Daya Saing Indonesia Dan Perbaikan Infrastruktur

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

NAMA : FxDIL xxxx NIM : xxxxxx DEPARTEMEN : EKONOMI PEMBANGUNAN MATA KULIAH : PEREKONOMIAN INDONESIA DOSEN : WAHYU ARIO

PRATOMO UJIAN MID SEMESTER GENAP T.A. 2012/2013

DAYA SAING INDONESIA DAN PERBAIKAN INFRASTRUKTUR I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Gelombang globalisasi yang terjadi saat ini memungkinkan negara berkembang untuk melakukan terobosan-terobosan kreatif dan melakukan perubahan dalam negeri mengingat pesaingan antar negara yang ketat hanya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki keunggulan. Salah satu yang membedakan mengapa negara maju unggul karena pada umumnya negara maju memiliki daya saing yang tinggi dibanding negara berkembang. World Economic Forum (WEF) baru-baru ini menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 20122013. Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan ini menyajikan data yang komprehensif mengenai Indeks Daya Saing Global beserta unsur-unsur pembentuknya. Peringkat Indonesia dalam Global Competitiveness Report 2012-2013 mengalami penurunan, dari peringkat 46 di tahun 2011/2012 turun ke peringkat 50 di tahun 2012/2013. Indeks daya saing global menurut Word Economic Forum (WEF) dalam laporannya yang dirilis beberapa waktu lalu, telah menempatkan persoalan ketidakefisienan birokrasi, wabah korupsi dan buruknya infrastruktur sebagai tiga masalah utama yang membuat daya saing Indonesia terpuruk. Tahun lalu, tiga masalah tersebut juga menjadi faktor utama buruknya daya Indonesia. Artinya sejak tahun lalu, Indonesia belum melakukan perubahan yang berarti terhadap tiga hal tersebut. Ketiga hal tersebut merupakan masalah utama yang berpengaruh terhadap kegiatan usaha atau bisnis.

Inefisiensi birokrasi telah memberatkan kegiatan usaha dan membuat belanja negara menjadi tidak efektif atau boros. Sementara korupsi juga telah menggerogoti kualitas pembangunan karena kualitasnya yang buruk. Kualitas infrastruktur juga dikenal buruk dan minim sehingga menyebabkan kegiatan bisnis menjadi lebih mahal.

Pembangunan sektor infrastruktur merupakan sektor prioritas yang harus memperoleh perhatian dalam rangka mengatasi kemiskinan. Bagi para investor atau pelaku pasar termasuk para arsitek pembangunan, core value daya saing suatu negara dalam menarik investasi diukur dari daya tarik dan kinerja infrastruktur, baik infrastruktur dasar, sains, maupun infrastruktur teknologi. Miskin dan rentannya infrastruktur suatu negara berdampak terhadap kehidupan suatu masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan infrastruktur memberikan dampak positif terhadap percepatan pertumbuhan. Sejumlah riset ilmiah mengenai infrastruktur di negara-negara miskin menunjukkan bahwa negara-negara miskin memerlukan penggunaan sekitar sembilan persen dari PDB untuk dapat mengoperasikan, memelihara, atau merawat dan membangun infrastruktur jika negara miskin tersebut hendak meraih level millennium development goals (MDGs) (Antonio Estache, 2006). Indonesia meski bukan kategori negara miskin, kondisi infrastrukturnya juga masih memprihatinkan. Ketersediaan dan kualitas infrastruktur, fisik dan nonfisik kurang memadai. Padahal kondisi ekonomi yang tengah berkembang seperti Indonesia mutlak memerlukan pengembangan infrastruktur di berbagai sektor. Infrastruktur tersebut merupakan modal dasar dalam aktivitas ekonomi dan sosial masyarakat yang menjadi faktor penting menghadapi persaingan global. Tingginya tingkat daya saing dan kualitas serta kuantitas infrastruktur yang memadai akan membuat negara menjadi kuat dan maju. Sebagai negara berkembang yang akan segera bergabung dengan kelompok negara-negara maju, Indonesia sudah saatnya memiliki rencana jangka panjang dalam program pembangunan infrastruktur yang terintegrasi. Apabila kondisi tersebut didukung oleh stabilitas yang semakin baik dan meningkat dari sektor ekonomi, politik, hukum dan sektor-sektor lainnya maka tidak lama lagi Indonesia telah siap untuk dijadikan bagian dari negara BRIC (Brazil, Russia, India dan China) + I (Indonesia) sebagai negara dengan potensi pertumbuhan terkuat di dunia.

B. PENGERTIAN DAN KONSEP DAYA SAING Sebelum melanjutkan ke pembahasan lebih lanjut mengenai daya saing suatu Negara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu seperti apa sebenarnya pengertian dan konsep dari daya saing tersebut. Dalam literatur, istilah daya saing (competitiveness) mempunyai interpretasi/tafsiran beragam. Tak satupun yang penulis klaim sebagai definisi baku yang diterima semua pihak. Daya saing dapat diartikan sebagai proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik ke depan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara. Daya saing menurut Michael Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Kebanksentralan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal: 1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai kemampuan suatu perekonomian daripada kemampuan sektor swasta atau perusahaan 2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Tanpa memungkiri peran besar sektor swasta perusahaan dalam perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing. 3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat.Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah
3

peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. Menurut Michael Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu: 1. Strategi, Struktur, dan Tingkat Persaingan Perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya. 2. Sumber Daya di suatu Negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal. 3. Permintaan Domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen. 4. Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini

menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif. Keempat komponen yang disebut sebagai model Porters Diamond tersebut mengkondisikan lingkungan di mana perusahaan-perusahaan berkompetisi dan mempengaruhi keunggulan daya saing suatu bangsa. Analisis tersebut menyatakan bahwa pemerintahan suatu negara memiliki peran penting dalam membentuk ekstensifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat keunggulan kompetitif industri suatu negara. Hal ini diperjelas dengan adanya 2 (dua) variabel tambahan yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
4

1.

Kesempatan, yaitu perkembangan yang berada di luar kendali perusahaan-perusahaan (dan biasanya juga di luar kendali pemerintah suatu bangsa), seperti misalnya penemuan baru, terobosan teknologi dasar, perkembangan politik eksternal, dan perubahan besar dalam permintaan pasar asing.

2. Pemerintah, yakni pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan dapat meningkatkan atau memperlemah keunggulan nasional. Peran pemerintah terutama dalam membentuk kebijakan yang mempengaruhi komponen-komponen dalam Diamond Porter. Misalnya, kebijakan anti-trust mempengaruhi persaingan nasional. Regulasi dapat mengubah faktor permintaan (misalnya regulasi terkait subsidi BBM). Kebijakan pemerintah yang mendukung pendidikan dapat mengubah kondisi faktor produksi. Belanja pemerintah dapat merangsang industri terkait dan pendukung. Porter menggarisbawahi bahwa ketersediaan faktor-faktor seperti faktor sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, dan infrastruktur, tidak ditentukan oleh perbedaan karakteristik alamiah suatu negara. Kemampuan suatu negara dalam menyediakan faktor-faktor sebagian besar ditentukan oleh political will dari pemerintah. Oleh karena itu, variabel pemerintah memegang peran penting dalam peningkatan daya saing nasional.

II.

PEMBAHASAN

A. POTRET DAYA SAING GLOBAL World Economic Forum (WEF) baru-baru ini menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 20122013. Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan ini menyajikan data yang komprehensif mengenai Indeks Daya Saing Global beserta unsur-unsur pembentuknya. Ada 144 negara yang dicakup dalam laporan tahun ini (tahun 2011 ada 142 negara), dengan sistem pengukuran yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Ada enam tambahan negara yang dicakup, yaitu Seychelles, Sierra Leone, Guinea, Gabon, Liberia dan Lybia; namun ada empat negara yang tidak dianalisis untuk laporan tahun 2012 ini karena masalah politi dan keamanan (Tunisia dan Suriah) dan karena ketiadaan data (Belize dan Angola). Data untuk mengukur indeks daya saing global tersebut berasal dari survei opini eksekutif di setiap negara dan data sekunder yang diperoleh dari lembaga internasional seperti
5

IMF dan Bank Dunia, yang berasal dari kantor statistik setiap negara. Berikut ini adalah interpretasi terhadap indeks daya saing global tahun 2012 yang dipublikasikan oleh WEF tersebut. Tahun 2012 ini, negara yang paling kompetitif adalah Swiss, yang mempertahankan peringkat pertama dari hampir seluruh negara di dunia sejak tahun 2009. Peringkat ke 2 adalah Singapura, disusul oleh Finlandia, Swedia, Belanda, Jerman, AS, Inggris; dan dua negara Asia lain, yaitu Hong Kong dan Jepang. Lihat Tabel 1. Hong Kong tahun ini berhasil menggusur Denmark dari sepuluh negara paling kompetitif di dunia. Tabel 1. Sepuluh Negara dengan Indeks Daya Saing Tertinggi 2012 Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Swiss Singapura Finlandia Swedia Belanda Jerman AS Inggris Hong Kong 2012 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

10 Jepang

Catatan: data untuk semua tabel bersumber WEF (2012), The Global Competitiveness Report 20122013 Dari semua negara yang disurvei WEF, negara yang menunjukkan kenaikan tertinggi dalam peringkat daya saing sejak tahun 2008 adalah Kambodia, yang meningkat dari peringkat ke 109 (2008) menjadi peringkat ke 85 (2012). Negara-negara lain yang mengalami kenaikan peringkat tertinggi setelah Kambodia adalah Azerbaijan, Peru, Turki Bosnia-Herzegovina, dll. Lihat Tabel 2.
6

Tabel 2. Sepuluh Negara dengan Kenaikan Indeks Daya Saing Tertinggi 2008-2012 Negara 1 2 3 4 5 Kambodia 2008 109 2012 Perubahan 85 46 61 43 24 23 22 20 19 88 89 40 86 100 48 19 18 18 16 16

Azerbaijan 69 Peru Turki BosniaHerzegovina 107 83 63

6 7 8 9

Albania Panama Ekuador Tajikistan

108 58 104 116 64

10 Brazil

Sedangkan negara dengan penurunan peringkat daya saing tertinggi adalah Yunani, yang merosot dari peringkat ke 67 (2008) menjadi ke 96 (2012), yaitu menurun sebanyak 29 angka. Negara-negara lain yang mengalami kemerosotan peringkat daya saing adalah Mesir, Slowakia, Pakistan, Botswana, dll. Lihat Tabel 3. Tabel 3. Sepuluh Negara dengan Penurunan Indeks Daya Saing Tertinggi 2008-2012 Negara 1 2 3 4 5 6 7 8 Yunani Mesir Slowakia Pakistan Botswana 2008 67 81 46 101 56 2012 96 107 71 124 79 101 126 117 Perubahan -29 -26 -25 -23 -23 -22 -21 -21
7

El Salvador 79 Venezuela Senegal 105 96

Pantai Gading

110

131

-21

10

Nigeria

94

115

-21

Diantara negara-negara ASEAN, setelah Singapura, negara yang tertinggi peringkat daya saing tahun 2012 adalah Malaysia (ke 25), disusul Brunei Darussalam (28), Thailand (38). Indonesia berada di urutan ke empat dengan posisi ke 50. Negara tetangga Timor-Leste menempati urutan terakhir (ke 136). Negara-negara ASEAN yang mengalami kenaikan indeks daya saing terbesar sejak 2008 adalah Kambodia (24 tingkat), Brunei Darussalam (11), Filipina (6), Indonesia (5) dan Singapura (3). Sedangkan Malaysia, Thailand, Vietnam dan Timor Leste mengalami penurunan peringkat daya saing selama 2008-2012. Lihat Tabel 4. Tabel 4. Indeks Daya Saing Negara-negara ASEAN 2012 Negara 1 2 3 Singapura Malaysia Brunei Darussalam 4 5 6 7 8 9 Thailand Indonesia Filipina Vietnam Kambodia Timor-Leste 34 55 71 70 109 129 38 50 65 75 85 136 -4 5 6 -5 24 -7 2008 5 21 39 2012 2 25 28 Perubahan 3 -4 11

B. PENURUNAN DAYA SAING INDONESIA Tahun ini Indonesia mengalami penurunan indeks daya saing global, dari posisi ke 46 (2011) menjadi ke 50 (2012). Peringkat terbaik Indonesia adalah pada tahun 2010 (ke 44), yang meloncat dari posisi ke 54 dari tahun sebelumnya. Lihat Tabel 5. Tabel 5. Indeks Daya Saing Indonesia 2008-2012 Indikator Indeks Daya Saing Persyaratan dasar Penopang efisiensi Faktor inovasi 2008 55 76 49 dan 45 2009 54 70 50 40 2010 44 60 51 37 2011 46 53 56 41 2012 50 58 58 40

kecanggihan Indeks daya saing menurut WEF dibentuk oleh 3 unsur utama, yaitu persyaratan dasar, penopang efisiensi, faktor inovasi dan kecanggihan. Dari ke tiga unsur utama ini, selama tahun 2011-2012 hanya unsur terakhir yang mengalami kenaikan peringkat, walau hanya satu tingkat. Sedangkan dua unsur lain mengalami penurunan peringkat, yang terburuk adalah unsur pertama yaitu persyaratan dasar. Lihat Tabel 5 di atas. Perlu menjadi perhatian bahwa selama periode 2008-2012, unsur persyaratan dasar mengalami kenaikan peringkat dengan cukup tajam (dari 76 ke 58), sedangkan ke dua unsur lain mengalami penurunan. Negara-negara berkembang yang sedang menapak menjadi negara maju umumnya mengalami peningkatan peringkat dalam unsur ini. Jadi Indonesia menunjukkan jejak yang berbeda dengan sebagian besar negara lain dalam pola perubahan daya saing global selama lima tahun terakhir ini. Dianalisis secara lebih mendalam, terlihat bahwa pilar kesiapan teknologi, efisiensi pasar barang dan kecanggihan bisnis menunjukkan peningkatan dari keadaan tahun 2011. Sedangkan ke 9 pilar lain menunjukkan penurunan dalam peringkat daya saing. Cukup menonjol adalah pilar efisiensi pasar tenaga kerja, yang merosot dari peringkat 94 dunia menjadi ke 120. Lihat Tabel 6. Aspek ketenagakerjaan inilah penyebab merosotnya daya saing Indonesia pada tahun 2012.

Tabel 6. Indeks Daya Saing Indonesia menurut Pilar Daya Saing, 2011-2012 Pilar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kesiapan teknologi Efisiensi pasar barang Kecanggihan bisnis Kelembagaan Kemajuan pasar uang Besar pasar Infrastruktur Lingkungan ekonomi makro Inovasi 2011 94 67 45 71 69 15 76 23 36 2012 85 63 42 72 70 16 78 25 39 73 70 120 Perubahan 9 4 3 -1 -1 -1 -2 -2 -3 -4 -6 -26

Pendidikan tinggi dan pelatihan 69 Kesehatan dan pendidikan dasar 64 Efisiensi pasar tenaga kerja 94

Selanjutnya jika dianalisis secara lebih mendalam lagi, maka terlihat ada perubahan yang cukup signifikan pada beberapa beberapa indikator pembentuk indeks daya daya saing. Dari 113 indikator daya saing, jumlah indikator yang mengalami kenaikan dan penurunan hampir sama, yaitu 52 (naik) dan 51 (turun) sedangkan 10 indikator lain tidak mengalami perubahan. Indikator daya saing yang mengalami peningkatan adalah antara lain peran manajemen profesional, pengguna internet, pendelegasian kewenangan, inflasi. Lihat Tabel 7. Tabel 7. Perubahan Indikator Daya Saing 2011-2012: Kenaikan Peringkat diatas 10 Angka No Indikator 1 2 3 4 5 Peran manajemen professional Pengguna internet Pendelegasian kewenangan Inflasi Pita lebar internet
10

Perubahan 18 17 16 15 14

6 7 8 9

Pelatihan karyawan Kesehatan bank Efektivitas kebijakan anti monopoli Beban prosedur kepabeanan

13 13 12 12 11 11

10 Perilaku etis perusahaan 11 Kemampuan manajemen

Adapun indikator daya saing yang mengalami penurunan peringkat diantaranya adalah pelayanan pemerintah untuk mendorong bisnis, neraca anggaran dan belanja pemerintah, dan paten per sejuta penduduk. Lihat Tabel 8. Tabel 8. Perubahan Indikator Daya Saing 2011-2012: Penurunan Peringkat Diatas 10 Angka No Indikator 1 Pelayanan bisnis 2 3 4 5 6 Neraca anggaran dan belanja pemerintah Paten per sejuta penduduk Indeks hak memperoleh keadilan Dampak HIV/AIDS bagi dunia usaha Sambungan telpon tetap -15 -15 -13 -12 -11 pemerintah untuk Perubahan mendorong -21

Dalam pilar kelembagaan, indikator daya saing yang mengalami kenaikan adalah antara lain transparansi perumusan kebijakan pemerintah (6), kekuatan standar akuntansi dan pelaporan (7), perilaku etis perusahaan (11) dan kemampuan manajemen (11). Sedang indikator yang mengalami penurunan adalah antara lain pelayanan pemerintah untuk mendorong bisnis (-21), praktek penyuapan (-8), dampak terorisme bagi dunia usaha (-7), kriminalitas terorganisasi (-7). Dalam pilar infrastruktur, indikator yang mengalami perbaikan peringkat adalah antara lain pelanggan telpon gerak (4) dan kualitas pasokan listrik (5), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain Sambungan telpon tetap (-11), kualitas infrastruktur umum (-10), kualitas infrastruktur transportasi udara (-9).
11

Dalam pilar lingkungan ekonomi makro, indikator yang mengalami kenaikan peringkat daya saing adalah antara lain peringkat kredit negara (7) dan inflasi (15), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain neraca anggaran dan belanja pemerintah (-15). Dalam pilar kesehatan dan pendidikan dasar, indikator yang mengalami kenaikan daya saing adalah antara lain kematian bayi (3), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain dampak HIV/AIDS bagi dunia usaha (-12), dampak TBC bagi dunia usaha (-10), dan harapan hidup (-8). Dalam pilar pendidikan tinggi dan pelatihan, indikator yang mengalami perbaikan adalah antara lain kualitas pendidikan matematika dan keilmuan (8) dan pelatihan karyawan (13), sedang indikator yang mengalami penurunan adalah antara lain akses internet sekolah (-7) dan tingkat partisipasi pendidikan menengah (-4). Dalam pilar efisiensi pasar barang, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain efektivitas kebijakan anti monopoli (12), beban prosedur kepabeanan (12), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain intensitas kompetisi lokal (-7) dan cakupan dan efek perpajakan (-7). Dalam pilar efisiensi pasar tenaga kerja, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain kerjasama hubungan buruh-pengusaha (7), dan peran manajemen profesional (18), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain biaya redundansi (-6) dan upah dan produktivitas (-6). Dalam pilar kemajuan pasar uang, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain keberadaan teknologi terbaru (2), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain indeks hak memperoleh keadilan (-13) dan pembiayaan melalui pasar saham lokal (-5). Dalam pilar kesiapan teknologi, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain pita lebar internet (14) dan pengguna internet (17), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain PMA dan transfer teknologi (3) dan pelanggan internet pita lebar (4).

12

Dalam pilar besar pasar, indikator yang mengalami kenaikan daya saing adalah antara lain pendelegasian kewenangan (16), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain ekspor/PDB (-1). Terakhir, dalam pilar inovasi, indikator yang mengalami kenaikan adalah antara lain lelang pemerintah untuk produk teknologi maju (5) dan belanja riset perusahaan (6), sedang yang mengalami penurunan adalah antara lain indikator paten per sejuta penduduk (-15) dan jumlah ilmuwan dan insinyur (-6).

C. FAKTOR FAKTOR PENYEBAB : INFRASTRUKTUR BURUK, DAYA SAING TERPURUK Isu suap dan korupsi masih dipandang sebagai permasalahan utama dalam iklim bisnis. Terkait dengan data most problematic factors, dalam survey yang dilakukan oleh WEF responden diminta memilih diantara 15 faktor yang dianggap paling bermasalah untuk iklim bisnis. Hasilnya kemudian diolah (tabulasi) dan diberi bobot sesuai dengan ranking yang dipilih oleh responden. Pada tahun 2012, birokrasi dipandang sebagai the most problematic factor yang menggeser kedudukan korupsi yang pada tahun 2011 berada di peringkat pertama. Konsep inefisiensi birokrasi dikaitkan dengan relasinya dengan dunia usaha. Dalam konteks dunia usaha, perilaku pemerintah dianggap sangat penting karena berpengaruh terhadap keputusan berinvestasi. Birokrasi yang tidak efisien ditandai dengan panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih, korupsi, pungutan liar, dan tidak transparannya pengadaan. Kesemuanya telah berandil dalam ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya akan menghambat laju investasi. Adapun keseluruhan peringkat most problematic factors tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1. Birokrasi pemerintah yang tidak efisien 2. Korupsi 3. Infrastruktur yang tidak memadai 4. Etika kerja yang buruk 5. Peraturan buruh yang membatasi 6. Inflasi
13

7. Akses pada pembiayaan 8. Ketidakstabilan politik 9. Peraturan mata uang asing 10. Peraturan pajak 11. Ketidakstabilan pemerintah 12. Kriminalitas dan pencurian 13. Tenaga kerja terdidik yang tidak memadai 14. Tingkat pajak 15. Rendahnya kemampuan berinovasi Survei yang pernah dilakukan WEF -World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) yang berjudul Global Competitiveness Report beberapa waktu lalu juga menunjukkan bahwa tidak memadainya kualitas infrastruktur di Indonesia, menjadi masalah mendasar Doing Business in Indonesia setelah birokrasi pemerintah yang dinilai masih belum efisien. Dari survei WEF pada tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat 12 pilar utama dalam penentuan Global Competitivenes Index (GCI) yaitu institusi (birokrasi), infrastruktur, lingkungan makroekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan, pendidikan lanjutan dan pelatihan, pasar barang yang efisien, pasar tenaga kerja yang efisien, pertumbuhan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar (market size). Dari sekian aspek tersebut, masalah utama yang masih jadi ganjalan dalam melakukan bisnis/investasi di Indonesia adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, korupsi, dan infrastruktur yang belum memadai. Di banding negara lain di kawasan Asia Tenggara, infrastruktur Indonesia masih merupakan yang paling lemah.Debottlenecking Infrastruktur menjadi persoalan nyata yang masih menjadi ganjalan. Peringkat infrastruktur Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Dari 100 negara yang disurvei World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat 78. Sementara, jika dibandingkan dengan infrastruktur negara tetangga, Malaysia menempati urutan 23, dan Thailand di posisi 29. Dari segi sarana jalan raya, pada tahun 2008 kondisi jalan yang layak pakai hanya berkisar 9.500 km, jalan rusak berat 2.500 km dan rusak ringan 3.800 km. Keadaan itu melemahkan daya saing untuk menarik investasi, dan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Kondisi infrastruktur di Indonesia masih buruk dan tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Total ruas jalan tol Indonesia baru
14

ada sepanjang 750 kilometer sejak 1978. Itu sangat kalah dibandingkan dengan Malaysia yang telah memiliki 3.500 kilometer. Kondisi pelabuhan di negara kepulauan dan maritim ini pun buruk. Kita baru memiliki 18 pelabuhan samudera, sedangkan di Thailand sudah ada satu pelabuhan besar pada setiap 50 kilometer panjang pantainya. Sulit dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur transportasi dan jalan di tanah air masih berjalan lambat, bakan nyaris stagnan. Lihat saja misalnya akses jalan, sarana bandara, pelabuhan yang terbatas. Sistem logistik dan pengangkutan juga belum ada keterpaduan, sehingga sering memicu timbulnya high cost economic (ekonomi biaya tinggi) dari jasa angkutan dan distribusi. Permasalahan infrastruktur jalan di Indonesia berkembang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah-wilayah perkotaan. Begitu pula dengan pesatnya pertambahan jumlah kendaraan yang kurang diimbangi dengan penambahan ruas jalan. Karena alokasi dana pemerintah yang terbatas, pembangunan infrastruktur selalu tertinggal. Di beberapa daerah, perbaikannya sangat lambat. Akibatnya bukan hanya macet namun juga menimbulkan biaya tinggi, baik karena bahan bakar yang terbuang sia-sia, waktu yang tidak produktif, yang ujungnya berdampak pada harga barang yang ikut melambung. Belum lagi akibat bencana, seperti banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah. Bahkan di Ibukota Jakarta dan sekitarnya pun, masih banyak jumpai kerusakan infrastuktur jalan. Kerusakan itu terjadi tak hanya di daerah pinggiran, namun juga bnyak terjadi di jalan-jalan utama. Padahal infrastruktur bukan cuma untuk kelancaran angkutan dan distribusi di dalam negeri, namun juga menunjang kelancaran perdagangan antar negara. Itulah makanya, calon investor selalu menanyakan kesiapan infrastruktur ini sebelum memutuskan untuk

menginvestasikan dananya. Seperti di Negara-negara kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia yang diproyeksikan akan berkembang lebih pesat dibandingkan kawasan-kawasan lainnya. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terus melaju di kawasan ini, tentu harus didukung oleh ketersediaan infrastruktur. Sebagaimana diketahui, pembangunan infrastruktur memiliki korelasi kuat dalam menambah jumlah lapangan kerja. Menurut data BPS, pada bulan Februari 2010, dari total angkatan kerja sebesar 116,00 juta orang, sekitar 92,60 persennya adalah penduduk yang bekerja. Penduduk yang bekerja pada Februari 2010 bertambah sebanyak 2,53 juta orang (2,42 persen)
15

dibandingkan keadaan Agustus 2009 dan bertambah sebanyak 2,92 juta orang (2,80 persen) dibandingkan keadaan setahun yang lalu (Februari 2009). Data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran pada Februari 2010 sebesar 8,59 juta orang atau mengalami penurunan sebesar 666 ribu orang (7,20 persen) dibandingkan keadaan Februari 2009 yang besarnya 9,26 juta orang. Menurut Bappenas, kegiatan pembangunan infrastruktur yang dibiayai melalui APBN, dengan total anggaran Rp 50 triliun, akan mampu menciptakan sekitar 1,4 juta pekerja selama satu tahun. Dari data tersebut kita dapat melihat bahwa jika sejak awal pembangunan infrastruktur telah dilakukan dengan baik dan terencana maka tingkat pengangguran akan lebih rendah daripada kondisi saat ini. Perbedaan daya saing dan infrastruktur antarnegara ini berimplikasi pada optimalisasi dan kualitas pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai oleh negara tersebut.

D. UPAYA PEMERINTAH DAN KENDALA ANGGARAN Pemerintah memang gencar melakukan pembangunan infrastruktur di Indonesia seperti tertuang dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau MP3EI. Keseluruhan proyek pembangunan infrastruktur akan membutuhkan dana Rp1.923,7 triliun. Pemerintah hanya mampu menyediakan pembiayaan sebesar Rp559,54 triliun melalui dana alokasi khusus (DAK). Sisanya akan dibiayai oleh pemerintah daerah melalui APBD sebesar Rp355,07 triliun, BUMN Rp340,85 triliun, dan pihak swasta melalui program Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) sebesar Rp344,67 triliun. Realisasi pembangunan infrastruktur melalui mekanisme public private partnership (PPP) masih menghadapi permasalahan. Akibatnya, proyek-proyek PPP yang dipersiapkan tidak berjalan sebagaimana diharapkan karena adanya hambatan-hambatan yang belum bisa diatasi. Paling tidak, terdapat lima masalah yang membuat proyek infrastruktur kerja sama pemerintah dan swasta berjalan lamban. Kendala itu terkait garansi risiko politik, dukungan pemerintah, masalah lahan, persiapan proyek, hingga minimnya kemampuankerjasamaproyek. Buruknya infrastruktur selama ini ternyata berbanding lurus dengan ketidakefisienan pemerintah menangani masalah ini. Anggaran yang dialokasikan untuk infrastruktur senilai Rp168,2 triliun tidak semata untuk pembangunan infrastruktur baru, tetapi juga untuk biaya perawatan. Di samping penyerapan anggaran untuk sektor infrastruktur juga rendah. Selama tahun 2005-2010 penyerapan anggaran untuk infrastrukur hanya sekitar 80% dan sebagian juga
16

untuk

biaya

perawatan,

bukan

membangun

infrastruktur

baru.

Setidaknya ada empat kendala pembangunan infrastruktur yakni minimnya belanja publik untuk pembangunan infrastruktur, rumitnya pembebasan lahan, implementasi regulasi yang masih lamban akibat daya dukung birokrasi yang lemah dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam merawat dan menggunakan infrastruktur publik yang dinilai masih rendah. Alokasi anggaran untuk infrastruktur terbilang minim dibanding dengan sektor lainnya bahkan anggaran negara terlalu berat ke biaya pegawai dan biaya subsidi. Dalam APBN 2012, belanja pegawai mencapai Rp215,73 triliun atau 22,36% dari total belanja pemerintah pusat Rp965 triliun, dan subsidi energi Rp168,5 triliun (17,47%).

Adapun belanja barang Rp142,2 triliun (14,74%) dan belanja modal Rp168,2 triliun (17,44%). Pemerintah mengalokasikan dana Rp168,2 triliun dalam belanja modal di APBN 2012 ketika sebagian besar akan digunakan untuk menunjang pembangunan infrastruktur. Alokasi tersebut, naik sekitar Rp27,2 triliun atau sebesar 19,3% dibandingkan alokasi dalam APBN-P 2011. Sedangkan dari sisi komposisi anggaran, nilai tersebut sama dengan 11.85% dari total pagu anggaran belanja negara yang nilainya mencapai Rp1.418,5 triliun. Berdasarkan prioritas belanja, anggaran itu selain akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dasar, anggaran tersebut juga akan digunakan untuk pembangunan dan pengembangan infrastruktur lainnya seperti infrastruktur energi, ketahanan pangan, dan komunikasi. Subsidi energi yang besar membuat alokasi anggaran infrastruktur menjadi terbatas. Karena itu, anggaran belanja subsidi perlu direalokasikan untuk infrastruktur. Reformasi anggaran perlu dilakukan, khususnya terkait dengan membengkaknya alokasi anggaran subsidi energi. Persoalan sekarang adalah bagaimana agar subsidi untuk sektor sektor produktif seperti infrastruktur pertanian, infrastruktur perhubungan, dan komunikasi. Selain isu spending infrastructure dalam mendukung investasi infrastruktur, juga perlu dipertajam isu seberapa besar strategi ideal yang harus dipenuhi agar rakyat miskin memiliki akses terhadap infrastruktur dan memenuhi target millennium development goals (MDGs). Untuk mempercepat pemerataan pembangunan, desain atau arah pengembangan infrastruktur hendaknya tidak lagi bias ke arah perkotaan, tetapi diarahkan juga ke pedesaan atau pertanian. Alasannya pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap

17

pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat terjadi karena sektor pertanian memiliki keterkaitan (lingage) dengan sektor lain baik yang di hulu maupun di hilir. Pemerataan pembangunan infrastruktur juga menjadi isu yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Wilayah Indonesia begitu luas, tetapi anggaran pembangunan infrastruktur pemerintah terbatas, sehingga tentunya akan menjadi permasalahan besar. Selain itu, dukungan sektor perbankan untuk pembangunan infrastruktur juga masih kurang. Perbankan lebih banyak mengucurkan kreditnya untuk sektor pertambangan ketimbang infrastruktur yang juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kredit investasi untuk proyek air dan irigasi hanya cair 12,5%, sementara sektor pertambangan cair 100%. Dalam pembangunan infrastruktur juga harus dipertimbangkan untuk menggunakan tenaga kerja lokal dan kandungan lokal sehingga mampu memberikan efek ganda bagi pergerakan ekonomi. Proyek-proyek infrastruktur besar yang dibiayai dengan kredit investasi asing, masih menggunakan tenaga kerja asing dan kandungan impor yang tinggi, sehingga manfaat yang diperoleh tidak maksimal.

18

III. PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Penurunan peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2012 ini seharusnya membuat pemerintah dan dunia usaha segera mencari jalan keluar mengatasi penyebab penurunan daya saing tersebut. Indeks daya saing global yang dibuat oleh WEF dapat menjadi rujukan untuk menentukan perbaikan yang perlu dilakukan. Selain itu, dengan belajar dari negara-negara lain yang menunjukkan kenaikan indeks cukup signifikan, dapat dipelajari kebijakan apa yang perlu dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan indeks daya saing. 2. Laporan periodik WEF tahun 2012 ini juga menyertakan kendala-kendala yang menghambat untuk berusaha di Indonesia, antara lain: birokrasi pemerintah yang tidak efisien, korupsi, keterbatasan infrastruktur, etika kerja yang buruk, hambatan peraturan perburuhan, dan lain-lain. 3. Perbaikan infrastruktur penting karena pengaruhnya terhadap perekonomian cukup besar, meski bersifat jangka panjang. Pembangunan infrastruktur dapat menjadi alat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan penyerapan lapangan kerja. Maka dari itu pemerintah harus lebih fokus dalam membangun Infrastruktur di berbagai wilayah dan kreatif dalam pembiayaan karena diyakini langkahlangkah ini akan mampu meningkatkan daya saing Indonesia di era global dan memunculkan efek multiplier lainnya seperti penurunan angka pengangguran, percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan interaksi sosial ekonomi masyarakat. B. SARAN Mengingat bahwa salah satu masalah utama dalam pembangunan infrastruktur adalah pembiayaan. Saat ini pemerintah menghadapi tantangan serius dalam pembiayaan infrastruktur dimana keterbatasan dana menyebabkan tidak mungkinnya pemerintah mengandalkan metode pembiayaan konvensional untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat apalagi sampai menjangkau daerah terpencil. Untuk memenuhi anggaran tersebut harus ada terobosan alternatif dalam pembiayaan infrastruktur yang bisa dilakukan pemerintah, di antaranya :

19

1. Alternatif pembiayaan tersebut berasal dari dana pinjaman luar negeri atau dari dalam negeri, misalnya menerbitkan dengan Surat Utang Negara (SUN). 2. Alternatif lainnya, pemerintah juga harus progresif dalam membangun kerjasama dan kemitraan dengan publik dan swasta dalam pembangunan infrastruktur. Keterbatasan sumber daya pemerintah mutlak memerlukan hadirnya pihak swasta dalam penyediaan infrastruktur. Kemitraan pemerintah-swasta (public private partnership) dalam pembangunan proyek infrastruktur merupakan altematif strategi pembiayaan yang tepat. Kemitraan pemerintah dengan swasta didefinisikan sebagai suatu perjanjian kontrak antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak dikerjasamakan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. 3. Salah satu konsep yang perlu dikembangkan untuk jangka panjang adalah konsep Users pays sebagaimana diterapkan pada jalan tol di Indonesia. Sebagai contoh, dalam pembangunan jalan tol prinsipnya harus memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman yang benar-benar dirasakan manfaatnya. Model seperti ini dapat dilakukan untuk pengembangan infrastruktur lain diberbagai wilayah di Indonesia.

20

REFERENSI http://www.bappenas.go.id/blog/?p=826/Penurunan-Peringkat-Daya-Saing-Indonesia-2012/ (diakses 19 April 2013 pukul 10.30 WIB) http://makassar.tribunnews.com/Infrastruktur-dan-Pendanaan-Poin-Penting-Meningkatkan-DayaSaing/ (diakses pada 20 April 2013 pukul 13.30 WIB) http://www.eksekutif.co.id/746-buruknya-infrastruktur-masih-jadi-ganjalan.html. (diakses pada tanggal 20 April 2013 pukul 15.00 WIB) http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi-1898-infrastruktur-buruk-daya-saing-terpuruk.html. (diakses 20 April 2013 pukul 15.00 WIB) http://log.viva.co.id/news/read/246182-daya-saing-turun--apa-daya-indonesia.htm (diakses 20 April 2013 pukul 15.00 WIB) http://www.waspada.co.id/Perbaikan-Infrastruktur-ciptakan-daya-saing/index.php.htm 20 April 2013 pukul 15.00 WIB) (diakses

http://bisniskeuangan.kompas.com/Infrastruktur.Indonesia.Peringkat.78.htm (diakses 20 April 2013 pukul 15.00 WIB) http://www.kemalstamboel.com/manajemen/artikel/ekonomi-artikel/infrastruktur-infrastruktursekali-lagi-infrastruktur.html (diakses 20 April 2013 pukul 15.30 WIB) http://pkpds.wordpress.com/category/uncategorized/Konsep-dan-Pemahaman-tentang-Daya Saing-Pengkajian-Kebijakan-Peningkatan-Daya-Saing.htm (diakses 20 April 2013 pukul 15.30 WIB) Basri, Faisal dan Haris Munandar. 2009. Lanskap Ekonomi Indonesia : Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-Masalah Struktural , Transformasi Baru , dan Prospek Perekonomian Indonesia. Jakarta : Penerbit Kencana.

The Global Competitiveness Report 2012-2013. World Economic Forum (WEF). 2012. www.weforum.org

21

Anda mungkin juga menyukai