Keratoplasti Keratoplasti

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Keratoplasty, dikenal juga sebagai pencangkokan kornea, adalah

prosedur pembedahan di mana kornea yang rusak atau berpenyakit


digantikan oleh jaringan kornea sumbangan (graft) secara keseluruhan
(keratoplasty penetrasi) atau sebagian (keratoplasty lamelar). Cangkok
diambil dari individu yang baru saja meninggal.1
Penyebab yang paling sering dari perubahan kornea yang dilakukan
keratoplasty adalah keratoconus,infeksi,trauma. (Buehler et al. 1992,
Chalupa 1987,Holden, 2003) Beberapa efek samping dari keratoplasty
yang dapat terjadi yaitu infeksi, transplantasi penolakan, glaukoma dan
perdarahan, Infeksi merupakan salah satu komplikasi yang paling sering
setelah keratoplasty, yang dapat menyebabkan kegagalan dari tindakan
keratoplasti. penyebab Infeksi setelah keratoplasty bisa didapatkan dari
fase penyembuhan ataupun selama transplantasi (Confino,Dana dan
Brown 1985.1
Transplantasi kornea pertama dilakukan pada tahun 1905 oleh
Eduard Zirm (Olomouc Eye Clinic, sekarang Republik Ceko),
membuatnya menjadi salah satu jenis operasi transplantasi pertama
yang berhasil dilakukan. Pelopor lain operasi ini adalah Ramon
Castroviejo. Upaya mata ahli bedah Rusia bernama Vladimir Filatov

mentransplantasi kornea dimulai dengan percobaan pertama pada


tahun 1912 dan dilanjutkan, secara bertahap hingga mencapai
peningkatan sampai Pada tanggal 6 Mei 1931 ia berhasil melakukan
transplantasi pada pasien menggunakan jaringan kornea dari orang
yang meninggal. Ia dilaporkan secara luas melakukan transplantasi
lainnya di tahun 1936, mengungkapkan tekniknya secara detail. Pada
tahun 1936, Castroviejo melakukan transplantasi pertama dalam kasus
lanjutan dari keratoconus, mencapai peningkatan yang signifikan
dalam penglihatan pasien.1
Mayoritas transplantasi kornea menghasilkan perbaikan yang
signifikan dalam fungsi penglihatan selama bertahun-tahun atau
seumur hidup. Dalam kasus penolakan atau kegagalan transplantasi,
pembedahan umumnya dapat diulang.
1.2 Tujuan
Melaporkan suatu tindakan keratoplasti pada pasien dengan ulkus
kornea yang mengalami kegagalan kemudian dilakukan keratoplasti
ulang.

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat
kematian jaringan kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif
disertai defek kornea bergaung, dan diskontinuitas jaringan kornea yang
dapat terjadi dari epitel sampai stroma yang mempunyai batas, dinding,
dan dasar. (AAO)

3.2. ETIOLOGI
a. Infeksi
1. Infeksi Bakteri
P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering.
2. Infeksi Jamur
Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium, dan spesies
mikosis fungoides.
3. Infeksi virus
virus herpes simplex, virus lainnya varicella-zoster, variola,
vacinia
4. Acanthamoeba
Biasanya pada pengguna lensa kontak lunak yang kurang
hygine.
b. Noninfeksi
1. Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH

2. Sindrom Sjorgen.
3. Defisiensi vitamin A
III. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika insiden ulkus kornea bergantung pada penyebabnya.
Insidensi ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain
terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak, Mortalitas atau morbiditas
tergantung dari komplikasi dari ulkus kornea seperti parut kornea, kelainan
refraksi, neovaskularisasi dan kebutaan. Berdasarkan kepustakaan di
USA, laki-laki lebih banyak menderita ulkus kornea, yaitu sebanyak 71%,
begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di India Utara ditemukan
61% laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kegiatan
kaum laki-laki sehari-hari sehingga meningkatkan resiko terjadinya trauma
termasuk trauma kornea.3

IV. PATOGENESIS
Karena kornea terletak paling luar maka kornea dapat dengan
mudah

terpapar

mikroorganisme

dan

faktor

lingkungan

lainnya.

Sebenarnya lapisan epitel kornea merupakan barier utama terhadap


paparan mikroorganisme namun jika epitel ini rusak maka stroma yang
avaskuler dan membran bowman akan mudah terjadi infeksi oleh berbagai
macam organisme seperti bakteri, amuba dan jamur. Apabila infeksi ini

dibiarkan atau tidak mendapat pengobatan yang tidak adekuat maka akan
terjadi kematian jaringan kornea atau ulkus kornea. 4
Lokasi ulkus kornea ada 4, sentral, parasentral, perifer, dan
marginal :1

Klasifikasi
Berdasarkan lokasi, dikenal ada 2 bentuk ulkus kornea, yaitu2:
1.Ulkus kornea sentral.
a. INFEKSI
1. Ulkus Kornea Bakteri
Gambaran ulkus bakteri dapat membantu menentukan kausa
penyebab ulkus kornea, secara umum, gambaran ulkus kornea karena
bakteri adalah :

Onset

penurunan visus, sekret mucopurulent


Hipopion di COA, dengan permukaan rata dan reaksi radang

nyeri

cepat

diikuti

hebat, sel dan flare positif

injeksi

konjungtiva,

fotofobia,

Pengobatan

umumnya

untuk

tukak

kornea

adalah

dengan

siklopegik, antibiotika yang sesuai topical dan subkonjungitva, dan pasien


dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat
sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya obat sistemik.Pengobatan
pada tukak kornea bertujuan menghalangi hidupnya bakteri dengan
antibiotika, dan mengurangi reaksi radang dengan steroid.
Secara umum ulkus diobati sebagai berikut:

Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan

berfungsi sebagai incubator


Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali satu hari
Debridement sangat membantu penyembuhan
Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal

kecuali keadaan berat.


Dilakukan pembedahan atau keratoplasti bila tukak tidak sembuh
dengan pengobatan atau terjadinya parut yang mengganggu
penglihatan.

Pada kasus ulkus kornea bakteri terdapat 2 prinsip terapi antibiotik yaitu :
1.

Kombinasi antibiotik berspektrum luas, fortified secara


intensif tanpa memperhatikan hasil pulasan.

2.

antibiotik

tunggal

spesifik

berpedoman

pada

hasil

pemeriksaan mikrobiologi. Cara ini diindikasikan untuk ulkus kornea


bakteri ringan dan pemeriksaan pulasan gram hanya ditemukan
satu jenis bakteri.
Hal yang dimonitor untuk melihat respon pengobatan yaitu:

Penumpulan dari perimeter infiltrate stromal

Penurunan densitas infiltrate stromal


Penurunan edema stromal dan plak endotek yang radang
Reepitelisasi
Penghentian dari penipisan kornea
Pengobatan awal dinilai setelah 24-48 jam.Terapi
awal dilanjutkan jika respon klinik terhadap pengobatan
membaik walaupun pada hasil uji resistensi menunjukkan
bakteri resisten. Untuk merubah pengobatan awal perlu
dipertimbangkan respon klinik terhadap pengobatan awal,
hasil kultur, dan hasil uji resistensi. Jenis antibiotik dapat
diubah jika secara klinis terjadi perburukan dan hasil uji
resistensi menunjukkan organisme resisten.
2. Ulkus Kornea Jamur
Faktor predisposisi terjadinya keratitis fungal:
-

Trauma akibat tumbuh-tumbuhan


Pemakaian lensa kontak
Kortikosteroid topikal atau sistemik jangka panjang
Pembedahan kornea (contoh: radial keratotomy)
Keratitis kronis

Manifestasi klinis:
-

Pasien dengan keratitis fungal biasanya memiliki gejala


dan tanda inflamasi yang lebih sedikit pada periode awal
jika dibandingkan dengan keratitis bakterial dan bisa saja

tidak ada injeksi konjungtiva.


Gambaran putih-keabuan, infiltrat kering yang muncul

dengan bulu-bulu atau batas filamen yang muncul


Infiltrat multifocal atau infiltrate satelit
Plak endotel

Hipopion

Diagnosis Laboratorium:
-

Melakukan pemeriksaan kerokan kornea


Pemeriksaan kerokan kornea sebaiknya dengan
menggunakan spatula kimura yaitu dari dasar dan tepi
ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan
KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan
angka keberhasilan masing-masing 20-30%,50-60%,6075% dan 80%.

Biopsi Jaringan kornea


Diwarnai dengan Periodic acid schiff atau Methenamine

Silver.
-

Nomarski differential interference contrast microscope


Untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea
( metode Nomarski ) yang dilaporkan cukup memuaskan.

Pengobatan:
-

Jamur berfilamen: Natamycin 5%, Amphotericin B,

Ketoconazole oral (200-600 mg/hari)


Jamur berhifa: Amphotericin B, fluconazole oral (200-

400mg/hr)
Voriconazole topikal efektif untuk keratitis fungal yang
tidak berespon pada terapi tradisional

Terapi lain yang bisa dilakukan :

1. Debridement
2. Flap konjungtiva, partial atau total
3. Keratoplasti tembus
4. Bandage soft contact lens
5. Tissue Adhesive glue seperticynoacrylate

3. UlkusKornea Virus
a. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks ada dua bentuk, yaitu primer dan
rekurens.Perjalanan klinik keratitis ini dapat berlansung lama
karena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat
migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi.Infeksi okuler pada
hospes biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara
imunologik tidak kompeten, termasuk pasien yang diobati dengan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin menahun dan dapat
merusak.
Temuan klinik:

Serangan keratitis herpes jenis rekurens umum dipicu oleh demam,


pajanan berlebihan terhadap cahaya ultraviolet, trauma, stress
psikis, awal menstruasi, atau sumber imunosupresi local atau
sistemik lainnya. Umumnya unilateral, namun lesi bilateral dapat

terjadi pada 4-6% kasus dan paling sering pada pasien atopik.
Gejala: iritasi, fotofobia, mata berair, bisa ada gangguan
penglihatan
9

Lesi khas: ulkus dendritik, ulserasi geografik, keratitis epithelial


blotchy, keratitis epithelial stellata, dan keratitis filamentosa.
- Kekeruhan subepitelial
- Lesi perifer kornea

Terapi:

Debridement
Terapi medikamentosa
Untuk HSV yang dipakai adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine,
dan acyclovir.

Terapi Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi

penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea berat, namun


hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif.Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi
bakteri atau fungi mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat.

Komplikasi
Pengobatan ulkus yang tidak adekuat dan terlambat dapat
menimbulkan komplikasi yaitu :3
1. Terbentuknya jaringan parut kornea sehingga dapat menurunan
visus mata.
2. Perforasi kornea
3. Iritis dan ridosiklitis
4. Descematokel

10

5. Glaukoma sekunder
6. Endoftalmitis atau panoftalmitis
7. Katarak

VII. Prognosis
Dengan penanganan sedni mungkin, infeksi pada kornea dapat
sembuh,mungkin tanpa harus terjadi ulkus. Bila ulkus kornea tidak
diterapi, dapat merusak kornea secara permanen. Dan juga dapat
mengakibatkan perforasi dari interior mata, sehingga menimbulkan
penyebaran infeksi dan meningkatkan resiko kehilangan penglihatan yang
permanen. Semakin telat pengobatan ulkus kornea, akan menimbulkan
kerusakan yang banyak dan timbul jaringan parut yang luas.
Tatalaksana Surgical
B. TRANSPLANTASI KORNEA / KERATOPLASTI
Pertama dilakukan pada tahun 1905, transplantasi kornea adalah
prosedur pembedahan di mana kornea yang rusak atau berpenyakit
digantikan oleh jaringan kornea sumbangan.
Indikasi keratoplasti
setiap kelainan atau kekeruhan kornea yang menyebabkan
kemunduran tajam penglihatan serta memenuhi beberapa kriteria, yaitu 5
1. Kemunduran visus yang cukup mengganggu pekerjaan penderita
2. Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita
3. Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia

11

Sebagai patokan, diambil ketajaman penglihatan kurang dari 5/60


Tujuan dilakukannya transplantasi kornea adalah sebagai berikut5
1. Optik: Untuk meningkatkan ketajaman visual dengan mengganti
jaringan host yang buram atau terdistorsi oleh jaringan donor yang
sehat.
2. Tektonik / rekonstruktif: Untuk mempertahankan anatomi kornea
dan integritas pada pasien dengan penipisan stroma dan
descemetoceles.
3. Terapi: Untuk menghapus jaringan kornea meradang yang tidak
responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik atau anti-viral.
4. Kosmetik: Untuk memperbaiki penampilan pasien dengan bekas
luka kornea yang telah diberi warna keputihan atau buram ke
kornea.
Kontraindikasi absolut untuk dilakukannya keratoplasti adalah 5
1. Tidak adanya proyeksi sinar
2. Xerosis dan tidak terdapatnya lapisan air mata
Kontraindikasi relatif untuk dilakukannya keratoplasti adalah 5
1. Keratitis neuroparalitik
2. Sikatrik kornea akibat Morbus Hansen
3. Parut kornea akibat luka bakar alkali
Pada keadaan-keadaan ini sebaiknya tidak dilakukan keratoplasti,
bila mata sebelahnya masih bisa dipergunakan. Luka bakar alkali merusak

12

susunan air mata dan epitel konjungtiva. Bila dilakukan keratoplasti dapat
menimbulkan gangguan epitelisasi5
Sumber Transplantasi dapat berasal dari beberapa sumber 5
1. Heterotransplan
Dengan menggunakan kornea hewan. Tingkat kegagalan tinggi
disebabkan karena adanya reaksi imunologik yang hebat.
2. Keratoprostesis
Dengan menggunakan bahan sintetik. Digunakan pada kasus
gawat. Bahan yang digunakan adalah methyl-meta crylate, tiflon,
silicon. Bahan akan ditolak oleh tubuh, namun keratoprostesis
memberi kemungkinan untuk melihat
3. Autotransplan
Menggunakan kornea penderita sendiri, dengan cara menggeser
bagian yang jernih ke bagian depan pupil yang tadinya keruh
(rotating graft), atau dapat juga digunakan kornea dari mata
sebelahnya yang telah buta bukan karena kelainan kornea
4. Homotransplan
Kornea yang diperoleh dari donor manusia. Kornea yang baik,
syaratnya
a. Donor tidak terlalu tua, karena pada donor tua, jumlah
endotel sedikit yang merupakan salah satu penopang hidup
kornea
b. Donor tidak sakit terlalu lama sebelum meninggal

13

c. Donor tidak menderita : hepatitis, tumor mata, septikemia,


sifilis, glaukoma, leukemia
d. Donor

tidak

terlalu

lama

disimpan

sebelum

ditransplantasikan
Terdapat empat tipe keratoplasti yaitu :
1. Full thickness (Penetrating) grafts
Di mana seluruh bagian kornea perlu diganti.
2. Partial thickness grafts (Deep Lamellar) menggantikan bagian
depan kornea
Untuk memperbaiki kerusakan superficial pada permukaan kornea.
3. Partial thickness grafts (Endothelial Lamellar) menggantikan bagian
belakang kornea
Untuk memperbaiki kondisi yang mempengaruhi kornea bagian
dalam atau endothelium.
4. Mushroom Keratoplasty transplantasi berbentuk jamur, kombinasi
antara Penetrating dan Deep Lamellar Keratoplasty. Sudah mulai
ditinggalkan karena terlalu banyak menyebabkan trauma

Full thickness (Penetrating) grafts6


Sebuah trephine (perangkat pemotong berbentuk melingkar) yang
digunakan oleh ahli bedah untuk memotong kornea donor, untuk
memotong disc sirkular dari kornea. Sebuah trephine kedua kemudian

14

digunakan untuk memotong bagian berukuran serupa dari kornea pasien.


Jaringan donor kemudian dijahit di tempat dengan jahitan.
Obat tetes mata antibiotik ditempatkan, mata ditutup, dan pasien
dibawa ke ruang pemulihan sementara efek anestesi hilang. Pasien
biasanya pulang setelah ini dan diperiksa dokter hari berikutnya untuk
pengangkatan pertama pasca operasi.

Gambar 3. Penetrating Keratoplasty


Partial thickness grafts (Deep Lamellar)8
Dalam prosedur ini, lapisan anterior dari kornea sentral akan
dihilangkan dan diganti dengan jaringan donor. Sel endotel dan membran
Descemets disisakan di tempatnya semula. Teknik ini digunakan dalam
kasus-kasus opasifikasi kornea anterior, bekas luka, dan penyakit ectatic
seperti keratoconus.
Deep anterior lamellar keratoplasty (DALK) adalah kornea graft
ketebalan parsial, yang digunakan di mata, di mana patologi hanya
terbatas pada lapisan anterior kornea, misalnya luka Superficial kornea
dan beberapa gangguan bawaan atau perkembangan seperti dystrophies

15

epitel dan stroma. Keuntungan dari teknik ini dibandingkan teknik


ketebalan penuh 'konvensional' adalah: jahitan lebih sedikit, rehabilitasi
lebih cepat, kurangnya penggunaan obat, hampir tidak ada kemungkinan
penolakan graft dan luka lebih aman.

Gambar 4. Deep Lamellar Keratoplasty 9

Partial thickness grafts (Endothelial Lamellar)


Mengganti endotelium pasien dengan disc transplantasi dari stroma
posterior / Descements/endotelium (DSEK) atau Descemets/endotelium
(DMEK). Prosedur ini relatif baru dan telah merevolusi pengobatan
gangguan dari lapisan paling dalam dari kornea (endotelium). Tidak
seperti transplantasi kornea penetrasi, operasi dapat dilakukan dengan
satu atau tanpa jahitan. Pasien dapat pulih penglihatan fungsionalnya
dalam hitungan minggu, dibandingkan sampai satu tahun dengan
transplantasi penetrasi.
Selama operasi, endothelium kornea pasien akan dihilangkan dan
diganti dengan jaringan donor. Dengan DSEK, yang didonorkan termasuk
lapisan tipis stroma, serta endotelium, dan umumnya 100-150 mikron
tebalnya. Dengan DMEK hanya endotelium saja yang ditransplantasikan.
16

Segera pada pada periode pasca operasi jaringan donor dipertahankan di


posisinya dengan gelembung udara ditempatkan di dalam mata (ruang
anterior). Jaringan tersebut dengan sendirinya akan melekat dalam waktu
yang singkat dan udara diserap ke dalam jaringan sekitarnya.
Komplikasi termasuk displacement dari jaringan donor sehingga
memerlukan reposisi ('refloating'). Hal ini lebih umum pada DMEK
dibandingkan DSEK. Lipatan dalam jaringan donor dapat mengurangi
kualitas perbaikan visi yang membutuhkan perbaikan segera. Penolakan
dari

jaringan

donor

mungkin

memerlukan

pengulangan

prosedur.

Pengurangan bertahap dari kepadatan sel endothelial dari waktu ke waktu


dapat menyebabkan hilangnya kejelasan dan membutuhkan pengulangan
prosedur.
Pasien dengan transplantasi endotel sering mencapai penglihatan
terkoreksi terbaik dalam kisaran 20/30 ke 20/40, meskipun beberapa
mencapai 20/20. Penyimpangan optik pada pertemuan graft/host dapat
membatasi visi di bawah 20/20.
Deep lamellar endothelial keratolasty (DLEK)juga merupakan
Ketebalan parsial graft kornea, yang digunakan untuk mengganti
endotelium. DLEK adalah prosedur pembedahan yang lebih rumit
dibandingkan DALK, dan diperkenalkan baru-baru ini pada tahun 1998
oleh seorang ahli bedah Belanda yang inovatif, Dr Gerrit Melles dan
dipopulerkan di AS oleh ahli bedah Dr Mark Terry dari Ohio. Manfaat dari
teknik dibandingkan transplantasi kornea konvensional termasuk kualitas

17

yang lebih baik pada penglihatannya, periode post-operatif yang lebih


nyaman

dan

rehabilitasi

penglihatan

yang

lebih

cepat.

Bentuk

transplantasi kornea ini bahkan dapat dilakukan melalui luka sekecil luka
bedah katarak modern dan dapat dilakukan tanpa jahitan.

Gambar 5. Posterior Lamellar Keratoplasty 9


Mushroom Keratoplasty
Transplantasi berbentuk jamur, kombinasi antara keratoplasti
lamelar yang lebar dan keratoplasti menembus yang lebih kecil. Tindakan
ini menimbulkan terlalu banyak trauma pada kornea, sehingga sudah
mulai ditinggalkan

Gambar 6. Mushroom Keratoplasty 9


Risiko

18

Risiko mirip dengan prosedur intraokular lainnya, tapi beberapa


tambahannya termasuk penolakan graft (seumur hidup), pelepasan atau
perpindahan dari transplantasi lamelar dan kegagalan graft primer. 7
Ada juga risiko infeksi. Karena kornea tidak memiliki pembuluh
darah (dibutuhkan nutrisi dari aqueous humor) penyembuhan jauh lebih
lambat dari luka di kulit. Sementara luka masih dalam proses
penyembuhan,

ada

kemungkinan

terinfeksi

oleh

berbagai

mikroorganisme. Risiko ini diminimalkan dengan profilaksis antibiotik


(menggunakan obat tetes mata antibiotik, bahkan ketika tidak ada infeksi).
7

Kegagalan

graft

dapat

terjadi

setiap

saat

setelah

kornea

ditransplantasikan, bahkan bertahun-tahun atau dekade kemudian.


Penyebabnya bisa bermacam-macam, meskipun biasanya akibat cedera
atau penyakit baru. Pengobatan dapat berupa medis atau bedah,
tergantung pada kasus individu.

Prognosis
Faktor faktor yang mempengaruhi hasil keratoplasti

1. Faktor donor : usia donor, lama penyimpanan spesimen, jeda


enukleasi
2. Faktor imunologik : rangsang peradangan
3. Faktor resipien : kornea resipien, vaskularisasi kornea, prolaps iris,
fungsi air mata, sensibilitas kornea, keadaan kornea

19

BAB 4
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 64 tahun datang


dengan keluhan timbul benjolan di selaput putih mata kirisejak 3 bulan
yang lalu. Awalnya benjolan berukuran kecil, berwarna putih dan tidak
mudah berdarah, dan mata merah tidak ada. Namun 1 bulan yang lalu
penderita mengeluh benjolan semakin membesar, meluas ke bagian hitam

20

mata kiri,mata merah (+), dan terasa mengganjal. Penderita kemudian


memeriksakan diri ke RSMH. Dari identitas didapatkan pasien laki-laki
berusia tua, dan dari anamnesis didapatkan bahwa pekerjaan penderita
seorang pekerja lapangan sehingga sering terkena paparan sinar
matahari dan adanya riwayat merokok selama 30 tahun yang merupakan
faktor resiko untuk perkembangan CIN. Dari status lokalis mata kiri
tampak massa di konjungtiva bulbi bagian nasal yang meluas ke kornea
dengan batas tegas, warna putih mengkilap, permukaan berdungkul
dungkul, gelatinous, sulit digerakkan, konsistensi padat, tidak nyeri, tidak
mudah berdarah, dan adanya gambaran corkscrew. Gambaran tersebut
merupakan

karakteristik

gambaran

klinis

CIN.Dari

pemeriksaan

oftalmologis ditambah dengan anamnesis maka penderita didiagnosis


suspekCIN.
Pada kasus ini didiagnosis banding dengan Carsinoma in Situ(CIS)
dan Squamous Cell Carcinoma(SCC)karena secara klinis memang sulit
untuk membedakan CIN, CIS, dan SCC. Hanya pemeriksaan histopatologi
yang dapat membedakan ketiga bentuk lesi ini. Pada pasien ini
didapatkan hasil histopatologi dari sediaan yang berasal dari konjungtiva
mata kiri (OS) yaitu dilapisi epitel skuamous kompleks tidak berkeratin,
dijumpai proliferasi sel basal hingga lebih dari dua pertiga (>2/3) ketebalan
mukosa, sel atipik membran basal masih intak dengan kesan Severe
Conjunctiva Intraepithelial Neoplasia pada konjungtiva mata kiri. Hasil
pemeriksaan histopatologi tersebut memastikan diagnosa pasien ini

21

adalahSevere

Conjungtival

Intraepithelial

Neoplasia.

Severe

CIN

merupakan salah satu spektrum neoplasia intraepithelial yang berarti


belum ada invasi ke membran basalis dan jaringan dibawahnya.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah tindakan bedah dengan
eksisidan dilakukan terapi adjuvant berupa cryotherapy. Tindakan eksisi
dipilih agar dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan
diagnosis pasti. Teknik cryotherapy yang digunakan adalah teknik double
freeze-thaw pada sekeliling batas eksisi tumor dan limbus dengan
temperature -80C. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya rekurensi.
Eksisi
dengan

cryotherapy

adjuvant

masih

direkomendasikannamun membawa risiko terjadinya defisiensi sel stem


limbal dan pembentukan simblefaron. Penatalaksanaan CIN hanya
dengan terapi medikamentosasemakin meningkat.Terapi menggunakan
IFN efektif dan mendapatkan persetujuan untuk penatalaksanaan CIN
karena toksisitas yang minimal. Namun, pada pasien ini tidak diterapi
dengan IFN karena belum ada ketersediaan obat tersebut, danharga obat
tersebut mahal. Selain itu, jika diterapi dengan kemoterapi topikal tidak
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis
pasti.
PrognosisSevere Conjungtival Intraepithelial Neoplasia biasanya
baik, karena pada kasus ini belum ada invasi ke membran basalis dan
jaringan dibawahnya. CIN jarang menyebabkan invasi ke okular dan juga
jarang

menyebabkan

metastase.

Pada

pasien

ini

follow

up

dilakukansampai 1 minggu setelah operasi untuk melihat apakah terjadi

22

tanda-tanda infeksi setelah operasi, Tetapi follow up tetap perlu dilakukan


karena terdapat kemungkinan untuk terjadinya rekurensi dalam hitungan
bulan sampai tahun, minimal pasien datang setahun sekali.

BAB 5
KESIMPULAN

Laporan

kasus

ini

melaporkan

kasus

Severe

Conjungtival

Intraepithelial Neoplasia pada mata kiri seorang laki-laki berusia 64 tahun.


Dari anamnesis didapatkan adanya benjolan pada selaput putih mata kiri
yang meluas ke bagian hitam mata kiriyang makin lama makin membesar.
Terdapat riwayat terpapar sinar matahari dan merokok pada pasien ini.
Pada pemeriksaan oftalmologikus didapatkan massa pada konjungtiva
bulbi bagian nasal yang meluas ke kornea, batas tegas, warna putih

23

mengkilap, gelatinous, permukaan berdungkuldungkul, sulit digerakkan,


konsistensi padat, tidak nyeri, tidak mudah berdarah dan dengan
gambaran corkscrew. Dari anamnesis, adanya riwayat terpapar sinar
matahari dan merokokyang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
CINdan pemeriksaan oftalmologikus, maka pasien ini didiagnosis dengan
suspekCIN.
Penatalaksanaan yang dilakukan berupa eksisi luas disertai
cryotherapy
histopatologi

dengan

tujuan

menunjukkan

mengurangi
diagnosis

angka

pasien

ini

rekurensi.
adalah

Hasil
Severe

Conjungtival Intraepithelial Neoplasia. Diagnosis Severe Conjungtival


Intraepithelial Neoplasia berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
oftalmologi dan pemeriksaan histopatolog

DAFTAR PUSTAKA

1. Nanji A, et al. Surgical versus Medical Treatment of Ocular Surface


Squamous Neoplasia. Ophthalmology 2014;121:994-1000.
2. Stone D, et al. Ocular Surface Squamous Neoplasia, A Standard of
Care Survey. Cornea 2005;24:297-300.
3. Scott I, et al. Human Papillomavirus 16 and 18 Expression in
Conjunctival Intraepithelial Neoplasia. Ophthalmology 2002;109:542547.
4. Guthoff R, et al. No evidence for a Pathogenic Role of Human
Papillomavirus Infection in Ocular Surface Squmaous Neoplasia in
Germany. Current Eye Research 2009;34:666-671.

24

5. Galor A, et al. Predictors of Ocular Surface Squamous Neoplasia


Recurrence after Excisional Surgery. Ophtalmology 2012;119:19741981.
6. Yeatts R, et al. 5-Fluorouracil for the Treatment of Intraepithelial
Neoplasia

of

the

Conjunctiva

and

Cornea.

Ophthalmology

2000;107:2190-2195.
7. Shields C, et al. Interferon for Ocular Surface Squamous Neoplasia in
81 Cases: Outcomes Based on the American Joint Committee on
Cancer Classification. Cornea 2013;32:248-256.
8. Kim H, et al. Giant Ocular Surface Squamous Neoplasia Managed with
Interferon

Alpha-2b

as

Immunotherapy

or

Immunoreduction.

Ophthalmology 2012;119:938-944.
9. Liesegang TJ, et al. External diseases and cornea. San Fansisco :
American Academy of Ophthalmology. 2014-2015: p 212-214, 216-220.
10. Liesegang TJ, et al. Ophthalmic Patology and Intraocular Tumors. San
Fransisco : American Academy of Ophthalmology. 2014-2015: 62-64.
11. Peksayar G, et al. Excision and cryosurgery in the treatment of
conjunctival malignant epithelial treatment. Eye 2003;17: 228-232.
12. Peer J and Frucht J. Ocular surface squamous neoplasia. Clinical
Ophthalmic Oncology. Saunders Elsevier. 2007;136-.40.
13. Schechter B, et al. Long-term Follow-up of Conjunctival and Corneal
Intraepithelial Neoplasia Treated with Topical Interferon Alfa-2b.
Ophthalmology 2008;115:1291-1296.
14. Holcombe D and Lee G. Topical Interferon or Surgical Excision for the
Management of Primary Ocular Surface Squamous Neoplasia.
Ophthalmology 2008;115:1297-1302.

25

15. Karp C, et al. Subconjunctival/Perilesional Recombinant Interferon 2b


for

Ocular

Surface

Squamous

Neoplasia.

Ophthalmology

2010;117:2241-2246.
16. Khan N and Sane S. Conjungtival Dysplasia. Indian J Ophthalmology
2007;32: 97-99.
17. Barros N, et al. Predictive Index to Differentiate Invasive Squamous
Cell Carsinoma from Preinvasive Ocular Surface Lesions by
Impression Citology. Brj Ophthalmol 2009:93:209-214.
18. Karp C, et al. Treatment of conjunctival and corneal intraepithelial
neoplasia with topical interferon alpha-2b. Ophthalmology 2001; 108:
10931098.
19. Dahl
A.

Ocular

Cryotherapy.

2011.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/2049289-technique.
20. Tehrani S and Fraunfelder F. Cryotherapy in Ophthalmology. Open
Journal of Ophthalmology 2013; 3, 103-117.
21. Liesegang TJ, et al. Orbit, Eyelids, and Lacrimal System. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology. 2014-2015: 200.

26

Anda mungkin juga menyukai