Penyakit Kulit Mikosis
Penyakit Kulit Mikosis
Penyakit Kulit Mikosis
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis dibagi
menjadi 3 yaitu mikosis superfisialis, intermedia dan profunda. Mikosis
superfisialis merupakan jamur yang hanya menginvasi jaringan superfisialis
yang terkeratinisasi (kulit, rambut dan kuku) dan tidak ke jaringan yang lebih
dalam. Mikosis profunda menyerang alat di bawah kulit, misalnya traktus
intestinal, traktus respiratorius, traktus urogenitalis, susunan kardiovaskuler,
susunan saraf pusat, otot, tulang, dan kadang kulit. Mikosis intermediate
dapat memberi bentuk klinis baik sistemik maupun superfisialis (Budimulja,
2007).
Mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis.
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu
dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan
jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat. Di
Indonesia angka yang tepat, berapa sesungguhnya insidens dermatomikosis
belum ada. Di Denpasar, golongan penyakit ini menempati urutankedua
setelah dermatitis. Angka insidens tersebut diperkirakan kurang lebih
samadengan di kota-kota besar Indonesia lainnya. Di daerah pedalaman
angka ini mungkinakan meningkat dengan variasi penyakit yang berbeda.
(Adiguna, 2001).
Beberapa rumah sakit di kota besar di Indonesia telah mengumpulkan
data-datatentang insiden penyakit dermatofitosis, antara lain RSCM, RS Dr
Hasan Sadikin, RSDr Kariadi, RS Dr Sarjito, RS Dr Muwardi, RS Dr
Soetomo, RSD Dr Sjaiful Anwar,RSDr Wahidin Sudirohusodo, RS H. Adam
Malik, RS Dr M. Jamil, RSUP Palembang, dan RSUP Persahabatan. Data
diambil dari tahun 1996 sampai dengan 1998. Berikut tabelinsiden
dermatomikosis tahun 1996, 1997, dan 1998 di berbagai rumah sakit
pendidikandokter di Indonesia. Insidensi penyakit jamur yang terjadi di
berbagai rumah tersebut bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini
tidak menggambarkan populasi umum. (Adiguna, 2001).
II.
TINJAUAN PUSTAKA
aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan daerahdaerah yang hiperpigmentasi saja.
Penyebab utamanya adalah : T.violaseum, T.rubrum,
T.metagrofites. Mikrosporon gipseum, M.kanis, M.audolini.
Penyakit ini sering menyerupai, dermatitis, Pitiriasis rosea, Psoriasis
vulgaris, Morbus hansen tipe tuberkuloid, Lues stadium II bentuk
makulo-papular.
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol
dan alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya
memberikan keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal
digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang
digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan
perbaikan klinik yang tinggi. Obat yang sering digunakan, Topical
azol terdiri atas, Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrinazol 1%,
Miconazol 2% dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara
menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol
membran sel jamur. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan
enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk
pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur yaitu
aftifine 1 %, butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti
inflamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian
selama 7 hari berturut-turut. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim
dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan
pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan
agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi
dan anti bakteri serta berspektrum luas. Kortikosteroid topikal yang
rendah sampai medium bisa ditambahkan pada regimen anti jamur
topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya diberikan
pada beberapa hari pertama dari terapi (Kuswadji, 2004).
Terapi sistemik dengan obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat
digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan
dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais,
III.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, MS. 2001. Epidemiologi dermatomikosis di Indonesia. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai Pustaka FKUI. 16.
Boel, T. (2003).MikosisSuperfisial.Retrieved from USU digital
Library
Budimulja, Unandar. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta:
FKUI. 89-105.
Chamlin L Sarah, Lawley P Leslie. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 2008. Tinea Pedis. 7th edition.2. New York; McGraw-Hill
Medicine. 709-712.
Gandahusada, Srisasi, Henry Ilahude DAP dan Wita Pribadi. 1998. Parasitologi
Kedokteran Edisi ketiga. Jakarta: FKUI. 277-300.
Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. 2011. Asian journal of medical
science. Tinea Pedis. 134- 135
Kuswadji, Widaty KS. 2004. Obat anti jamur. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai penerbit FKUI. 108-16.
Mansjoer, A; Triyanti, K; Savitri, R ,dkk. (2001).
Otomikosis.KapitaSelektaKedokteran ,Jakarta: Media
Aesculapius
Siregar, R.S. 2005. Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.
10-40.
USU. Keratomikosis. 2008. Available from
http://usu.ac.id.Diaksespadatanggal 2 april 2013
Verma. S, Heffernan. MP. 2008. Fungal Disease. In, Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Ed.7th. Vol 1 & 2. New York,
Amerika. 1807-18.
William, James D, Berger G Timothy, Elston M Dirk. 2008. Andrews disease of
the skin; Diseases resulting from fungi and yeast 10th edition. Canada;
Saunders Elsevier. 303-305