Adat Dan Tradisi Kota Solo

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

Katrin Winarsih Hapsari

14020113410034/ 11
ADAT DAN TRADISI KOTA SOLO
Upacara adat, ritual adat, prosesi adat, tradisi, ritual keagamaan, upacara
keagamaan, atau bagaimana pun orang menamainya saat ini telah banyak
dihubungkan dengan wisata budaya atau juga wisata religi. Selain menjadi sebuah
ciri atau tanda tersendiri bagi suatu kawasan, jenis kegiatan ini juga telah banyak
dijadikan potensi wisata oleh pemerintah daerah kawasan tersebut.
Solo dengan latar belakang sejarah Jawa yang sangat kaya menyimpan begitu
banyak kekayaan baik berupa artefak, situs, ataupun juga jenis kegiatan. Selain
itu, keanekaragaman budaya atau agama yang hidup didalamnya juga
menghidupkan beberapa jenis tradisi yang menjadi warna dalam budaya Jawa
yang kental di kawasan Solo.
Berikut adalah beberapa upacara adat di Solo dan juga beberapa upacara
keagamaan di Solo yang sering ditunggu waktu kehadirannya:
No
.
1

Sekaten

Grebeg Mulud

Grebeg Sudiro

Haul Habib Al-Habsy

Tingalan Dalem
Jumenengan Paku Buwono
XIII
Tradisi Bagi Takjil Bubur

Nama Upacara Keagamaan

Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Tanggal 5 bulan Mulud (Rabiul Awal tahun
Hijrah) sampai tanggal 11 (tujuh hari).
Bertempat di Masjid Agung Keraton
Surakarta. Sementara pasar malam Sekaten
digelar di Alun-Alun Utara.
Tanggal 12 bulan Mulud.
Bertempat di halaman Masjid Agung Keraton
Surakarta.
Menjelang Imlek.
Bertempat di kawasan Pasar Gede,
Sudiroprajan, Solo.
Tanggal 20 Rabiultsani. Bertempat di Masjid
Ar Riyadh, Pasar Kliwon, Solo.
Digelar setiap tanggal 25 bulan Rajab.
Bertempat di Keraton Surakarta.
Tradisi yang sudah berjalan puluhan tahun ini

Samin

8
9
10

11

12

13
14

biasa digelar sepanjang bulan puasa.


Bertempat di Masjid Darussalam, Jayengan,
Serengan, Solo.
Malem Selikuran
Setiap malam ke-21 bulan Poso. Bertempat
di Masjid Agung Keraton Surakarta setelah
sebelumnya diarak dari Keraton.
Grebeg Pasa
Digelar setiap tanggal 2 bulan Syawal.
Bertempat di Masjid Agung Surakarta.
Pekan Syawalan Jurug atau Biasa digelar seminggu setelah perayaan Idul
Grebeg Jaka Tingkir
Fitri. Bertempat di TST Jurug.
Grebeg Besar
Setiap tanggal 10 bulan Besar atau 10 Dzul
Hijjah. Bertempat di Masjid Agung Keraton
Surakarta.
Kirab Malam Satu Suro
Setiap pergantian tahun tepat pada malam 1
Suro.
Terdapat
dua
kirab
dalam
memperingati Malam 1 Suro atau Malam 1
Muharam. Yaitu bertempat di Keraton
Kasunanan Surakarta, biasa dikenal dengan
Kirab
Kebo
Bule
dan
di
Pura
Mangkunegaran.
Kirab Apem Sewu
Biasa digelar bersamaan dengan Festival
Gethek di Sungai Bengawan, yaitu pada
pertengahan bulan November. Bertempat di
Kampung Sewu, Solo.
Jumenengan Paduka
Setiap tanggal 9 bulan Suro. Bertempat di
Mangkunegaran IX
Pura Mangkunegaran.
Kirab Babad Kepatihan atau Setiap tanggal 15 bulan Suro. Bertempat di
Peringatan Hari Lahirnya
Kepatihan, Solo.
Titi Laras Karawitan
Kepatihan
Sumber: Diolah dari berbagai sumber

1. Sekaten
Sekaten adalah merupakan salah satu pesta pasar rakyat yang sangat lekat
dengan sejarah perkembangan dan penyiaran agama Islam di tanah Jawa.
Istilah Sekaten berasal dari bahasa arab yaitu Syahadatin yang berarti dua
kalimat syahadat, hal ini sarat dengan makna islami pada masa penyebaran
agama islam pada masa itu . Pasar rakyat ini, hingga sekarang masih menjadi

salah satu objek wisata dan pasar budaya yang menjadi salah satu unggulan
pariwisata kota Solo.
Pasar malam ini biasanya digelar selama seminggu penuh untuk memperingati
hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang menjadi kalender kegiatan rutin
yang di adakan oleh Kraton Solo setahun sekali berdasarkan penanggalan
Jawa. Kegiatan di pasar ini sangat lengkap mulai berbagai jualan makanan
khas daerah , baju , berbagai kerajinan tradisional sampai mainan yang
modern serta banyak pula sarana hiburan rakyat seperti komidi putar dan yang
lainnya. Maka tak heran kalau perayaan sekaten selalu penuh sesak dengan
pengunjung.
Gambar 1.1 Perayaan Sekaten Solo 2014

Sumber: http://mamiberanimimpi.blogspot.com/2013/02/pesona-solo.html
2. Grebeg Mulud
Grebeg Mulud adalah salah satu acara rutin tiap tahun di Keraton Surakarta.
Acara ini memperingati hari Maulud Nabi Muhammad SAW. Pada moment ini
akan dikirab Gunungan Tumpeng Raksasa dari Keraton Surakarta menuju
Masjid Agung Surakarta. Pada hari itu ribuan warga Surakarta dan sekitarnya
berkumpul untuk ngalap (mencari) berkah. Banyak yang berasal dari
Sragen, Karanganyar, Wonogiri dan daerah-daerah lain yang lebih jauh.
Dalam acara ini berkumpul semua abdi dalem Keraton Surakarta, juga kerabat
keraton.

Tatacara yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:


a. Penyerahan

kelengkapan

Jamasan

Pusaka

atau

minyak

untuk

membersihkan pusaka diterimakan kepada sesepuh Kadilangu (Ahli waris


Sunan Kalijaga). Minyak diserahkan, yaitu lisah sepuh, lisah cendana dan
kembang.
b. Dikeluarkannya ajad dalem Paredenatau gunungan pada +/- jam 10.00
WIB. Tatacara yang dilaksanakan adalah seperti pada Grebeg Pasa
Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang Sinuhun
memerintahkan Pepatih Dalem untuk menyampaikan perintah kepada Kyai
Penghulu Tapsiranom agar memimpin upacara selamatan Mulud Nabi
Muhammad SAW serta membacakan doa seperlunya. Perjalanan rombongan
pembawa sesaji gunungan dari Karaton serta didahuluioleh tarian. Ini
dilakukan oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan
iman Pepatih dalem di dalam mengemban perintah Ingkang Sinuhun. Kalau
dalam menjalankan tugas tertawa itu tandanya masih bisa tergoda.
Tentang sesaji gunungan ini KGPH Hadiwijaya menjelaskan sebagai berikut:
Gunungan (asal kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang besar, yaitu 12 buah
jodang gunungan laki-laki dan 12 buah jodang gunungan perempuan. Diselasela itu terdapat anak-anak (saradan) dan 24 buah ancak-canthaka.
a. Gunung laki-laki yang berbentuk tumpengan , lingga atau meru itu
tingginya melebihi tinggi ornag berdiri, dipundaknya ditaruh ento-ento
(sejenis makanan yang bentuknya bulat) sebanyak 4 buah dan diatasnya 1
buah. Ini melambangkan rasa sejati, perlambang yang dapat kita saksikan
pada tugu batu dari candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini
ditancapkan bendera kecil gula klapa (putih merah) yang dibalik, yang juga
melambangkan laki-laki perempuan.

b. Gunungan bentuknya seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh sebab itu
dinamakan gegenderan. Segala sesuatu tidak berbeda dengan gunungan
laki-laki di atas. Antara gunungan laki-laki tersebut terdapat anak-anakan
yang dinamakan saradan
c. Jodhang yang dipergunakan untuk mengusung gunungan tersebut diberi
hiasan yang mengandung makna tersendiri, serta mempunyai arti simbolis,
antara laindiberi kampuh (penutup dari setengah tingginya ke bawah)
berupa kain bangotulak ynag indah, megah dan berwibawa itu.
d. Untuk keperluan sehari-hari pada sesaji/selamatan lazim kita jumpai jenang
putih merah, tidak boleh keliru putihnya harus ditaruh di atas yang merah.
Inipun melambangkan laki-laki perempuan, seperti yang terkandung dalam
simbolgula klapa yang dibalik, putihnya di atas merahnya di bawah.
e. Tentang ancak-canthoka yang berjumlah 24 itu bentuknya menyerupai
kodhok (katak), diberi wadah besi tertutup dari kuningan.
f. Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Besar,
berjalan paling depan gunungan laki-laki berselang dengan gunungan
perempuan, sedang diantaranya

terdapat anak-anak (saradan). Di

belakangnya adalah ancak-canthoka dalam formasi berjajar dua-dua.


Perjalan diapit oleh abdidalem panewu mantri. Dibelakang sendiri berjalan
seorang Bupati Pangreh Praja sebagai penutupnya.
g. Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di
Sitinggil, lewat alun-alun utara dan seterusnya menuju masjid Besar.
Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan tersebut mendapat penghormatan
gending Mungga. Sesampainya pada rombongan ancak-canthoka gending
berubah menjadi kodhok ngorek.
h. Selanjutnya mengenai jum`lah (hitungan) 12-24-2 di atas masing-masing
mempunyai arti sibolis sama dengan hitungan khusus 3 = trimurti, 4 =

keblat, 2 = loro, loroning atunggal, dan sebagainya. Dikalangan ilmiah


barat disebutnyatweedeling dan perkalianangka-angka di atas apabila
berikutnya 12 x 2 24 adalah perputaran bumi mengelilingi matahari satu
hari satu malam selama 24 jam.
i. Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka Pepatih Dalem
memberitahukan hajat Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom
serta minta dibacakan doa menurut semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom
menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin jalannya upara sampai
selesai. Kemudian sesudah upacara selesai, maka gunungan dan tumpeng
sewu dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan
kepada Ingkang Sinuhun dan para pembesar yang dianggap perlu.
Gambar 1.2 Prosesi Kirab Grebeg Mulud

Sumber: http://v-images2.antarafoto.com/gsb/1314786306/grebeg-syawal06.jpg

3. Grebeg Sudiro
Grebeg Sudiro adalah sebuah event perayaan menyambut tahun baru Imlek
yang diselenggarakan 7 hari sebelum tahun baru di kawasan Pasar Gedhe.
Grebeg Sudiro merupakan bentuk akulturasi antara budaya Jawa dan Tionghoa
yang menyatu padu menjadi sebuah keunikan dalam keberagaman. Grebeg
merupakan tradisi khas Jawa yang biasanya diadakan untuk acara sakral

seperti menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang biasa disebut


Grebeg Mulud. Sudiro diambil dari nama kampung tempat penyelenggaraan
acara, yakni Kampung Sudiroprajan di kawasan Pasar Gedhe yang terkenal
dengan kampung pecinan.
Dahulu, jauh sebelum ada Grebeg Sudiro, di kampung Sudiroprajan ini ada
tradisi Buk Teko. Buk berarti tempat duduk di tepi jalan yang terbuat dari
semen, Teko adalah tempat minum. Buk Teko adalah syukuran menyambut
tahun baru Imlek yang sudah ada sejak zaman pemerintahan Sri Susuhunan
Paku Buwana X.
Grebeg Sudiro yang berbentuk karnaval budaya Jawa Tionghoa sebagai
simbol toleransi dan kerukunan. Simbol-simbol itu nampak pada gunungan
4.000 kue ranjang yang dikirab dan kemudian dibagikan kepada masyarakat
yang hadir. Gunungan merupakan tradisi khas Jawa, dan kue ranjang adalah
produk makanan khas Tionghoa. Sajian atraksi Liong dan Barongsai beberapa
juga dimainkan oleh orang Jawa. Hal ini menjadikan Grebeg Sudiro sebagai
pesta penyambutan tahun baru Imlek yang bisa dinikmati dan dirasakan
kebahagiaannya oleh siapa saja tanpa membedakan suku, agama dan ras.
Semua menyatu dalam kebhinnekaan. Selain makanan khas Tionghoa, iringiringan gunungan pada Grebeg Sudiro juga menampilkan makanan khas
kampung Sudiroprajan diantaranya gembukan, janggelut, bakpia Mbalong,
keleman, onde-onde, dan sebagainya.
Gambar 1.3 Prosesi Grebeg Sudiro
Sumber: http://www.eventsolo.com/img/Grebeg-Sudiro-2013-Solo.jpg

4. Haul Habib Al-Habsy


Peringatan Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi masih berlangsung
hingga sekarang meskipun sang pencetus, Habib Alwi, telah lama meninggal.
Tradisi itu diturunkan dan digelar setiap tahun yang dihadiri ribuan jemaah
dari berbagai penjuru negeri bahkan dari luar negeri. Tanggal 20 Rabiul Tsani
atau Rabiul Akhir adalah saat wafatnya Habib Ali yang dimakamkan di
Seiwun, Handramaut (Yaman). Habib Ali dikenal dengan dakwah dan syiar
Islam-nya. Sosoknya juga dikenal sebagai penulis Maulid Simthud Durar,
kitab tentang puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Kitab yang memuat
pujian, kisah kelahiran, sifat, akhlak, serta riwayat Nabi itu menyebar ke
berbagai penjuru negeri termasuk ke Indonesia.
Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi pertama kali diselenggarakan oleh
Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, putra Habib. Habib Alwi jugalah yang
mendirikan Masjid Ar Riyadh di Pasar Kliwon yang memiliki nama sama
dengan masjid yang dibangun ayahnya di kota Seiwun. Habib Alwi dikenal
sebagai sosok besar seperti ayahnya. Sosoknya dikenal memiliki budi pekerti
luhur serta menerima dan terbuka kepada siapa pun. Dakwah, pengajian, serta

pertemuan agama adalah hal-hal yang selalu meramaikan kediamannya yang


memang selalu terbuka bagi siapa pun. Karena itu pula banyak muslim yang
menghormati pribadi dan jasa-jasanya.
Tidak hanya ribuan jemaah yang berbondong-bondong memadati kawasan
Masjid Ar Riyadh pada saat digelarnya Haul Habib Al-Habsyi. Di saat itu
pula, biasa muncul ratusan pedagang yang menjajakan berbagai barang.
Fenomena pasar dadakan ini pula yang akhirnya semakin meramaikan Haul
Akbar Habib Al-Habsyi. Satu hal lagi yang selalu ditunggu dan dicari jemaah
yang datang dari berbagai daerah itu adalah hidangan nasi kabuli yang
disediakan penitia penyelenggara. Hidangan khas Haul Habib Al-Habsyi ini
selalu menjadi rebutan ribuan jemaah haul.
Gambar 1.4 Prosesi Haul Habib Al-Habsyi

Sumber: http://nabawiy.blogspot.com/2013/04 abib Al-Habsyi


5. Tingalan Dalem Jumenengan Paku Buwono XIII
Tingalan Jumengen Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan (ISKS) Paku
Buwono XIII adalah upacara kenaikan tahta ISKS Paku Buwono XIII. Dalam
acara Tingalan Jjumenengan ini dipergelarkan tarian sakral Bedaya Ketawang.
Tidak semua penari dapat menarikan tarian sakral ini yang hanya digelar
dalam event yang sangat istimewa. Pada acara Tingalan Jumenengan ini
biasanya juga dilakukan pemberian gelar kebangsawanan kepada orang-orang

yang dianggap berjasa kepada kraton. Acara ini biasa dilakukan setiap tanggal
2 bulan Ruwah dalam kalender Jawa.
Gambar 1.5 Prosesi Tinggalan Dalem Pakubuwono XIII

Sumber:

http://www.timlo.net/baca/11227/tingalan-jumenengan-ke-7-sisks-

pb-xiii/
6. Tradisi Bagi Takjil Bubur Samin
Pembagian takjil bubur samin di Masjid Darussalam Jayengan Solo telah
berlangsung lama sejak tahun 1900-an, dan hingga saat ini tetap dilaksanakan
sebagai sebuah tradisi saat ramadhan. Bubur yang diolah di Masjid
Darussalam Solo ini sendiri sebenarnya adalah Bubur Banjar, makanan khas
daerah Martapura, Kalimantan Selatan. Hal itu karena warga di sekitar masjid
tersebut memang keturunan pendatang dari Banjar. Mereka datang ke Kota
Solo sekitar awal 1900-an untuk berdagang intan dan permata.

Saat itu

mereka menjual hasil kerajinan dari daerah asalnya ke pusat-pusat


perekonomian yang ada di Solo. Secara berombongan, mereka akhirnya
tinggal di Kampung Jayengan, yang berada tak jauh dari Pasar Klewer.
Pada awalnya, sekitar 1911, keluarga pedagang Banjar itu membuat bubur
samin untuk dinikmati sesama masyarakat asal Banjar. Saat itu, yang ada baru
berupa langgar, bukan masjid. Pada 1965, langgar itu kemudian direnovasi
menjadi masjid. Pembuatan bubur saat itu masih tetap untuk internal jemaah.
Baru sekitar tahun 1985, bubur samin itu mulai dibagikan untuk umum, dan
itu bertahan hingga saat ini.
Setiap harinya, selama Ramadan, pengurus Masjid Darussalam menyiapkan
bubur samin sebanyak 800 porsi. Sebagian besar dibagikan kepada

masyarakat untuk dibawa pulang. Sebagian lainnya dibagikan kepada jemaah


salat magrib yang berbuka puasa di masjid. Jumlah makanan yang dibagikan
memang tidak sedikit. Mereka harus mengolah 40 kilogram beras untuk dibuat
bubur samin sejak siang hari. Beras yang dibuat bubur tersebut diolah dengan
dicampur daging serta susu sapi. Penggunaan berbagai bumbu, seperti
kapulaga, daun seledri, daun bawang, bawang bombai, wortel, dan rempahrempah, membuat aromanya cukup menggoda.
Tidak ketinggalan, mereka juga menambahkan minyak samin ke dalam
masakan tersebut. Itu sebabnya, masakan yang hanya dihadirkan selama
Ramadan tersebut dikenal dengan sebutan bubur samin. Minyak itu
menyebabkan bubur tersebut memiliki warna kecokelatan. Proses pembuatan
bubur ini memakan waktu hingga empat jam.
Dana yang dibutuhkan untuk membuat bubur samin itu diperoleh dari para
donatur. Dulunya, dana berasal dari para pengusaha permata asal Banjar yang
tinggal di sekitar masjid. Seiring berjalannya waktu, banyak para donatur dari
luar yang ikut menanggung biaya pembuatan menu takjil itu.
Gambar 1.6 Pembagian Takjil Bubur Samin

Sumber:

http://www.timlo.net/baca/11227/tingalan-jumenengan-ke-7-sisks-

pb-xiii/
7. Tradisi Malem Selikuran
Tradisi malem selikuran adalah adalah tradisi budaya sekaligus religi yang
penuh makna. Dalam bahasa jawa, malem berarti malam dan selikuran berarti
dua puluh satu, sehingga malem selikuran berarti malam ke dua puluh satu
pada bulan ramadhan atau dikenal dengan nama malam lailatul qodar.
Pada malam ini, Keraton Surakarta Hadiningrat dan masyarakat Solo biasanya
menggelar tradisi berupa kirab seribu tumpeng dari halaman Pagelaran
Keraton Surakarta, berjalan menyusuri Jalan Slamet Riyadi, dan berakhir di
Taman Sriwedari, Solo.

Para abdi dalem juga membawa lampu menyerupai lampion atau ting.
Sehingga kirab ini juga dikenal dengan nama ting-ting hik. Di depan barisan
ancak canthaka, terdapat joli kencana atau kotak menyerupai anchak canthaka
yang berukuran besar dan berbentuk menyerupai rumah-rumahan. Di dalam
joli kencana tersebut terdapat ingkung. Setiap prosesi tumpeng seribu selalu
ada dua joli kencana dan satu ting berukuran besar, lengkap dengan cap logo
Keraton Surakarta.
Tradisi adat di Keraton Surakarta dalam menyelenggarakan Nuzulul Quran
(turunnya Aquran) dan menyambut malam Lailatulkadar, menurut berbagai
sumber berpedoman pada Serat Ambya. Di dalam Serat Ambya yang menjadi
acuan tatanan keraton antara lain disebutkan, pada setiap tanggal ganjil mulai
tanggal 21 Ramadan, Nabi Muhammad saw turun dari Jabal Nur. Di Gunung
Nur itulah, Rasulullah menerima wahyu ayat-ayat Alquran.
Merujuk pada sumber tertulis itulah, Keraton Surakarta berkeyakinan di
malam Lailatulkadar Allah SWT menurunkan anugrah setara seribu bulan
kepada Rasulullah. Kalangan keraton dan seluruh masyarakat adat Jawa
mengharapkan limpahan berkah dan anugrah, seperti yang telah diberikan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. di malam Lailatulkadar.
Anugerah yang diyakini sampai sekarang, siapa orang yang akan
menerimanya tetap merupakan misteri gaib milik Allah SWT. Tidak seorang
pun dapat mengetahuinya kecuali mereka yang tekun dan patuh, tidak bisa
disepelekan, seperti ungkapan Sunan Paku Buwono IV, Anjaba lawan tuduhe,
nora kena binawar.
Gambar 1.7 Prosesi Malem Selikuran

Sumber:http://ureport.news.viva.co.id/news/read/242067-tradisi-malamselikuran-di-keraton-surakarta
8. Grebeg Pasa
Grebeg Pasa pada zaman dulu dilangsungkan pada tanggal 1 Syawal. Namun,
Keraton Surakarta memiliki pertimbangan lain dalam menyelenggarakan
grebeg Pasa. Mengingat banyaknya abdi dalem yang berasal dari luar kota
maka Keraton Surakarta menyelenggarakan Grebeg Pasa pada tanggal 2
Syawal untuk memberikan kesempatan bagi para abdi dalem bersilaturahmi
dengan keluarga terlebih dahulu pada 1 Syawalnya. Meskipun demikian,
esensinya tetap sama, yakni merayakan kemenangan dengan berbaur dengan
masyarakat luas. prosesi Grebeg Pasa mulai dari pelataran kedhaton.
Sebenarnya masyarakat umum boleh menyaksikan dari dalam pelataran
kedhaton, akan tetapi aturan pakaian terutup dan sopan serta pemakaian samir
tetap berlaku.
Ketika waktu sudah hampir menunjukkan pukul 10 pagi, keluarlah para
prajurit keraton yakni para prajurit Wadya Tamtama Swara (berseragam hitam
pengiring

drum

band

dengan

sebilah

kelewang

panjang),

prajurit

Prawiroanom (seragam hijau), perahu prajurit Jayengastro (seragam biru),


prajurit Sorogeni (seragam merah), kemudian menyusul pasukan Doropati
(berseragam warna hijau pupus), Jayasura(seragam hitam), dan Panyutra atau
pasukan pemanah. Juga ada bergada Baki, yang berseragam merah tapi lengan
pendek. Tak lupa korps musik yang mengiringi para prajurit tersebut. Setelah

berbaris dengan rapi di depan Pendapa Sasana Sewaka, para prajurit pun
memimpin arak-arakan keluar dari pelataran kedhaton menuju Kori Sri
Manganti. Di belakangnya terdapat abdi-abdi dalem pembawa Gunungan Estri
dan Gunungan Jaler beserta gamelan pusaka Gangsa Corobalen.
Sesampainya di depan masjid Agung, dua gunungan tersebut di istirahatkan
sebentar. Sementara para sentana dan ulama berdoa di dalam masjid. Setelah
selesai didoakan, gunungan estri langsung jadi rebutan warga. Sedangkan
gunungan jaler dibawa kembali sampai di depan kamandhungan. Harusnya
gunungan jaler ini untuk para abdi dalem, sayangnya tidak semua abdi dalem
khususnya yang sudah sepuh tidak kuat saat merebut bagian-bagian gunungan
tersebut. Sisa-sisa gununganpun dibawa kembali ke dalam keraton. Dengan
demikian, berakhir sudah ritual Grebeg Pasa di Keraton Surakarta. Di dalam
keraton sendiri acara masih dilanjutkan dengan halal bi halal antara para
sentana dengan abdi dalem keraton.
Gambar 1.8 Prosesi Grebeg Pasa

Sumber:http://www.boyolalipos.com/2009/grebeg-syawal-keraton-kasunanan5120
9. Pekan Syawalan Jurug atau Grebeg Jaka Tingkir
Pekan Syawalan Jurug merupakan tradisi khas masyarakat Solo untuk
merayakan dan memeriahkan Bakda Syawal. Tradisi perayaan puncak tradisi
Syawalan di satu-satunya kebun binatang Kota Solo ini rutin ditandai dengan
Grebeg Syawalan yang mengarak gunungan ketupat dan juga tontonan kolosal
dalam Grebeg Jaka Tingkir.Pekan Syawalan Jurug di Taman Satwa Taru
Jurug (TSTJ) rutin digelar selama beberapa hari.

Seluruh rangkaian kegiatan dalam Pekan Syawalan di Jurug biasa dimulai dari
jam 10 pagi. Sebelum menyentuh acara puncak berupa berebut gunungan
ketupat, panitia biasanya akan menggelar Grebeg Syawalan terlebih dahulu.
Grebeg Syawalan Jurug juga sangat khas karena tidak hanya mengusung
gunungan ketupat saja. Tradisi grebeg di puncak perayaan Syawalan ini selalu
dikemas dalam Grebeg Jaka Tingkir. Grebeg ini adalah sajian kolosal yang
menceritakan kisah kepahlawanan Jaka Tingkir dalam berbagai epos.
Pada tahun 2012 Jaka Tingkir yang diperankan oleh GPH Mangkubumi, putra
dari Raja Paku Buwana XIII Hangabehi, dikisahkan memimpin rombongan
menuju Kerajaan Pajang dengan menunggang gajah untuk menjalani
penobatannya. Sedangkan pada tahun 2011, Grebeg Jaka Tingkir dirangkai
dalam sebuah sajian kolosal Larung Ageng Jaka Tingkir dimana Jaka Tingkir
menaiki perahu gethek bertarung dengan 40 buaya.
Berbagai pentas kesenian juga akan disuguhkan kepada pengunjung TSTJ di
saat seperti ini. Dari pertunjukan tradisional seperti Reog atau panggung
musik dangdut di tempatkan pada beberapa titik keramaian di dalam kompleks
TSTJ. Sementara untuk komposisi peserta kirab biasanya akan juga
diramaikan oleh berbagai komunitas dan juga kelompok seni. Seperti
komunitas pecinta reptil, peraga kostum Solo Batik Carnival hingga siswa
sekolah.
Rute Grebeg Jaka Tingkir hanya akan mengitari kompleks dalam kebun
binatang saja. Rombongan baru akan berhenti saat mencapai panggung utama
di pinggir danau TSTJ dimana di sana sajian kolosal akan digelar. Setelah
menyajikan adegan pertarungan antara Jaka Tingkir dan musuh-musuhnya
barulah puncak Syawalan akan digelar yaitu membagikan ketupat kepada
ribuan pengunjung yang memadati panggung utama. Berebut gunungan
ketupat inilah yang pada akhirnya menjadi puncak acara sekaligus penutup
puncak Syawalan Jurug.

Gambar 1.9 Prosesi Pekan Syawalan Jurug atau Grebeg Jaka Tingkir

Sumber: http://chic-id.com/grebeg-joko-tingkir-2012-joko-tingkir-menungganggajah/iringan-grebeg-joko-tingkir-pekan-syawalan-jurug/

10. Grebeg Besar


Grebeg Besar merupakan ritual tahunan untuk memperingati Ibadah Haji (Idul
Adha). Acara ini berlangsung di depan Masjid Agung Solo. Puncak perayaan
ditandai saat hajad dalem gunungan dibawa dalam prosesi dari Kraton
Surakarta menuju Masjid Agung. Dalam pelaksanaan Grebeg Besar, akan ada
gunungan jaler dan gunungan wadon diarak dengan rute bangsal Siti Hinggil
Pagelaran Alun-Alun Utara Masjid Agung Surakarta. Gunungan jaler
(lelaki) berbentuk lingga terbuat dari berbagai bahan mentah hasil bumi
seperti cabai merah, kacang panjang, terong, dan lainnya. Sementara
gunungan wadon (perempuan) berbentuk yoni tersusun dari penganan dari
ketan seperti rengginan.
Sepasang gunungan dalam grebeg Keraton Surakarta ini nantinya akan
didoakan di Masjid Agung. Tafsir Anom keraton biasanya ditunjuk untuk
memimpin upacara ini di serambi masjid. Setelah selesai didoakan, maka
seluruh gunungan dan sesajian yang tadinya diarak oleh abdi dalem keraton
dan prajurit keraton akan diperebutkan oleh warga yang hadir.
Prosesi berebut gunungan ini dipercaya sebagai prosesi ngalab berkah atau
mencari berkah. Warga yang hadir dan ikut berebut percaya bahwa

memperoleh bagian dari gunungan dalam Grebeg Besar Keraton Kasunanan


Surakarta berarti memperoleh berkah.
Tradisi yang telah turun temurun dan masih berlangsung hingga hari ini masuk
dalam daftar wisata budaya Kota Surakarta. Bagi mereka yang pernah
mengunjungi Grebeg Besar Demak, mereka menemukan prosesi grebeg di
Solo dan di Demak sangatlah mirip. Kemiripan ini dipercaya timbul sebagai
bagian dari ajaran Walisanga.
Gambar 1.10 Prosesi Grebeg Besar

Sumber:

http://www.surakarta.go.id/konten/keraton-kasunanan-surakarta-gelar-

ritual-tahunan-grebeg-besar
11. Kirab Malam Satu Suro
Setiap malam 1 muharam atau terkenal malam satu Suro , maka kraton Solo
akan menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Kraton, ikut serta juga dalam
acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule (kerbau ) yang di juluki Kebo
Kyai Slamet . Acara kirab pusaka ini berangkat dari kraton Solo tepat pada
jam 12 malam dan mengelilingi beberapa jalan protokol di kota Solo dengan
di iringi oleh punggawa istana dan para pasukan istana. Upacara ini di gelar
untuk menghormati dan sekaligus memperingati Bulan Suro (Muharam).
Kegiatan Kirab ini hingga sekarang selalu menjadi salah satu momentum yang
paling meriah di kota Solo, dan selalu menarik minat masyarakat kota Solo
pada khususnya untuk melihat dan mengikuti prosesi ini. Banyak juga

masyarakat di sekitar kota solo, bahkan dari luar kota dan para turis asing
sangat antusias mengikuti acara tradisional tersebut.
Acara yang sudah menjadi kegiatan rutin Kraton solo tersebut , selainkan
menampilkan mitos dan legenda Kebo Kyai Slamet, juga bermacam macam
keris dan tosan aji istan lainnya yang di arak keliling dengan sebuah prosesi
upacara spiritual dan kental sekali dengan budaya Jawa.
Gambar 1.11 Kirab Malam Satu Suro
Sumber:
http://www.solopos.com/2014/10/18/malam-1-sura-solo-tengah-

malam-nanti-budawayan-solo-gelar-slametan-di-tugu-pamandengan12. Kirab Apem Sewu


Apem yang terbuat dari tepung beras adalah jenis makanan kecil yang sangat
terkenal dalam budaya masyarakat Jawa. Dalam setiap tradisi atau ritual,
sering kali masyarakat Jawa menyertakan apem sebagai sesaji atau pelengkap
upacara. Bahkan dalam kegiatan yang lebih besar kita dapat melihat apem
digunakan dalam beberapa tradisi seperti Yaa Qowiyyu di Klaten, Saparan
Keong Mas di Boyolali, atau Wahyu Kliyu di Karanganyar.
Hal sama juga dapat ditemukan di Kota Solo yang juga merupakan pusat
kebudayaan Jawa. Dalam setiap ritual atau adat tradisi kita masih akan sering
menjumpai kue apem sebagai pelengkap upacara. Di kota dengan dua kerajaan
yang masih hidup ini juga dikenal satu kawasan sebagai sentra penghasil apem
yaitu kawasan Kampung Sewu.
Kampung Sewu adalah sebuah kawasan di Kota Solo yang berbatasan
langsung dengan Sungai Bengawan Solo. Kawasan ini juga dikenal sebagai
sentra industri penghasil makanan apem di Kota Solo. Dari dalam kawasan ini
setiap tahun digelar sebuah festival rakyat yang sekaligus dimanfaatkan

sebagai pengukuhan diri bahwa kawasan ini adalah kawasan penghasil


makanan yang terbuat dari tepung beras itu.
Festival rakyat berupa kirab budaya ini sering disebut sebagai Kirab Apem
Sewu. Di dalam festival itu masyarakat lokal tidak hanya mengirab seribu kue
apem yang disusun menjadi gunungan saja tetapi juga menyajikan berbagai
potensi seni dan budaya yang terdapat di kawasan Kampung Sewu,
Kecamatan Jebres.
Kirab Apem Sewu yang sudah masuk dalam Kalender Kegiatan Budaya
Pemerintah Kota Surakarta rutin digelar bersamaan dengan Festival Gethek
Bengawan Solo. Kegiatan budaya ini sering jatuh pada bulan Dzulhijjah,
kalender Islam, atau bulan Haji atau Besar, kalender Jawa.
Tradisi yang sudah lama berjalan di kawasan ini konon adalah amanah dari
seorang ulama besar yang pernah menyebarkan agama Islam di sana. Ki
Ageng Gribig adalah ulama yang dimaksud yang dikisahkan pernah berpesan
untuk membuat 1000 apem dan dibagikan kepada warga masyarakat sebagai
bentuk rasa syukur.
Acara kirab gunungan seribu apem sendiri hanya berlangsung selama satu
hari. Gunungan seribu apem yang telah dipersiapkan akan dikirab dari titik nol
di Lapangan Kampung Sewu mengitari area sekitar kampung yang kurang
lebih berjarak 2 kilometer hingga berakhir di tempuran, pertemuan arus dua
sungai, Sungai Bengawan Solo dan Kali Pepe di Kampung Beton.
Setelah mengelilingi jalur yang sudah ditentukan acara kirab gunungan apem
akan diakhiri dengan doa bersama dan tentunya berebut apem. Prosesi
perebutan gunungan apem inilah yang juga menjadi puncak kegiatan Kirab
Apem Sewu Kampung Sewu.
Selain untuk mengangkat potensi seni dan budaya Kampung Sewu, kegiatan
ini diharapkan mampu mengenalkan kawasan ini sebagai pusat industri kue
apem sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan warga setempat.
Gambar 1.12 Kirab Apem Sewu

Sumber: http://www.surakarta.go.id
13. Jumenengan Paduka Mangkunegara IX
Perayaan ulang tahun kenaikan tahta atau jumenengan adalah salah satu
tradisi yang terbalut dalam upacara adat sakral kerajaan yang rutin digelar
setiap tahunnya. Hal itu juga berlaku untuk perayaan ulang tahun kenaikan
tahta Raja Mangkunegara IX atau Jumenengan KGPAA Mangkunegara IX
yang selalu diperingati setiap tanggal 9 bulan Suro, penanggalan Jawa.
Istana Mangkunegaran atau yang biasa disebut Pura Mangkunegaran yang
berlokasi di jantung Kota Surakarta menjadi lokasi digelarnya upacara adat
yang terdiri dari beberapa prosesi itu. Dan lebih tepatnya, Pendapa Agung
Pura Mangkunegaran, Bangsal Pringgitan, dan Dalem Ageng Pura
Mangkunegaran,

menjadi

lokasi

tempat

digelarnya

seluruh

prosesi

jumenengan.
Prosesi pelaksanaan peringatan atau perayaan kenaikan tahta di Istana
Mangkunegaran sering berubah-ubah setiap tahunnya. Prosesi untuk setiap
tahun tampak selalu disesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi, baik di
lingkungan istana atau negara.
Sebagai contoh misalnya pelaksanaan jumenengan pada tahun 2009. Pada
tahun itu prosesi upacara digelar dengan sangat sederhana. Hal itu dijelaskan
bahwa prosesi yang sederhana disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang
saat itu hidup pada masa keprihatinan.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2011 saat prosesi hanya dirayakan
dengan sangat sederhana. Pada tahun itu Pendapa Agung sedang direnovasi
dan KGPAA Mangkunegara IX juga sedang tidak sehat dan tidak dapat hadir.
Atau juga pada tahun 2012 saat tanggal 9 Suro jatuh pada hari Jumat. Dan
untuk menyesuaikan dengan hari besar Islam itu, salat Jumat, maka
pelaksanaannya dibagi ke dalam dua prosesi.

Prosesi jumenengan dibagi dalam tiga acara yaitu sungkeman putra kepada
KGPAA Mangkunegara IX di dalam Dalem Agung Pura Mangkunegara,
selamatan (wilujengan) atau kenduri wilujengan di Bangsal Pringgitan, dan
resepsi jumenengan di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran.
Prosesi sungkeman putra kepada KGPAA Mangkunegara IX berlangsung di
dalam Dalem Agung. Di sana, KGPAA Mangkunegara IX duduk sementara
secara bergantian putra-putranya menjalankan tradisi sungkeman.
Begitu prosesi sungkeman selesai maka raja akan memberikan izin untuk
memulai prosesi kedua yaitu kenduri wilujengan. Dalam prosesi ini puluhan
tumpeng biasanya sudah disiapkan dan ditata rapi di Bangsal Pringgitan.
Seluruh tumpeng itu nantinya akan didoakan dan disantap bersama layaknya
jamuan makan dalam pesta ulang tahun adat masyarakat Jawa.
Prosesi terakhir adalah prosesi resepsi jumenengan dimana tamu undangan
akan dijamu di Pendapa Agung. Di sana pula nantinya akan digelar
pertunjukan tari Bedaya Anglir Mendung yang merupakan tari ciptaan
pendiri

Mangkunegaran,

Pangeran

Sambernyawa.

Namun

sebelum

menginjak acara pertunjukan tari yang menjadi acara puncak, biasanya akan
ada upacara pemberian gelar atau wisuda bagi mereka yang dianggap berjasa
kepada Istana Mangkunegaran.
Gambar 1.13 Mangkunegara IX memasuki Pendopo Istana Mangkunegara

Sumber: wikimedia.org/wikipedia/id

14. Kirab Babad Kepatihan atau Peringatan Hari Lahirnya Titi Laras Karawitan
Kepatihan
Notasi atau simbol tinggi rendahnya nada adalah sebuah hal penting yang
digunakan dalam bermusik. Tidak berbeda dengan alat musik lainnya, alat
musik tradisional Jawa seperti Gamelan juga menggunakan notasi yang
dikenal dengan istilah Titi Laras. Salah satu titi laras yang paling dikenal
sekaligus paling banyak digunakan dalam berkarawitan adalah Notasi
Kepatihan atau Titi Laras Kepatihan yang juga dikenal sebagai Laras
Slendro dan Laras Pelog.
Kedua titi laras di atas tercipta pada tahun 20-an oleh Warsodiningrat di
wilayah Kepatihan, Surakarta. Atas makna penting titi laras tersebut, maka
diadakanlah peringatan hari lahirnya peringatan titi laras karawitan
kepatihan. Bertepatan dengan hari ini pulalah pejabat pemerintahan
Kepatihan Wetan menggelar sebuah kirab untuk memperingatinya. Kirab
tersebut dinamakan Kirab Babad Kepatihan yang diikuti oleh berbagai
lembaga serta instansi dan warga Kepatihan ini dinamakan.
Kirab Babad Kepatihan ini digelar disepanjang jalur yang mengelilingi
Kelurahan Kepatihan Wetan. Berbagai kesenian tradisional seperti reog, tari
naga, dan barong, ikut meramaikan kirab. Start rombongan kirab dimulai dari
panggung di depan kantor Kelurahan Kepatihan Wetan. Sementara
rombongan kirab mengarak gunungan buah berkeliling, sebuah hajatan juga
digelar di panggung titik start acara. Kirab tersebut kemudian ditutup dengan
perebutan gunungan buah yang merupakan persembahan dari pedagang buah
di Pasar Gede begitu peserta rombongan kembali ke titik awal. Selain
peringatan berupa kirab budaya, panitia juga menghadirkan berbagai hiburan
pada malam harinya. Hiburan berupa pertunjukan tari, musik keroncong,
campur sari, tembang kenangan, serta persembahan wayang kulit yang
digelar di panggung hiburan di depan kantor Kelurahan Kepatihan Wetan.
Gambar 1.14
Pelaksanaan Kirab Babad Kepatihan atau Peringatan Hari Lahirnya Titi Laras
Karawitan Kepatihan

Sumber:

http://chic-id.com/wp-content/uploads/kirab-babad-kepatihan-

peringatan-lahirnya-notasi-kepatihan.jpg

DAFTRA PUSTAKA
Adriana,

Tissania

Clarasati.

2011

Tradisi

Grebeg

Sudiro

di

SudiroPradjan. Jurnal Penelitian

http://den-haryprasetyo.blogspot.com/2014/05/tradisi-adat-di-solo.html
http://chic-id.com/kirab-apem-sewu-di-kampung-sewu-solo/
http://chic-id.com/haul-habib-ali-bin-muhammad-al-habsyi-di-pasar-kliwon/
http://wisatapedia.net/index.php/telusur/yogyakarta-dan-solo/eventwisata/tingalan-isks/
http://ramadan.tempo.co/read/news/2013/08/04/152502271/MencicipiBubur-Samin-di-Masjid-Darussalam
http://jogjatrip.com/id/670/Malem-Selikuran
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/08/10/grebeg--580032.html

Anda mungkin juga menyukai