Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal di Rumah Sakit PMI Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan kuesioner untuk 82 perawat dan bidan, dan menemukan bahwa hanya 52,4% yang memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Variabel yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan adalah iklim keselamatan kerja, pelatihan, dan ketersedia
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
100%(1)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
1K tayangan142 halaman
Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal di Rumah Sakit PMI Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan kuesioner untuk 82 perawat dan bidan, dan menemukan bahwa hanya 52,4% yang memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Variabel yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan adalah iklim keselamatan kerja, pelatihan, dan ketersedia
Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal di Rumah Sakit PMI Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan kuesioner untuk 82 perawat dan bidan, dan menemukan bahwa hanya 52,4% yang memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Variabel yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan adalah iklim keselamatan kerja, pelatihan, dan ketersedia
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
100%(1)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
Skripsi ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal di Rumah Sakit PMI Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan kuesioner untuk 82 perawat dan bidan, dan menemukan bahwa hanya 52,4% yang memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Variabel yang berhubungan signifikan dengan kepatuhan adalah iklim keselamatan kerja, pelatihan, dan ketersedia
Hak Cipta:
Attribution Non-Commercial (BY-NC)
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 142
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR DI RUMAH SAKIT PALANG MERAH INDONESIA BOGOR TAHUN 2011
SKRIPSI
AYU SAHARA 0806316442
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JANUARI 2011 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 i
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR DI RUMAH SAKIT PMI BOGOR TAHUN 2011
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
AYU SAHARA 0806316442
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ADMINISTRASI KEBIJAKAN DAN KESEHATAN PEMINATAN MANAJEMEN RUMAH SAKIT DEPOK JANUARI 2012 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 ii
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Ayu Sahara NPM : 0806316442 Program Studi : Manajemen Rumah Sakit, Departemen Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, FKM UI Tahun Akademik : 2008 - 2012
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang berjudul. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL/KEWASPADAAN STANDAR DI RS PMI BOGOR TAHUN 2011 Apabila suatu saat nanti saya terbukti melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Depok, 2 J anuari 2012
( Ayu Sahara )
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Ayu Sahara NPM : 0806316442 Tanda Tangan : Tanggal : 6 J anuari 2012
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Ayu Sahara NPM : 0806316442 Program Studi : Manajemen Rumah Sakit, Departemen Administrasi Kebijakan dan Kesehatan, FKM UI J udul Skripsi :Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal /Kewaspadaan Standar di Rumah Sakit PMI Bogor Tahun 2011 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelas Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Program Studi S1 Reguler, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 6 J anuari 2012 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ayu Sahara NPM :0806316442 Program Studi: Sarjana Kesehatan Masyarakat Departemen : Administrasi Kebijakan dan Kesehatan Fakultas : Fakultas Kesehatan Masyarakat J enis Karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal /Kewaspadaan Standar di Rumah Sakit PMI Bogor beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok Pada Tanggal: 6 J anuari 2012 Yang menyatakan
( Ayu Sahara )
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama : Ayu Sahara Alamat : J alan Kapuk, No 70A, Margonda, Depok Tempat Tanggal Lahir : Matang Glumpang Dua, 11 Agustus 1990 Agama : Islam J enis Kelamin : Perempuan
Riwayat Pendidikan 1. SDN Bertingkat Peusangan Tahun 1996 2002 2. SMPN 1 Peusangan Tahun 2002 2005 3. SMAN 1 Bireuen Tahun 2005 2008 4. FKM UI Peminatan MRS Tahun 2008 2012
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat- Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencaai gelas Sarjana Kesehatan Masyarakat J urusan Manajemen Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1) Ibu Vetty Yulianty Permanasari, S.Si, M.P.H, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membantu dan mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini; (2) Bapak Habib Priyono, SKM, M.Si., selaku pembimbing lapangan yang telah menyumbangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membantu saya dalam penyusunan skripsi ini; (3) Bapak Ahmad, Bapak Tony, Bapak J ulianto, Bapak Aqib, Ibu Uum, Bapak Yani, Bapak Dikdik, Ibu Atik, dan karyawan RS PMI lainnya yang tidak bida disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan. (4) Ayah dan Mama tercinta yang telah memberikan dukungan material dan moral serta doa yang tidak mampu terbalaskan; (5) Abang Edy, Kak Pi, Kak Ella, Dek Shifa, dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan semangat dan doa; (6) Sahabat (Dinar, Dila, Naila, Agi, Ila, Amy, Wuri, Icha, Vina, Uchi, Dian, Kak Dinda, Kak Renate, Mba Yul, Amik dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu) yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini; (7) Teman-teman MRS08 dan teman-teman se-angkatan 2008 yang telah memberikan semangat dan doa; (8) Teman-teman 70Aers, yang telah juga memberikan semangat dan doa. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 viii
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, J anuari 2012 Ayu Sahara
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 ix
ABSTRAK
Nama : Ayu Sahara Program Studi : Sarjana Kesehatan Masyarakat J udul : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor
Kewaspadaan Universal/Standar direkomendasikan untuk mencegah pajanan penyakit infeksi lewat darah seperti HIV, Virus Hepatitis B, dan Virus Hepatitis C di pelayanan kesehatan. Di RS PMI Bogor, kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar diantara perawat dan bidan adalah rendah, dilihat dari kasus kecelakaan tertusuk jarum suntik yang terjadi diantara perawat tahun 2009-2011, masing-masing 6, 4, dan 8 kasus. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional. Sebanyak 100 self administered questionnaires disebarkan dan hanya 82 kuesioner lengkap yang kembali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar dan faktor faktor yang berhubungan. Dalam penelitian ini, hanya 52,4 % perawat dan bidan yang memiliki tingkat kepatuhan yang baik. Dari hasil uji chi square, variabel yang secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar adalah iklim keselamatan kerja dan pelatihan dan ketersediaan APD. Peneliti menyarankan diadakan pelatihan dan sosialisasi SOP dan kebijakan terkait kewaspadaan universal. Kata kunci: Kewaspadaan Universal/Standar, Tertusuk jarum suntik, Penyakit infeksi lewat darah.
xvii +113 hlm,6 gambar; 15 tabel; 3 lamp Daftar acuan : 50 (1980 2011)
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 x
ABSTRACT
Name : Ayu Sahara Study Program : Public Health Program Undergraduate Program Title : Factors Associated with Compliance to Universal/Standard Precautions among Nurses and Midwives at PMI Hospital, Bogor. Universal/Standard Precautions are recommended to prevent blood-borne infections (e.g. HIV, HBV, and HCV) exposure in health care setting. Compliance with Universal/Standard Precautions among nurses and midwives is suboptimal at PMI Hospital, Bogor. It was showed from needle stick injury cases occurred among nurses each of 6, 4, and 8 cases in 2009 2011. This research is descriptive using cross sectional design. A total of 100 self administered questionnaires were distributed to nurses and midwives, and 82 completed questionnaires were returned. The purpose of this study is to find out compliance rate with Universal/Standard Precautions among nurses and midwives and factors related. In this research, only 52.4 % nurses and midwives who had a high compliance rate. Based on chi square test, safety climate and training and availability of PPE were significantly associated with compliance to Universal/Standard Precautions. The researcher suggests establishing the training and socializing SOP and policy related to Universal/Standard Precautions. Keywords: Blood-borne Infection, Needlestick Injury, Universal/Standard Precautions.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xi
DAFTAR ISI
HALAMAN J UDUL ..................................................................................... i SURAT PERNYATAAN ............................................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJ UAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................................................. v RIWAYAT HIDUP PENULIS ..................................................................... vi KATA PENGANTAR .................................................................................. vii ABSTRAK ..................................................................................................... ix ABSTRACT .................................................................................................. x DAFTAR ISI ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiv DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... xvii
1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah .......................................................................... 6 1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 6 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7 1.4.1 Tujuan Umum ....................................................................... 7 1.4.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 7 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 8 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 9
2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10 2.1 Bloodborne Infection ........................................................................ 10 2.1.1 HIV ........................................................................................ 10 2.1.2 Hepatitis B ............................................................................ 13 2.1.3 Hepatitis C ............................................................................ 13 2.2 Kewaspadaan Standar ....................................................................... 13 2.2.1 Sejarah Perkembangan Kewaspadaan Standar ................... 13 2.2.2 Komponen Kewaspadaan Standar ....................................... 15 2.2.2.1 Kebersihan Tangan .................................................. 15 2.2.2.2 Alat Pelindung Diri .................................................. 19 2.2.2.3 Linen ......................................................................... 22 2.2.2.4 Pengelolaan Alat Kesehatan .................................... 22 2.2.2.5 Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya ................................................. 24 2.2.2.6 Pengelolaan Limbah ................................................ 27 2.3 Kepatuhan (Compliance) .................................................................. 29 2.3.1 Definisi Perilaku Kepatuhan ................................................ 29 2.3.2 Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Standar ...... 30 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xii
2.3.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan terhadap Penerapan KU/KS ................................................................ 31 2.3.3.1 Pengetahuan ............................................................. 31 2.3.3.2 Persepsi tentang Risiko ............................................ 32 2.3.3.3 Risk Taking Personality ........................................... 34 2.3.3.4 Efficacy of Prevention ............................................. 34 2.3.3.5 Hambatan Penerapan KU/KS ................................... 35 2.3.3.6 Beban Kerja .............................................................. 35 2.3.3.7 Safety Climate .......................................................... 36 2.3.3.8 Safety Performance Feedback ................................ 36 2.3.3.9 Pelatihan dan Ketersediaan APD ............................ 36
4. METODE PENELITIAN .................................................................... 47 4.1 Desain Penelitian .............................................................................. 47 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 47 4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................... 47 4.4 Pengumpulan Data ............................................................................ 51 4.4.1 Data Primer ........................................................................... 51 4.4.2 Data Sekunder ....................................................................... 51 4.5 Uji Instrumen .................................................................................... 51 4.6 Pengolahan Data ............................................................................... 53 4.7 Analisis Data ..................................................................................... 54 4.7.1 Analisis Data Univariat ........................................................ 54 4.7.2 Analisis Data Bivariat .......................................................... 55
5. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 56 5.1 Sejarah RS PMI Bogor ..................................................................... 56 5.2 Profil RS PMI Bogor ........................................................................ 57 5.3 Visi, Misi, Motto, Tujuan dan Fungsi RS PMI Bogor ................... 58 5.4 Struktur Organisasi RS PMI Bogor ................................................. 59 5.5 Komite PPI RS PMI Bogor .............................................................. 61
6. HASIL PENELITIAN .......................................................................... 72 6.1 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 72 6.2 Penyajian Hasil Penelitian ................................................................ 72 6.2.1 Karakterisik Responden ....................................................... 72 6.2.2 Hasil Analisis Univariat ....................................................... 73 6.2.3 Hasil Analisis Bivariat ......................................................... 85
7. PEMBAHASAN .................................................................................... 89 7.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................... 89 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xiii
7.2 Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar .................................................... 90 7.3 Pengetahuan tentang Transmisi HIV, HBV dan HCV ................... 92 7.4 Persepsi terhadap Risiko .................................................................. 94 7.5 Risk-Taking Personality ................................................................... 96 7.6 Efficacy of Prevention ...................................................................... 98 7.7 Hambatan dalam Penerapan UP/SP ................................................ 99 7.8 Beban Kerja ....................................................................................... 101 7.9 Safety Climate ................................................................................... 102 7.10 Safety Performance Feedback ....................................................... 104 7.11 Pelatihan dan Ketersediaan APD ................................................... 105
DAFTAR REFERENSI .............................................................................. 109
LAMPIRAN Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Distribusi dan J umlah Pajanan HIV pada Petugas Kesehatan Berdasarkan Pekerjaan (1981-2001) Gambar 2.2 Langkah-langkah Mencuci Tangan Gambar 2.3 Alat Pelindung Diri Gambar 2.4 Cara Pengelolaan J arum Suntik Gambar 2.4 Model Determinan Perilaku Kepatuhan Gambar 3.1 Model Determinan Perilaku Kepatuhan Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Pengambilan Sampel dengan Menggunakan Teknik Proporsional Tabel 4.2 Hasil Cronbachs Alpha Kuesioner Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.2 Hasil Analisis Univariat Variabel Kepatuhan dan Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar di RS PMI Bogor Tabel 6.3 Kepatuhan terhadap Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar oleh Perawat dan Bidan di RS PMI Bogor Tabel 6.4 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Pengetahuan tentang Transmisi HIV, HBV, dan HCV di RS PMI Bogor 2011 Tabel 6.5 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Persepsi terhadap Risiko di RS PMI Bogor 2011 Tabel 6.6 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Risk-Taking PersonalityI di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.7 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Efficacy of Prevention di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.8 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Hambatan Penerapan KU/KS di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.9 Distribusi Frekuensi J awaban Responden Terhadap Beban Kerja di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.10 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Safety Climate di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.11 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Safety Performance Feedback di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi J awaban Responden terhadap Pelatihan dan Ketersediaan APD di RS PMI Bogor Tahun 2011 Tabel 6.13 Hasil Analisis Bivariat Faktor Kepatuhan dengan Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Lampiran 2 Struktur Organisasi RS PMI Bogor Lampiran 3 SOP Alat Pelindung Diri Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 xvii
Daftar Singkatan
APD : Alat Pelindung Diri CDC : Centers for Disease Control and Prevention HBC : Hepatitis C Virus HBV : Hepatitis B Virus HIV : Human Immunodeficiency Virus KS : Kewaspadaan Standar KU : Kewaspadaan Universal OSHA : Occupational Safety and Health Administration NIOSH : National Institute for Occupational Safety and Health, CDC UP :Universal Precautions SOP : Standar Oparting Procedure SP :Standard Precautions WHO : World Health Organization
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
1 Universitas Indonesia Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kejadian penyakit infeksi di rumah sakit dianggap sebagai suatu masalah serius karena mengancam kesehatan dan keselamatan pasien dan petugas kesehatan secara global. Selain itu, kejadian infeksi ini juga berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan (Luo, et.al., 2010). Petugas kesehatan berisiko terpajan penularan penyakit infeksi blood borne seperti HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C, yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak diketahui seperti benda terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai dan benda tajam lainnya. Secara global, lebih dari 35 juta petugas kesehatan menghadapi risiko luka perkutan akibat terkena benda tajam yang terkontaminasi. Insiden terpapar mikroorganisme yang diobservasi diantara semua petugas kesehatan yang paling tinggi terpajan adalah perawat (Efstathiou, et.al., 2011). Hal ini terjadi karena perawat adalah petugas kesehatan yang paling sering kontak dengan pasien baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Kecelakaan yang paling umum terjadi di pelayanan kesehatan adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas pelayanan kesehatan (Yayasan Spiritia, 2009). Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata risiko transmisi virus melalui blood-borne pada kecelakaan tertusuk jarum yaitu 30 % untuk virus Hepatitis B, virus Hepatitis C yaitu 3%, dan kurang lebih 0,3 % untuk virus HIV (Weston, 2008). WHO (2002) mengestimasikan bahwa sekitar 2,5 % petugas kesehatan di seluruh dunia menghadapi pajanan HIV dan sekitar 40 % menghadapi pajanan virus Hepatitis B dan Hepatitis C (Sadoh, et.al., 2006) dan 90 % dari infeksi yang dihasilkan dari pajanan tersebut berada di negara berkembang (Reda, et.al., 2010). Di negara berkembang, tingginya frekuensi infeksi terjadi karena penggunaan injeksi yang tinggi di fasilitas kesehatan, yang sebagian besar menggunakan jarum Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 2
Universitas Indonesia Universitas Indonesia suntik. Di Amerika Serikat, lebih dari 8 juta petugas kesehatan di Rumah sakit terpajan darah atau cairan tubuh lainnya, diantaranya melalui jenis kontak: luka dengan intrumen tajam yang terkontaminasi seperti jarum dan pisau bedah (82%), kontak dengan selaput lendir mata, hidung atau mulut (14%), terpajan dengan kulit yang terkelupas atau rusak (3%), dan gigitan manusia (1%), dan 800000 kejadian luka dengan instrumen tajam yang terkontaminasi tersebut terjadi setiap tahun di antara semua petugas kesehatan (CDC, 2004). Di Pakistan, penggunaan injeksi sangat tinggi di mana 13,6 suntikan per orang yang diberikan setiap tahun. Lebih dari 50% dari suntikan ini dengan menggunakan jarum suntik bekas pakai. Penggunaan kembali jarum suntik, dan recapping jarum mengakibatkan prevalensi virus Hepatitis B (HBV) dan virus Hepatitis C (HCV) di Pakistan lebih dari 10% dan sebagian besar infeksi tersebut terjadi karena penggunaan jarum suntik (Janjua, et.al., 2007). Data Penelitian pada 114 petugas kesehatan di 10 puskesmas DKI Jakarta menunjukkan sekitar 84% di antaranya pernah tertusuk jarum bekas. Ditemukan prevalensi HBsAg positif sebesar 12,5% pada kelompok dokter gigi dan 13,3% pada petugas laboratorium, padahal prevalensi pada petugas kesehatan umumnya sekitar 4% (Hudoyo, 2004 dalam Basuki dan Hadi, 2007). Penelitian lain yang dilakukan di RSUD Kabupaten Cianjur (Hermana, 2009) menyebutkan bahwa jumlah perawat yang mengalami luka tusuk jarum dan benda tajam lainnya adalah cukup tinggi yaitu sebanyak 61,34%. Petugas pelayanan kesehatan terutama perawat sering terpajan mikroorganisme, banyak yang dapat menyebabkan infeksi serius atau bahkan mematikan. Untuk melindungi dan mengurangi kemungkinan penularan infeksi tersebut, pada tahun 1970 seperangkat pedoman pencegahan pertama di keluarkan CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat untuk membantu petugas kesehatan melindungi dirinya sendiri dan pasien dari transmisi mikroorganisme, diikuti dengan revisi pada tahun 1983. Pada tahun 1985-88, CDC mengeluarkan Universal Precautions (Kewaspadaan Universal). Di dalam Kewaspadaan Universal, petugas kesehatan diharuskan untuk memperlakukan setiap pasien dengan asumsi bahwa pasien Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 3
Universitas Indonesia Universitas Indonesia berpotensi menularkan/ tertular penyakit infeksi (Efstathio, et.al., 2011). Selanjutnya pada tahun 1996, CDC merekomendasikan Kewaspadaan Universal untuk digantikan sebutannya menjadi Standard Precautions (Kewaspadaan Standar) yang menggabungkan Universal Precautions dan Body Substance Isolation (Franklin, 2009). Akan tetapi, walaupun CDC sekarang menggunakan istilah Standard Precautions untuk mendeskripsikan tindakan perlindungan terhadap pajanan pada petugas kesehatan dan pasien, istilah Universal Precautions masih digunakan secara luas di kalangan petugas klinis (Kirkland, 2011). Kewaspadaan Standar diterapkan di pelayanan kesehatan dengan tujuan untuk mengendalikan infeksi secara konsisten serta mencegah penularan bagi petugas kesehatan dan pasien. Studi menunjukkan bahwa kepatuhan pada penerapan Kewaspadaan Standar diantara petugas kesehatan untuk menghindari paparan mikroorganisme masih rendah (Mehta, et.al., 2010). Sulastri (2001) yang meneliti tingkat kepatuhan petugas kamar bedah di RSUP Persahabatan tahun 2001 menunjukkan bahwa hanya 26,9 % yang memiliki kepatuhan baik dan 73,1% yang memiliki kepatuhan sedang. Berkurangnya nilai kepatuhan karena masih ditemukan petugas yang kurang patuh dalam hal cuci tangan, penggunaan alas kaki, dan pemasangan kembali tutup jarum. Penelitian yang lain yaitu Saroha Pinem (2003) yang meneliti tentang penerapan kepatuhan Kewaspadaan Universal oleh Bidan di Puskesmas kecamatan Wilayah Jakarta Timur Tahun 2003 memperlihatkan bahwa hanya 16,7% bidan yang menerapkan Kewaspadaan Universal dengan benar. Faktor-faktor yang berkontribusi pada rendahnya kepatuhan tersebut adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya waktu, kelupaan, kurangnya keterampilan, ketidaknyaman, iritasi kulit, dan kurangnya pelatihan (Efstathiou, et.al., 2011). Di Indonesia, rendahnya kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan Standar disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dalam pengendalian infeksi, misalnya fasilitas cuci tangan di bangsal-bangsal hanya sedikit yang tersedia dan jika tersedia kadang-kadang tanpa sabun atau handuk. Kadang - kadang air mengalir juga tidak tersedia. Selain itu, pembersih tangan yang berbasis alkohol tidak tersedia secara luas dan sering ada kekurangan sarung tangan, gaun dan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 4
Universitas Indonesia Universitas Indonesia masker. Di banyak rumah sakit, kontainer untuk pembuangan benda tajam juga sering tidak tersedia (Duerink, et.al., 2006). Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar terkait dengan perilaku kesehatan. Menurut DeJoy (1995;1996;2000) dalam Brevidelli dan Tamara (2009) kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal dapat dilihat dari tiga level: individu/pekerja, tugas dan dinamika pekerjaan, dan konteks organisasi. Tingkat pertama menggambarkan kesehatan pekerja dengan karakteristik personalnya dan pengalaman kerjanya. Pada tingkat kedua, menggambarkan tugas pekerjaannya dan dinamika kesehatan kerjanya, dimana tuntutan petugas kesehatan untuk merawat pasien bersaing dengan keselamatan pribadinya. Tingkat ketiga, menggambarkan konteks organisasi, dimana organisasi tersebut mungkin mempunyai nilai budaya keselamatan dan dukungan pimpinan untuk mendukung penerapan Kewaspadaan Standar. RS PMI Bogor adalah rumah sakit bertipe B rumah sakit terbesar di Bogor dan menjadi rumah sakit rujukan daerah Bogor. Untuk melindungi dan mencegah penularan infeksi bagi petugas kesehatan dan pasien, RS PMI Bogor telah menerapkan Kewaspadaan Standar. Kewaspadaan Standar termasuk dalam SPO (Standar Prosedur Operasi) yang harus dipatuhi oleh perawat di RS PMI Bogor dalam melakukan kegiatan klinisnya. Namun, penerapan Kewaspadaan Standar oleh petugas kesehatan khususnya perawat masih belum optimal. Hal ini didasarkan pada masih ditemukannya perawat yang mengalami perlukaan akibat tertusuk jarum suntik (Bidang SDM, 2011). Grafik 1.1 Data Kecelakaan Pegawai Tertusuk Jarum dan Benda Tajam Lainnya RS PMI Bogor Tahun 2009- 2011 0 2 4 6 8 10 2009 2010 2011 k a s u s
[Sumber: Bidang SDM, 2011] Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 5
Universitas Indonesia Universitas Indonesia Berdasarkan grafik di atas terlihat pada tahun 2009, 2010, dan 2011 masing-masing terjadi 6 kasus, 4 kasus dan 8 kasus. Secara kuantitatif kasus tersebut tidak menunjukkan angka kejadiaan yang signifikan. Hal ini terjadi karena kasus tertusuk jarum dan benda tajam lainnya seperti fenomena gunung es. Artinya, kejadiaan tertusuk jarum dan benda tajam lainnya yang dilaporkan hanya sedikit, padahal pada kenyataannya banyak perawat yang mengalami kecelakaan kerja tertusuk jarum. Jika ditinjau berdasarkan trend-nya, trend jumlah kasus tertusuk jarum dan benda tajam lainnya pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun 2009. Sebaliknya, pada tahun 2011 (Januari-September) kejadiaan kasus ini mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan berpotensi terus mengalami peningkatan jumlah kasus jika dihitung dari Januari sampai dengan Desember. Selan itu, pada tahun 2009, terdapat 1 (satu) orang bidan yang mengalami penyakit akibat kerja yaitu tertular virus Hepatitis B akibat tertusuk jarum (Seksi K3 RS PMI Bogor, 2011). Didasari atas latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat dan bidan di RS PMI Bogor tahun 2011.
1.2 Perumusan Masalah Perawat sebagai petugas kesehatan yang memberikan pelayanan memiliki frekuensi dan peluang yang tinggi untuk terinfeksi. Untuk mengendalikan kejadian infeksi pada petugas kesehatan, RS PMI Bogor menerapkan kebijakan kewaspadaan universal (universal precautions) pada petugas kesehatan selama melakukan praktik klinisnya. Akan tetapi, kepatuhan akan penerapan kewaspadaan universal masih rendah dilihat dari angka kejadian pegawai yang tertusuk jarum suntik dan benda tajam lainnya yang mengalami peningkatan kasus pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 6
Universitas Indonesia Universitas Indonesia Berdasarkan data kecelakaan pekerja yang tertusuk jarum di RS PMI Bogor dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 (Januari-September) yaitu masing-masing 6 kasus, 4 kasus, dan 8 kasus (Sumber: Bidang SDM, September 2011). Berdasarkan data tersebut, trend jumlah kasus tertusuk jarum dan benda tajam lainnya pada tahun 2010 terjadi penurunan kasus dibandingkan tahun 2009. Sebaliknya, pada tahun 2011 (Januari-September) kejadiaan kasus ini mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya dan berpotensi terus mengalami peningkatan jumlah kasus jika dihitung dari Januari sampai dengan Desember. Pada tahun 2009, terdapat 1 kasus penyakit akibat kerja yaitu bidan yang tertular virus Hepatitis B akibat tertusuk jarum (Seksi K3 RS PMI Bogor, 2011). Dilatari atas hal tersebut, maka perumusan masalahnya adalah belum diketahuinya tingkat kepatuhan perawat dan bidan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Standar dan faktor-faktor yang berhubungan.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor? 2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor? 3. Bagaimana hubungan faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor? 4. Bagaimana hubungan faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor? 5. Bagaimana hubungan faktor organisasi (Safety climate, Safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)) dengan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 7
Universitas Indonesia Universitas Indonesia kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya gambaran kepatuhan perawat dan bidan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor tahun 2011.
1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat di RS PMI Bogor. 2. Diketahuinya hubungan faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor. 3. Diketahuinya hubungan faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor. 4. Diketahuinya hubungan faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 8
Universitas Indonesia Universitas Indonesia 1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi RS PMI Bogor Dengan diketahuinya tingkat kepatuhan penerapan kewaspadaan universal oleh perawat dan bidan di RS PMI Bogor dan faktor-faktor yang berhubungan, maka dapat dilakukan intervensi untuk meningkatkan perilaku kepatuhan sehingga penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dapat terlaksana menurut kebijakan dan prosedur . 2. Bagi Peneliti Menambah wawasan dan pengalaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. 3. Bagi Pembaca Dapat menjadi referensi bacaan sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya berhubungan dengan kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan universal.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor tahun 2011. Penelitian ini dilakukan karena penerapan kewaspadaan universal oleh perawat dan bidan belum optimal, yang salah satu penyebabnya terkait dengan perilaku kepatuhan perawatnya. Objek penelitian ini adalah perawat dan bidan RS PMI Bogor. Variabel yang akan diteliti terdiri dari variabel independen yang terdiri dari faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan Universal Precautions/Standard Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 9
Universitas Indonesia Universitas Indonesia Precautions, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)) dan variabel dependen yaitu kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2011 di RS PMI Bogor. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
10 Universitas Indonesia Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Blood-Borne Menurut OSHA (2000), Bloodborne pathogen means pathogenic microorganisms that are present in human blood and can cause disease in humans (penyakit infeksi yang ditularkan melalui darah mengandung pengertian bahwa adanya mikroorganisme ynag bersifat pathogen yang ada di darah manusia dan dapat menyebabkan penyakit pada individu tersebut. Ada beberapa cara penularan atau transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya, diantaranya (McCulloch, 2000): a. Pajanan perkutan, melalui: peralatan injeksi; kulit yang kompromis karena terkontaminasi benda tajam seperti jarum suntik, peralatan, atau pecahan kaca; tranfusi produk darah yang terinfeksi, luka yang terbuka dan lesi kulit; dan gigitan manusia b. Pajanan Mucocutaneous, melalui: sexual intercourse, persalinan dan penyusuan oleh ibu yang terinfeksi dan kontaminasi membran mukosa (mata, hidung, mulut). Di pelayanan kesehatan, penyakit infeksi ini termasuk dalam penyakit yang paling berisiko terpajan kepada petugas kesehatan melalui penanganan limbah klinis dan kontak dengan darah dan cairan tubuh lainnya. Diperkirakan delapan juta petugas kesehatan terpajan penyakit infeksi lewat darah dan berpotensial berakibat fatal (Healey and Kenneth, 2009). Yang paling signifikan adalah HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Virus Hepatitis B diketahui menimbulkan risiko terbesar bagi pekerja kesehatan (McCulloch, 2000). 2.1.1 HIV Secara global, mayoritas infeksi HIV disebabkan oleh virus human immunodeficiency. Diketahui terdapat dua jenis virus HIV, yaitu HIV-1 dan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 11
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
HIV-2. HIV-1 sering ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan HIV-2 ditemukan terutama di Afrika Barat (Corwin, 1997). Virus HIV adalah virus jenis retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama periode inkubasi yang panjang. HIV menginfeksi tubuh dengan periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya menyebabkan muncul tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan DNA dan CD4 +
dan limfosit untuk mereplikasi diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4 + dan limfosit (Nursalam dan Ninuk, 2010). HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh cairan tubuh, termasuk darah, semen, cairan vagina, dan air susu. Secara lebih lengkap, berikut cara penularan HIV (Nursalam dan Ninuk, 2010): 1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS Hubungan seksual secara vaginal, oral dan anal dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina dan darah dapat mengenai lepaut lendir vagina, penis, dubur dan mulut sehingga HIV masuk ke dalam darah (PELKES, 2005). Selain itu, selama hubungan berlangsung dapat terjadi lesi sehingga memudahkan masuknya virus ke dalam tubuh. 2. Ibu pada bayinya Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. 3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 12
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
4. Pemakaian alat-alat kesehatan yang tidak steril Alat pemeriksaan kandungan seperti speculum, tenakulum, dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air main yang terinfeksi HIV. 5. Alat-alat untuk menoreh kulit Alat tajam dan runcing seperti jarum , pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu. 6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User- IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Di pelayanan kesehatan, baik petugas maupun pasien berisiko tinggi terinfeksi HIV. Diantara petugas kesehatan tersebut, perawat adalah yang paling tinggi berisiko terpajan (Gambar 2.1). Mereka berpotensi terpajan darah yang tercemar melalui transfusi atau jarum suntik dan benda tajam lainnya yang terkontaminasi. Pajanan ke jarum suntik yang tercemar dapat terjadi secara tidak sengaja di fasilitas pelayanan kesehatan atau melalui tukar menukar jarum selama pemakaian obat intravena (IV) (Corwin, 1997).
Gambar 2.1 Distribusi dan Jumlah Pajanan HIV pada Petugas Kesehatan Berdasarkan Pekerjaan (1981 - 2001) [Sumber: NIOSH, 2004 dalam Healey and Kenneth, 2009) Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 13
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
2.1.2 Hepatitis B Virus hepatitis B merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan kronis, sirosis dan karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia (McCulloch, 2000). Virus Hepatitis B adalah suatu virus DNA untai-ganda yang disebut partikel Dane. Virus ini memiliki sejumlah antigen inti dan permukaan yang telah diketahui secara rinci yang dapat diidentifikasi di laboratorium dari sampel darah. Antigen yang biasanya dihasilkan pertama kali oleh hepatosit yang terinfeksi adalah antigen permukaan di selubung virus yang disebut HBsAg. Identifikasi antigen ini, bersifat diagnostik untuk infeksi hepatitis B aktif (Corwin, 1997). Penyakit ini bersifat serius dan biasanya menular melalui kontak dengan darah yang mengandung virus. Penyakit ini juga ditularkan melalui hubungan kelamin, dan dapat ditemukan di dalam semen dan cairan tubuh lainnya. Yang berisiko khusus mengidap HBV adalah pemakai obat-obat terlarang intravena, para pekerja kesehatan, dan heteroseks atau homoseks yang aktif secara seksual (Corwin, 1997).
2.1.3 Hepatitis C Hepatitis C dahulu disebut hepatitis non-A non-B, diidentifikasi tahun 1989. Virus RNA ini saat ini merupakan penyebab tersering infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah komersial. HCV ditularkan dengan cara yang sama seperti HBV, terutama melalui transfusi darah. Virus ini juga dapat menimbulkan keadaan kronik. Individu yang terinfeksi HCV berisiko mengalami kanker hati (Corwin, 1997).
2.2 Kewaspadaan Standar (Standard Precautions) 2.2.1 Sejarah Perkembangan Kewaspadaan Standar Sejarah perkembangan tindakan Kewaspadaan Isolasi di rumah sakit bermula pada tahun 1970. Pada tahun tersebut, dikeluarkan pedoman Isolation Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 14
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Techniques for Use in Hospital, 1 th ed, yang memperkenalkan tujuh kategori Kewaspadaan Isolasi dengan color-coded cards: strict, respiratori, pelindung, enteric, kulit dan luka, discharge, dan darah. Lima tahun berikutnya, yaitu pada tahun 1975, kembali dikeluarkan Isolation Techniques for Use in Hospital, 2 nd ed, yang memiliki konsep kerangka kerja yang sama dengan edisi sebelumnya (CDC, 2007). Pada tahun 1983, CDC mengeluarkan pedoman Isolation Precautions di Rumah Sakit. Pada pedoman tersebut, ada dua sistem untuk isolasi yaitu kategori khusus (category specific) dan penyakit khusus (disease-specific). Selain itu, Protective Isolation dieliminasi dan Kewaspadaan darah diperluas mencakup cairan tubuh. Kategori yang ada pedoman meliputi: Strict, Respiratory, AFB, Enteric, Drainage/Secretion, Blood and Body Fluid (CDC, 2007) Selanjutnya pada tahun 1985-88, dikembangkan pedoman Universal Precautions (UP) sebagai respons terhadap epidemi HIV/AIDS. Prinsip Universal Precautions adalah pedoman kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh harus di aplikasikan pada semua pasien, tanpa memandang status infeksinya. UP tidak berlaku untuk feses, sekresi nasal, sputum, keringat, air mata, urin, atau muntahan kecuali yang terkontaminasi dengan darah. Pada pedoman ini, ditambahkan pula Alat Pelindung Diri (APD) untuk melindungi petugas kesehatan dari pajanan terhadap membran mukosa. Direkomendasikan pula untuk mencuci tangan sesudah melepas sarung tangan. Hal lain, ditambahkan juga rekomendasi khusus untuk penanganan jarum suntik dan benda tajam lainnya; dimana konsep ini kemudian diintegrasikan kedalam aturan OSHA 1991 terkait pajanan terhadap blood-borne pathogen di fasilitas pelayanan kesehatan (CDC, 2007). Pada tahun 1987, Body Substance Isolation dikeluarkan oleh CDC. Pedoman ini menekankan bahwa untuk menghindari kontak dengan bagian tubuh pasien yang basah dan cairan tubuh berpotensi terinfeksi kecuali keringat, walaupun tidak ada darah sekalipun. Pada pedoman ini, digunakan juga beberapa komponen yang ada pada Universal Precautions (CDC, 2007). Kemudian pada tahun 1996 CDC kembali mengeluarkan pedoman isolasi di rumah sakit yaitu Standard Precautions. Pedoman ini disusun oleh HICPAC Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 15
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
(Healthcare Infection Control Practice Advisory Committee). Standard Precautions (Kewaspadaan Standar) merupakan kombinasi dan pengembangan dari Universal Precautions dan Body Substance Isolation. Kewaspadaan Standar didasarkan pada prinsip bahwa semua darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi kecuali keringat, kulit yang intak (tidak utuh) dan selaput mukosa mengandung agen infeksius yang dapat menular (CDC, 2007). Kewaspadaan standar meliputi kebersihan tangan, penggunaan sarung tangan, gaun, masker, pelindung mata, dan praktik injeksi yang aman. Selain itu, peralatan untuk perawatan pasien yang mungkin terkontaminasi harus ditangani dengan baik untuk mencegah penularan agen infeksius (Franklin, 2009). Dalam Kewaspadaan Standard juga mencakup tiga kategori Transmission-Based Precaution yaitu airborne, droplet, dan contact (CDC, 2007). CDC sekarang menggunakan istilah Standard Precautions untuk mendeskripsikan tindakan perlindungan terhadap pajanan pada petugas kesehatan dan pasien. Namun demikian, istilah Universal Precautions masih digunakan secara luas di kalangan petugas klinis dan pelayanan kesehatan sebagai pedoman untuk pengendalian infeksi (Kirkland, 2011). Penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar (Universal Standard) diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (FPK) (WHO, 2008).
2.2.2 Komponen Kewaspadaan Standar Komponen Kewaspadaan Standar diantaranya meliputi: 2.2.2.1 Kebersihan Tangan Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun pemakaian sarung tangan atau alat pelidung lain untuk menghilangkan/ mengurangii mikroorganisme yang ada di tangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 16
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan (Depkes, 2003). Tiga cara mencuci tangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, yaitu (Depkes, 2003): 1. Cuci tangan hieginek atau rutin, untuk mengurangi kotoran dan flora yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau deterjen. 2. Cuci tangan aseptik, dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik. 3. Cuci tangan bedah (surgical handscrub), yaitu sebelum melakukan tindakan bedah cara aseptik dengan menggunakan antiseptik dan sikat steril.
a. Indikasi Cuci Tangan Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan kuman melalui tangan, yaitu sebelum melakukan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan yang dimungkinkan terjadinya pencemaran, seperti (Depkes, 2003): 1. Sebelum melakukan tindakan, misalnya: memulai pekerjaan (baru tiba di tempat kerja), saat akan memeriksa (kontak langsung dengan pasien), saat akan memakai sarung tangan steril atau sarung tangan yang telah didesinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk melakukan suatu tindakan, saat akan memakai peralatan yang telah di- DTT, saat akan melakukan injeksi, saat hendak pulang pulang ke rumah. 2. Setelah melakukan tindakan yang dimungkin terjadinya pencemaran, misalnya: setelah memeriksa pasien, setelah memegang alat-alat bekas pakai dan bahan-bahan lain yang berisiko terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya, setelah membuka sarung tangan (cuci tangan sesudah membuka sarung tangan perlu dilakukan karena ada kemungkinan sarung tangan berlubang atau robek), setelah dari toilet/ kamar kecil, setelah bersin atau batuk. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 17
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
b. Sarana Cuci Tangan Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci tangan akan terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit (Depkes, 2003). c. Prosedur Cuci Tangan 1. Cuci Tangan Hiegenis atau Rutin Menurut Depkes (2008) dalam Emiliyawati (2009), cuci tangan rutin harus dilakukan sebagai berikut: a) Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih, b) Tuangkan sabun secukupnya, pilih sabun cair, c) Ratakan dengan kedua telapak tangan, d) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan dan sebaliknya, e) Gosok dengan kedua telapak tangan dan sela-sela jari, f) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saing mengunci, g) Gosok ibu jari kiri putar dalam genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya, h) Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak dengan tangan kiri dan sebaliknya, i) Bilas kedua tangan dengan air mengalir j) Keringkan tangan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel sampai benar-benar kering, k) Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk menutup kran.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 18
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Gambar 2.2 Langkah-langkah Mencuci Tangan [sumber: www.ginaseptiani.blogspot.com]
2. Cuci Tangan Aseptik Cuci tangan aseptik biasanya dilakukan saat akan melakukan tindakan aseptik pada pasien atau saat akan kontak dengan penderita pada keadaan tertentu. Persiapan dan prosedur pada cuci tangan aseptik sama dengan persiapan dan prosedur pada cuci tangan hieginis hanya bahan deterjen atau sabun diganti dengan antiseptik setelah mencuci tangan tidak boleh menyentuh bahan yang tidak steril (Depkes, 2003). 3. Cuci tangan Bedah Menurut Tiedjen, dkk (2004) dalam Emaliyawati (2009) , tujuan cuci tangan bedah adalah menghilangkan kotoran, debu dan organism secara mekanikal dan mengurangi flora tetap selama pembedahan. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 19
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Langkah-langkah cuci tangan bedah adalah: a) Lepaskan cincin, jam tangan dan gelang. b) Basahi kedua lengan bawah hingga siku, dengan sabun dan air bersih. (Jika menggunakan sikat, sikat harus bersih disterilisasi atau DDT sebelum digunakan kembali, jika digunakan spon harus dibuang setelah digunakan). c) Bersihkan kuku dengan pembersih kuku. d) Bilaslah tangan dan lengan bawah dengan air. e) Gunakan bahan antiseptik pada seluruh tangan dan lengan bawah sampai siku dan gosok tangan dan lengan bawah dengan kuat selama sekurang- kurangnya 2 menit. f) Angkat tangan lebih tinggi dari siku, bilas tangan dan lengan bawah seluruhnyadengan air bersih. g) Tegakkan kedua tangan ke atas dan jauhkan dari badan, jangan sentuh permukaan atau benda apapun dan keringkan kedua tangan itu dengan lap bersih dan kering atau keringkan dengan diangin-anginkan. h) Pakailah sarung tangan bedah yang steril atau DDT pada kedua tangan.
2.2.2.2 Alat Pelindung Diri Alat pelindung tubuh digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lender petugas dari risiko pajanan darah, semua cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien (Depkes, 2003). Jenis-jenis Alat Pelindung terdiri dari: a. Sarung tangan b. Pelindung wajah/ masker/ kaca mata c. Penutup kepala d. Gaun pelindung (baju kerja/ celemek) e. Sepatu pelindung (sturdy foot wear)
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 20
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
[sumber:Depkes, 2003 dalam www.yayasanspritia.co.id]
a. Sarung Tangan Alat pelindung diri (APD) digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir petugas dari risiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Salah satu alat pelindung diri adalah sarung tangan (Depkes, 2003). Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Dikenal ada tiga jenis sarung tangan, yaitu (Depkes, 2003): 1. Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir misalnya tindakan medik pemeriksaan dalam, merawat luka terbuka. Sarung tangan bersih dapat digunakan untuk tindakan bedah bila tidak ada sarung tangan steril. 2. Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan pada tindakan bedah. Bila tidak tersedia sarung tangan steril baru dapat digunakan sarung tangan yang didesinfeksi tinggi. Gambar 2.2 Alat Pelindung Diri Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 21
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
3. Sarung tangan rumah tangga. Sarung tangan ini terbuat dari latex atau vinil yang tebal, seperti sarung tangan yang biasa digunakan untuk keperluan rumah tangga. Sarung tangan rumah tangga dipakai pada waktu membersihkan alat kesehatan. Sarung tangan ini juga dapat digunakan lagi setelah dicuci dan dibilas bersih.
b. Pelindung Wajah (Masker dan Kacamata) Pelindung wajah terdiri dari dua macam pelindung yaitu masker dan kacamata, dengan berbagai macam bentuk, yaitu ada yang terpisah dan ada pula yang menjadi satu. Pelindung wajah tersebut dimaksudkan untuk melindungi selaput lender hidung, mulut dan mata selama melakukan tindakan atau perawatan pasien yang memungkinkan terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain, termasuk tindakan bedah ortopedi atau perawatan gigi (Depkes, 2003). Masker, kacamata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya antaralain pembersihan luka, membalut luka, mengganti kateter atau dekontaminasi alat bekas pakai (Depkes, 2003)
c. Penutup Kepala Tujuan pemakaian penutup kepala adalah mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat- alat/area steril dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/ rambut petugas dari percikan bahan-bahan pasien (Depkes, 2003).
d. Gaun Pelindung Gaun pelindung digunakan untuk memproteksi kulit dan mencegah kotornya pakaian selama tindakan yang umumnya bisa menimbulkan percikan darah, cairan tubuh, sekret, dan ekskresi (WHO, 2008). Jenis bahan dapat berupa bahan tembus cairan dan bahan tidak tembus cairan. Selain itu, jika dipandang dari macam aspeknya, gaun pelindung terdiri dari gaun pelindung tidak kedap air dan gaun pelindung kedap air, gaun pelindung steril dan non steril. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 22
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi, misalnya pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase, menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang pembuangan, mengganti pembalut, menangani pasien dengan pendarahan masif, melakukan tindakan bedah termasuk otopsi, perawatan gigi, dan lain-lain (Depkes, 2003).
e. Sepatu Pelindung Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah untuk melindungi kaki petugas dari tumpahan/ percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan. Sepatu khusus sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan tahan tusukan. Sepatu pelindung digunakan ketika bekerja di ruang tertentu seperti: ruang bedah, laboratorium, ICU, ruang isolasi, ruang pemulasaraan jenazah dan petugas sanitasi.
2.2.2.3 Linen Linen harus diperhatikan cara penanganan, transportasi, dan pemrosesan linen yang telah dipakai. Cegah pajanan pada kulit dan membran mukosa serta kontaminasi pada pakaian dan cegah penyebaran patogen ke pasien lain dan lingkungan (WHO, 2008). Pada akhir tindakan, dengan menggunakan sarung tangan, ambil linen/kain penutup lapangan operasi, masukkan dengan hati-hati ke dalam kontainer atau kantung plastik. Kemudian diikat, untuk dikirim ke tempat pencucian. Bila kain/ linen tercemar, beri larutan klorin 0,5% pada 5 bagian yang terpapar darah/cairan plastik, diikat, diberi label bahan menular, kirim ke tempat pencucian (Depkes, 2003).
2.2.2.4 Pengelolaan Alat Kesehatan Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam kondisi steril dan siap pakai (Nursalam dan Ninuk, 2010). Pengelolaan alat dilakukan melalui empat tahap (Depkes, 2003):
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 23
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
1. Dekontaminasi Dekontaminasi merupakan langkah pertama dalam menangani alat bedah dan sarung tangan yang tercemar. Segera setelah alat digunakan, alat harus direndam di larutan klorin 0,5 % selama 10 menit. Langkah ini bertujuan mencegah penyebaran infeksi alat kesehatan atau suatu permukaan benda, menginaktivasi virus serta dapat mengamankan petugas yang membersihkan alat tersebut dari risiko penularan (Nursalam dan Ninuk, 2010). 2. Pencucian - Setelah dekontaminasi, dilakukan pembersihan. Pembersihan dapat dilakukan dengan mencuci alat-alat kesehatan tersebut dengan deterjen netral dan air dan jangan lupa menggunakan sarung tangan. - Deterjen digunakan dengan cara mencampurkannya dengan air dan digunakan untuk membersihkan partikel dan minyak serta kotoran lainnya. - Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan darah, misalnya kursi roda, tensimeter, infuse pump, dan lain-lain cukup dilap dengan larutan deterjen, air dan sikat. 3. Desinfeksi dan Sterilisasi a. Desinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali endospora bakteri. Biasanya dilakukan dengan menggunakan cairan kimia, pasteurisasi atau perebusan. Dikenal ada beberapa macam desinfeksi, yaitu: 1) Desinfektan kimiawi: alcohol, klorin dan ikatan klorin, formaldehid, glutardehid, hidrogen peroksida, yodifora, asam parasetat, fenol, ikatan auronimum kuartener. 2) Desinfeksi fisik: radiasi dengan ultraviolet, pasteurisasi, dan menggunakan mesin desinfektor (flushing and washer disinfector) 3) Desinfeksi tingkat tinggi (DTT), merupakan alternatif penatalaksanaan alat kesehatan apabila sterilisasi tidak tersedia atau tidak mungkin dilaksanakan. DTT dapat membunuh semua mikroorganisme termasuk Hepatitis B dan HIV, namun tidak dapat Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 24
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
membunuh endospora dengan sempurna. Cara melakukan DTT antaralain: - merebus dalam air mendidih selama 20 menit, - rendam dalam desinfektan kimiawi seperti glutaraldehid, formaldehid 8%. - DTT dengan uap (steamer) b. Sterilisasi adalah proses menghilangkan seluruh mikroorganisme dari alat kesehatan termasuk endospora bakteri. Sterilisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1) Sterilisasi fisik, seperti: pemanasan basah, pemanasan kering, radiasi sinar gamma, dan filtrasi. 2) Sterilisasi kimiawi, menggunakan bahan kimia dengan cara merendam (misalnya dalam larutan glutaraldehid) dan menguapi dengan gas kimia (diantaranya dengan gas etilin oksida). 4. Penyimpanan Dari cara penyimpanannya, ada dua cara penyimpanan: 1) Alat yang dibungkus. Selama peralatan masih terbungkus, semua alat steril dianggap tetap steril. Untuk penyimpanan yang optimal, simpan bungkusan steril dalam lemari tertutup di bagian yang tidak terlalu sering dijamah, suhu udara sejuk dan kering atau kelembaban rendah. 2) Alat yang tidak terbungkus. Alat yang tidak terbungkus harus digunakan segera setelah dikeluarkan. Alat yang tersimpan pada wadah steril dan tertutup apabila yakin tetap steril paling lama 1 minggu, tetapi kalau ragu-ragu harus disterilkan kembali.
2.2.2.5 Pencegahan luka tusukan jarum dan benda tajam lainnya Benda tajam sangat berisiko untuk menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah misalnya penularan infeksi HIV/AIDS, Hepatitis B dan C di sarana kesehatan. Penularan penyakit infeksi tersebut sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan oleh alat tajam lainnya (Depkes, 2003). Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 25
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai ke dalam tutupnya. Oleh karena itu, sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut, melainkan langsung saja di buang ke tempat penampungan sementara tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu tangan (one- hand scoop) untuk mencegah jari tertusuk jarum (Depkes, 2003). Gambar 2.3 Cara Pengelolaan Jarum Suntik [Sumber: www.utexas.edu/safety/ehs]
Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan suatu wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air atau tidak mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampungan jarum suntik bekas pakai harus dapat dipergunakan dengan satu tangan, agar pada waktu memasukkan jarum tidak usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti setelah bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka kembali sehingga isi tidak tumpah (Depkes, 2003).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 26
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Pencegahan Luka Tusuk Jarum dan Pajanan Darah Menggunakan Hirarki Kontrol. Berikut ini adalah hirarki dari control dalam upaya menegah terjadi luka tertusuk jarum dan pajanan darah (WHO, 2010): a. Elimination of hazard Menghilangkan bahaya dari area tempat petugas bekerja adalah cara yang efektif untuk mengontrol hazard; pendekatan ini seharusnya digunakan bila memungkinkan, contohnya: - Menghilangkan menggunakan benda tajam dan jarum suntik bila memungkinkan (misalnya dengan menggunakan jet injectors for needles and syringes, atau menggunakan needleless intravenous systems; - Mengurangi penyuntikan yang tidak perlu; - Menghilangkan benda Tajam yang tidak diperlukan seperti towel clips. b. Engineering controls Peralatan yang digunakan untuk mengisolasi atau menghilangkan bahaya dari tempat kerja; - Menyediakan kontainer tempat pembuangan benda tajam; - Menggunakan alat pelindung. c. Administrative controls Termasuk diantaranya kebijakan, seperti SOP, misalnya: - Alokasi sumber daya sebagai perwujudan komitmen untuk keselamatan dan kesehatan petugas; - Adanya komite pencegahan luka tertusuk jarum; - Menghilangkan semua peralatan yang tidak aman; - Secara konsisten mengadakan training penggunaan APD yang aman. d. Work Practice controls Pengontrolan untuk mengubah perilaku pekerjanya, untuk mengurangi pajanan hazards, Misalnya - Tidak recapping jarum. - Menempatkan kontainer benda tajam di tempat yang mudah dijangkau. - Menyegel dan membuang benda tajam yang terdapat pada kontainer ketika sudah terisi . Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 27
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
e. Personal Protective Equipment Menyediakan alat pelindung bagi pekerja, misalnya : eye goggle, sarung tangan, masker dan baju pelindung.
2.2.2.6 Pengelolaan Limbah Sebagai output dari pelayanan perawatan pasien dihasilkannya limbah, baik limbah rumah tangga maupun limbah medis. Limbah rumah tangga adalah limbah yang tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh sehingga disebut sebagai risiko rendah. Sebaliknya, limbah medis yaitu limbah yang berasal dari bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien sehingga dikategorikan limbah berisiko tinggi dan bersifat menularkan penyakit (Depkes, 2003). Oleh karena itu, pastikan pengelolaan limbah harus aman. Limbah medis dapat berupa limbah klinis, limbah laboratorium, dan limbah berbahaya. Limbah klinis dapat berupa darah atau cairan tubuh lainnya, material yang mengandung darah kering, jaringan tubuh, dan benda-benda tajam bekas pakai. Baik limbah klinis maupun limbah laboratorium harus diperlakukan sebagai limbah infeksius berdasarkan aturan setempat (WHO, 2008). Cara penanganan limbah klinis antara lain: - Sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir/ pembakaran (incinerator), smeua jenis limbah klinis ditampung di dalam kantong kedap air, biasanya berwarna kuning. - Ikat secara rapat kantong yang sudah berisi 2/3 penuh
Sedangkan cara penanganan limbah laboratorium, antara lain: - Sebelum keluar dari ruangan laboratorium dilakukan sterilisasi dengan otoklaf selanjutnya ditangani secara prosedur pembuangan limbah klinis - Cara pembuangan yang terbaik untuk limbah medis adalah dengan insinerasi - Satu-satunya cara lain adalah dengan menguburnya dengan metode kapurasi.
a. Pemilahan Pemilahan dilakukan dengan menyediakan wadah (kantong plastik berwarna) sesuai dengan jenis sampah medis. Kantong warna kuning untuk Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 28
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
limbah infeksius, hitam untuk bahan non-medis, merah untuk bahan beracun, dan lain-lain (Depkes, 2003).
b. Penanganan Penanganan sampah dari berbagai sumber dilakukan dengan cara (Depkes, 2003): - Wadah tidak boleh penuh atu luber. Bila wadah sudah terisi bagian maka segera dibawa ke tempat pembuangan akhir. - Wadah berupa kantong plastik dapat diikat rapat pada saat pengangkutan, dan akan dibuang berikut wadahnya. - Pengumpulan sampah harus tetap pada wadahnya, jangan dituangkan pada gerobak. - Petugas yang menangani harus selalu menggunakan sarung tangan dan sepatu, serta harus mencuci tangan dengan sabun setiap selesai mengambil sampah.
c. Penampungan Sementara Syarat yang harus dipenuhi wadah sementara, antara lain: - Ditempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien dan pengunjung. - Harus bertutup dan kedap air serta tidak mudah bocor agar terhindar dari jangkauan serangga, tikus, dan binatang lainnya. - Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.
Untuk benda tajam, wadah penampung sementara harus memenuhi syarat sebagai berikut: - Tahan bocor dan tusukan - Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing dengan satu tangan - Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi - Bentuknya dirancang agar dapat digunakan dengan satu tangan - Ditutup dan diganti setelah bagian terisi dengan limbah - Ditangani bersama limbah medis
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 29
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
d. Pembuangan/ Pemusnahan Seluruh sampah akhirnya harus dilakukan pembuangan atau pemusnahan. Sistem pemusnahan yang dianjurkan adalah dengan pembakaran (insinerasi). Pengelolaan (pembuangan) limbah cair antara lain: - Sistem penyaluran harus tertutup - Kemiringan saluran 2 o 4 o untuk menjaga endapan dalam saluran - Belokan (elbow) saluran harus lebih besar dari 90 o
- Bangunan penampung harus kedap air, kuat, dilengkapi mainhole dan lubang hawa - Penempatan lokais harus mempertimbangkan keadaan muka air tanah dan jarak dari sumber air.
Untuk benda tajam, pengelolaan antaralain: - Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan harus dimasukkan ke dalam kantong media sebelum insinerasi - Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain - Adapun metode yang digunakan haruslah tidak memberikan kemungkinan perlukaan.
2.3 Kepatuhan (Compliance) 2.3.1 Definisi Perilaku Kepatuhan Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Semua perilaku individu pada dasarnya dibentuk oleh kepribadian dan pengalamannya (Rivai dan Muyadi, 2009). Perilaku adalah keseluruhan (totalitas) pemahaman dan aktivitas antara faktor internal dan faktor eksternal (Notoatmodjo, 2007). Heynes, et.al (1979) dalam Estathitio (2011) mendefinisikan kepatuhan yang diterima secara luas dalam pengaturan perawatan kesehatan. Menurut konteks ini, kepatuhan adalah sejauh mana perilaku tertentu (misalnya, mengikuti perintah dokter atau menerapkan gaya hidup sehat) sesuai dengan instruksi dokter atau saran kesehatan. Kepatuhan dapat dipengaruhi atau dikendalikan oleh Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 30
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
berbagai faktor seperti budaya, faktor ekonomi dan sosial, self-efficacy, dan pengetahuan. Pedoman yang memandu perilaku individu ada dalam berbagai peraturan (termasuk peraturan perawatan kesehatan), tetapi tidak selalu dipatuhi. Sedangkan menurut Sarafino (1990) dalam Smet (1994) mendefinisikan kepatuhan (atau ketaatan) (compliance atau adherence) sebagai Tingkat pasien melakukan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau oleh yang lain Dua definisi kepatuhan di atas, lebih merujuk kepada perilaku kepatuhan pasien dalam pengobatan. Namun demikian, definisi ini juga dapat diaplikasikan pada petugas kesehatan, yaitu perilaku petugas kesehatan mengikuti standar prosedur dan kebijakan yang berlaku di pelayanan kesehatan. Albery dan Marcus (2008) menjelaskan, in the context of health psychology, adherence refers to the situation when the behaviour of an individual matches the recommended action or advice proposed by a health practitioner or information derived from some other information source (such as advice given in a health promotion leaflet or via a mass media campaign).
2.3.2 Kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Standar Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar merupakan seperangkat pedoman direkomendasikan untuk diterapkan dalam setiap praktik kerja untuk melindungi petugas kesehatan dari pajanan penyakit infeksi yang menular lewat darah (blood-borne pathogen). Pedoman tersebut meliputi kebersihan tangan, pemakaian APD, pengelolaan benda tajam, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, penerapan kepatuhan adalah masih rendah. Hal ini terkait dengan perilaku kesehatan petugas kesehatan. Perilaku kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dapat ditinjau dari work-system analisys (Gambar 2.4) yang terdiri dari faktor pekerja/individu, faktor pekerjaan/tugas dan faktor lingkungan/organisasi (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed) (1998)). Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 31
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Gambar 2.4 Model Determinan Perilaku Kepatuhan [Sumber: Mc Govern, et.al. (2000)]
2.3.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Terhadap Penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar 2.3.3.1 Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan sebagainya. Pengetahuan orang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda, yang dapat di bagi ke dalam 6 tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2007):
Personal Traits Sosiodemografi, Sikap, Kepercayaan, Nilai, Pengetahuan, dan Pendidikan Work-related requirements Pengalaman, Keterampilan, Cognitive demands, Beban Kerja, Work Stress. Organizational Factors Pelatihan, Peer Review, Dukungan Administratif, Safety climate. KEPATUHAN CORRESPONDING OR CONFLICTING DEMANDS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 32
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
a. Tahu (know) Tahu diartikan hanya sebagai memanggil (recall) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.
2.3.3.2 Persepsi tentang Risiko Sikap yang paling sering diteliti dalam konteks keselamatan (safety) adalah persepsi risiko. Dalam konteks ini (Young dan David, 2005), Websters New Universal Un-abridged Dictionary (1983) menjelaskan bahwa risk is defined as the perceived chance of injury, damage, or loss. Perceived risk is considered important because it has the potential to influence peoples intent to seek out warning information and comply with warnings (Wogalter, Desaulniers, and Brelsford, 1987; DeJoy, 1989, 1991; Dingus, Wreggit, and Hathaway, 1993). Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 33
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Jadi, persepsi risiko adalah istilah yang mengacu pada penilaian seseorang mengenai karakteristik dan tingkat keparahan bahaya dari risiko. Persepsi terhadap risiko digunakan dalam penelitian perilaku untuk menentukan dampaknya pada tingkat kepatuhan. Dejoras (1992) dan Donner (1990) menyatakan ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan. Otsubo (1988) menggunakan tingkat risiko sebagai variabel independen pada studi perilaku kepatuhan (Wolgater, et.al.2005). Menurut HBM, kemungkinan individu melakukan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost) (Machfoedz dan Eko, 2007). Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan meningka (Machfoedz dan Eko, 2007)t. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada (Machfoedz dan Eko, 2007) : a) Perceived vulnerability (ketidak-kekebalan yang dirasakan), kemungkinan bahwa mereka dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. b) Perceived severity (keseriusan yang dirasakan). Orang-orang akan mengevaluasi sejauh mana penyakit akan menjadi serius apabila mengembangkan masalah kesehatan atau membiarkan penyakitnya tidak ditangani.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 34
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
2.3.3.3 Risk-Taking Personality Definisi risk-taking menurut Levenson (1990 adalah risk taking is defined as any purposive activity that entails novelty or danger sufficient to create anxiety in most people. Risk taking can be either physical or social, or a combination of the two. Risk taking refers to the tendency to engage in behaviors that have the potential to be harmful or dangerous, yet at the same time provide the opportunity for some kind of outcome that can be perceived as positive. Driving fast or engaging in substance use would be examples of risk-taking behavior. They may bring about positive feelings in-the-moment. However, they can also put you at risk for serious harm, such as an accident (www.ptsd.about.com) Berdasarkan definisi ini dapat diambil makna bahwa risk-taking mengacu pada kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku yang memiliki potensi menjadi berbahaya atau berbahaya, namun pada saat yang sama memberikan hasil yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang positif. Misalnya, mengebut atau menggunakan narkoba merupakan contoh perilaku risk-taking. Mereka sebagai risk-taker mungkin memiliki perasaan yang sangat puas atau senang saat melakukan hal tersebut. Akan tetapi, hal ini dapat menempatkan mereka pada risiko yang sangat berbahaya seperti pengebut mengalami kecelakaan sedangkan pengguna narkoba mengalami overdosis. Sedangkan risk-taking personality adalah sikap seseorang terhadap perilaku berisiko (Mc Gorven, et.al., 2000).
2.3.3.4 Efficacy of Prevention Efficacy of prevention pada individu akan terwujud apabila didukung dengan efektivitas tindakan pencegahan (precautionary) yang ada serta persepsi individu itu sendiri terhadap kemampuannya untuk berhasil mengikuti precautionary tersebut (self-efficacy). Self Efficacy dapat didefinisikan sebagai sejauh mana individu meyakini mereka mampu menghadapi tantangan dalam hidup. Kemampuan diri membentuk bagian teori kognitif sosial dari Bandura (Bandura 1986) yang yakin bahwa perilaku dipelajari, melalui modeling, visualisasi, pemantauan diri, dan pelatihan keterampilan. Perilku ditentukan oleh harapan dan insentif. Harapan dikategorikan dalam: Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 35
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
- Harapan tentang petunjuk lingkungan keyakinan tentang bagaimana kejadian-kejadian dihubungkan. - Harapan hasil keyakinan tentang perilaku mungkin mempengaruhi hasil - Harapan kemampuan harapan tentang kompetensi diri seseorang untuk melakukan perilaku yang diperlukan untuk mempengaruhi hasil.
2.3.3.5 Hambatan penerapan UP/SP Hambatan dalam menerapkan UP/SP yang dirasakan responden jelas mempengaruhi kemampuan dan kemauan petugas kesehatan untuk patuh dengan penerapan pedoman KU/KS (DeJoy, et.al., 1995). Hambatan penelitian ini dapat diterjemahkan sebagai adanya konflik kepentingan antara melayani kebutuhan pasien dengan kebutuhan responden melindungi diri. Akibatnya, dalam situasi- situasi tertentu (keadaan emergensi), perawat dan bidan sering mengabaikan pedoman KU/KS, misalnya menggunakan APD.
2.3.3.6 Beban Kerja Beban kerja yang dimaksudkan dalam konteksi ini adalah penilaian responden terhadap tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Berdasarkan penelitian dalam DeJoy (1995), salah satu faktor pekerjaan yaitu beban kerja ditemukan tidak dapat memprediksikan kepatuhan. Namun, menurut Kelen, et.al., 1990 dalam DeJoy (1995), ketidakcukupan waktu menjadi alasan yang kuat pada ketidakpatuhan. Beban kerja termasuk dalam salah satu variabel pemicu stress di lingkungan kerja. Salah satu cara stress dapat mempengaruhi kesakitan dan kesehatan adalah the health behavior route. Faktor beban kerja ini dapat menyebabkan dampak yang merugikan, termasuk perilaku. Stress dapat secara langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu (Smet, 1994).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 36
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
2.3.3.7 Safety Climate Menurut (Zohar, 1980 dalam Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed) (1998) safety climate refers to the perceptions that workers share about safety in their organization Dari definisi ini dapat diartikan bahwa safety climate atau iklim keselamatan kerja adalah persepsi pekerja mengenai kondisi dan situasi keselamatan kerja di organisasinya. Sedangkan menurut Griffin dan Neal dalam Benedetto (2011), iklim keselamatan kerja adalah persepsi responden mengenai kebijakan, prosedur, dan tindakan-tindakan yang diambil terkait dengan keselamatan kerja. Keselamatan kerja yang positif adalah ada komitmen untuk menjadikan keselamatan kerja sebagai sesuatu hal yang penting dan diprioritaskan, dimana komitmen tersebut diwujudkan baik dalam kata-kata maupun tindakan. Keselamatan kerja harus diintegrasikan ke dalam sistem manajemen organisasi, artinya keselamatan kerja harus ditangani/ dianggap penting dengan fungsi fungsi organisasi yang lain (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998).
2.3.3.8 Safety Performance Feedback Safety performance feedback merupakan umpan balik yang baik yang bersifat formal maupun informal yang diterima dari pimpinan, supervisor, dan rekan kerja. Umpan balik yang bersifat formal misalnya penilaian kinerja. Sedangkan umpan balik yang bersifat informal cenderung lebih tidak tegas dan berhubungan dengan interaksi antara rekan kerja (DeJoy, et.al., 1995).
2.3.3.9 Pelatihan dan Ketersediaan APD Menurut teori Green, et.al., (1980) menjelaskan bahwa salah satu faktor pendukung yang mempengaruhi perilaku tertentu adalah ketersediaan sumber daya. Tanpa adanya dukungan sumber daya yang memadai akan menghambat sesorang untuk melakukan sesuatu dengan baik. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 37
Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Dalam konteks kepatuhan dengan KU/KS, ketersediaan sumber daya yaitu adanya fasilitas yang mendukung pekerja untuk melaksanakan kewaspadaan universal/standar, misalnya adanya sarana dan prasarana cuci tangan, alat pelindung diri (APD), bahan/perlengkapan untuk desinfektan dan sterilisasi, dan perlengkapan untuk penanganan benda tajam dan pengelolaan sampah medis.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 38 Universitas Indonesia BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori Dalam menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam penerapan kewaspadaan universal, mengacu pada teori pendidikan kesehatan yaitu model PRECEDE oleh Laurence Green (1980), dan modifikasi oleh DeJoy (1986b) yaitu untuk aplikasi perilaku melindungi diri sendiri ditempat kerja (McGovern, et.al., 2000).
Gambar 3.1 Model Determinan Perilaku Kepatuhan [Sumber: Mc Govern, et.al. (2000)] Personal Traits Sosiodemografi, Sikap, Kepercayaan, Nilai, Pengetahuan, dan Pendidikan Work-related requirements Pengalaman, Keterampilan, Cognitive demands, Beban Kerja, Work Stress. Organizational Factors Pelatihan, Peer Review, Dukungan Administratif, Safety climate. KEPATUHAN CORRESPONDING OR CONFLICTING DEMANDS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 39
Universitas Indonesia Seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.1, terdapat 3 faktor utama yang berhubungan dengan kepatuhan, yaitu faktor personal traits (faktor individu), faktor work-related requirements (faktor pekerjaan/tugas), dan organizational factors (faktor organisasi) (Mc Govern, et.al., 2000). 1. Faktor individu meliputi: - demografi (jenis kelamin, umur, pendidikan), - karakteristik pekerjaan (jumlah jam kerja/hari, profesi, lama kerja), - pengetahuan (pengetahuan umum mengenai HIV dan KU, pengetahuan mengenai transmisi HIV, cara alternatif penularan HIV), - sikap dan persepsi (sikap terhadap pasien dengan HIV, persepsi seseorang tentang risiko HIV pada pekerjaannya, persepsi individu bahwa KU sebagai hambatan dalam job performance, dan efficacy of Universal Precautions, dan sikap terhadap perilaku berisiko), - keyakinan (pada kemampuan seseorang untuk melindungi dirinya dari HIV pada pekerjaan) 2. Work-related factors, meliputi: - Cognitive demand - Job ambiguity - Beban kerja - Stress terkait pekerjaan 3. Organizational factors, meliputi: - Iklim keselamatan kerja (safety climate) - Ketersediaan APD - Pelatihan tentang Pemakaian APD - Pelatihan tentang Kewaspadaan Universal
Dengan menggunakan framework yang sama yaitu model PRECEDE (Green, et.al., 1980) dimodifikasi oleh DeJoy (1986a) untuk aplikasi melindungi diri sendiri di tempat kerja, DeJoy, Gershon,& Murphy (1995) menjelaskan, untuk menentukan kepatuhan pekerja terhadap Universal Precautions, ada empat faktor yang mempengaruhinya, antara lain: Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 40
Universitas Indonesia 1. Faktor demografi, terdiri dari : umur, lama kerja pada pekerjaan saat ini, lama kerja bekerja sebagai perawat. 2. Karakteristik pribadi pekerja, meliputi: personal risk-taking tendencies, khawatir tertular HIV saat bekerja, pengetahuan tentang KU yang dirasakan (perceived knowledge of UP) , dan nilai dari tindakan pencegahan yang dirasakan (perceived value of preventive action). 3. Faktor tugas pekerjaan, meliputi: job hindrance or barriers (hambatan pekerjaan), beban kerja, role ambiguity, kenyamanan secara fisik saat bekerja. 4. Organisasi, terdiri dari: ketersediaan APD, performance feedback, dan safety climate.
3.2 Kerangka Konsep Dalam peneltian ini, tidak semua variabel yang ada di kerangka teori dijadikan kerangka konsep penelitian. Ada beberapa variabel yang tidak dimasukkan karena peneliti ingin memfokuskan penelitian pada variabel tertentu. Variabel yang diambil menjadi kerangka konsep (Gambar 3.2) adalah variabel yang diadopsi dari model studi McGovern, et.al.(2000) dan DeJoy, Gershon,& Murphy (1995). Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, dan pelatihan dan ketersediaan APD). Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Standar di RS PMI Bogor. Berikut adalah gambar kerangka konsep dalam penelitian ini: Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 41
Universitas Indonesia
3.3 Hipotesis Dalam penelitian ini, selain bertujuan untuk melihat gambaran kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar juga bertujuan untuk melihat hubungan dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Hipotesis nol untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: H 0 1 : Tidak ada perbedaan antara faktor individu dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar. Variabel Independen Variabel Dependen Faktor Individu - Pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV - Persepsi terhadap risiko - Risk-taking personality - Efficacy of prevention Faktor Pekerjaan - Hambatan dalam penerapan UP/SP - Beban Kerja (workload)
Faktor Organisasi - Safety climate - Safety Performance Feedback - Pelatihan dan Ketersediaan APD Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal/ Standar Gambar 3.2 Kerangka Konsep Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 42
Universitas Indonesia H 0 2 : Tidak ada perbedaan antara faktor pekerjaan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar. H 0 3 : Tidak ada perbedaan antara faktor organisasi dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
43
3.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Skala ukur Hasil ukur Variabel Dependen 1. Kepatuhan dalam penerapan KU/KS Perilaku perawat dalam melindungi dirinya dan pasien dari penyakit yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh lainnya dengan melakukan tindakan tindakan khusus sesuai dengan pedoman kewaspadaan universal/kewaspadaan standar. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 11 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Selalu : 5 Sering : 4 Kadang-kadang : 3 Jarang : 2 Tidak pernah : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 11 - 55.
0. Tidak Patuh, bila < median 1. Patuh, bila median
Variabel Independen 2. Pengetahuan tentang transimisi HIV, HBV, dan HCV Kemampuan responden dalam menjawab pertanyaan secara benar. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 6 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 - 30.
0. Tidak baik, bila < median 1. Baik, bila median. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
44
3. Persepsi terhadap risiko Penilaian responden mengenai karakteristik dan tingkat keparahan bahaya dari risiko. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 3 pertanyaan. Item pertama merupakan pertanyaan negatif. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 Untuk pertanyaan (-) perhitungan dilakukan sebaliknya. Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 - 15.
0. Tidak baik, bila < mean 1. Baik, bila mean. 4. Risk-taking personality Sikap responden terhadap perilaku berisiko (Mc Govern, et.al., 2000). Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 4 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1
Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 4 20.
0. Risk taker, bila median. 1. Non Risk Taker, bila < median 5. Efficacy of prevention Kepercayaan perawat dan bidan bahwa mereka mampu mencegah terpajan penyakit infeksi lewat darah dengan Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 3 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 - 15.
0. Tidak baik, bila < median Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
45
mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Standar Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 1. Baik, bila median . 6. Hambatan dalam penerapan UP/SP Persepsi perawat dan bidan mengenai konflik mendahulukan kebutuhan melayani pasien dengan kebutuhan perawat dan bidan melindungi diri sendiri (DeJoy, Gershon, & Murphy, 1998) dan konflik-konflik lain seperti kurangnya waktu, ketidaknyamanan dan ketidakterbiasaan menggunakan APD. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 6 pertanyaan negatif. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Setuju: 1 Setuju : 2 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 4 Sangat Tidak Setuju : 5 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 - 30.
0. Tinggi, bila < median 1. Rendah, bila median 7. Beban kerja (workload) Penilaian responden terhadap tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 3 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Sering: 5 Sering : 4 Cukup Sering : 3 Tidak Sering: 2 Sangat Tidak Sering : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 3 - 15.
0. Tinggi, bila median 1. Rendah, bila < median
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
46
8. Safety Climate Persepsi responden mengenai kebijakan, prosedur, dan tindakan- tindakan yang diambil terkait dengan keselamatan (Griffin dan Neal dalam Benedetto, 2011). Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 7 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 - poin skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 7 - 35.
0. Tidak baik, bila < mean 1. Baik, bila mean. 9. Safety Performance feedback Umpan balik baik yang bersifat formal maupun informal yang diterima oleh perawat dan bidan dari pimpinan, supervisor, dan rekan kerja. Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 5 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 5 - 25.
0. Tidak baik, bila < mean 1. Baik, bila mean. 10. Pelatihan dan ketersediaan APD Persepsi responden mengenai pelatihan dan ketersediaan APD di RS PMI Bogor Dengan mengisi kuesioner. Jumlah pertanyaan terdiri 6 pertanyaan. Variabel kepatuhan diukur dengan perhitungan 5 poin skala likert: Sangat Setuju: 5 Setuju : 4 Ragu - ragu : 3 Tidak Setuju: 2 Sangat Tidak Setuju : 1 Kuesioner Ordinal Rentang nilai antara 6 - 30.
0. Tidak baik, bila < mean. 1. Baik, bila mean. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
47
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
47 Universitas Indonesia
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan desain cross sectional. Alasan penggunaan desain penelitian ini karena ingin mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dimana pengukuran kedua variabel tersebut dilakukan pada waktu yang bersamaan. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan APD). Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan perencanaan dan evaluasi dalam upaya promosi kesehatan bagi petugas kesehatan khususnya masalah perilaku kepatuhan perawat dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dan dapat menunjang penelitian selanjutnya.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di RS PMI Bogor yang berlokasi di Jl. Pajajaran No. 80, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat dan bidan pelaksana di RS PMI Bogor yaitu sebanyak 352 orang. Jumlah populasi ini diperoleh dari hasil akumulasi total perawat di ruangan-ruangan sebagai berikut: Instalasi Gawat Darurat, Paviliun Anggrek, Paviliun Melati, Paviliun Mawar, Ruang Aster, Ruang Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 48
Universitas Indonesia
Alamanda, Ruang Dahlia, Ruang Soka, Ruang Seruni, Ruang Gardena, Ruang Cempaka, Kamar Bersalin (VK), IBS & CSSD, Recovery Room & Anastesi, Poliklinik Afiat, Poliklinik Reguler, Ruang VVIP dan Hemodialisa. Besar sampel penelitian dihitung menggunakan rumus proporsi binomunal (binomunal proportions). Dengan jumlah populasi yang diketahui (N), maka besar sampel dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Kothari, 1990 dalam Murti, 2010): n = n : jumlah sampel minimal yang diperlukan : derajat kepercayaan 90% (1,96) d : derajat akurasi presisi yang diinginkan = 10% p : estimasi proporsi yang patuh terhadap kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Karena tidak ada data sebelumnya tentang prevalensi populasi, maka p=0,5 (Lemeshow et al., 1990 dalam Murti, 2010). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan jumlah sampel perawat pelaksana sebanyak 76 orang. Untuk mencegah kekurangan dan missing dalam pengisian sampel, maka peneliti menambahkan cadangan sampel sebanyak 30 % sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 100 sampel. a. Metode Sampling Selanjutnya, agar populasi dapat terwakili, maka dalam penelitian ini dilakukan pembagian (probability) dengan cara proporsional pada setiap unit perawatan agar jumlah responden sebanyak 100 orang memiliki peluang yang sama. Teknik ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 49
Universitas Indonesia
n 2 n 2 : banyaknya sampel tiap ruangan n : banyaknya populasi tiap ruangan N : banyaknya populasi penelitian. N 1 : banyaknya sampel penelitian Jumlah populasi penelitian (N) adalah sebanyak 260 responden. Angka ini diperoleh dari hasil akumulasi jumlah perawat dan bidan di ruangan-ruangan yang menjadi kriteria inklusi. Sedangkan sampel penelitian (N 1 ) sebanyak 76 responden. Dengan menggunakan rumus perhitungan di atas, berikut perolehan sampel dalam penelitian ini (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Pengambilan Sampel dengan Menggunakan Teknik Proporsional No Nama Ruangan Jumlah Perawat dan Bidan Per Ruangan Hasil 1 IGD 23 23/260 x 100 = 8 2 Pav. Anggrek 19 19/260 x 100 = 7 3 Pav. Melati 15 15/260 x 100 = 6 4. Pav. Mawar 17 17/260 x 100= 7 4 R. Aster 20 20/260 x 100 = 8 5 R. Alamanda 17 17/260 x 100 = 7 6 R. Dahlia 21 21/260 x 100 = 8 7 R. Seruni 26 26/260 x 100 = 10 8 R. VK (Kamar Bersalin) 16 16/260 x 100 = 6 10 VVIP 21 21/260 x 100 = 8 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 50
Universitas Indonesia
No Nama Ruangan Jumlah Perawat dan Bidan Per Ruangan Hasil
11 Poliklinik Afiat 21 21/249 x 110 = 8 12 Poliklinik Reguler 26 26/260 x 100 = 10 13 Hemodialisa 18 18/260 x 100 = 7 Jumlah 260 100
b. Kriteria Inklusi Yang termasuk dalam di dalam sampel penelitian ini adalah perawat pelaksana yang berada di seluruh unit perawatan RS PMI Bogor, yaitu Instalasi Gawat Darurat, Paviliun Anggrek, Paviliun Melati, Paviliun Mawar, Ruang Aster, Ruang Alamanda, Ruang Dahlia, Ruang Soka, Ruang Seruni, Ruang Gardena, Ruang Cempaka, Kamar Bersalin (VK), VVIP, Poliklinik Afiat, Poliklinik Reguler, dan Hemodialisa. c. Kriteria Eksklusi Perawat pelaksana yang tidak termasuk dalam kriteria penelitian ini antaralain perawat pelaksana yang berstatus karyawan magang, perawat pelaksana yang tidak bersedia di wawancara, dan perawat pelaksana yang sedang cuti. Selain itu, ada beberapa ruangan yang tidak diambil menjadi area penelitian yaitu IBS dan CCSD. Hal ini dikarenakan pekerjaan perawat yang sangat padat dan sering berada di ruangan bedah sehingga peneliti tidak dapat mendistribusikan kuesioner di ruangan tersebut.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 51
Universitas Indonesia
4.4 Pengumpulan Data 4.4.1 Data Primer Data primer dalam penelitian ini berupa data kuesioner. Dalam pengumpulan data primer ini, peneliti dibantu oleh pembimbing lapangan dan dua orang teman dalam menyebarkan kuesioner ke ruangan ruangan yang menjadi sampel penelitian. Penyebaran kuesioner bersifat self-administered questionnaire. Artinya, kuesioner setelah dibagikan ke perawat dan bidan tidak ditunggu pengisiannya pada saat itu juga. Kuesioner diambil setelah adanya kesepakatan waktu pengambilan.
4.4.2 Data Sekunder Jenis data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil telaah dokumen, meliputi: profil rumah sakit, struktur organisasi PPI (Pengendalian dan Pencegahan Infeksi), ketenagaan, kebijakan Kewaspadaan Universal, data kecelakaan pegawai dan data penyakit akibat kerja.
4.5 Uji Instrumen Untuk memenuhi kriteria sebuah penelitian yang dianggap sebagai penelitian maka kecermatan pengukuran sangat diperlukan. Ada dua syarat utama yang harus dipenuhi oleh alat ukur untuk memperoleh suatu pengukuran yang cermat, yaitu validitas dan reliabilitas. Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Sedangkan reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama (Hastono, 2007). Untuk mengetahui validitas suatu instrumen (kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu variabel dikatakan valid bila skor variabel tersebut berkorelasi secara Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 52
Universitas Indonesia
signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan yaitu koefisien korelasi Pearson Product Moment atau disimbolkan dengan huruf r (Hastono, 2007). Keputusan uji: - Bila r hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel valid. - Bila r hitung lebih kecil dari r tabel artinya variabel valid. Untuk mengetahui reliabilitas, dapat dilakukan dengan cara melakukan uji Cronbachs Alpha. Keputusan ujinya adalah: (Hastono, 2007) - Bila Cronbachs Alpha 0,6 artinya variabel adalah reliabel. - Bila Cronbachs Alpha < 0,6 artinya variabel tidak reliabel. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner ini diadaptasi dari Skala Psikometrik Gershon, et.al (1995) dan DeJoy, et.al., (1995) dalam Brevidelli dan Tamara (2009). Alasan pemilihan kuesioner ini adalah karena kuesioner ini telah banyak digunakan untuk meneliti kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar, diantaranya Brevidelli dan Tamara (2009), McGovern et.al., (2000), dan Kermode, et.al., (2005). Secara lebih rinci, berikut ini adalah hasil Crombach kuesioner pada penelitian Brevidelli dan Tamara (2009) dan Gershon (1995).
Tabel 4.2 Hasil Cronbach's Alpha Kuesioner Variabel Hasil Cronbachs Alpha Kepatuhan (Gershon,1995) = 0,65 Pengetahuan tentang transmisi HIV = 0,86 Pelatihan dan ketersediaan APD = 0,82 Hambatan penerapan UP/SP = 0,69 Risk-taking personality = 0,72 Beban kerja (workload) = 0,73 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 53
Universitas Indonesia
Efficacy of prevention = 0,67 Persepsi terhadap risiko = 0,68 Dukungan Manajemen terhadap praktik kerja aman (safety climate) = 0,80 Safety Performance Feedback = 0,69
Dalam proses pengadaptasi kuesioner, kuesioner terlebih dahulu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dimana bentuk original menggunakan Bahasa Inggris. Untuk menjaga konsistensi makna kuesioner, penerjemahan dilakukan bersama-sama dengan pembimbing akademik dan seorang mahasiswa yang berprofesi sebagai perawat.
4.6 Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data. Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu (Hastono, 2007): 1. Editing Editing adalah kegiatan untuk melakukan pengecekan isian kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah: a. Lengkap: semua pertanyaan sudah terisi jawabannya b. Jelas : jawaban pertanyaan apakah sudah cukup jelas terbaca tulisannya c. Relevan: jawaban yang tertulis apakah relevan dengan pertanyaan d. Konsisten: apakah ada beberapa pertanyaan yang berkaitan isi jawabannya konsisten 2. Coding Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka/ bilangan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 54
Universitas Indonesia
3. Processing Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data dari kuesioner ke paket program komputer. Paket program yang digunakan adalah paket program SPSS for windows. 4. Cleaning Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di- entry apakah ada kesalahan atau tidak. Ada beberapa cara melakukan cleaning data, yaitu: a. Mengetahui missing data Cara mendeteksi adanya missing data adalah dengan melakukan list (distribusi frekuensi) dari variabel yang ada. b. Mengetahui variasi data Dengan mengetahui variasi data, maka akan diketahui apah data yang di masukkan benar atau salah. Cara mendeteksinya adalah dengan mengeluarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel. c. Mengetahui konsistensi data Cara mendeteksinya ketidakkonsistensi data adalah dengan cara menghubungkan dua variabel.
4.7 Analisis Data 4.7.1 Analisis Data Univariat Analisis univariat dilakukan pada masing-masing variabel sesuai dengan jenis datanya. Jenis data pada variabel dependen adalah katagorik karenanya analisis univariat yang dilakukan adalah dengan menghitung distribusi proporsi kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Begitu juga dengan variabel independen dimana jenis datanya adalah katagorik sehingga analisis univariat yang dilakukan adalah dengan menghitung proporsi faktor individu (pengetahuan tentang transmisi Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 55
Universitas Indonesia
penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan APD).
4.7.2 Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel independen antaralain: faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja (workload)), faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, pelatihan dan ketersediaan APD) dengan variabel dependen (kepatuhan perawat dalam penerapan kewaspadaan universal di RS PMI Bogor). Pemilihan uji statistik untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan uji chi square (x 2 ) dimana variabel dependen dan independen adalah katagorik. Selanjutnya, dilakukan pengujian statistik dengan membandingkan nilai p dengan nilai ( = 0,01). Pemilihan nilai = 0,01 tersebut didasarkan pada alasan bahwa penelitian ini meneliti mengenai hal-hal yang tidak boleh ada kesalahan karena apabila terjadi kesalahan akan berakibat fatal. Ketentuan yang berlaku adalah: - Bila nilai p nilai , maka keputusannya Ho ditolak. Artinya, ada perbedaan /hubungan kejadian yang signifikan antara kelompok data satu dengan kelompok data yang lain. - Bila nilai p > nilai , maka keputusannya Ho gagal ditolak. Artinya, tidak ada perbedaan kejadian antara kelompok data satu dengan kelompok data yang lain.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
56 Universitas Indonesia
BAB 5 GAMBARAN UMUM
5.1 Sejarah RS PMI Bogor Sejarah RS PMI Bogor berawal dari berdirinya sebuah rumah sakit yang diprakarsai oleh kelompok sosial orang-orang Belanda pada tahun 1931, dimana pada tahun 1938 pengelolaannya dilakukan oleh NERKAI (Nederlansch Rode Kruis Afdeling Van Indonesie), dan diantara tahun 1942-1945 dikuasai oleh Penguasa Jepang. Setelah Jepang kalah perang dan meninggalkan Indonesia, pengelolaan rumah sakit kembali dilakukan oleh NERKAI. Tahun 1948, rumah sakit tersebut dihibahkan pengelolaannya kepada Pengurus Palang Merah Indonesia Cabang Bogor dan diberi nama Rumah Sakit Kedung Halang yang dipimpin oleh Dokter Respondek kemudian pada tahun 1951 diserahkan kepada Markas Besar Palang Merah Indonesia dan ditunjuk sebagai rumah sakit umum serta berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia (RS PMI) Bogor. Untuk pengelolaannya, tahun 1964 dibentuk suatu Yayasan Rumah Sakit Umum PMI Bogor yang diketuai oleh Ibu Hartini Soekarno dan berinduk pada markas Besar Palang Merah Indonesia. Tahun 1965 RS PMI Bogor bekerjasama dengan RS Cipto Mangunkusumo dengan cara memperbantukan tenga medis dan paramedis RSCM di RS PMI Bogor Tahun 1966 Yayasan Rumah Sakit PMI Bogor dibubarkan setelah sebelumnya merestorasi bangunan RSU PMI Bogor. Baru pada tahun 1970 RS PMI Bogor mendapatkan status Rumah Sakit tipe C menurut standar hasil Workshop Hospital. Sejak saat itu, RS PMI Bogor lebih berkiprah seperti pada tahun 1972, yaitu Poliklinik Kebidanan ditunjuk sebagai Poliklinik Keluarga Berencana Wilayah Bogor dan sebagai bentuk kepedulian dalam pelayanan pada masyarakat dan pada tahun 1980 RS PMI Bogor bekerjasama dengan BPDPK (Sekarang PT ASKES Indonesia). Pada tanggal 14 September 1994 dilakukan pemugaran RS PMI Bogor dengan ditandai acara peletakan batu pertama oleh Ibu Tien Soeharto. Dalam rangka meningkatkan pelayanan pada masyarakat, tanggal 15 maret 1999 telah Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 57
Universitas Indonesia
dibuka ruangan perawatan paviliun melati lantai III, Instalasi bedah sentral dilantai AII serta pusat diagnostik di lantai I gedung paviliun melati. Penambahan ruang perawatan kelas I & II mawar digedung sayap kanan depan menghadap Kebun Raya Bogor pada tanggal 1 Juni 1999, Paviliun Anggrek kelas I & II di gedung eks kamar bedah pada tahun 2000. Untuk meluaskan pelayanan di semua segmen masyarakat dan menunjang sistem subsidi silang, RS PMI Bogor memiliki tenaga medis dokter spesialis yang lengkap dan berpengalaman yang ditunjang dengan peralatan diagnostik yang modern dan lengkap. Selain itu, dilakukan renovasi gedung unit gawat darurat (Emergency) dibulan Agustus 2002 dan tanggal 14 Juli 2002 dimulai renovasi eks ruang perawatan paviliun Mawar menjadi POLIKLINIK EKSEKUTIF yang beroperasi pada bulan januari 2003 serta pemindahan ruang perawatan paviliun melati( VIP) ke lantai IV dan Paviliun Mawar ke lantai III Gedung Melati. RS PMI Bogor terus berkomitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Hal ini diwujudkan dengan melakukan akreditasi 12 pelayanan pada pertengahan tahun 2011.
5.2 Profil RS PMI Bogor Nama : Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI Bogor) Berdiri : Tahun 1931 Lokasi : Jalan Pajajaran nomor 80 Bogor Telepon : 0251-8324080 (hunting) Fax : 0251-8324709 E-Mail : [email protected] Homepage : http:///www.rspmibogor.or.id Pemilik : Perhimpunan Palang Merah Indonesia Tipe : Swasta Utama / Rumah Sakit Rujukan untuk Pelayanan Medis di wilayah Bogor dan sekitarnya Legalitas pendirian : Kepres RI No.25 Tahun 1950 NPWP : 01.254.264.3-404.001
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 58
Universitas Indonesia
5.3 Visi, Misi, Motto, Tujuan dan Fungsi RS PMI Bogor Sebagai bentuk dari perencanaan strategis rumah sakit dalam menjalankan organisasinya, RS PMI Bogor menetapkan dan memberlakukan visi, misi, motto, tujuan dan fungsi sesuai dengan yang tercantum pada Surat Keputusan Direktur RS PMI Bogor Nomor 1.0064/KPTS/I/2009.
5.3.1 Visi RS PMI Bogor Visi RS PMI Bogor yaitu Menjadi rumah sakit yang memberikan pelayanan terbaik dengan unggulan dibidang kegawat daruratan.
5.3.2 Misi RS PMI Bogor Misi RS PMI Bogor, antara lain: a. Memberikan pelayanan terbaik dengan berorientasi kepada kepuasan pasien. b. Mengembangkan layanan unggulan dibidang kegawatdaruratan c. Melakukan upaya menjadi rumah sakit rujukan medis melalui peningkatan sistem rujukan medis di wilayah Bogor.
5.3.3 Motto RS PMI Bogor Motto RS PMI Bogor adalah HUMAN (Hospitality, Universality, Man Power, Activity, dan Need), yang bermakna memberikan pelayanan dengan keramahtamahan, tanpa membedakan status sosial ekonomi pasien, melalui sumberdaya manusia yang bermutu, dan melaksanakan tugas yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
5.3.4 Tujuan RS PMI Bogor a. Mampu memberikan pelayanan yang bermutu dengan kualitas SDM yang profesional dan memegang teguh etika profesi. b. Mewujudkan pelayanan unggulan dibidang kegawatdaruratan melalui peningkatan mutu sarana, prasarana, peralatan, dan SDM secara berkelanjutan. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 59
Universitas Indonesia
c. Menjadi rumah sakit rujukan medis di wilayah Bogor melalui sistem rujukan medis sesuai kebutuhan medis pasien.
5.3.5 Fungsi RS PMI Bogor Fungsi RS PMI Bogor adalah sebagai rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan pada masyarakat umum dalam bentuk: a. pelayanan medis; b. pelayanan penunjang medis; c. Pelayanan asuhan keperawatan; d. Pelayanan rujukan medis; e. Pelayanan pendidikan dan pelatihan; f. Pengelolaan administrasi dan keuangan RS; g. Pelayanan non medis untuk mendukung pelayanan RS.
5.4 Struktur Organisasi RS PMI Bogor Berlandaskan Surat Keputusan Direktur Nomor I.0101/KPTS/XI/2009 pada tanggal 3 November 2009 tentang struktur organisasi Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Bogor, RS PMI Bogor berkedudukan sebagai Unit Pelaksana Teknis PMI yang menyelenggarakan pelayanan rumah sakit umum milik badan hukum Perhimpunan Palang Merah Indonesia. Rumah Sakit dipimpin oleh seorang Kepala Rumah Sakit dengan sebutan Direktur yang bertanggung jawab kepada Pengurus Pusat PMI melalui Badan Pengawas RS PMI Bogor. Struktur Organisasi RS PMI Bogor terdiri dari (Struktur Terlampir): 1. Badan Pengawas adalah badan yang mewakili PP PMI dalam pengawasan penyelenggaraan operasional RS PMI Bogor. 2. Direktur adalah pemimpin penyelenggara RS PMI Bogor yang bertanggungjawab langsung kepada PP PMI melalui Badan Pengawas. 3. Direktur membawahi: a. Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan; b. Wakil Direktur Pelayanan Medis; c. Komite Medis; d. Panitia/Komite/Tim Khusus Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 60
Universitas Indonesia
4. Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan membawahi: a. Bidang Pengadaan Logistik; b. Bidang Sekretariat; c. Bidang Keuangan; d. Bidang Sumber Daya Manusia; e. Bidang Pemeliharaan Sarana, Prasarana dan Peralatan Rumah Sakit. 5. Wakil Direktur Pelayanan Medis: a. Bidang Rekam Medis b. Bidang Keperawatan; c. Divisi Operasional I, membawahi: a) Instalasi Gawat Darurat b) Instalasi Bedah Sentral c) Instalasi Perawatan Intensif d) Instalasi Radiologi e) Instalasi Laboratorium f) Instalasi Hemodialisa dan Bank Darah d. Divisi Operasional II, membawahi: a) Instalasi Rawat Inap b) Instalasi Rawat Jalan c) Instalasi Rehabilitasi Medik d) Instalasi Farmasi e) Instalasi Gizi f) Instalasi Forensik e. Komite Medis merupakan wadah non struktural yang terdiri dari ketua- ketua SMF dan dibentuk dengan Surat Keputusan Direktur dan bertanggungjawab kepada Direktur. f. Panitia/Komite/Tim Khusus merupakan satuan tugas khusus yang bertanggungjawab langsung kepada Direktur.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 61
Universitas Indonesia
5.5 Komite Pencegahan dan Pengendalian (PPI) RS PMI Bogor 5.5.1 Struktur Organisasi Komite PPI RS PMI Bogor
DIREKTUR
KETUA KOMITE PPI
ICP/IPCO
SEKRETARIS
ICN/IPCN/TIM PPI
IPCLN
ANGGOTA
5.5.2 Uraian Tugas dan Kualifikasi (Kriteria) Komite PPI RS PMI Bogor 1. Direktur Uraian Tugas Direktur: a. Membentuk komite PPIRS dengan surat keputusan b. Bertanggung jawab dengan memiliki komitmen yang tinggi terhadap penyelengaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi c. Bertanggung jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan prasarana termasuk anggaran yang dibutuhkan d. Mementukan kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial e. Mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial berdasarkan saran dari Tim PPIRS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 62
Universitas Indonesia
f. Mengadakan evaluasi kebijakan pemakaian antibiotika yang rasional dan desinfektan di rumah sakit berdasarkan saran dari tim PPIRS g. Dapat menutup suatu unit perawatan atau instalasi yang diangggap potensial menularkan penyakit untuk beberapa waktu kebutuhan berdasarkan saran dari tim PPIRS h. Mengesahkan SPO untuk PPIRS
2. Komite PPI - Kriteria Anggota Komite PPI: a. Mempunyai minat dalam PPI b. Pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI - Tugas dan Tanggung jawab Komite PPI: a. Membuat dan mengevaluasi kebijakan PPI b. Melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, agar kebijakan dapat difahami dan dilaksanakan oleh petugas kesehatan rumah sakit. c. Membuat SOP PPI d. Menyusun dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI dan program pelatihan dan pendidikan PPI e. Bekerjasama dengan Tim PPI dalam melakukan investigasi masalah atau KLB infeksi nosokomial. f. Memberi usulan untuk mengembangkan dan meningkatan cara pencegahan dan pengendalian infeksi g. Memberikan konsultasi pada petugas kesehatan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam PPI h. Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan aman bagi yang menggunakan. i. Mengidentifikasi temuan di lapangan dan mengusulkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia (SDM) rumah sakit dalam PPI j. Melakukan pertemuan berkala, termasuk evaluasi kebijakan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 63
Universitas Indonesia
k. Menerima laporan dari Tim PPI dan membuat laporan kepada Direktur l. Berkoordinasi dengan Unit terkait lain. m. Memberikan usulan kepada Direktur untuk pemakaian antibiotika yang rasional di rumah sakit berdasarkan hasil pantauan kuman dan resistensinya terhadap antibiotika dan menyebarluaskan data resistensi antibiotika. n. Menyusun kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) o. Turut menyusun kebijakan clinical governance dan patient safety. p. Mengembangkan, mengimplementasikan dan secara periodic mengkaji kembali rencana manajemen PPI apakah telah sesuai kebijakan rumah sakit. q. Memberikan masukan yang menyangkut konstruksi bangunan dan pengadaan alat dan bahan kesehatan, renovasi ruangan, cara pemrosesan alat, penyimpanan alat dan linen sesuai dengan prinsip PPI. r. Menentukan sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan karena potensial menyebarkan infeksi. s. Melakukan pengawasan terhadap tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar prosedur/monitoring surveilans proses. t. Melakukan investigasi, menetapkan dan melaksanakan penanggulangan infeksi bila ada KLB di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
3. IPCO/ICP (Infection Prevention and Control Officer) sekaligus sebagai Ketua Komite PPI - Kriteria IPCO/ICP: a. Ahli atau dokter (di utamakan Dokter Patologi atau Penyakit Dalam) yang mempunyai minat dalam PPI. b. Mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI c. Memiliki kemampuan leadership.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 64
Universitas Indonesia
- Tugas dan Tanggung jawab IPCO: a. Berkontribusi dalam diagnosis dan therapy infeksi yang benar b. Turut menyususn pedoman penulisan resep antibiotika dan surveilans c. Mengidentifikasi dan melaporkan kuman pathogen dan pola resistensi antibiotika d. Bekerjasama dengan perawat PPI memonitor kegiatan survilans infeksi dan mendeteksi serta menyelidiki KLB e. Membimbing dan mengajarkan praktek dan prosedur PPI yang berhubugan dengan prosedur therapy f. Turut memonitor cara kerja tenaga kesehatan dalam merawat pasien g. Turut membantu semua petugas kesehatan untuk memahami pencegahan dan pengendalian infeksi
4. IPCN/ICN (Infection Prevention and Control Nurse) sekaligus sebagai Sekretaris Komite PPI - Kriteria IPCN/ICN: a. Perawat dengan pendidikan S1 Keperawatan dan memiliki sertifikasi PPI b. Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi c. Memiliki pengalaman minimal/sekurang-kurangnya sebagai Kepala Ruangan atau setara. d. Memiliki kemampuan leadership, inovatif dan confident e. Bekerja purna waktu. - Tugas dan Tanggung Jawab IPCN: a. Mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi di lingkungan kerjanya, baik rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 65
Universitas Indonesia
b. Memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SPO, kewaspadaan isolasi c. Melaksanakan surveilans infeksi dan melaporkan kepada Komite PPI d. Bersama Komite PPI melakukan pelatihan petugas kesehatan tentang PPI di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya e. Melakukan investigasi terhadap KLB dan bersama-sama Komite PPI memperbaiki kesalahan yang terjadi f. Memonitor kesehatan petugas kesehatan untuk mencegah penularan infeksi dari petugas kesehatan ke pasien atau sebaliknya. g. Bersama Komite PPI menganjurkan prosedur isolasi dan memberi konsultasi tentang pencegahan dan pengendalian infeksi yang diperlukan pada kasus yang terjadi di rumah sakit h. Audit pencegahan dan pengendalian infeksi termasuk terhadap limbah, laundry, gizi, dan lain-lain menggunakan daftar tilik . i. Memonitor kesehatan lingkungan j. Bertanggung jawab terhadap pengadaan kelengkapan administrasi program pencegahan dan pengendalian infeksi. k. Bertanggung jawab terhadap penyusunan kebutuhan anggaran untuk kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi. l. Memonitor terhadap pengendalian penggunaan antibiotic yang rasional m. Mendesain, melaksanakan, memonitor, mengevaluasi surveilans infeksi yang terjadi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainya n. Membuat laporan surveilans dan melaporkan ke Komite PPI o. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI p. Memberikan saran design ruangan rumah sakit agar sesuai dengan prinsip PPI Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 66
Universitas Indonesia
q. Meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung rumah sakit tentang PPIRS r. Memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan , pengunjung dan keluarga tentang topik infeksi yang sedang berkembang di masyarakat, infeksi dengan insiden tinggi s. Sebagai Koordinator antara departeman/unit dalam mendeteksi, mencegah dan mengendalikan infeksi di rumah sakit
5. IPCLN (I nfection Prevention and Control Link Nurse) - Kriteria IPCLN: a. Perawat dengan pendidikan minimal D3 dan memiliki sertifikasi PPI b. Memiliki komitmen di bidang pencegahan dan pengendalian infeksi c. Memiliki kemampuan leadership. - Tugas dan Tanggung Jawab IPCLN: IPCLN sebagai perawat pelaksana harian/penghubung bertugas: a. Mengisi dan mengumpulkan formulir surveilans setiap pasien di unti rawat inap masing-masing , kemudian menyerahkannya kepada IPCLN ketika pasien pulang. b. Memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. c. Memberitahukan kepada IPCN apabila ada kecurigaan adanya infeksi nosokomial pada pasien. d. Berkoordinasi dengan IPCN saat terjadi infeksi potensial KLB, penyuluhan bagi pengunjung di ruang rawat masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum paham. e. Memonitor kepatuhan petugas kesehatan yang lain dalam menjalankan Standar Isolasi.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 67
Universitas Indonesia
5.5.3 Cakupan Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS PMI Bogor 1. Menyusun Buku Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit PMI Bogor dan petunjuk pelaksanaanya. Buku Pedoman ini sebagai Acuan dalam pelaksanaan Pengendalian Infeksi di seluruh unit pelayanan. 2. Menyusun kebijakan penerapan Universal Precautions bagi semua karyawan RS PMI Bogor (Staf Medis, Paramedis, Karyawan, Mahasiswa, Penderita dan Pengunjung). 3. Menyusun Pedoman Penggunaan Antibiotik RS PMI Bogor yang rasional. 4. Menyusun Pedoman Penggunaan Antiseptik dan Desinfekstan RS PMI Bogor melalui kerjasama dengan Tempat Sterilisasi Umum ( TSU ). 5. Menyusun Pedoman Sterilisasi yang berkaitan dengan Infeksi Nosokomial oleh unit sterilisasi. 6. Menyusun Pedoman Kebersihan Lingkungan RS PMI melalui kerjasama dengan sie. KesLing. 7. Membuat pedoman penatalaksanaan pasien yang menjalani rawat inap dengan penyakit menular. 8. Melaksanakan kegiatan surveilans infeksi nosokomial di unit perawatan secara aktif dan terus menerus. 9. Memantau pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial di RS PMI Bogor. 10. Memantau hasil pemeriksaan sarana / peralatan yang berkaitan dengan infeksi nosokomial disertai tindak lanjut bila diperlukan. 11. Melaksanakan pengembangan pendidikan bagi anggota komite PPIRS PMI Bogor baik di dalam maupun di luar rumah sakit berkaitan dengan infeksi nosokomial. 12. Menyebarluaskan informasi mengenai pengendalian infeksi nosokomial di RS PMI Bogor baik karyawan baru, mahasiswa kedokteran dan keperawatan yang akan berpraktek dan seluruh karyawan RS PMI Bogor. 13. Melakukan kegiatan rapat rutin Komite PPIRS. 14. Menyusun rencana anggaran kebutuhan operasional Komite PPIRS, Program dan Kegiatan PPIRS. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 68
Universitas Indonesia
5.5.4 Kebijakan Kebijakan Pelaksanaan PPIRS PMI Bogor 1. Kebijakan Universal Precautions di RS PMI Bogor a. Merupakan pedoman yang ditetapkan oleh Centers for Dissease control ( CDC ) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit yang dapat ditularkan di lingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya b. Pemakaian universal precaution diwajibkan untuk seluruh karyawan yang mempunyai resiko untuk terkontaminasi / terpajan c. Unsur Kewaspadaan Universal adalah : 1) Cuci tangan 2) Sarung tangan 3) Masker, pelindung mata dan wajah 4) Gaun / apron 5) Peralatan Perawatan Pasien 6) Pengendalian Lingkungan 7) Linen 8) Penanganan limbah 9) Kesehatan Karyawan dan darah yang terinfeksi patogen 10) Penempatan pasien d. Keharusan cuci tangan dengan ketentuan sebagai berikut : 1) Melakukan cuci tangan dengan menggunakan sabun biasa pada cuci tangan rutin / sosial 2) Melakukan cuci tangan dengan menggunakan antiseptik berbahan dasar Chlorhexidin 2 % dengan air mengalir ( bebas kuman ) pada cuci tangan prosedural 3) Pada kondisi tertentu cuci tangan dapat dilakukan dengan menggunakan handrubs berbahan dasar Chlorhexididn 0,5 % atau alkohol + gliseryl 4) Cuci tangan bedah dengan menggunakan bahan dasar chlorhexidin 4 % dengan air mengalir steril 5) Cuci tangan dilakukan pada : a) Setelah tiba di rumah sakit dan sebelum meninggalkan rumah sakit Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 69
Universitas Indonesia
b) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien c) Sebelum dan sesudah melakukan tindakan d) Sebelum dan sesudah meninggalkan kamar mandi/WC e) Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan peralatan yang terkontaminasi, walaupun menggunakan sarung tangan f) Segera setelah melepas sarung tangan g) Jika kontak diantara satu pasien dengan pasien lainnya h) Diantara prosedur yang berbeda pada pasien yang sama 2. Kebijakan Sterilisasi a. Pelaksanaan Sterilisasi RS PMI Bogor dilakukan secara sentral di Tempat Sterilisasi Umum b. Kegiatan sterilisasi meliputi kegiatan yang memproses semua bahan, peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk pelayanan medik di rumah sakit mulai dari : 1) Perencanaan & Pengadaan (desentralisasi oleh masing masing unit) 2) Pencucian ( Di Kamar Bedah proses pencucian dilakukan di TSU, Unit pelayanan lain dilakukan di unit masing-masing ) 3) Pengemasan ( Di Kamar Bedah proses pengemasan dilakukan di TSU, Unit pelayanan lain dilakukan di unit masing-masing tapi di TSU dilakukan pengecekan ulang ) 4) Pemberian tanda 5) Proses sterilisasi 6) Penyimpanan setelah sterilisasi 7) Distribusi barang yang telah disterilkan ( Untuk Kamar Bedah didistribusikan oleh TSU, untuk unit-unit lain diambil oleh masing masing unit ) c. Tempat sterilisasi Umum RS PMI Bogor adalah satuan kerja dibawah Instalasi Bedah Sentral dipimpin oleh Kepala Ruangan TSU yang bertangggung jawab menyusun Program Kerja Pelayanan Sterilisasi d. Kegiatan TSU dilaksanakan dengan menggunakan pedoman yang disusun oleh Kepala Ruangan TSU Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 70
Universitas Indonesia
e. Kegiatan Sterilisasi mencakup kegiatan pencatatan dan pelaporan tentang penerimaan dan pendistribusian semua barang yang akan disterilkan f. Dalam melakukan proses sterilisasi , petugas harus menggunakan alat pelindung diri g. Barang-barang yang sudah disteril dan telah melewati batas waktu pemakaian harus diresterilisasi h. Hasil sterilisasi harus di monitor kwalitasnya baik secara fisik, kimia, dan biologi i. Alat sterilisasi harus diperiksa secara berkala melalui uji kalibrasi untuk mengetahui kwalitas alat 3. Kebijakan Desinfeksi a. Desinfeksi merupakan proses yang menggunakan suatu bahan (biasanya bahan kimia) yang dapat membunuh mikroorganisme yang patogen kecuali spora,bakteri, virus, dan beberapa strain bakteri resisten. Bahan yang digunakan untuk proses desinfeksi disebut desinfektan b. Desinfektan untuk cuci tangan : 1) Untuk cuci tangan dengan air mengalir menggunakan antiseptik berbahan dasar chlorhexidin 2 % 2) Untuk cuci tangan handrubs menggunakan antiseptik berbahan dasar alkohol + glyserin atau chlorhexidin 0,5 % 3) Untuk cuci tangan bedah menggunakan antiseptik berbahan dasar chlorhexidin 4 % c. Desinfeksi Kulit Dan Mukosa Penderita Pra Bedah Desinfektan yang dipakai untuk kulit dan mukosa pada pasien pra bedah merupakan preparat yang bekerja cepat dan mempunyai pengaruh antibakterial yang berlanjut. Yang sering dipakai adalah povidone-iodine yang mengandung 10 % iodine. Pada keadaan operasi khusus untuk daerah mukosa digunakan iodine 10 % diencerkan dengan NACL 0,9 % perbandingan 1 : 9
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 71
Universitas Indonesia
d. Desinfektan untuk alat / instrumen Semua alat kesehatan yang telah dipakai untuk pasien wajib dilakukan tindakan desinfeksi. Tindakan desinfeksi untuk alat / instrumen dibagi menjadi 3 proses, yaitu : a. Desinfeksi Tingkat Tinggi. Dapat menghancurkan semua mikroorganisme vegetatif, tuberculle bacilli, virus ukuran kecil maupun nonlipid, virus berukuran sedang kecuali sejumlah tertentu spora bakteri, dipakai untuk alat yang sifatnya semikritikal. Bahan yang dipakai 2,45 % glutaraldehyde atau chlorine solution. Contoh: Endoskope,Endotrakeal tube, peralatan nafas anesthesia, Cystoscope. b. Desinfeksi Tingkat Menengah. Dapat membunuh mikroorganisme vegetative, fungi, mycobacterium tuberculosis, virus berukuran kecil maupun sedang, virus lipid dan nonlipid, tapi tidak mempunyai aktivitas pembunuhan terhadap spora bakteri. Dipakai untuk alat bersifat non kritikal. Bahan yang dipakai alkohol (70-90% ). Contoh : Peralatan pengukur tekanan darah, termometer. c. Desinfeksi Tingkat Rendah. Tidak memiliki daya bunuh terhadap spora bakteri, mycobacterium, fungi, virus. Bahan yang sering digunakan adalah Alkohol 70 %. Contoh : Stestoskop. e. Desinfektan untuk ruangan / lingkungan Untuk kamar operasi digunakan Dipotasium Peroxodisulfate. Untuk lingkungan di luar kamar operasi dipergunakan bahan berbahan dasar phenol ( Lysol ).
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
72 Universitas Indonesia
BAB 6 HASIL PENELITIAN
6.1 Pelaksanaan Penelitian Penelitian mengenai kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar oleh perawat dan bidan dilakukan pada tanggal 14 17 Desember di 12 unit perawatan RS PMI Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran self-administered questionnaires kepada perawat dan bidan, dengan jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan sebanyak 82 kuesioner dari 100 kuesioner.
6.2 Penyajian Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diuraikan dengan menampilkan karakteristik responden, analisis univariat, kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariat.
6.2.1 Karakteristik Responden Dalam penelitian ini responden yang eligible terdiri dari 82 responden. Distribusi frekuensi karakteristik responden ditampil di Tabel 6.1, meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, dan lama kerja. Mayoritas responden berusia antara 25- 49 tahun yaitu sebanyak 68 (82,9%) responden. Pengelompokan usia ini mengacu pada pengelompokkan usia menurut WHO. Sebagian besar responden adalah berjenis kelamin perempuan (72%). Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar perawat dan bidan di RS PMI Bogor jenjang pendidikan terakhirnya adalah Diploma (72 %). Sedangkan berdasarkan lama kerja, mayoritas responden memiliki lama kerja 21 tahun yaitu sebanyak 87,8 % responden. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 73
Universitas Indonesia
Tabel 6.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RS PMI Bogor Tahun 2011 Variabel n % Umur 24 tahun 11 13,4 25- 49 tahun 68 82,9 50 tahun
3 3,7 Jenis Kelamin Laki-Laki 18 22 Perempuan 64 78 Pendidikan SPK 6 7,3 Diploma 72 87,8 S1
4 4,9 Lama Kerja Tidak Lama ( 21 tahun) 10 12,2 Lama ( 22 tahun) 72 87,8
6.2.2 Hasil Analisis Univariat Analisis univariat kepatuhan dan faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dan bidan di RS PMI Bogor ditampilkan pada Tabel 6.2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor individu (pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, HCV; persepsi risiko; risk-taking personality; efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan penerapan KU/KS, beban kerja), dan faktor organisasi (safety climate, safety performance feedback, dan pelatihan dan ketersediaan APD). Tabel 6.2 Hasil Analisis Univariat Variabel Kepatuhan dan Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011 Variabel Mean Median Skewness SE of Skewness n % Kepatuhan terhadap penerapan KU/KS 47,0 48 -0,721 0,266 Tidak patuh (<nilai mean) 39 47,6 Patuh ( mean) 43 52,4
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 74
Universitas Indonesia
Variabel Mean Median Skewness SE of Skewness n %
Pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, dan HCV 27,87 29 -1,383 0,266 Tidak baik (<nilai median) 32 39 Baik ( median) 50 61 Persepsi risiko 12,51 12 -0,229 0,266 Rendah (<nilai mean) 45 54,9 Tinggi ( mean) 37 45,1
Efficacy of prevention 13,54 14 -0,830 0,266 Rendah (<nilai median) 33 40,2 Tinggi ( median) 49 59,8
Hambatan penerapan KU/KS 23,40 24 -0,541 0,266 Tinggi (<nilai median) 39 47,6 Rendah ( median) 43 52,4
Beban kerja 11,84 12 -0,823 0,266 Tinggi ( median) 52 63,4 Rendah (<nilai median) 30 36,6
Safety climate 29,13 29 -0,067 0,266 Tidak baik (<nilai mean) 49 59,8 Baik ( mean) 33 40,2
Safety performance feedback 21,22 20 -0,021 0,266 Tidak baik (<nilai mean) 50 61 Baik ( mean) 32 39
Pelatihan dan ketersediaan APD 25,87 25,50 -0,472 0,266 Tidak baik (<nilai mean) 41 50 Baik ( mean) 41 50 Ket: KU : Kewaspadaan Universal KS: Kewaspadaan Standar
6.2.2.1 Kepatuhan dalam Penerapan KU/KS Sebagian besar perawat dan bidan sudah patuh dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Hal ini ditunjukkan dari proporsi responden yang patuh yaitu sebanyak 43 (52,4%) (Lihat Tabel 6.2). Mayoritas pegawai Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 75
Universitas Indonesia
patuh (jawaban sering dan selalu) terhadap membuang benda tajam ke kontainer benda tajam (100%), mencuci tangan setelah melepas sarung tangan (98%), memakai celemek (65,8%), memakai sarung tangan disposable (96,4%), memakai masker(86,6%), membuang sampai infeksius ke dalam plastik khusus infeksius (100%), menghapus spills dengan desinfektan (89%), tidak makan dan minum (79,3%), dan hati-hati menggunakan scapel atau benda tajam lainnya (97,6%). Akan tetapi, mayoritas perawat dan bidan yang patuh terhadap pemakaian goggle hanya 41,5% dan tidak recapping jarum suntik hanya 22% (Lihat Tabel 6.3) Tabel 6.3 Kepatuhan terhadap Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar oleh Perawat dan Bidan di RS PMI Bogor 2011 No Item SL SR Total n % n % n % 1 Membuang benda tajam ke dalam kontainer benda tajam. 2 2,4 80 97,6 82 100 2 Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan sekali pakai. 76 92,7 5 6,1 81 98,8 3. Memakai kain pelindung/celemek anti tembus darah dan cairan tubuh lainnya setiap kali ada kemungkinan terkotori oleh aktivitas pekerjaan. 37 45,1 17 20,7 54 65,8 4. Memakai sarung tangan sekali pakai setiap kali ada kemungkinan terkena darah dan cairan tubuh lainnya. 70 85,4 9 11 79 96,4 5. Memakai pelindung mata/ goggle setiap kali ada kemungkinan terkena darah dan cairan tubuh lainnya. 24 29,3 10 12,2 34 41,5 6. Memakai masker sekali pakai setiap kali ada kemungkinan terkena cipratan cairan ke mulut saya. 61 74,4 10 12,2 71 86,6 7. Membuang semua benda yang mungkin terkontaminasi ke dalam plastik khusus untuk sampah biomedis. 74 90,2 8 9,8 82 100 8. Menghapus dengan desinfektan semua cairan yang keluar dari tubuh pasien. 52 63,4 21 25,6 73 89 9. Tidak makan dan minum ketika sedang bekerja di area yang berpotensial terkontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya. 56 68,3 9 11 65 79,3 10. Berhati-hati ketika menggunakan pisau bedah atau benda tajam lainnya. 75 91,5 5 6,1 80 97,6 11. Tidak menutup kembali (recapping) jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah. 15 18,3 3 3,7 18 22
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 76
Universitas Indonesia
6.2.2.2 Faktor Individu 1. Pengetahuan Hasil analisis univariat variabel pengetahuan diperoleh informasi (Tabel 6.2): mayoritas perawat dan bidan sudah memiliki pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, dan HCV yang baik (61%). Tabel 6.4 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Pengetahuan tentang Transmisi HIV, HBV, dan HCV di RS PMI Bogor 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Menekan bagian yang mengalami perdarahan tanpa menggunakan sarung tangan. 65 79,3 13 15,9 2 2,4 1 1,2 1 1,2 82 100 2 Terluka dengan benda tajam yang terkontaminasi. 73 89 7 8,5 2 2,4 0 0 0 0 82 100 3. Mengambil sampel darah pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan sarung tangan. 66 80,5 10 12,2 2 2,4 4 4,9 0 0 82 100 4. Mulut atau mata saya terkena percikan darah pasien yang positif terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C 62 75,6 15 18,3 3 3,7 1 1,2 1 1,2 82 100 5. Membalut luka pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan sarung tangan 50 61 23 28 4 4,9 5 6,1 0 0 82 100 6. Melakukan resusitasi kardiopulmoner mulut ke mulut dengan pasien yang terinfeksi HIV 57 69,5 18 22 3 3,7 0 0 4 4,9 82 100
Berdasarkan frekuensi distribusi jawaban responden (Tabel 6.4), mayoritas pengetahuan responden tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C juga Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 77
Universitas Indonesia
terlihat baik, banyak responden yang menjawab setuju dan sangat setuju. Tetapi ada juga beberapa persen responden yang memiliki pengetahuan yang rendah.
2. Persepsi Risiko Untuk persepsi risiko, sebagian besar responden memiliki persepsi risiko yang rendah (54,9%). Ini artinya, responden mengganggap bahaya bahaya penyakit infeksi di lingkungan tempatnya bekerja bukan sesuatu hal yang mengancam kesehatan. Tabel 6.5 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Persepsi terhadap Risiko di RS PMI Bogor 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Risiko saya terinfeksi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C pada waktu saya bekerja adalah rendah. 3 3,7 11 13,4 7 8,5 37 45,1 24 29,3 82 100 2 Ada risiko tinggi yang mengancam saya di tempat kerja. 42 51,2 35 42,7 3 3,7 1 1,2 1 1,2 82 100 3. Di pekerjaan saya, ada kemungkinan saya terkena infeksi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. 39 47,6 35 42,7 0 0 7 8,5 1 1,2 82 100 Dari hasil tabel distribusi frekuensi jawaban responden menggambarkan sebagian besar responden menilai risiko terinfeksi bloodborne pathogen adalah rendah. Tetapi, responden sadar bahwa ada risiko tinggi yang mengancam. Mayoritas responden juga menilai bahwa pekerjaan responden ada kemungkinan untuk terinfeksi bloodborne pathogen.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 78
Universitas Indonesia
3. Risk-Taking Personality Mayoritas responden memiliki sikap yang suka mengambil risiko (risk taker) (52,4%) (Tabel 6.2). Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden terlihat jawaban yang cukup beragam (Tabel 6.6). Sebagian besar responden suka pengalaman baru dan menarik. Akan tetapi, sebagian besar mereka tidak suka mencari kesenangan dengan melakukan hal-hal yang berbahaya dan berisiko, tidak suka mengambil risiko.
Tabel 6.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Risk Taking Personality di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Saya lebih suka pengalaman yang baru dan menarik. 36 43,9 41 50 2 2,4 3 3,7 0 0 82 100 2 Saya melakukan hal- hal yang berbahaya kadang-kadang hanya untuk mencari kesenangan. 3 3,7 5 6,1 1 1,2 43 52,4 30 36,6 82 100 3. Saya suka mengambil risiko dalam hidup saya. 3 3,7 12 14,6 8 9,8 39 47,6 20 24,4 82 100 4. Saya lebih suka kehidupan yang menarik dan tak terduga. 9 11 38 46,3 18 22 13 15,9 4 4,9 82 100
4. Efficacy of Prevention Sebagian besar responden mempunyai efficacy of prevention yang tinggi (59,8%). Gambaran yang sama juga terlihat pada tabel 6.7. Mayoritas responden menjawab sangat setuju dan setuju untuk ketiga item pertanyaan. Artinya, efficacy of prevention responden adalah tinggi.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 79
Universitas Indonesia
Tabel 6.7 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Eficacy of Prevention di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Jika KU/KS diterapkan pada semua pasien, risiko saya untuk terkena HIV, HBV dan HCV adalah sangat rendah. 48 58,5 29 35,4 4 4,9 0 0 1 1,2 82 100 2 Saya dapat mengurangi risiko saya terinfeksi HIV, HBV dan HCV dengan cara mematuhi KU/KS. 54 65,9 27 32,9 1 1,2 0 0 0 0 82 100 3. Jika saya meggunakan sarung tangan sekali pakai, saya akan terlindungi dari kontaminasi penyakit infeksi (HIV, HBV dan HCV) 38 46,3 38 46,3 6 7,3 0 0 0 0 82 100
6.2.2.3 Faktor Pekerjaan 1. Hambatan Penerapan KU/KS Berdasarkan data pada Tabel 6.2 didapatkan sebagian besar responden mengganggap tidak mempunyai hambatan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (52,4%). Artinya, adanya konflik antara mendahulukan untuk melayani pasien dengan kebutuhan perawat dan bidan untuk melindungi diri sendiri adalah rendah.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 80
Universitas Indonesia
Tabel 6.8 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Hambatan Penerapan KU/KS di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Kadang-kadang saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti pedoman KU/KS dalam melakukan tindakan keperawatan. 2 2,4 28 34,1 9 11 33 40,2 10 12,2 82 100 2 Mengikuti pedoman KU/KS membuat kerja saya lebih berat. 0 0 6 7.3 5 6,1 46 56,1 25 30,5 82 100 3. Saya tidak bisa selalu menerapkan KU/KS karena kebutuhan untuk melayani pasien lebih diutamakan. 1 1,2 10 12,2 9 11 43 52,4 19 23,2 82 100 4. Padatnya tugas sehari- hari menjadi penghalang saya untuk mematuhi KU/KS. 5 6,1 8 9,8 6 7,3 46 56,1 17 20,7 82 100 5. Mengikuti KU/KS membuat saya tidak mampu bekerja dengan sebaik- baiknya. 0 0 4 4,9 4 4,9 48 58,5 26 31,7 82 100 6. Saya tidak terbiasa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). 1 1,2 2 2,4 2 2,4 45 54,9 32 39 82 100
Berdasarkan frekuensi distribusi jawaban responden, jawaban responden untuk variabel ini cukup beragam. Tetapi, mayoritas banyak yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju. Ini artinya, hambatan penerapan KU/KS adalah rendah.
2. Beban Kerja Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 81
Universitas Indonesia
Menurut beban kerja, mayoritas responden mempunyai beban kerja yang tinggi (63,4%). Beban kerja responden yang tinggi dapat menjadi faktor yang berpengaruh atas ketidakpatuhan. Berdasarkan frekuensi jawaban responden (Tabel 6.9), mayoritas responden menjawab sangat sering, sering dan cukup sering. Ini artinya, beban kerja responden adalah tinggi. Tabel 6.9 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Beban Kerja di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S CS TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk bekerja dengan sangat cepat? 29 35,4 36 43,9 11 13,4 5 6,1 1 1,2 82 100 2 Seberapa sering Anda harus menyelesaikan pekerjaan yang banyak dalam waktu sempit? 25 30,5 34 41,5 18 22 4 4,9 1 1,2 82 100 3. Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk bekerja keras? 19 23,2 37 45,1 20 24,4 5 6,1 1 1,2 82 100
6.2.2.4 Faktor Organisasi 1. Safety Climate (Iklim Keselamatan Kerja) Tabel 6.2 menyajikan hasil analisis data univariat, salah satunya variabel iklim keselamatan kerja (safety climate), sebagian besar responden memiliki persepsi tidak baik mengenai dukungan manajemen terhadap keselamatan kerja di RS PMI Bogor (59,8%). Ini artinya RS PMI Bogor belum memberikan dukungan yang optimal agar terciptanya keselamatan kerja responden. Tabel 6.10 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Safety Climate di RS PMI Bogor Tahun 2011 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 82
Universitas Indonesia
No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Di rumah sakit ini, pegawai, supervisor, dan manajer bekerja bersama-sama untuk memastikan kondisi kerja yang aman.
30 36,6 38 46,3 10 12,2 4 4,9 0 0 82 100 2 Di rumah sakit ini, ada tindakan yang diambil untuk meminimalkan tugas-tugas pekerjaan yang berbahaya.
19 23,2 46 56,1 8 9,8 8 9,8 1 1,2 82 100 3. Di rumah sakit ini, pimpinan ikut terlibat terlibat dalam kegiatan KU/KS.
29 35,4 45 54,9 7 8,5 1 1,2 0 0 82 100 4. Supervisor saya peduli akan keselamatan saya pada waktu bekerja. 32 39 46 56,1 2 2,4 2 2,4 0 0 82 100 5. Di rumah sakit ini, ada komite/ panitia keselamatan.
38 46,3 38 46,3 6 7,3 0 0 0 0 82 100 6. Di tempat saya bekerja, saya bebas melaporkan kejadian pelanggaran aturan keselamatan bekerja.
25 30,5 41 50 9 11 7 8,5 0 0 82 100 7. Perlindungan pekerja terhadap pajanan penyakit infeksi (HIV, HBV, dan HCV) merupakan hal yang diutamakan oleh pimpinan di rumah sakit ini. 25 30,5 41 50 16 19,5 0 0 0 0 82 100 Berbeda jika dilihat berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden terhadap iklim keselamatan kerja (Tabel 6.10). Mayoritas responden menjawab setuju dan sangat setuju untuk ke semua item pertanyaan.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 83
Universitas Indonesia
2. Safety Performance Feedback Untuk variabel safety performance feedback menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi yang tidak baik terkait variabel ini (61%). Namun, berbeda jika dilihat berdasarkan tabel distribusi frekuensi jawaban responden yang umumnya menjawab sangat setuju dan setuju. Tabel 6.11 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Safety Performance Feedback di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Supervisor akan melakukan koreksi jika ada yang melakukan praktik kerja aman. 25 30,5 47 57,3 7 8,5 3 3,7 0 0 82 100 2 Karyawan akan ditegur jika tidak mematuhi KU/KS. 26 31,7 47 57,3 7 8,5 2 2,4 0 0 82 100 3. Atasan saya, mendukung saya untuk menerapkan KU/KS. 34 41,5 47 57,3 1 1,2 0 0 0 0 82 100 4. Di tempat saya bekerja, kepatuhan karyawan terhadap penerapan KU/KS adalah bagian dari evaluasi karyawan. 25 30,5 48 58,5 7 8,5 2 2,4 0 0 82 100 5. Rekan kerja akan melakukan koreksi jika ada rekan kerja yang melakukan praktik kerja tidak aman. 31 37,8 46 56,1 5 6,1 0 0 0 0 82 100
3. Pelatihan dan Ketersediaan APD Responden yang memiliki persepsi mengenai pelatihan dan ketersediaan APD yang baik (50%) adalah sama dengan responden yang memiliki persepsi terhadap pelatihan dan ketersediaan APD yang tidak baik (50%). Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 84
Universitas Indonesia
Tabel 6.12 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden terhadap Pelatihan dan Ketersediaan APD di RS PMI Bogor Tahun 2011 No Item SS S RG TS STS Total n % n % n % n % n % n % 1 Perawat dan Bidan dilatih tentang KU/KS. 59 72 23 28 0 0 0 0 0 0 82 100 2 Saya mendapat kesempatan untuk dilatih secara baik dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). 40 48,8 39 47,6 2 2,4 1 1,2 0 0 82 100 3. Di unit saya bekerja, atasan mendorong pegawainya untuk menghadiri seminar keselamatan. 35 42,7 42 51,2 3 3,7 2 2,4 0 0 82 100 4. Rumah sakit mengadakan seminar khusus tentang penyakit yang ditularkan melalui darah. 30 36,6 34 41,5 13 15,9 4 4,9 1 1,2 82 100 5. Di unit saya, tersedia semua kebutuhan dan peralatan yang diperlukan untuk melindungi saya bekerja.
32 39 35 42,7 9 11 6 7,3 0 0 82 100 6. Tersedia semua kebutuhan peralatan dan perlengkapan untuk menghindari saya kontak dengan penyakit infeksi (HIV, HBV, dan HCV). 32 39 35 42,7 11 13,4 4 4,9 0 0 82 100 Berdasarkan tabel diatas diperoleh informasi bahwa sebagian besar responden memilih sangat setuju dan setuju untuk semua item pertanyaan. Ini artinya, secara umum pelatihan dan ketersediaan APD di RS PMI Bogor cukup baik.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 85
Universitas Indonesia
6.2.3 Hasil Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square untuk melihat apakah ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Berikut ini adalah penyajian hasil analisis bivariat: Tabel 6.13 Hasil Analisis Bivariat Faktor Kepatuhan dengan Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011 Variabel Tidak Patuh Patuh Total P value OR n % n % n % Pengetahuan transmisi HIV, HBV, dan HCV
Tidak baik 19 59,4 13 40,6 32 100 0,137 - Baik 20 40 30 60 50 100
Efficacy of prevention Rendah 18 54,5 15 45,5 33 100 0,416 - Tinggi 21 42,9 28 57,1 49 100
Hambatan penerapan KU/KS Tinggi 21 53,8 18 46,2 39 100 0,388 - Rendah 18 41,9 25 58,1 43 100
Beban kerja
Tinggi 26 50 26 50 52 100 0,724 - Rendah 13 43,3 17 56,7 30 100
Safety climate Tidak baik 31 63,3 18 36,7 49 100 0,001 5,382 Baik 8 24,2 25 75,8 33 100
Variabel Tidak Patuh Patuh Total P value OR n % n % n % Safety performance feedback Tidak baik 28 56 22 44 50 100 0,092 - Baik 11 34,4 21 65,6 32 100
Pelatihan dan ketersediaan APD Tidak baik 28 68,3 13 31,7 41 100 0,000 5,874 Baik 11 26,8 30 73,2 41 100 Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 86
Universitas Indonesia
6.3.2.1 Faktor Individu (Lihat Tabel 6.13) Pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, dan HCV diukur dengan menggunakan 6 item pertanyaan. Responden yang menjawab dengan benar ke enam item pertanyaan didapatkan tidak berhubungan dengan kepatuhan dalam penerapan KU/KS (p value = 0,137). Persepsi responden terhadap risiko terinfeksi HIV diukur menggunakan 3 item pertanyaan. Persepsi risiko setelah dilakukan uji x 2 diperoleh p value = 1,000 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara persepsi tentang risiko dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Risk taking personality diukur menggunakan 4 item pertanyaan. Responden yang menjawab semua item pertanyaan untuk variabel ini didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara risk taking personality dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (p value = 0,642). Efficacy of prevention, mengukur sejauh mana keyakinan responden mampu mencegah dari pajanan penyakit infeksi dengan menggunakan 3 item pertanyaan. Berdasarkan perhitungan uji statistik x 2 diperoleh informasi bahwa tidak ada hubungan antara efficacy of prevention dengan tingkat kepatuhan penerapan Universal/Standard precautions oleh perawat dan bidan (p value = 0,416). Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara faktor individu yang terdiri dari pengetahuan tentang transmisi HIV, HBV, HCV, persepsi risiko, risk-taking personality dan efficacy of prevention dengan kepatuhan penerapan KU/KS (menjawab hipotesis H 0 1).
6.3.2.2 Faktor Pekerjaan (Lihat Tabel 6.13) Faktor pekerjaan yaitu hambatan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar diukur dengan menggunakan 6 item pertanyaan. Hasil Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 87
Universitas Indonesia
perhitungan statistik didapatkan tidak ada hubungan hambatan penerapan KU/KS dengan tingkat kepatuhan penerapan KU/KS (p value = 0,388). Beban kerja diukur menggunakan 3 item pertanyaan. Beban kerja dilakukan uji x 2 diperoleh p value = 0,724 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keputusan untuk H 0 2 yaitu tidak ada perbedaan antara faktor pekerjaan dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar adalah gagal ditolak. Artinya, tidak ada hubungan antara faktor pekerjaan yaitu hambatan penerapan KU/KS dan beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar.
6.3.2.3 Faktor Organisasi (Lihat Tabel 6.13) Iklim keselamatan kerja (safety climate) diukur dengan menggunakan 6 item pertanyaan. Hasil perhitungan statistik didapatkan ada hubungan iklim keselamatan kerja dengan tingkat kepatuhan penerapan KU/KS (p value = 0,001). Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR = 5,382, artinya responden yang merasa iklim keselamatan kerja di RS PMI Bogor adalah baik mempunyai peluang 5,382 kali untuk patuh terhadap penerapan KU/KS dibandingkan responden yang merasa safety climate tidak baik. Safety performance feedback diukur dengan menggunakan 5 item skala pertanyaan. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,092 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara safety performance feedback dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Pelatihan dan ketersediaan APD diukur dengan menggunakan 6 item pertanyaan. Berdasarkan hasil analisis hubungan, diperoleh p value = 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 88
Universitas Indonesia
Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar. Hasil analisis diperoleh pula nilai OR =5,874, artinya responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD baik mempunyai peluang 5,87 kali untuk patuh terhadap penerapan KU/KS disbanding dengan responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD tidak baik. Berdasarkan penjelasan di atas, diperoleh informasi sebagai berikut: - Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi yaitu safety climate dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar, keputusannya adalah H 0
ditolak. Artinya, ada hubungan yang bermakna antara safety climate dengan kepatuhan penerapan KU/KS. - Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi yaitu safety performance feedback dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar, keputusannya adalah H 0
gagal ditolak. Artinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara safety performance feedback dengan kepatuhan penerapan KU/KS. - Hipotesis nol yang menyatakan tidak ada perbedaan antara faktor organisasi yaitu pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar, keputusannya adalah H 0
ditolak. Artinya, ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan penerapan KU/KS.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
89 Universitas Indonesia
BAB 7 PEMBAHASAN
7.1 Keterbatasan Penelitian Sebelum memulai hasil penelitian ini, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan beberapa keterbatasan dari penelitian ini, antara lain: 1. Instrumen pengumpulan data (kuesioner) yang digunakan peneliti adalah adopsi dari penelitian lain diluar negeri sehingga kuesioner menggunakan bahasa Inggris. Kuesioner kemudiaan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bantuan dari Pembimbing Skripsi dan satu orang mahasiswa yang berprofesi sebagai perawat. Kuesioner yang diadopsi tersebut oleh peneliti tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh karena kuesioner tersebut telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh penelitinya. 2. Pada saat pengumpulan data, kuesioner yang disebar bersifat self administered questionnaire. Hal ini dikarenakan peneliti tidak dapat melakukan pendampingan pada saat pengisian kuesioner oleh responden karena alasan kesibukan responden sehingga terdapat beberapa kuesioner yang tidak diisi lengkap oleh responden dan terdapat pula beberapa kuesioner yang hilang. Peneliti tidak dapat melakukan penelusuran karena identitas responden tidak diketahui. Akhirnya, dari 100 kuesioner yang disebar hanya 82 kuesioner yang eligible. Jumlah tersebut telah memenuhi syarat dari batas sampel minimal penelitian, yaitu sebanyak 76 responden. Kelemahan lain dari self administered questionnaire adalah terdapat kemungkinan sebagian responden membaca kuesioner dengan kurang serius sehingga responden kurang memahami maksud setiap pertanyaan atau responden memang tidak mengerti maksud pertanyaan tersebut sehingga mempengaruhi jawaban responden. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 90
Universitas Indonesia
7.2 Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal Secara umum, kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan kewaspadaan universal/standar relatif baik. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 52,4% responden sudah menerapkan kewaspadaan universal/standar dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat dan bidan di RS PMI Bogor telah melakukan tindakan-tindakan melindungi dirinya dari kemungkinan terinfeksinya penyakit yang ditularkan lewat darah dan cairan tubuh lainnya (blood-borne infection). Jika dilihat dari masing-masing komponen kepatuhan diperoleh responden yang patuh (sering dan selalu) membuang benda tajam ke kontainer benda tajam (100%), mencuci tangan setelah melepas sarung tangan (98%), memakai celemek (65,8%), memakai sarung tangan disposable (96,4%), memakai goggle (41,5%), memakai masker(86,6%), membuang sampai infeksius ke dalam plastik khusus infeksius (100%), menghapus spills dengan desinfektan (89%), tidak makan dan minum (79,3%), hati-hati menggunakan scapel atau benda tajam lainnya (97,6%), tidak recapping jarum suntik (22%). Dari hasil tersebut ditemukan ada dua komponen yang masih kurang patuh, yaitu memakai goggle dan tidak recapping jarum suntik. Rendahnya kepatuhan pemakaian goggle karena goggle digunakan petugas yang melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan berisiko tinggi terpajan lama oleh darah dan cairan tubuh lainnya (Depkes, 2003). Selain itu, berdasarkan prosedur alat pelindung diri (APD) RS PMI Bogor (terlampir) mencantumkan bahwa kaca mata pelindung digunakan jika perlu. Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan tidak semua perawat dan bidan menggunakan goggle setiap kali melakukan tindakan keperawatan, tergantung ruang rawat tempat perawat dan bidan bekerja. Ruangan-ruangan yang berisiko tinggi untuk terkena cipratan darah adalah Kamar Operasi, IGD dan Kamar Bersalin (VK). Komponen lain yang masih rendah yaitu recapping jarum suntik. Berdasarkan hasil tabel 6.3 sebagian besar perawat dan bidan masih menutup kembali jarum suntik walaupun terdapat kontainer benda tajam. Menurut peneliti, Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 91
Universitas Indonesia
ada beberapa penyebab rendahnya kepatuhan responden terhadap item (jika terdapat kontainer benda tajam, tidak menutup kembali jarum suntik) tersebut. Pertama, penyebaran kuesioner yang bersifat self-administered sehingga memungkinkan responden tidak memahami maksud isi pertanyaan atau ketika pengisian kuesioner responden kurang seksama membaca pertanyaan sehingga sebagian besar responden menjawab melakukan recapping walaupun terdapat kontainer benda tajam. Kedua, di RS PMI Bogor, tidak semua ruangan tersedia kontainer benda tajam (di RS PMI Bogor menggunakan jirigen sebagai kontainer benda tajam), hanya ada pada ruangan tertentu saja sehingga petugas kesehatan diperbolehkan melakukan recapping tetapi dengan menggunakan teknik satu tangan. Petugas kesehatan diantaranya perawat dan bidan sudah diberikan pelatihan mengenai recapping dengan menggunakan teknik satu tangan tersebut. Terdapat kemungkinan, kondisi dan situasi terkait recapping jarum di RS PMI Bogor yang demikian yang mempengaruhi rendahnya jawaban responden pada kepatuhan terhadap item ini. Menurut Duerink, et.al., 2006, menjelaskan bahwa di Indonesia, rendahnya kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan Standar disebabkan oleh keterbatasan fasilitas dalam pengendalian infeksi. Di banyak rumah sakit di Indonesia, kontainer untuk pembuangan benda tajam juga sering tidak tersedia. Penjelasan ini sejalan dengan kondisi yang ditemukan di RS PMI Bogor. Namun, untuk mengatasi keterbatasan fasilitas tersebut, RS PMI Bogor memberikan pelatihan untuk recapping menggunakan teknik satu tangan. Metode ini dapat membuat petugas kesehatan khususnya perawat dan bidan lebih aman dalam melakukan injeksi. Jadi, recapping jarum suntik bukan penyebab tingginya angka kejadian perlukaan tertusuk jarum karena recapping sudah menggunakan teknik satu tangan. Terdapat kemungkinan penyebab meningkatkannya angka tertusuk jarum karena keteledoran dari perawat dan bidan itu sendiri yang melakukan unsafe injection practice. Kemungkinan lain karena perawat dan bidan sudah memiliki kesadaran untuk melapor kejadian perlukaan tertusuk jarum kepada manajemen sehingga terlihat ada peningkatan kasus. Namun, menurut pendapat peneliti, tidak recapping jarum adalah pilihan utama untuk mengurangi hazard terhadap perlukaan akibat tertusuk jarum suntik. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 92
Universitas Indonesia
Pendapat ini didasarkan pada Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Setting (CDC, 2007: page 129) yang merekomendasikan penerapan Standard Precautions khususnya komponen mengenai jarum suntik dan benda tajam, do not recap, bend, break, or hand- manipulate used needles; if recapping is required, use a one-handed scoop technique only. Rekomendasi ini sejalan dengan pedoman kewaspadaan universal (Depkes 2003) yang menjelaskan bahwa sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik tersebut, melainkan langsung saja di buang ke tempat penampungan sementara tanpa menyentuh atau memanipulasi bagian tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika jarum terpaksa ditutup kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu tangan (one-handed scoop) untuk mencegah jari tertusuk jarum. Di RS PMI Bogor, prosedur yang ada terkait hal ini juga sudah mengikuti kedua pedoman tersebut. Hal ini didasarkan pada hasil telaah prosedur terkait Alat Pelindung Diri (APD) RS PMI Bogor tahun 2009 (terlampir) yang menjelaskan penanganan jarum suntik secara hati-hati yaitu tidak menutup kembali jarum suntik dan buang jarum pada tempat khusus. Namun, karena keterbatasan fasilitas yaitu kurangnya ketersediaan tempat pembuangan khusus benda tajam maka prosedur tersebut tidak dapat diterapkan oleh perawat dan bidan pada setiap melakukan injeksi. Untuk mendukung upaya praktik safe injection oleh petugas kesehatan, sebaiknya organisasi yaitu RS PMI Bogor menyediakan tempat khusus pembuangan benda tajam di tempat yang mudah terjangkau perawat sehingga prosedur yang sudah ada dapat berjalan dengan optimal.
7.2 Pengetahuan tentang Transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C Hasil penelitian (Tabel 6.2) diperoleh bahwa sebagian besar responden sudah memiliki pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C yang baik. Berdasarkan hasil distribusi frekuensi jawaban responden juga menunjukkan hasil yang sejalan dengan hasil penelitian pada Tabel 6.2. Dari masing-masing komponen pertanyaan, mayoritas responden menjawab setuju dan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 93
Universitas Indonesia
sangat setuju untuk semua item pertanyaan. Ini artinya, tidak ada masalah dengan pengetahuan responden terkait variabel ini karena sebagian besar responden tahu kegiatan klinis apa saja yang berpotensi terjadi transmisi penyakit infeksi yang menular melalui darah (HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C). Akan tetapi, hasil penelitian pada Tabel 6.13, didapatkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Berbeda dengan analisis tabel silang (Tabel 6.13) antara variabel pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C dengan kepatuhan, terlihat ada kecenderungan semakin baik tingkat pengetahuan responden semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C secara signifikan berhubungan dengan tingkat kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (Mc Govern et.al.,2000; DeJoy, et.al., 2000; Kermode et.al., 2005). DeJoy (2000) menjelaskan petugas kesehatan yang mempunyai sikap positif terhadap pasien dengan HIV, kurang tertarik dengan perilaku yang berisiko dan mempunyai pengetahuan mengenai transmisi penyakit infeksi di pelayanan kesehatan, diprediksikan akan mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi. Hasil penelitian ini juga bertolak belakang dengan pendapat Green, et.al., (1980) yang menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perilaku untuk berubah, tetapi pengetahuan mempunyai hubungan yang positif antara variabel pengetahuan dengan variabel perilaku kesehatan. Menurut analisa penulis, penyebab ketidak bermaknaan hubungan pengetahuan tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C dipengaruhi oleh pengetahuan responden yang berbeda-beda tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Kemungkinan ini terkait dengan cara responden dalam memperoleh informasi mengenai hal tersebut. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 94
Universitas Indonesia
Penyebab lain ketidakmanaan hubungan antara kedua variabel tersebut adalah karena sebagian besar responden tingkat pengetahuan responden mengenai transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C belum pada level memahami, mereka hanya sekedar tahu. Berdasarkan pendapat Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan orang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda, yang dapat di bagi ke dalam 6 tingkat pengetahuan: pertama, tahu (know); kedua, memahami (comprehension); ketiga, aplikasi (application); keempat, analisis (analysis);kelima, sintesis (synthesis); keenam, evaluasi (evaluasi). Mengacu pada teori tersebut, sebenarnya responden sudah tahu tentang transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C, namun belum memahami pengetahuan yang diketahui tersebut pada saat menerapkan pedoman Kewaspadaan Universal/Standar. Hal ini dapat dilihat dari hasil temuan mengenai persepsi responden terhadap risiko yang masih rendah. Oleh karena itu, sebaiknya perlu diadakan pendidikan dan pelatihan secara kontinyu. Dengan adanya langkah tersebut, perawat dan bidan akan terus ter- update wawasan dan keterampilannya khususnya mengenai Kewaspadaan Standar. Pendidikan bertujuan untuk memberi pengetahuan sedangkan pelatihan memantapkan pengetahuan agar perawat dan bidan lebih paham dengan cara mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam bentuk pelatihan. Dengan demikian, responden dapat lebih berwaspada terhadap risiko terpajan penyakit infeksi yang tertular lewat darah sehingga meningkatkan juga kepatuhan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal.
7.3 Persepsi terhadap Risiko Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 6.2) diperoleh sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap risiko yang rendah. Berdasarkan tabel distribusi frekuensi, Menurut penulis, persepsi terhadap risiko dapat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan responden terhadap transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Jika tingkat pengetahuan responden baik maka akan terbentuk persepsi terhadap risiko yang baik. Namun, berdasarkan hasil data yang ditemukan sebagian responden memiliki pengetahuan terhadap transmisi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C yang Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 95
Universitas Indonesia
baik (61%) tidak diikuti dengan persepsi responden terhadap risiko yang baik, yaitu hanya 45,1 %. Ini artinya, responden mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan klinis yang dilakukan responden berpeluang tinggi untuk terinfeksi bloodborne pathogen tetapi responden menganggap penyakit infeksi ini tidak menimbulkan bahaya atau akibat yang serius. Hal ini mungkin disebabkan karena seperti yang diulas pada sub bab sebelumnya bahwa tingkat pengetahuan responden baru sekedar tahu tetapi belum memahami. Hasil penelitian didapatkan tidak ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian lain yang menyatakan ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan. Dejoras (1992) dan Donner (1990) menyatakan ada hubungan antara persepsi risiko dengan kepatuhan (Wolgater, et.al.2005). Menurut Otsubo (1988) persepsi risiko digunakan dalam penelitian mengenai tingkat perilaku kepatuhan dan dampaknya (Wolgater, et.al.2005). Teori lain yang mendukung bahwa persepsi terhadap risiko berhubungan dengan kepatuhan adalah konsep HBM (Health Belief Model). Menurut HBM, kemungkinan individu melakukan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua keyakinan atau penilaian kesehatan (health belief) yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness) dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (benefits and cost). Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap risiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul- betul merupakan ancaman kepada dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila ancaman yang dirasakan tersebut meningkat maka perilaku pencegahan juga akan meningkat (Machfoedz dan Eko, 2007). Namun, Beekmann, et.al. tidak membahas persepsi risiko sebagai variabel untuk melihat kepatuhan terhadap Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Standar (Henderson, 2001). Menurut Henderson, staf yang merasa dirinya berada pada risiko terinfeksi lebih mungkin untuk mematuhi pedoman Kewaspadaan Universal/Standar. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 96
Universitas Indonesia
Websters New Universal Un-abridged Dictionary (1983) menjelaskan bahwa risk is defined as the perceived chance of injury, damage, or loss. Perceived risk is considered important because it has the potential to influence peoples intent to seek out warning information and comply with warnings (Wogalter, Desaulniers, and Brelsford, 1987; DeJoy, 1989, 1991; Dingus, Wreggit, and Hathaway, 1993) dalam Wolgater, et.al. (2005). (Risiko yang dirasakan dianggap penting karena mempunyai potensi mempengaruhi niat seseorang untuk mencari tahu mengenai informasi kewaspadaan dan akhirnya patuh terhadap kewaspadaan tersebut).
7.4 Risk Taking Personality Dari hasil analisis univariat diperoleh mayoritas memiliki sikap yang suka mengambil risiko. Namun, jika dilihat berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden, sebagian besar responden suka dengan pengalaman yang baru dan menarik (item pertanyaan 1) dan kehidupan yang menarik dan tak terduga (item pertanyaan 2). Akan tetapi, mayoritas responden tidak suka melakukan hal-hal yang berbahaya (item pertanyaan 3) dan mengambil risiko dalam hidup (item pertanyaan 4). Penggambaran risk taking personality yang kuat pada responden dapat dilihat dari jawaban responden yang setuju dengan ke empat item pertanyaan. Namun, hasil yang berbeda di peroleh pada hasil jawaban responden di RS PMI Bogor mengenai risk taking personality (merujuk pada paragraf sebelumnya). Hal ini terjadi karena konstruks pertanyaan pada kuesioner tidak secara tersurat menjelaskan hubungannya dengan kepatuhan terhadap penerapan pedoman Kewaspadaan Universal/Standar. Jadi, konstruks yang diadopsi masih bersifat umum. Selain itu, kuesioner merupakan hasil adopsi dari penelitian luar negeri yaitu kawasan Amerika yang budaya masyarakatnya sangat berbeda jauh dengan orang Asia, khususnya orang Indonesia. Oleh karena itu, risk taking personality sebagai risk taker tidak sesuai dengan budaya orang Indonesia dimana Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 97
Universitas Indonesia
kepribadiannya adalah orang yang tidak suka dengan hal-hal yang dapat membahayakan keselamatannya. Definisi risk-taking mengacu pada kecenderungan untuk terlibat dalam perilaku yang memiliki potensi menjadi berbahaya atau berbahaya, namun pada saat yang sama memberikan hasil yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang positif. Misalnya, mengebut atau menggunakan narkoba merupakan contoh perilaku risk-taking. Mereka sebagai risk-taker mungkin memiliki perasaan yang sangat puas atau senang saat melakukan hal tersebut. Akan tetapi, hal ini dapat menempatkan mereka pada risiko yang sangat berbahaya seperti pengebut mengalami kecelakaan sedangkan pengguna narkoba mengalami overdoses (www.ptsd.about.com). Jika dikaitkan dengan konteks perilaku pada perawat dan bidan misalnya tidak menggunakan APD dengan sengaja pada saat kontak dengan bahaya. Perilaku mereka yang demikian memiliki risiko bahaya yang serius tetapi ada perasaan yang puas saat jika melakukan perilaku yang berbahaya tersebut. Sedangkan risk-taking personality adalah sikap seseorang terhadap perilaku berisiko (Mc Gorven, et.al., 2000). Salah satu faktor yang harus ditinjau adalah petugas kesehatan dengan kepribadiannya yang suka mengambil risiko (risk-taking personality) (Gershon, et.al., 1995). Petugas kesehatan yang mempunyai kepribadian seperti itu, diperlukan perhatian khusus dari komite K3 atau manajemen risiko (McGovern, et.al., 2000). Individu dengan kecenderungan suka mengambil risiko dapat diberikan dukungan pengawasan yang kuat serta konseling untuk kesehatan karyawan jika tersedia. Banyak rumah sakit sekarang membutuhkan konseling bagi karyawannya (Gershon, et.al., 1995). Berdasarkan analisis didapatkan tidak ada hubungan antara risk-taking personality dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar (P value= 0,642). Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa kepatuhan berhubungan dengan risk- taking personality (DeJoy, 2000; McGorven, et.al., 2000). Pada hasil penelitian Mc Gorven tersebut didapatkan bahwa responden yang kurang tertarik dengan perilaku berisiko 1,9 kali lebih patuh terhadap Kewaspadaan Universal. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 98
Universitas Indonesia
Menurut penulis, penyebab ketidak bermaknaan hubungan disebabkan oleh jawaban responden yang tidak secara jelas memperlihatkan risk-taking personality-nya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kuesioner yang dipakai merupakan adopsi dari penelitian diluar negeri dimana sangat berbeda budayanya dengan orang Indonesia. Selain itu, item pertanyaan juga tidak secara tersurat mencantumkan hubungannya dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Hal ini menjadi indikasi, responden tidak memahami maksud pertanyaan bahwa item-item pertanyaan tersebut merujuk pada kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Oleh karena itu, diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan pengembangan kontruk kuesioner terkait variabel risk-taking personality yang jelas dan sesuai dengan sosiodemografi orang Indonesia.
7.5 Efficacy of Prevention Berdasarkan hasil analisis data, didapatkan sebagian besar responden mempunyai efficacy of prevention yang tinggi. Hasil ini juga sesuai dengan temuan pada distribusi frekuensi jawaban responden terhadap efficacy of prevention dimana masing-masing item pertanyaan diperoleh jawaban sangat setuju dan setuju. Ini artinya tidak ada masalah dengan self efficacy perawat dan bidan , karena mereka sudah memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa mereka mampu mencegah terpajan dengan penyakit infeksi lewat darah (bloodborne infection) dengan mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara variabel efficacy of prevention dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan penelitian yang lain. DeJoy.et.al.,(1995) menyatakan ada hubungan antara efficacy of prevention dengan penerapan kepatuhan perawat dan bidan dengan KU/KS, yaitu diperoleh nilai P value = <0,001. Penyebab terjadinya perbedaan hasil yang didapat menurut penulis adalah karena tingginya beban kerja perawat dan bidan sehingga walaupun responden memiliki efficacy of Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 99
Universitas Indonesia
prevention yang tinggi, responden tidak dapat selalu menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Efficacy of prevention pada individu akan terwujud apabila didukung dengan efektivitas tindakan pencegahan (precautionary) yang ada serta persepsi individu itu sendiri terhadap kemampuannya untuk berhasil mengikuti precautionary tersebut (self-efficacy). Self- efficacy dapat dikembangkan melalui pendidikan/pelatihan dan skill-building exercise (DeJoy, 1996). Self Efficacy dapat didefinisikan sebagai sejauh mana individu meyakini mereka mampu menghadapi tantangan dalam hidup. Kemampuan diri membentuk bagian teori kognitif sosial dari Bandura (Bandura 1986) yang yakin bahwa perilaku dipelajari, melalui modeling, visualisasi, pemantauan diri, dan pelatihan keterampilan (Niven, 2000). Jikadilihat berdasarkan hasil tabel silang (Tabel 6.13) terlihat ada kecenderungan bahwa semakin tinggi efficacy of prevention responden semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Didasari pada hasil temuan ini, peneliti menyarankan untuk dilakukan pendidikan dan pelatihan secara berkala. Output dari hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberi dampak pada peningkatan efficacy of prevention yang lebih signifikan pada petugas kesehatan di RS PMI Bogor sehingga kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar dapat berlangsung optimal.
7.7 Hambatan Penerapan Kewaspadaan Universal/Standar Dari hasil temuan data diperoleh bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi tidak mempunyai hambatan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Namun, jika ditinjau dari masing-masing jawaban pada item pertanyaan, pada item pertanyaan pertama diperoleh jawaban yang cukup beragam. Hanya 52 % responden yang memiliki persepsi bahwa waktu yang kurang bukan menjadi penghambat untuk menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Ini artinya, faktor ketidakcukupan waktu menjadi penyebab kurangnya kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Menurut Kelen, et.al., 1990 dalam DeJoy (1995), ketidakcukupan waktu menjadi alasan yang kuat Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 100
Universitas Indonesia
pada ketidakpatuhan. Oleh karena itu, perlu diberikan pelatihan mengenai manajemen waktu yang baik bagi perawat dan bidan. Salah satu tujuan manajemen waktu adalah untuk membantu individu itu sendiri menjadi sadar tentang bagaimana menggunakan waktunya sebagai salah satu sumber daya dalam mengorganisir, memprioritaskan dan keberhasilan dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, pekerjaan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dengan hasil pekerjaan yang diperoleh akan lebih berkualitas. Sedangkan sisanya (48%) responden memiliki persepsi sebaliknya, yaitu responden memiliki persepsi bahwa item pertanyaan selain item yang telah disebutkan diatas bukan penghambat penerapan pedoman Kewaspadaan Universal/Standar. Menurut analisa penulis, baiknya persepsi terhadap item item pertanyaan tersebut dapat ditinjau dari lama kerja responden. Hampir 80% perawat dan bidan memiliki masa kerja yang lama, yaitu 22 tahun keatas. Lama kerja yang lama tentunya memiliki pengalaman kerja yang banyak pula khususnya bagaimana menghadapi padatnya tugas pekerjaan. Oleh karena itu, sebagian besar responden karena sudah memiliki lama kerja yang lama maka faktor-faktor penghambat seperti padatnya tugas pekerjaan, kebutuhan mendahului melayani kebutuhan pasien, dan sebagainya, bukan penghalang untuk patuh terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara hambatan dalam penerapan KU/KS dengan kepatuhan perawat dan bidan dengan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan ada hubungan yang bermakna hambatan penerapan KU/KS dengan kepatuhan (DeJoy, et.al., 1995; Kermode et.al., 2005). Namun, berdasarkan hasil analisis tabel silang (Tabel 6.13) diperoleh infomasi, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi responden mengganggap tidak ada hambatan semakin tinggi tingkat kepatuhan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Standar. Berdasarkan studi yang dilakukan NIOSH (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998) mengungkapkan petugas kesehatan yang memiliki persepsi terhadap konflik antara kebutuhan pekerjaan Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 101
Universitas Indonesia
dan perlindungan diri yang rendah memiliki peluang dua kali untuk patuh daripada mereka yang memiliki persepsi yang tinggi. Hambatan dalam menerapkan KU/KS yang dirasakan responden jelas mempengaruhi kemampuan dan kemauan petugas kesehatan untuk patuh dengan penerapan pedoman KU/KS (DeJoy, et.al., 1995). Hambatan penelitian ini dapat salah satu pengertiannya dapat diterjemahkan sebagai adanya konflik kepentingan antara melayani kebutuhan pasien dengan kebutuhan responden melindungi diri. Akibatnya, dalam situasi-situasi tertentu (keadaan emergensi), perawat dan bidan sering mengabaikan pedoman KU/KS, misalnya menggunakan APD.
7.8 Beban Kerja Berdasarkan hasil analisis data diperoleh mayoritas responden mempunyai beban kerja yang tinggi. Hasil ini juga didukung dari hasil distribusi frekuensi jawaban responden terhadap beban kerja dimana instrumennya diukur dengan menggunakan tiga item pertanyaan dan diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden menjawab sangat sering, sering dan cukup sering. Tingginya beban kerja kemungkinan dipengaruhi banyaknya pasien yang dirawat. Kedudukan RS PMI Bogor sebagai pusat rujukan kota Bogor menyebabkan angka kunjungan pasien juga tinggi. Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara variabel beban kerja dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian yang diperoleh sejalan dengan temuan penelitian yang lain. Berdasarkan penelitian dalam DeJoy (1995), salah satu faktor pekerjaan yaitu beban kerja ditemukan tidak dapat memprediksikan kepatuhan. Pendapat yang berbeda dinyatakan Kalimo, Mostafa A. El-Batawi, and Cary L. Cooper. (Ed) (1987). Beban kerja termasuk dalam salah satu variabel pemicu stress di lingkungan kerja. Salah satu cara stress dapat mempengaruhi kesakitan dan kesehatan adalah the health behavior route. Faktor beban kerja ini dapat menyebabkan dampak yang merugikan, termasuk perilaku. Stress dapat Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 102
Universitas Indonesia
secara langsung mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu (Smet, 1994). Berdasarkan teori ini, sangat jelas bahwa tingginya beban kerja dapat memicu stress di antara perawat dan bidan sehingga berperilaku tidak patuh terhadap kewaspadaan universal/standar. Penelitian lain juga menemukan bahwa workload, dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan dan masalah-masalah kesehatan (Smet, 1994). Pendapat yang sama juga diungkapkan Carayon dan Ayse (nd), kondisi beban kerja yang tinggi dapat membuat perawat lebih sulit untuk mengikuti peraturan dan pedoman, sehingga mengurangi kualitas dan keamanan dalam memberikan keperawatan pada pasien. Hasil penelitian yang diperoleh menyatakan tidak ada kemaknaan hubungan menurut penulis disebabkan karena sifat pekerjaan perawat dan bidan yang berbeda-beda. Pada pendistribusian kuesioner, responden yang mengisi kuesioner tersebut diantaranya ada yang bekerja di Poliklinik khusus dan regular; Rawat Inap, yang dapat diklasifikasikan menjadi kelas Eksekutif, VIP, Kelas I, Kelas II, dan Kelas III; kamar bersalin; ruang Hemodialisa; dan IGD. Carayon dan Ayse (nd) mengatakan bahwa menurut konseptual tingkat beban kerja tergantung pada jenis pekerjaan. Perawat yang bekerja di ruang ICU memiliki dampak beban kerja yaitu kejenuhan dan kinerja, dibandingkan dengan perawat di kamar operasi. Oleh karena itu, tingkat beban kerja masing-masing perawat tergantung tempat dimana dia bekerja.
7.9 Safety Climate (Iklim Keselamatan Kerja) Dilihat dari variabel iklim keselamatan kerja (safety climate), sebagian besar responden memiliki persepsi tidak baik mengenai dukungan manajemen terhadap keselamatan kerja di RS PMI Bogor. Padahal berdasarkan telaah data sekunder yang diperoleh, di RS PMI secara manajerial sudah mendukung terciptanya iklim keselamatan kerja terlihat dari struktur organisasi yang memiliki komite keselamatan kerja (K3) dan komite pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) lengkap dengan uraian tugas yang jelas. Selain itu juga sudah ada kebijakan terkait Kewaspadaan Universal, dan SOP mengenai Alat Pelindung Diri. Namun, menurut penulis kebijakan dan SOP kurang disosialisasikan sehingga petugas Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 103
Universitas Indonesia
kesehatan kurang mendapat pengetahuan mengenai praktik kerja aman dan kewaspadaan universal khususnya. Oleh karena itu, sebaiknya kebijakan dan SOP (poin-poin penting dari SOP) di tempatkan pada tempat yang mudah terlihat dan terbaca oleh petugas kesehatan. Dengan adanya langkah tersebut akan mengingatkan petugas kesehatan untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku. Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa ada hubungan antara variabel safety climate (iklim keselamatan kerja) dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini adalah sama dengan hasil temuan penelitian-penelitian yang lain dimana iklim keselamatan kerja berhubungan dengan tingkat kepatuhan diantara perawat (Kermode et.al., 2005; Brevidelli & Cianciarullo, 2009; DeJoy, et.al., 1995) Dalam suatu penelitian yang lain juga sejalan dengan hasil penelitian ini yang mengatakan ada hubungan yang signifikan antara iklim keselamatan kerja dengan kepatuhan KU/KS. Iklim keselamatan di tempat kerja merupakan faktor yang penting dalam kesehatan dan keselamatan kerja (Anderson, et.al., dalam Kirkland, 2011). Banyak penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan signifikan dengan kepatuhan, maka organisasi pelayanan kesehatan seharusnya menciptakan iklim keselamatan kerja yang positif, yaitu adanya komitmen untuk menjadikan keselamatan kerja sebagai sesuatu hal yang penting dan diprioritaskan, dimana komitmen tersebut diwujudkan baik dalam kata-kata maupun tindakan. Keselamatan kerja harus diintegrasikan ke dalam sistem manajemen organisasi, artinya keselamatan kerja harus ditangani/ dianggap penting dengan fungsi fungsi organisasi yang lain (Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed), 1998). Menurut CDC (2007) dalam Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Setting menjelaskan bahwa iklim keselamatan kerja adalah bagaimana persepsi pekerja dan manajemen tentang harapan keselamatan di lingkungan kerja. Sebuah iklim keselamatan kerja di rumah sakit mencakup enam komponen: (1) adanya dukungan top manajemen (pimpinan) untuk program keselamatan kerja, (2) tidak Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 104
Universitas Indonesia
adanya hambatan untuk melakukan praktik kerja aman, (3) kebersihan dan keteraturan tempat kerja, (4) minimalisasi konflik komunikasi antara petugasnya, (5) adanya feedback terkait keselamatan kerja yang berkala/pelatihan oleh supervisor, dan (6) ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) dan engineering control.
7.10 Safety Performance Feedback Berdasarkan hasil data univariat diperoleh bahwa sebagian responden memiliki persepsi yang tidak baik dengan safety performance feedback. Perihal terkait Safety performance feedback di RS PMI Bogor sudah diatur secara jelas. Aturan ini dituangkan dalam tugas dan tanggung jawabIPCLN (Infection Prevention and Control Link Nurse) yaitu memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan pencegahan dan pengendalian infeksi pada setiap personil ruangan di unit rawatnya masing-masing. Seperti pada safety climate, menurut penulis safety performance feedback kurang ditunjukkan pelaksanaannya. Hal ini mungkin karena petugas kesehatan juga kurang responsif dan partisipatif sehingga safety performance feedback kurang terlaksanakan. Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara variabel safety performance feedback dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Hasil penelitian ini tidak konsisten dengan temuan-temuan penelitian yang lain (DeJoy, et.al., 1995; Brevidelli & Cianciarullo, 2009) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara safety performance feedback dengan kepatuhan penerapan KU/KS. Safety performance feedback merupakan umpan balik yang baik yang bersifat formal maupun informal yang diterima dari pimpinan, supervisor, dan rekan kerja. Umpan balik yang bersifat formal misalnya penilaian kinerja. Sedangkan umpan balik yang bersifat informal cenderung lebih tidak tegas dan berhubungan dengan interaksi antara rekan kerja (DeJoy, et.al., 1995). Adanya safety performance feedback mendukung perawat dan bidan melakukan praktik kerja yang aman, karena ada umpan balik baik dari atasan maupun rekan kerja yang didapat apabila mereka melakukan praktik kerja yang Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 105
Universitas Indonesia
salah. Begitu juga sebaliknya, apabila mereka telah melakukan praktik kerja aman diberikan penghargaan. Tentunya, adanya pemberiaan penghargaan baik dari atasan maupun rekan kerja (misalnya pujian) akan meningkatkan perilaku kepatuhan.
7.11 Pelatihan dan Ketersediaan APD Untuk variabel pelatihan dan ketersediaan APD, responden yang memiliki persepsi mengenai pelatihan dan ketersediaan APD yang baik adalah sama dengan responden yang memiliki persepsi terhadap pelatihan dan ketersediaan APD yang tidak baik. Berdasarkan distribusi frekuensi jawaban responden meunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden menjawab setuju dan sangat setuju untuk item pertanyaan variabel ini. Selain itu, berdasarkan telaah dokumen data sekunder, pelatihan dan ketersediaan sarana dan prasarana salah satunya APD juga sudah dalam kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) dan juga K3. Namun kemungkinan intensitas pelaksanaannya masih kurang berkala sehingga hanya sebagian responden yang memiliki persepsi yang baik terhadap hal tersebut. Hasil penelitian untuk variabel ini diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara variabel pelatihan dan ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat dan bidan dalam menerapkan Kewaspadaan Universal/Standar. Dalam penelitian juga didapat nilai OR, yaitu 5,87. Ini artinya, responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD baik mempunyai peluang 5,87 kali untuk patuh terhadap penerapan KU/KS dibanding dengan responden yang menganggap pelatihan dan ketersediaan APD tidak baik. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya (Y.Luo, et.al., 2010; Kermode et.al., 2005; DeJoy, et.al., 1995; McGovern, 2000) yang menemukan bahwa ada hubungan antara ketersediaan APD dengan kepatuhan perawat. Hasil penelitian lain oleh Pinem (2003) menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini. Petugas kesehatan harus dilatih tentang penggunaan APD yang benar dan pelatihan ini harus berhubungan erat dengan tugas pekerjaan dan prosedur tertentu. Selain itu, pelatihan penggunaan APD sebagai upaya untuk mengurangi Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 106
Universitas Indonesia
hambatan yang terkait dengan penggunaan APD oleh petugas kesehatan, misalnya ketidaknyaman, kelupaan dan ketidak terbiasaan dalam menggunakan APD (DeJoy, et.al.,1995). Menurut teori Green, et.al., (1980) menjelaskan salah satu faktor determinan perilaku adalah faktor pemungkin, yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor-faktor tersebut misalnya tersedianya sarana dan prasarana. Dalam konteks kepatuhan dengan KU/KS, ketersediaan sarana dan prasarana yaitu adanya fasilitas yang mendukung pekerja untuk melaksanakan kewaspadaan universal/standar, misalnya adanya sarana dan prasarana cuci tangan, alat pelindung diri (APD), bahan/perlengkapan untuk desinfektan dan sterilisasi, dan perlengkapan untuk penanganan benda tajam dan pengelolaan sampah medis. Samsuridjal (1997) dalam Pinem (2003), menyatakan bahwa penerapan kewaspadaan universal di suatu layanan kesehatan akan tergantung antara lain pada tersedianya peralatan medik dan sarana ynag dibutuhkan. Ketersediaan dan kemudahan mendapatkan Alat Pelindung Diri merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam mematuhi Kewaspadaan Standar (Y.Luo, et.al., 2010). Pelatihan, baik pelatihan keselamatan kerja dan kewaspadaan universal/standar adalah upaya yang sangat penting untuk dilaksanakan di pelayanan kesehatan. Dengan adanya pelatihan, perawat dan bidan dapat mendapatkan pengetahuan dan informasi-informasi terbaru terkait pekerjaannya sehingga mereka mengetahui bagaimana perilaku praktik kerja aman.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
107 Universitas Indonesia
BAB 8 KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kepatuhan perawat dan bidan dalam penerapan Kewaspadaan Universal/Standar maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Sebagian besar (52,4 %) perawat dan bidan sudah memiliki tingkat kepatuhan yang baik. 2. Faktor faktor yang tidak berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar antaralain: faktor individu (pengetahuan tentang transmisi penularan HIV, HBV,dan HCV, persepsi terhadap risiko, risk-taking personality, efficacy of prevention), faktor pekerjaan (hambatan dalam penerapan UP/SP, beban kerja) dan faktor organisasi (safety performance feedback). 3. Faktor faktor secara signifikan berhubungan dengan kepatuhan penerapan Kewaspadaan Universal/Standar adalah faktor organisasi: iklim keselamatan kerja (safety climate) dan pelatihan dan ketersediaan APD.
8.2 Saran 8.2.1 Bagi Manajemen Pengendalian Infeksi dan Keselamatan Kerja di RS PMI Bogor 1. Memberikan pengetahuan dan melatih keterampilan kepada petugas kesehatan melalui pengadaan pendidikan dan pelatihan yang berkala mengenai kewaspadaan universal/standar dan penggunaan APD, serta melakukan pelatihan tentang manajemen waktu sehingga petugas kesehatan dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien. 2. Menyediakan fasilitas sarana dan prasarana misalnya menyediakan kontainer benda tajam di ruangan dan diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau oleh petugas kesehatan. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 108
Universitas Indonesia
3. Mensosialisasikan kebijakan dan SOP (poin-poin penting dari SOP) terkait kewaspadaan universal dan Alat Pelindung Diri, dengan cara memasang kebijakan dan SOP tersebut di tempat-tempat yang mudah terlihat dan terbaca dengan jelas oleh petugas kesehatan. 4. Sebagai umpan balik dari performance petugas kesehatan, dapat diberi penghargaan setiap bulan dengan cara memberikan sertifikat petugas kesehatan terbaik (Staf of the Month) yang telah melakukan safe work practice.
8.2.2 Bagi Penelitian Selanjutnya Agar dilakukan penelitian selanjutnya sehingga memperoleh hasil analisis yang mendalam mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan Kewaspadaan Universal/Standar.
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011
109 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Anonim. Langkah Mencuci Tangan. http://ginaseptiani.blogspot.com (4 Desember 2011) Albery, Iann P. and Marcus Munafo.2008. Key Concepts in Health Phychology. London: SAGE Publication Basuki, Endang dan Hadi S. Topobroto. 2007. Advokasi sebagai Usaha untuk Membangun Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Masyarakat. Majalah Kedokteran, 57 (3): 135 - 139. Benedetto, et.al. 2011. What causes an improved safety climate among staff of a dyalisis unit? Report of an evaluation in a large network. JNEPHROL, 34 (05): 604-612 Brevidelli, Maria Meimei and Tamara Iwanow Cianciarullo. 2009. Rev Saude Publica, 43 (9): 1-10. CDC. 2007. Guideline for Isolation Precautions: Preventing Transmission of Infectious Agents in Healthcare Setting, http://cdc.gov/hicpac/pdf/isolation/isolation2007.pdf (16 Januari 2012) Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi (Terj. dari Handbooks of Pathophysiology, Brahm U. Pendit). Jakarta : EGC DeJoy, David M. Lawrence R. Murphy & Robyn M. Gershon.1995. The Influence of employee, job/task, and organizational factors on adherence to universal precautions among nurses. International Journal of Industrial Ergonomics 16: 43-55. DeJoy, David M. 1996. Theoretical Models of Health Behavior and Workplace Self-Protective Behavior. Journal of Safety Research, 27 (2) : 61-72 DeJoy, David M., Cynthia A. Searcy & Lawrence R. Murphy. Behavioral- Diagnostic Analysis of Compliance With Universal Precautions Among Nurses. Depkes. 2003. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal. Jakarta: Depkes RI. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 110
Universitas Indonesia
Duerink, D.O., et.al. 2006. Preventing nosocomial infections: improving compliance with standard precautions in an Indonesian teaching hospital. Journal of Hospital Infection (64): 36 -43. Efstathiou, Georgios, Evridiki Papastavio, Vasilios Raftopoulos, Anastasios Merkouris. 2011. Factors Influencing Nurses Compliance with Standard Precautions in order to Avoid Occupational Exposure to Microorganisms: A Focus Group Study. BMC Nursing, 10 (1): 1-12. Emaliyawati, Etika. 2009. Makalah. Tindakan Kewaspadaan Universal Sebagai Upaya untuk Mengurangi Risiko Penyebaran Infeksi. Universitas Padjadjaran. Feyer, Anne-Marie and Ann Williamson (ed). 1998. Occupational Injury: Risk, Prevention, and Intervention. UK: Taylor and Francis Franklin, Okechukwu Emeka. 2009. MPH Thesis. The Knowledge and Practice of Standard Precautions among Health Care Workers in Public Secondary Health Facilities in Abuja, Nigeria. University of South Africa. Gershon, Robyn R.M. et.al. 1995. Compliance with Universal Precautions among Health Care Workers at Three Regional Hospitals. AJIC Am J Infect Control, 23 : 225-236 Green, Laurence, W. et.al. 1980. Health Education Planning: A Diagnostic Approach, California: Mayfield Publisher. Hastono, Sutanto Priyo. 2007. Modul Analisis Data Kesehatan. Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat Hastono, Sutanto Priyo dan Luknis Sabri. 2008. Statistik Kesehatan.Jakarta: Rajawali Pers. Healey, Benard J. and Kenneth T. Walker. 2009. Introduction to Occupational Health in Public Health Practice.USA: John Willey & Sons. Henderson, David K. (2001). Raising the Bar: The Need for Standardizing the Use of Standard Precautions as a Primary Intervention to Prevent Occupational Exposures to Bloodborne Pathogens. Infection Control and Hospital Epidemiology, 22 (2) : 70-72
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 111
Universitas Indonesia
Hermana, Agus Dwi, 2006. Tesis. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Luka Tusuk Jarum atau Benda Tajam Lainnya pada Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Cianjur. Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat Janjua, Naveed Z., et.al., 2007. Poor Knowledge Predictor of Nonadherence to Universal Precautions for Blood Pathogens at First Level Care Facilities Pakistan. BMC Infectious Diseases, 7 (81). Kalimo, Raija, Mostafa A. El-Batawi, and Cary L. Cooper. (Ed). 1987. Phychosocial Factors at Work. (Ed). WHO Geneva. Kermode, Michelle, et.al., 2005. Compliance with Universal/Standard Precautions among Health Care Workers in Rural North India. AIIC, 33 (1): 27-33. Kirkland, Katherine Hayes. 2011. Dissertation Thesis. Nurses and Standard/Universal Precautions Analysis of Barriers Affecting Strict Compliance. The Faculty of The School of Public Health and Health Services the George Washington. Levenson, Michael. 1990. Risk Taking and Personality. Journal of Personality and Social Psychology, 58 (6): 1073-1080 Machfoedz, Ircham dan Eko Suryani. 2007. Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan Masyarakat.Yogyakarta: Fitramaya. McCulloch, Janet. 2000. Infection Control: Science, Management and Practice. USA: Whurr Publishers. McGovern, Patricia M, Donald Vesley, Laura Kochevar, Robyn R.M. Gershon, Frank S. Rhame, Elizabeth Anderson (2000). Factors Affecting Universal Precautions Compliance. Journal of Business and Psychology, 15 (1): 149- 161. Mehta, A., et.al., 2010. Interventions to Reduce Needlestick Injuries at A Tertiary Care Centre. Indian Journal of Medical Microbiology, 1 (28): 17-20. Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 112
Universitas Indonesia
Niven, Neil. 2000. Psikologi Kesehatan : Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain (Terj. Agung Waluyo). Edisi ke-2. Jakarta: ECG Norsayani, Mohamad Yaakob and Ismail Noor Hasyim. 2003. Study on Incidence of Needlestick Injury and Factors Associated with This Problem among Medical Students. J Occup Health 45:172-178 Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam dan Ninuk Dian Kurniawati, 2011. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeks. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika. Pinem, Saroha. 2003. Tesis. Penerapan Kewaspadaan Universal oleh Bidan dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Puskesmas Kecamatan Wilayah Jakarta Timur Tahun 2003. Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Reda, Ayalu A., Shiferaw Fisseha, Bezaty Mengistie, Jean-Michel Vandeweerd. 2010. Standard Precautions: Occupational Exposure and Behavior of Healthcare Workers in Ethiopia. PLoS ONE, 5 (12). Sadoh, Wilson E., et.al., 2006. Practice of Universal Precautions among Healthcare Worker. Journal of The National Medical Association, 98 (5): 727 726. Environmental Health & Safety. Sharp Safety. http://utexas.edu/safety/ehs (30 September 2011). Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Grasindo Sulastri. 2001. Tesis. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kepatuhan Petugas Kamar Bedah dalam Menerapkan Kewaspadaan Universal di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Tahun 2001. Universitas Indonesia: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Tull, Matthew, 2009. Risk Taking, http://ptsd.about.com (19 Januari 2012). Weston, Debbie. 2008. Infection Prevention and Control: Theory and Clinical Practice for Healthcare Professionals. England: John Wiley & Sons, Ltd. WHO. 2008. Penerapan Kewaspadaan Standar di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 113
Universitas Indonesia
WHO. 2010. WHO best practices for injections and related procedures toolkit, http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241599252_eng.pdf (16 Januari 2012). Wicker, Sabine, Juliane Jung, Regina Allwinn, Rene Gottschalk, & Holger F. Rabenau. 2008. Prevalence and Prevention of Needlestick Injuries among Healthcare Workers in a German University Hospital, Int Arch Occup Environ Health (81): 347-354. Wogalter, Michael S., David M.DeJoy, & Kenneth R.Laughery.(eds). 2005. Warnings and Risk Communication.Taylor & Francis e-Library. Yang Luo, Guo-Ping He, Jijan-Wei Zhou, & Ying Luo. 2010. Factors impacting compliance with standard precautions in nursing, China. International Journal of Infections Disease 14: 1106-1114 Yayasan Spiritia. 2009. Kewaspadaan Universal. http://spriritia.or.id/ (13 Desember, 2011) Yayasan Spiritia. Infeksi Nosokomial dan Kewaspadaan Universal. http://spriritia.or.id/ (13 Desember, 2011)
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN PERAWAT DAN BIDAN DALAM PENERAPAN KEWASPADAAN UNIVERSAL/ KEWASPADAAN STANDAR DI RS PMI BOGOR TAHUN 2011
Dengan hormat, Dengan ini saya sampaikan bahwa saya Ayu Sahara, mahasiswa Program Sarjana Reguler Jurusan Manajamen Rumah sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang sedang menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan melakukan penelitian tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kepatuhan Perawat dan Bidan dalam Penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar di RS PMI Bogor Tahun 2011 Sehubungan dengan hal tersebut mohon kesediaan Saudara untuk berpartisipasi sebagai responden dalam penelitian saya. Saya sangat mengharapkan kerjasama dari Saudara untuk mengisi kuesioner ini dengan sejujur-jujurnya. Jawaban Saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan tidak akan mempengaruhi keberadaan dan proses pelayanan di rumah sakit ini. Atas partisipasi dan kerjasama Saudara, saya ucapkan terimakasih.
Kuesioner ini hanya untuk keperluan penelitian sehingga jawaban yang Saudara/i berikan tidak akan berpengaruh terhadap penilaian kinerja Saudara/i. Oleh sebab itu, mohon kiranya dapat diisi dengan lengkap dan sejujur-jujurnya.
Petunjuk Pengisian: Mohon dijawab sesuai dengan pendapat Saudara, dengan cara mengisi jawaban pada titik-titik dan memberi tanda silang (X) atau () pada kotak jawaban yang tersedia.
1. Umur Responden : .. tahun 2. Jenis Kelamin : Laki-Laki Perempuan
3. Pendidikan Terakhir : SPK/ SLTA S1 Diploma S2 4. Lama Kerja : tahun 5. Jumlah Jam Kerja per Minggu : jam
Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 A. Kepatuhan
Ket: SL: Selalu SR: Sering KD: Kadang-Kadang JR: Jarang TP: Tidak Pernah
1. Saya membuang peralatan/benda tajam ke dalam kontainer benda tajam.
2. Saya mencuci tangan setelah melepaskan sarung tangan sekali pakai.
3. S aya memakai kain pelindung/ celemek yang anti tembus darah dan cairan tubuh setiap kali ada kemungkinan baju saya terkotori oleh aktivitas pekerjaan.
4. S aya memakai sarung tangan sekali pakai setiap kali ada kemungkinan terkena darah dan cairan tubuh lainnya.
5. S aya memakai google setiap kali ada kemungkinan terkena cipratan cairan ke mata saya.
6. S aya memakai masker sekali pakai setiap kali ada kemungkinan terkena cipratan cairan ke mulut saya.
7. S aya membuang semua benda yang mungkin terkontaminasi ke dalam plastik khusus untuk sampah biomedis.
8. S aya menghapus dengan desinfektan semua cairan yang keluar dari tubuh pasien.
9. S aya tidak makan atau minum ketika sedang bekerja di area yang berpotensial terkontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya.
10. S aya berhati-hati ketika menggunakan pisau bedah atau benda tajam lainnya.
11. Jika terdapat kontainer benda tajam, saya tidak menutup kembali (recapping) jarum suntik yang terkontaminasi dengan darah.
SL SR KD JR TP Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 B. Pengetahuan tentang penularan penyakit infeksi (HIV, HBV, dan HBC) Ket SS: Sangat Setuju S: Setuju RG: Ragu-Ragu TS: Tidak Setuju STS: Sangat Tidak Setuju
1. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika menekan bagian yang mengalami perdarahan tanpa menggunakan sarung tangan.
2. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika terluka dengan benda tajam yang terkontaminasi.
3. Saya dapat terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika mengambil sampel darah pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan sarung tangan.
4. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika mulut atau mata saya terkena percikan darah pasien yang positif terinfeksi HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C
5. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B, dan Hepatitis C jika membalut luka pasien yang terinfeksi tanpa menggunakan sarung tangan.
6. Saya dapat tertular HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C jika melakukan resusitasi kardiopulmoner mulut ke mulut dengan pasien yang terinfeksi HIV.
C. Pelatihan APD dan Ketersediaan APD
1. Perawat dan Bidan dilatih tentang Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
2. Saya mendapat kesempatan untuk dilatih secara baik dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
3. Di unit saya bekerja, atasan mendorong pegawainya untuk menghadiri seminar keselamatan.
4. Rumah sakit saya mengadakan seminar khusus tentang penyakit yang ditularkan melalui darah.
SS S RG TS STS SS S RG TS STS SS S RG TS STS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 5. Di unit saya, tersedia semua kebutuhan dan peralatan yang diperlukan untuk melindungi saya bekerja.
6. Tersedia semua kebutuhan peralatan dan perlengkapan untuk menghindari saya kontak dengan penyakit infeksi (HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C).
D. Hambatan dalam penerapkan UP/SP
1. Kadang-kadang saya tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar dalam melakukan tindakan keperawatan.
2. Mengikuti pedoman Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar membuat kerja saya lebih berat.
3. Saya tidak bisa selalu menerapkan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar karena kebutuhan untuk melayani pasien lebih diutamakan.
4. Padatnya tugas sehari-hari menjadi penghalang saya untuk mematuhi Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
5. Mengikuti Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar membuat saya tidak mampu bekerja dengan sebaik-baiknya.
6. Saya tidak terbiasa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD).
E. Risk Taking Personality
1. Saya lebih suka pengalaman yang baru dan menarik.
2. Saya melakukan hal-hal yang berbahaya kadang-kadang hanya untuk mencari kesenangan.
3. Saya suka mengambil risiko dalam hidup saya.
4. Saya lebih suka kehidupan yang menarik dan tak terduga.
SS S RG TS STS SS S RG TS STS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 F. Efficacy of Prevention
1. Jika Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar diterapkan pada semua pasien, risiko saya untuk terkena HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C adalah sangat rendah.
2. Saya dapat mengurangi risiko saya terinfeksi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis Cdengan cara mematuhi Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
3. Jika saya menggunakan sarung tangan sekali pakai, saya akan terlindungi dari kontaminasi penyakit infeksi (HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C).
G. Persepsi terhadap Risiko
1. Risiko saya terinfeksi HIV pada waktu saya bekerja adalah rendah.
2. Ada risiko tinggi yang mengancam saya di tempat saya bekerja.
3. Di pekerjaan saya, ada kemungkinan saya terkena infeksi HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C.
H. Dukungan Manajemen untuk Praktik Kerja yang Aman
1. Di rumah sakit ini, pegawai, supervisor, dan manajer bekerja bersama-sama untuk memastikan kondisi kerja yang aman.
2. Di rumah sakit ini, ada tindakan yang diambil untuk meminimalkan tugas-tugas pekerjaan yang berbahaya.
3. Di rumah sakit ini, pimpinan ikut terlibat terlibat dalam kegiatan Kewaspadaan universal/Kewaspadaan Standar.
4. Supervisor saya peduli akan keselamatan saya pada waktu bekerja.
5. Di rumah sakit ini, ada komite/panitia keselamatan.
6. Di tempat saya bekerja, saya bebas melaporkan kejadian pelanggaran aturan keselamatan bekerja.
SS S RG TS STS SS S RG TS STS SS S RG TS STS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 7. Perlindungan pekerja terhadap pajanan penyakit infeksi (HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C) merupakan hal yang diutamakan oleh pimpinan di rumah sakit ini.
I. Safety Performance Feedback
1. Di rumah sakit ini, supervisor akan melakukan koreksi jika ada yang melakukan praktik kerja tidak aman.
2. Karyawan akan ditegur jika tidak mematuhi Kewaspadaan Universal/ Kewaspadaan Standar.
3. Atasan saya, mendukung saya untuk menerapkan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar.
4. Di tempat saya bekerja, kepatuhan karyawan terhadap penerapan Kewaspadaan Universal/Kewaspadaan Standar adalah bagian dari evaluasi karyawan.
5. Di rumah sakit ini, rekan kerja akan melakukan koreksi jika ada teman kerjanya yang melakukan praktik kerja tidak aman.
J. Beban Kerja
Ket: SS: Sangat Sering S: Sering CS: Cukup Sering TS: Tidak Sering STS: Sangat Tidak Sering
1. Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk bekerja dengan sangat cepat?
2. Seberapa sering Anda harus menyelesaikan pekerjaan yang banyak dalam waktu sempit?
3. Seberapa sering pekerjaan Saudara mengharuskan Saudara untuk bekerja keras?
- TERIMA KASIH - SS S RG TS STS SS S CS TS STS Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 Lampiran1: Struktur Organisasi PENGURUS PUSAT PMI BADAN PENGAWAS DIREKTUR KOMITE MEDIK WAKIL DIREKTUR YANMED WAKIL DIREKTUR ADMINISTRASI DAN KEUANGAN PANITIA/ KOMITE KABID REKAM MEDIS KA DIVISI OPERASIONAL II KA DIVISI OPERASIONAL I KABID KEPERAWATAN KABID PENGADAAN LOGISTIK KABID SEKRETARIAT KABID KEUANGAN KABID SDM KABID PS PPRS Inst. Gawat Darurat Inst. Bedah Sentral Inst. Perawatan Intensif Inst. Radiologi Inst. Laboratorium Inst. Hemodialisasi dan Bank Darah Lampiran Surat Keputusan Direktur Nomor : I. 010/KPTS/XI/2009 Tanggal : 03 November 2009 Tentang : STRUKTUR ORGANISASI RS PMI BOGOR Inst. Rawat Inap Inst. Rawat Jalan Inst. Rehab. Medik Inst. Farmasi Inst. Gizi Inst. Forensik Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011 Lampiran1: SOP APD Faktor faktor yang ..., Ayu Sahara, FKM UI, 2011