Zonasi Gempa Bumi Di Indonesia
Zonasi Gempa Bumi Di Indonesia
Zonasi Gempa Bumi Di Indonesia
Gempa bumi tetap menjadi obyek serius yang perlu terus-menerus dicermati.
Baru saja kita dikejutkan oleh berbagai peristiwa gempa bumi di wilayah tanah
air. Bahkan juga di wilayah-wilayah lain dalam belahan bumi ini, setelah empat
tahun berlalu peristiwa gempa bumi di Bengkulu 4 Juni (2000), kemudian di
Pandeglang (2000), Suka Bumi (2000), Majalengka, Denpasar, Nabire (2004)
serta Aceh dan Sumatera Utara 26 Desember 2004.
Kita seolah-olah terlena, bahkan mungkin saja tidak menyadari sesungguhnya
daerah yang kita diami ini tergolong sebagai wilayah yang rawan gempa bumi.
Artinya, ancaman terhadap keselamatan jiwa dan kerugian investasi, bisa muncul
setiap saat. Tulisan ini bukan bertujuan menakut-nakuti akan tetapi lebih
mengarah kepada meningkatkan kepedulian kita untuk menyadari situasi dan
posisi kita untuk melakukan mitigasi terhadap bahaya yang ditimbulkan gempa
bumi.
Teori Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng (teori tektonik global) adalah suatu yang menjelaskan
mobilitik dari bumi. Pola pemikiran dari teori mobilistik bumi ini adalah
permukaan bumi kita terdiri dari beberapa lempeng besar berukuran benua,
masing-masing dari bagian samudera dan benua serta sifatnya mobil (bergerak).
Teori tektonik lempeng mengajarkan kepada kita bahwa permukaan bumi (kerak
bumi) terpecah menjadi kurang lebih 12 lempengan benua dan samudera/lautan,
saling bergerak relatif satu terhadap yang lain, seolah-olah mengapung di atas
selimut "mantle" yang menyelimuti inti bumi "core" gerakannya dapat bersifat: a.
Saling mendekat di mana satu menghunjam terhadap yang lain (konvergensi), b.
Saling menjauh "divergensi", dan c. Saling berpapasan/bergesekan "shering"
(Vyeda. S, 1977 dan Katili, 1979).
Gerak "konvergensi" adalah suatu gerakan penekukan/penukikan lempeng
samudera di bawah lempeng benua. Tebal setiap lempeng berkisar 60 km-90 km.
Kecepatan gerak lempeng-lempeng tersebut beragam mulai dari 7 cm/tahun
sampai 20 cm/tahun. Batas lempeng dan patahan-patahan yang terjadi
diinteraksi tersebut bersifat sangat labil dan akan menimbulkan penumpukanpenumpukan energi seismik sehingga terjadi tegangan yang cukup tinggi,
kemudian dilepaskan secara tiba-tiba berupa kejutan gempa.
Gerak "divergensi" adalah suatu gerakan menyimpang dari lempeng-lempeng dan
ini terjadi pada sistem pundak tengah samudera "Mid-Ocean Ridge", bahan panas
ke luar dari celah-celah besar dalam bentuk lava di tengah samudera. Dengan
demikian teori tektonik lempeng ini dengan logika dapat menerangkan asal mula
berbagai jenis bencana dari gempa bumi sampai letusan gunung api, juga dapat
menerangkan secara menyeluruh tentang gerak kerak bumi serta asal-usul
endapan berharga seperti mineral dan minyak bumi yang terdapat di dasar
samudera maupun di darat.
Gempa Bumi Di Indonesia
Aplikasi dari teori tektonik lempeng untuk kepulauan Indonesia menerangkan
bahwa nusantara ini merupakan tempat perbenturan 4 lempeng kerak bumi;
Lempeng Eurasia/Asia Tenggara, Lempeng Pasifik, Hindia-Australia, dan Lempeng
Philipina.
Keadaan ini jarang terjadi di muka bumi lainnya. Pada umumnya di permukaan
bumi pergerakan lempeng kerak bumi hanya menyangkut 2 buah lempengan
saja. Dengan terjadinya pergerakan 4 buah lempengan kerak bumi yang berbeda
jenis dan arah yang berbeda-beda tersebut, maka Indonesia yang kita banggakan
ini berada pada posisi kawasan yang sangat labil dan kondisi geologinya menjadi
amat rumit.
A. Di kawasan timur Indonesia Samudera Pasifik bergerak dengan kecepatan
rata-rata 8 cm/tahun (Sudrajat, 1997) membentur Lempeng Eurasia dan arah
timur, sehingga merobekkan kerak bumi di Sulawesi dengan terbentuknya
patahan-patahan geser: patahan Pulokoro, patahan Matano, dan patahan Sorong
dll. Fragmen-fragmen benua mikro yang banyak dijumpai di kawasan Timur
Indonesia yang selama ruang dan waktu geologi yang lama telah bergeser sejauh
ratusan kilometer meninggalkan tempatnya seperti fragmen kepulauan Banggai
Sula yang telah lepas dari induknya. Sementara itu dari Selat Lempeng Australia
bergerak ke utara yang bergerak ke barat-barat laut, pembenturan ini
mengakibatkan terbentuknya pegunungan-pegunungan lipatan (pegunungan Jaya
Wijaya) seperti "highland fold thrust belt", "Lengguru Fols Thrust Belt," dan
patahan-patahan geser dan naik: patahan Terera-Aiduna, patahan Mamoa,
patahan Sungkup Membramo "Membramo Thrush Belt" (PTFI, 1997).
B. Laut Maluku merupakan tempat perbenturan antara lempeng-lempeng EurasiaPasifik-Philipina. Benturan ini menyebabkan terbentuknya penunjaman/penukikan
ganda. Busur Sangihe menukik ke barat mencapai kedalaman 650 km, dan busur
Halmahera menukik ke timur mencapai kedalaman 300 km. Kedua busur
dipisahkan oleh suatu pematang yang dikenal sebagai Pematang Mayu.
C. Di kawasan barat Indonesia keteraturan garis-garis tektonik jelas terlihat.
Kecepatan penukikan lempeng benua Hindia-Australia rata-rata 7,7 cm/tahun,
menukik relatif serong di belahan Sumatera. Penukikan serong ini menghasilkan
palung-palung laut dalam dan di darat menghasilkan pegunungan Bukit Barisan
dan gerak "Shear" membentuk segmen-segmen patahan geser Sumatera.
Kecepatan gerak tiap segmen memperlihatkan kecepatan yang berbeda-beda:
segmen Andaman bergerak sekitar 40 mm/tahun, Segmen Krueng Aceh sekitar
14,5 mm/tahun, Segmen Toba sekitar 23 mm/tahun, Segmen Singkarak sekitar
18 mm/tahun, Segmen Ranau sekitar 9 mm/tahun, dan Segmen Selat Sunda
sekitar 10 mm/tahun dan segmen ini menimbulkan gempa dengan besaran
sekitar 7,3 Mw (Sebrier, M. Promumijoyo, Olievier Bellier, 1989, dan Puslitbang
Geologi, 2000). Sementara itu penukikan tegak lurus dengan kecepatan sekitar 7
cm/tahun terjadi mulai dari Jawa sampai ke Nusa Tenggara. Di daerah ini terjadi
penukikan balik dengan terjadinya garis tektonik yang dikenal sebagai patahan
naik Busur Belakang Flores. Kedalaman penukikan mencapai kedalaman 650 km.
Selat Sunda merupakan zona transisi antara kedua daerah tersebut, dengan
kedalaman penukikan mencapai 250 km.
Gerak kemampuan lempeng-lempeng aktif tersebut di atas membebaskan
sejumlah energi yang telah tersimpan/terkumpul sekian lama secara tiba-tiba.
Proses ini merupakan suatu peristiwa penyebab gempa bumi di Indonesia.
Kawasan-kawasan yang menyimpan potensi gempa bumi, (jalur tunjangan,
tubrukan, fragmen-fragmen benua mikro dan patahan-patahan aktif) dinamakan
sebagai daerah-daerah atau zona sumber gempa bumi. Secara umum sumber
gempa Indonesia dibagi menjadi: 1. Zona sumber gempa bumi subduksi, 2. Zona
sumber gempa bumi patahan "shallow crustal faults", dan 3. Zona sumber gempa
bumi tersebar "disfuse".
1. Zona sumber gempa bumi subduksi. Sebagian dari gempa-gempa sundiksi
atau berasosiasi dengan lempeng menukik di bawah lempeng lain mempunyai
kedalaman antara +/- 30 km sampai 650-700 km. Gempa bumi dangkal yang
berhubungan dengan jenis gempa ini sebagian besar terletak di laut dan
Kesimpulan
a. Indonesia yang terletak di pertemuan empat lempeng besar benua dan
samudera merupakan daerah yang sangat rentan terhadap bahaya gempa bumi
dan bahaya ikutannya.
b. Wilayah Indonesia dibagi dalam 6 wilayah gempa, di mana wilayah gempa 1
merupakan wilayah gempa paling rendah, dan wilayah gempa 6 merupakan
daerah gempa tertinggi.
Penutup
Indonesia yang berada pada posisi rawan gempa harus "disikapi" dengan serius
oleh masyarakat luas terutama pemerintah agar mengambil langkah-langkah
jangka pendek, menengah maupun panjang dengan program yang jelas dan
terlaksana dalam rangka mitigasi terhadap bahaya gempa. Ini menjadi PR besar
bagi kita semua. Bravo Indonesia. (SHD)
PLATE TECTONICS
Teori yang mengatakan bahwa kerak-kerak bumi tidak bersifat permanen, tetapi bergereakgerak secara mengapung, mulai diperkenalkan pada awal abad 20. Setelah melalui berbagai perdebatan
yang sengit selama beberapa tahun, ide atau teori ini ditolak oleh sebagian besar ahli ilmu bumi. Tetapi,
selama periode tahun 1950-an sampai 1960-an banyak bukti-bukti yang ditemukan oleh para peneliti
yang mendukung teori tersebut, sehingga teori yang sudah pernah ditinggalkan ini menjadi
pembicaraan lagi atau mulai diperhatikan lagi. Pada tahun 1968 teori tentang kontinen mengapung ini
telah diterima secara luas, dan selanjutnya disebut Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonics).
Pengapungan Kontinen : Sebuah Ide Tentang Masa Lalu
Pada tahun 1912, Alferd Wegener, seorang ahli klimatologi dan geofisika, menerbitkan
bukunya yang berjudul The Origin of Continents and Oceans. Pada bukunya ini Wegener
mengemukakan empat teori dasar yang berhubungan dengan hipotesis radikalnya tentang
Pengapungan Kontinen. Salah satu dalilnya mengatakan bahwa dulunya ada sebuah superkontinen
yang kemudian disebut Pangea (berarti benua secara keseluruhan), berada dalam satu kesatuan.
Kemudian dia menghipotesis bahwa sekitar 200 juta tahun yang lalu superkontinen ini mulai terpecahpecah menjadi kontinen-kontinen yang lebih kecil, yang kemudian berpindah secara mengapung dan
meempati posisinya seperti sekarang ini. Wegener dan kawan-kawanya yang sependapat dengan teori
ini, kemudian mengumpulkan sejumlah bukti untuk mendukung pendapatnya. Bukti-bukti tersebut
adalah adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika, baik dari segi paleoklimatik, fosil,
maupun struktur batuan, yang kesemuanya menunjukkan bahwa kedua benua tersebut pernah menjadi
satu.
Kesesuaian Kontinen
Bukti yang paling kuat tentang adanya kesesuaian antara Amerika Selatan dan Afrika telah
dikemukakan oleh Sir Edward Bullard dan kawan-kawanya pada tahun 1960-an. Bukti tersebut berupa
peta yang digambar dengan menggunakan bantuan komputer, dimana datanya diambil dari kedalaman
900 meter di bawah muka air laut.
Bukti-bukti Fosil
Fosil-fosil yang diajukan oleh Wegener untuk mendukung teorinya, adalah :
Fosil tumbuhan Glassopteria yang ditemukan menyebar secara luas di benua-benua bagian
Selatan, seperti Afrika, Australia dan Amerika Selatan. Fosil ini berumur Mesozoikum. Fosil
tersebut kemudian ditemukan juga di benua Antartika.
Fosil reptil Mesosaurus yang ditemukan di Amerika Selatan Bagian timur dan Afrika bagian
Barat.
Kesamaan Tipe dan Struktur Batuan
Contoh kesamaan batuan yang ditemukan adalah : Busur Pegunungan Appalachian yang
berarah timurlaut dan memanjang sampai ke bagian timur Amerika Serikat, yang tiba-tiba menghilang
di bagian pantai Newfoundland. Pegunungan yang mempunyai umur dan struktur yang sama dengan
pegunungan di atas, ditemukan di Greendland dan Eropa Utara. Jika kedua benua tersebut (Amerika
dan Eropa) disatukan kembali, maka pegunungan di atas juga akan bersatu menjadi satu rangkaian
pegunungan.
Bukti Paleoklimatik
Dari hasil penelitiannya, Wegener menemukan bahwa pada Akhir Paleozoikum, sebagian
besar daerah di belahan bumi bagian selatan telah ditutupi oleh lempengan-lempengan es yang tebal.
Daerah-daerah tersebut adalah Afrika bagian Selatan, Amerika Selatan, India dan Australia.
Wegener juga menemukan bukti bahwa pada saat yang sama (Paleozoikum Akhir), daerahdaerah sekitar 30o di dekat khatulistiwa yang beriklim tropis dan subtropis juga ditutupi oleh es.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, maka Wegener menyimpulkan bahwa dulunya
secara keseluruhan daerah di bagian selatan bumi telah ditutupi oleh lapisan es. Kemudian secara
perlahan-lahan sebagian massa benua di bagian tersebut bergerak ke arah utara, yaitu ke arah
khatulistiwa. Hal ini terbukti karena adanya lapisan es yang ditemukan di daerah sekitar khatulstiwa
tersebut. Wegener menyimpulkan hal ini, karena secara logis tidak mungkin terbentuk lapisan es yang
luas dan tebal di daerah khatulistiwa, yang diketahui beriklim tropis dan subtropis.
Pertentangan Pendapat
Sejak tahun 1924 hingga tahun 1930 banyak kritikan yang diajukan oleh para ahli untuk
menentang teori yang dikemukakan oleh Wegener. Salah satu keberatan yang paling utama tentang
teori ini adalah tidak mampunya Wegener untuk menjelaskan atau menggambarkan bagaimana
mekanisme dari proses pengapungan kontinen ini. Untuk menjawab kritikan ini, Wegener mengajukan
dua usulan tentang kemungkinan sumber energi yang menjadi penyebab terjadinya pengapungan. Salah
satunya adalah proses pasang-surut, yang oleh Wegener dianggap mampu untuk menyebabkan
terjadinya pergerakan pada kontinen. Tetapi, seorang ahli fisika yang bernama Harold Jeffreys dengan
cepat menentang argumen tersebut, dengan mengajukan alasan bahwa pergeseran pasang-surut yang
besar yang diperlukan untuk memindahkan tempatkan kontinen, tentu saja akan menyebabkan
terhentinya proses rotasi bumi hanya dalam beberapa tahun saja.
Kemudian Wegener juga mengajukan usulan kedua, yaitu bahwa sebuah kontinen yang besar
dan luas akan mampu untuk memecahkan lempeng samudera menjadi pecahan-pecahan yang lebih
kecil, seperti es yang terpotong-potong. Tetapi, tidak ada bukti yang memuaskan yang mampu untuk
menjelaskan apakah kerak atau lantai samudera cukup lemah untuk mampu dipecah oleh kontinen,
tanpa menyebabkan terjadinya deformasi pada kontinen maupun lempeng samudera itu sendiri. Sampai
tahun 1929, kritikan-kritikan yang diterima oleh Wegener sudah sangat gencar dan datang dari berbagai
ahli di berbagai tempat. Untuk menjawab serangan kritikan ini, Wegener menyelesaikan edisi keempat
sekaligus edisi terakhir dari bukunya, yang secara khusus memuat dasar-dasar hipotesisnya yang
ditambah dengan berbagai bukti untuk mendukung hipotesis tersebut.
Tektonik Lempeng : Sebuah Versi Modern Dari Ide Yang Lama
Beberapa tahun setelah Wegener mengajukan teorinya, mengenai perkembangan teknologi
yang pesat menyebabkan mampunya dilakukan pemetaan pada lantai samudera, serta ditemukannya
data-data yang banyak tentang aktivitas seismik dan medan magnit bumi. Sampai tahun 1968,
perkembangan teknologi ini sedemikian pesatnya, hingga pada saat itu dikemukakan sebuah teori yang
lebih memuaskan daripada teori pengapungan kontinen. Teori ini kemudian dinamakan Teori Tektonik
Lempeng.
Teori ini menyatakan bahwa bagian luar dari bumi, yaitu pada bagian litosfer, terdapat sekitar
20 segmen yang padat yang dinamakan lempeng. Dari semua itu, yang terbesar adalah lempeng
Pasifik, yang menempati sebagian besar lautan, kecuali pada sebagian kecil dari Amerika Utara yang
meliputi Kalifornia bagian Baratdaya dan Semenanjung Baja. Semua lempeng besar lainnya dapat
berupa kerak-kerak kontinen maupun kerak samudera. Sedang lempeng-lempeng yang lebih kecil
umumnya hanya sebagai kerak samudera, contohnya lempeng Nazca yang terdapat di lepas pantai
Barat Amerika Selatan.
Litosfer terletak di atas zona atau material yang lebih lemah dan lebih panas, yang disebut
astenosfer. Dengan demikian, lempeng-lempeng litosfer yang sifatnya padat dilapisbawahi oleh
material yang lebih plastis. Nampaknya ada hubungan antara ketebalan dari lempeng-lempeng
litosfer dengan sifat dari material kerak yang menutupinya. Lempeng-lempeng samudera sifatnya lebih
tipis, dengan variasi ketebalan antara 80 sampai 100 km atau lempeng atau blok kontinen mempunyai
ketebalan 100 km atau lebih, bahkan pada beberapa daerah dapat mencapai 400 km.
Salah satu prinsip utama dari teori tektonik lempeng adalah bahwa setiap lempeng bergerakgerak sebagai satu unit terhadap unit lempeng lainnya. Jika sebuah lempeng bergerak, maka jarak
antara dua kota yang berada dalam satu lempeng, seperti New York dan Denver, akan tetap sama,
sedangkan jarak antara New York dan London yang berada pada dua lempeng yang berbeda, akan
berubah. Karena setiap lempeng bergerak sebagai satu unit, maka banyak interaksi yang dapat terjadi
antara satu lempeng dengan lempeng lainnya di sepanjang batas-batas dari lempeng-lempeng tersebut.
Berdasarkan hal inilah, maka sebagian besar aktivitas seismik, volkanisma dan pembentukan
pegunungan terjadi di sepanjang batas-batas yang dinamis tersebut.
Batas-Batas Lempeng
Ada tiga tipe batas-batas lempeng, yang masing-masing dibedakan dari jenis pergerakannya,
yaitu :
1.
Batas-batas divergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling menjauh, yang
menyebabkan naiknya material dari mantel bumi dan membentuk lantai samudera yang luas.
2.
Batas-batas konvergen, dimana lempeng-lempeng bergerak saling mendekati, yang
menyebabkan salah satu dari lempeng tersebut masuk ke mantel bumi dan berada di bawah
lempeng lainnya.
3.
Batas-batas patahan transform, dimana lempeng-lempeng bergerak saling bergesekan
tanpa menyebabkan terjadinya penghancuran pada litisfer.
Batas-batas Divergen
Batas-batas divergen bisa ditemukan di daerah punggungan samudera. Di daerah ini, pada saat
lempeng bergerak saling menjauh dari sumbu punggungan, maka celah yang timbul akan diisi dengan
cepat oleh magma yang naik dari astenosfer. Material ini akan menjadi dingin secara perlahan-lahan
dan membentuk lantai samudera yang baru. Mekanisme ini, yang menyebabkan terbentuknya lantai
atau dasar dari Lautan Atlantik sekitar 165 juta tahun yang lalu, disebut Pemekaran lantai samudera.
Tingkat pemekaran di daerah punggungan samudera ini diestimasikan sekitar 2 sampai 10 cm pertahun,
dan rata-rata 6 cm (2 ichi) pertahun. Karena batuan yang baru terbentuk jumlahnya sama di keuda sisi
dari lempeng yang saling menjauh, maka tingkat pertumbuhan dari lantai samudera adalah dua kali dari
nilai tingkat pemekaran.
Jika pusat pemekaran terdapat atau terjadi di lempeng kontinen, maka kontinen akan terpecahpecah menjadi segmen-segmen yang lebih kecil. Fragmentasi dari kontinen ini disebabkan oleh adanya
pergerakan ke arah atas dari batuan yang panas (magma) yang berada di bawah. Akibat dari aktivitas
ini adalah melengkungnya kerak kontinen ke arah atas di bagian yang diintrusi tersebut. Hal ini disertai
dengan timbulnya retakan-retakan di bagian tersebut. Kemudian bagian litosfer yang terpecah-pecah
tersebut akan tertarik secara leteral ke arah yang berlawanan. Selanjutnya bagian yang pecah-pecah
tersebut akan jatuh dengan gerakan menggelincir. Lembah patahan turun yang bersekala besar yang
disebabkan oleh proses di atas, selanjutnya disebut Celah atau lembah celah.
Batas-batas Konvergen
Telah diketahui bahwa pada proses pemekaran akan terbentuk litosfer yang baru, sedangkan
luas total permukaan bumi haruslah tetap konstan, dengan demikian pada bagian lai dari bumi pastikah
ada litosfer yang rusak atau hilang. Bagian tersebut adalah bagian konvergen atau daerah pertemuan
lempeng. Jika dua lempeng saling bertabrakan/bertumbukan, maka bagian ujung dari salah satu
lempeng tersebut akan bergerak ke arah bawah dari lempeng lainnya. Bagian lempeng yang di bawah
ini akan masuk ke daerah astenosfer, akibatnya bagian tersebut akan menjadi panas dan hilang
rigiditasnya. Bergantung pada besarnya sudut kemiringan bagian yang lengkung ke bawah tersebut,
maka kedalaman penyusupannya bisa mencapai 700 km, sebelum bagian ini betul-betul terasimilasi
dengan material mantel atas (astenosfer).
Tumbukan bisa terjadi antara dua lempeng samudera, satu lempeng samudera dan satu
lempeng kontinen, atau dua lempeng kontinen. Jika terjadi tumbukan antara lempeng kontinen dan
lempeng samudera, maka lempeng kontinen yang kecil densitasnya akan berada di bagian atas,
sedangkan lempeng samudera yang lebih besar densitasnya akan menyusup ke bawah bagian
astenosfer. Daerah dimana proses ini terjadi disebut zona subdaksi. Karena lempeng samudera
menyusup ke arah bawah, maka lempeng ini akan melengkung dan selanjutnya membentuk palung laut
dalam (trench) yang berbatasan dengan zona subdaksi tersebut. Palung-palung yang terbentuk di
daerah ini bisa mencapai panjang ribuan kilometer, sedang dalamnya antara 8 sampai 11 km.
Tumbukan Kontinen-Samudera
Sudut kemiringan lempeng samudera yang menyusup ke dalam astenosfer umumnya sebesar
45o atau lebih. Lempeng samudera ini, bersama-sama dengan material sedimen serta cairan-cairan yang
dikandungnya, akan larut dan bersatu dengan cairan astenosfer yang panas. Magma baru yang
terbentuk dari proses ini densitasnya lebih kecil daripada densitas material disekitarnya, yaitu densitas
penyusun mantel bumi, konsekuensinya, jika jumlah magma baru ini sudah jenu, maka magma tersebut
akan naik secara perlahan. Sebagian besar magma yang naik ini akan sampai ke bagian atas dari kerak
kontinen, dimana dia akan menjadi dingin dan terkristalisasi pada kedalaman beberapa kilometer.
Sedangkan sebagian sisanya akan termigrasi ke permukaan dan kadang-kadang membentuk erupsi
volkanik yang eksplosif. Pegunungan volkanik Andes merupakan pegunungan yang terbentuk dari
proses ini, dimana Lempeng Nazca mengalami peleburan pada saat menunjam di bawah Lempeng
Kontinen Amerika Selatan. Tingginya frekuensi gempa bumi di daerah Andes, merupakan bukti dari
proses tersebut.
Pegunungan seperti Andes yang terbentuk akibat asosiasi aktifitas volkanik dengan proses subdaksi,
disebut busur volkanik.
Tumbukan Samudera-Samudera
Pada saat dua buah lempeng samudera saling bertumbukan, maka salah satunya akan
menunjam di bawah yang lain, yang juga akan diikuti oleh terjadinya aktivitas volkanik, seperti pada
tumbukan kontinen-samudera. Tetapi, dalam kasus ini volkanisma akan terjadi di lantai samudera,
bukan di daerah kontinen. Jika aktivitas volkanik ini terjadi terus menerus, maka sebuah benua baru
akan muncul dari laut dalam. Pada tahap awal dari proses ini, benua baru yang terbentuk tersebut akan
terdiri atas jajaran kepulauan volkanik yang kecil, yang disebut busur kepulauan. Busur kepulauan ini
umumnya berlokasi sekitar beberapa ratus kilometer dari palung laut dalam, dimana aktivitas subdaksi
sedang terjadi.
Tumbukan Kontinen-Kontinen
Tumbukan antara lempeng kontinen dengan kontinen dapat diambil contoh tumbukan antara
Lempeng India yang membentur Asia, dan membentuk Pegunungan Himalaya, yang merupakan
pegunungan yang terbesar dan terluas di dunia. Pada saat terjadi tumbukan seperti ini, maka lempeng
kontinen akan tertekuk, terpecah-pecah dan umumnya menjadi lebih pendek.
Patahan Transform
Tipe ketiga dari batas-batas lempeng adalah patahan transform, dimana lempeng-lempeng
saling bergesekan satu dengan yang lain tanpa menyebabkan terbentuknya lempeng/kerak yang baru,
seperti yang terjadi pada pemekaran punggungan samudera, serta juga tidak mengakibatkan rusaknya
lempeng, seperti yang terjadi pada zona subdaksi.
Istilah patahan transform ini pertama kali diusulkan oleh J. Tuzo Wilson dari University of
Toronto, pada tahun 1965. Wilson mengatakan bahwa patahan normal ini, bersama-sama dengan proses
konvergen dan divergen, merupakan suatu rangkaian proses kontinyu yang membagi-bagi selubung
luar bumi menjadi beberapa lempeng padat yang terpisah-pisah.
Wilson memberikan istilah yang khusus pada patahan ini, yaitu patahan transform, karena
pergerakan relatif dari lempeng-lempeng tersebut dapat berubah atau tertransformasi satu sama lainnya.
Seperti telah diperhatikan atau dijelaskan pada contoh terdahulu, bahwa proses divergen yang terjadi
pada pusat pemekaran dapat berubah/tertransformasi menjadi proses konvergen di zona subdaksi.
Sebagian besar patahan transform terjadi di kerak samudera, tetapi ada juga sedikit yang
terjadi di kerak kontinen, seperti di Patahan San Andreas di Kalifornia.
Pangea : Sebelum dan Sesudah
Robert Dietz dan John Holden telah mencoba untuk merekonstruksi bagaimana keadaan
sebenarnya dari migrasi besar-besaran yang pernah dialami oleh individu-individu kontinen, selama
lebih dari 500 juta tahun. Dengan mengekstrapolasikan kembali pergeraekn lempeng, yang
dihubungkan dengan perjalanan waktu, dan dibantuk oleh data-data seperti orientasi struktur volkanik,
distrubusi dan pergerakan transform, serta paleomagnetisme, Dietz dan Holden telah mampu untuk
merekonstruksi Pangea. Dengan menggunakan data penanggalan radiometri, kedua ahli ini juga dapat
menentukan kapan Pangea ini mulai terbentuk dan kapan mulai terpecah. Kemudian berdasarkan datadata posisi relatif dari hot spot, maka juga dapat menentukan lokasi yang tepat dari setiap kontinen.
Terpecah-pecahnya Pangea
Pangea mulai terpecah sekitar 200 juta tahun yang lalu, dimana terjadi fragmentasi yang
diikuti oleh jalur-jalur pergerakan dari setiap kontinen dan terdapt dua buah celah besar yang terjadi
akibat fragmentasi ini. Celah antara Amerika Utara dan Afrika menyebabkan munculnya batuan basal
yang berumur Trias secara besar-besaran disepanjang Pantai Timur Amerika Serikat. Penanggalan
radiometri pada basal ini menunjukkan bahwa celah tersebut antara 200 sampai 165 juta tahun yang
lalu. Waktu ini sekaligus bisa digunakan sebagai waktu terbentuknya Atlantik Utara. Celah yang
terbentuk di bagian selatan Gondwana berbentuk hurup Y, yang menyebabkan termigrasinya Lempeng
India ke bagian Utara dan sekaligus memisahkan Amerika Selatan Afrika dari Australia Antartika.
Sekitar 135 juta tahun yang lalu, posisi kontinen Afrika dan Amerika Selatan mulai memisah
dari Atlantik Selatan. Pada saat ini India sudah berada separuh jalan menuju ke Asia, dan bagian selatan
dari Atlantik Utara telah mulai melebar. Pada Kapur Akhir, sekitar 65 juta tahun yang lalu, Madagaskar
telah terpisah dari Afrika, dan Atlantik Selatan berubah menjadi laut terbuka.
Sekitar 45 juta tahun yang lalu, India telah bersatu dengan Asia, yang kemudian menyebabkan
terbentuknya pegunungan tertinggi di dunia, yaitu Himalaya, yang tersebar di sepanjang Dataran
Tinggi Tibet. Kemudian terjadi pemisahan Greendland dari Eurasia, yang bersamaan juga terjadi
pembentukan Semenanjung Baja dan Teluk Kalifornia. Peristiwa tersebut ditaksi terjadi kurang dari 10
juta tahun yang lalu.
Sebelum Pangea
Sebelum Pangea terbentuk, massa-massa benua mungkin telah mengalami berbagai episode
fragmentasi yang sama dengan yang telah kita ketahui sekarang. Kontinen-kontinen purba tersebut dulu
telah bergerak saling menjauh satu dengan yang lainnya. Selama periode antara 500 sampai 225 juta
tahun yang lalu, fragmen-fragmen yang sebelumnya telah menyebar, mulai bersatu membentuk Pangea.
Bukti dari adanya tumbukan awal ini meliputi Pegunungan Ural di Uni Soviet dan Pegunungan
Appalacian di Amerika Utara.
Pandangan ke Masa Depan
Setelah membuat rekonstruksi keadaan dunia sekitar 500 juta tahun yang lalu, Dietz dan
Holden kemudian mencoba untuk memprediksi keadaan bumi di masa depan. Pada 50 juta tahun yang
akan datang, perubahan penting terjadi pada Lempeng Afrika, dimana sebuah lautan yang baru akan
terbentuk akibat Afrika bagian timur terpisah dari benua utama. Di Amerika Utara terlihat bahwa
Semenanjung Baja dan bagian selatan Kalifornia yang terletak di sebelah barat Sesar San Andreas,
telah tergeser melewati Lempeng Amerika Utara tersebut. Jika pergerakan ke arah utara ini, betul-betul
terjadi sesuai yang diprediksi, maka Los Angeles dan San Francisco akan saling melewati satu sama
lain.
Mekanisme Pergerakan
Distribusi panas yang tidak merata yang terdapat di dalam bumi, telah disepakati oleh para
ahli, sebagai penyebab utama terjadinya pergerakan lempeng. Distribusi panas tidak merata inilah yang
menyebabkan terjadinya arus konveksi yang besar dalam mantel bumi. Material yang panas dan lebih
kecil densitasnya, yang berasal dari mantel bagian bawah, secara perlahan-lahan akan bergerak naik ke
daerah pegunungan samudera. Pada saat material ini mnyebar secara lateral, suhunya akan turun dan
densitasnya bertambah, setelah itu material tersebut akan masuk kembali ke dalam mantel dan suhunya
naik kembali. Dalam hal ini, batuan yang ada tidak perlu untuk mencair dulu agar dapat terbawa aliran.
Analogi peristiwa ini bisa dilihat pada logam padat yang dimasukkan ke dalam cairan yang panas,
dimana logam-logam tersebut berada pada berbagai bentuk yang berbeda-beda. Demikian juga halnya
pada batuan yang berada dalam cairan panas. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa di daerah
punggungan samudera tingkat aliran panasnya lebih tinggi dibandingkan daerahdaerah lain. Hal ini
juga menunjukkan bahwa arus konveksi tidak hanya satu macam. Tetapi, jenis-jenisnya tersebut belum
diketahui dengan jelas. Ada beberapa banyakkah sebenarnya tipe arus konveksi ini ? Pada kedalaman
berapakah sebenarnya arus tersebut berada ? Bagaimanakah struktur yang sebenarnya ?
Telah diketahui lempeng samudera yang dingin mempunyai densitas yang lebih besar daripada
astenosfer yang berada di bawahnya. Dengan demikian, pada saat lempeng samudera tersebut,
tertunjam ke bawah, karena sifatnya yang berat, maka bagian belakang dari litosfer tersebut akan
tertarik. Hipotesis ini sama dengan model yang beranggapan bahwa karena tingginya tempat/posisi dari
punggungan samudera yang dapat menyebabkan litosfer tergelincir ke bawah akibat pengaruh
gravitasi. Model tekan-tarik inilah yang dengan sendirinya merupakan tipe dari arus konveksi. Pada sisi
lain, material astenosfer akan bergerak naik dan mengisi celah yang terbuka akibat proses divergen.
Versi lain dari model arus konveksi ini, menjelaskan bahwa arus tersebut berhubungan erat dengan
bintik panas (hot spot) yang terjadi di daerah mantel. Bintik panas ini diperkirakan berasal dari daerah
perbatasan antara mantel dan inti bumi. setelah bintik panas ini bergerak naik dan mencapai litosfer,
maka bintik-bintik tersebut akab tersebar secara lateral dan membawa serta lempeng-lempeng menjauh
dari pusat tempat dia naik.
GEMPA BUMI
Apa itu Gempa
Gempa adalah getaran pada bumi yang ditimbulkan oleh pelepasan energi secara cepat.
Energi tersebut terpancar ke segala arah dari sumbernya dalam bentuk gelombang, yang merambat
seperti pada rambatan gelombang bunyi di udara ketika sebuah bel/lonceng dipukul, getaran merambat
secara melingkar ke segala arah. Selama terjadi gempat bumi, dan untuk beberapa waktu kemudian,
lukisan bumi seperti deringan lonceng (ringing like bell).
Sumber dari gempa tersebut, berasal dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh ledakan
atomik (atomik explosions) atau oleh erupsi gunung api. Gempa juga disebabkan oleh interaksi dari
lempeng yang berdekatan yang saling bergerak, strain dan perubahan bentuk dari batuan. Oleh sebab
itu pada daerah batas lempeng sering terjadi gempa bumi.
Pusat gempa bumi biasanya dibawah permukaan, sedang pusat gempa yang terdeteksi
dipermukaan disebut Epicenter, yang dapat ditentukan dengan menggunakan alat seismogram dan
grafik travel-time. Dengan alat seismogram (bagian dari alat seismographs yang berfungsi sebagai
alat perekam, yang dapat memberikan informasi tentang karakteristik gelombang seismik), dapat
diketahui kecepatan rambat gelombang P, dan gelombang S, yang kemudian diplot ke dalam grafik
travel-time, dari kedua kurva diperoleh jarak pusat gempa di permukaan, atau jarak epicenter dari
seismograph.
Alat untuk mengukur/merekam gelombang gempa disebut seismograph.
Seismologi adalah ilmu yang mempelajari gelombang gempat bumi.
Gelombang gempa terbagi dua, yaitu :
1.
Gelombang permukaan (surface waves), yaitu gelombang yang merambat sepanjang
permukaan bumi.
2.
Gelombang yang menembus bagian dalam buki (body waves), terbagai dua type :
Primary waves (P. waves)
Secondary waves (S. waves)
Kedua type tersebut dibedakan berdasarkan cara perambatan (penyebaran) menembus bumi.
Gelombang P. menekan (compress) dan menarik (dilate) batuan dalam arah perambatannya. Penjelasan
dari gelombang ini seperti penjalaran gelombang yang dihasilkan pita suara manusia, yang menjalar ke
udara menuju Transmit Sound. Gelombang S. merambat tegak lurus arah getar partikelnya. Sedang
gelombang S. hanya menyebabkan perubahan bentuk.
Sarana mengukur kekuatan gempa bumi adalah skala Richter, dikemukakan oleh Charles
Richter, 1935, seorang ahli pada California Institute of Technology, yang berusaha mengurut
berdasarkan urutan tertinggi, gempa bumi yang terjadi di selatan California ke dalam golongan kuat,
menengah dan lemah.
Tsunami atau gelombang seismik lau (seimic sea waves) adalah gelombang perusak yang lebih
populer dengan sebutan gelombang pasang-surut (tidal waves), tetapi sebutan ini tidak tepat, karena
gelombang ini bukan dihasilkan oleh efek pasang-surut dari bulan atau matahari.
Istilah tsunami diberikan oleh orang Jepang untuk gelombang seismik laut, yang akibatnya sangat
dirasakan oleh mereka, istilah tsunami ini kemudian umum digunakan di dunia.
Bagian Dalam Bumi
Berdasarkan data seismologi, bumi tersusu atas 4 bagian lapisan :
1.
Kulit bumi (crust), lapisan terluar yang sangat tipis.
2.
Selubung bumi (mantle), lapisan batuan yang terletak di bawah kulit bumi, dengan ketebalan
2885 km (1789 mil).
3.
Inti luar (outer core), lapisan dengan ketebalan 2270 km (1407 mil), menunjukan karakteristik
cairan (mobile liquid).
4.
Inti dalam (inner core), logam padat dengan jari-jari 1216 km (756 mil).
Pada tahun 1909 seorang ahli seismologi Yugoslavia ANDRIJA MOHOROVICIC,
menyajikan data/bukti yang meyakinkan untuk lapisan bumi, dengan mempelajari rekaman seismik, ia
menemukan lapisan antara kerak dan mantel pada kedalaman 50 kilometer, yang kemudian dikenal
dengan nama Mohorovicic discontinus.
Peledakan batuan, dalam proses pembuatan jalan tembus dipegunungan batu dengan menggunakan
bahan peledak batu kokoh akan hancur. Bersamaan dengan itu pula terjadi goncangan di sekitarnya.
Demikian pula pada saat terjadi pemancangan paku bumi dalam pembuatan tiang pancang beton, akan
meimbulkan goncangan yang cukup jelas.
Daerah yang dipengaruhi oleh getaran buatan ini hanya sekitar 1 100 meter, sedangkan daerah yang
lebih jauh lagi pada umumnya tidak merasakan getaran.
Namun demikian karena goncangannya tidak sehebat pada gempa tektonik, maka gempa buatan ini
biasanya tidak membawa akibat yang serius dan tidak membahayakan.
Pengukuran Kekuatan Gempa
Gempa yang terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik pada umumnya lebih berbahaya
dibandingkan dengan gempa vulkanik, tanah longsor maupun buatan. Tingkatan besar kecilnya gempa
dapat dihitung melalui besarnya simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat melalui besarnya
simpangan jarum yang dipasang pada alat pencatat gempa (seismograf). Satuan besaran gempa
biasanya dipergunakan skala Richter.
Berdasarkan kedalamannya terjadinya gempa, maka gempa bumi dapat diklasifikasikan menjadi
dangkal, sedang dan dalam. Berdasarkan hal ini, dapat dijelaskan bahwa para pakar menentukan
kriteria klasifikasi gempa berbeda antara pakar satu dengan lainnya.
Dasar penetapan kedalaman gempat antara Dobrein, Allison dan Lee Stokes tidak
mempunyai argumentasi yang cukup kuat. Kegunaan klasifikasi tersebut tidak mempunyai implikasi
terhadap perubahan-perubahan permukaan bumi. justru dari beberapa pengamatan menunjukan bahwa
klasifikasi yang lebih penting adalah menentuan besar/kecilnya gempa serta jarak antara titik pusat
gempa.
Tabel. Klasifikasi Gempa Menurut Kedalaman.
Kriteria
Dobrein
Dangkal
< 70
Sedang
70 300
Dalam
> 300
Kedalaman
Allison
< 60
60 300
> 300 - 700
Lee Stokes
< 100
> 100
Menurut Allison, gempa bumi terdalam yang pernah dikenal dalamnya hanya 720 km di
rangkaian pulau-pulau Pasifik. Sekitara 85 90 % dari semua gempa berupa Gempa Dangkal, dan
kebanyakan kurang dari 8 km dalamnya.
Kurangnya gempa yang dalam barangkali dapat dihubungkan dengan temperatur dan
tekanan hidrostatika. Pergeseran-pergeseran kerak bumi yang menyebabkan terjadinya patahan,
berkaitan dengan titik patah batuan.
Semakin tinggi temperatur dan tekanan hidrostatis, sifat batuan semakin lentur yang berarti
titik patahnya juga akan bertambah besar. Dengan demikian tekanan yang bekerja pada batuan dapat
dinetralisir oleh keplastisan batuan sehingga tidak terjadi patahan, mungkin hanya terjadi
pembengkokan.
Dikaitkan dengan gradien geothermal, maka temperatur batuan di lapisan yang dalam
semakin tinggi dan semakin besar menderita tekanan hidrostatis. Oleh karena itulah maka jarang terjadi
pusat-pusat gempa di lapisan yang dalam.
Gempa dalam biasanya dijumpai di daerah perbatasan lempeng yaitu pada zona subduksi,
dimana kerak bumi menjorok ke dalam disepanjang patahan transform.
Gempa bumi yang dihasilkan oleh pergeseran kerak bumi disepanjang patahan strike-slip
fault, umumnya tergolong gempa dangkal. Hal tersebut ada kaitannya dengan pergeseran yang umum
meliputi bagian atas saja dari kerak bumi.
Pusat gempa di dalam bumi bukanlah merupakan suatu titik melainkan lebih cenderung
berupa garis atau daerah, yaitu sepanjang patahan dimana terjadi pergeseran kerak bumi. Pusat gempa
tersebut dikenal dengan nama hiposentrum.
Tempat di permukaan bumi yang tegak lurus di atas hiposentrum disebut episentrum
(Yunani; Hypo = di bawah, Epi = di atas).
Untuk menentukan letak suatu episentrum gempa, diperlukan catatan gempa bumi dari
minimal 3 stasiun pencatat gempa bumi. Jarak stasiun ke spisentrum dapat dihitung dengan
menggunakan hukum Laska, sebagai berikut :
= [( S P ) r ] megameter
Dimana :
=
S =
P =
R =
Daerah di permukaan bumi yang paling parah menderita goncangan gempa adalah daerah yang
berdekatan dengan episentrum.
Agar mengetahui tata cara penggunaan informasi tentang gempa bumi, maka para pakar
gempa telah membuat peta yang menunjukkan daerah yang rawan akan gempa bumi. Namun dalam
penyajian peta, manggunakan istilah khusus sehingga sulit dimengerti oleh kebanyakan orang/ agar
dapat membaca peta informasi gempa, maka kita harus mengenal beberapa istilah-istilah yang
dipergunakan dalam peta gempa.
Isoseismik =
yaitu garis pada peta yang menghubungkan daerah-daerah yang
mengalami gempa sama besarnya.
Pleistoseismik =
yaitu garis pada peta yang menunjukkan daerah yang paling parah
menderita goncangan gempa. Daerah tersebut terletak dalam garis
isoseite I.
Homoseismik =
yaitu daerah yang menerima getaran gempa pada waktu yang
bersamaan.
Alat Pengukur Gempa
Ukuran gempa dapat ditunjukan dengan besarnya kekuatan, yang dikenal dengan istilah
magnitud gempa, atau dengan menganalisa pengaruh gempa terhadap tingkat kerusakan yang disebut
Intensitas gempa.
Skala magnitude yang sangat terkenal adalah Skala Richter, digunakan di seluruh dunia.
Skala tersebut dibuat oleh Charles F. Richter pada tahun 1935.
Skalanya tidak mempunyai batasan atas dan bawah, sehingga dapat mencatat gempa yang
sangat lemah dan yang sangat kuat. Selisih satu skala menunjukkan perbedaan amplitudo 10 kali dan
perbedaan kekuatan sebesar 10 kali.
Meskipun tidak ada batas atasnya, namun ternyata gempa bumi yang tercatat belum ada
yang melebihi angka 9,0 pada Skala Richter. Gempa terbesar yang pernah tercatat adalah Gempa
Sauriko, Jepang, pada tahun 1933, dan Gempa Columbia tahun 1906, yang besarnya 8,9 pada Skala
Richter.
Gempa yang berskala 7 ke atas sudah tergolong gempa kuat, sedang yang kurang dari 2
termasuk lemah. Gempa hebat yang magnitudonya 8 ke atas hanya terjadi sekitar 5 kali dalam jangka
10 tahun, sedang gempa lemah yang tidak terasa oleh manusia banyaknya sekitar 800.000 kali dalam
setahun.
Kerusakan-kerusakan yang dakibatkan gempa bumi mulai dari magnitudo ke 5 atas, dan
semakin bertambah menurut bertambanhnya magnitudo gempa.
Sebelum Skala Richter, umumnya ukuran yang digunakan adalah Skala Intensitas Gempa.
Adapun skala intensitas gempa yang paling banyak digunakan adalah Skala Mercalli yang telah
disempurnakan yang terbagi dalam 12 tingkatan. Skala tersebut disusun berdasarkan hasil
penelitiannya di Amerika Serikat, dengan membagikan daftar pertanyaan kepada penduduk mengenai
kerusakan yang diakibatkan oleh gempat bumi.
Daerah-daerah yang sering dilanda gempa di dunia adalah daerah yang masih dalam keadaan
labil, daerah yang selalu bergerak dalam usaha mencari keseimbangan isostasi, khususnya daerah di
sekitar jalur pegunungan Sirkum Pasifik dan Sirkum Maditerran. Dengan demikian Indonesia termasuk
daerah yang sering dilanda gempa bumi.
Hampir 10% dari seluruh gempa di dunia terjadi di Indonesia, atau sekitar 400-500 kali tiap
tahun. Untungnya kebanyakan berpusat di dasar laut sehingga tidak terlalu banyak membawa korban
jiwa dan kerugian materi.
Apabila kita kembali menelusuri keadaan geologis Indonesia yang terletak di pertemuan
Sirkum Pasifik dan Mediterran, tidaklah mengherankan bila kepulauan kita sering dilanda gempa.
Tekanan dari lempeng yang bergerak membuat Indonesia senantiasa dalam keadaan
bergejolak. Lempeng Australia menjorok ke dalam lapisan litosfer, membentuk Zona subduksi di
sebelah selatan Pulau Jawa dan sebelah barat Sumatera. Daerah di subduksi tersebut merupakan daerah
pusat-pusat gempa bumi. Mercalli membuat skala berdasarkan tingkat kerusakan yang terjadi di
permukaan tanah.
Tabel. Skala Mercalli tentang Kekuatan Gempa
Skala
I
II
III
IV
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Katakanlah misalnya berdasarkan data-data gempa yang tercatat di suatu daerah gempa
terkuat yang pernah melanda daerah tersebut besarnya 7 pada skala Richter. Berdasarkan data-data
tersebut para pakar perancang bangunan merencanakan bangunan tahan terhadap kekuatan gempa
sebesar itu.
Jepang berusahan merancang bangunan yang tahan gempa dengan mengundang pakar-pakar dari
berbagai negara di seluruh dunia. Ada yang mengemukakan idenya berupa bangunan yang dibuat dari
bahan semacam kertas/kain, ada yang campuran beton yang sangat kuat, bangunan yang bisa elastis
bila kena getaran dan sebagainya
gempa di laut, berpeluang menghasilkan Tsunami. Patut diwaspadai, bahaya dari Tsunami bisa
berlangsung berjam-jam setelah hempasan gelombang dahsyatnya yang pertama terjadi. Itu karena sifat
gelombang yang datangnya bergulung, tidak serentak satu kali hempas.
m
Bagi Anda yang tinggal di pesisir dan yang menyukai wilayah pantai sebagai tempat berlibur, waspadai
gejala Tsunami. Bila tanah tempat Anda berpijak bergetar, segera lari ke tempat yang lebih tinggi. Hal
itu karena kita tidak bisa memprediksikan berapa menit yang dibutuhkan gelombang laut menjadi
bergulung tinggi membentuk Tsunami.
m
Kemungkinan Tsunami datang minimal dalam waktu lima menit setelah getaran yang dirasakan. Tetapi
di kawasan Kepulauan Hawaii yang juga sering dilanda gempa vulkanik, karena banyak terdapat
gunung berapi di dasar laut, Tsunami muncul sekitar beberapa jam kemudian. Kekuatan gempa di dasar
laut yang besarannya lebih dari 6 Skala Richter, biasanya berpeluang menimbulkan Tsunami.
m
Bagaimana apabila saat terjadi Tsunami Anda tengah berada di laut, di atas kapal? Getaran gempa
barangkali tidak terasa karena kapal yang bergoyang-goyang, tetapi biasanya kapal-kapal pesiar dan
kapal-kapal yang dilengkapi peralatan yang modern, tentunya dilengkapi alat komunikasi. Petugas
pelabuhan biasanya akan mengumumkan bila telah terjadi gempa di dasar laut.
m
Untuk mengantisipasi Tsunami pada saat sedang naik kapal di tengah laut, Anda diminta segera
mengenakan pelampung, terjun ke laut lepas, dan membiarkan diri Anda mengapung di atas air, pasrah
mengikuti datangnya gulungan ombak. Jangan melawannya, ikuti saja arus ombak! Hal itulah justru
yang memungkinkan Anda selamat.(Berbagai sumber/N-5)
PENDAHULUAN
Gempa bumi sebagai salah satu gejala alam, di dalam cakupan studi
seismologi dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu gempa vulkanik dan gempa tektonik.
Kedua jenis ini di bedakan atas dasar penyebabnya yaitu gempa vulkanik akibat dari
aktivitas gunung berapi sedangkan gempa tektonik berasal dari aktivitas lempeng
tektonik dunia. Baik gempa vulkanik maupun tektonik, keduanya mempunyai
karakter yang unik di dalam rekaman seismogram, sehingga dapat dibedakan satu
sama lain, meskipun kedua jenis gempa ini terekam dalam satu seismogram.
Karakter unik yang membedakan kedua jenis gempa pada umumnya adalah
kandungan frekuensi masing-masing gempa. Jadi mengenali dan memisahkan kedua
jenis gempa dapat dilakukan dengan melakukan analisa frekuensi sinyal.
Salah satu topik yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah analisa terhadap
parameter gempa tektonik, yaitu penentuan onset time atau waktu tiba gelombang
gempa pada alat perekam gempa . Onset time merupakan parameter gempa yang
sangat penting dan dipakai untuk mendalami lebih lanjut mengenai parameter sumber
gempa, baik itu posisi gempa secara azimuthal maupun waktu terjadinya gempa atau
disebut sebagai origin time.
ukurannya relatif kecil. Namun akibatnya terhadap bangunan mungkin sama, karena
gempa interplate berada di laut sedangkan gempa intraplate berada di darat yang
relatif lebih dekat dengan perkotaan.
Bencana Bengkulu dan Sukabumi
Gempa Bengkulu pada 4 Juni 2000 dengan magnitude Mb 7.3 atau Mw 7.9
menimbulkan korban 100 orang lebih. Kerusakan terparah berturut-turut ada di Pulau
Enggano, Pasar Ngalam, Sukaraja, Bengkulu Selatan dan di Kota Bengkulu. Laporan
team survey dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) menggambarkan tingkat
kerusakan dengan memakai skala Modified Mercally Intensity (MMI) bahwa tingkat
kerusakan terparah terjadi di Pulau Enggano (gambar 3). Kedalaman gempa dari
USGS, CMT-Harvard maupun BMG bervariasi dari 5km sampai kedalaman 62km.
Fokal mekanisme juga bervariasi dari sesar naik dengan arah yang bervariasi atau
sesar mendatar. Perbedaan ini pada dasarnya adalah perbedaan penggunaan data dan
cara menganalisa data. Pada awanya prosessing dilakukan dengan cara otomatis
dengan memakai data real time, kemudian dilanjutkan dengan proses yang dilakukan
operator dengan menambahkan data sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Hari Rabu pagi tanggal 12 Juli, 2000 pada saat kantor baru saja mulai, gempa dengan
kekuatan sedang mengejutkan penduduk di Jakarta, Bandung, Sukabumi dan Bogor.
Pusat gempa dilaporkan dekat dengan Sukabumi. Gempa bumi melanda daerah
Sukabumi untuk kesekian kalinya; tahun 1982 (M=5.5), 1973 (M=4.9), 1969 (M5.4).
Intensitas maksimum yang dirasakan di Jakarta adalah MMI III, yang berarti beberapa
orang merasakannya, khususnya di bangunan bertingkat.
Monitoring gempa susulan
Gempa susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan stress ke
keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar pada
gempa utama. Setiap gempa tektonik dangkal (kira-kira < 100 km) selalu diikuti oleh
dislokasi atau patahan. Dislokasi ini mengganggu keseimbangan medium
sekelilingnya, sehingga dengan sendirinya muncul gempa lainnya yang merupakan
proses keseimbangan baru. Proses ini bisa berlangsung beberapa jam sampai
berminggu-minggu, tergantung pada besar gempa utama dan sifat batuan. Frekuensi
dan magnitude gempa susulan ini umumnya menurun secara exponensial terhadap
waktu. Extrapolasi kurva frekuensi dan magnitude terhadap waktu bisa menjadi
patokan perkiraan besarnya gempa susulan, sehingga bahaya dari gempa susulan ini
menjadi sangat serius apabila gempa utama telah merusak struktur bangunan. Struktur
bangunan yang sudah dirusak oleh gempa bisa dianggap seperti susunan dinding, batu
dan pilar yang tak mempunyai daya ikat lagi satu sama lain. Sehingga gempa susulan
dengan MMI IV saja sudah cukup untuk merubuhkan bangunan.
Untuk itu peranan peneliti gempa susulan baik dari BMG atau lainnya sangat
diperlukan untuk melihat tingkat penurunan aktifitas gempa. Gempa susulan
Bengkulu yang dilaporkan team survey BMG menunjukkan penurunan aktifitas
secara exponensial. Pada hari ke empat terdapat gempa susulan dengan skala Mw 6.5
yang mengakibatkan kenaikan aktifitas kedua setelah gempa utama.
Monitoring Gempa bumi
Kenyataan bahwa berita bencana sangat cepat menyebar di media massa, sehingga
pemerintah atau lembaga lainnya sangat cepat bereaksi untuk memberikan bantuan
untuk penduduk yang sedang dilanda bencana. Jika kita bisa meramalkan gempa
bumi, maka bencana tentunya tidak akan terjadi dan tidak perlu mengeluarkan dana.
Namun teknik untuk meramal gempa bumi sampai sekarang belum ada yang bisa
dipertahankan secara ilmiah, sehingga kita perlu mempersiapkan diri, lingkungan dan
bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Untuk itu diperlukan peta aktifitas gempa
bumi yang menunjukkan bahwa aktifitas seismik (gempa) di Indonesia umumnya
tinggi hampir di semua pulau. Setiap pulau mempunyai tingkat aktifitasnya masingmasing yang perlu di monitor dengan merapatkan jaringan seismograp sehingga
informasi aktifitas gempa bumi bisa lebih teliti.
Bencana gempa bumi, tsunami atau letusan gunung berapi adalah suatu bukti dari
ketidakmampuan kerak bumi menampung akumulasi deformasi yang berasal dari
proses berkesinambungan dari pergerakan tektonik lempeng atau pergerakan magma
kepermukaan. Sehingga deformasi sesaat berupa gempa bumi atau letusan gunung api
tak terhindarkan. Bencana gunung berapi umumnya dapat ditanggulangi secara dini,
karena gejala letusan bisa diamati, mulai dari arah letusan, arah aliran magma sampai
pada luas daerah yang akan mengalami bencana dapat diperkirakan. Gunung Rabaul
(Papua Nugini) contohnya meletus bulan September 1994. Persiapan evakuasi telah
dilaksanakan secara bertahap 10 tahun sebelumnya, sehingga nyawa dan harta dapat
diselamatkan. Hal ini menyangkut efektifitas informasi yang disampaikan pada
masarakat. Di pihak lain juga menyangkut keberhasilan monitoring dan penelitian
tentang tabiat pergerakan magma dan peramalannya.
Dua pihak antara masarakat dan peneliti berkomunikasi dengan baik sehingga calon
korban dapat dan mau diselamatkan. Karena itu interaksi antara masarakat dan
peneliti gempa bumi perlu ditingkatkan seperti halnya bencana gunung api. Korban
gempabumi disebabkan oleh runtuhan bangunan yang digoyang gempa, sedangkan
korban letusan gunungapi disebabkan oleh aliran lahar, magma, debu panas, atau
kebakaran, dimana manusia tidak dapat bertahan ditempat kejadian dan harus
mengungsi puluhan kilometer. Calon korban gempa bumi tidak perlu mengungsi
asalkan bangunan dan lingkungan mereka tahan terhadap gempa bumi, karena itu
sangat perlu kita sadari bersama bahwa jatuhnya korban karena runtuhan bangunan
atau kejatuhan peralatan rumah tangga.
Resiko terhadap gempa bumi jelas ada, namun gejalanya tak sejelas bencana gunung
berapi, karena itu pengertian dan pengetahuan masyarakat lebih ditekankan agar tidak
membangun bencananya sendiri di tempat kediaman. Pegertian ini dapat ditingkatkan
dengan penerangan dan penjelasan tentang kenyataan hidup di lokasi aktif gempa.
Makin besar kesiagaan masarakat atas bencana yang mengancam, maka makin kecil
resiko yang dihadapi. Sarana yang paling efektif menurut penulis adalah pendidikan
formal melalui program monitoring di sekolah atau program monitoring di daerah
sekitar aktif gempa dimana pemerintah daerah langsung ikut terlibat didalamnya.
Penanggulangan
Bencana alam terfokus pada korban manusia beserta miliknya. Peristiwa alam yang
extreem (tsunami setinggi 20 m misalnya) tidak masuk dalam kategori bencana alam
apabila tidak menelan korban. Karena itu bencana alam bergantung pada dua faktor
yang harus ada; peristiwa alam dan penduduk.
Identifikasi daerah tsunami berdasarkan sejarah sudah bisa dikenali sebagai daerah
bahaya tsunami yang harus diwaspadai. Apalagi untuk masa sekarang, faktor jumlah
penduduk jauh lebih banyak, sehingga bencana alam bisa lebih besar dibanding 100
tahun yang lalu di tempat yang sama. Jumlah korban akibat tsunami sangat
bergantung pada tinggi gelombang yang sampai di pantai. Disamping sejarah,
perkiraan tinggi gelombang bisa dihitung melalui model sumber gempa, bentuk pantai
dan bentuk permukaan dasar laut (batimetri). Sehingga pembangunan pelabuhan,
perumahan di sekitar pantai dapat mempertimbangkan efek tsunami yang
mengancam.
Selain tsunami, korban banyak juga terjadi karena runtuhan bangunan yang tak tahan
terhadap percepatan gelombang gempa yang tinggi. Maksimum percepatan
gelombang gempa terjadi pada saat gempa terbesar yang pernah terjadi di suatu
daerah. Ini menjadi catatan yang sangat penting bagi perancang bangunan agar bisa
merancang bangunan yang tahan terhadap percepatan maksimum tersebut. Namun
tidak banyak data percepatan maksimum yang pernah dicatat, sehingga dilakukan
secara empirik dimana magnitude atau intensitas gempa dikonversikan ke percepatan
dengan beberapa asumsi.
Peranan peneliti untuk mengetahui bencana gempa bumi sangat diperlukan agar calon
korban gempa bumi bisa dihindari dengan berbagai cara, namun yang paling penting
menurut kami adalah melek gempa untuk kesadaran kita hidup di daerah aktif
gempa. Sangat analogi dengan sabuk pengaman di mobil, jika tidak dipakai tidak akan
berguna sampai suatu kecelakaan yang fatal.
Prediksi Gempa bumi
Prediksi gempa bumi meliputi parameter lokasi, waktu dan skala gempa bumi
tersebut. Ketiga paremeter tersebut harus ada, sehigga penanggulangan bencana bias
dilakukan dengan tepat dan proporsional. Sayangnya sampai saat ini prediksi gempa
yang tepat dan teliti belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah, karena tandatandanya (precursor) tidak pasti. Gejala yang banyak diamati berdasarkan pada sifatsifat batuan yang mengalami stress akibat tekanan yang ditimbulkan dari pergerakan
lempeng tektonik. Gejala tersebut terlihat pada perubahan posisi satu titik relatif
terhadap titik lainnya yang diamati dengan menggunakan Global Positioning System
(GPS). Perubahan posisi tersebut bisa terlihat nyata setiap tahunnya, namun belum
bisa dipakai untuk prediksi gempa. Gejala lainnya adalah perubahan muka air tanah,
electro magnetis, seismisitas, kecepatan gelombang dsb. Semuanya tetap belum bisa
dipakai sebagai tanda yang jelas untuk predisksi gempa bumi.
Karena prediksi gempa bumi belum sempurna, maka lebih tepat digunakan forcasting
yang mencakup luasan daerah, kisaran waktu maupun kisaran skala sebagai
penanggulangan bencana ataupun analisa resiko gempa bumi. Berdasarkan sejarah
kekuatan sumber gempa, aktifitas gempa bumi di Indonesia bisa dibagi dalam 6
daerah aktifitas;
1. Daerah sangat aktif. Magnitude lebih dari 8 mungkin terjadi di daerah ini. Yaitu di
Halmahera, pantai utara Irian.
2. Daerah aktif. Magnitude 8 mungkin terjadi dan magnitude 7 sering terjadi. Yaitu di
lepas pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Nusa Tenggara, Banda.
3. Daerah lipatan dan retakan. Magnitude kurang dari 7 mungkin terjadi. Yaitu di
pantai barat Sumatra, kepulauan Suna, Sulawesi tengah.
4. Daerah lipatan dengan atau tanpa retakan. Magnitude kurang dari tujuh bisa terjadi.
Yaitu di Sumatra, Jawa bagian utara, Kalimatan bagian timur.
5. Daerah gempa kecil. Magnitude kurang dari 5 jarang terjadi. Yaitu di daerah pantai
timur Sumatra, Kalimantan tengah.
6. Daerah stabil, tak ada catatan sejarah gempa. Yaitu daerah pantai selatan Irian,
Kalimantan bagian barat.
Pembagian daerah aktif gempa bisa juga ditinjau dari data makro atau intensitas
gempa yang pernah dirasakan. Peta intensitas gempa Bengkulu pada tanggal 4 Juni
2000 adalah satu kasus data makro yang langsung bisa dikaitkan dengan bangunan.
Beberapa kasus gempa merusak merupakan data makro yang menghasilkan peta
intensitas regional seperti yang pernah dilakukan oleh J.Murjaya dan G.Ibrahim pada
tahun 1998.
Pada peta ini, daerah yang terkena dampak gempa bumi dibagi menjadi 4 daerah;
1. Daerah dengan intensitas MMI IX atau lebih.
2. Daerah dengan intensitas MMI VII-VIII.
3. Daerah dengan intensitas MMI V-VI.
4. Daerah dengan intensitas MMI < V
Pembagian ini masih bersifat regional, dengan perkataan lain bahwa untuk analisa
resiko gempa pada suatu bangunan yang terletak pada suatu tempat di satu kota,
memerlukan analisa mikro yang memasukkan beberapa unsur seperti lapisan tanah
tempat bangunan, ketebalan lapisan, respon tanah dan bangunan terhadap getaran dsb.
Periodisitas gempa bumi
Periode ulang gempa bumi maksudnya adalah bahwa gempa bumi dengan skala
tertentu (misalnya M=8) akan terulang kembali di daerah yang sama pada kurun
waktu tertentu. Perhitungan periode ulang ini memerlukan data paling tidak satu
periode, lebih panjang lebih baik. Namun catatan gempa bumi dengan peralatan, baru
dimulai pada awal abad 20. Karena itu untuk memperanjang periode pengamatan,
dibantu dengan catatan intensitas gempa yang sudah dimulai sejak awal abad masehi.
Selain itu penelitian paleoseismic juga bisa membantu memperpanjang periode
pengamatan.
Gempa yang sama kekuatannya dengan gempa pada 4 Juni 2000 di Bengkulu pernah
terjadi dua kali pada 1833, 1914. Sehingga banyak yang setuju dengan teori
peramalan (forcasting) gempa dengan metode perioda ulang berkisar 80 tahun.
Disamping itu terdapat juga gempa yang ukurannya lebih kecil dengan periode ulang
lebih pendek.
Perhitungan matematis periode ulang gempa bumi di Sumatra oleh peneliti BMG
(Rasyidi Sulaiman dan Robert Pasaribu, 2000) menunjukkan bahwa periode ulang di
Sumatra Selatan berkisar antara 8-34 tahun dengan nilai tengah 21 tahun. Gempa pada
tahun 1979 di Bengkulu yang cukup besar dengan M = 5.8, MMI = VIII, sedangkan
gempa berikutnya adalah Juni 2000 (1979 + 21tahun).
Peranan Badan Meteorologi dan Geofisika
BMG sebagai lembaga pemerintah yang bertugas untuk memonitor aktifitas gempa
bumi di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. BMG mulai mengoperasikan stasiun
pemantau gempa bumi permanen pada tahun 1908, yakni dengan memasang
menimbulkan kerusakan, dan sangat dipengaruhi kekuatan dan jarak dari sumber
gempa.
Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bandung, Drs. Hendri
Subekti ketika ditemui "PR" di ruang kerjanya, Rabu (29/12), mengatakan,
lapisan litosfer bumi terdiri dari lempeng-lempeng tektonik yang terapung di atas
batuan yang relatif tidak konstan. Daerah pertemuan antarlempeng disebut batas
lempeng (plate margin). Nah, gempa bumi bisa terjadi di mana pun. "Tapi
umumnya gempa bumi tektonik terjadi di sekitar batas lempeng dan di tempat
yang disebut sesar aktif di sekitar batas lempeng tersebut," katanya.
Saat permukaan dasar laut turun akibat adanya pergeseran dan pergerakan
lempeng, di mana salah satu lempeng akan terdorong masuk ke bawah lempeng
di seberangnya (subduksi), maka ada penarikan volume air yang menyebabkan
air laut di tepi pantai tiba-tiba surut ratusan meter ("PR", 29/12). Dalam tempo
beberapa menit kemudian, air laut kembali dengan gelombang yang jauh lebih
tinggi (runup) dan langsung menyapu semua yang berada di tepi pantai. Runup
0- 2 m termasuk tidak berbahaya, lalu ketingguanb 2 - 5 m termasuk bahaya dan
di atas 5 m merupakan gelombang tsunami yang sangat berbahaya.
Menurut Hendri, titik-titik rawan gempa Indonesia berada di sekitar pertemuan
kedua lempeng. Titik-titik gempa tersebut berada tidak terlalu jauh dari tepi
pantai. "Jarak paling jauh lokasi pusat gempa adalah 100 km. Maka, ketika
terjadi gempa, daerah pinggir pantai akan terkena gelombang tsunami dalam
tempo 10 - 12 menit," tuturnya.
Hendri menjelaskan, kecepatan gelombang tsunami mencapai 500 km/jam,
namun masih lebih lambat dibandingkan kecepetan gelombang seismik yang
mencapai 7 km/detik atau 25.200 km/jam.
**
TSUNAMI yang terkadang salah diartikan sebagai gelombang pasang adalah
suatu gelombang air yang sangat bertenaga. Tenaga besar gelombang air
tersebut ditimbulkan gangguan di bawah laut. Tsunami berasal dari bahasa
Jepang yang berarti gelombang pelabuhan (harbor wave). Hal itu didasarkan
pada kenyataan pelabuhan atau dermaga akan menjadi pusat kekurangan energi
tsunami. Sementara dalam bahasa Spanyol disebut maremoto.
Meskipun tanah longsor atau ledakan gunung dapat menyebabkan tsunami,
sekira 95% peluang terjadinya tsunami lebih disebabkan gempa bumi. Biasanya
gempa bumi penyebab tsunami berada di dasar laut dalam, meski terkadang
berada di dekat pantai.
Gerakan vertikal dari dasar laut akan menaikkan atau menurunkan air yang
berada di atasnya. Kejadian itu akan mendorong gelombang bergerak keluar.
Gerakan yang semula tidak terasa dari dalam laut, tiba-tiba muncul sebagai
tsunami yang menghantam pinggir pantai.
Layaknya batu yang dilempar kuat-kuat ke kolam akan membuat gelombang air
yang lebih besar, maka ukuran gelombang dipengaruhi luasan daerah yang
bergerak di dalam air. Gerakan yang lebih besar dari patahan dasar lautan yang
lebih luas akan menghasilkan gelombang tsunami jauh lebih besar.
Intensitas gelombang tsunami tergantung pula pada jarak antara daratan dengan
pusat gempa di laut. Episenter menjadi awal atau pusat awal tsunami. Ketika
gelombang menyebar dari episenter dalam bentuk menyerupai potongan pizza ke
arah luar, maka energi tsunami juga menyebar. Maka, gelombang tsunami sangat
berbahaya bagi masyarakat yang berada di dekat episenter.
Pada laut terbuka, gelombang tsunami bisa mencapai ketinggian 300 m.
Meskipun di daerah lautan dalam, gelombang yang menghasilkan tsunami
dinamai kalangan ilmuwan sebagai gelombang air dangkal. Kecepatan
pergerakannya tergantung dari kedalaman air. Pada perairan dalam, tsunami
dapat bergerak dengan kecepatan 500 - 600 mil/jam atau 804 - 965 km/jam.
Bagaimana energi kinetik yang menyebabkan kematian tersebut tidak dapat
disaksikan dengan mata telanjang dan tersembunyi di balik gelombang?
Gelombang tidak hanya terjadi di permukaan air, namun juga gerakan memutar
pada air di bawah permukaan. Akibat gelombang panjang lebih panjang pada
bagian dalam air dibandingkan dengan gelombang yang memiliki puncak
berdekatan, maka terdapat sejumlah besar air yang bergerak di bawah
permukaan air. Gelombang tidak tampak tersebut menyimpan energi sangat
besar.
Menurut Pusat Informasi Gempa Bumi Nasional, AS, alat seismologi yang berada
di Denver mencatat gempa dengan skala magnitudo 9,0 pada pukul 07:58:49,
Minggu (26/12). Lokasi gempa berada di 3,24 Lintang Utara, 95,82 Bujur Timur
dengan kedalaman 10 km. Pusat gempa berjarak 255 km di Tenggara Banda
Aceh, 315 km di Barat Medan, 1.260 km sebelah Barat Daya Bangkok, Thailand
dan 1.590 km di Barat Laut Jakarta.
Sedangkan data getaran seismik yang tercatat, sejumlah gempa dirasakan
semenjak gempa pertama pada pukul 07.58:49, Minggu (26/12) di Pantai Barat
Sumatra Utara. Selama 2 x 24 jam, tidak kurang dari 14 gempa di Indonesia,
sementara di kepulauan Andaman, India terjadi hingga 17 kali, lalu di kepulauan
Nikobar, India sebanyak delapan kali. Berikut ini data kejadian gempa di sekitar
Samudra Hindia, sejak tanggal 26 Desember 2004 hingga 28 Desember 2004.
Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa di Pantai Barat Sumatra Utara
(pukul 07:58:49), Kepulauan Nikobar, India (08:21:18), Sumatra Utara
(08:48:46), Kepulauan Andaman, India (09:15:57), Kepulauan Nikobar, India
(09:22:01), Pantai Barat Sumatra Utara (09:34:50), Kepulauan Andaman, India
(09:36:06), Kepulauan Andaman, India (09:51:59), Pantai Barat Sumatra Utara
(09:59:12), Kepulauan Andaman, India (10:08:42), Kepulauan Nikobar, India
(11:21:25), Kepulauan Andaman, India (13:21:58 ), Kepulauan Andaman, India
(14:07:09), Kepulauan Andaman, India (14:38:24), Kepulauan Nikobar, India
(16:20:01), Kepulauan Nikobar, India (17:18:12), Kepulauan Andaman, India
(17:19:29), Kepulauan Andaman, India (18:05:00), Kepulauan Andaman, India
(19:09:41), Kepulauan Andaman, India (19:11:55), Pantai Barat Sumatra Utara
(20:56:37), Kepulauan Andaman, India (21:48:41), Pantai Barat Sumatra Utara
(22:06:32), Kepulauan Nikobar, India (22:12:21).
Kemudian pada tanggal 27 Desember 2004 terjadi di Kepulauan Andaman, India
(01:42:41), Pantai Barat Sumatra Utara (02:03:46), Pantai Barat Sumatra Utara
(02:19:53), Mindanao, Filipina (03:50:31), Sumatra Utara (07:32:13), Kepulauan
Andaman, India (07:49:26), Pantai Barat Sumatra Utara (12:10:49), Pantai Barat
Sumatra Utara (13:59:12), Sumatra Utara (16:39:03), Sumatra Utara
(17:05:00), Kepulauan Andaman, India (17:46:35), Kepulauan Andaman, India
(17:46:45), Kepulauan Nikobar, India (18:57:53), Kepulauan Andaman, India