Laporan Parasit (Uyun Nusyur)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PHTHIRUS PUBIS
Gambar

1
.

Keterangan :

2
.
3
.

4
.

1.1

1. Cephalic
2. Small Claw (1st Legs)
3. Big Claw (2nd & 3 th
Legs)
4. Spherical Body Shape
(Not Segmented

Defenisi & Morfologi


Phthirus pubic adalah spesies dari famili pthiridae dan ordo anoplura yang mana
sering disebut sebagai pubic louse dan tampakan seperti kepiting. Memiliki panjang tubuh
1,5 2,0 mm dengan warna yang putih ke abu-abuan (Faculty Of Medicine, 2014).

1.2

Epidemiologi
Menyerang manusia dan hewan yang berambut, khususnya mamali. tersebar diseluruh
dunia. Phthirus pubis umunya menyerang orang dewasa akibat hubungan seksual namun
dapat pula menyerang jenggot dan kumis. Infeksi ini juga dapat terjadi pada anak-anak,
yaitu diatas alis atau bulu maa dan pada tepi batas rambut kepala (Anonim, 2014).

1.3

Siklus Hidup

Gambar 1. Siklus Hidup Phthirus Pubis.

1.4 Patofisiologi
Kutu kemaluan jauh lebih pendek. Kutu tidak bisa melompat atau terbang; oleh
karena itu, transmisi membutuhkan kontak dekat siklus hidup. Serangga betina keras satu
sampai tiga bulan, dan dia meletakkan hingga 300 telur di persatuan kulit - menetas
rambut dan dewasa yang matang dalam 20 hari, berwarna kuning menjadi putih dalam
warna, dan dapat ditemukan menempel pada pangkal rambut tubuh.
Orang dengan pediculosis biasanya hadir dengan pruritus. Pruritus berhubungan
dengan kutu yang tertunda Reaksi hipersensitivitas. Mungkin diperlukan 2-6 minggu untuk
berkembang setelah paparan pertama, dengan masa depan episode mengakibatkan pruritus
dalam satu atau dua hari gatal exposure.3 Intens menyebabkan menggaruk, dengan
excoriations berikutnya dan selulitis sekunder. Dalam infestasi lama, kulit dapat menjadi
likenifikasi dan hiperpigmentasi, terutama pada trunk. Menemukan kutu kemaluan harus
segera evaluasi untuk infeksi menular seksual lainnya (Gunning et al, 2013).
1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan berupa mikroskopis dan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi jenis
parasit dan juga untuk mengetahui stadium infeksi oleh beberapa tingkatan siklus
hidupnya (Budiansyah, T. 2013).
1.6 Penatalaksanaan
1. Emulsi Benzil benzoat 25 %
2. Krim Gameksan
3. Bubuk melathion 2 % (Budiansyah, 2013)
1.7 Pencegahan
Menjaga dan hindari kontak dengan sumber infeksi, misalnya binatang peliharaan
atau orang yang sudah di ketahui terkena infeksi pedunculosis. Menjaga daerah berambut
agar tetap bersih dan kering untuk mencegah kesempatan parasit ini berkembang (Anonim,
2014).

BAB II
TRICINELLA SPIRALIS
Gambar

3.1

Definisi dan morfologi

Cacing ini hidup dalam mukosa duodenum sampai sekum manusia. Selain
menginfeksi manusia, cacing ini juga menginfeksi mamalia lain seperti tikus, kucing,
anjing, babi, beruang dll. Penyakit yang disebabkan parasit ini disebut trikinosis,
trikinelosis dan trikiniasis (White RR,2011).
Cacing dewasa sangat halus menyerupai rambut, ujung anterior langsing, mulut kecil
dan bulat tanpa papel. Cacing jantan panjangnya 1,4-1,6 mm, ujung posteriornya
melengkung ke ventral dan mempunyai umbai berbentuk lobus, tidak mempunyai
spikulum tepi. Dan tidak terdapat vas deferens yang bisa dikeluarkan sehingga dapat
membantu kopulasi. Cacing betina panjangnya 3-4 mm, posteriornya membulat dan
tumpul. Cacing betina tidak mengeluarkan telur, tetapi mengeluarkan larva (larvipar).
Seekor cacing betina mengeluarkan larva sampai 1500 buah. Panjang larva yang baru
dikeluarkan kurang lebih 80-120 mikron bagian anterior runcing dan ujungnya menyerupai
tombak (White RR,2011).
3.2

Epidemiologi

Cacing ini tersebar diseluruh dunia (kosmopolit), kecuali di kepulauan pasifik dan
australia. Frekuensi trikinosis pada manusia ditentukan oleh temuan larva dalam kista di
mayat atau melalui tes intrakutan. Frekuensi ini banyak ditemukan di negara yang
penduduknya gemar makan daging babi. Di daerah tropis dan subtropis frekuensi
trikinosis sedikit. Infeksi pada manusia tergantung pada hilang atau tidak hilangnya
penakit ini dari babi. Larva dapat dimatikan pada suhu 60-70 derajat celcius, larva tidak
mati pada daging yang diasap dan diasin (White RR,2011).
3.3

Siklus hidup

Siklus hidup alami terjadi antara babi dan tikus -> babi mengandung kista yang
infektif -> manusia terinfeksi oleh karena makan daging babi atau mamalia lain yang
3

mengandung kista -> cacing dewasa hidup didalam dinding usus -> larva membentuk
kista didalam otot bergaris (White RR,2011).
3.4

Patofisiologi

Trichinosis disebabkan oleh trichinella spiralis (disebut juga nematoda parasit, cacing
usus, cacing gelang) yang awalnya masuk ke dalam tubuh ketika daging yang mengandung
kista trichinella dimakan. Bagi manusia, matang atau daging babi dan produk daging babi
mentah, seperti sosis babi, telah menjadi daging yang paling umum bertanggung jawab
untuk transmisi parasit trichinella. Ini adalah infeksi yang ditularkan melalui makanan dan
tidak menular dari manusia ke yang lain kecuali otot manusia yang terinfeksi dimakan.
Namun, hampir semua karnivora atau omnivora bisa baik menjadi terinfeksi dan jika
dimakan dapat menularkan penyakit kepada karnivora dan omnivora lainnya. Misalnya,
matang atau daging beruang mentah bisa mengandung kista trichinella. Oleh karena itu,
jika manusia, anjing, babi, tikus atau tikus makan daging, bisa jadi mereka terinfeksi.
Dalam kasus yang jarang, larva yang secara tidak sengaja mencapai pakan ternak dapat
menginfeksi ternak (Pozioet all, 2001).
3.5

Pemeriksaan penunjang

Tidak ada tes yang baik untuk tahap awal infeksi usus. Sejarah dari pasien
memberitahu dokter bahwa ia memakan daging menah atau setengah matang bisa menjadi
petunjuk pertama. Namun, kebanyakan pasien tidak mencari bantuan dokter selama fase
usus yang relatif singkat. Selama fase otot penyakit, diagnosis klinis presumtif dapat
dibuat pada pasien yang memiliki riwayat kelopak mata bengkak, nyeri dan bengkak pada
otot, otot rangka dan terutama perdarahan kecil (perdarahan ke dalam jaringan) dibwah
kuku dan konjungtiva dari mata yang menyerupai pecahan yang terjadi beberapa minggu
setelah makan daging mentah atau setengah matang dari hewan babi atau liar. Temuan
laboratorium lain ditinggikan, tapi tidak spesifik untuk cacingan adalah creatine kinase dan
laktat dehidrogenase, dua enzim yang meningkatkan dalam darah ketika sel-sel otot yang
rusak atau hancur. Juga jenis tertentu dari sel darah putih, eosinofil biasanya meningkat
beberapa kali konsentrasi normal setelah fase otot dimulai, namun peningkatan eosinofil
juga dapat terjadi pada infeksi parasit lainnya (Pozioet all, 2001).
Tes yang lebih spesifik (immunofluoresence tidak langsung, aglutinasi lateks, tes
enzyme-linked immunosorbent) yang tersedia yang mendeteksi antibodi yang
dikembangkan oleh respon kekebalan orang yang terinfeksi parasit. Namun, tes ini
mungkin tidak positif sampai tiga minggu atau lebih setelah infeksi dan mungkin positif
palsu pada pasien dengan infeksi parasit lain atau penyakit automiun. Tes terbaik untuk
cacingan adalah biopsi otot yang menunjukkan larva dalam jaringan otot. Secara umum
biopsi jarang dilakukan dan diagnosis berdasarkan temuan klinis , riwayat pasien, dan tes
darah yang terkait. Selain itu, cacingan sering terjadi pada wabah. Untuk cacingan wabah
terjadi ketika sejumlah orang makan daging yang terinfeksi dari sumber yang sama.
Sebagai contoh pada tahun 2007 lebih dari 200 pasien didiagnosis dengan cacingan di
polandia ketika sebuah pabrik pangolahan daging babi dijual terkontaminasi trichinella
4

kepada pelanggan. Pengetahuan tentang sumber wabah dapat membantu tetapi juga dapat
menungkinkan sumber infeksi harus disingkirkan (Pozioet all, 2001).
3.6

Penatalaksanaan

Menurut para ahli kebanyakan infeksi cacingan adalah subklinis atau memiliki gejala
ringan dan tidak memerlukan pengobatan apapun karena mereka self-limited (semua
gejala menyelesaikan tanpa pengibatan). Pada pasien dengan gajala yang intens,
thiabendazole (mintezol) dapat digunakan untuk menghilangkan cacing dewasa disaluran
pencernaan. Albendazole (albenza) adalah obat lain yang dapat digunakan dalam beberapa
kasus. Bentuk larva invasif dan encysted spesies Trichinella diperlukan mebendazole
(vermox). Peradangan jaringan yang terinfeksi biasanya diobati dengan prednison dan
sering digunakan dalam kombinasi dengan mebendazole (Pozioet all, 2001).
3.7

Pencegahan

Pencegahan dilihat dari daur hidupnya, babi dan tikus dapat terinfeksi di alam. Infeksi
pada babi terjadi karena babi tersebut makan tikus yang mengandung larva infektif dalam
ototnya, atau babi makan sampah dapur atau sisa daging babi yang mengandung larva
infektif. Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena memakan sisa daging babi dirumah
pemotongan hewan atau rumah dan juga karena makan bangkai tikus. Oleh karena itu
pencegahan penularan parasit ini sangat tergantung pada pengendalian populasi tikus dan
konsumsi daging mentah (Pozioet all, 2001).

BAB III
SARCOPTES SCABIEI
Gambar

3.1

Definisi dan morfologi

Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthopoda , kelas Arachnida, ordo Ackarina,


superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei var. hominis. Kecuali itu
terdapat S. scabiei yang lainnya pada kambing dan babi (Djuanda A, 2010).
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi terhadap
sarcoptes scabiei varian homonis dan produknya. Beberapa sinonim penyakit ini yaitu :
Kudis, The Itch dan gudukan (Djuanda A, 2010).
3.2

Epidemiologi

Skabies merupakan penyakit epidemic pada banyak masyarakat, ada dugaan bahwa
setiap siklus 30 tahun terjadi epidemik scabies. Penyakit ini banyak di jumpai pada anak
dan orang dewasa muda, tetapi dapat juga mengenai semua umur, insidensi semua pada
pria dan wanita (Djuanda A, 2010).
Insidensi skabies pada negara berkembang menunjukkan siklus fluktasi yang sampai
saat ini belum dapat di jlaskan, interval dari akhir suatu epidemik pada permulaan
epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun. Beberapa faktor yang dapat mempengaruh
penyebarannya adalah kemiskinan, hygiene yang jelek, seksual promiskuitas, demogarfi ,
ekologi dan derajat sensitasi individual. Insidensi di indonesia masih cukup tinggi ,
terendah di sulawesi utara, dan tertinggi di jawa barat (Djuanda A, 2010).
3.3

Siklus Hidup
Siklus hidup Sarcoptes scabiei dari telur hingga dewasa berlangsung selama
satu bulan. Sarcoptes scabei memiliki empat fase kehidupan yaitu telur, larva nimfa
dan dewasa (Djuanda A, 2010)

3.4

Patofisiologi
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau bergandengan sehingga
terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal
yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang
memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit
menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan kulit dan
gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Aisah S, 2007).

3.5

Pemeriksaan Penunjang
Menurut Harahap (2000), diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya tungau
pada pemeriksaan mikroskopis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a) Kerokan kulit.
Minyak mineral diteteskan di atas papul atau terowongan baru yang masih
utuh, kemudian dikerok dengan menggunakan scalpel steril untuk mengangkat atap
papul atau terowongan, lalu diletakkan di atas gelas objek, di tutup dengan gelas
penutup, dan diperiksa di bawah mikroskop. Hasil positif apabila tampak tungau,
telur, larva, nimfa, atau skibala. Pemeriksaan harus dilakukan dengan hati-hati
pada bayi dan anak-anak atau pasien yang tidak kooperatif
b) Mengambil tungau dengan jarum.
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap,
lalu digerakkan secara tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat
diangkat keluar.
c) Epidermal shave biopsi.
7

Mencari terowongan atau papul yang dicurigai pada sela jari antara ibu jari
dan jari telunjuk, lalu dengan hati-hati diiris pada puncak lesi dengan scalpel no.16
yang dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superficial
sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak memerlukan anestesi. Spesimen
kemudian diletakkan pada gelas objek, lalu ditetesi minyak mineral dan periksa di
bawah mikroskop.
d) Tes tinta Burrow.
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol. Jejak terowongan akan tampak sebagai garis yang karakteristik berbelokbelok karena adanya tinta yang masuk. Tes ini mudah sehingga dapat dikerjakan
pada bayi/anak dan pasien nonkooperatif.
e) Kuretasi terowongan.
Kuretasi superficial sepanjang sumbu terowongan atau pada puncak papul,
lalu kerokan diperiksa dibawah mikroskop setelah ditetesi minyak mineral. Cara ini
dilakukan pada bayi, anak-anak dan pasien nonkooperatif.
3.6

Penatalaksanaan

Menurut Handoko (2008), obat-obat anti skabies yang tersedia dalam bentuk topikal
antara lain:
a. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau
krim.
b. Emulsi benzil-benzoat (20-25%)
c. Gama benzena heksa klorida (gameksan=gammexane ; Lindane
d. Krotamiton 10%
e. Permetrin dengan kadar 5%
3.7

Pencegahan

Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan scabies, orang-orang yang kontak


langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid. Terapi
pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena seseorang
mungkin saja telah mengandung tungau scabies yang masih dalam periode inkubasi
asimptomatik. Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal,
handuk dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan
dikeringkan dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari diluar
kulit, karpet dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (Aisah S, 2007).

BAB IV
BRUGIA MALAYI
Gambar

4.1

Definisi dan Morfologi

Brugia malayi adalah nematoda (cacing gelang), salah satu dari tiga agen penyebab
filariasis limfatik pada manusia. Filariasis limfatik, juga dikenal sebagai kaki gajah, adalah
kondisi yang ditandai oleh pembengkakan pada tungkai bawah (Sutanto, 2011).
Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan pembuluh limfe, sedangkan mikrofilaria
dijumpai didalam darah tepi hospes definitif. Bentuk cacing dewasa mirip bentuknya
dengan W. bancrofti, sehingga sulit dibedakan. Panjang cacing betina Brugia malayi dapat
mencapai 55 mm, dan cacing jantan 23 cm. Brugia timori betina panjang badannya sekitar
39 mm dan yang jantan panjangnya dapat mencapai 23 mm. Mikrofilaria Brugia
mempunyai mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 260 mikron pada B.malayi
dan 310 mikron pada B.timori. Ciri khas mikrofilaria B. malayi adalah bentuk ekornya
yangn mengecil, dan mempunyai dua inti terminal, sehingga mudah dibedakan dari
mikrofilaria W. bancrofti. Brugia ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada
manusia. pada Brugia malayi bermacam-macam, ada yang nocturnal periodic, nocturnal
subperiodic, atau non periodic. Brugia timori bersifat periodik nokturna. Nyamuk yang
dapat menjadi vektor penularannya adalah Anopheles (vektor brugiasis non zoonotik) atau
mansonia (vektor brugiasis zoonotik) (Sutanto, 2011).
4.2

Epidemiologi

Brugia timori merupakan spesies baru yang ditemukan di Indonesia sejak 1965, yang
ditularkan oleh vektor yaitu Anopheles barbirostris yang berkembang biak di daerah
sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Brugia timori hanya terdapat di
Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa
Tenggara Timur (Sutanto, 2011).

4.3

Siklus Hidup
9

4.4

Patofisiologi

Brugia timori / malayi ditularkan oleh An. barbirostris. Didalam tubuh nyamuk
betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada
dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform
infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform
infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva
infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami
perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa (Sutanto, 2011).
4.5

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis dilakukan dengan memeriksa adanya mikrofilaria di dalam darah dengan


tetesan darah tebal atau tipis (Haryuningtyas, 2010).
4.6

Penatalaksanaan

Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa
negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat
badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih
berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bankrofti. Untuk
pengobatan masal pemberian dosis standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang
dianjurkan adalah pemberian dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40
minggu) atau garam DEC 0,2 0,4 % selama 9 12 bulan. Pengobatan dengan iver
mektin sama dengan pada filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan
yang sempurna, pengobatan ini perlu diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia,
10

gejala peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang
elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut dapat diobati dengan DEC (Sutanto,
2011).
4.7

Pencegahan

Tindakan pencegahan brugiasis sesuai dengan upaya pencegahan pada filariasis


bancrofti, yaitu pengobatan penderita, pengobatan masal penduduk didaerah endemik,
pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis malayi (Sutanto,
2011).

11

BAB V
BRUGIA TIMORI
Gambar

5.1

Definisi dan Morfologi


Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh B. timori
disebut filariasis timori. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe.
Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 21 39
mm x 0,1 mm dan jantan berukuran 13 23 mm x 0,08 mm (Taniawati et al, 2011).
Mikrofilia timori mempunyai selubung, panjangnya dapat mencapai 310 mikron dan
memiliki cephalic space yang panjangnya 3 kali dari lebarnya (Soedarto, 2008).

5.2

Epidemiologi
Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor
dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur (Taniawati et al, 2011).

5.3

Siklus Hidup
Parasit ini ada yang zoonotik, tetapi ada yang hanya hidup pada manusia. Pada brugia
yang zoonotik, selain manusia, berbagai hewan mamalia juga dapat bertindak selaku
hospes definitifnya (reservoir host) (Soedarto, 2008).
Periodisitas mikrofilia brugia timori mempunyai sifat nokturna. Brugia timori
ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris. Daur hidup parasit ini cukup panjang.
Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia kurang
lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini juga mengalami dua kali pergantian
kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III (Taniawati et al,
2011).

5.4

Patofisiologi
Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan saluran kelenjar
limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe
inguinal disatu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat
diladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2 5 hari dan dapat sembuh
tanpa pengobatan. Kadang kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar kebawah,
12

mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd yang bersifat khas untuk
filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang
menjalar kebawah dan peradangan ini dapat pula menjalar kejaringan sekitarnya,
menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya
ikut membengkak dan menimbulkan gejala limfadema. Limfadenitis dapat pula
berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini, bila
sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu
gejala obyektif filariasis limfatik (Taniawati et al, 2011).
5.5

Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria didalam darah tepi.
Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis timori. Diagnosis imunologi
dengan deteksi IgG4 (Taniawati et al, 2011).

5.6

Penatalaksanaan
Hingga sekarang DEC masih merupakan obat pilihan. Dosis yang dipakai di beberapa
negara Asia berbeda-beda. Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/KgBB/hari
selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia lebih berat bila
dibandingkan dengan yang terdapat pada pengobatan filariasis bancrofti. Efek samping
pengobatan akan berkurang pada ulangan pengobatan. Untuk program pemberantasan
filarisasis, pengobatan yang dianjurkan adalah kombinasi DEC 6 mg/KgBB/hari dengan
abendazol 400 mg yang diberikan sekali setahun secara massal pada penduduk didaerah
endemis selama minimal 5 tahun (Taniawati et al, 2011)

5.7

Pencegahan
Tindakan pencegahan sesuai dengan upaya pencegahan pada filariasis bancrofti, yaitu
pengobatan penderita, pengobatan massal penduduk di daerah endemik, pengobatan
pencegahan pada pendatang dan pemberantasan vektor penular filariasis timori (Soedarto,
2008).

13

BAB VI
PEDICULUS HUMANUS
Gambar
Keterangan Gambar:
(A).Antena,
(B).Kuku tarsus,
(C).Mata,
(D).Forns,
(E).Tibia
(F).Thorax,
(G).Spirakle,
(H).Segmen Abdomen,
(I).Lempeng pleural dengan
spirakle abdomen.

Gambar 1. Pediculus humanus capitis


6.1

Definisi dan Morfologi

Pediculus humanus capitis disebut juga kutu kepala yang merupakan ektoparasit yang
menginfeksi manusia, termasuk dalam family pediculidae yang penularannya melalui
kontak langsung dan dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama.
Misalnya: sisir, sikat rambut, topi, syal, handuk, selimut dan lain-lain (Weems and Fasulo,
2013).
6.2

Epidemiologi

Kutu rambut merupakan parasit manusia saja dan tersebar di seluruh dunia. Tempattempat yang disukainya adalah rambut pada bagian belakang kepala. Kutu rambut kepala
dapat bergerak dengan cepat dan mudah berpindah dari satu hospes ke hospes lain. Kutu
rambut ini dapat bertahan 10 hari pada suhu 5 oc tanpa makan, dapat menghisap darah
untuk waktu yang lama, mati pada suhu 40oc. Panas yang lembang pada suhu 60 oc
memusnahkan telur dalam waktu 15-30 menit. Kutu rambut kepala mudah ditularkan
melalui kontak langsung atau dengan perantara barang-barang yang dipakai bersama-sama.
Misalnya sisir, sikat rambut, topi dan lain-lain.
Pada infeksi berat, helaian rambut akan melekat satu dengan yang lainnya dan
mengeras, dapat ditemukan banyak kutu rambut dewasa, telur (nits) dan eksudat nanah
yang berasal dari gigitan yang meradang. Infeksi mudah terjadi dengan kontak langsung.
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kepala (Brown, 1983).

14

6.3

Siklus Hidup

Lingkaran hidup kutu rambut merupakan metamorfosis tidak lengkap, yaitu telurnimfa-dewasa. Telur akan menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-10 hari sesudah
dikeluarkan oleh induk kutu rambut. Sesudah mengalami 3 kali pergantian kulit, nimfa
akan berubah menjadi kutu rambut dewasa dalam waktu 7-14 hari (Wijayanti, 2007).
Dalam keadaan cukup makanan kutu rambut dewasa dapat hidup 27 hari lamanya
(Sutanto dkk, 2008).
6.4

Patofisiologi

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk rmenghilangkan rasa gatal.
Sepanjang siklus kehidupannya, larva dan kutu dewasa menyimpan kotorannya di kulit
kepala, yang akan menyebabkan timbulnya rasa gatal. Selain itu gatal juga ditimbulkan
oleh liur dan ekskreta dari kutu yang dimasukkan ke dalam kulit waktu menghisap darah.
Garukan yang dilakukan untuk menghilangkan gatal akan menyebabkan terjadinya erosi
dan ekskoriasi sehingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder (Wijayanti, 2007).
6.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis :


- Pemeriksaan mikroskop dapat mengkonfirmasi diagnosis. Dengan pemeriksaan
mikroskop dapat terlihat kutu dewasa dengan 6 kaki, yang tebalnya 1-4 mm, tidak
bersayap, berwarna abu-abu berkilat sampai merah jika menghisap darah.
- Pemeriksaan dengan lampu wood pada daerah yang terinfestasi memperlihatkan
fluoresensi kuning-hijau dari kutu dan telur (Wijayanti, 2007).
6.6

Penatalaksanaan
Macam-macam obat untuk Pediculus humanus capitis (Kutu rambut):
1)
2)
3)

6.7

Shampo Lindane 1%. Gamma benzene heksa klorid atau piretrin.


Salep Lindane (BHC 10%); atau bedak DDT 10% atau BHC 1% dalam
pyrophylite; atau Benzaos benzylicus emulsion.
Cair/Peditox/Hexachlorocyclohexane 0,5%.

Pencegahan

Pemberantasan kutu rambut kepala dapat dilakukan dengan menggunakan tangan,


sisir serit atau dengan pemakaian insektisida golongan klorin (Benzen heksa klorida).
Beberapa pengendalian yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Hindari head-to -head (hair to hair) kontak selama bermain dan kegiatan lain di
rumah, sekolah, dan di tempat lain (olahraga, taman bermain, pesta tidur,
berkemah).

15

BAB VII
WUCERHERIA BANCROFTI
Gambar

7.1

Definisi dan Morfologi


Filariasis Bancrofti adalah penyakit parasit (limfatik filariasis) yang disebabkan oleh

larva Wuchereria Bancrofti. Nyamuk Culex merupakan vector filariasis brancofti dan
merupakan vector dari larva Wuchereriabancrofti. Secara alamiah, nyamuk dewasa
cenderung lebih suka hidup di luar rumah, karena ketersediaan hospes utama berupa
manusia, maka nyamuk dewasa akan berusaha masuk kedalam rumah dan selanjutnya
akan menghisap darah untuk proses pematangan telurnya. Nyamuk jenis ini akan terbang
mengelilingi hospesnya sebelum menghisap darah, sambil mengeluarkan bunyi yang khas.
Culex quinquefasciatus memiliki ciri-ciri sebagai berikut nyamuk C.quinquefasciatus tidak
memiliki noda-noda pucat pada bagian proboscis dan kakinya, serta warna sayap yang
tidak gelap tanpa noda pucat (Fauziah, dkk, 2013).
7.2

Epidemiologi
Periodisitas, WHO (1967) telah menentukan periodisitas Wuchereria bancrofti
ke dalam periodik dan subperiodik. Umumnya, Wuchereria bancroftri periodisita
nokturna juga di Indonesia (Natadisastra&Agoes, 2009).

7.3

Siklus Hidup

16

7.4

Patofisiologi
Efek patogen Wuchereria bancrofti tergantung beberapa faktor, antara lain toleransi

hospes terhadap parasit, jumlah larva infektif yang ditusukkan nyamuk, banyaknya gigitan
yang menyebarkan mikrofilaria infektif pada satu saat serta kemungkinan terjadinya
infeksi sekunder oleh Streptococcus, Staphylococcus atau jamur patogen. Perkembangan
dalam tubuh hospes dapat dibagi atas beberapa periode, yaitu (1) Masa inkubasi biologi,
(2) Periode tanpa gejala, (3) Stadium akut, (4) Stadium kronis (Natadisastra & Agoes,
2009).
Masa inkubasi biologi, yaitu waktu yang dibutuhkan sejak masuknya larva infektif
filarial menembus kulit sampai munculnya microfilaria untuk pertama kali di dalam darah
perifer, biasanya membutuhkan waktu 1 tahun atau lebih. Periode ini dilewati tanpa gejala
yang berarti, kecuali bagi mereka yang hipersensitif terhadap microfilaria akan tumbul
gejala alergi. Sering kali periode ini disebut sebagaia mikrofilaremik (Natadisastra &
Agoes, 2009).
Periode asimptomatik. Biasanya berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya gejala
yang nyata walaupun microfilaria telah ditemukan di dalam darah perifer. Periode ini
banyak terdapat terutama di daerah endemic filariasis. Sering kali periode ini disebut
sebagai periode asimptomatik mikrofilaremik. Albuquerque dan Scaff, 1954, melaporkan
bahwa microfilaria dapat menembus filter plasenta sehingga bayi yang baru dilahirkan
dalam darah perifernya telah mengandung microfilaria (Natadisastra & Agoes, 2009).
Stadium akut. Biasanya diawali suatu limfangitis terkadang bersama limfadenitis
terutama daerah inguinal, pada laki-laki funiculitis, orchitis dan epididymitis disertai
17

dengan demam filaria. Penyumbatan disebabkan oleh cacing dewasa yang banyak terdapat
pada pembuluh/kelenjar limf dan lesinya terdapat pada sebelah distal daerah penyumbatan
tersebut, daerah ini akan mengalami pembengkakan dan hiperemi. Keadaan ini berulang,
sebulan sekali, dapat juga lebih cepat, mungkin ini berhubungan dengan aktivitas fisik
seseorang, mungkin pula karena turunnya ambang pertahanan tubuh. Pada wanita mungkin
menyertai setiap waktu menstruasi. Tidak jarang ditemukan sindroma malaise, depresi
mental dan sakit kepala di daerah frontal atau disertai urtikaria yang berhubungan dengan
keadaan alergi. Makin lama keadaan makin bertambah parah, saluran limph terasa sakit
akibat adanya peradangan. Huntington dkk., 1944, menamakan reaksi ini sebagai acute
allerfic filarial lymphangitis. Periode ini disebut sebagai periode simptomatik
mikrofilaremik (Natadisastra & Agoes, 2009).
Stadium kronis. Ditandai dengan adanya pembengkakan organ bersangkutan dalam
suatu tipe elephantoid atau terjadinya perkembangan lymphocele kadang-kadang disertai
rupture atau terjadinya suatu fibrosis. Elephantoid ekstremitas atau skrotum dapat
mencapai ukuran besar yang merupakan beban bagi penderita. Jaringan elephantoid ini
biasanya berisi lymph dan lemak serta jaringan fibrosis, ditutupi oleh lapisan kulit yang
tebal dan tegang. Pembengkakan ini merupakan non pitting oedema. Cacing dewasa
dilokalisasi oleh proliferasi jaringan mati, diabsorpsi oleh tubuh atau terjadi kalsifikasi.
Pada bagian perifer diinfiltrasi limposit dan sel plasma atau giant cell, eosinophil
mononuclear, dan fibroblast. Dengan matinya cacing dewasa, mikrofilaria di daerah perifer
terus berkurang (Natadisastra & Agoes, 2009).
7.5

Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinik kebanyakan tidak spesifik sehingga untuk menegakkan diagnosis harus

dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu harus dapat ditermukan mikrofilaria


Wuchereria bancrofti dalam darah perifer yang diambil pada malam hari antara jam 22.0002.00 dini hari karena periodesitasnya nokturna (Natadisastra & Agoes, 2009).
7.6

Penatalaksanaan
Pengobatan dalam waktu lama dengan preparat antimon dan arsen dapat membunuh

mikrofilaria dalam darah, tetapi tidak jelas dapat membunuh cacing dewasa, kecuali jika
dilakukan pengobatan dalam waktu lebih lama. Suramin (Naphuride sodium, Germanin,
Bayer 205). Lebih spesifik, efeknya lebih cepat daripada preparat antimon atau arsen serta
toleransinya cukup baik, akan tetapi karena pemberian intravena, obat ini tidak
berkembang luas serta tidak diberikan pada pengobatan masal di daerah hiperendemik
(Natadisastra&Agoes, 2009).
18

7.7

Pencegahan
The Expert Committee on Filariasis (WHO, 1962). Telah menganjurkan suatu

program

pencegahan

yang

menyeluruh

sebagai

berikut

:pengobatan

dengan

diethylcarbamazine (46 mg dalam bentuk garam citrate untuk 5-6 dosis) berturut-turut tiap
hari dalam beberapa minggu atau bulan. Pemberian bersama insektisida yaitu
penyemprotan di dalam dan di sekitar rumah dengan DDT, dieldrine atau organophosphate
Baytex, dan penggunaan larvasidal dengan penyemprotan pada tempat perindukan nyamuk
(Natadisastra & Agoes, 2009).

19

BAB VIII
XENOPSYLLA CHEOPIS
Gambar

1
2
.

Keterangan:
1. Genal & pronotal ctenidia
absen.
2. Sensillium Spermatheca

Xenopsylla cheopis (betina)


8.1

Definisi dan Morfologi

Xenopsylla cheopis merupakan pinjal yang secara taksonomi termasuk dalam Filum
Arthropoda, Kelas Insekta, Ordo Siphonaptera, Family: Pulicidae. Secara umum, ciri-ciri
pinjal yang termasuk Xenopsylla cheopis adalah (Ustiawan, 2008):
Tidak bersayap
Kaki sangat kuat dan panjang, berguna untuk meloncat.
Mempunyai mata tunggal.
Tipe menusuk dan mengisap.
Segmentasi tubuh tidak jelas (batas antara kepala - dada tidak jelas)
Ektoparasit pada hewan berdarah panas (mamalia, burung,dll)
Ukuran 1,5-3,3mm
Metamorfosis sempurna, yaitu telur - larva - pupa dewasa
Kepala membulat dan tidak ada comb pada bagian genal, pronatal maupun abdominal.
Terdapat Mesopleural rod.
Ocular bristle di depan oculi.
8.2

Epidemiologi

Xenopsylla cheopis sering dijumpai pada tikus hidup di daerah tropis dan dalam
lingkungan yang hangat di seluruh dunia (Ustiawan, 2008).
8.3

Siklus Hidup

Pinjal bertelur 300-400 butir selama hidupnya. Pinjal betina meletakkan telur diantara
rambut maupun di sarang tikus. Telur menetas dalam waktu 2 hari sampai beberapa
minggu, tergantung suhu dan kelembaban. Telur menetas menjadi larva, kadang-kadang
larva terdapat dilantai, retak-retak pada dinding, permadani, sarang tikus, dll. Larva-larva
20

hidup dari segala macam sisa-sisa organik dan mengalami 3 kali pergantian kulit, berubah
menjadi pupa (dibungkus dengan kokon pasir dan sisa-sisa kotoran lain), lalu menjadi
pinjal. Dalam waktu 24 jam pinjal sudah mulai menggigit dan mengisap darah (Ustiawan,
2008).
8.4

Patofisiologi

Penyakit sampar (PES) disebabkan oleh bakteri yang disebut Yersinia petis. Vektor
penyakit pes adalah Xenopsylla cheopis, Stivalius cognatus dan Nospsyllus sondaica
(Natadisastra & Agoes, 2009).
Gejala klinik. Pinjal menginfeksi manusia melalui gigitannya dan juga melalui tinja
yang mengandung Yersinia pestis yang masuk melalui luka gigitannya (anterior inokulatif
dan posterior kontaminatif). Bakteri yang masuk mula-mula menyebabkan terjadinya
peradangan dan pembesaran kelenjar limfe dan menimbulkan terbentuknya benjolan atau
bubo. Bubo ini dapat mencapai diameter 2-10 cm yang biasanya terdapat dekat glandula
femoralis dan glandula aksilaris. Kelainan ini disebut pes bubo (bubonic plague)
(Natadisastra & Agoes, 2009).
8.5

Pemeriksaan Penunjang

Ada dua pemeriksaan laboratorium untuk surveilans penyakit pes.Pemeriksaan yang


pertama yaitu pemeriksaan serologi pada manusia, tikus, dan spesies pengerat lain.
Pemeriksaan yang kedua yaitu pemeriksaan bakteriologi yang dilakukan pada manusia,
tikus, dan pinjal. Pada manusia bagian yang diperiksa yaitu darah, bubo, dan sputum.
Sedangkan pada organ tikus yang diperiksa yaitu limpa, paru, dan hati. Pada pinjal,
dilakukan kultur ke mencit untuk mengetahui apa benar pinjal infektif pes (Rahmawati,
2013).
8.6

Penatalaksanaan

PES bubo dapat dibati dengan streptomycin. Obat lain yang dapat digunakan adalah
gentamycin. Tetracyclin dan doxycyclin dapat digunakan sebagai profilaksis (Krug dan
Elston, 2010).
8.7

Pencegahan

Upaya pemberantasan pinjal yang merupakan parasit tikus, dapat dilakukan


pemberantasan dengan cara menangkap tikus dengan perangkap dan membunuhnya atau
memberantas pinjal tikus dengan insektisida DDT dan BHC (benzena heksaklrida)
(Natadisastra & Agoes, 2009).

21

BAB IX
CTENOCEPHALIDES CANIS
Gambar

9.1

Definisi dan morfologi

Definisi Ctenocephalides canis adalah parasit yang biasanya terdapat pada anjing.
Morfologi dari Ctenocephalides canis adalah tidak bersayap, memiliki tungkai panjang, dan
koksa-koksa sangat besar, Tubuh gepeng di sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang
mengarah ke belakang dan rambut keras, Sungut pendek dan terletak dalam lekuk-lekuk di
dalam kepala, Bagian mulut tipe penghisap dengan 3 stilet penusuk, Metamorfosis
sempurna (telur-larva-pupa-imago), Telur tidak berperekat, abdomen terdiri dari 10 ruas,
Larva tidak bertungkai kecil, dan keputihan,. Perbedaan antara jantan dan betina dapat
dilihat dari struktur tubuhnya, yaitu jika jantan pada ujung posterior bentuknya seperti
tombak yang mengarah ke atas dan antenna lebih panjang, sedangkan tubuh betina berakhir
bulat dan antenna nya lebih pendek dari jantan. Kutu dewasa berwarna hitam kecoklatan,
tapi tampak hitam kemerahan setelah makan darah. Kutu dewasa panjangnya 3-4mm.
Memiliki baik ctenidia genal dan pronatal, memiliki mata, pada koksa kaki ke-2
(mesopleuron) ditemukan batang pleural (Nadadisastra, D, 2009).
9.2

Epidemiologi

Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan
anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang orang yang menyayangi
hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau membawa hewan
tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi dipylidiasis melalui
tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain mengenai tertelannya
pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut (Nadadisastra, D, 2009).

9.3

Siklus Hidup
22

Ada empat tahap utama dari siklus hidup kutu: telur, larva, pupa dan dewasa.
Dibutuhkan sekitar 30 sampai 40 hari untuk kutu anjing dalam mengerami telur menjadi
telur yang sempurna,meskipun ada beberapa kasus yang menunjukkan siklus ini
berlangsung selama satu tahun. Kutu betina mulai bertelur dalam waktu 2 hari makan darah
pertamanya. Telur yang putih dan kecil (0.5mm) tetapi yang terlihat dengan mata telanjang.
Telur diletakkan pada rambut, bulu atau dalam habitat hospesnya, mereka kemudian jatuh
ke tempat-tempat seperti tempat tidur, karpet atau perabot. Beberapa kutu meletakkan 3-18
telur sekaligus di dalam tubuh anjing tersebut,hal ini berpotensi memperbanyak telur
hingga 500 telur selama beberapa bulan. Telur menetas dalam 1-12 hari setelah disimpan
kemudian memproduksi larva seperti cacing yang tidak memiliki kaki dan tidak ada mata.
Larva berwarna putih dan 1,5-5mm panjang dengan pelindung dari bulu tipis. Mereka
jarang tinggal di tubuh inang mereka, kemudian mereka segera mencari daerah tertutup
seperti tempat tidur hewan peliharaan , serat karpet dan retakan pada lantai di mana mereka
mencari makanan sementara menghindari cahaya. Larva memakan berbagai bahan organik
termasuk kulit-kulit yang terjatuh, kotoran hewan dan kotoran dewasa (terdiri dari darah ).
Larva memungkinkan untuk mengganti kulit mereka untuk tumbuh dan berubah menjadi
kepompong sutra selama 5-15 hari. Sisa larva sebagai pre-pupa selama 3 hari sebelum
molting lagi untuk membentuk pupa.
Pupa mengembangkan dalam kokon dari lima hari sampai lima minggu. Dalam
kondisi normal, bentuk dewasa siap untuk muncul setelah kira-kira 2 minggu tetapi pada
temperatur yang lebih tinggi perubahan akan lebih cepat. Mereka kadang-kadang tetap
tinggal di kokon sampai getaran atau kebisingan dirasakan (yang mengindikasikan
keberadaan manusia atau binatang) yang berarti - karena tidak ada gerakan bentuk dewasa
dapat tinggal di kokon sampai dengan 6 bulan.
Kutu dewasa, tidak bersayap, ukuran 2-8mm panjang dan lateral dikompresi. Mereka
tercakup dalam bulu dan sisir yang membantu mereka untuk menempel pada host dan
memiliki antena yang dapat mendeteksi dihembuskannya karbon dioksida dari hewan.
Antena mereka juga sensitif terhadap panas, getaran, bayangan dan perubahan arus udara.
Semua kutu bergantung pada darah untuk nutrisi mereka tetapi mampu hidup dalam waktu
yang lama tanpa makan, biasanya sekitar 2 bulan. Dalam kondisi yang menguntungkan dan
disertai dengan sumber t makanan (darah) yang memadai, kutu dapat hidup sampai satu
tahun (Nadadisastra, D, 2009).
9.4

Patofisiologi

Ctenocephalides canis dan C. felis berperan sebagai inang antara cacing pita
Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Pinjal C. canis dan C. felis juga
merupakan inang antara cacing filaria Dipetalonema reconditum juga sebagai vektor
penyakit rickettsial, termasuk Rickettsia typhi(nadadisastra, D, 2009).

9.5

Pemerisaan Penunjang
23

Berdasarkan anamnesa yaitu perilaku keeratan hubungan dengan anjing atau kucing
peliharaannya dan status kesehatan anjing atau kucing peliharaannya serta gejala klinis
yang tampak dapat diprediksi. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian
diagnosa dengan cara memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid
yang keluar bersama feces. Kadang kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal
penderita (Nadadisastra, D, 2009).
9.6

Penatalasaan

Praziquantel 600 mg dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk


dewasa atau 1,5 gr untuk anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak
dengan berat badan 11-34 kg. Selain itu Quinakrin (Nadadisastra, D, 2009).
9.7

Pencegahan

Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak
anak dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati.
Selain itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida
(Nadadisastra, D, 2009).

24

BAB X
CTENOCEPHALIDES FELIS
Gambar

10.1

Definisi dan Morfologi

Dipylidiasis merupakan penyakit cacing pita yang secara primer terjadi pada anjing
dan kucing. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis karena dapat ditularkan kepada
manusia melalui hospes perantara berupa pinjal atau kutu anjing dan kucing. Di Indonesia
kasus dypilidiasis pada manusia belum pernah dilaporkan. Dari Laporan hasil penelitian
terjadinya dipylidiasis pada anjing Bali disebutkan bahwa 18% dari anjing yang diperiksa,
positif terinfeksi Dipylidium caninum ( Dharmawan NS dkk, 2003)
Pinjal yang biasa dikenal kutu loncat atau fleas ada 2 jenis, yaitu kutu loncat pada
anjing dan kucing, namun di lapangan lebih sering ditemukan kutu loncat kucing yang
juga dapat berpindah dan berkembang biak pada anjing.
Pinjal berukuran kecil dengan panjang 1,5-3,3 mm dan bergerak cepat. Biasanya
berwarna gelap (misalnya, cokelat kemerahan untuk kutu kucing). Pinjal merupakan
serangga bersayap dengan bagian-bagian mulut seperti tabung yang digunakan untuk
menghisap darah host mereka. Kaki pinjal berukuran panjang, sepasang kaki
belakangnya digunakan untuk melompat (secara vertikal sampai 7 inch (18 cm);
horizontal 13 inch (33 cm)). Pinjal merupakan kutu pelompat terbaik diantara
kelompoknya. Tubuh pinjal bersifat lateral dikompresi yang memudahkan mereka untuk
bergerak di antara rambut-rambut atau bulu di tubuh inang. Kulit tubuhnya keras,
ditutupi oleh banyak bulu dan duri pendek yang mengarah ke belakang, dimana bulu dan
duri ini memudahkan pergerakan mereka pada hostnya.
10.2

Epidemiologi

Dipylidiasis pada manusia umumnya dilaporkan terjadi pada anak anak usia di
bawah 8 tahun. Penularan biasanya terjadi per oral malalui makanan , minuman atau

25

tangan yang tercemar pinjal anjing atau kucing serta kutu anjing yang mengandung
cysticercoid (Soedarto,2003).
Orang yang mempunyai resiko tinggi adalah yang mempunyai hewan peliharaan
anjing atau kucing yang menderita dipylidiasis. Rupanya orang orang yang
menyayangi hewan peliharaannya pasti selalu kontak dan adakalanya menciumi atau
membawa hewan tersebut ke kamar tidur, sehingga ada kemungkinan terjadi infeksi
dipylidiasis melalui tertelannya pinjal dari hewan tersebut. Terdapat kemungkinan lain
mengenai tertelannya pinjal tersebut yaitu melalui tangan yang tercemar pinjal ke mulut.
10.3

Siklus Hidup

10.4

Patofisiologi

Dipylidiasis pada manusia terjadi melalui konsumsi disengaja kutu anjing atau kutu
kucing, anjing terinfeksi cysticercoids (bentuk larva D caninum). kutu adalah hospes
perantara untuk D. caninum. Cysticercoids berkembang menjadi cacing dewasa di usus
kecil tuan rumah di sekitar 20 hari. Cacing dewasa dapat mencapai panjang 10-70 cm dan
berdiameter 2-3 mm. Cacing memiliki umur kurang dari 1 tahun. Perubahan patologis
akibat dipylidiasis belum dijelaskan.
10.5

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk kepastian diagnosa dengan cara


memeriksa adanya telur dalam feces atau adanya segmen proglottid yang keluar bersama
feces. Kadang kadang ditemukan sejumlah eggball pada perianal penderita.
26

10.6

Penatalaksanaan

Anthelmintik yang dapat digunakan untuk dipylidiasis adalah praziquantel 600 mg


dosis tunggal, niclosamide (Yomesan) dosis tunggal 2 gr untuk dewasa atau 1,5 gr untuk
anak dengan berat badan lebih dari 34 kg atau 1 gr untuk anak dengan berat badan 11-34
kg. Selain itu Quinakrin (atabrin) dapat juga digunakan. ( Natadisastra D & Agoes R,
2009; Markell EK, et al, 1992)
Pada anjing dan kucing anthelmimtik yang digunakan adalah arecoline hydrobromide,
arecolineacetasol, Bithional, Niclosamide atau Praziquantel (Soulsby EJL,1982)
10.7

Pencegahan

Penularan dan infeksi dapat dicegah dengan cara menghindari kontak antara anak
dengan anjing atau kucing. Anjing atau kucing penderita dipylidiasis harus diobati. Selain
itu perlu dilakukan pemberantasan pinjal atau kutu dengan insektisida(Soedarto,2007).

27

Daftar Pustaka

Aisah S, 2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Anonim, 2014. Phthirus Pubis-Pubic Lice. WOS Pubic Pediculosis Protocol. West of
Scotland Sexual Health. New York.
Brown, H. W, 1983. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta: PT. Gramedia
Budiasnyah, T. 2013. Ask The Master UKDI. InternaPublishing. Tanggerang Selatan.
Djuanda, A., Hamzah,M. Aisah, S. 2010 Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ganda Husada, S, 1992. Parasitologi Kedokteran. Jakarata: Fakultas Kedokteran.
Garcia & Bruener, 1986. Diagnosa Parasitologi Kedokteran. Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Gunning et al, 2013. Pediculosis and Scabies: A Treatment Update. American Family
Physician. Vol. 25, no 3. Diakses pada 22 desember 2014. Dari <
http://downloads.hindawi.com/journals/ipid/2012/587402.pdf>
Handoko R, Djuanda A, Hamzah M. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.4. Jakarta:
FKUI.
Handoko R. 2008. Skabies. Dalam: Adhi D, Mochtar M, Siti A, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 5. Cetakan ke 3. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit.Ed.1. Jakarta: Hipokrates.
Haryuningtyas D, 2010, Deteksi Mikrofilaria/Larva Cacing Brugia Malayi pada Nyamuk
dengan Polimerase Chain Reaction, Balai besar penelitian veteriner Vol. 13
No.
3,
Diakses
pada
21
desember
2014,
http://bbalitvet.litbang.pertanian.go.id/eng/attachments/142_15SciPub.pdf.
Pozioet all, 2001. Failure of Mebendazole in the Treatment of Humans with
Trichinellaspiralis Infection at the Stage of Encapsulating Larvae, Clinical
Infectious Disease, Laboratory of Parasitology, IstitutoSuperiore di Sanit,
Viale Regina Elena, Vol 32 (4), pp: 638-642
Prabu, B.D.R, 1990. Penyakit-penyakit Infeksi Umum. Edisi I. Jakarta: Widya Medica.
Soedarto, 1983. Ontemologi Kedokteran. Surabaya: Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.
Soedarto, 2008, Parasitologi Klinik, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya

28

Sutanto I, dkk, 2011, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Edisi 4, Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.
Taniawati, S, Agnes, K, Felix, P, 2011, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Ed.4, Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Weems, H. V. Jr. and T. R. Fasulo. 2013. Human Lice: Body Louse, Pediculus humanus
humanus Linnaeus and Head Louse, Pediculus humanus capitis De Geer
(Insecta: Phthiraptera (=Anoplura): Pediculidae). Ifas Extension. University
Of Florida.
White RR et all, 2011. Characterisation of the TrichinellaspiralisDeubiquitinating Enzyme,
TsUCH37, an Evolutionarily Conserved Proteasome Interaction Partner,
Division of Cell and Molecular Biology, Department of Life Sciences,
Imperial College London, London, United Kingdom, Vol 10, pp:1371

29

Anda mungkin juga menyukai