p1 Vitb1
p1 Vitb1
p1 Vitb1
I. TUJUAN Mampu melakukan penetapan kadar Thiamin HCl pada sediaan injeksi vitamin B1
II. PENDAHULUAN Kimia farmasi analisis melibatkan penggunaan sejumlah teknik dan metode untuk memperoleh aspek kualitatif, kuantitatif, dan informasii struktur dari suatu senyawa obat pada khususnya, dan dari bahan kimia pada umumnya. Analisis kualitatif merupakan analisis untuk melakukan identifikasi elemen, spesies, dan atau senyawa-senyawa yang ada di dalam sampel. Analisis kuantitatif adalah analisis untuk menentukan jumlah (kadar) absolut atau relatif dari suatu elemen atau spesies yang ada di dalam sampel. Sedangkan analisis struktur adalah penentuan letak dan pengaturan ruang tempat atom dalam suatu elemen atau molekul, serta identifikasi gugus-gugus karakteristik. (Gandjar dan Abdul, 2012) Penggunaan teknik dan metode analisis untuk memperoleh aspek kuantitatif, kualitatif, dan informasi strukutur dari senyawa obat pada khususnya, dan bahan kimia pada umumnya. Tehnik analisis hanya merujuk pada pengukuran dan evaluasi hasil pengukuran. Metode analisis merujuk pada penetapan kadar senyawa tertentu dan evaluasi hasil pengukuran, sedangkan prosedur analisis merupakan serangkaian proses mulai dari penyiapan sampel sampai sampai evaluasi hasil pengukuran. Dalam setiap analisis, pemilihan metode merupakan masalah yang terpenting. Pemilihan suatu metode analisis harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : Tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan, serta waktu yang diperlukan Level analit yang diharapkan dan batas deteksi yang diperlukan Macam sampel yang akan dianalisis seta pra perrlakuan sampel yang dibutuhkan Jumlah sampel yang dianalisis Ketepatan dan ketelitian yang diinginkan untuk analisi kuantitatif Ketersediaan bahan rujukan, senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhhkan Peralatan yang tersedia Kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi atau pada saat pengukuran sampel
Metode yang baik seharusnya memenuhi beberapa kriteria, yaitu metode harus : Peka (sensitive), artimya metode harus dapat digunakan untuk menetapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil Tepat (precise), artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran (penetapan) Teliti (accurate), artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain Kasar (rugged), artinya adanya perubahan komposisi pelarut atau variasi lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis Praktis, artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak memerlukan waktu dan biaya ( Gandjar dan Abdul, 2012)
Dalam praktiknya sangat sulit memperoleh metode yang memenuhi kriteria di atas. Syarat mana yang diutamakan, sangat tergantung pada sifat sampel yang dianalisi. Apabila senyawa yang dianalisis dalam sampel konsentrasinya sangat kecil, misalnya zat beracun, maka kepekaaan metode merupakan syarat utama. Tetapi, jika dalam sampel terdapat banyak senyawa misalnya dalam sediaan farmasi, maka diperlukan metode dengan selektifitas yang tinggi.
Walaupun untuk memenuhi semua persyaratan di atas sulit dicapai, namun sekurangkurangnya suatu metode analisis harus memenuhi syarat ketepatan, ketelitian, dan selektifitas. Dalam hubungan ini, Farmakope Indonesia mensyaratkan suatu metode baru hanya dapat digunakan apabila metode tersebut sekurang-kurangnya memberikan ketepatan, ketelitian, dan selektifitas yang sama dengan metode resmi dalam Farmakope Indonesia.
Pada dasarnya setiap pengukuran dalam analisis kimia selalu mengandung kesalahan. Istilah kesalahan didasarkan pada perbedaan antara hasil pengukuran (nilai perhitungan) dengan nilai sebenarnya. Nilai sebenarnya dari suatau kuantitas yang diukur merupakan sesuatu yang tidak pernah diketahui secara langsung.
Kesalahan gamblang merupakan kesalahan yang sudah jelas karena melibatkan kesalahan yang besar, akibatnya kita harus mengabaikan percobaan yang telah kita lakukan dan
memulainya dari awal lagi secara menyeluruh. Contohnya adalah sampel tumpah, pereaksi yang akan digunakan tercemar, larutan yang dipersiapkan salah, dan alat yang digunakan rusak.
Kesalahan acak merupakan kesalahan yang nilainya tidak dapat diramalkan dan tidak ada yang mengaturnya serta nilainya berfluktuasi. Sedangkan kesalahan sistemik merupakan kesalahan yang mempunyai nilai definitive (nilai tertentu).
Pengetahuan yang baik tentang proses sampling (pengambilan sampel) dan tujuan analisis dapat menghindarkan dari kesalahan analasis. Tingkat kepercayaan terhadap data analisis juga sangat bergantung bagaimana suatu sampling dilakukan. Analisis yang baik haruslah sudah mengetahui akan pentingnya sampling, penyiapan sampel, pra-perlakuan sampel, serta cara-cara pemindahan dan penyiapan sampel yang benar.
Suatu hasil analisis dikatakan teliti (accurate) jika nilai rata-rata hasil pengukuran sangat dekat dengan nilai sebenarnya, sedangkan suatu analisis dikatakan tepat (precise) jika dalam satu seri pengukuran mempunyai selisih yang sangat kecil antar satu nilai dengan nilai yang lain. Dalam banyak hal, sediaan obat atau sampel secara umum tidak dapat dianalisis secara langsung tanpa terlebih dahulu dilakukan perlakuan awal terhadap sampel tersebut. Obat adalah suatu bahan atau paduan bahan yang dimaksudkan untuk digunakan untuk menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala-gejala penyakit, luka-luka, kelainan pada manusia atau hewan dan untuk memperindah badab atau bagian badan lainnya. (Ansel, 2005) Obat memiliki berbagai macam bentuk sediaan, diantaranya berupa sediaan injeksi. Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. (Anief, 2005) Injeksi dilakukan dengan melarutkan, mengemulsikan, atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. Pembuatan sediaan yang akan digunakan untuk injeksi, harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi mikroba dan bahan-bahan asing. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) juga mensyaratkan tiap wadah akhir injeksi harus diamati satu per satu secara fisik da tiap wadah yang menunjukkan pencemaran bahan asing yang terlihat secara visual harus ditolak. (Anonim, 1995)
Syarat-syarat obat suntik, yaitu antara lain : 1. Aman, tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan atau efek toksis. 2. Harus jernih, tidak ada partikel padat, kecuali yang berbentuk suspensi. 3. Tidak berwarna, kecuali bila obatnya memang berwarna. 4. Sedapat mungkin isohidris, agar tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat optimal. 5. Sedapat mungkin isoonis agar tidak terasa sakit. ( Anief, 2005 ) Wadah obat suntik, termasuk tutupnya harus tidak berinteraksi dengan sediaan, baik secara fisik maupun kimia sehingga akan membuat kekuatan dan efektivitasnya. Bila wadah dibuat dari gelas, maka gelas harus jernih dan tidak berwarna atau berwarna kekuningan, untuk memungkinkan pemeriksaan isinya. Jenis gelas yang sesuai dan dipilih untuk tiap sediaan parenteral biasanya dinyatakan dalam masing-masing monograf. Obat suntik ditempatkan dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis berganda. (Ansel, 2005)
Spektrofotometri merupakan salah satu cabang analisis instrumental yang mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik dapat berupa hamburan (scattering), absorpsi (absorption), emisi (emission). Interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom atau molekul yang berupa absorpsi melahirkan spektrofotometri absorpsi antara lain spektrofotometri ultraviolet (UV), spektrofotometri sinar tampak (Vis), dan spektrofotometri infra merah (IR). Spektrofotometri UV yang dipakai untuk aplikasi kuantitatif menggunakan radiasi dengan panjang gelombang 200-380 nm, sedangkan spektrofotometri Vis menggunakan radiasi dengan panjang gelombang 380-780 nm. Molekul yang dapat memberikan absorpsi yang bermakna pada daerah panjang gelombang 200-780 nm adalah molekul-molekul yang mempunyai gugus kromofor dan gugus auksokrom. Gugus kromofor adalah gugus fungsi yang mempunyai spektrum absorpsi karakteristik pada daerah UV atau sinar tampak. Gugus ini mengandung ikatan kovalen tidak jenuh (rangkap dua atau tiga), contohnya C=C, C=O, N=O, N=N. Gugus auksokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan absorpsi suatu molekul. Gugus ini tidak memberikan absorpsi yang bermakna pada daerah UV, tetapi dapat memberikan pengaruh yang besar pada absorpsi molekul dimana gugus tersebut terikat. Contoh ausokrom adalah OH, NH2, CH3. Jika radiasi elektromagmetik dengan panjang gelombang antara 200-380 nm dikenakan pada molekul-molekul yang mempunyai gugus tersebut maka akan terjadi absorpsi radiasi elektromagnetik oleh molekul-molekul tadi dan transisi elektron dari tingkat energi yang lebih
rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi (eksitasi). Besarnya energi radiasi elektromagnetik yang dibutuhkan untuk terjadinya eksitasi elektron pada suatu molekul adalah tertentu dan ini bervariasi antara molekul yang satu dengan molekul yang lain, tergantung tipe elektron molekul tersebut. Prinsipnya adalah dengan adanya chopper yang akan membagi sinar menjadi dua, dimana salah satu melewati blanko (disebut juga reference beam) dan yang lainnya melewati larutan (disebut juga sample beam). Dari kedua jenis spektrofotometer tersebut, spektrofotometer double-beam memiliki keunggulan lebih dibanding single-beam, karena nilai absorbansi larutannya telah mengalami pengurangan terhadap nilai absorbansi blanko. Selain itu,
pada single-beam, ditemukan juga beberapa kelemahan seperti perubahan intensitas cahaya akibat fluktuasi voltase.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Spektrofotometer)
Secara garis besar spektrofotometer terdiri dari 4 bagian penting yaitu a. Sumber Cahaya
Sebagai sumber cahaya pada spektrofotometer, haruslah memiliki pancaran radiasi yang stabil dan intensitasnya tinggi. Sumber energy cahaya yang biasa untuk daerah tampak, ultraviolet dekat, dan inframerah dekat adalah suatu lampu pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfram (tungsten). Lampu ini mirip dengan bola lampu pijar biasa, daerah panjang gelombang adalah 350-2200 nm. b. Monokromator Monokromator adalah alat yang berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis menjadi beberapa komponen panjang gelombang tertentu (monokromatis) yang berbeda (terdispersi). c. Kuvet Kuvet adalah suatu alat yang digunakan sebagai tempat contoh atau cuplikan yang akan dianalisis. Kuvet biasanya terbentuk dari kuarsa, plexiglass, kaca, plastic dengan bentuk tabung persegi empat 1x1 cm dan tinggi 5 cm. pada pengukuran di daerah UV dipakai kwarsa atau plexiglass, sedangkan kuvet dari kaca tidak dapat digunakan sebab kaca mengabsorbsi
sinar UV. Semua macam kuvet dapat dipakai untuk pengukuran didaerah sinar tampak (visible). d. Detektor Peranan detektor adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang selanjutnya akan ditampilkan oleh penampil data dalam bentuk jarum penunjuk atau angka digital.
Metode spektrofotometri digunakan untuk mengetahui zat yang terkandung dalam makanan atau minuman seperti micro nutrient, zat pewarna, dll tergantung panjang gelombang yang telah di setting pada spektrofotometer. Setiap senyawa punya serapan maksimal pada panjang gelombang tertentu. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu: 1. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. 2. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hokum Lambert-Beer akan terpenuhi. 3. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal. (Gandjar dan Abdul, 2012) III. ALAT DAN BAHAN Alat : 1. Neraca analitik 2. Labu takar 10 mL, 50mL, 100 mL 3. Pipet volume 4. Mikropipet 5. Pipet tetes 6. Beaker glass 7. Spektrofotometer UV 8. Kuvet 9. Indikator pH universal 10. Yellow tip 11. Glove Bahan : 1. Injeksi Thiamin HCl (sampel) 2. Thiamin HCl serbuk 3. HCl 2N 4. Aquadest
IV. CARA KERJA a. Pembuatan Larutan Induk Tiamin HCl Diambil 100mg Thiamin HCl serbuk, dimasukkan dalam labu takar 100ml
b. Penentuan max Diambil 1ml larutan induk Thiamin HCl, dimasukkan ke labu takar 10ml
Didapatkan max c. Penetuan Kurva Baku Diambil larutan induk Thiamin HCl dengan berbagai variasi volume (50l, 100l, 150l, 200l, dan 250l)
Masing-masing dimasukkan dalam labu takar dan ditambah aquadest add 10ml
d. Penetapan Kadar Thiamin HCl pada Injeksi Vitamin B1 Diambil 1ml sampel injeksi vitamin B1
Direplikasi 2x
V. DATA PERCOBAAN DAN PERHITUNGAN 1. Analisis Pendahuluan Vitamin B-1 100mg/ml Komposisi : tiap 1ml injeksi berisi vit. B1 (Tiamin HCl) sebanyak 100mg (disimpan o pada suhu 15 25 oC) No. batch : 11L085 Mfg date : Desember 2011 Kadaluarsa : Desember 2015 Volume : 2 ml Kadar : Thiamin HCl 100 mg/mL Organoleptis : warna bening transparan
2. Analisis Kuantitatif a. Pembuatan HCl 2N Larutan HCl yang tersedia di laboratotorium adalah larutan HCl 37% Berat jenis HCl = 1,19 kg/L = 1190 g/L
= 12,06 N M1. V1 = M2. V2 (12,06)V1 = 2. 100 V1 = 16,58 ml b. Pembuatan Kurva Baku Larutan Induk = 100mg/100ml = 0,1% b/v Perhitungan Kadar Kurva Baku 1). M1. V1 = M2. V2 0,1 % b/v . 50 l = 10000l . M2 M2 = 5 x 10-4 %b/v
2).
3).
M1. V1 = M2. V2 0,1 % b/v . 150 l = 10000l . M2 M2 = 1,5 x 10-3 %b/v M1. V1 = M2. V2 0,1 % b/v.200 l = 10000l . M2 M2 = 2 x 10-3 %b/v M1. V1 = M2. V2 0,1 % b/v . 250 l = 10000l . M2 M2 = 2,5 x 10-3 %b/v
4).
5).
*Adalah data yang direject Persamaan Regresi Linear y = bx + a a = 0,098 b = 2,306 x 10-3 r = 0,992 y = 0,098 + 2,306 x 10-3x
Penetapan Kadar Thiamin HCl dalam Sampel No Faktor Pengenceran 1000 kali 1000 kali 1000 kali Absorbansi (y)
1 2 3
3. y = 0,365 x 1000 x = 115,785mg/mL Kadar rata rata injeksi Thiamin HCl = 111,738 mg/mL SD = 3,739 CV
CV = 3,35%
Recovery
SE
LE
t = 2,353 untuk N = 3 Rentang kadar = Xrata-rata LE < x < Xrata-rata + LE = 111,738 5,08 < x < 111,738 + 5,08 = 106,658 mg/mL < x < 116,818 mg/ml
HOH2CH2C
H 2N
CH3
N H3 C C H2
Cl-. HCl
Pemerian : kristal putih dengan bau yang spesifik. Bersifat higroskopis dan bentuk anhidratnya dapat menyerap 4 % air. Meleh dan mengalami dekomposisi pada 248C.
Kelarutan : 1 gram larut dalam 1 mL air, 18 mL gliserol, 100 mL alkohol 95 %, dan 315 mL alkohol absolut. Praktis tidak larut dalam eter, benzena, heksan, kloroform. Thiamin HCl dalam keadaan kering cukup stabil dan pada pemanasan 100C selama 1 jam tidak kurang potensinya. Larutan Thiamin HCl dalam air disterilisasi pada 110C tetapi jika pH larutan diatas 5,5 akan cepat terhidrolisis. Satu gram thiamin HCl kristal setara dengan 333.000 SI. ( Higuchi, 1961 p.656 )
Injeksi Thiamin HCl Larutan steril Thiamin HCl dalam air untuk sediaan injeksi. Mengandung Thiamin HCl (C12H18ClN4OS) tidak kurang dari 90 % dan tidak lebih dari 110 % dari jumlah yang tertera pada etiket. ( FI edisi IV, 1995 hal.786 )
VI. PEMBAHASAN Pada percobaan ini akan ditetapkan kadar vitamin B1 pada sediaan injeksi vitamin B1. Penetapan kadar vitamin B1 dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti metode titrasi bebas air, kolorimetri, asidialkalimetri, gravimetri, spektrofluorometri, spektrofotometri UV, argentometri. Dari berbagai metode tersebut di atas, dalam berbagai sumber yang didapat untuk menetapkan kadar vitamin B1 dalam sediaan injeksi adalah metode spektrofluorometri dimana pada metode ini thiamin hidroklorida akan diubah menjadi senyawa yang rigid dan kaku sehingga dapat ditetapkan berdasarkan fluoresensi yang terjadi. Energi yang diperlukan untuk berfluoresensi lebih kecil dibanding energi untuk absorpsi sehingga pengukuran dilakukan pada yang lebih panjang. Metode ini memberikan sensitivitas yang tinggi karena absorban yang dihasilkan lebih besar. Selain itu, metode ini juga lebih selektif karena tiap-tiap senyawa memiliki fluoresensi yang khas yang berbeda dengan semyawa yang lain serta hanya senyawa yang memiliki kromofor, auksorom, dan struktur yang rigid dan kaku yang dapat terdeteksi. Namun, pada percobaan ini metode yang digunakan adalah spektofotometri UV dengan pertimbangan bahwa metode ini lebih praktis, mudah, cepat dan sederhana, serta yang paling utama yaitu adanya gugus kromofor dan auksokrom pada struktur vitamin B1 sehingga dapat dibaca dengan spektofotometer UV. Selain itu, tidak diperlukan adanya derivatisasi vitamin B1 terlebih dahulu agar berwarna sehingga akan mengefisiensikan waktu analisis. Prinsip dasar metode ini yaitu vitamin B1 menunjukkan absorpsi khas pada daerah UV dengan bergantung
pH, sehingga dapat digunakan untuk penetapan kadar vitamin B1 dalam larutan murni dan sediaan injeksi. Dalam analisis kualitatif, sediaan injeksi harus lolos berbagai persyaratan yang telah disebutkan sebelumnya. Sampel yang dianalisis yaitu injeksi Thiamin-HCl (vitamin B1) dalam sediaan ampul. Diantara kontrol kualitas yang dipersyaratkan untuk sediaan injeksi, yang dilakukan dalam percobaan kali ini adalah keseragaman volume. Menurut Farmakope Indonesia IV, yaitu dengan mengambil isi tiap wadah denagn alat suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali volume yang akan diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang tidak kurang dari 2,5 cm. Gelembung udara dikeluarkan dari dalam jarum dan alat suntik dan isinya dipindahkan kedalam alat suntik tanpa mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur kering volume tertentu yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-kurangnya 40 % dari kapasitas tertera. Namun, pada praktikum ini tidak dilakukan langkah kerja diatas dikarenakan keterbatasan alat yang ada di laboratorium. Kemudian dilakukan analisis secara organoleptis yaitu meliputi warna, kemasan dan volume tiap ampul dan diperoleh hasil bahwa sediaan injeksi berwarna putih transparan, berbau khas menyengat, volume rata- rata tiap ampul 2 ml. Tanggal kadaluwarsa yang tertera yaitu bulan Desember 2015. Secara umum, kadaluwarsa obat dihitung berdasarkan jumlah obat yang terdegradasi sebesar 10 % dan memenuhi syarat apabila sediaan disimpan dalam kondisi yang sesuai. Pada kondisi yang tidak sesuai, tanggal kadaluwarsa obat bisa lebih cepat dari tanggal yang tertera dengan ciri ciri kemasan rusak, sediaan berubah warna atau berbau menyengat. Penetapan kadar dilakukan dengan Spektrofotometri UV. Spektrofotometri merupakan salah satu cabang analisis instrumental yang mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik dapat berupa hamburan (scattering), absorpsi (absorption), emisi (emission). Interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom atau molekul yang berupa absorpsi melahirkan spektrofotometri absorpsi antara lain spektrofotometri ultraviolet (UV),
spektrofotometri sinar tampak (Vis), dan spektrofotometri infra merah (IR). Spektrofotometri UV yang dipakai untuk aplikasi kuantitatif menggunakan radiasi dengan panjang gelombang 200-380 nm, sedangkan spektrofotometri Vis menggunakan radiasi dengan panjang gelombang 380-780 nm. Molekul yang dapat memberikan absorpsi yang bermakna pada daerah panjang gelombang 200-780 nm adalah molekul-molekul yang mempunyai gugus kromofor dan gugus auksokrom. Gugus kromofor adalah gugus fungsi yang mempunyai spektrum absorpsi karakteristik pada daerah UV atau sinar tampak. Gugus ini mengandung ikatan kovalen tidak jenuh (rangkap dua
atau tiga), sebagai contoh C=C, C=O, N=O, N=N. Gugus auksokrom adalah gugus yang dapat meningkatkan absorpsi suatu molekul. Gugus ini tidak memberikan absorpsi yang bermakna pada daerah UV, tetapi dapat memberikan pengaruh yang besar pada absorpsi molekul dimana gugus tersebut terikat. Contoh ausokrom adalah OH, NH2, CH3. Jika radiasi elektromagmetik dengan panjang gelombang antara 200-380 nm dikenakan pada molekul-molekul yang mempunyai gugus tersebut maka akan terjadi absorpsi radiasi elektromagnetik oleh molekul-molekul tadi dan transisi elektron dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi (eksitasi). Besarnya energi radiasi elektromagnetik yang dibutuhkan untuk terjadinya eksitasi elektron pada suatu molekul adalah tertentu dan ini bervariasi antara molekul yang satu dengan molekul yang lain, tergantung tipe elektron molekul tersebut. Struktur Thiamin HCl :
Dari struktur tersebut dapat dilihat bahwa Thiamin HCl mempunyai gugus kromofor dan gugus auksokrom yang memenuhi syarat untuk dilakukan analisis secara spektrofotometri UV. Sampel diubah menjadi pH 2 karena akan mengabsorbsi sinar UV pada satu maks saja yaitu 246 nm ( E1% = 425 ). Jika digunakan pH 7 akan memberikan 2 maks yaitu 232-233 E 2
1%
1%
1%
pada pH
lebih besar daripada pH 7 sehingga vitamin B1 lebih sensitif untuk dianalisis dengan
spektrofotometri UV pada pH 2 dibanding dengan vitamin B1 pada pH 7. Manfaat kita mengetahui E1% adalah untuk membantu mengetahui berapa kadar senyawa yang harus disiapkan untuk membuat kurva baku sehingga masuk range 0,2 0,8. Karena E1% merupakan absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v 91g/100 mL) dan dengan kuvet yang tebalnya 1 cm. Sebagai contoh pada pH 2 Thiamin HCl memiliki E 1% sebesar 425, untuk mendapatkan absorbansi sebesar 0,425 maka harus diencerkan sekitar 1000x, sehingga kami dapat membuat perkiraan kadar agar kurva baku berada pada range 0,2 0,8 dimana pada range tersebut kesalahan yang paling minimal.
Pembuatan larutan induk dengan menimbang 100,0 mg baku vitamin B1 dilarutkan dalam 100 ml aquades. Kemudian dari larutan induk tersebut dibuat larutan baku dengan mengambil sampel pertama yaitu 1 ml dari larutan induk dan ditambahkan dengan aquades add 10ml, dan diatur pHnya dengan penambahan HCl 2N hingga pH 2 yang dimonitor dengan kertas indikator universal. Kemudian dilakukan scanning untuk memperoleh maks dengan spektrofotometer UV. Hasil scanning diperoleh maks sebesar 241,5 nm akan tetapi nilai absorbansi yang diperoleh pada larutan baku pertama berada pada ekstrapolasi yaitu 2,950 sehingga harus dilakukan pengenceran kembali agar absorbansi berada pada rentang antara 0,2 0,8 . Maka seri larutan baku baru yang dibuat adalah 50, 100, 150, 200, dan 250 l dan masingmasing stok baku ditambahkan aquadest hingga volumenya 10 ml. Kemudian dilakukan pembacaan absorbansi pada maks yaitu 241 nm.
Dari hasil pembacaan absorbansi seri larutan baku didapatkan absorbansi pada rentang kadar tersebut berturut-turut adalah 0,212; 0,317; 0,471; 0,545; dan 0,768; didapatkan persamaan kurva baku y = 0,098 + (2,306 x 10-3 )x dengan mengeliminasi data absorbansi pada kadar 25 g / ml.
Kemudian sampel larutan injeksi vitamin B1 dipipet dari ampul sebanyak 1 ml dan diencerkan sebanyak 1000x dengan perlakuan yang sama seperti pada baku yaitu ditambahkan HCl 2N sampai mencapai pH 2, kemudian dibaca absorbansinya pada panjang gelombang maksimal. Didapatkan absorbansi 0,348; 0,354 dan 0,365. Dengan mengeplotkan absorbansi ke persamaan kurva baku diperoleh kadar vitamin B1 dalam sediaan injeksi sebesar : 108,413 g / ml ; 111,015 g / ml; 115,785 g / ml. Kadar rata rata nya 111,738 g / ml. Kadar tersebut tidak jauh berbeda dengan kadar yang tertera pada etiket yaitu 100 mg / ml . Dari percobaan juga dilakukan perhitungan parameter analisis yang lain sehingga didapat nilai SD sebesar 3,739; CV sebesar 3,35%; LE sebesar 5,08; dan SE sebesar 2,159.
Berdasarkan hasil perhitungan beberapa parameter diatas, nilai CV yang diperoleh sebesar 3,35% kurang dari 5%, sehingga dapat dikatakan metode analisis yang digunakan cukup presisi. Hasil recovery yang bagus itu jika nilai recovery lebih dari 90% sedangkan dalam percobaan didapat persen recovery sebesar 111,738%, di mana dimungkikan terjadi kesalahan dalam preparasi sampel yaitu pada pengambilan sampel yang kurang akurat yang menyebabkan nilai recovery lebih dari 100%.
VII.KESIMPULAN 1. Analisis Thiamin HCl dalam sediaan injeksi pada percobaan kali ini dilakukan menggunakan metode spektrofotometri UV dengan maks 241nm. 2. Analisis organoleptis didapatkan Thiamin HCl dalam ampul berwarna bening, berbau obat, dan volume rata-rata tiap ampul sebesar 2 mL sesuai dengan yang tertera pada ampul. 3. Kadar Thiamin HCl hasil pengujian didapat harga kadar sebesar 111,738 g/ml 4. Nilai % Recovery yang diperoleh sebesar 111,738% menunjukkan bahwa dimungkikan terjadi kesalahan dalam preparasi sampel yaitu pada pengambilan sampel yang kurang akurat yang menyebabkan nilai recovery lebih dari 100% 5. Nilai parameter lain yang diperoleh yaitu SD sebesar 3,739; CV sebesar 3,35%; LE sebesar 5,08; dan SE sebesar 2,159. 6. Metode spektrofotometri UV cukup presisi digunakan untuk menganalisi kadar Thiamin HCL pada sediaan injeksi vitamin B1 dilihat dari nilai CV yang kurang dari 5%.
VIII. DAFTAR PUSTAKA Anief, M., 2005, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Anonim, 2001, British Pharmacopoeia, Volume II, p.2296, British Pharmacopoeia Commision, London. Ansel, Howard C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, UI Press, Jakarta. Gandjar, Ibnu Gholib, dan Abdul Rohman, 2012, Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Hashmi, M., Haque, 1973, Assay of Vitamin in Pharmaceutical Preparation, John Wiley and Sons, New York. Sudjadi,dkk., 2004, Analisa Obat dan Makanan, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Strohecker, Rolf, dan Heins M. Henning, 1965, Vitamin Assay Tested Methods, Verlag Chemie, Germany.
Yogyakarta, 7 Mei 2013 Praktikan, Ikha Ramadhani Khairunnisa Sy Suryani Tambunan Rizki Khoirun Nisa (08756) (08759) (08762) (08765) (08768)
Fiehanna Widya N.
Disusun oleh : 1. Ikha Ramadhani 2. Khairunnisa Sy 3. Suryani Tambunan 4. Rizki Khoirun Nisa 5. Fiehanna W. (08756) (08759) (08762) (08765) (08768)
LABORATORIUM ANALISIS OBAT DAN MAKANAN BAGIAN KIMIA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2013