Penyakit Akibat Transfusi Darah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TRANSFUSI DARAH

Penyakit Akibat Transfusi Darah

Oleh
Amalia Astrini

Ari Safriansyah

Desi Rushariandini

Hani Laili Katari

Hilya

Kadeq N. Prajawanti

Kurnia Rizki

Laela Marjani Aisum

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES
PRODI DIV JURUSAN ANALIS KESEHATAN
MATARAM
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Karena
berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat penulis selesaikan. Dalam makalah ini
penulis membahas mengenai PENYAKIT AKIBAT TRANSFUSI DARAH

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk mengetahui bagaimana Penyakit


Akibat Transfusi Darah. Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya penulis
mendapat bimbingan, arahan, dan pengetahuan, untuk itu rasa terima kasih yang
mendalam kami ucapkan kepada :

Ibu

Immunohematologi/Transfusi Darah
Semua pihak yang telah memberikan masukan untuk makalah ini.

Gunarti

selaku

Dosen

pembimbing

mata

kuliah

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan.
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.

Latar Belakang............................................................................... 1

B.

Rumusan Masalah...........................................................................2

C.

Tujuan......................................................................................... 2

BAB II.....................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
A.

Definisi Transfusi Darah...................................................................3

B.

Macam-Macam Reaksi Transfusi........................................................4

C.

Resiko Transfusi Darah terhadap Penerima............................................6

D.

Tindakan Pencegahan dan Reaksi dari Transfusi Darah.............................7

E.

Komplikasi dari Transfusi Darah.........................................................9

BAB III..................................................................................................................18
PENUTUP........................................................................................... 18
A.

Kesimpulan................................................................................. 18

B.

Saran......................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transfusi darah secara universal dibutuhkan untuk menangani pasien
anemia berat, pasien dengan kelainan darah bawaan, pasien yang mengalami
cedera parah, pasien yang hendak menjalankan tindakan bedah operatif dan pasien
yang mengalami penyakit liver ataupun penyakit lainnya yang mengakibatkan
tubuh pasien tidak dapat memproduksi darah atau komponen darah sebagaimana
mestinya.
Pada negara berkembang, transfusi darah juga diperlukan untuk
menangani kegawatdaruratan melahirkan dan anak-anak malnutrisi yang berujung
pada anemia berat (WHO, 2007). Tanpa darah yang cukup, seseorang dapat
mengalami gangguan kesehatan bahkan kematian. Oleh karena itu, tranfusi darah
yang diberikan kepada pasien yang membutuhkannya sangat diperlukan untuk
menyelamatkan jiwa. Angka kematian akibat dari tidak tersedianya cadangan
tranfusi darah pada negara berkembang relatif tinggi. Hal tersebut dikarenakan
ketidakseimbangan perbandingan ketersediaan darah dengan kebutuhan rasional.
Di negara berkembang seperti Indonesia, persentase donasi darah lebih
minim dibandingkan dengan negara maju padahal tingkat kebutuhan darah setiap
negara secara relatif adalah sama. Indonesia memiliki tingkat penyumbang enam
hingga sepuluh orang per 1.000 penduduk. Hal ini jauh lebih kecil dibandingkan
dengan sejumlah negara maju di Asia, misalnya di Singapura tercatat sebanyak 24
orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk, berikut juga di Jepang
tercatat sebanyak 68 orang yang melakukan donor darah per 1.000 penduduk
(Daradjatun, 2008).
Indonesia membutuhkan sedikitnya satu juta pendonor darah guna
memenuhi kebutuhan 4,5 juta kantong darah per tahunnya. Sedangkan unit
transfusi darah Palang Merah Indonesia (UTD PMI) menyatakan bahwa pada
tahun 2008 darah yang terkumpul sejumlah 1.283.582 kantong. Hal tersebut
menggambarkan bahwa kebutuhan akan darah di Indonesia yang tinggi tetapi

darah yang terkumpul dari donor darah masih rendah dikarenakan tingkat
kesadaran masyarakat Indonesia untuk menjadi pendonor darah sukarela masih
rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kendala misalnya karena masih
kurangnya pemahaman masyarakat tentang masalah transfusi darah, persepsi akan
bahaya bila seseorang memberikan darah secara rutin. Selain itu, kegiatan donor
darah juga terhambat oleh keterbatasan jumlah UTD PMI di berbagai daerah, PMI
hanya mempunyai 188 unit tranfusi darah (UTD). Mengingat jumlah
kota/kabupaten di Indonesia mencapai sekitar 440.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan transfusi darah?
2. Apa saja macam-macam reaksi transfusi?
3. Bagaimanakah resiko transfusi darah terhadap penerima?
4. Bagaimana tindakan pencegahan dan reaksi dari transfusi darah?
5. Bagaimanakah komplikasi dari transfusi darah?

C. Tujuan
1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan transfusi darah
2. Dapat mengetahui macam-macam reaksi transfusi
3. Dapat mengetahui bagaimana resiko transfusi darah terhadap penerima
4. Dapat mengetahui bagaimana tindakan pencegahan dan reaksi dari
transfusi darah
5. Dapat mengetahui bagaimana komplikasi dari transfusi darah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis
produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi
darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah
besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang
selama operasi. Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia
berat atau trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang
menderita hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah
sering. Awal transfusi darah secara keseluruhan digunakan, tapi praktek medis
modern umumnya hanya menggunakan komponen darah.
Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis utama tergantung pada
sumber mereka:
Transfusi homolog, atau transfusi darah yang disimpan menggunakan
orang lain. Ini sering disebut Allogeneic bukan homolog.
Autologus transfusi, atau transfusi menggunakan darah pasien sendiri
disimpan.
Donor unit darah harus disimpan dalam lemari es untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan memperlambat metabolisme sel. Transfusi harus dimulai
dalam 30 menit setelah unit telah diambil keluar dari penyimpanan dikendalikan.
Darah hanya dapat diberikan secara intravena. Karena itu membutuhkan insersi
kanula sekaliber cocok. Sebelum darah diberikan, rincian pribadi pasien
dicocokkan dengan darah untuk ditransfusikan, untuk meminimalkan risiko reaksi
transfusi. Kesalahan administrasi merupakan sumber signifikan dari reaksi
transfusi dan upaya telah dilakukan untuk membangun redundansi ke dalam
proses pencocokan yang terjadi di samping tempat tidur.
Sebuah unit (hingga 500 ml) biasanya diberikan selama 4 jam. Pada
pasien dengan risiko gagal jantung kongestif, banyak dokter mengelola diuretik
untuk mencegah overload cairan, suatu kondisi yang disebut Transfusi Overload
Peredaran Darah Terkait atau taco. Acetaminophen dan / atau antihistamin seperti

diphenhydramine kadang-kadang diberikan sebelum transfusi untuk mencegah


jenis lain reaksi transfusi. Darah ini paling sering disumbangkan sebagai seluruh
darah dengan memasukkan kateter ke dalam vena dan mengumpulkan dalam
kantong plastik (dicampur dengan antikoagulan) melalui gravitasi. Darah yang
dikumpulkan ini kemudian dipisahkan menjadi komponen-komponen untuk
membuat penggunaan terbaik dari itu. Selain dari sel darah merah, plasma, dan
trombosit, produk darah yang dihasilkan komponen juga termasuk protein
albumin, faktor pembekuan konsentrat, kriopresipitat, berkonsentrasi fibrinogen,
dan imunoglobulin (antibodi). Sel darah merah, plasma dan trombosit juga dapat
disumbangkan individu melalui proses yang lebih kompleks yang disebut
apheresis.
Di negara maju, sumbangan biasanya anonim kepada penerima, namun
produk dalam bank darah selalu individual dapat dilacak melalui siklus seluruh
donasi, pengujian, pemisahan menjadi komponen-komponen, penyimpanan, dan
administrasi kepada penerima. Hal ini memungkinkan pengelolaan dan
penyelidikan atas penularan penyakit transfusi diduga terkait atau reaksi transfusi.
Di negara berkembang donor kadang-kadang khusus direkrut oleh atau untuk
penerima, biasanya anggota keluarga, dan pemberian segera sebelum transfusi.

B. Macam-Macam Reaksi Transfusi


Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi
transfusi yang buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera terjadi
setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau
bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan.
Untuk mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan
pencegahan sebelum transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan
dilakukan cross-matched untuk memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok
dengan jenis darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah itu, perawat
dan teknisi laboratorium bank darah mencari informasi tentang pasien dan
informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum dikeluarkan. Informasi
ini dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi dimulai.
a. Reaksi Alergi

Alergi merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah transfusi


darah. Hal ini terjadi karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah
donor. Biasanya gejala hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan antihistamin
seperti diphenhydramine (Benadryl).
b. Reaksi Demam
Orang yang menerima darah mengalami demam mendadak selama atau
dalam waktu 24 jam sejak transfusi. Sakit kepala, mual, menggigil, atau perasaan
umum ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan demam. Acetaminophen
(Tylenol) dapat meredakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah
putih dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang
yang pernah mendapat transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah
beberapa kali mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan
demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa
reaksi ini hanya demam. Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang
beresiko terhadap reaksi tranfusi lainnya biasanya diberikan produk darah yang
leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel darah putih telah hilang setelah
melalui filter atau cara lainnya.
c. Reaksi Hemolitik Kekebalan Akut
Ini adalah jenis yang paling serius dari reaksi transfusi, tetapi sangat
jarang terjadi. Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika golongan darah
donor dan pasien tidak cocok. Antibodi pasien menyerang sel-sel darah merah
yang ditransfusikan, menyebabkan mereka mematahkan (hemolyze) dan
melepaskan

zat-zat

berbahaya

ke

dalam

aliran

darah.

Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual.
Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat
mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.
d. Reaksi Hemolitik Tertunda
Reaksi ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen
(antigen selain ABO) pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah
mengalami pemecahan setelah beberapa hari atau minggu transfusi dilakukan.
Biasanya tidak ada gejala, tetapi sel-sel darah merah yang ditransfusikan hancur

dan dan jumlah sel darah merah pasien mengalami penurunan. Dalam kasus yang
jarang ginjal mungkin akan terpengaruh, dan pengobatan mungkin diperlukan.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali
mereka pernah mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami
jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum
menerima transfusi darah kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang
menyerang tubuh harus digunakan.

C. Resiko Transfusi Darah terhadap Penerima


Ada risiko yang terkait dengan menerima transfusi darah, dan ini harus
seimbang terhadap manfaat yang diharapkan. Reaksi samping yang paling umum
untuk transfusi darah adalahnon-hemolitik demam reaksi transfusi, yang terdiri
dari demam yang menyelesaikan sendiri dan tidak menyebabkan masalah abadi
atau efek samping.
Reaksi hemolitik termasuk menggigil, sakit kepala, sakit punggung,
dispnea, sianosis, nyeri dada, takikardi dan hipotensi. Produk darah jarang dapat
terkontaminasi dengan bakteri, risiko infeksi bakteri parah dan sepsis
diperkirakan, pada 2002, sekitar 1 dalam 50.000 transfusi trombosit, dan 1 dalam
500.000 transfusi sel darah merah.
Ada resiko bahwa transfusi darah diberikan akan mengirimkan infeksi
virus ke penerima. Seperti tahun 2006, risiko tertular hepatitis B melalui transfusi
darah di Amerika Serikat adalah sekitar 1 dalam 250.000 unit transfusi, dan risiko
tertular HIV atau hepatitis C di Amerika Serikat melalui transfusi darah
diperkirakan pada 1 per 2 juta unit transfusi . Risiko ini jauh lebih tinggi di masa
lalu sebelum munculnya tes generasi kedua dan ketiga untuk transfusi penyakit
menular. Pelaksanaan Pengujian Asam Nukleat atau NAT di 00-an telah lebih
jauh mengurangi risiko, dan dikonfirmasi infeksi virus melalui transfusi darah
sangat langka di negara maju.
Transfusi paru terkait cedera akut (TRALI) adalah suatu peristiwa yang
merugikan semakin diakui berhubungan dengan transfusi darah. TRALI adalah
sindrom gangguan pernapasan akut, sering dikaitkan dengan demam, nonkardiogenik edema paru, dan hipotensi, yang mungkin terjadi sesering 1 tahun
2000 transfusi. Gejala dapat berkisar dari ringan sampai mengancam nyawa, tetapi

kebanyakan pasien sembuh sepenuhnya dalam waktu 96 jam, dan tingkat


kematian dari kondisi ini adalah kurang dari 10% .. Meskipun penyebab TRALI
tidak jelas, telah konsisten dikaitkan dengan antibodi anti HLA. Karena anti HLA
sangat berkorelasi dengan kehamilan, beberapa organisasi transfusi (darah dan
Bank Jaringan Cantabria, Spanyol, National Health Service di Inggris) telah
memutuskan untuk hanya menggunakan plasma dari laki-laki untuk transfusi.
Risiko lain yang terkait dengan menerima transfusi darah termasuk
kelebihan volume, kelebihan zat besi (dengan beberapa transfusi sel darah merah),
transfusion-associated graft-versus-host penyakit, reaksi anafilaksis (pada orang
dengan kekurangan IgA), dan reaksi hemolitik akut (yang paling umumnya karena
administrasi jenis darah tidak cocok).

D. Tindakan Pencegahan dan Reaksi dari Transfusi Darah


Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi,
dilakukan beberapa tindakan pencegahan. Setelah diperiksa ulang bahwa darah
yang akan diberikan memang ditujukan untuk resipien yang akan menerima darah
tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah kepada resipien, biasanya
selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah. Karena sebagian besar reaksi
ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, maka pada awal prosedur,
resipien harus diawasi secara ketat.
Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45 menit dan jika terjadi
reaksi ketidakcocokan, maka transfusi harus dihentikan. Sebagian besar transfusi
adalah aman dan berhasil; tetapi reaksi ringan kadang bisa terjadi, sedangkan
reaksi yang berat dan fatal jarang terjadi. Reaksi yang paling sering terjadi adalah
demam dan reaksi alergi (hipersensitivitas), yang terjadi sekitar 1-2% pada setiap
transfusi. Gejalanya berupa:
gatal-gatal
kemerahan
pembengkakan
pusing
demam
sakit kepala.
Gejala yang jarang terjadi adalah kesulitan pernafasan, bunyi mengi dan
kejang otot. Yang lebih jarang lagi adalah reaksi alergi yang cukup berat.

Walaupun dilakukan penggolongan dan cross-matching secara teliti, tetapi


kesalahan masih mungkin terjadi sehingga sel darah merah yang didonorkan
segera dihancurkan setelah ditransfusikan (reaksi hemolitik). Biasanya reaksi ini
dimulai sebagai rasa tidak nyaman atau kecemasan selama atau segera setelah
dilakukannya transfusi.
Kadang terjadi kesulitan bernafas, dada terasa sesak, kemerahan di wajah
dan nyeri punggung yang hebat. Meskipun sangat jarang terjadi, reaksi ini bisa
menjadi lebih hebat dan bahkan bisa berakibat fatal. Untuk memperkuat dugaan
terjadinya reaksi hemolitik ini, dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah
terdapat hemoglogin dalam darah dan air kemih penderita. Resipien bisa
mengalami kelebihan cairan. Yang paling peka akan hal ini adalah resipien
penderita penyakit jantung, sehingga transfusi dilakukan lebih lambat dan
dipantau secara ketat.

E. Komplikasi dari Transfusi Darah


Pada umumnya komplikasi transfusi ini dibagi menjadi :
1.

REAKSI IMUNOLOGI
A. Reaksi Transfusi Hemolitik
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi

serius dan terdapat pada satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat
transfusi (8).

Lisis sel darah donor oleh antibodi resipien.


Hal ini bisa terjadi dengan cara :
a. Reaksi transfusi hemolitik segera
b. Reaksi transfusi hemolitik lambat.

Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada


muka, bendungan vena leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat
dan dangkal, takhikardi, hipotensi, hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak

bisa diterangkan asalnya, dan ikterus. Pada penderita yang teranestesi hal ini sukar
untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi, ahli bedah
dan lain-lain.
Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi,
perdarahan yang tiba-tiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya hemoglobinemi dan hemoglobinuri.
Urine menjadi coklat kehitaman sampai hitam dan mungkin berisi hemoglobin
dan butir darah merah.
Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan
diuretika. Cairan digunakan untuk mempertahankan jumlah urine yang keluar.
Diuretika yang digunakan ialah:

Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian

diikuti pemberian 40 mEq Natrium bikarbonat.


Furosemid

Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan
darah yang cocok. Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat
diberi vasopressor. Selain itu penderita perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria
yang menetap perlu tindakan dialisis.
Cara menghindari reaksi transfusi :
a. Tes darah, untuk melihat cocok tidaknya darah donor dan resipien.
b. Memilih tips dan saringan yang tepat.
ada transfusi darurat :
PBanyak situasi terjadi dimana kebutuhan darah sangat mendesak sebelum
dilakukan pemeriksaan cocok tidaknya darah secara lengkap. Dalam situasi
demikian tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara lengkap, dan jalan singkat
untuk melakukan tes bisa dikerjakan sebagai berikut :
1. Type-Specific, Partially Crossmatched Blood
Bila kita menggunakan darah un-crossmatched, maka paling sedikit
harus diperoleh tipe ABO-Rh dan sebagian crossmatched.
2. Tipe-Specific, Uncrossmatched Blood.
Untuk penggunaan tipe darah yang tepat maka tipe ABO-Rh harus sudah
ditentukan selama penderita dalam perjalanan ke rumah sakit.
3. O Rh-Negatif (Universal donor) Uncrossmatched Blood

Golongan darah O kekurangan antigen A dan B, akibatnya tidak dapat


dihemolisis baik oleh anti A ataupun anti B yang ada pada resipien. Oleh sebab itu
golongan darah O kita sebut sebagai donor universal dan dapat digunakan pada
situasi yang gawat bila tidak memungkinkan untuk melakukan penggolongan
darah atau crossmatched. Tetapi bagaimanapun juga pemberian darah golongan
inipun bukan tanpa resiko ( 1).
B. Reaksi Transfusi Non Hemilitik
a) Reaksi transfusi febrile
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut :
Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual, batuk yang tidak
produktif.
b) Reaksi alergi
a. Anaphylactoid adalah Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing
pada darah transfusi.
b. Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal.
Biasanya muka penderita sembab.
Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus distop.
Alergi yan berat jarang terjadi dan ini kita sebut reaksi anafilaksis, dengan tandatanda sebagai berikut : sesak nafas, hipotensi, edema larings, nyeri dada, dan shok.
Reaksi anafilaksis ini disebabkan karena transfusi IgA kepada penderita yang
kekurangan IgA dan telah terbentuk anti IgA. Tipe reaksi ini tidak termasuk tipe
kerusakan sel darah merah, kejadiannya sangat cepat dan biasanya terjadi sesudah
mendapat transfusi darah atau plasma hanya beberapa ml. Penderita yang
menunjukkan tanda-tanda reaksi anafilaksis bila perlu mendapat darah, harus
diberi sel darah merah yang telah dibersihkan dari semua sisa donor IgA, atau
dengan darah yang sedikit mengandung protein IgA (1).
2.

REAKSI NON IMUNOLOGI


A. Reaksi transfusi Pseudohemolytic
Termasuk disini ialah lisis terhadap sel darah merah tanpa reaksi antigen-

antibodi. Hemolisis ini dapat terjadi akibat obat, macam-macam keadaan


penyakit, trauma mekanik, penggunaan cairan dextrosa hipotonis, panas yang
berlebihan dan kontaminasi bakteri.
10

B. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan.


C. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
D. Virus hepatitis.
Virus yang menyerang hati menyebabkan berbagai bentuk hepatitis.
Hepatitis merupakan penyakit yang paling umum ditularkan melalui transfusi
darah. Hasil dari sebuah penelitian 2009 terhadap hepatitis B dalam darah yang
disumbangkan mengemukakan bahwa risiko penularan virus ini sekitar 1 dalam
setiap 350.000 unit, atau sekitar 1 dibanding 1,6 juta transfusi darah dapat
menularkan hepatitis C.
Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi
tersebut. Dalam kebanyakan kasus tidak ada gejala, tetapi hepatitis kadang-kadang
dapat menyebabkan kegagalan hati dan masalah lainnya.
Beberapa langkah secara rutin telah dilakukan untuk mengurangi risiko
hepatitis dari transfusi darah. Para calon donor darah diajukan pertanyaan
sehubungan dengan faktor risiko hepatitis dan gejala hepatitis. Darah yang
disumbangkan juga diuji untuk menemukan virus hepatitis B, virus hepatitis C,
dan masalah hati yang mungkin menjadi tanda jenis hepatitis lainnya.
E. Lain-lain penyakit yang terlibat pada terapi transfusi misalnya
malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta
bakteri.
F. AIDS.
Salah satu rute utama penularan HIV adalah melalui kontak langsung
antara darah dengan darah yang terinfeksi HIV. Meskipun sebagian besar infeksi
HIV melalui darah terjadi melalui penggunaan suntikan narkoba, namun di
seluruh dunia sejumlah kasus penularan HIV terjadi melalui transfusi darah,
suntikan medis, limbah medis dan paparan kerja.
Pengujian HIV atas setiap unit darah yang disumbangkan mulai dilakukan
pada tahun 1985, dan semua darah yang disumbangkan hingga saat ini dites HIV.
Dengan pengujian yang semakin ditingkatkan dari waktu ke waktu, maka jumlah
kasus AIDS yang terkait dengna transfusi terus menurun.

11

3.

KOMPLIKASI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TRANSFUSI


DARAH MASIF
a) Dilutional Coagulapathy
Darah simpan yang diberikan secara masif sering kekurangan faktor V dan

VIII. Mutu atau derajat faktor V pada darah simpan sampai 21 hari sekitar 30%
atau lebih, sedangkan derajat yang dibutuhkan untuk hemostasis antara 15-50%.
Derajat faktor VIII pada darah simpan 21 hari berkisar antara 15-50%.
Jadi terdapat sedikit dasar kebenarannya untuk menyamakan penggunaan
FFP pada transfusi masif. Kenyataannya darah simpan kurang dari 10 hari masih
bisa memberikan faktor koagulasi yang cukup pada penderita.
Satu yang harus diingat ialah bahwa penggunaan FFP yang berlebihan
menambah transmisi penyakit pada penderita, misalnya hepatitis dan AIDS.
Kecenderungan terjadinya perdarahan biasanya sesudah penderita mendapat
transfusi banyak dan cepat dengan menggunakan campuran ACD. Ini terjadi bila
kita memberikan darah 20-30 unit, dan untuk penderita debil dan anak kecil lebih
berkurang lagi. Manifestasi kliniknya yaitu terdapatnya oozing pada daerah
operasi, perdarahan pada gusi, petechiae dan echymosis. Untuk mengatasi ini
biasanya penderita mendapat darah ACD lagi. Selama pemberian darah masif
tetap dengan bahan-bahan yang kekurangan faktor-faktor pembeku, maka selama
itu pula perdarahan akan timbul, dan demikian selanjutnya hingga merupakan
lingkaran setan.
Etiologi kecenderungan perdarahan ini kemungkinan adalah terjadinya
dilutional thrombocytopenia, kekurangan faktor-faktor labil, dan DIC.
Tujuan terapi disini ialah untuk mempertahankan faktor-faktor V dan VIII
mendekati 30%, sebab 20% faktor V dan 30% faktor VIII diperlukan untuk
hemostasis penderita yang dioperasi. Untuk mempertahankan faktor V dan VIII
pada derajat 30% maka kepada penderita diberikan 2-3 unit FFP (Fresh Frozen
Plasma) untuk tiap 10 unit packed cells dan transfusi plasma protein
fracyion . Setiap pemberian 5 unit darah perlu diperiksa jumlah platelet .
Trombositopenia Pada penderita yang mendapat transfusi darah 10 unit atau lebih
sering terjadi trombositopenia dan penderita perlu mendapat platelet.
a. Perdarahan selama operasi sering terjadi pada penderita dengan kadar
platelet kurang dari 100.000/ cumm (4,6,8). Untuk mempertahankan
jumlah platelet antara 50.000-100.000/cumm, maka penderita diberikan
platelet konsentrat sebanyak 6-8 unit tiap pemberian 20 unit darah, kalau

12

tidak bisa, penderita dapat diberi darah segar yang umurnya kurang dari 6
jam.
b. Tiap unit platelet konsentrat menambah jumlah platelet sebanyak 10-12
ribu/cumm pada penderita muda dengan berat badan 70 kg.
c. Darah segar dapat mempertahankan kadar platelet pasca operasi di atas 90
ribu/cumm.
Perdarahan yang hebat akibat trombositopenia pada transfusi masif mulai
terjadi sesudah transfusi 10 unit darah atau lebih. Jadi tidak rasional bila kita
memberi darah lama pada penderita yang mendapat transfusi sebanyak 10-15 unit.
b) Disseminated intravascular coagulation (dic)
DIC sukar diidentifikasi pada penderita yang mendapat transfusi masif.
DIC merupakan kombinasi antara perdarahan dan trombosis, suatu hal dua
kejadian yang bertentangan. Untuk membantu keadaan yang bertentangan ini,
kecenderungan perdarahan diterapi dengan antikoagulan, yaitu heparin. Pada
jaringan hipoksia yang asidotik dengan bendungan aliran darah, baik langsung
ataupun lewat pelepasan beberapa toksin akan terjadi pelepasan tromboplastin
jaringan. Picu ini akan mempengaruhi proses koagulasi, menghasilkan faktor I, II,
VII, VIII dan platelet.
Seandainya trombus dan fibrin mengendap pada mikrosirkulasi organorgan vital, maka akan terganggu aliran darahnya.
Sesudah terjadi aktivasi sistem koagulasi yang tidak normal maka trombus
dan fibrin akan mengendap pada mikrosirkulasi Untuk mengatasikeadaan
hiperkoagulasi, maka sistem fibrinolitik diaktifkan sehingga melarutkan fibrin
yang berlebihan. Keadaan ini disebut fibrinolisis sekunder. Fibrinolisis primer
dapat juga terjadi pada waktu transfusi masif dengan tujuan untuk mengaktifkan
sistem fibrinolitik tanpa terjadi DIC. Pada fibrinolisis primer sejumlah besar
plasmin atau aktivator fibrinolitik dilepaskan, yang menyebabkan larutnya
penjendalan dan fibrin
Diagnosis didasarkan atas analisis laboratorium terhadap faktor koagulasi,
platelet, dan hasil fibrinolisis.
a.

Tujuan utama terapi ialah untuk :


1. menghilangkan penyebabnya
2. mempertahankan volume normal

13

3.

mengganti faktor-faktor pembekuan yang cukup, dengan

demikian penderita dapat melanjutkan proses koagulasi.


4. Jangan memberikan terapi berlebih karena akan
menyebabkan pembekuan yang meluas.
5. Terapi adalah berupa :
6. Fresh Frozen Plasma dan platelet concentrate
7. Heparin : Penggunaannya pada DIC masih kontroversial
8.

tetapi dapat mencegah terjadinya mikrotrombi.


EACA : Penggunaannya sangat jarang, terutama pada
fibrinolisis primer.

c) Intoksikasi sitrat (komplikasi yang jarang terjadi)


Sitrat mengikat kalsium dengan akibat terjadinya hipokalsemi, dan
hipokalsemi ini jarang terjadi.
Pemberian kalsium sebaiknya dibatasi sampai didapatkan bukti adanya
depresi miokard dan pada EKG terdapat tanda-tanda hipokalsemi, yaitu terjadinya
pemanjangan interval QT (1,7).
Konsentrasi ionisasi kalsium serum akan tetap normal bilamana kecepatan
infus tidak lebih dari 30 ml/kg BB/jam (2,3).
Hipokalsemi dapat terjadi pada penderita dengan penyakit hati berat atau
syok, karena kemampuan memetabolisme natrium sitrat berkurang (8).
d) Keadaan asam basa
Bila larutan ACD diberikan pada darah, maka pH-nya akan menurun
sampai 7.0, hal ini disebabkan terutama karena keasaman larutan ACD. pH darah
akan terus turun sampai kira-kira 6.5 sesudah sampai 21 hari disimpan, karena
adanya glikolisis yang terus menerus dan pembentukan asam laktat dan peruvat
oleh metabolisme sel. Lagi pula karena botol atau kantong plastik darah tidak
memungkinkan terjadinya mekanisme pelepasan CO2, maka PaCO akan naik dari
150 sampai 210 torr.
Howland dan Schweizer menganjurkan untuk tiap 5 unit darah ACD yang
ditransfusikan perlu diberikan 44.6 mEq natrium bikarbonat (5,6). Keasaman
darah ACD hanya mempengaruhi penderita yang dalam keadaan syok atau
penderita dengan respirasi tidak normal, atau adanya kompensasi dari ginjal.

14

Miler berkesimpulan bahwa pemberian natrium bikarbonat secara empirik tidak


perlu dan bukan merupakan indikasi, sehingga tidak logis bila pemberian natrium
bikarbonat digunakan sebagai profilaksi untuk penderita yang tidak dapat kita
perkirakan keasamannya. Tiap pemberian natrium bikarbonat harus didasarkan
atas hasil analisis gas darah dan ini bisa dikerjakan setiap pemberian darah 5 unit
(1,2,8).
Asidosis terjadi sebagai akibat hipoksia sel darah merah selama
penyimpanan. Sesudah transfusi ion hidrogen dikembalikan ke sel darah merah
atau sebagai buffer oleh plasma resipien (8).
e) Hiperkalemi
Darah dari bank darah berisi ion K antara 17-24 meq/L pada
penyimpanan 21-33 hari (1). Hiperkalemia merupakan problem yang jarang
terjadi. Pada darah simpan akan terjadi pengurangan isi kalium pada eritrosit dan
kenaikkan dalam plasma.
f) Hipotermi
Transfusi masif yang menggunakan darah dingin dapat meningkatkan
pelepasan energi untuk menaikkan temperatur tubuh, menaikkan pemakaian O2,
afinitas hemoglobin dan O2, kebocoran ion K dari sel darah merah dan kerusakan
metabolisme sitrat.
Umumnya telah diketahui bahwa pemberian beberapa unit darah dingin
akan menurunkan temperatur resipien. Dengan cara memanaskan darah dari bank
darah sesuai dengan panas tubuh sebelum diberikan pada penderita, maka secara
bermakna akan mengurangi angka kejadian aritmi dan cardiac arrest selama
transfusi masif. Walaupun Bayan menekan bahwa pemanasan darah hanya untuk
transfusi masif, banyak yang percaya bahwa whole blood yang diberikan
beberapa unit juga perlu dipanaskan bila diberikan selama operasi.
Suatu penurunan temperatur pada esofagus sebanyak 0.5 1 C dapat
mengakibatkan penderita menggigil sesudah operasi, sehingga menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen dan cardiac out put. Pemberian darah hangat

15

sesuai dengan panas tubuh juga dapat menghindari menurunnya kecepatan


metabolisme sitrat sehingga dapat mengurangi intoksikasi sitrat (6).
Transfusi dengan darah dingin sebanyak 5 unit dalam waktu 30 menit akan
dapat menurunkan temperatur 4 C. pada 33 C, hipotermi dapat menyebabkan
asidosis metabolik dan depressi cardiac out put. Perubahan posisi tubuh atau
respirasi dapat menyebabkan cardiac arrest. Darah harus dihangatkan terlebih
dahulu sebelum diberikan pada penderita dengan kecepatan tinggi dan dalam
jumlah besar (8).
g) Post transfusion hepatitis (PTH)
Penemuan yang penting yaitu adanya Australian Antigen (HAA) dan
hubungannya yang positif dengan hepatitis serum merupakan harapan baru untuk
mengurangi PTH.
Kebanyakan darah yang diberikan adalah darah yang dibeli dari setiap
orang sehingga penularan hepatitis bisa saja terjadi.
Semua Palang Merah perlu mengetes dan meniadakan donor positifnya
HAA. Virus cytomegalo dapat menular lewat transfusi darah dan merupakan salah
satu bagian yang bertanggung jawab untuk terjadinya PTH. Bila bukti-bukti
tampak meyakinkan, dimana dapat dideteksi bahwa darah mengandung virus
tersebut, maka transfusi dengan darah tersebut harus dihindari.
Cara lain untuk mengatasi PTH ialah dengan memberikan modifikasi
gamma globulin intravena sebelum pemberian darah.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis
produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi
darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah
besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang
selama operasi.
Beberapa macam reaksi transfusi, antara lain:
Reaksi Alergi
Reaksi Demam
Reaksi Hemolitik Kekebalan Akut
Reaksi Hemolitik Tertunda
Kesalahan dalam transfusi darah dari pendonor ke resipien juga dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit seperti HIV, Hepatitis, dll.

B. Saran
Berdasarkan makalah ini kami berharap, jika kita akan melakukan
transfusi darah maka, sebaiknya dalam melakukan transfusi darah kita harus lebih
berhati-hati, karena jika terjadi kesalahan maka akan dapat menyebabkan keadaan
yang berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

17

https://id.wikipedia.org/wiki/Transfusi_darah
http://www.alodokter.com/selain-bermanfaat-transfusi-darah-juga-berisiko
http://ksrpmi-its.blogspot.co.id/2013/06/transfusi-darah-dan-beberapa-risiko.html
http://www.academia.edu/9045609/KOMPLIKASI_TRANSFUSI_DARAH
http://www.blogdokter.net/2010/10/18/sekelumit-tentang-transfusi-darah/
https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=0CC0QFjA
DahUKEwjn7eGQz-fIAhXJnpQKHbtuBcw&url=http%3A%2F
%2Fmedlinux.blogspot.com%2F2009%2F02%2Fkomplikasi-transfusi-darahdan.html&usg=AFQjCNHVFEi65JI2wvoCjrCQZ90ALgbniQ&bvm=bv.1061308
39,d.dGo
http://www.slideshare.net/riski_albughari/3-komplikasi-transfusi-darah
https://novidyawahyuningtyas.wordpress.com/2015/03/05/komplikasi-transfusidarah-imunohematologi/
http://buletinkeperawatan.blogspot.co.id/2014/03/komplikasi-transfusi.html

18

Anda mungkin juga menyukai