Hematoproteus Pada Unggas

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH PROTOZOOLOGI (IPH 331)

Haemoproteus sp. PADA UNGGAS

Oleh:
KELOMPOK IX
Danar Intan P

B04120184

(.....................)

Rindy Fazni Nengsih

B04120190

(.....................)

Nurmayanti

B04120208

(.....................)

Henny Parwita Sari

B04120216

(.....................)

Bagian Parasitologi & Entomologi Kesehatan


Departemen Ilmu Penyakit Hewan Dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2015

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Unggas merupakan salah satu penyedia pangan berupa daging dan telur
yang paling digemari masyarakat. Peternakan unggas khususnya ayam dan itik
di Indonesia merupakan salah satu komoditi yang sangat berpotensi untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat (Supartono & Yunus, 2000).
Penyakit pada unggas khususnya ayam dan itik salah satunya dapat
diakibatkan oleh parasit Protozoa. Protozoa dapat menyebabkan kematian pada
peternakan unggas. Plasmodium sp., Haemoproteus sp. dan Leucocytozoon sp.
adalah protozoa yang hidup sebagai parasit dalam sel darah merah, yang
menyebabkan malaria unggas (avian malaria). Malaria unggas atau malaria
ayam disebut juga Plasmodium Disease pertama kali ditemukan oleh Dr.
Broussais di Indo China. Indonesia beriklim tropis sehingga untuk kehidupan
mikroorganisme termasuk parasit darah merah seperti Plasmodium sp.,
Haemoproteus sp. dan Leucocytozoon sp (Atkinson dkk, 1993).
Daerah tropis memiliki beberapa penyakit cukup berbahaya yang
diakibatkan oleh bakteri, virus, protozoa dan juga cacing dan dapat menimbulkan
penyakit yang perlu diwaspadai (Ternaningsih 2007). Selain itu daerah tropis
merupakan habitat yang cocok bagi serangga inang penular malaria, seperti
nyamuk, Culex, Anopheles, Culiceta, Mansonia, dan Aedes. Selain faktor
geografis Indonesia yang beriklim tropis juga adanya isu lingkungan berupa
pemanasan global. Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim
dan suhu yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai
3 penyakit seperti demam berdarah, malaria (Tsai dan Liu, 2005) dan West Nile
Virus (O'Leary et al., 2004). Perubahan iklim telah menimbulkan kembali dan
memperluas penyebaran malaria (Tsai dan Liu, 2005). Menurut Gortazar and
Villafuerte (2002) di Spanyol malaria unggas dapat menyerang ayam hutan
berkaki merah (Alectoris rufa).
Penyebab adalah jenis Protozoa Plasmodium sp. dan Hemopreoteus sp.
Menurut Songprakhonl et al., (2009) malaria unggas yang disebabkan oleh
Plasmodium gallinacum hampir 80% ditemukan pada sel darah merah pada
ayam di Thailand menyebabkan kematian cukup tinggi hampir 67%. Ciri-ciri
unggas yang terserang malaria : unggas akan mengalami anemia, feses

berwarna hijau sebelum unggas mati. Di Indonesia penyakit malaria unggas


dapat menyerang ayam bukan ras (buras) dan tingkat mortalitas pada tingkat
akut mencapai 90% (Tabbu 2002). Menurut penelitian Begum (2007) yang
dilakukan di Bangladesh India, ditemukan adanya Haemoprotozoan dari
subspesies Leucocytozoon caulleriy sebesar 45,67% dan 5,33% dari subspesies
Leucocytozoon simondy pada darah Itik. Di pantai Trisik ditemukan bahwa 25%
dari 8 sampel burung madu sriganti (Cinnyris jugularis) yang positif terjangkit
malaria unggas akibat parasit Plasmodium sp. dan Haemoproteus sp.
Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memberikan informasi
mengenai Haemoproteus sp. pada unggas, siklus hidup, penyebaran, dan
pencegahan penyakitnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Haemoproteus sp.
Haemoproteus sp. adalah protozoa intraseluler dan tergolong parasit
hemotropik yang menginfeksi sel darah merah burung, kura-kura, dan kadal
(Weisman et al., 2007). Haemoproteus sp. sering ditemukan pada jenis unggas,
terutama burung. Menurut Yatim (1987) klasifikasi Haemoproteus sp adalah
sebagai berikut :
filum

: Protozoa

kelas

: Sporozoa

bangsa

: Haemosporia

famili

: Plasmodiidae

genus

: Haemoproteus

spesies

: Haemoproteus sp.

PEMBAHASAN
Penyebaran Haemaproteus sp.
Haemaproteus sp. hampir ditemukan di seluruh dunia dan mampu
menginfeksi berbagai burung, termasuk unggas air (Anseriformes), Raptors
(Accipitriformes,

Falconiformes,

Strigiformes),

burung

dara

dan

merpati

(Columbiformes), dan burung bertengger atau burung berkicau (Passeriformes).


Haemoproteus sp. tidak menghasilkan gejala klinis yang signifikan dalam
menginfeksi inang. Ayam atau unggas hari ke 12 setelah terinfeksi belum
menunjukan gejala klinis, kematian mendadak terjadi pada hari ke 13 dengan
tanda-tanda hemoragis terutama paru-paru dan peritonium. Hal ini terjadi karena,
pecahnya shizont-shizont (kantong-kantong yang mengandung parasit-parasit
bentuk kecil) dalam jumlah yang besar. Kematian berikutnya kira-kira 16 hari
setelah terinfeksi dengan tanda-tanda seperti pucat, feses hijau, dan kolaps. Selsel darah yang terinfeksi akan terbentuk granula yang berada di sekitar inti sel
darah merah. Haemoproteus hidup sebagai parasit dalam darah merah dan akan
bereproduksi secara aseksual. Selain berada dalam sel darah merah
Haemoproteus juga ditemukan dalam liver, lambung dan usus (Weisman et al.,
2007). Penularan Haemoproteus sp dapat melalui arthropoda penghisap darah,
seperti Culicoides dan lalat Hippoboscidae. Infeksi lebih sering terjadi pada bulan
yang lebih hangat sepanjang tahun. Tahap infektif adalah sporozoite yang ada
dalam kelenjar liur vektor serangga (Eldridge and Edman, 2000).
Unggas yang terinfeksi bila digigit oleh vektor. Merogoni terjadi dalam selsel endotel buluh darah paru-paru dan hati, limpa. Setelah merogoni merozoit
memasuki sel-sel darah merah dan menjadi makrogamet dan mikrogamont
(pada vektor), biasanya muncul setelah 28-30 hari setelah infeksi. Mikrogamont
menghasilkan 4 mikrogamet di dalam usus tengah vektor, membuahi
makrogamet membentuk zigot. Ookinet-ookinet yang terjadi masuk ke dinding
usus tengah dan membentuk oosista yang di dalamnya ada sporozoit. Sporozoit
masuk ke rongga tubuh dan kelenjar air liur yang kemudian akan terkumpul di air
liur dan diinjeksikan pada hospes bila lalat/vektor menggigit (Eldridge dan
Edman, 2000).

Gambar 1. Siklus kompleks Haemosporidian hidup parasit


Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi parasit diantaranya :
metode ELISA, metode molekuler Polymerase Chain Reaction (PCR), western
blotting dan Smear preparation (preparat apus). Metode-metode tersebut
merupakan metode yang sering digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan
protozoa khususnya untuk malaria unggas dalam sel darah unggas.
Tindakan pengendalian yang terbaik untuk infeksi Haemoproteus adalah
pengamanan biologik yang ketat, terutama menekan atau membasmi vektor
serangga dan praktek manajemen yang optimal. Infeksi haemoproteus belum
dapat diobati dengan hasil yang memuaskan. Beberapa produk antimalaria,
misalnya kuinakrin, primakuin, dan klopido dapat diberikan, namun tingkat
keberhasilan sulit ditetapkan (Tabbu, 2002).
SIMPULAN
Haemoproteus merupakan protozoa yang dapat menyebabkan malaria
pada unggas. Haemoproteus dapat ditemukan di hati, lambung, dan usus. Tahap
infektif adalah sporozoite yang ada dalam kelenjar liur vektor serangga, tidak ada
gejala

klinis

yang

ditimbulkan

setelah

unggas

terinfeksi.

Pengendalian

dengancara membasmi vektor serangga dan prkatek manajemen yang optimal.

Pengobatan dapat diberikan dengan pemberian obat antimalaria seperti


kuinakrin, primakuin, dan klopido namun tingkat keberhasilan sulit ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, C.T. 1993. Host Specificity and Morphometric Variation of
Haemoproteus meleagridis Levine, 1961 (Protozoa : Haemosporina) in
Galinaceous Birds. Can J. Zool. 64:2634-2638.
Begum, A.R.D.N., Khan, A.M.A.H.N.A and Mondal, M.M.H. 2007.
Haemoprotozoan Infection In Ducks : Prevalencev and Pathology.
Bangl.J.Vet. Med 6 (1) : 53-58.
Eldridge, B and Edman, J. 2000. Medical Entomology: A textbook on Public
Health and Veterinary Problems Caused by Arthropods.
Gortazar, J.M.C., and Villafuerte, R. 2002. First Record of Haemoproteus sp.
Parasiting Red-Legged Partidges (Alectoris rufa). European Association
of Zoo and Wildlife Veterinarians (EAZWV) 4th scientific meeting joint with
the annual meeting of the European Wildlife Disease Association (EWDA),
Heidelberg, Germany.
OLeary D.R., Marfin, A.A., Montgomery, S.P., Kipp, A.M., Lehman, J.A.,
Biggerstaff, B.J., Elko, V.L., Collins, P.D., Jones, J.E., and Campbell, G.L.
2004. The Epidemic of West Nile Virus in the United States. 2002. Vector
Borne Zoonotic Dis. 4(1) : 61-70.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Pananggulangannya vol 2. Yogyakarta :
Kanisius.
Ternaningsih, E, 2007. Jangan Abaikan Penyakit Tropis. Suara Pembaharuan 5
Februari 2007. Hal. 5 Kolom 5-6.
Tsai, H. T and Liu, T. M. 2005. Effects of Global Climate Change on Disease
Epidemics and Sosial Instability Around the World. International
workshop, Asker, near Oslo.
Supartono, W.M., dan Yunus, Y.H. 200. Analisis Kelayakan Finansial Usaha
Pemotongan Ayam Tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Gadjah Mada.
Songprakhonl, P., Saiwichai, T., Harnyuttanakorn, P., and Nithiuthai, S. 2009.
Plasmodium gallinaceum : Specifically Recognized Antigens by Infected
Sera. J. Trop. Med. Par: 41:132-165.
Weisman, J., LeRoy, B.E., and Latimer, K. S. 2007. Haemoproteus Infection in
Avian Species. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program.
University of Georgia College of Veterinary Medicine. Athens.
Yatim, W. 1987. Biologi Moderen. Bandung : Penerbit Tarsito. Hal 66.

Anda mungkin juga menyukai