Mengapa Harus Konstruktivistik
Mengapa Harus Konstruktivistik
Mengapa Harus Konstruktivistik
multidimensional yang dialami bangsa ini adalah akibat logika yang salah pada
paradigma trickledown effect tersebut.
Demikian pulalah dengan system pendidikan kita, jika ingin mencari penyebab
keruwetan dalam system pendidikan, haruslah langsung menukik pada paradigma
yang digunakan, tidak sekedar berputar-putar di periferinya saja seperti yang
dilakukan saat ini.
Sebenarnya masalah ini telah dibahas oleh beberapa ahli pendidikan kita, baik
melalui media masa maupun forum-forum ilmiah. Semenjak kemerdekaan, bangsa
Indonesia, sebagaimana bangsa-bangsa lain, telah mengambil model atau aliran
behavioristik sebagai paradigma system pendidikannya. Kaum behavioristik
meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek-reflek yang diakibatkan oleh
proses conditioning.Reflek-reflek ini kalau berulang-ulang akan menjadi kebiasaan.
Perilaku sebagai akibat pembiasaan ini dinamakan hasil belajar.
Dengan meyakini bahwa perilaku, yang merupakan hasil belajar, berasal dari
pengkondisian refleks-refleks, kalangan behaviorist berasumsi bahwa : 1) Proses
belajar dapat berlangsung dengan tanpa mempertimbangkan potensi-potensi yang
dimiliki peserta didik. Potensi peserta didik hanya menentukan tingkat kecepatan
perubahan perilaku sebagai hasil belajar; 2) Proses belajar dapat berlangsung tanpa
mempertimbangkan kesadaran dan kemauan peserta didik. Menurut mereka,
kemauan ini bisa dimunculkan dengan pengkondisian,yakni melalui reward dan
punishment.
Dengan demikian, bisa dimengerti jika kaum behaviorist ini mengembangkan sebuah
model pembelajaran teacher centered. Tujuan Pembelajaran ditentukan oleh pengajar
atau institusi, peserta didik tidak perlu punya kehendak sendiri. Segala macam
potensi peserta didik harus diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Implikasinya :
Materi Pelajaran hanya ditentukan oleh institusi dan pengajar. Pengajar aktif
menerangkan materi pelajaran, peserta didik hanya memasukkan materi tersebut ke
dalam otaknya. Setelah periode tertentu dilakukan evaluasi berupa menjawab soalsoal yang berasal dari materi yang diterangkan tadi. Bisa dikatakan, guru telah
menjadi satu-satunya sumber belajar peserta didik.
Model reward dan punishment merupakan satu-satunya cara untuk merangsang
motivasi belajar. Pengkondisian ini harus diakui cukup berhasil. Peserta didik kita
menjadi giat belajar untuk memperoleh nilai tinggi
( mengejar reward dan
menghindari punishment ). Pengejaran tersebut seolah telah menjadi tujuan belajar
itu sendiri. Mereka telah melupakan bahwa belajar adalah untuk mengembangkan
segala potensi diri dan memperoleh ketrampilan untuk hidup mereka kelak.
Tak jarang menjadikan peserta didik sebagai alat mencapai kebanggaan institusi.
Salah satu kriteria untuk disebut sekolah unggul adalah jika sebagian besar besar
lulusannya memperoleh Danem tinggi. Untuk mencapai itu, kebanyakan sekolahsekolah kita memberi pelajaran tambahan untuk latihan mengerjakan soal-soal yang
di-UAN-kan. Akibatnya, segala potensi, kemauan, dan waktu peserta didik terserap
ke sini.
Dari uraian di atas jelas bahwa model pendidikan yang dikembangkan oleh
kelompok behavioristik tidak memberi ruang bagi pengembangan dan aktualisasi
potensi-potensi peserta didik yang beraneka ragam; peserta didik tidak diberi
kesadaran bahwa selain guru, sangat banyak sumber-sumber belajar yang ada di
sekitarnya yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan diri; peserta didik tidak
pernah diberi kesempatan memilih materi pelajaran yang sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan riil di sekitar mereka; dan yang paling fatal, sangat jarang peserta
didik diberi metode cara belajar. Akibat dari itu semua, peserta didik kita telah
belajar dalam situasi terpaksa dan tekanan. Belajar menjadi sebuah situasi yang
tidak nyaman. Padahal, belajar akan memperoleh hasil maksimal hanya dalam situasi
yang nyaman dan aman. Maka tak heranlah jika prestasi peserta didik kita banyak
yang jeblok dan mereka seperti menjadi orang bingung setelah lulus.
Seperti telah panjang lebar diuraikan di atas bahwa masa depan memerlukan insaninsan yang memiliki daya kompetisi dan berdaya-suai yang tinggi, dalam arti mampu
terus menerus memperbarui diri dengan jalan belajar sepanjang hayat, maka model
pembelajaran behavioristik harus mulai di tinggalkan. Harus dicari model alternatif.
Sejak beberapa tahun lalu, di dunia pendidikan kita telah mulai disebut-sebut model
alternatif tersebut, yakni model pembelajaran Konstruktivistik. Bagaimanakah model
pembelajaran ini ?
Literatur-literatur yang membahas model ini secara detail memang masih belum
banyak ditemukan, terutama oleh penulis. Oleh karena itu, di sini hanya akan dikupas
pokok-pokok model konstruktivistik secara global. Gambaran umum model
pengajaran konstuktivistik adalah model pembelajaran yang, antara lain, sebagai
berikut :
Menghargai keanekaragaman peserta didik. Implikasinya : pendidik harus
menggunakan berbagai macam pendekatan sesuai karakteristik peserta didik,
menyesuaikan kecepatan pengajarannya dengan tingkat penyerapan peserta didik
yang berbeda-beda,dll.
Meletakkan keberhasilan proses pembelajaran lebih besar dipundak peserta didik
daripada di tangan pendidik. Implikasinya : pendidik harus memberikan bertbagai
metode belajar kepada peserta didik sehingga mereka mampu belajar secara mandiri,
mempercayai bahwa peserta didik merupakan mahluk normal yang mampu
menguasai materi yang harus diselesaikan dan pendidik sebagai fasilitator dan
motivator, dll
Memberi kesempatan peserta didik mengekspresikan pikiran dan penemuannya.
Implikasinya: pendidik harus mengurangi alokasi waktunya di dalam kelas untuk
berceramah dan. memberi waktu yang luas kepada peserta didik untuk saling
berikteraksi dengan temannya maupun dengan pendidiknya. Membagi kelas menjadi
kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan tugas-tugas dan mempresentasikan di
kelas.
Mendorong peserta didik mampu memanfaatkan sumber belajar yang ada di
lingkungannya. Implikasinya : pendidik harus mendesign materi pelajarannya
sedemikian rupa sehingga peserta didik terdorong untuk mencari sumber-sumber
pengetahuan dari berbagai tempat di luar fasilitas sekolah, misalnya : perpustakaan
kota, internet, media masa, wawancara dengan orang-orang yang ahli di bidangnya,
dll.
Memasukkan penugasan portofolio sebagai salah satu alat penilaian.
Impilikasinya : pendidik harus memberi kesempatan lebih luas kepada peserta didik
secara individu dalam bentuk pembimbingan untuk mengerjakan penugasan tersebut.
Dalam peranan ini pendidik juga harus mampu mendorong peserta didik untuk
mencari penemuan-penemuan baru, meski dalam level sekecil apapun.
3 Tanggapan
askar
Rudi
klo hemat saya sebenarnya bukan masalah konstruktifistik atau bukan, tetapi
kerangka ilmu yang belum didapatkan pada peserta didik saat ini. Artinya
peserta didik saat ini hanya diberi kulit kulit ilmu. akibatnya tidak dapat
memahami ilmu secara bulat. Klo kita berkiblat ke eropa atau USA yang
dikatakan sebagai negara maju, tapi ingat fakta sejarah menunjukkan USA
dan Eropa hanyalah hasil jiplakan persis Yunani dan babylon yang terbukti
hancur berkeping keping. meski saat ini masih jaya. Pak karno bilang jangan
tinggalkan sejarah krn trend akan berulang.
Dilihat dari definisi maka ilmu adalah informasi, maka yang terpenting bagi
siswa adalah bisakah siswa mendapatkan informasi sebulat bulatnya tentang
ilmu tersebut, masalah konstruktifistik atau bukan adalah masalah teknis yg
masing masing punya keunggulan dan cocok atau tidaknya tergantung
tantangan dan situasi pd saat diterapkan.
dr mhsw semester 4.
Rohadieducation
Mas Rudi, saya setuju pendapat Anda. Tapi, coba Anda amati, cara kita
belajar selama ini; selama ini kita hanya dijejali dengan informasi-informasi
yang sudah jadi. Tapi, apa kita pernahdiajari cara mencari ilmu ( baca tulisan
saya dengan judul Pendidikan Yang Epistemologi ). Nah. model
konstruktivistik ini menggeser paradigma belajar dari apa ke mengapa
dan bagaimana.
Terima ksih atas tanggapannya. Salam kenal.