januari 2003 serta pemindahan ruang perawatan paviliun
melati( VIP) ke lantai IV dan Paviliun Mawar ke lantai III Gedung Melati.
RS PMI Bogor terus berkomitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan
kepada masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan melakukan akreditasi 12
pelayanan pada pertengahan tahun 2011.

5.2 Profil RS PMI Bogor
Nama : Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI
Bogor)
Berdiri : Tahun 1931
Lokasi : Jalan Pajajaran nomor 80 Bogor
Telepon : 0251-8324080 (hunting)
Fax : 0251-8324709
E-Mail : [email protected]
Homepage : http:///www.rspmibogor.or.id
Pemilik : Perhimpunan Palang Merah Indonesia
Tipe : Swasta Utama / Rumah Sakit Rujukan untuk
Pelayanan Medis di wilayah Bogor dan sekitarnya
Legalitas pendirian : Kepres RI No.25 Tahun 1950
NPWP : 01.254.264.3-404.001

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
58


Universitas Indonesia

5.3 Visi, Misi, Motto, Tujuan dan Fungsi RS PMI Bogor
Sebagai bentuk dari perencanaan strategis rumah sakit dalam menjalankan
organisasinya, RS PMI Bogor menetapkan dan memberlakukan visi, misi, motto,
tujuan dan fungsi sesuai dengan yang tercantum pada Surat Keputusan Direktur
RS PMI Bogor Nomor 1.0064/KPTS/I/2009.

5.3.1 Visi RS PMI Bogor
Visi RS PMI Bogor yaitu Menjadi rumah sakit yang memberikan
pelayanan terbaik dengan unggulan dibidang kegawat daruratan.

5.3.2 Misi RS PMI Bogor
Misi RS PMI Bogor, antara lain:
a. Memberikan pelayanan terbaik dengan berorientasi kepada kepuasan
pasien.
b. Mengembangkan layanan unggulan dibidang kegawatdaruratan
c. Melakukan upaya menjadi rumah sakit rujukan medis melalui peningkatan
sistem rujukan medis di wilayah Bogor.

5.3.3 Motto RS PMI Bogor
Motto RS PMI Bogor adalah HUMAN (Hospitality, Universality,
Man Power, Activity, dan Need), yang bermakna memberikan pelayanan dengan
keramahtamahan, tanpa membedakan status sosial ekonomi pasien, melalui
sumberdaya manusia yang bermutu, dan melaksanakan tugas yang sesuai dengan
kebutuhan pasien.

5.3.4 Tujuan RS PMI Bogor
a. Mampu memberikan pelayanan yang bermutu dengan kualitas SDM yang
profesional dan memegang teguh etika profesi.
b. Mewujudkan pelayanan unggulan dibidang kegawatdaruratan melalui
peningkatan mutu sarana, prasarana, peralatan, dan SDM secara
berkelanjutan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
59


Universitas Indonesia

c. Menjadi rumah sakit rujukan medis di wilayah Bogor melalui sistem
rujukan medis sesuai kebutuhan medis pasien.

5.3.5 Fungsi RS PMI Bogor
Fungsi RS PMI Bogor adalah sebagai rumah sakit yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan pada masyarakat umum dalam bentuk:
a. pelayanan medis;
b. pelayanan penunjang medis;
c. Pelayanan asuhan keperawatan;
d. Pelayanan rujukan medis;
e. Pelayanan pendidikan dan pelatihan;
f. Pengelolaan administrasi dan keuangan RS;
g. Pelayanan non medis untuk mendukung pelayanan RS.

5.4 Struktur Organisasi RS PMI Bogor
Berlandaskan Surat Keputusan Direktur Nomor I.0101/KPTS/XI/2009
pada tanggal 3 November 2009 tentang struktur organisasi Rumah Sakit Palang
Merah Indonesia Bogor, RS PMI Bogor berkedudukan sebagai Unit Pelaksana
Teknis PMI yang menyelenggarakan pelayanan rumah sakit umum milik badan
hukum Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Rumah Sakit dipimpin oleh
seorang Kepala Rumah Sakit dengan sebutan Direktur yang bertanggung jawab
kepada Pengurus Pusat PMI melalui Badan Pengawas RS PMI Bogor.
Struktur Organisasi RS PMI Bogor terdiri dari (Struktur Terlampir):
1. Badan Pengawas adalah badan yang mewakili PP PMI dalam pengawasan
penyelenggaraan operasional RS PMI Bogor.
2. Direktur adalah pemimpin penyelenggara RS PMI Bogor yang
bertanggungjawab langsung kepada PP PMI melalui Badan Pengawas.
3. Direktur membawahi:
a. Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan;
b. Wakil Direktur Pelayanan Medis;
c. Komite Medis;
d. Panitia/Komite/Tim Khusus
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
60


Universitas Indonesia

4. Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan membawahi:
a. Bidang Pengadaan Logistik;
b. Bidang Sekretariat;
c. Bidang Keuangan;
d. Bidang Sumber Daya Manusia;
e. Bidang Pemeliharaan Sarana, Prasarana dan Peralatan Rumah Sakit.
5. Wakil Direktur Pelayanan Medis:
a. Bidang Rekam Medis
b. Bidang Keperawatan;
c. Divisi Operasional I, membawahi:
a) Instalasi Gawat Darurat
b) Instalasi Bedah Sentral
c) Instalasi Perawatan Intensif
d) Instalasi Radiologi
e) Instalasi Laboratorium
f) Instalasi Hemodialisa dan Bank Darah
d. Divisi Operasional II, membawahi:
a) Instalasi Rawat Inap
b) Instalasi Rawat Jalan
c) Instalasi Rehabilitasi Medik
d) Instalasi Farmasi
e) Instalasi Gizi
f) Instalasi Forensik
e. Komite Medis merupakan wadah non struktural yang terdiri dari ketua-
ketua SMF dan dibentuk dengan Surat Keputusan Direktur dan
bertanggungjawab kepada Direktur.
f. Panitia/Komite/Tim Khusus merupakan satuan tugas khusus yang
bertanggungjawab langsung kepada Direktur.




Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
61


Universitas Indonesia

5.5 Komite Pencegahan dan Pengendalian (PPI) RS PMI Bogor
5.5.1 Struktur Organisasi Komite PPI RS PMI Bogor


DIREKTUR









KETUA KOMITE PPI


ICP/IPCO








SEKRETARIS



ICN/IPCN/TIM PPI














IPCLN

ANGGOTA



5.5.2 Uraian Tugas dan Kualifikasi (Kriteria) Komite PPI RS PMI Bogor
1. Direktur
Uraian Tugas Direktur:
a. Membentuk komite PPIRS dengan surat keputusan
b. Bertanggung jawab dengan memiliki komitmen yang tinggi
terhadap penyelengaraan upaya pencegahan dan pengendalian
infeksi
c. Bertanggung jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan
prasarana termasuk anggaran yang dibutuhkan
d. Mementukan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial
e. Mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan pengendalian
infeksi nosokomial berdasarkan saran dari Tim PPIRS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
62


Universitas Indonesia

f. Mengadakan evaluasi kebijakan pemakaian antibiotika yang
rasional dan desinfektan di rumah sakit berdasarkan saran dari tim
PPIRS
g. Dapat menutup suatu unit perawatan atau instalasi yang diangggap
potensial menularkan penyakit untuk beberapa waktu kebutuhan
berdasarkan saran dari tim PPIRS
h. Mengesahkan SPO untuk PPIRS

2. Komite PPI
- Kriteria Anggota Komite PPI:
a. Mempunyai minat dalam PPI
b. Pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
- Tugas dan Tanggung jawab Komite PPI:
a. Membuat dan mengevaluasi kebijakan PPI
b. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat
difahami dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan rumah sakit.
c. Membuat SOP PPI
d. Menyusun dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI dan
program pelatihan dan pendidikan PPI
e. Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi
masalah atau KLB infeksi nosokomial.
f. Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatan cara
pencegahan dan pengendalian infeksi
g. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI
h. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan
prinsip PPI dan aman bagi yang menggunakan.
i. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan
untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM)
rumah sakit dalam PPI
j. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
63


Universitas Indonesia

k. Menerima laporan dari Tim PPI dan membuat laporan kepada
Direktur
l. Berkoordinasi dengan Unit terkait lain.
m. Memberikan usulan kepada Direktur untuk pemakaian antibiotika
yang rasional di rumah sakit berdasarkan hasil pantauan kuman dan
resistensinya terhadap antibiotika dan menyebarluaskan data
resistensi antibiotika.
n. Menyusun kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja (K3)
o. Turut menyusun kebijakan clinical governance dan patient safety.
p. Mengembangkan, mengimplementasikan dan secara periodic
mengkaji kembali rencana manajemen PPI apakah telah sesuai
kebijakan rumah sakit.
q. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan
pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara
pemrosesan alat, penyimpanan alat dan linen sesuai dengan prinsip
PPI.
r. Menentukan sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan
karena potensial menyebarkan infeksi.
s. Melakukan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang
menyimpang dari standar prosedur/monitoring surveilans proses.
t. Melakukan investigasi, menetapkan dan melaksanakan
penanggulangan infeksi bila ada KLB di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.

3. IPCO/ICP (Infection Prevention and Control Officer) sekaligus
sebagai Ketua Komite PPI
- Kriteria IPCO/ICP:
a. Ahli atau dokter (di utamakan Dokter Patologi atau Penyakit
Dalam) yang mempunyai minat dalam PPI.
b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI
c. Memiliki kemampuan leadership.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
64


Universitas Indonesia

- Tugas dan Tanggung jawab IPCO:
a. Berkontribusi dalam diagnosis dan therapy infeksi yang benar
b. Turut menyususn pedoman penulisan resep antibiotika dan
surveilans
c. Mengidentifikasi dan melaporkan kuman pathogen dan pola
resistensi antibiotika
d. Bekerjasama dengan perawat PPI memonitor kegiatan survilans
infeksi dan mendeteksi serta menyelidiki KLB
e. Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang
berhubugan dengan prosedur therapy
f. Turut memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat
pasien
g. Turut membantu semua petugas kesehatan untuk memahami
pencegahan dan pengendalian infeksi

4. IPCN/ICN (Infection Prevention and Control Nurse) sekaligus sebagai
Sekretaris Komite PPI
- Kriteria IPCN/ICN:
a. Perawat dengan pendidikan S1 Keperawatan dan memiliki
sertifikasi PPI
b. Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian
infeksi
c. Memiliki pengalaman minimal/sekurang-kurangnya sebagai
Kepala Ruangan atau setara.
d. Memiliki kemampuan leadership, inovatif dan confident
e. Bekerja purna waktu.
- Tugas dan Tanggung Jawab IPCN:
a. Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian
infeksi yang terjadi di lingkungan kerjanya, baik rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
65


Universitas Indonesia

b. Memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SPO, kewaspadaan
isolasi
c. Melaksanakan surveilans infeksi dan melaporkan kepada
Komite PPI
d. Bersama Komite PPI melakukan pelatihan petugas kesehatan
tentang PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya
e. Melakukan investigasi terhadap KLB dan bersama-sama
Komite PPI memperbaiki kesalahan yang terjadi
f. Memonitor kesehatan petugas kesehatan untuk mencegah
penularan infeksi dari petugas kesehatan ke pasien atau
sebaliknya.
g. Bersama Komite PPI menganjurkan prosedur isolasi dan
memberi konsultasi tentang pencegahan dan pengendalian infeksi
yang diperlukan pada kasus yang terjadi di rumah sakit
h. Audit pencegahan dan pengendalian infeksi termasuk terhadap
limbah, laundry, gizi, dan lain-lain menggunakan daftar tilik .
i. Memonitor kesehatan lingkungan
j. Bertanggung jawab terhadap pengadaan kelengkapan
administrasi program pencegahan dan pengendalian infeksi.
k. Bertanggung jawab terhadap penyusunan kebutuhan anggaran
untuk kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi.
l. Memonitor terhadap pengendalian penggunaan antibiotic yang
rasional
m. Mendesain, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi
surveilans infeksi yang terjadi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainya
n. Membuat laporan surveilans dan melaporkan ke Komite PPI
o. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan
kepatuhan PPI
p. Memberikan saran design ruangan rumah sakit agar sesuai
dengan prinsip PPI
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
66


Universitas Indonesia

q. Meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung rumah sakit
tentang PPIRS
r. Memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan ,
pengunjung dan keluarga tentang topik infeksi yang sedang
berkembang di masyarakat, infeksi dengan insiden tinggi
s. Sebagai Koordinator antara departeman/unit dalam
mendeteksi, mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit

5. IPCLN (I nfection Prevention and Control Link Nurse)
- Kriteria IPCLN:
a. Perawat dengan pendidikan minimal D3 dan memiliki sertifikasi
PPI
b. Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian
infeksi
c. Memiliki kemampuan leadership.
- Tugas dan Tanggung Jawab IPCLN:
IPCLN sebagai perawat pelaksana harian/penghubung bertugas:
a. Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di
unti rawat inap masing-masing , kemudian menyerahkannya
kepada IPCLN ketika pasien pulang.
b. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan
pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan
di unit rawatnya masing-masing.
c. Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya
infeksi nosokomial pada pasien.
d. Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB,
penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing,
konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum paham.
e. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam
menjalankan Standar Isolasi.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
67


Universitas Indonesia

5.5.3 Cakupan Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS PMI
Bogor
1. Menyusun Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah
Sakit PMI Bogor dan petunjuk pelaksanaanya. Buku Pedoman ini sebagai
Acuan dalam pelaksanaan Pengendalian Infeksi di seluruh unit pelayanan.
2. Menyusun kebijakan penerapan Universal Precautions bagi semua
karyawan RS PMI Bogor (Staf Medis, Paramedis, Karyawan,
Mahasiswa, Penderita dan Pengunjung).
3. Menyusun Pedoman Penggunaan Antibiotik RS PMI Bogor yang rasional.
4. Menyusun Pedoman Penggunaan Antiseptik dan Desinfekstan RS PMI
Bogor melalui kerjasama dengan Tempat Sterilisasi Umum ( TSU ).
5. Menyusun Pedoman Sterilisasi yang berkaitan dengan Infeksi Nosokomial
oleh unit sterilisasi.
6. Menyusun Pedoman Kebersihan Lingkungan RS PMI melalui kerjasama
dengan sie. KesLing.
7. Membuat pedoman penatalaksanaan pasien yang menjalani rawat inap
dengan penyakit menular.
8. Melaksanakan kegiatan surveilans infeksi nosokomial di unit perawatan
secara aktif dan terus menerus.
9. Memantau pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
di RS PMI Bogor.
10. Memantau hasil pemeriksaan sarana / peralatan yang berkaitan dengan
infeksi nosokomial disertai tindak lanjut bila diperlukan.
11. Melaksanakan pengembangan pendidikan bagi anggota komite PPIRS
PMI Bogor baik di dalam maupun di luar rumah sakit berkaitan dengan
infeksi nosokomial.
12. Menyebarluaskan informasi mengenai pengendalian infeksi nosokomial di
RS PMI Bogor baik karyawan baru, mahasiswa kedokteran dan
keperawatan yang akan berpraktek dan seluruh karyawan RS PMI Bogor.
13. Melakukan kegiatan rapat rutin Komite PPIRS.
14. Menyusun rencana anggaran kebutuhan operasional Komite PPIRS,
Program dan Kegiatan PPIRS.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
68


Universitas Indonesia

5.5.4 Kebijakan Kebijakan Pelaksanaan PPIRS PMI Bogor
1. Kebijakan Universal Precautions di RS PMI Bogor
a. Merupakan pedoman yang ditetapkan oleh Centers for Dissease control (
CDC ) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang dapat
ditularkan di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan
lainnya
b. Pemakaian universal precaution diwajibkan untuk seluruh karyawan yang
mempunyai resiko untuk terkontaminasi / terpajan
c. Unsur Kewaspadaan Universal adalah :
1) Cuci tangan
2) Sarung tangan
3) Masker, pelindung mata dan wajah
4) Gaun / apron
5) Peralatan Perawatan Pasien
6) Pengendalian Lingkungan
7) Linen
8) Penanganan limbah
9) Kesehatan Karyawan dan darah yang terinfeksi patogen
10) Penempatan pasien
d. Keharusan cuci tangan dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Melakukan cuci tangan dengan menggunakan sabun biasa pada cuci
tangan rutin / sosial
2) Melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik berbahan
dasar Chlorhexidin 2 % dengan air mengalir ( bebas kuman ) pada cuci
tangan prosedural
3) Pada kondisi tertentu cuci tangan dapat dilakukan dengan
menggunakan handrubs berbahan dasar Chlorhexididn 0,5 % atau
alkohol + gliseryl
4) Cuci tangan bedah dengan menggunakan bahan dasar chlorhexidin 4 %
dengan air mengalir steril
5) Cuci tangan dilakukan pada :
a) Setelah tiba di rumah sakit dan sebelum meninggalkan rumah sakit
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
69


Universitas Indonesia

b) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
c) Sebelum dan sesudah melakukan tindakan
d) Sebelum dan sesudah meninggalkan kamar mandi/WC
e) Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan
peralatan yang terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung
tangan
f) Segera setelah melepas sarung tangan
g) Jika kontak diantara satu pasien dengan pasien lainnya
h) Diantara prosedur yang berbeda pada pasien yang sama
2. Kebijakan Sterilisasi
a. Pelaksanaan Sterilisasi RS PMI Bogor dilakukan secara sentral di Tempat
Sterilisasi Umum
b. Kegiatan sterilisasi meliputi kegiatan yang memproses semua bahan,
peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk pelayanan medik di
rumah sakit mulai dari :
1) Perencanaan & Pengadaan (desentralisasi oleh masing masing unit)
2) Pencucian ( Di Kamar Bedah proses pencucian dilakukan di TSU, Unit
pelayanan lain dilakukan di unit masing-masing )
3) Pengemasan ( Di Kamar Bedah proses pengemasan dilakukan di TSU,
Unit pelayanan lain dilakukan di unit masing-masing tapi di TSU
dilakukan pengecekan ulang )
4) Pemberian tanda
5) Proses sterilisasi
6) Penyimpanan setelah sterilisasi
7) Distribusi barang yang telah disterilkan ( Untuk Kamar Bedah
didistribusikan oleh TSU, untuk unit-unit lain diambil oleh masing
masing unit )
c. Tempat sterilisasi Umum RS PMI Bogor adalah satuan kerja dibawah
Instalasi Bedah Sentral dipimpin oleh Kepala Ruangan TSU yang
bertangggung jawab menyusun Program Kerja Pelayanan Sterilisasi
d. Kegiatan TSU dilaksanakan dengan menggunakan pedoman yang disusun
oleh Kepala Ruangan TSU
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
70


Universitas Indonesia

e. Kegiatan Sterilisasi mencakup kegiatan pencatatan dan pelaporan tentang
penerimaan dan pendistribusian semua barang yang akan disterilkan
f. Dalam melakukan proses sterilisasi , petugas harus menggunakan alat
pelindung diri
g. Barang-barang yang sudah disteril dan telah melewati batas waktu
pemakaian harus diresterilisasi
h. Hasil sterilisasi harus di monitor kwalitasnya baik secara fisik, kimia, dan
biologi
i. Alat sterilisasi harus diperiksa secara berkala melalui uji kalibrasi untuk
mengetahui kwalitas alat
3. Kebijakan Desinfeksi
a. Desinfeksi merupakan proses yang menggunakan suatu bahan (biasanya
bahan kimia) yang dapat membunuh mikroorganisme yang patogen
kecuali spora,bakteri, virus, dan beberapa strain bakteri resisten. Bahan
yang digunakan untuk proses desinfeksi disebut desinfektan
b. Desinfektan untuk cuci tangan :
1) Untuk cuci tangan dengan air mengalir menggunakan antiseptik
berbahan dasar chlorhexidin 2 %
2) Untuk cuci tangan handrubs menggunakan antiseptik berbahan dasar
alkohol + glyserin atau chlorhexidin 0,5 %
3) Untuk cuci tangan bedah menggunakan antiseptik berbahan dasar
chlorhexidin 4 %
c. Desinfeksi Kulit Dan Mukosa Penderita Pra Bedah
Desinfektan yang dipakai untuk kulit dan mukosa pada pasien pra bedah
merupakan preparat yang bekerja cepat dan mempunyai pengaruh
antibakterial yang berlanjut. Yang sering dipakai adalah povidone-iodine
yang mengandung 10 % iodine. Pada keadaan operasi khusus untuk daerah
mukosa digunakan iodine 10 % diencerkan dengan NACL 0,9 %
perbandingan 1 : 9


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
71


Universitas Indonesia

d. Desinfektan untuk alat / instrumen
Semua alat kesehatan yang telah dipakai untuk pasien wajib dilakukan
tindakan desinfeksi. Tindakan desinfeksi untuk alat / instrumen dibagi
menjadi 3 proses, yaitu :
a. Desinfeksi Tingkat Tinggi.
Dapat menghancurkan semua mikroorganisme vegetatif, tuberculle
bacilli, virus ukuran kecil maupun nonlipid, virus berukuran sedang
kecuali sejumlah tertentu spora bakteri, dipakai untuk alat yang
sifatnya semikritikal. Bahan yang dipakai 2,45 % glutaraldehyde atau
chlorine solution. Contoh: Endoskope,Endotrakeal tube, peralatan
nafas anesthesia, Cystoscope.
b. Desinfeksi Tingkat Menengah.
Dapat membunuh mikroorganisme vegetative, fungi, mycobacterium
tuberculosis, virus berukuran kecil maupun sedang, virus lipid dan
nonlipid, tapi tidak mempunyai aktivitas pembunuhan terhadap spora
bakteri. Dipakai untuk alat bersifat non kritikal. Bahan yang dipakai
alkohol (70-90% ). Contoh : Peralatan pengukur tekanan darah,
termometer.
c. Desinfeksi Tingkat Rendah.
Tidak memiliki daya bunuh terhadap spora bakteri, mycobacterium,
fungi, virus. Bahan yang sering digunakan adalah Alkohol 70 %.
Contoh : Stestoskop.
e. Desinfektan untuk ruangan / lingkungan
Untuk kamar operasi digunakan Dipotasium Peroxodisulfate. Untuk
lingkungan di luar kamar operasi dipergunakan bahan berbahan dasar
phenol ( Lysol ).

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


72
Universitas Indonesia

BAB 6
HASIL PENELITIAN

6.1 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian mengenai kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat dan bidan dilakukan pada tanggal
14 17 Desember di 12 unit perawatan RS PMI Bogor. Pengumpulan data
dilakukan dengan penyebaran self-administered questionnaires kepada perawat
dan bidan, dengan jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan sebanyak 82
kuesioner dari 100 kuesioner.

6.2 Penyajian Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diuraikan dengan menampilkan karakteristik
responden, analisis univariat, kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat.

6.2.1 Karakteristik Responden
Dalam penelitian ini responden yang eligible terdiri dari 82 responden.
Distribusi frekuensi karakteristik responden ditampil di Tabel 6.1, meliputi umur,
jenis kelamin, pendidikan, dan lama kerja. Mayoritas responden berusia antara 25-
49 tahun yaitu sebanyak 68 (82,9%) responden. Pengelompokan usia ini mengacu
pada pengelompokkan usia menurut WHO. Sebagian besar responden adalah
berjenis kelamin perempuan (72%). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian
besar perawat dan bidan di RS PMI Bogor jenjang pendidikan terakhirnya adalah
Diploma (72 %). Sedangkan berdasarkan lama kerja, mayoritas responden
memiliki lama kerja 21 tahun yaitu sebanyak 87,8 % responden.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
73


Universitas Indonesia

Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RS PMI Bogor
Tahun 2011
Variabel n %
Umur
24 tahun 11 13,4
25- 49 tahun 68 82,9
50 tahun

3 3,7
Jenis Kelamin
Laki-Laki 18 22
Perempuan 64 78
Pendidikan
SPK 6 7,3
Diploma 72 87,8
S1

4 4,9
Lama Kerja
Tidak Lama ( 21 tahun) 10 12,2
Lama ( 22 tahun) 72 87,8

6.2.2 Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat kepatuhan dan faktor yang berhubungan dengan
kepatuhan perawat dan bidan di RS PMI Bogor ditampilkan pada Tabel 6.2.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terdiri dari tiga faktor, yaitu
faktor individu (pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, HCV; persepsi risiko;
risk-taking personality; efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan
penerapan KU/KS, beban kerja), dan faktor organisasi (safety climate, safety
performance feedback, dan pelatihan dan ketersediaan APD).
Tabel 6.2 Hasil Analisis Univariat Variabel Kepatuhan dan Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011
Variabel Mean Median Skewness SE of
Skewness
n %
Kepatuhan terhadap penerapan
KU/KS
47,0 48 -0,721 0,266
Tidak patuh (<nilai mean) 39 47,6
Patuh ( mean) 43 52,4

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
74


Universitas Indonesia

Variabel Mean Median Skewness SE of
Skewness
n %

Pengetahuan tentang transmisi
HIV, HBV, dan HCV
27,87 29 -1,383 0,266
Tidak baik (<nilai median) 32 39
Baik ( median) 50 61
Persepsi risiko 12,51 12 -0,229 0,266
Rendah (<nilai mean) 45 54,9
Tinggi ( mean) 37 45,1

Risk-taking personality 11,90 12 0,854 0,266
Risk taker ( median) 43 52,4
Non Risk Taker (<nilai median) 39 47,6

Efficacy of prevention 13,54 14 -0,830 0,266
Rendah (<nilai median) 33 40,2
Tinggi ( median) 49 59,8

Hambatan penerapan KU/KS 23,40 24 -0,541 0,266
Tinggi (<nilai median) 39 47,6
Rendah ( median) 43 52,4

Beban kerja 11,84 12 -0,823 0,266
Tinggi ( median) 52 63,4
Rendah (<nilai median) 30 36,6

Safety climate 29,13 29 -0,067 0,266
Tidak baik (<nilai mean) 49 59,8
Baik ( mean) 33 40,2

Safety performance feedback 21,22 20 -0,021 0,266
Tidak baik (<nilai mean) 50 61
Baik ( mean) 32 39

Pelatihan dan ketersediaan APD 25,87 25,50 -0,472 0,266
Tidak baik (<nilai mean) 41 50
Baik ( mean) 41 50
Ket: KU : Kewaspadaan Universal KS: Kewaspadaan Standar

6.2.2.1 Kepatuhan dalam Penerapan KU/KS
Sebagian besar perawat dan bidan sudah patuh dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar. Hal ini ditunjukkan dari proporsi responden
yang patuh yaitu sebanyak 43 (52,4%) (Lihat Tabel 6.2). Mayoritas pegawai
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
75


Universitas Indonesia

patuh (jawaban sering dan selalu) terhadap membuang benda tajam ke kontainer
benda tajam (100%), mencuci tangan setelah melepas sarung tangan (98%),
memakai celemek (65,8%), memakai sarung tangan disposable (96,4%), memakai
masker(86,6%), membuang sampai infeksius ke dalam plastik khusus infeksius
(100%), menghapus spills dengan desinfektan (89%), tidak makan dan minum
(79,3%), dan hati-hati menggunakan scapel atau benda tajam lainnya (97,6%).
Akan tetapi, mayoritas perawat dan bidan yang patuh terhadap pemakaian goggle
hanya 41,5% dan tidak recapping jarum suntik hanya 22% (Lihat Tabel 6.3)
Tabel 6.3 Kepatuhan terhadap Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar
oleh Perawat dan Bidan di RS PMI Bogor 2011
No Item
SL SR Total
n % n % n %
1 Membuang benda tajam ke dalam kontainer
benda tajam.
2 2,4 80 97,6 82 100
2 Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan
sekali pakai.
76 92,7 5 6,1 81 98,8
3. Memakai kain pelindung/celemek anti tembus
darah dan cairan tubuh lainnya setiap kali ada
kemungkinan terkotori oleh aktivitas pekerjaan.
37 45,1 17 20,7 54 65,8
4. Memakai sarung tangan sekali pakai setiap kali
ada kemungkinan terkena darah dan cairan
tubuh lainnya.
70 85,4 9 11 79 96,4
5. Memakai pelindung mata/ goggle setiap kali
ada kemungkinan terkena darah dan cairan
tubuh lainnya.
24 29,3 10 12,2 34 41,5
6. Memakai masker sekali pakai setiap kali ada
kemungkinan terkena cipratan cairan ke mulut
saya.
61 74,4 10 12,2 71 86,6
7. Membuang semua benda yang mungkin
terkontaminasi ke dalam plastik khusus untuk
sampah biomedis.
74 90,2 8 9,8 82 100
8. Menghapus dengan desinfektan semua cairan
yang keluar dari tubuh pasien.
52 63,4 21 25,6 73 89
9. Tidak makan dan minum ketika sedang bekerja
di area yang berpotensial terkontaminasi darah
atau cairan tubuh lainnya.
56 68,3 9 11 65 79,3
10. Berhati-hati ketika menggunakan pisau bedah
atau benda tajam lainnya.
75 91,5 5 6,1 80 97,6
11. Tidak menutup kembali (recapping) jarum
suntik yang terkontaminasi dengan darah.
15 18,3 3 3,7 18 22

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
76


Universitas Indonesia

6.2.2.2 Faktor Individu
1. Pengetahuan
Hasil analisis univariat variabel pengetahuan diperoleh informasi (Tabel
6.2): mayoritas perawat dan bidan sudah memiliki pengetahuan tentang transmisi
HIV, HBV, dan HCV yang baik (61%).
Tabel 6.4 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Pengetahuan
tentang Transmisi HIV, HBV, dan HCV di RS PMI Bogor 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Menekan bagian yang
mengalami perdarahan
tanpa menggunakan
sarung tangan.
65 79,3 13 15,9 2 2,4 1 1,2 1 1,2 82 100
2
Terluka dengan benda
tajam yang
terkontaminasi.
73 89 7 8,5 2 2,4 0 0 0 0 82 100
3.
Mengambil sampel
darah pasien yang
terinfeksi tanpa
menggunakan sarung
tangan.
66 80,5 10 12,2 2 2,4 4 4,9 0 0 82 100
4.
Mulut atau mata saya
terkena percikan darah
pasien yang positif
terinfeksi HIV,
Hepatitis B, dan
Hepatitis C
62 75,6 15 18,3 3 3,7 1 1,2 1 1,2 82 100
5.
Membalut luka pasien
yang terinfeksi tanpa
menggunakan sarung
tangan
50 61 23 28 4 4,9 5 6,1 0 0 82 100
6.
Melakukan resusitasi
kardiopulmoner mulut
ke mulut dengan
pasien yang terinfeksi
HIV
57 69,5 18 22 3 3,7 0 0 4 4,9 82 100

Berdasarkan frekuensi distribusi jawaban responden (Tabel 6.4), mayoritas
pengetahuan responden tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C juga
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
77


Universitas Indonesia

terlihat baik, banyak responden yang menjawab setuju dan sangat setuju. Tetapi
ada juga beberapa persen responden yang memiliki pengetahuan yang rendah.

2. Persepsi Risiko
Untuk persepsi risiko, sebagian besar responden memiliki persepsi risiko
yang rendah (54,9%). Ini artinya, responden mengganggap bahaya bahaya
penyakit infeksi di lingkungan tempatnya bekerja bukan sesuatu hal yang
mengancam kesehatan.
Tabel 6.5 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Persepsi
terhadap Risiko di RS PMI Bogor 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Risiko saya terinfeksi
HIV, Hepatitis B dan
Hepatitis C pada waktu
saya bekerja adalah
rendah.
3 3,7 11 13,4 7 8,5 37 45,1 24 29,3 82 100
2
Ada risiko tinggi yang
mengancam saya di
tempat kerja.
42 51,2 35 42,7 3 3,7 1 1,2 1 1,2 82 100
3.
Di pekerjaan saya, ada
kemungkinan saya
terkena infeksi HIV,
Hepatitis B dan
Hepatitis C.
39 47,6 35 42,7 0 0 7 8,5 1 1,2 82 100
Dari hasil tabel distribusi frekuensi jawaban responden menggambarkan
sebagian besar responden menilai risiko terinfeksi bloodborne pathogen adalah
rendah. Tetapi, responden sadar bahwa ada risiko tinggi yang mengancam.
Mayoritas responden juga menilai bahwa pekerjaan responden ada kemungkinan
untuk terinfeksi bloodborne pathogen.



Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
78


Universitas Indonesia

3. Risk-Taking Personality
Mayoritas responden memiliki sikap yang suka mengambil risiko (risk
taker) (52,4%) (Tabel 6.2). Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden
terlihat jawaban yang cukup beragam (Tabel 6.6). Sebagian besar responden suka
pengalaman baru dan menarik. Akan tetapi, sebagian besar mereka tidak suka
mencari kesenangan dengan melakukan hal-hal yang berbahaya dan berisiko,
tidak suka mengambil risiko.

Tabel 6.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Risk Taking
Personality di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Saya lebih suka
pengalaman yang baru
dan menarik.
36 43,9 41 50 2 2,4 3 3,7 0 0 82 100
2
Saya melakukan hal-
hal yang berbahaya
kadang-kadang hanya
untuk mencari
kesenangan.
3 3,7 5 6,1 1 1,2 43 52,4 30 36,6 82 100
3.
Saya suka mengambil
risiko dalam hidup
saya.
3 3,7 12 14,6 8 9,8 39 47,6 20 24,4 82 100
4.
Saya lebih suka
kehidupan yang
menarik dan tak
terduga.
9 11 38 46,3 18 22 13 15,9 4 4,9 82 100

4. Efficacy of Prevention
Sebagian besar responden mempunyai efficacy of prevention yang tinggi
(59,8%). Gambaran yang sama juga terlihat pada tabel 6.7. Mayoritas responden
menjawab sangat setuju dan setuju untuk ketiga item pertanyaan. Artinya, efficacy
of prevention responden adalah tinggi.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
79


Universitas Indonesia

Tabel 6.7 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Eficacy of
Prevention di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Jika KU/KS diterapkan
pada semua pasien,
risiko saya untuk
terkena HIV, HBV dan
HCV adalah sangat
rendah.
48 58,5 29 35,4 4 4,9 0 0 1 1,2 82 100
2
Saya dapat
mengurangi risiko
saya terinfeksi HIV,
HBV dan HCV
dengan cara mematuhi
KU/KS.
54 65,9 27 32,9 1 1,2 0 0 0 0 82 100
3.
Jika saya meggunakan
sarung tangan sekali
pakai, saya akan
terlindungi dari
kontaminasi penyakit
infeksi (HIV, HBV
dan HCV)
38 46,3 38 46,3 6 7,3 0 0 0 0 82 100

6.2.2.3 Faktor Pekerjaan
1. Hambatan Penerapan KU/KS
Berdasarkan data pada Tabel 6.2 didapatkan sebagian besar responden
mengganggap tidak mempunyai hambatan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar (52,4%). Artinya, adanya konflik antara mendahulukan untuk
melayani pasien dengan kebutuhan perawat dan bidan untuk melindungi diri
sendiri adalah rendah.



Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
80


Universitas Indonesia

Tabel 6.8 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Hambatan
Penerapan KU/KS di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Kadang-kadang saya
tidak mempunyai
waktu yang cukup
untuk mengikuti
pedoman KU/KS
dalam melakukan
tindakan keperawatan.
2 2,4 28 34,1 9 11 33 40,2 10 12,2 82 100
2
Mengikuti pedoman
KU/KS membuat kerja
saya lebih berat.
0 0 6 7.3 5 6,1 46 56,1 25 30,5 82 100
3.
Saya tidak bisa selalu
menerapkan KU/KS
karena kebutuhan
untuk melayani pasien
lebih diutamakan.
1 1,2 10 12,2 9 11 43 52,4 19 23,2 82 100
4.
Padatnya tugas sehari-
hari menjadi
penghalang saya untuk
mematuhi KU/KS.
5 6,1 8 9,8 6 7,3 46 56,1 17 20,7 82 100
5.
Mengikuti KU/KS
membuat saya tidak
mampu bekerja
dengan sebaik-
baiknya.
0 0 4 4,9 4 4,9 48 58,5 26 31,7 82 100
6.
Saya tidak terbiasa
menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD).
1 1,2 2 2,4 2 2,4 45 54,9 32 39 82 100

Berdasarkan frekuensi distribusi jawaban responden, jawaban responden
untuk variabel ini cukup beragam. Tetapi, mayoritas banyak yang menjawab tidak
setuju dan sangat tidak setuju. Ini artinya, hambatan penerapan KU/KS adalah
rendah.


2. Beban Kerja
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
81


Universitas Indonesia

Menurut beban kerja, mayoritas responden mempunyai beban kerja yang
tinggi (63,4%). Beban kerja responden yang tinggi dapat menjadi faktor yang
berpengaruh atas ketidakpatuhan.
Berdasarkan frekuensi jawaban responden (Tabel 6.9), mayoritas
responden menjawab sangat sering, sering dan cukup sering. Ini artinya, beban
kerja responden adalah tinggi.
Tabel 6.9 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Beban Kerja
di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S CS TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Seberapa sering
pekerjaan Saudara
mengharuskan Saudara
untuk bekerja dengan
sangat cepat?
29 35,4 36 43,9 11 13,4 5 6,1 1 1,2 82 100
2
Seberapa sering Anda
harus menyelesaikan
pekerjaan yang banyak
dalam waktu sempit?
25 30,5 34 41,5 18 22 4 4,9 1 1,2 82 100
3.
Seberapa sering
pekerjaan Saudara
mengharuskan Saudara
untuk bekerja keras?
19 23,2 37 45,1 20 24,4 5 6,1 1 1,2 82 100

6.2.2.4 Faktor Organisasi
1. Safety Climate (Iklim Keselamatan Kerja)
Tabel 6.2 menyajikan hasil analisis data univariat, salah satunya variabel
iklim keselamatan kerja (safety climate), sebagian besar responden memiliki
persepsi tidak baik mengenai dukungan manajemen terhadap keselamatan kerja
di RS PMI Bogor (59,8%). Ini artinya RS PMI Bogor belum memberikan
dukungan yang optimal agar terciptanya keselamatan kerja responden.
Tabel 6.10 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Safety Climate
di RS PMI Bogor Tahun 2011
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
82


Universitas Indonesia

No Item SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Di rumah sakit ini,
pegawai, supervisor,
dan manajer bekerja
bersama-sama untuk
memastikan kondisi
kerja yang aman.

30 36,6 38 46,3 10 12,2 4 4,9 0 0 82 100
2
Di rumah sakit ini, ada
tindakan yang diambil
untuk meminimalkan
tugas-tugas pekerjaan
yang berbahaya.

19 23,2 46 56,1 8 9,8 8 9,8 1 1,2 82 100
3.
Di rumah sakit ini,
pimpinan ikut terlibat
terlibat dalam kegiatan
KU/KS.

29 35,4 45 54,9 7 8,5 1 1,2 0 0 82 100
4.
Supervisor saya peduli
akan keselamatan saya
pada waktu bekerja.
32 39 46 56,1 2 2,4 2 2,4 0 0 82 100
5.
Di rumah sakit ini, ada
komite/ panitia
keselamatan.

38 46,3 38 46,3 6 7,3 0 0 0 0 82 100
6.
Di tempat saya
bekerja, saya bebas
melaporkan kejadian
pelanggaran aturan
keselamatan bekerja.

25 30,5 41 50 9 11 7 8,5 0 0 82 100
7.
Perlindungan pekerja
terhadap pajanan
penyakit infeksi (HIV,
HBV, dan HCV)
merupakan hal yang
diutamakan oleh
pimpinan di rumah
sakit ini.
25 30,5 41 50 16 19,5 0 0 0 0 82 100
Berbeda jika dilihat berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden
terhadap iklim keselamatan kerja (Tabel 6.10). Mayoritas responden menjawab
setuju dan sangat setuju untuk ke semua item pertanyaan.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
83


Universitas Indonesia

2. Safety Performance Feedback
Untuk variabel safety performance feedback menunjukkan bahwa
responden memiliki persepsi yang tidak baik terkait variabel ini (61%). Namun,
berbeda jika dilihat berdasarkan tabel distribusi frekuensi jawaban responden yang
umumnya menjawab sangat setuju dan setuju.
Tabel 6.11 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Safety
Performance Feedback di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Supervisor akan
melakukan koreksi jika
ada yang melakukan
praktik kerja aman.
25 30,5 47 57,3 7 8,5 3 3,7 0 0 82 100
2
Karyawan akan
ditegur jika tidak
mematuhi KU/KS.
26 31,7 47 57,3 7 8,5 2 2,4 0 0 82 100
3.
Atasan saya,
mendukung saya untuk
menerapkan KU/KS.
34 41,5 47 57,3 1 1,2 0 0 0 0 82 100
4.
Di tempat saya
bekerja, kepatuhan
karyawan terhadap
penerapan KU/KS
adalah bagian dari
evaluasi karyawan.
25 30,5 48 58,5 7 8,5 2 2,4 0 0 82 100
5.
Rekan kerja akan
melakukan koreksi
jika ada rekan kerja
yang melakukan
praktik kerja tidak
aman.
31 37,8 46 56,1 5 6,1 0 0 0 0 82 100


3. Pelatihan dan Ketersediaan APD
Responden yang memiliki persepsi mengenai pelatihan dan ketersediaan
APD yang baik (50%) adalah sama dengan responden yang memiliki persepsi
terhadap pelatihan dan ketersediaan APD yang tidak baik (50%).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
84


Universitas Indonesia

Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Pelatihan dan
Ketersediaan APD di RS PMI Bogor Tahun 2011
No Item
SS S RG TS STS Total
n % n % n % n % n % n %
1
Perawat dan Bidan
dilatih tentang KU/KS.
59 72 23 28 0 0 0 0 0 0 82 100
2
Saya mendapat
kesempatan untuk
dilatih secara baik
dalam menggunakan
Alat Pelindung Diri
(APD).
40 48,8 39 47,6 2 2,4 1 1,2 0 0 82 100
3.
Di unit saya bekerja,
atasan mendorong
pegawainya untuk
menghadiri seminar
keselamatan.
35 42,7 42 51,2 3 3,7 2 2,4 0 0 82 100
4.
Rumah sakit
mengadakan seminar
khusus tentang
penyakit yang
ditularkan melalui
darah.
30 36,6 34 41,5 13 15,9 4 4,9 1 1,2 82 100
5.
Di unit saya, tersedia
semua kebutuhan dan
peralatan yang
diperlukan untuk
melindungi saya
bekerja.

32 39 35 42,7 9 11 6 7,3 0 0 82 100
6.
Tersedia semua
kebutuhan peralatan
dan perlengkapan
untuk menghindari
saya kontak dengan
penyakit infeksi (HIV,
HBV, dan HCV).
32 39 35 42,7 11 13,4 4 4,9 0 0 82 100
Berdasarkan tabel diatas diperoleh informasi bahwa sebagian besar
responden memilih sangat setuju dan setuju untuk semua item pertanyaan. Ini
artinya, secara umum pelatihan dan ketersediaan APD di RS PMI Bogor cukup
baik.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
85


Universitas Indonesia

6.2.3 Hasil Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square untuk
melihat apakah ada hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen. Berikut ini adalah penyajian hasil analisis bivariat:
Tabel 6.13 Hasil Analisis Bivariat Faktor Kepatuhan dengan Faktor yang
Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011
Variabel Tidak Patuh Patuh Total
P value OR
n % n % n %
Pengetahuan transmisi HIV,
HBV, dan HCV


Tidak baik 19 59,4 13 40,6 32 100
0,137 -
Baik 20 40 30 60 50 100

Persepsi risiko
Rendah 21 46,7 24 53,3 45 100
1,000
-


Tinggi
18 48,6 19 51,4 37 100
Risk-taking personality
Risk taker 22 51,2 21 48,8 43 100
0,642 -
Non Risk Taker 17 43,6 22 56,4 39 100

Efficacy of prevention
Rendah 18 54,5 15 45,5 33 100
0,416 -
Tinggi 21 42,9 28 57,1 49 100

Hambatan penerapan KU/KS
Tinggi 21 53,8 18 46,2 39 100
0,388 -
Rendah 18 41,9 25 58,1 43 100

Beban kerja

Tinggi 26 50 26 50 52 100
0,724 -
Rendah 13 43,3 17 56,7 30 100

Safety climate
Tidak baik 31 63,3 18 36,7 49 100
0,001 5,382
Baik 8 24,2 25 75,8 33 100

Variabel Tidak Patuh Patuh Total P value OR
n % n % n %
Safety performance feedback
Tidak baik 28 56 22 44 50 100
0,092 -
Baik 11 34,4 21 65,6 32 100

Pelatihan dan ketersediaan APD
Tidak baik 28 68,3 13 31,7 41 100
0,000 5,874
Baik 11 26,8 30 73,2 41 100
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
86


Universitas Indonesia


6.3.2.1 Faktor Individu (Lihat Tabel 6.13)
Pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, dan HCV diukur dengan
menggunakan 6 item pertanyaan. Responden yang menjawab dengan benar ke
enam item pertanyaan didapatkan tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam
penerapan KU/KS (p value = 0,137).
Persepsi responden terhadap risiko terinfeksi HIV diukur menggunakan 3
item pertanyaan. Persepsi risiko setelah dilakukan uji x
2
diperoleh p value = 1,000
maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara persepsi tentang risiko dengan
kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar.
Risk taking personality diukur menggunakan 4 item pertanyaan.
Responden yang menjawab semua item pertanyaan untuk variabel ini didapatkan
bahwa tidak ada hubungan antara risk taking personality dengan kepatuhan
penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (p value = 0,642).
Efficacy of prevention, mengukur sejauh mana keyakinan responden
mampu mencegah dari pajanan penyakit infeksi dengan menggunakan 3 item
pertanyaan. Berdasarkan perhitungan uji statistik x
2
diperoleh informasi bahwa
tidak ada hubungan antara efficacy of prevention dengan tingkat kepatuhan
penerapan Universal/Standard precautions oleh perawat dan bidan (p value =
0,416).
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan
antara faktor individu yang terdiri dari pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV,
HCV, persepsi risiko, risk-taking personality dan efficacy of prevention dengan
kepatuhan penerapan KU/KS (menjawab hipotesis H
0
1).

6.3.2.2 Faktor Pekerjaan (Lihat Tabel 6.13)
Faktor pekerjaan yaitu hambatan penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar diukur dengan menggunakan 6 item pertanyaan. Hasil
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
87


Universitas Indonesia

perhitungan statistik didapatkan tidak ada hubungan hambatan penerapan KU/KS
dengan tingkat kepatuhan penerapan KU/KS (p value = 0,388).
Beban kerja diukur menggunakan 3 item pertanyaan. Beban kerja
dilakukan uji x
2
diperoleh p value = 0,724 maka dapat disimpulkan tidak ada
hubungan antara beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk H
0
2 yaitu tidak ada
perbedaan antara faktor pekerjaan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar adalah gagal ditolak.
Artinya, tidak ada hubungan antara faktor pekerjaan yaitu hambatan penerapan
KU/KS dan beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar.

6.3.2.3 Faktor Organisasi (Lihat Tabel 6.13)
Iklim keselamatan kerja (safety climate) diukur dengan menggunakan 6
item pertanyaan. Hasil perhitungan statistik didapatkan ada hubungan iklim
keselamatan kerja dengan tingkat kepatuhan penerapan KU/KS (p value = 0,001).
Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,382, artinya responden yang merasa
iklim keselamatan kerja di RS PMI Bogor adalah baik mempunyai peluang 5,382
kali untuk patuh terhadap penerapan KU/KS dibandingkan responden yang
merasa safety climate tidak baik.
Safety performance feedback diukur dengan menggunakan 5 item skala
pertanyaan. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,092 maka dapat disimpulkan
tidak ada hubungan antara safety performance feedback dengan kepatuhan
perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan
Standar.
Pelatihan dan ketersediaan APD diukur dengan menggunakan 6 item
pertanyaan. Berdasarkan hasil analisis hubungan, diperoleh p value = 0,000 maka
dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dan
ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
88


Universitas Indonesia

Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Hasil analisis diperoleh pula nilai
OR =5,874, artinya responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD
baik mempunyai peluang 5,87 kali untuk patuh terhadap penerapan KU/KS
disbanding dengan responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD
tidak baik.
Berdasarkan penjelasan di atas, diperoleh informasi sebagai berikut:
- Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi
yaitu safety climate dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar, keputusannya adalah H
0

ditolak. Artinya, ada hubungan yang bermakna antara safety climate dengan
kepatuhan penerapan KU/KS.
- Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi
yaitu safety performance feedback dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar, keputusannya adalah H
0

gagal ditolak. Artinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara safety
performance feedback dengan kepatuhan penerapan KU/KS.
- Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi
yaitu pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar, keputusannya adalah H
0

ditolak. Artinya, ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dan
ketersediaan APD dengan kepatuhan penerapan KU/KS.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


89
Universitas Indonesia

BAB 7
PEMBAHASAN

7.1 Keterbatasan Penelitian
Sebelum memulai hasil penelitian ini, penulis terlebih dahulu akan
menjelaskan beberapa keterbatasan dari penelitian ini, antara lain:
1. Instrumen pengumpulan data (kuesioner) yang digunakan peneliti adalah
adopsi dari penelitian lain diluar negeri sehingga kuesioner menggunakan
bahasa Inggris. Kuesioner kemudiaan diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan bantuan dari Pembimbing Skripsi dan satu orang
mahasiswa yang berprofesi sebagai perawat. Kuesioner yang diadopsi
tersebut oleh peneliti tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh
karena kuesioner tersebut telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh
penelitinya.
2. Pada saat pengumpulan data, kuesioner yang disebar bersifat self
administered questionnaire. Hal ini dikarenakan peneliti tidak dapat
melakukan pendampingan pada saat pengisian kuesioner oleh responden
karena alasan kesibukan responden sehingga terdapat beberapa kuesioner
yang tidak diisi lengkap oleh responden dan terdapat pula beberapa
kuesioner yang hilang. Peneliti tidak dapat melakukan penelusuran karena
identitas responden tidak diketahui. Akhirnya, dari 100 kuesioner yang
disebar hanya 82 kuesioner yang eligible. Jumlah tersebut telah memenuhi
syarat dari batas sampel minimal penelitian, yaitu sebanyak 76 responden.
Kelemahan lain dari self administered questionnaire adalah terdapat
kemungkinan sebagian responden membaca kuesioner dengan kurang
serius sehingga responden kurang memahami maksud setiap pertanyaan
atau responden memang tidak mengerti maksud pertanyaan tersebut
sehingga mempengaruhi jawaban responden.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
90


Universitas Indonesia

7.2 Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan
Universal
Secara umum, kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan
kewaspadaan universal/standar relatif baik. Hasil penelitian menunjukkan
sebanyak 52,4% responden sudah menerapkan kewaspadaan universal/standar
dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat dan bidan di RS
PMI Bogor telah melakukan tindakan-tindakan melindungi dirinya dari
kemungkinan terinfeksinya penyakit yang ditularkan lewat darah dan cairan tubuh
lainnya (blood-borne infection).
Jika dilihat dari masing-masing komponen kepatuhan diperoleh responden
yang patuh (sering dan selalu) membuang benda tajam ke kontainer benda tajam
(100%), mencuci tangan setelah melepas sarung tangan (98%), memakai celemek
(65,8%), memakai sarung tangan disposable (96,4%), memakai goggle (41,5%),
memakai masker(86,6%), membuang sampai infeksius ke dalam plastik khusus
infeksius (100%), menghapus spills dengan desinfektan (89%), tidak makan dan
minum (79,3%), hati-hati menggunakan scapel atau benda tajam lainnya (97,6%),
tidak recapping jarum suntik (22%). Dari hasil tersebut ditemukan ada dua
komponen yang masih kurang patuh, yaitu memakai goggle dan tidak recapping
jarum suntik.
Rendahnya kepatuhan pemakaian goggle karena goggle digunakan petugas
yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko tinggi
terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya (Depkes, 2003). Selain itu,
berdasarkan prosedur alat pelindung diri (APD) RS PMI Bogor (terlampir)
mencantumkan bahwa kaca mata pelindung digunakan jika perlu. Oleh sebab itu,
terdapat kemungkinan tidak semua perawat dan bidan menggunakan goggle setiap
kali melakukan tindakan keperawatan, tergantung ruang rawat tempat perawat dan
bidan bekerja. Ruangan-ruangan yang berisiko tinggi untuk terkena cipratan darah
adalah Kamar Operasi, IGD dan Kamar Bersalin (VK).
Komponen lain yang masih rendah yaitu recapping jarum suntik.
Berdasarkan hasil tabel 6.3 sebagian besar perawat dan bidan masih menutup
kembali jarum suntik walaupun terdapat kontainer benda tajam. Menurut peneliti,
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
91


Universitas Indonesia

ada beberapa penyebab rendahnya kepatuhan responden terhadap item (jika
terdapat kontainer benda tajam, tidak menutup kembali jarum suntik) tersebut.
Pertama, penyebaran kuesioner yang bersifat self-administered sehingga
memungkinkan responden tidak memahami maksud isi pertanyaan atau ketika
pengisian kuesioner responden kurang seksama membaca pertanyaan sehingga
sebagian besar responden menjawab melakukan recapping walaupun terdapat
kontainer benda tajam. Kedua, di RS PMI Bogor, tidak semua ruangan tersedia
kontainer benda tajam (di RS PMI Bogor menggunakan jirigen sebagai kontainer
benda tajam), hanya ada pada ruangan tertentu saja sehingga petugas kesehatan
diperbolehkan melakukan recapping tetapi dengan menggunakan teknik satu
tangan. Petugas kesehatan diantaranya perawat dan bidan sudah diberikan
pelatihan mengenai recapping dengan menggunakan teknik satu tangan tersebut.
Terdapat kemungkinan, kondisi dan situasi terkait recapping jarum di RS PMI
Bogor yang demikian yang mempengaruhi rendahnya jawaban responden pada
kepatuhan terhadap item ini.
Menurut Duerink, et.al., 2006, menjelaskan bahwa di Indonesia,
rendahnya kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan Standar disebabkan oleh
keterbatasan fasilitas dalam pengendalian infeksi. Di banyak rumah sakit di
Indonesia, kontainer untuk pembuangan benda tajam juga sering tidak tersedia.
Penjelasan ini sejalan dengan kondisi yang ditemukan di RS PMI Bogor. Namun,
untuk mengatasi keterbatasan fasilitas tersebut, RS PMI Bogor memberikan
pelatihan untuk recapping menggunakan teknik satu tangan. Metode ini dapat
membuat petugas kesehatan khususnya perawat dan bidan lebih aman dalam
melakukan injeksi. Jadi, recapping jarum suntik bukan penyebab tingginya angka
kejadian perlukaan tertusuk jarum karena recapping sudah menggunakan teknik
satu tangan. Terdapat kemungkinan penyebab meningkatkannya angka tertusuk
jarum karena keteledoran dari perawat dan bidan itu sendiri yang melakukan
unsafe injection practice. Kemungkinan lain karena perawat dan bidan sudah
memiliki kesadaran untuk melapor kejadian perlukaan tertusuk jarum kepada
manajemen sehingga terlihat ada peningkatan kasus.
Namun, menurut pendapat peneliti, tidak recapping jarum adalah pilihan
utama untuk mengurangi hazard terhadap perlukaan akibat tertusuk jarum suntik.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
92


Universitas Indonesia

Pendapat ini didasarkan pada Guideline for Isolation Precautions: Preventing
Transmission of Infectious Agents in Healthcare Setting (CDC, 2007: page 129)
yang merekomendasikan penerapan Standard Precautions khususnya komponen
mengenai jarum suntik dan benda tajam, do not recap, bend, break, or hand-
manipulate used needles; if recapping is required, use a one-handed scoop
technique only. Rekomendasi ini sejalan dengan pedoman kewaspadaan
universal (Depkes 2003) yang menjelaskan bahwa sangat tidak dianjurkan untuk
menutup kembali jarum suntik tersebut, melainkan langsung saja di buang ke
tempat penampungan sementara tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian
tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum
terpaksa ditutup kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan
satu tangan (one-handed scoop) untuk mencegah jari tertusuk jarum.
Di RS PMI Bogor, prosedur yang ada terkait hal ini juga sudah mengikuti
kedua pedoman tersebut. Hal ini didasarkan pada hasil telaah prosedur terkait
Alat Pelindung Diri (APD) RS PMI Bogor tahun 2009 (terlampir) yang
menjelaskan penanganan jarum suntik secara hati-hati yaitu tidak menutup
kembali jarum suntik dan buang jarum pada tempat khusus. Namun, karena
keterbatasan fasilitas yaitu kurangnya ketersediaan tempat pembuangan khusus
benda tajam maka prosedur tersebut tidak dapat diterapkan oleh perawat dan
bidan pada setiap melakukan injeksi.
Untuk mendukung upaya praktik safe injection oleh petugas kesehatan,
sebaiknya organisasi yaitu RS PMI Bogor menyediakan tempat khusus
pembuangan benda tajam di tempat yang mudah terjangkau perawat sehingga
prosedur yang sudah ada dapat berjalan dengan optimal.

7.2 Pengetahuan tentang Transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C
Hasil penelitian (Tabel 6.2) diperoleh bahwa sebagian besar responden
sudah memiliki pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C
yang baik. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi jawaban responden juga
menunjukkan hasil yang sejalan dengan hasil penelitian pada Tabel 6.2. Dari
masing-masing komponen pertanyaan, mayoritas responden menjawab setuju dan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
93


Universitas Indonesia

sangat setuju untuk semua item pertanyaan. Ini artinya, tidak ada masalah dengan
pengetahuan responden terkait variabel ini karena sebagian besar responden tahu
kegiatan klinis apa saja yang berpotensi terjadi transmisi penyakit infeksi yang
menular melalui darah (HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C).
Akan tetapi, hasil penelitian pada Tabel 6.13, didapatkan bahwa tidak ada
hubungan antara pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C
dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar. Berbeda dengan analisis tabel silang (Tabel 6.13) antara
variabel pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C dengan
kepatuhan, terlihat ada kecenderungan semakin baik tingkat pengetahuan
responden semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar.
Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian
sebelumnya yang menyatakan pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B
dan Hepatitis C secara signifikan berhubungan dengan tingkat kepatuhan
penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (Mc Govern et.al.,2000; DeJoy, et.al.,
2000; Kermode et.al., 2005). DeJoy (2000) menjelaskan petugas kesehatan yang
mempunyai sikap positif terhadap pasien dengan HIV, kurang tertarik dengan
perilaku yang berisiko dan mempunyai pengetahuan mengenai transmisi penyakit
infeksi di pelayanan kesehatan, diprediksikan akan mempunyai tingkat kepatuhan
yang lebih tinggi.
Hasil penelitian ini juga bertolak belakang dengan pendapat Green, et.al.,
(1980) yang menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu
menyebabkan perilaku untuk berubah, tetapi pengetahuan mempunyai hubungan
yang positif antara variabel pengetahuan dengan variabel perilaku kesehatan.
Menurut analisa penulis, penyebab ketidak bermaknaan hubungan
pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C dipengaruhi oleh
pengetahuan responden yang berbeda-beda tentang transmisi HIV, Hepatitis B
dan Hepatitis C. Kemungkinan ini terkait dengan cara responden dalam
memperoleh informasi mengenai hal tersebut.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
94


Universitas Indonesia

Penyebab lain ketidakmanaan hubungan antara kedua variabel tersebut
adalah karena sebagian besar responden tingkat pengetahuan responden mengenai
transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C belum pada level memahami, mereka
hanya sekedar tahu. Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2007) menyatakan
bahwa pengetahuan orang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda, yang dapat di bagi ke dalam 6 tingkat pengetahuan: pertama, tahu
(know); kedua, memahami (comprehension); ketiga, aplikasi (application);
keempat, analisis (analysis);kelima, sintesis (synthesis); keenam, evaluasi
(evaluasi). Mengacu pada teori tersebut, sebenarnya responden sudah tahu tentang
transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C, namun belum memahami
pengetahuan yang diketahui tersebut pada saat menerapkan pedoman
Kewaspadaan Universal/Standar. Hal ini dapat dilihat dari hasil temuan mengenai
persepsi responden terhadap risiko yang masih rendah.
Oleh karena itu, sebaiknya perlu diadakan pendidikan dan pelatihan secara
kontinyu. Dengan adanya langkah tersebut, perawat dan bidan akan terus ter-
update wawasan dan keterampilannya khususnya mengenai Kewaspadaan
Standar. Pendidikan bertujuan untuk memberi pengetahuan sedangkan pelatihan
memantapkan pengetahuan agar perawat dan bidan lebih paham dengan cara
mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam bentuk pelatihan. Dengan demikian,
responden dapat lebih berwaspada terhadap risiko terpajan penyakit infeksi yang
tertular lewat darah sehingga meningkatkan juga kepatuhan terhadap penerapan
Kewaspadaan Universal.

7.3 Persepsi terhadap Risiko
Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6.2) diperoleh sebagian besar
responden memiliki persepsi terhadap risiko yang rendah. Berdasarkan tabel
distribusi frekuensi,
Menurut penulis, persepsi terhadap risiko dapat dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan responden terhadap transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Jika
tingkat pengetahuan responden baik maka akan terbentuk persepsi terhadap risiko
yang baik. Namun, berdasarkan hasil data yang ditemukan sebagian responden
memiliki pengetahuan terhadap transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C yang
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
95


Universitas Indonesia

baik (61%) tidak diikuti dengan persepsi responden terhadap risiko yang baik,
yaitu hanya 45,1 %. Ini artinya, responden mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan
klinis yang dilakukan responden berpeluang tinggi untuk terinfeksi bloodborne
pathogen tetapi responden menganggap penyakit infeksi ini tidak menimbulkan
bahaya atau akibat yang serius. Hal ini mungkin disebabkan karena seperti yang
diulas pada sub bab sebelumnya bahwa tingkat pengetahuan responden baru
sekedar tahu tetapi belum memahami.
Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan antara persepsi risiko
dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar. Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian
lain yang menyatakan ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan.
Dejoras (1992) dan Donner (1990) menyatakan ada hubungan antara persepsi
risiko dengan kepatuhan (Wolgater, et.al.2005). Menurut Otsubo (1988) persepsi
risiko digunakan dalam penelitian mengenai tingkat perilaku kepatuhan dan
dampaknya (Wolgater, et.al.2005).
Teori lain yang mendukung bahwa persepsi terhadap risiko berhubungan
dengan kepatuhan adalah konsep HBM (Health Belief Model). Menurut HBM,
kemungkinan individu melakukan pencegahan tergantung secara langsung pada
hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman
yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan
pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost). Penilaian
pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan muncul. Hal
ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-
betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman
yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan
meningkat (Machfoedz dan Eko, 2007).
Namun, Beekmann, et.al. tidak membahas persepsi risiko sebagai
variabel untuk melihat kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal atau
Kewaspadaan Standar (Henderson, 2001). Menurut Henderson, staf yang merasa
dirinya berada pada risiko terinfeksi lebih mungkin untuk mematuhi pedoman
Kewaspadaan Universal/Standar.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
96


Universitas Indonesia

Websters New Universal Un-abridged Dictionary (1983) menjelaskan
bahwa risk is defined as the perceived chance of injury, damage, or loss.
Perceived risk is considered important because it has the potential to influence
peoples intent to seek out warning information and comply with warnings
(Wogalter, Desaulniers, and Brelsford, 1987; DeJoy, 1989, 1991; Dingus,
Wreggit, and Hathaway, 1993) dalam Wolgater, et.al. (2005). (Risiko yang
dirasakan dianggap penting karena mempunyai potensi mempengaruhi niat
seseorang untuk mencari tahu mengenai informasi kewaspadaan dan akhirnya
patuh terhadap kewaspadaan tersebut).

7.4 Risk Taking Personality
Dari hasil analisis univariat diperoleh mayoritas memiliki sikap yang suka
mengambil risiko. Namun, jika dilihat berdasarkan distribusi frekuensi jawaban
responden, sebagian besar responden suka dengan pengalaman yang baru dan
menarik (item pertanyaan 1) dan kehidupan yang menarik dan tak terduga (item
pertanyaan 2). Akan tetapi, mayoritas responden tidak suka melakukan hal-hal
yang berbahaya (item pertanyaan 3) dan mengambil risiko dalam hidup (item
pertanyaan 4).
Penggambaran risk taking personality yang kuat pada responden dapat
dilihat dari jawaban responden yang setuju dengan ke empat item pertanyaan.
Namun, hasil yang berbeda di peroleh pada hasil jawaban responden di RS PMI
Bogor mengenai risk taking personality (merujuk pada paragraf sebelumnya). Hal
ini terjadi karena konstruks pertanyaan pada kuesioner tidak secara tersurat
menjelaskan hubungannya dengan kepatuhan terhadap penerapan pedoman
Kewaspadaan Universal/Standar. Jadi, konstruks yang diadopsi masih bersifat
umum.
Selain itu, kuesioner merupakan hasil adopsi dari penelitian luar negeri
yaitu kawasan Amerika yang budaya masyarakatnya sangat berbeda jauh dengan
orang Asia, khususnya orang Indonesia. Oleh karena itu, risk taking personality
sebagai risk taker tidak sesuai dengan budaya orang Indonesia dimana
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
97


Universitas Indonesia

kepribadiannya adalah orang yang tidak suka dengan hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatannya.
Definisi risk-taking mengacu pada kecenderungan untuk terlibat dalam
perilaku yang memiliki potensi menjadi berbahaya atau berbahaya, namun pada
saat yang sama memberikan hasil yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang
positif. Misalnya, mengebut atau menggunakan narkoba merupakan contoh
perilaku risk-taking. Mereka sebagai risk-taker mungkin memiliki perasaan yang
sangat puas atau senang saat melakukan hal tersebut. Akan tetapi, hal ini dapat
menempatkan mereka pada risiko yang sangat berbahaya seperti pengebut
mengalami kecelakaan sedangkan pengguna narkoba mengalami overdoses
(www.ptsd.about.com). Jika dikaitkan dengan konteks perilaku pada perawat dan
bidan misalnya tidak menggunakan APD dengan sengaja pada saat kontak dengan
bahaya. Perilaku mereka yang demikian memiliki risiko bahaya yang serius tetapi
ada perasaan yang puas saat jika melakukan perilaku yang berbahaya tersebut.
Sedangkan risk-taking personality adalah sikap seseorang terhadap
perilaku berisiko (Mc Gorven, et.al., 2000). Salah satu faktor yang harus ditinjau
adalah petugas kesehatan dengan kepribadiannya yang suka mengambil risiko
(risk-taking personality) (Gershon, et.al., 1995). Petugas kesehatan yang
mempunyai kepribadian seperti itu, diperlukan perhatian khusus dari komite K3
atau manajemen risiko (McGovern, et.al., 2000). Individu dengan kecenderungan
suka mengambil risiko dapat diberikan dukungan pengawasan yang kuat serta
konseling untuk kesehatan karyawan jika tersedia. Banyak rumah sakit sekarang
membutuhkan konseling bagi karyawannya (Gershon, et.al., 1995).
Berdasarkan analisis didapatkan tidak ada hubungan antara risk-taking
personality dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar (P value= 0,642). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan
hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa kepatuhan berhubungan dengan risk-
taking personality (DeJoy, 2000; McGorven, et.al., 2000). Pada hasil penelitian
Mc Gorven tersebut didapatkan bahwa responden yang kurang tertarik dengan
perilaku berisiko 1,9 kali lebih patuh terhadap Kewaspadaan Universal.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
98


Universitas Indonesia

Menurut penulis, penyebab ketidak bermaknaan hubungan disebabkan
oleh jawaban responden yang tidak secara jelas memperlihatkan risk-taking
personality-nya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kuesioner yang
dipakai merupakan adopsi dari penelitian diluar negeri dimana sangat berbeda
budayanya dengan orang Indonesia. Selain itu, item pertanyaan juga tidak secara
tersurat mencantumkan hubungannya dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar. Hal ini menjadi indikasi, responden tidak memahami maksud
pertanyaan bahwa item-item pertanyaan tersebut merujuk pada kepatuhan
penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Oleh karena itu, diharapkan pada
penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengembangan kontruk kuesioner terkait
variabel risk-taking personality yang jelas dan sesuai dengan sosiodemografi
orang Indonesia.

7.5 Efficacy of Prevention
Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan sebagian besar responden
mempunyai efficacy of prevention yang tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan
temuan pada distribusi frekuensi jawaban responden terhadap efficacy of
prevention dimana masing-masing item pertanyaan diperoleh jawaban sangat
setuju dan setuju. Ini artinya tidak ada masalah dengan self efficacy perawat dan
bidan , karena mereka sudah memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa mereka
mampu mencegah terpajan dengan penyakit infeksi lewat darah (bloodborne
infection) dengan mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Standar.
Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan
antara variabel efficacy of prevention dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini menunjukkan
hasil yang berbeda dengan penelitian yang lain. DeJoy.et.al.,(1995) menyatakan
ada hubungan antara efficacy of prevention dengan penerapan kepatuhan perawat
dan bidan dengan KU/KS, yaitu diperoleh nilai P value = <0,001. Penyebab
terjadinya perbedaan hasil yang didapat menurut penulis adalah karena tingginya
beban kerja perawat dan bidan sehingga walaupun responden memiliki efficacy of
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
99


Universitas Indonesia

prevention yang tinggi, responden tidak dapat selalu menerapkan Kewaspadaan
Universal/Standar.
Efficacy of prevention pada individu akan terwujud apabila didukung
dengan efektivitas tindakan pencegahan (precautionary) yang ada serta persepsi
individu itu sendiri terhadap kemampuannya untuk berhasil mengikuti
precautionary tersebut (self-efficacy). Self- efficacy dapat dikembangkan melalui
pendidikan/pelatihan dan skill-building exercise (DeJoy, 1996). Self Efficacy
dapat didefinisikan sebagai sejauh mana individu meyakini mereka mampu
menghadapi tantangan dalam hidup. Kemampuan diri membentuk bagian teori
kognitif sosial dari Bandura (Bandura 1986) yang yakin bahwa perilaku dipelajari,
melalui modeling, visualisasi, pemantauan diri, dan pelatihan keterampilan
(Niven, 2000).
Jikadilihat berdasarkan hasil tabel silang (Tabel 6.13) terlihat ada
kecenderungan bahwa semakin tinggi efficacy of prevention responden semakin
tinggi tingkat kepatuhan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Standar.
Didasari pada hasil temuan ini, peneliti menyarankan untuk dilakukan pendidikan
dan pelatihan secara berkala. Output dari hasil kegiatan ini diharapkan dapat
memberi dampak pada peningkatan efficacy of prevention yang lebih signifikan
pada petugas kesehatan di RS PMI Bogor sehingga kepatuhan penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar dapat berlangsung optimal.

7.7 Hambatan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar
Dari hasil temuan data diperoleh bahwa sebagian besar responden
memiliki persepsi tidak mempunyai hambatan dalam penerapan Kewaspadaan
Universal/Standar. Namun, jika ditinjau dari masing-masing jawaban pada item
pertanyaan, pada item pertanyaan pertama diperoleh jawaban yang cukup
beragam. Hanya 52 % responden yang memiliki persepsi bahwa waktu yang
kurang bukan menjadi penghambat untuk menerapkan Kewaspadaan
Universal/Standar. Ini artinya, faktor ketidakcukupan waktu menjadi penyebab
kurangnya kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Menurut Kelen,
et.al., 1990 dalam DeJoy (1995), ketidakcukupan waktu menjadi alasan yang kuat
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
100


Universitas Indonesia

pada ketidakpatuhan. Oleh karena itu, perlu diberikan pelatihan mengenai
manajemen waktu yang baik bagi perawat dan bidan. Salah satu tujuan
manajemen waktu adalah untuk membantu individu itu sendiri menjadi sadar
tentang bagaimana menggunakan waktunya sebagai salah satu sumber daya dalam
mengorganisir, memprioritaskan dan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Dengan
demikian, pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dengan hasil
pekerjaan yang diperoleh akan lebih berkualitas.
Sedangkan sisanya (48%) responden memiliki persepsi sebaliknya, yaitu
responden memiliki persepsi bahwa item pertanyaan selain item yang telah
disebutkan diatas bukan penghambat penerapan pedoman Kewaspadaan
Universal/Standar. Menurut analisa penulis, baiknya persepsi terhadap item item
pertanyaan tersebut dapat ditinjau dari lama kerja responden. Hampir 80%
perawat dan bidan memiliki masa kerja yang lama, yaitu 22 tahun keatas. Lama
kerja yang lama tentunya memiliki pengalaman kerja yang banyak pula khususnya
bagaimana menghadapi padatnya tugas pekerjaan. Oleh karena itu, sebagian besar
responden karena sudah memiliki lama kerja yang lama maka faktor-faktor
penghambat seperti padatnya tugas pekerjaan, kebutuhan mendahului melayani
kebutuhan pasien, dan sebagainya, bukan penghalang untuk patuh terhadap
penerapan Kewaspadaan Universal/Standar.
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
hambatan dalam penerapan KU/KS dengan kepatuhan perawat dan bidan dengan
Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan
penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan ada hubungan yang bermakna
hambatan penerapan KU/KS dengan kepatuhan (DeJoy, et.al., 1995; Kermode
et.al., 2005).
Namun, berdasarkan hasil analisis tabel silang (Tabel 6.13) diperoleh
infomasi, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi responden mengganggap
tidak ada hambatan semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar. Berdasarkan studi yang dilakukan NIOSH
(Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998) mengungkapkan petugas
kesehatan yang memiliki persepsi terhadap konflik antara kebutuhan pekerjaan
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
101


Universitas Indonesia

dan perlindungan diri yang rendah memiliki peluang dua kali untuk patuh
daripada mereka yang memiliki persepsi yang tinggi.
Hambatan dalam menerapkan KU/KS yang dirasakan responden jelas
mempengaruhi kemampuan dan kemauan petugas kesehatan untuk patuh dengan
penerapan pedoman KU/KS (DeJoy, et.al., 1995). Hambatan penelitian ini dapat
salah satu pengertiannya dapat diterjemahkan sebagai adanya konflik kepentingan
antara melayani kebutuhan pasien dengan kebutuhan responden melindungi diri.
Akibatnya, dalam situasi-situasi tertentu (keadaan emergensi), perawat dan bidan
sering mengabaikan pedoman KU/KS, misalnya menggunakan APD.

7.8 Beban Kerja
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh mayoritas responden mempunyai
beban kerja yang tinggi. Hasil ini juga didukung dari hasil distribusi frekuensi
jawaban responden terhadap beban kerja dimana instrumennya diukur dengan
menggunakan tiga item pertanyaan dan diperoleh hasil bahwa sebagian besar
responden menjawab sangat sering, sering dan cukup sering. Tingginya beban
kerja kemungkinan dipengaruhi banyaknya pasien yang dirawat. Kedudukan RS
PMI Bogor sebagai pusat rujukan kota Bogor menyebabkan angka kunjungan
pasien juga tinggi.
Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan
antara variabel beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam
menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian yang diperoleh
sejalan dengan temuan penelitian yang lain. Berdasarkan penelitian dalam DeJoy
(1995), salah satu faktor pekerjaan yaitu beban kerja ditemukan tidak dapat
memprediksikan kepatuhan.
Pendapat yang berbeda dinyatakan Kalimo, Mostafa A. El-Batawi, and
Cary L. Cooper. (Ed) (1987). Beban kerja termasuk dalam salah satu variabel
pemicu stress di lingkungan kerja. Salah satu cara stress dapat mempengaruhi
kesakitan dan kesehatan adalah the health behavior route. Faktor beban kerja
ini dapat menyebabkan dampak yang merugikan, termasuk perilaku. Stress dapat
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
102


Universitas Indonesia

secara langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku
individu (Smet, 1994). Berdasarkan teori ini, sangat jelas bahwa tingginya beban
kerja dapat memicu stress di antara perawat dan bidan sehingga berperilaku tidak
patuh terhadap kewaspadaan universal/standar. Penelitian lain juga menemukan
bahwa workload, dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan
masalah-masalah kesehatan (Smet, 1994). Pendapat yang sama juga diungkapkan
Carayon dan Ayse (nd), kondisi beban kerja yang tinggi dapat membuat perawat
lebih sulit untuk mengikuti peraturan dan pedoman, sehingga mengurangi kualitas
dan keamanan dalam memberikan keperawatan pada pasien.
Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan tidak ada kemaknaan
hubungan menurut penulis disebabkan karena sifat pekerjaan perawat dan bidan
yang berbeda-beda. Pada pendistribusian kuesioner, responden yang mengisi
kuesioner tersebut diantaranya ada yang bekerja di Poliklinik khusus dan regular;
Rawat Inap, yang dapat diklasifikasikan menjadi kelas Eksekutif, VIP, Kelas I,
Kelas II, dan Kelas III; kamar bersalin; ruang Hemodialisa; dan IGD. Carayon
dan Ayse (nd) mengatakan bahwa menurut konseptual tingkat beban kerja
tergantung pada jenis pekerjaan. Perawat yang bekerja di ruang ICU memiliki
dampak beban kerja yaitu kejenuhan dan kinerja, dibandingkan dengan perawat di
kamar operasi. Oleh karena itu, tingkat beban kerja masing-masing perawat
tergantung tempat dimana dia bekerja.

7.9 Safety Climate (Iklim Keselamatan Kerja)
Dilihat dari variabel iklim keselamatan kerja (safety climate), sebagian
besar responden memiliki persepsi tidak baik mengenai dukungan manajemen
terhadap keselamatan kerja di RS PMI Bogor. Padahal berdasarkan telaah data
sekunder yang diperoleh, di RS PMI secara manajerial sudah mendukung
terciptanya iklim keselamatan kerja terlihat dari struktur organisasi yang memiliki
komite keselamatan kerja (K3) dan komite pencegahan dan pengendalian infeksi
(PPI) lengkap dengan uraian tugas yang jelas. Selain itu juga sudah ada kebijakan
terkait Kewaspadaan Universal, dan SOP mengenai Alat Pelindung Diri. Namun,
menurut penulis kebijakan dan SOP kurang disosialisasikan sehingga petugas
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
103


Universitas Indonesia

kesehatan kurang mendapat pengetahuan mengenai praktik kerja aman dan
kewaspadaan universal khususnya. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan dan SOP
(poin-poin penting dari SOP) di tempatkan pada tempat yang mudah terlihat dan
terbaca oleh petugas kesehatan. Dengan adanya langkah tersebut akan
mengingatkan petugas kesehatan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur yang berlaku.
Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa ada hubungan antara
variabel safety climate (iklim keselamatan kerja) dengan kepatuhan perawat dan
bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini
adalah sama dengan hasil temuan penelitian-penelitian yang lain dimana iklim
keselamatan kerja berhubungan dengan tingkat kepatuhan diantara perawat
(Kermode et.al., 2005; Brevidelli & Cianciarullo, 2009; DeJoy, et.al., 1995)
Dalam suatu penelitian yang lain juga sejalan dengan hasil penelitian ini
yang mengatakan ada hubungan yang signifikan antara iklim keselamatan kerja
dengan kepatuhan KU/KS. Iklim keselamatan di tempat kerja merupakan faktor
yang penting dalam kesehatan dan keselamatan kerja (Anderson, et.al., dalam
Kirkland, 2011).
Banyak penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan signifikan
dengan kepatuhan, maka organisasi pelayanan kesehatan seharusnya menciptakan
iklim keselamatan kerja yang positif, yaitu adanya komitmen untuk menjadikan
keselamatan kerja sebagai sesuatu hal yang penting dan diprioritaskan, dimana
komitmen tersebut diwujudkan baik dalam kata-kata maupun tindakan.
Keselamatan kerja harus diintegrasikan ke dalam sistem manajemen organisasi,
artinya keselamatan kerja harus ditangani/ dianggap penting dengan fungsi
fungsi organisasi yang lain (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998).
Menurut CDC (2007) dalam Guideline for Isolation Precautions:
Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Setting menjelaskan
bahwa iklim keselamatan kerja adalah bagaimana persepsi pekerja dan
manajemen tentang harapan keselamatan di lingkungan kerja. Sebuah iklim
keselamatan kerja di rumah sakit mencakup enam komponen: (1) adanya
dukungan top manajemen (pimpinan) untuk program keselamatan kerja, (2) tidak
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
104


Universitas Indonesia

adanya hambatan untuk melakukan praktik kerja aman, (3) kebersihan dan
keteraturan tempat kerja, (4) minimalisasi konflik komunikasi antara petugasnya,
(5) adanya feedback terkait keselamatan kerja yang berkala/pelatihan oleh
supervisor, dan (6) ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan engineering
control.

7.10 Safety Performance Feedback
Berdasarkan hasil data univariat diperoleh bahwa sebagian responden
memiliki persepsi yang tidak baik dengan safety performance feedback. Perihal
terkait Safety performance feedback di RS PMI Bogor sudah diatur secara jelas.
Aturan ini dituangkan dalam tugas dan tanggung jawabIPCLN (Infection
Prevention and Control Link Nurse) yaitu memberikan motivasi dan teguran
tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap
personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. Seperti pada safety climate,
menurut penulis safety performance feedback kurang ditunjukkan
pelaksanaannya. Hal ini mungkin karena petugas kesehatan juga kurang responsif
dan partisipatif sehingga safety performance feedback kurang terlaksanakan.
Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan
antara variabel safety performance feedback dengan kepatuhan perawat dan bidan
dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini tidak
konsisten dengan temuan-temuan penelitian yang lain (DeJoy, et.al., 1995;
Brevidelli & Cianciarullo, 2009) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan
antara safety performance feedback dengan kepatuhan penerapan KU/KS.
Safety performance feedback merupakan umpan balik yang baik yang
bersifat formal maupun informal yang diterima dari pimpinan, supervisor, dan
rekan kerja. Umpan balik yang bersifat formal misalnya penilaian kinerja.
Sedangkan umpan balik yang bersifat informal cenderung lebih tidak tegas dan
berhubungan dengan interaksi antara rekan kerja (DeJoy, et.al., 1995).
Adanya safety performance feedback mendukung perawat dan bidan
melakukan praktik kerja yang aman, karena ada umpan balik baik dari atasan
maupun rekan kerja yang didapat apabila mereka melakukan praktik kerja yang
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
105


Universitas Indonesia

salah. Begitu juga sebaliknya, apabila mereka telah melakukan praktik kerja aman
diberikan penghargaan. Tentunya, adanya pemberiaan penghargaan baik dari
atasan maupun rekan kerja (misalnya pujian) akan meningkatkan perilaku
kepatuhan.

7.11 Pelatihan dan Ketersediaan APD
Untuk variabel pelatihan dan ketersediaan APD, responden yang memiliki
persepsi mengenai pelatihan dan ketersediaan APD yang baik adalah sama
dengan responden yang memiliki persepsi terhadap pelatihan dan ketersediaan
APD yang tidak baik. Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden
meunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden menjawab setuju dan sangat
setuju untuk item pertanyaan variabel ini. Selain itu, berdasarkan telaah dokumen
data sekunder, pelatihan dan ketersediaan sarana dan prasarana salah satunya APD
juga sudah dalam kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) dan juga
K3. Namun kemungkinan intensitas pelaksanaannya masih kurang berkala
sehingga hanya sebagian responden yang memiliki persepsi yang baik terhadap
hal tersebut.
Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara variabel pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan
perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Dalam
penelitian juga didapat nilai OR, yaitu 5,87. Ini artinya, responden yang
menganggap pelatihan dan ketersediaan APD baik mempunyai peluang 5,87 kali
untuk patuh terhadap penerapan KU/KS dibanding dengan responden yang
menganggap pelatihan dan ketersediaan APD tidak baik. Hasil penelitian ini
konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya (Y.Luo, et.al., 2010; Kermode
et.al., 2005; DeJoy, et.al., 1995; McGovern, 2000) yang menemukan bahwa ada
hubungan antara ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat. Hasil penelitian
lain oleh Pinem (2003) menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini.
Petugas kesehatan harus dilatih tentang penggunaan APD yang benar dan
pelatihan ini harus berhubungan erat dengan tugas pekerjaan dan prosedur
tertentu. Selain itu, pelatihan penggunaan APD sebagai upaya untuk mengurangi
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
106


Universitas Indonesia

hambatan yang terkait dengan penggunaan APD oleh petugas kesehatan, misalnya
ketidaknyaman, kelupaan dan ketidak terbiasaan dalam menggunakan APD
(DeJoy, et.al.,1995).
Menurut teori Green, et.al., (1980) menjelaskan salah satu faktor
determinan perilaku adalah faktor pemungkin, yaitu faktor-faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor-faktor tersebut
misalnya tersedianya sarana dan prasarana. Dalam konteks kepatuhan dengan
KU/KS, ketersediaan sarana dan prasarana yaitu adanya fasilitas yang mendukung
pekerja untuk melaksanakan kewaspadaan universal/standar, misalnya adanya
sarana dan prasarana cuci tangan, alat pelindung diri (APD), bahan/perlengkapan
untuk desinfektan dan sterilisasi, dan perlengkapan untuk penanganan benda
tajam dan pengelolaan sampah medis. Samsuridjal (1997) dalam Pinem (2003),
menyatakan bahwa penerapan kewaspadaan universal di suatu layanan kesehatan
akan tergantung antara lain pada tersedianya peralatan medik dan sarana ynag
dibutuhkan. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan Alat Pelindung Diri
merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam mematuhi
Kewaspadaan Standar (Y.Luo, et.al., 2010).
Pelatihan, baik pelatihan keselamatan kerja dan kewaspadaan
universal/standar adalah upaya yang sangat penting untuk dilaksanakan di
pelayanan kesehatan. Dengan adanya pelatihan, perawat dan bidan dapat
mendapatkan pengetahuan dan informasi-informasi terbaru terkait pekerjaannya
sehingga mereka mengetahui bagaimana perilaku praktik kerja aman.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


107
Universitas Indonesia

BAB 8
KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kepatuhan perawat
dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebagian besar (52,4 %) perawat dan bidan sudah memiliki tingkat
kepatuhan yang baik.
2. Faktor faktor yang tidak berhubungan dengan kepatuhan penerapan
Kewaspadaan Universal/Standar antaralain: faktor individu (pengetahuan
tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko,
risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan
dalam penerapan UP/SP, beban kerja) dan faktor organisasi (safety
performance feedback).
3. Faktor faktor secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan
penerapan Kewaspadaan Universal/Standar adalah faktor organisasi: iklim
keselamatan kerja (safety climate) dan pelatihan dan ketersediaan APD.

8.2 Saran
8.2.1 Bagi Manajemen Pengendalian Infeksi dan Keselamatan Kerja di RS
PMI Bogor
1. Memberikan pengetahuan dan melatih keterampilan kepada petugas kesehatan
melalui pengadaan pendidikan dan pelatihan yang berkala mengenai
kewaspadaan universal/standar dan penggunaan APD, serta melakukan
pelatihan tentang manajemen waktu sehingga petugas kesehatan dapat
melaksanakan tugas secara efektif dan efisien.
2. Menyediakan fasilitas sarana dan prasarana misalnya menyediakan kontainer
benda tajam di ruangan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
oleh petugas kesehatan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
108

Universitas Indonesia

3. Mensosialisasikan kebijakan dan SOP (poin-poin penting dari SOP) terkait
kewaspadaan universal dan Alat Pelindung Diri, dengan cara memasang
kebijakan dan SOP tersebut di tempat-tempat yang mudah terlihat dan terbaca
dengan jelas oleh petugas kesehatan.
4. Sebagai umpan balik dari performance petugas kesehatan, dapat diberi
penghargaan setiap bulan dengan cara memberikan sertifikat petugas
kesehatan terbaik (Staf of the Month) yang telah melakukan safe work
practice.

8.2.2 Bagi Penelitian Selanjutnya
Agar dilakukan penelitian selanjutnya sehingga memperoleh hasil analisis
yang mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan Kewaspadaan
Universal/Standar.

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


109
Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Anonim. Langkah Mencuci Tangan. http://ginaseptiani.blogspot.com (4 Desember
2011)
Albery, Iann P. and Marcus Munafo.2008. Key Concepts in Health Phychology.
London: SAGE Publication
Basuki, Endang dan Hadi S. Topobroto. 2007. Advokasi sebagai Usaha untuk
Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Masyarakat.
Majalah Kedokteran, 57 (3): 135 - 139.
Benedetto, et.al. 2011. What causes an improved safety climate among staff of a
dyalisis unit? Report of an evaluation in a large network. JNEPHROL, 34
(05): 604-612
Brevidelli, Maria Meimei and Tamara Iwanow Cianciarullo. 2009. Rev Saude
Publica, 43 (9): 1-10.
CDC. 2007. Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of
Infectious Agents in Healthcare Setting,
http://cdc.gov/hicpac/pdf/isolation/isolation2007.pdf (16 Januari 2012)
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Terj. dari Handbooks of
Pathophysiology, Brahm U. Pendit). Jakarta : EGC
DeJoy, David M. Lawrence R. Murphy & Robyn M. Gershon.1995. The Influence
of employee, job/task, and organizational factors on adherence to universal
precautions among nurses. International Journal of Industrial Ergonomics
16: 43-55.
DeJoy, David M. 1996. Theoretical Models of Health Behavior and Workplace
Self-Protective Behavior. Journal of Safety Research, 27 (2) : 61-72
DeJoy, David M., Cynthia A. Searcy & Lawrence R. Murphy. Behavioral-
Diagnostic Analysis of Compliance With Universal Precautions Among
Nurses.
Depkes. 2003. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal. Jakarta: Depkes
RI.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
110


Universitas Indonesia

Duerink, D.O., et.al. 2006. Preventing nosocomial infections: improving
compliance with standard precautions in an Indonesian teaching hospital.
Journal of Hospital Infection (64): 36 -43.
Efstathiou, Georgios, Evridiki Papastavio, Vasilios Raftopoulos, Anastasios
Merkouris. 2011. Factors Influencing Nurses Compliance with Standard
Precautions in order to Avoid Occupational Exposure to Microorganisms:
A Focus Group Study. BMC Nursing, 10 (1): 1-12.
Emaliyawati, Etika. 2009. Makalah. Tindakan Kewaspadaan Universal Sebagai
Upaya untuk Mengurangi Risiko Penyebaran Infeksi. Universitas
Padjadjaran.
Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed). 1998. Occupational Injury: Risk,
Prevention, and Intervention. UK: Taylor and Francis
Franklin, Okechukwu Emeka. 2009. MPH Thesis. The Knowledge and Practice of
Standard Precautions among Health Care Workers in Public Secondary
Health Facilities in Abuja, Nigeria. University of South Africa.
Gershon, Robyn R.M. et.al. 1995. Compliance with Universal Precautions among
Health Care Workers at Three Regional Hospitals. AJIC Am J Infect
Control, 23 : 225-236
Green, Laurence, W. et.al. 1980. Health Education Planning: A Diagnostic
Approach, California: Mayfield Publisher.
Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Modul Analisis Data Kesehatan. Universitas
Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2008. Statistik Kesehatan.Jakarta:
Rajawali Pers.
Healey, Benard J. and Kenneth T. Walker. 2009. Introduction to Occupational
Health in Public Health Practice.USA: John Willey & Sons.
Henderson, David K. (2001). Raising the Bar: The Need for Standardizing the Use
of Standard Precautions as a Primary Intervention to Prevent
Occupational Exposures to Bloodborne Pathogens. Infection Control and
Hospital Epidemiology, 22 (2) : 70-72


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
111


Universitas Indonesia

Hermana, Agus Dwi, 2006. Tesis. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Terjadinya Luka Tusuk Jarum atau Benda Tajam Lainnya pada Perawat
di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Cianjur. Universitas Indonesia:
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Janjua, Naveed Z., et.al., 2007. Poor Knowledge Predictor of Nonadherence to
Universal Precautions for Blood Pathogens at First Level Care Facilities
Pakistan. BMC Infectious Diseases, 7 (81).
Kalimo, Raija, Mostafa A. El-Batawi, and Cary L. Cooper. (Ed). 1987.
Phychosocial Factors at Work. (Ed). WHO Geneva.
Kermode, Michelle, et.al., 2005. Compliance with Universal/Standard Precautions
among Health Care Workers in Rural North India. AIIC, 33 (1): 27-33.
Kirkland, Katherine Hayes. 2011. Dissertation Thesis. Nurses and
Standard/Universal Precautions Analysis of Barriers Affecting Strict
Compliance. The Faculty of The School of Public Health and Health
Services the George Washington.
Levenson, Michael. 1990. Risk Taking and Personality. Journal of Personality
and Social Psychology, 58 (6): 1073-1080
Machfoedz, Ircham dan Eko Suryani. 2007. Pendidikan Kesehatan Bagian dari
Promosi Kesehatan Masyarakat.Yogyakarta: Fitramaya.
McCulloch, Janet. 2000. Infection Control: Science, Management and Practice.
USA: Whurr Publishers.
McGovern, Patricia M, Donald Vesley, Laura Kochevar, Robyn R.M. Gershon,
Frank S. Rhame, Elizabeth Anderson (2000). Factors Affecting Universal
Precautions Compliance. Journal of Business and Psychology, 15 (1): 149-
161.
Mehta, A., et.al., 2010. Interventions to Reduce Needlestick Injuries at A Tertiary
Care Centre. Indian Journal of Medical Microbiology, 1 (28): 17-20.
Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
112


Universitas Indonesia

Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan
Profesional Kesehatan Lain (Terj. Agung Waluyo). Edisi ke-2. Jakarta:
ECG
Norsayani, Mohamad Yaakob and Ismail Noor Hasyim. 2003. Study on Incidence
of Needlestick Injury and Factors Associated with This Problem among
Medical Students. J Occup Health 45:172-178
Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam dan Ninuk Dian Kurniawati, 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeks. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.
Pinem, Saroha. 2003. Tesis. Penerapan Kewaspadaan Universal oleh Bidan dan
Faktor-Faktor yang Berhubungan di Puskesmas Kecamatan Wilayah
Jakarta Timur Tahun 2003. Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan
Masyarakat.
Reda, Ayalu A., Shiferaw Fisseha, Bezaty Mengistie, Jean-Michel Vandeweerd.
2010. Standard Precautions: Occupational Exposure and Behavior of
Healthcare Workers in Ethiopia. PLoS ONE, 5 (12).
Sadoh, Wilson E., et.al., 2006. Practice of Universal Precautions among
Healthcare Worker. Journal of The National Medical Association, 98 (5):
727 726.
Environmental Health & Safety. Sharp Safety. http://utexas.edu/safety/ehs (30
September 2011).
Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo
Sulastri. 2001. Tesis. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat
Kepatuhan Petugas Kamar Bedah dalam Menerapkan Kewaspadaan
Universal di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Tahun 2001.
Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Tull, Matthew, 2009. Risk Taking, http://ptsd.about.com (19 Januari 2012).
Weston, Debbie. 2008. Infection Prevention and Control: Theory and Clinical
Practice for Healthcare Professionals. England: John Wiley & Sons, Ltd.
WHO. 2008. Penerapan Kewaspadaan Standar di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
113


Universitas Indonesia

WHO. 2010. WHO best practices for injections and related procedures toolkit,
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241599252_eng.pdf (16
Januari 2012).
Wicker, Sabine, Juliane Jung, Regina Allwinn, Rene Gottschalk, & Holger F.
Rabenau. 2008. Prevalence and Prevention of Needlestick Injuries among
Healthcare Workers in a German University Hospital, Int Arch Occup
Environ Health (81): 347-354.
Wogalter, Michael S., David M.DeJoy, & Kenneth R.Laughery.(eds). 2005.
Warnings and Risk Communication.Taylor & Francis e-Library.
Yang Luo, Guo-Ping He, Jijan-Wei Zhou, & Ying Luo. 2010. Factors impacting
compliance with standard precautions in nursing, China. International
Journal of Infections Disease 14: 1106-1114
Yayasan Spiritia. 2009. Kewaspadaan Universal. http://spriritia.or.id/ (13
Desember, 2011)
Yayasan Spiritia. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal.
http://spriritia.or.id/ (13 Desember, 2011)









Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM
PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL/
KEWASPADAAN STANDAR DI RS PMI BOGOR
TAHUN 2011

Dengan hormat,
Dengan ini saya sampaikan bahwa saya Ayu Sahara, mahasiswa Program Sarjana
Reguler Jurusan Manajamen Rumah sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia yang sedang menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan
melakukan penelitian tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan
Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011
Sehubungan dengan hal tersebut mohon kesediaan Saudara untuk berpartisipasi
sebagai responden dalam penelitian saya. Saya sangat mengharapkan kerjasama
dari Saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan sejujur-jujurnya. Jawaban
Saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan mempengaruhi
keberadaan dan proses pelayanan di rumah sakit ini.
Atas partisipasi dan kerjasama Saudara, saya ucapkan terimakasih.



Hormat saya,

Ayu Sahara
Lampiran1: Kuesioner Penelitian
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

Kuesioner ini hanya untuk keperluan penelitian sehingga jawaban yang
Saudara/i berikan tidak akan berpengaruh terhadap penilaian kinerja
Saudara/i. Oleh sebab itu, mohon kiranya dapat diisi dengan lengkap dan
sejujur-jujurnya.

Petunjuk Pengisian:
Mohon dijawab sesuai dengan pendapat Saudara, dengan cara mengisi jawaban pada
titik-titik dan memberi tanda silang (X) atau () pada kotak jawaban yang tersedia.

1. Umur Responden : .. tahun
2. Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan

3. Pendidikan Terakhir : SPK/ SLTA S1
Diploma S2
4. Lama Kerja : tahun
5. Jumlah Jam Kerja per Minggu : jam

Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
A. Kepatuhan

Ket: SL: Selalu SR: Sering KD: Kadang-Kadang JR: Jarang TP: Tidak Pernah


1. Saya membuang peralatan/benda tajam ke dalam kontainer benda
tajam.

2. Saya mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan sekali pakai.

3. S
aya memakai kain pelindung/ celemek yang anti tembus darah dan
cairan tubuh setiap kali ada kemungkinan baju saya terkotori oleh
aktivitas pekerjaan.

4. S
aya memakai sarung tangan sekali pakai setiap kali ada kemungkinan
terkena darah dan cairan tubuh lainnya.

5. S
aya memakai google setiap kali ada kemungkinan terkena cipratan
cairan ke mata saya.

6. S
aya memakai masker sekali pakai setiap kali ada kemungkinan
terkena cipratan cairan ke mulut saya.

7. S
aya membuang semua benda yang mungkin terkontaminasi ke dalam
plastik khusus untuk sampah biomedis.

8. S
aya menghapus dengan desinfektan semua cairan yang keluar dari
tubuh pasien.

9. S
aya tidak makan atau minum ketika sedang bekerja di area yang
berpotensial terkontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya.

10. S
aya berhati-hati ketika menggunakan pisau bedah atau benda tajam
lainnya.

11. Jika terdapat kontainer benda tajam, saya tidak menutup kembali
(recapping) jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah.

SL SR KD JR TP
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
B. Pengetahuan tentang penularan penyakit infeksi (HIV, HBV, dan HBC)
Ket
SS: Sangat Setuju S: Setuju RG: Ragu-Ragu TS: Tidak Setuju STS: Sangat Tidak
Setuju


1. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika menekan
bagian yang mengalami perdarahan tanpa menggunakan sarung
tangan.

2. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika terluka
dengan benda tajam yang terkontaminasi.


3. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika
mengambil sampel darah pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan
sarung tangan.

4. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika mulut atau
mata saya terkena percikan darah pasien yang positif terinfeksi HIV,
Hepatitis B, dan Hepatitis C

5. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika membalut
luka pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan sarung tangan.

6. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C jika melakukan
resusitasi kardiopulmoner mulut ke mulut dengan pasien yang
terinfeksi HIV.


C. Pelatihan APD dan Ketersediaan APD

1. Perawat dan Bidan dilatih tentang Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar.

2. Saya mendapat kesempatan untuk dilatih secara baik dalam
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).

3. Di unit saya bekerja, atasan mendorong pegawainya untuk menghadiri
seminar keselamatan.

4. Rumah sakit saya mengadakan seminar khusus tentang penyakit yang
ditularkan melalui darah.

SS S RG TS STS
SS S RG TS STS
SS S RG TS STS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
5. Di unit saya, tersedia semua kebutuhan dan peralatan yang diperlukan
untuk melindungi saya bekerja.

6. Tersedia semua kebutuhan peralatan dan perlengkapan untuk
menghindari saya kontak dengan penyakit infeksi (HIV, Hepatitis B
dan Hepatitis C).


D. Hambatan dalam penerapkan UP/SP


1. Kadang-kadang saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar
dalam melakukan tindakan keperawatan.

2. Mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar
membuat kerja saya lebih berat.

3. Saya tidak bisa selalu menerapkan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar karena kebutuhan untuk melayani
pasien lebih diutamakan.

4. Padatnya tugas sehari-hari menjadi penghalang saya untuk mematuhi
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.

5. Mengikuti Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar membuat
saya tidak mampu bekerja dengan sebaik-baiknya.

6. Saya tidak terbiasa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).


E. Risk Taking Personality


1. Saya lebih suka pengalaman yang baru dan menarik.

2. Saya melakukan hal-hal yang berbahaya kadang-kadang hanya untuk
mencari kesenangan.

3. Saya suka mengambil risiko dalam hidup saya.

4. Saya lebih suka kehidupan yang menarik dan tak terduga.







SS S RG TS STS
SS S RG TS STS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
F. Efficacy of Prevention


1. Jika Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar diterapkan pada
semua pasien, risiko saya untuk terkena HIV, Hepatitis B dan
Hepatitis C adalah sangat rendah.

2. Saya dapat mengurangi risiko saya terinfeksi HIV, Hepatitis B dan
Hepatitis Cdengan cara mematuhi Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar.

3. Jika saya menggunakan sarung tangan sekali pakai, saya akan
terlindungi dari kontaminasi penyakit infeksi (HIV, Hepatitis B dan
Hepatitis C).


G. Persepsi terhadap Risiko


1. Risiko saya terinfeksi HIV pada waktu saya bekerja adalah rendah.

2. Ada risiko tinggi yang mengancam saya di tempat saya bekerja.

3. Di pekerjaan saya, ada kemungkinan saya terkena infeksi HIV,
Hepatitis B dan Hepatitis C.



H. Dukungan Manajemen untuk Praktik Kerja yang Aman


1. Di rumah sakit ini, pegawai, supervisor, dan manajer bekerja
bersama-sama untuk memastikan kondisi kerja yang aman.

2. Di rumah sakit ini, ada tindakan yang diambil untuk meminimalkan
tugas-tugas pekerjaan yang berbahaya.

3. Di rumah sakit ini, pimpinan ikut terlibat terlibat dalam kegiatan
Kewaspadaan universal/Kewaspadaan Standar.

4. Supervisor saya peduli akan keselamatan saya pada waktu bekerja.

5. Di rumah sakit ini, ada komite/panitia keselamatan.

6. Di tempat saya bekerja, saya bebas melaporkan kejadian pelanggaran
aturan keselamatan bekerja.

SS S RG TS STS
SS S RG TS STS
SS S RG TS STS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
7. Perlindungan pekerja terhadap pajanan penyakit infeksi (HIV,
Hepatitis B dan Hepatitis C) merupakan hal yang diutamakan oleh
pimpinan di rumah sakit ini.



I. Safety Performance Feedback


1. Di rumah sakit ini, supervisor akan melakukan koreksi jika ada yang
melakukan praktik kerja tidak aman.

2. Karyawan akan ditegur jika tidak mematuhi Kewaspadaan Universal/
Kewaspadaan Standar.

3. Atasan saya, mendukung saya untuk menerapkan Kewaspadaan
Universal/Kewaspadaan Standar.

4. Di tempat saya bekerja, kepatuhan karyawan terhadap penerapan
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar adalah bagian dari
evaluasi karyawan.

5. Di rumah sakit ini, rekan kerja akan melakukan koreksi jika ada
teman kerjanya yang melakukan praktik kerja tidak aman.


J. Beban Kerja

Ket:
SS: Sangat Sering S: Sering CS: Cukup Sering TS: Tidak Sering STS: Sangat
Tidak Sering


1. Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk
bekerja dengan sangat cepat?

2. Seberapa sering Anda harus menyelesaikan pekerjaan yang banyak
dalam waktu sempit?

3. Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk
bekerja keras?



- TERIMA KASIH -
SS S RG TS STS
SS S CS TS STS
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
Lampiran1: Struktur Organisasi
PENGURUS PUSAT PMI
BADAN PENGAWAS
DIREKTUR
KOMITE MEDIK WAKIL DIREKTUR YANMED WAKIL DIREKTUR ADMINISTRASI DAN
KEUANGAN
PANITIA/ KOMITE
KABID REKAM
MEDIS
KA DIVISI
OPERASIONAL II
KA DIVISI
OPERASIONAL I
KABID
KEPERAWATAN
KABID
PENGADAAN
LOGISTIK
KABID
SEKRETARIAT
KABID
KEUANGAN
KABID SDM KABID PS PPRS
Inst. Gawat Darurat
Inst. Bedah Sentral
Inst. Perawatan Intensif
Inst. Radiologi
Inst. Laboratorium
Inst. Hemodialisasi dan
Bank Darah
Lampiran Surat Keputusan Direktur
Nomor : I. 010/KPTS/XI/2009
Tanggal : 03 November 2009
Tentang : STRUKTUR ORGANISASI RS PMI BOGOR
Inst. Rawat Inap
Inst. Rawat Jalan
Inst. Rehab. Medik
Inst. Farmasi
Inst. Gizi
Inst. Forensik
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
Lampiran1: SOP APD
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011


Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011

Anda mungkin juga menyukai