Etika Dan Humaniora
Etika Dan Humaniora
Etika Dan Humaniora
Dalam pembicaraan sehari-hari sering tidak bisa dibedakan antara etika dan etiket.
Dengan kata lain sering kedua istilah ini dicampuradukkan. Keduanya sebenarnya memiliki
perbedaan yang hakiki, perbedaan tersebut adalah:
a) Etiket berkaitan dengan cara suatu perbutan yang harus dilakukan. Misalnya jika
anak menerima sesuatu dari orang lain, ia hartus menggunakan tangan kanan. Dia
akan dianggap melanggar etiket kalau ia menggunakan tangan kiri untuk
menerima sesuatu. Dengan kata lain, etiket adalah tata krama atau sopan santun.
Di dalamnya terkandung kumpulan cara-cara sikap bergaul yang baik diantara
orang-orang yang telah beradab. Jadi etiket lebih membahas apa yang sopan dan
pantas. Etika tidak terbatas pada cara yang dilakukan dalam suatu perbuatan.
Etika justru memberi norma tentang suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
Dengankata lain, etika justru lebih mendalam daripada etiket. Jadi etika justru
menyangkut perbuatan itu sendiri, sementara etiket berkaitan dengan cara suatu
perbuatan dilakukan.
b) Etiket hanya berlaku dalam interaksi ataupun relasi dengan sesama. Dengan kata
lain bila tidak ada orang lain yang hadir dan melihat sebagai saksi mata dalam
melakukan perbuatan, maka etiket sebenarnya tidak berlaku. Etika tidak
bergantung akan hadirnya saksi, karena etika sendiri merupakan nilai yang
menjadi norma dan mendasari suatu tindakan.
c) Etiket bersifat relative, yang artinya bisa berlaku dalam tempat, budaya, situasi
tertentu namun tidak sama dalam tempat, budaya dan situasi yang lain. Etika jauh
bersifat mutlak, kerana berlaku disetiap tempat, kebudayaan dan situasi serta tidak
bisa ditawar-tawar atau diberi dispensasi.
d) Etiket memandang manusia hanya dari segi lahiriah saja, sedangkan etika justru
menyangkut manusia dari segi mendalam. Orang bisa saja mengikuti tata cara
secara penuh dan diperlihatkan dalam tindakan, akan tetapi batinnya justru bobrok
dan penuh dengan kebusukan, banyak orang yang nampaknya baik akan tetapi
justru melalui kebaikan yang ia tunjukkan dia justru mempunyai rencana yang
jahat.
1. Persamaan etika dan etiket
Selain perbedaan ada persamaan yang mendasar antara etika dan etiket, persamaan itu
adalah:
a) Etika dan etiket sama-sama menyangkut perilaku manusia.
b) Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normative, yang artinya
memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Justru karena sifat normatif ini
kedua istilah memang sering gampang dicampuradukkan.
2. Jenis-jenis etika
Beberapa pandangan terhadap etika:
Etika dapat dityinjau dari beberapa pandangan. Dalams ejarah lazimnya pandangan ini dilihat
dari segi filosofis yang melahirkan etika filosofis, ditinjau dari segi teologis yang melahirkan
etika teologis, dan ditinjau dari pandangan sosiologis yang melahirkan etika sosiologis.
a) Etika filosofis
Etika filosofis adalah etika yang dipandang dari sudut filsafat. Kata filosofis sendiri
berasal dari kata philosophis yang asalnya dari bahasa Yunani yakni: philos yang
berarti cinta, dan sophia yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Etika filosofis
adalah etika yang menguraikan pokok-pokok etika atau moral menurut pandangan
filsafat. Dalam filsafat yang diuraikan terbatas pada baik-buruk, masalah hak-kewajiban,
maslah nilai-nilai moral secara mendasar. Disini ditinjau hubungan antara moral dan
kemanusiaan secraa mendalam dengan menggunakan rasio sebagai dasar untuk
menganalisa.
b) Etika teologis
Etika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal yang baik dan buruk berdasarkan
ajaran-ajaran agama. Etika ini memandang semua perbuatan moral sebagai:
1. Perbuatan-perbuatan yang mewujudkan kehendak Tuhan ataub sesuai dengan
kehendak Tuhan.
2. Perbuatan-perbuatan sbegai perwujudan cinta kasih kepada Tuhan
3. Perbuatan-perbuatan sebagai penyerahan diri kepada Tuhan.
Orang beragama mempunyai keyakinan bahwa tidak mungkin moral itu dibangun tanpa
agama atau tanpa menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Sumber
pengetahuan dan kebenaran etika ini adalah kitab suci.
c) Etika sosiologis
Etika sosiologis berbeda dengan dua etika sebelumnya. Etika ini menitik beratkan pada
keselamatan ataupun kesejahteraan hidup bermasyarakat. Etika sosiologis memandang
etika sebagai alat mencapai keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan hidup
bermasyarakat. Jadi etika sosiologis lebih menyibukkan diri dengan pembicaraan tentang
Norma umum justru sebaliknya karena norma umum bersifat universal, yang artinya berlaku
luas tanpa membedakan kondisi atau situasi, kelompok orang tertentu. Secara umum norma
umum dibagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu :
1. Norma sopan santun; norma ini menyangkut aturan pola tingkah laku dan sikap
lahiriah seperti tata cara berpakaian, cara bertamu, cara duduk, dll. Norma ini lebih
berkaitan dengan tata cara lahiriah dalam pergaulan sehari-hari, amak penilaiannnya
kurang mendalam karena hanya dilihat sekedar yang lahiriah.
2. Norma hukum; norma ini sangat tegas dituntut oleh masyarakat. Alasan ketegasan
tuntutan ini karena demi kepentingan bersama. Dengan adanya berbagai macam
peraturan, masyarakat mengharapkan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan
bersama. Keberlakuan norma hukum dibandingkan dengan norma sopan santun
lebih tegasdan lebih pasti karena disertai dengan jaminan, yakni hukuman terhadap
orang yang melanggar norma ini. Norma hukum ini juga kurang berbobot karena
hanya memberikan penilaian secara lahiriah saja, sehingga tidak mutlak
menentukan moralitas seseorang.
Norma moral;norma ini mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia.
Norma moral menjadi tolok ukur untuk menilai tindakan seseorang itu baik atau
buruk, oleh karena ini bobot norma moral lebih tinggi dari norma sebelumnya.
Norma ini tidak menilai manusia dari satus segi saja, melainkan dari segi manusia
sebagai manusia. Dengan kata lain norma moral melihat manusia secara
menyeluruh, dari seluruh kepribadiannya. Di sini terlihat secara jelas, penilannya
lebih mendasar karena menekankan sikap manusia dalam menghadapi tugasnya,
menghargai kehidupan manusia, dan menampilkan dirinya sebgai manusia dalam
profesi yang diembannya. Norma moral ini memiliki kekhusunan yaitu :
1. Norma moral merupakan norma yang paling dasariah, karena langsung
mengenai inti pribadi kita sebagai manusia.
2. Norma moral menegaskan kewajiban dasariah manusia dalam bentuk perintah
atau larangan.
3. Norma moral merupakan norma yang berlaku umum
4. Norma moral mengarahkan perilaku manusia pada kesuburan dan kepenuhan
hidupnya sebgai manusia.
d) Etika Deontologis
Istilah deontologis berasal dari kata Yunani yang berati kewajiban, etika ini menetapkan
kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Argumentasi dasar yang dipakai adalah
bahwa suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau
tujuan baik dari suatu tindakan, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri baik pada
dirinya sendiri.
Dari argumen di atas jelas bahwa etika ini menekankan motivasi, kemauan baik, dan
watak yang kuat dari pelaku, lepas dari akibat yang ditimbulkan dari pelaku. Menanggapi
hal ini Immanuel kant menegaskan dua hal:
1. Tidak ada hal di dinia yang bisa dianggap baik tanpa kualifikasi kecuali kemauan
baik. Kepintaran, kearifan dan bakat lainnya bisa merugikn kalau tanpa didasari
oleh kemauan baik. Oleh karena itu Kant mengakui bahwa kemauan ini
merupakan syarat mutlak untuk memperoleh kebahagiaan.
2. Dengan menekankan kemauan yang baik tindakan yang baik adalah tindakan yang
tidak saja sesuai dengan kewajiban, melainkan tindakan yang dijalankannya demi
kewajiban. Sejalan dengan itu semua tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban sebagai tindakan yang baik bahkan walaupun tindakan itu dalam arti
tertentu berguna, harus ditolak.
Namun, selain ada dua hal yang menegaskan etika tersebut, namun kita juga tidak bisa
menutup mata pada dua keberatan yang ada yaitu:
Bagaimana bila seseorang dihadapkan pada dua perintah atau kewajiban moral dalam
situasi yang sama, akan tetapi keduanya tidak bisa dilaksankan sekaligus, bahkan
keduanya saling meniadakan.
Sesungguhnya etika seontologist tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu
tindakan untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau buruk.
c) Etika Teleologis
Teleologis berasal dari bahasa Yunani, yakni telos yang berati tujuan. Etika teleologis
menjadikan tujuan menjadi ukuran untuk baik buruknya suatu tindakan. Dengan kata lain,
suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan untuk mencapai sesuatu yang baik atau kalau
akibat yang ditimbulkan baik.
Guna Etika:
1. Etika membuat kita memiliki pendirian dalam pergolakan berbagai pandangan moral yang
kita hadapi.
2. Etika membantu agar kita tidak kehilangan orientasi dalam transformasi budaya, sosial,
ekonomi, politik dan intelektual dewasa ini melanda dunia kita.
3. Etika juga membantu kita sanggup menghadapi idiologi-idiologi yang merebak di dalam
masyarakt secara kritis dan obeyktif.
4. Etika membantu agamawan untuk menemukan dasar dan kemapanan iman kepercayaan
sehingga tidak tertutyp dengan perubahan jaman.
HUBUNGAN ETIKA DAN HUMANIORA
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal
yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah,
bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai
kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora
artinya manusiawi.
Menurut Martiatmodjo, BS dalam Catatan Kecil tentang Humaniora
dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan
Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan
humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan
keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo
menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di
tengah-tengah proses pendidikan.
humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang memiliki pengertian
yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan dan
perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik nilai-nilai
humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang
berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia
dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman
dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct with regard to the rights
of the physician himself, his patients, and his fellow practitioners. Dengan kata lain
etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional
yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman
sejawatnya.
Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia
sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu
seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik
sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial
itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter -terutama sebagai dokter muslimdalam menjalani kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan
kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan
kesehatan.
Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam
pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau
banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-lingkungan
sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk proses hulu, lingkungan
pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik
pula.
Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas
sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil kesadaran
manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi
manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan
selalu dituntut oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter
berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang
dokter. Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat
nama harumnya karena segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia
secara sadar. Lantas, bagaimana kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme
dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya dikaitkan
dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans Eropa. Belakangan,
maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia
pada sesamanya dengan menekankan pada compassion -belas kasihan- dan martabat
individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada
pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut
dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada
pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia
mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih dari sekedar
menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan mental pasien
karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates.
Humanisme merupakan tindakan positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan
sekedar perasaan prihatin kepada penderitaan orang lain tapi menolong dengan
memberi saran atau tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh
mengejutkan karena definisi belas kasihan tidak masuk dalam dua kamus utama
kedokteran Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama
pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter yang
humanistik.
Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami
profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak
dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke
dalam negara kita. Bukan hanya praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang
dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam
pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika
kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun
diduga hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka.
Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke
dalam kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis
sebagai sifat kedua mereka.
Seorang dokter bernama Assi Bal mengemukakan kerisauannya tentang
profesi dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena tersebut, antara lain:
Pemisahan antara jasad dan jiwa
Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
Penghambaan diri terhadap teknologi modern
Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokterdokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi
masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek, peningkatan
kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut menyebabkan para dokter
sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka menjadi sangat perhatian dalam
menangani keluhan fisik pasien, yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya.
Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu
belum masuk kategori gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).
Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada temanteman mereka, ahli kesehatan masyarakat. Kami cukup mengobati mereka yang sakit.
Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding mengambil lahan
kerja mereka. Begitu barangkali yang ada dalam benak para dokter. Padahal sangat
jelas bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan
penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi
kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan
ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan
dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati dirinya sebagai
seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti tentang perkembangan
jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus
didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah
satu hal yang dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan
yang menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter
spesialis tentunya akan membuat para dokter akan terus-menerus berhubungan dengan
perkembangan teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja
kita tidak dapat menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu
tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter
spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta
adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba
meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa
terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya? Tidak
cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan meringankan derita
fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di sekelilingnya, toh mereka
akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar
tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu kekuasaan dan
martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang ingin
memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan termasuk teori,
bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang. Profesi kedokteran
selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah
kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang
humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat,
bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara profesional dengan
dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan aspek humanistik.
Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat biaya pelayanan
tunggal yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar,
baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di
negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa
dokter pedesaan atau dokter kuno atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik
keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai teman dan
penuntun yang dapat dipercaya, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga
itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19
membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap
di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter keluarga
memulai timbulnya pelayanan dehumanisasi di rumah-rumah sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri
berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang
kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal penggunaan
fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan didistrubusikan sesuai
perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya
adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis
yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter
berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini ekonom dan CEO (pejabat
eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis
organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan
peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah
dikatakan, semakin dokter bergantung pada teknologi semata, semakin mereka
kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada pelayanan dehumanisasi. Hal
tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter membayar
asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan
kesehatan semakin tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan
pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan
humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul Patch Adam. Dia tertarik pada kritik sang pemain, yang
berperan sebagai dr. Hunter Adam: Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat
Anda berbicara pada mereka dan saat dia berbicara melawan Badan Medis: Kematian
bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit,
hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun
hasil akhirnya.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak menyatakan
bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena saya mengenal beberapa
dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati.
Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter melayani
pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang kita bicarakan
dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter melayani pasiennya dengan melihat
ke dalam perasaan pasiennya. Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan
tidak semata-mata memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan
pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk.
Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan
humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter
yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap menerima
dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri
Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh
dokter yang berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang
menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap
kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orangorang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk kebidanan dan
bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin
yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan
kesehatan yang dibutuhkan.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang besar di
Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari layanan
kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya (memperdengarkan AlQuran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik
lembut di malam hari untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang
dapat meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang
menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi
kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini
adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh
terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan
resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat jika terjadi
penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada masa-masa
setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi tersebut
membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat
miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat
sedikit dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam
masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini,
dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan
keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan
untuk Semua (World Health Organisation, 1981)
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran
telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis bersifat
mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya
pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan
praktek hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap
terjaga. Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu
kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat
dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih
sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari pelatihan
dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari para dosennya? Mari
kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang bersifat
desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu hubungan pribadi. Sejak
jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan
menjadi anggota keluarga yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru.
Karena kontak yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar
dari guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode
hidupnya serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya bedside manner sang
guru tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih pelatihan
dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam, pendidikan kedokteran
telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan
kedokteran. Warga yang kaya membangun rumah-rumah sakit yang mempekerjakan
diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di
kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam
pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.
Hal yang paling mendalam dalam hubungan antara pasien dan dokter adalah
rasa saling percaya.Pasien sebagai pihak yang memerlukan pertolongan percaya
bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya.Di samping itu,dokter juga
percaya bahwa pasien telah memberikan keterengan yang benar mengenai
penyakitnya dan iya akan mematuhi segala petunjuk dokter. Namun, seringkali
rasa percaya diri itu hilang sehingga salah satu pihak, terutam pihak pasien
merasa dirugikan. Oleh karena itu , diperlukan penjelasan mengenai hak dan
keawajiban masing-masing pihak agar proses pelayanan kesehatan bisa berjalan
dengan teratur dan mereka bisa saling menghargai.
HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN
Dengan mengacu pada hak-hak asasi manusia, hak-hak pasien adalah hak-hak
yang dimiliki pribadi manusia sebagai pasien. Hak-hak manusia dikemukakan
oleh John Locke (1632-1704) sebagai hak-hak dasar manusia yang diperoleh
sejak manusia lahir. Hak-hak itu tidak dapat diganggu gugat. Teori inilah yang
kemudian diangkat serta menjadi dasar dari UNITED NATION UNIVERSAL
DECLARATION OF HUMAN RIGHTS tahun 1948. Semua masalah yang tercakup
dalam deklarasi itu harus dipatuhi oleh setiap Negara anggota PBB.
Indonesia tidak ketinggalan pula dalam mengakui dan melindungi hak-hak
manusia ini. Kalau boleh dikatakan Indonesia mendahului PBB dalam mengakui
hak-hak asasi manusia sebab hak-hak dasar manusia itu termasuk dan diakui
dalam Pembukaan UUD 45.
Selain itu makna dari deklarasi PBB secara garis besar sama dengan salah satu
dari sila yang ada dalam pancasila, dalam hal ini khusus dalam bidang kesehatan
tidak ada dikriminasi bagi yang membutuhkan pertolongan.