Eksistensi Pondok Pesantren Di Lombok Nusa Tenggara Barat
Eksistensi Pondok Pesantren Di Lombok Nusa Tenggara Barat
Eksistensi Pondok Pesantren Di Lombok Nusa Tenggara Barat
Fahrurrozi1[1]
ABSTRAK
Sebagai institusi pendidikan formal tertua di Indonesia, pesantren memiliki
peranan penting dalam dinamika masyarakat Islam. Pesantren telah berperan
sebagai; 1) pusat transmisi ilmu-ilmu keislaman; 2)menjaga keberlansungan
tradisi Islam; dan 3) pusat reproduksi ulama. Lombok, sebuah pulau di propinsi
NTB yang dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid adalah sebuah wilayah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kehadiran Islam sebagai agama
mayoritas di pulau Lombok tidak hanya ditandai dengan tingginya antusiasme
masyarakat dalam mendirikan tempat ibadah berupa masjid dan mushalla, tetapi
juga kehadiran banyak pondok pesantren. Tercatat tak kurang dari 300 pondok
pesantren yang tersebar di pulau kecil ini. Untuk itu, mengkaji keberadaan
pesantren dalam aspek peranannya di tengah-tengah masyarakat tidak pernah
usang untuk terus dikaji dan dianalisis.
A. PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial
kemasyarakatan telah memberikan warna dan corak khas dalam masyarakat
Indonesia, khususnya pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat sejak berabad-abad, oleh karena itu, secara kultural lembaga ini
telah diterima dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai
1[1] Penulis adalah Dosen IAIN Mataram NTB dan Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajihin
Nahdlatul Wathan Bagek Nyala Gunung Rajak Kec. Sakra Barat Lombok Timur NTB.E-mail :
[email protected]. CP: 081803669310
dari Jawa, dengan bahasa pengantar bahasa Jawa kuno. Hal ini terlihat dalam
kitab-kitab lontar dan silsilah raja-raja di Lombok yang ada hubungannya dengan
penyebaran agama Islam dari Jawa ke Indonesia bagian timur. Perkiraan
tersebut juga didasari oleh pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam
dibawa ke Lombok oleh Pangeran Sangepati.6[6]
Tentang kehadiran pesantren di Lombok pertama kalinya, dimana dan
siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti 7[7] tapi jika dilihat
dari perkembangan-perkembangan pesantren yang istilah bahasa lombok ngaji,
Gerbung dapat ditelusuri dari para tokoh Tuan Guru. Tuan Guru Lombok yang
6[6] Sangepati adalah seorang murid dari walisanga yang diakui sebagai peletak dasar pertama
agama Islam di pulau Jawa. Sangepati ditafsirkan dengan sange artinya sembilan pati
artinya empat hal tersebut mengisyaratkan bahwa Islam masuk ke pulau Lombok pada tahun
904 Hijriyah, bertepatan dengan tahu 1538 masehi. Sangepati sendiri menurut sebagian besar
pendapat bukan nama sebenarnya sebab dalam perjalanan selanjutnya ia bernama Sunan
Semeru dan dalam perjalan pulang ke Jawa melalui Bali ia memakai nama Pande Wau Rauh,
dan setelah sampai di jawa ia memakai Haji Duta (lihat, Harapandi, Pemikiran Pembaharuan
TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999), h. 10
7[7] Ada beberapa pendapat tentang peletak dasar agama Islam di Pulau Lombok
seperti Syekh Ali Fatwa yang berasal dari Bagdad. Beliau tinggal di dekat gunung Rinjani, dan
diperkirakan di daerah Sembalun. Diantaranya juga terungkap seseorang yang bernama
Petung Anunggul ia juga memakai naman Sunan Alelana yang berarti pengelana, namun
sebenarnya adalah Raden Mas Karta Jagat, nama lain juga diperkirakan sebagai peletak dasar
agama Islam di pulau Lombok adalah Raden Nor Pakel, dari dialah muncul tiga orang
pimpinan Islam di pulau Lombok yaitu: Penghulu kiyai Gading atau Guni Tepun, Guru Deriah
dan Guru Mas Mirah. Lebih lanjut dikatakan bahwa selain dari namanama tersebut di atas ada
beberapa nama yang juga terhitung sebagai peletak dasar Agama Islam di Pulau Lombok,
seperti Sunan Guru Makassar yang nama aslinya adalah Sangsurima Alam bersama-sama
dengan putrinya NI Demi Sukarren yang berasal dari Sulawesi. Disamping itu juga terdapat
agama Islam mereka berasal dari Sumatra yaitu; Jatisuara, Kiai Serimbang, Eman Beret.
(Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1979), h. 22-23. Sebagaimana juga telah dikutip oleh, Harapandi, Ibid, h. 8-9.
pernah mengembangkan dakwah Islam. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20
muncul tokoh-tokoh ulama (Tuan Guru) di Lombok seperti Tuan Guru H. Umar
kelayu, Lombok Timur, setelah bermukim di Makkah 10 tahun kemudian kembali
ke Lombok mengajarkan masalah-masalah aqidah dengan sistem ngamarin
(bahasa Sasak :
syahadat, rukun iman, rukun ihsan, dan tata cara thaharah, ini semua beliau
lakukan dengan cara ngamarin dan juga dengan cara ngaji tokol,(Sasak :
memberikan bimbingan agama dengan duduk bersila) di hadapan tuan guru,
ngaji tokol (istilah bahasa Sasak Lombok) ini biasa disebut oleh masyarakat
Lombok dengan istilah bekerbung, lalo mondok ngaji.
Tuan Guru yang melakukan hal yang sama pada awal-awal abad ke 20 itu,
antara lain, TGH. Musthafa Sekarbela, Lombok Barat, TGH. Amin Sesela, TGH.
Abdul Hamid, Kediri Lombok Barat, Tuan Guru H. Masud Kopang Lombok
Tengah, TGH. Ali Akbar Penendem, Lombok Timur. Para tokoh-tokoh tersebut
sangat gigih mendakwahkan Islam ke pelosok-pelosok kampung dan tidak
ketinggalan mengadakan pengajian di rumah masing-masing yang kebiasaan di
rumah tokoh-tokoh tersebut ada Beruga (langgar: Jawa), sekepat (langgar yang
punya tiang penyangga empat, sekenem (langgar yang punya tiang penyanggah
enam)8[8] di tempat-tempat inilah para santri mengaji mulai
dari mengaji
masalah agama dan lain-lain. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh tuan
guru-tuan guru tersebut masih sangat sederhana dan tradisional, mengingat
kondisi saat itu masyarakat Lombok sangat terbelakang dan premitif. Sistem
seperti itu yang kemudian terkenal dengan sistem sorogan (Jawa).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi sedikit perubahan sistem
pengajaran pasca tuan guru-tuan guru periode awal (1889-1912) dan pada
periode 1920-1930 yang secara langsung dilanjutkan oleh penerus-penerusnya.
8[8]Istilah Beruga, Sekepat, Sekenan, memang sudah terkenal sejak zaman penjajahan Bali,
sebab miniatur Beruga dan sejenisnya dengan arsitek orang-orang Hindu dan biasanya tempat
ini digunakan untuk menjamu tamu, melihat kebiasaan masyarakat yang biasa duduk di Beruga
(langgar: Jawa), para tokoh tuan guru memberikan pengajian di tempat itu.
Seperti, Tuan Guru H. Badarul Islam, Pancor, Lombok Timur (putra TGH. Umar
Kelayu) TGH. Rais (Putera TGH. Musthafa) Sekarbela, TGH. Saleh dengan
sebutan Tuan Guru Lopan, TGH. M. Saleh Hambali Bengkel, Lombok Barat,
TGH. Abdul Hafizd Sulaiman, Kediri Lombok Barat, TGH.Mukhtar, Kediri Lombok
Barat. Perubahan yang signifikan pada periode ini adalah adanya sistem
pengajian melalui santren (musalla) yang didirikan di dekat rumah tuan guru.
Tapi materi pengajiannya tidak jauh beda dengan materi-materi yang
disampaikan oleh tuan guru terdahulu, Cuma ada perluasan pembahasan
terhadap materi-materi tauhid, usul fiqh dan mulai bersentuhan dengan
pengajaran gramatikal bahasa arab seperti nahwu, sharef.9[9]
Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-an
perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh kharismatik
TGKH M. Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren Darul Mujahidin
tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren tersebut dibubarkan
oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah
dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan
oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH.
Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan
Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H bertepatan dengan 22
Agustus 1935 M khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah
Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21 April 1943 M
khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama di daerah
menggunakan pengajaran sistem klasikal.10[10] Dari dua
Lombok yang
madrasah inilah
Syekh
kemasyarakatan
daerah
masing-masing.
Begitu
juga
ada
yang
dapat
pemimpin
dan
pendukungnya.
Demikian
pula
kecenderungan
18[18] Tipologi pesantren yang mensfesifikasikan dalam kajian tarekat yang lebih terkenal
dengan pesantren tarekat seperti ponpes Yadama asuhan TGH. Mutawalli Jerowaru Lombok
Timur.
19[19] Pesantren yang lebih berorientasi pada pendalaman ilmu nahwu dan sharaf seperti
pesantren Nahdhatul Wathan khususnya ponpes Darun Nahdhathain secara umum, pesantren
Arraisiyah Sekarbela, pesantren Ibrahim di Lombok Tengah, pesantren Ishlahuddin Kediri,
pesantren Yusuf Abdussattar, Kediri.
20[20] Tipe pesantren yang berorientasi pada pendalaman fiqh seperti pondok pesantren
Selaparang-Kediri yang terkenal dengan tokoh ahli fiqh, yaitu TGH. L. Abd Hafizh Sulaiman,
juga pondok pesanten Manbaul Ulum, Pimpinan TGH. Zainal Abidin Ali, Sakra Lotim.
dan masih sangat sederhana juga disebabkan karena pemimpin yang hampir
sama.
Kini, masyarakat pendukung pondok pesantren sudah banyak berubah, sehingga
banyak memiliki tuntutan terhadap isi pendidikan pesantren yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan kelompok-kelompok yang
semakin beranekaragam aspirasi dan tuntutannya. Di samping itu aspirasi dan
latar belakang pendidikan dan sosial para pemimpin pesantren yang
dikembangkannya juga semakin berwarna-warni.21[21]
Tumbuhnya berbagai tipologi pondok pesantren di Lombok Nusa Tenggara Barat
pada dewasa ini merupakan manifestasi dari vitalitas lembaga untuk tetap
berkembang di tengah masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami
perubahan yang luar biasa. Namun demikian, tidak semua tipe pendidikan
pesantren yang masing-masing mangikuti kecenderungan yang berbeda-beda.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren di Lombok, NTB dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar:
1. Pesantren Salafi, yang tetap mempertahankan pengajian kitab-kitab Islam klasik
sebagai
inti
pendidikan
pesantren/sistem
madrasah
diterapkan
untuk
dan
mahal
dimana
para
lulusannya
akan
merupakan
sumber
pengetahuan Islam bagi kalangan intelektual di masa mendatang. Tentu saja ciricirinya akan berbeda dengan ciri yang dimilikinya sekarang. Tipe-tipe pesantren
takhassus semacam ini nampaknya sudah mulai dikembangkan oleh beberapa
pesantrendi Lombok NTB.25[25]
24[24] Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1. h. 70
Dalam
kelompok
pesantren
khalafi
(modern)
yang
sekarang
ini
berkembang, dapat digolongkan ke dalam tiga tipe besar, yaitu yang masih
terbatas menambah pengajaran profesional dalam bentuk latihan keterampilan.
Karena pendidikan keterampilan sudah merupakan bagian penting dalam
keseluruhan
tujuan
pendidikan
pesantren,
maka
pesantren
ini
dapat
umum.
Tujuan
yang
hendak
dicapai
melalui
program
pengembangan sekolah umum ini tentunya udah lebih luas lagi daripada
pesantren khalafi kelompok kedua, yaitu mempersiapkan anak didik yang kelak
sanggup melanjutkan ke Universitas umum dengan bobot keislaman yang cukup
memadai sehingga bila kelak menjadi sarjana, mereka akan menjadi sarjana
muslim yang cukup kuat keislamannya.27[27]
Dalam perkembangannya dalam jangka panjang, ketiga tipe pesantren khalafi
tersebut akan semakin besar jumlahnya, karena selain pesantren tipe seperti itu
25[25] Pesantren Nahdlatul Wathan, Mendirikan Mahad Darul Quran Wa al-Hadits al-Majidiyah
al-Syaffiiyah, sebagai lembaga yang khusus mengkaji kitab kuning. Kemudian ponpes
Islahuddin Kediri mendirikan Mahad Aly al-Islahuddiny dan Pondok Pesantren Nurul Hakim
Kediri mendirikan Mahad Ali al-Salafi.
26[26] Pola ini telah dikembangkan oleh pondok pesantren Nurul Haromain NW Narmada
dengan mengembangkan sistem komputerisasi dan penggunaan Bahasa Arab dan Inggris di
dalam Asrama, dan pengajaran bahasa Inggris melalui pengiriman santri ke Pare Kediri Jawa
Timur tiap semester untuk mempelajari Bahasa Inggris secara intensif.
agama dam hal ini Tuan Guru, keinginan menjaga tradisi kebreagamaan dan
kebutuhan akan terus lahirnya Ulama di kalangan masyarakat.29[29]
Selain menampilkan kategori pondok seperti mukim dan tidak mukim,
keberadaan pondok pesantren di Lombok juga agak berbeda dengan apa yang
terjadi di daerah lain seperti Jawa. Jika di pulau Jawa sebagian besar pesantren
berupa pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama secara
tradisional, di Lombok sebagian besar pondok pesantren memakai pola
madrasah atau sekolah. Hampir semua pesantren di Lombok menyelenggarakan
kegiatan pendidikan mdel sekolah. Berbagai jenjang pendidikan seperti
madrasah dan sekolah umum diselenggarakan oleh pesantren. Sulit ditemukan
adanya pesantren salaf murni di Lombok.
Kemunculan pesantren di Lombok dengan sendirinya juga menyebabkan
banyaknya jumlah madrasah di wilayah ini. Jadi, jika berbicara soal pesantren,
maka untuk konteks Lombok, tidak bisa dilepaskan dengan persoalan madrasah.
Hal ini sekali lagi semakin meneguhkan hubungan antara pesantren, masjid,
madrasah dan tuan guru.
Hanya saja, besarnya jumlah pesantren dan madrasah tersebut, belum
berdampak
pada
keseluruhan
aspek
kehidupan
masyarakat
Lombok.
kehidupan lain di luar kehidupan beragama. Meskipun, tentu saja bukan hanya
pesantren yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, tetapi
paling tidak pesantren dapat mengambil peran-peran mediasi, atau advokasi
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.30[30]
Memang banyak pesantren di Lombok telah berhasil mengembangkan
kegiatan tambahan berupa peningkatan ekonomi dan kesejahteraan hidup.
Dalam satu dasawarsa terakhir banyak pesantren yang memiliki jenis usaha
semisal koperasi, agrobisnis, peternakan, pertanian, dan lain-lain. Untuk
menyebut beberapa di antaranya misalnya yayasan pesantren Darunnahdlatain
NW Pancor Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Syeikh Zainuddin NW
Anjani Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Atthohiriyah al-Fadhliyyah
Bodak, Lombok Tengah, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Haramain NW
Narmada Lombok Barat, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok
Barat, Pondok Pesantren Ishlahuddiniy Kediri Lombok Barat. Pesantrenpesantren tersebut, secara akif mengembangkan usaha-usaha yang menjadi
andalan masing-masing dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemajuan
pondok pesantren.
Hanya saja, semua cerita sukses pesantren-pesantren tersebut belum bisa
sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat sekitar pesantren secara luas. Belum
banyak anggota masyarakat di sekitar pesantren memiliki akses untuk bersamasama terlibat dalam berbagai unit usaha pesantren. Kegiatan-kegiatan tersebut
pada umumnya dikerjakan dan dikelola para pengurus pesantren yang nota bene
keluarga dan kerabat dekat Tuan Guru. Jika ada beberapa kegiatan yang
dikelola bersama dengan masyarakat, umumnya keterlibatan itu hany bersifat
komplementer. Masyarakat tidak terlibat sejak awal secara partisipatif. Ide dasar
kegiatan biasanya berasal dari Tuan Guru. Selanjutnya Tuan Guru lah -dengan
kharismadan ketokohannya- yang berusaha mecari sumber pendanaan hingga
30[30] Suprapto, Pesantren..h.106
menjadi
pemain
pertama
dalam
pemberdayaan
masyarakat.
terlaksananya
suatu
usaha
pengembangan
dan
terlalu berat. Lain halnya apabila ide tersebut berasal dari kyai atau kalangan
pemimpin pesantren yang bersangkutan.32[32]
b. Problematika Politis
Seyogyanya dalam usaha pengembangan dan pembaharuan pendidikan
pondok pesantren, pendekatan dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
politis tidak boleh terlalu ditonjolkan, tetapi usaha-usaha pengembangan dan
pembaharuan yang dilaksanakan dalam bidang ini sejauh mungkin harus bersifat
dan dirasakan sebagai netral walaupun sesungguhnya program yang
dijalankan oleh lembaga apapun tak akan lepas dari implikasi politik selama hal
itu menyangkut perubahan-perubahan sosial.33[33]
c. Problematika Paedagogis
Selanjutnya, hambatan lain yang sering dijumpai adalah problematika
yang bersifat paedagogis, khususnya dalam hubungannya dengan usaha
pengembangan dan pembaharuan kurikulum. Untuk mengintegrasikan pelajaranpelajaran keterampilan ke dalam struktur pengajaran yang dimiliki oleh pesantren
secara menyeluruh ternyata bukan suatu hal yang mudah. Tercantumnya matamata pelajaran keterampilan dalam kurikulum pendidikan pesantren belum
menjamin timbulnya keserasian dengan mata-mata pelajaran lain. Hal ini karena
pelajaran-pelajaran keterampilan ini masih kurang menimbulkan rasa kewajiban
bersama untuk mencapai sasaran konkrit baik materil maupun ideal yang cukup
mantap yang perlu dikerjakan berpayah-payah. Untuk mengatasi hal ini, maka
yang perlu ditempuh adalah usaha menumbuhkan motivasi kerja produktif yang
disemangati ajaran-ajaran agama secara merata dan intensif. Di samping itu,
32[32] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan,
Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta:
Kutub, 2007), Cet. II, h. 35-37
33[33] Nurkholis Majid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab II Pesantren
Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. h. 7384, (sebagai kajian).
dengan
program-program
keterampilan
yang
memerlukan
34[34] A. Malik Fadjar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, dalam Bab Tantangan dan
prospek Madarasah, (kasus madrasah ibtidaiyah), h. 34 sebagai bahan perbandingan
35[35] Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, Pada
Bab 7: Pesantren: Lembaga Pendidikan dan Pusat Ortodok Islam pada HAM, Sumber Ekonomi
dan Kehidupan sehari-hari di Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I, h. 151-154, sebagai
perbandingan dalam menganalisa
wahyu, memiliki kualitas yang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat
kebanyakan.36[36]
Kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa itu disebut
kepemimpinan karisma atau charismatic autority.37[37] Kepemimpinan jenis ini
didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain.
Kedua, kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu,
melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh individu. Menurut Max
Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut legal authority38[38]
artinya atoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggung jawab
pemimpin dalam mengandalkan organisasi tidak ditentukan penampilan
kepribadian dan individu melainkan dari prosedur aturan yang telah di sepakati.
Unsur-unsur emosional di kesampingkan dan diganti unsur rasional.
Pondok pesantren, dalam hal ini amat sangat terkesan dengan
kepemimpinan
kharismatik
dan
tradisional
yang
biasanya
Max
Weber
peranan
36[36] Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company,
1951), h. 19.
37[37] Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free
Press 1966), h. 358.
38[38] Ibid, h. 328.
39[39] Max Weber, Economy and Society, 1, (London: University of California Press, Berkeley,
Los Angeles 1978), h. 217.
adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan kokohnya
hubungan pribadi yang lazim antara anggota kumunitas dengan kumunitas yang
lainnya serta adanya Extended Family System.40[40]
Pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren memang
diperlukan kepemimpinan dengan sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahaptahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkannya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang
bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi sang
pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang direncanakan dengan sadar
harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas, hanya karena
kepemimpinan yang ada kekurangan stamina untuk melanjutkannya, atau
sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.
Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon
pengganti yang kreatif) untuk mencoba menerapkan pola-pola pengembangan
yang sekiranya tidak diterima oleh kepemimpinan yang ada. Termasuk dalam
kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang tanggapan yang akan
diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan apakah tanggapan itu bersifat
negatif atau positif.
Kesulitan
seperti
ini
menstimulus
mereka
untuk
merencanakan
pengembangan pola-pola baru. Salah satu bentuk kesulitan ini adalah watak fasif
yang
ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan
maksud baik dan tujuan ajakan dari luar itu.
Ketiga, pola pengantar kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan
tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami,
seperti meninggalnya sang pemimpin secara tiba-tiba. Pola pergantian pimpinan
yang berlangsung secara demikian itu seringkali membawa perbedaan pendapat
40[40] Sumamto, op.cit., h. 3
F. PENUTUP
Pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisonalnya,
yakni a) transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam, b) Pemeliharaan tradisi Islam,
dan c) Refroduksi ulama. Dengan demikian respon pesantren terhadap
modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang
berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup:
41[41] Ahmad Munjid Nasih, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002),h. 1
BIBLIOGRAFI
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, Cet.1.
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak,
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984)
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar
di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I.
Haiman, Franklin S. Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin
Company, 1951)
Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul
Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999)
Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1979).
Majid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab
II Pesantren Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta:
Paramadina, 1997), cet. I. h. 73-84
Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet.
I
Nasih, Ahmad Munjid, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi
Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002).
Numan, Abd Hayyi, dan Sahafari Aysari, Nahdlatul Wathan: Organisasi
Pendidikan, Sosial, dan Dakwah, Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1.
Purbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung
Agung, 1976)
Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya,
(Jakarta: Kuning Mas, 1992)
hubungan
terjalin ikatan yang berkelanjutan pula. Teori ini diperkuat oleh Alvin L. Bertrand : 1980
: 161 yang menyatakan, awal dari perubahan yang ingin dicapai dalam segala aspek
tergantung pada komunikasi berkelanjutan di antara para individu-individu yang satu
dengan yang lain.
Tuan Guru sebagai komunikator umat tidak akan terlepas dari dua aspek
komunikasi relasional yaitu, dialektik relasional yang meliputi internal dan eksternal
yang merupakan bagian terpenting dari teori komunikasi relasional. Dengan dilektik
komunikasi internal Tuan Guru dapat dengan mudah membenahi persoalan-persoalan
yang terjadi di kalangan mad'u (objek dakwah), begitu juga dialektik eksternal dapat
membantu Tuan Guru dalam mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang terjadi di
luar objek dakwah.
Agenda dakwah ke depan harus mampu merubah paradigma yang selama ini
salah dan telah mengkristal di kalangan umat dengan paradigma komunikasi relasional.
Dai diharapkan tidak berperan sebagai juru dakwah yang hanya menyampaikan Islam
bil lisan (konvensional) di atas mimbar saja, tapi lebih dari itu, juru dakwah dituntut
menjadi cultural broker (makelar budaya), bahkan menjadi intermediary forces
(kekuatan perantara) bagi permasalahan sosial ummat.
Komunikasi relasional yang mengedepankan dialektik internal dan
eksternal akan memberikan dampak transformatif bagi perkembangan
dakwah menuju kesejahteraan umat.
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan dakwah oleh Tuan Guru menunjukkan bagaimana tingkat jarak
kesenjangan sosial di antara pembawa pesan dan masyarakat yang menerima pesanpesan
Islam.
Sepanjang
pelaksanaannya
masih
merupakan
usaha-usaha
mengintroduksi suatu yang baru dengan tanpa berorientasi pada nilai-nilai dan tatanan
kontekstual sehingga diterimanya pesan tersebut tidak akan pernah mengakar dalam
masyarakat. Dakwah seharusnya dipahami sebagai suatu upaya terencana dan
terprogram, bukan seperti mengisi suatu gelas kosong dengan air, sehingga perlu ada
individu seorang tokoh masyarakat (Tuan Guru), tetapi juga bisa dipahami sebagai
suatu lembaga yang merujuk pada kepemimpinan kolektif.
Tumbuh berkembangnya Islam hendaknya selalu berjalan seiring dengan
terselesaikannya segala problematika pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,
terutama sektor ekonomi. Dengan demikian, dakwah haruslah berorientasi pada
kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga sasaran dakwah hendaknya ditujukan
kepada masyarakat secara keseluruhan, bukan individu/anggotanya. Intinya adalah
penyebaran Islam lebih dibidikkan pada suatu sistem sosial, baik itu menyangkut nilai
dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat maupun tata hubungan organisasi sosial
yang ada.
Dalam konteks keberagamaan di Lombok, dapat dikatakan bahwa pulau kecil ini
memiliki beberapa potensi daerah; a) Lombok dengan komposisi masyarakat
berpenduduk mayoritas muslim.44[3] b) Lombok dengan pondok pesantrennya yang
menyebar di seluruh pelosok kota dan desa berjumlah sekitar 290 pondok pesantren
dengan berbagai macam tipe.45[4] c) Lombok dengan basis masjid dan mushalla 46[5]
yang berdiri megah di setiap kampung, sehingga Lombok lebih dikenal dengan sebutan
43[2]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigama dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat, (Jakarta : Kencana, 2007), Cet. 2.h. 31. Lihat juga penjelasannya pada buku, Ketherine
Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New York : McGraw Hill
International Edition, 2005), second edition. h. 84. Lihat juga, Stepehen W. Litteljohn & Karen A. Foss,
Theories of Human Communication, (Belmots : Thomson Wadsworth, 2005), eight edition. h.154. Lihat
juga, Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte Hingga Parsons, (Bandung : Rosda, 2006), cet.1, h.
239.
44[3] Lombok Barat Jumlah penduduk muslimnya, 743.484 jiwa, Lombok Tengah : 793.440
jiwa, Lombok Timur: 1.033.669 jiwa, kota Mataram: 356.748. jiwa sehingga total penduduk
muslim yang tinggal di pulau Lombok berjumlah 2.897.331 jiwa. Sementara jumlah
masyarakat muslim untuk pulau Sumbawa berjumlah 1.245.951, Sumber : Survey Sosial
Ekonomi Nasional, 2005.
45[4]Sumber Data Emis Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab. Lombok Barat 72
Ponpes Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab. Sumbawa 16 Ponpes Kab.
Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes.
46[5] Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan jumlah masjid 829, Lombok
Tengah 1.229 masjid, Lombok Timur, 1.574 masjid, kota Mataram 225 masjid.
''pulau seribu masjid''.47[6] d) Lombok dengan basis organisasi Islam seperti organisasi
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai organisasi terbesar di NTB yang berpusat di Lombok
Timur, NU, Muhamadiyah, Maraqith Ta'limat, dll. 48[7] e)Lombok dengan sumber daya
alam yang melimpah ruah, seperti lahan pertanian, perikanan, dan parawisatanya. 49[8]
Di samping potensi-potensi tersebut, masih menyisakan berbagai agenda
problematika yang belum tuntas dilaksanakan :
Pertama, agenda pengembangan sumber daya manusia( IPM) Masyarakat NTB,
khususnya yang berdomisili di pulau Lombok sumber daya manusianya masih tergolong
rendah jika dibandingkan dengan IPM (Indek Pembangunan Manusia) rata-rata
nasional.50[9]
47[6] John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau
dengan 1000 masjid'' yang mungkin meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau
tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam
diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku dan
bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di negara ini.
Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya; Alif Lam
Mim : Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), cet. 1, h. 86.
48[7]Organisasi Islam yang paling dominan di NTB adalah organisasi Nahdlatul Wathan (NW)
yang didirikan oleh TGKH.M.Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1952, yang dimana cikal
bakal berdirinya organisasi ini berawal dari didirikannya Pondok pesantren Darul Mujahidin
1932 M pada zaman kolonial Belanda, tapi dalam perkembangan berikutnya, pesantren ini
berubah menjadi Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) madrasah khusus
untuk kaum pria, didirikan pada tahun 1935, dalam selanjutnya didirikan madrasah khusus
untuk kaum wanita yang disebut sebagai madrasah pertama di NTB yang mendirikan lembaga
pendidikan khusus untuk kaum wanita yang disebut Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah
Islamiyah (NBDI) pada tahun 1942 M. Dari dua madrasah induk ini menyebar cabangcabangnya ke seluruh pelosok Lombok, sehingga perlu dibentuk suatu wadah yang
mengorganisir madrasah-madrasah cabang di daerah-daerah, terbentuklah organisasi
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan
dakwah islamiyah. (lihat, Moh. Noer, dkk, Visi Kebangsaan Religius TGKH M.Zainiddin Abdul
Majid, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005, cet. 1. h. 35, lihat juga, Abdul Hayyi Nu'man &
Sahafari As'ary, Organisasi Nahdlatul Wathan Di Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Islamiyah, (Pancor : Toko Buku Kita)1984, cet.1.h.12.
49[8] Keterangan lengkap tentang potensi SDA dijelaskan secara rinci pada Katalog BPS :
2108 : 52, Tentang Statistik Potensi Desa Provinsi NTB, 2005
Kedua, aspek pendidikan masyarakat yang rata-rata tamat sekolah dasar dan
sekolah tingkat pertama. Indek ini sangat tidak sebanding dengan tingkat rata-rata
pendidikan nasional.51[10]
Ketiga, aspek ekonomi masyarakat yang masih tergolong menengah ke bawah,
bahkan masih hidup dalam kehidupan prasejahtra.52[11]
Keempat, aspek kesehatan. Aspek ini mencakup banyak hal antara lain, angka
kematian bayi tinggi, kematian ibu melahirkan, angka harapan hidup pendek. 53[12]
Kelima, konflik sosial. Fenomena di kalangan masyarakat Lombok tentang
masalah konflik sangat memprihatinkan, konflik antar pemeluk agama, seperti konflik
antara warga penganut salafi dengan non-salafi, konflik penganut warga Ahmadiyah,
konflik antar kampung yang disebabkan faktor sepele, dan lain-lain.54[13]
Memperhatikan berbagai kenyataan obyektif kehidupan umat sebagai mayoritas
penduduk
Indonesia,
kegiatan
dakwah
perlu
diarahkan
untuk
mendorong
50[9] Zaini Arroni dalam Statistik Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora NTB)
2005
51[10] Sumber Kanwil Dikpora NTB, 2005
52[11] Sumber Badan Pemberdayaan Masyarakat NTB, 2006
53[12] Sumber Kakanwil Departemen Kesehatan, 2006
54
[13] Penelusuran terhadap beberapa peristiwa konflik yang pernah terjadi di NTB, khususnya di
Pulau Lombok berdasarkan pengalaman (insight). Penelusuran peristiwa tersebut menggunakan metode
survei terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi dan dilengkapi dengan literatur dan riset yang pernah
dilakukan. Lokasi riset dilakukan di sekitar Kabupaten-kabupaten yang ada di pulau Lombok. Lokasilokasi yang mewakili daerah konflik adalah: 1. Konflik pernah terjadi dan berulang ; Karang Tapen
(Sasak/Islam), Karang Lede (Bali/Hindu), Kampung Petemon (Sasak/Islam), Karang Genteng
(Sasak/Islam). 2. Konflik pernah terjadi tapi tidak muncul lagi; Desa Kediri (Sasak/Islam), Desa Jagerage
(Bali/Hindu).3. Harmoni; Desa Lembuak, Narmada (Sasak/Islam-Bali/Hindu), Kampung Jawa, Praya,
Lombok Tengah dan sekitarnya (Sasak, Jawa dan Sumbawa/IslamBali/Hindu-Tionghoa/Kristen dan
Kong Hu Cu).
B. TEORI
KOMUNIKASI
RELASIONAL
SEBAGAI
LANDASAN
56[15] Ketherine Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New
York : McGraw Hill International Edition, 2005 ), Second Edition, h. 187.
Teori sistem adalah seperangkat hal-hal yang berhubungan satu sama lain dan
membentuk suatu keseluruhan. Pada bagian ini dapat dilihat pada dua jalur awal teori
yang merupakan benih dari studi komunikasi tentang hubungan, mulai dengan karya
klasik dari kelompok Palo Alto.57[16]
Lima Aksioma Dasar Tentang Komunikasi Menurut Kelompok Palo Alto
a) Aksioma Pertama, orang tidak bisa tidak berkomunikasi.
b) Aksioma Kedua, setiap percakapan -betapapun singkatnya- meliputi dua pesan- yaitu
pesan isi dan sebuah pesan hubungan-metakomunikasi (non-verbal).
c) Aksioma Ketiga, bahwa orang menggunakan kode-kode digital dan analog. Digital
komunikasi memiliki kekuatan penuh dan dapat dipahami melalui syintac bahasa yang
baik dan juga dapat disetujui. Contoh On-Of diungkap maupun tidak dapat dipahami
maksudnya sebagai kode untuk menghidupkan atau untuk mematikan sesuatu. Analog;
tidak memiliki kejelasan (non-verbal) tapi bisa dikomunikasikan dengan makna yang
banyak tentang hubungan itu. contoh gerakan tubuh (non-verbal) tapi bisa dimaknai
untuk mengexspresikan kesetujuan atau keikutsertaan atau emosional.
d) Aksioma Keempat, pengelompokan, artinya tahapan-tahapan interaksi seperti kata,
kalimat, tidak bisa dipahami sebagai rangkaian elemen-elemen yang terpisah, supaya
bisa diterima ia harus dikelompokkan dan pengelompokan ini umumnya merupakan
masalah persepsi pribadi.
e) Aksioma Kelima, komunikasi berhubungan dengan kecocokan atau pengaitan pesanpesan di dalam suatu interaksi, baik secara simetris (dua komunikator dalam suatu
hubungan yang berperilaku sama dan perbedaan-perbedaan diupayakan untuk
diminimalkan) maupun secara komplementer (perbedaan respon komunikator
dimaksimalkan).58[17]
a. Klasifikasi Teori Dialektik Relasional
Komunikasi relasional jika dilahat dari konsep operasionalnya dapat dijabarkan
sebagai komunikasi syiclic, dualistic, dualism dan totality.59[18] Dari penjabaran ini
dapat diklasifikasikan secara lebih mendetail menjadi dua bagian penting ; dialektik
internal dan eksternal.
a.i. Dialektik Internal
57[16] Kebanyakan teoritisasi hubungan mengakui pentingnya hasil karya Gregory Bateson, Paul
Watziawick, dan kolega-kolega mereka pada tahun-tahun awal dari studi komunikasi interpersonal. Para
pengikut awal Bateson dikenal dengan kelompok Palo Alto, karena mereka mendirikan dan bekerja di
Mental Research Institute yang berpangkal di Palo Alto, California. Pemikiran- pemikiran mereka paling
jelas diuraikan dalam Pragmatics of Human Communication. Dalam buku itu, Paul Watslawick, Janet
Beavin, dan Don Jackson mengemukakan sebuah analisis yang terkenal tentang komunikasi yang
didasarkan pada prinsip-prinsip Sistem. Sistem ada enam hal : Objek, Atribut, Interaksi, Lingkungan,
Equifinality, Cybernetic. (lihat Miller, Communication, h. 187 )
Berbicara tentang dialektik internal ada beberapa komponen teori yang termasuk
dalam bagian ini antara lain :
Dependency-indepedensi-Openness-privacy:Ketergantungan-kemandirianKeterbukaan-kerahasiaan.
Oppenness-closedness
dialectic/expression-non-expression
dialectic:
b. Dialektik Eksternal
Dialektik eksternal memiliki teori tersendiri yang meliputi :
59[18] Syiclic ; Perkembangan hubungan yang bergerak dalam lingkaran bolak balik. Dialictic ;
Ketegangan antara dua orang atau lebih dalam elemen yang bertentangan dari suatu sistem yang
menuntut setidaknya suatu penyelesaian sementara. Analisis Dealictic; melihat cara-cara sistem
berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam menanggapi kontradiksi dan bagaimana ia
melihat tindakan-tindakan strategis yang diambil oleh sistem untuk menyelesaikan kontradiksi.
Dualism ; Ketegangan (oposisi)dari dua hubungan kutub yang tidak bisa eksis bersama. Totality ; Konsep
totalitas; kembali kepada dugaan, perkiraan bahwa ketegangan/kontradiksi dalam hubungan merupakan
bagian yang menyatu dalam keseluruhan dan tidak bisa dipahami jika dipisah-pisahkan. Implikasinya
adalah dapat disepakati dengan cepat atau tidak bisa dipisahkan dari yang lain. (Lihat Miller,
Communicationh.198)
usaha/perjuangan
untuk
mereka
komfirmasikan/
menyesuaikan
C. TUAN
GURU
DAN
DAKWAH
TRANSFORMATIF
PERSPEKTIF
KOMUNIKASI RELASIONAL
1. Dakwah Sebagai Konsep Sistem Ala Alto Paolo.
61[20] Katherine Miller, Communication. h.199. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional
dapat dijabarkan sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang
selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam
ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan):
Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola
dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau
wilayah kegiatan. Balance : Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan
dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik
ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak terlalu lama diakui/disadari sebagai
perlawanan. Reaffirmation: Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam
memperkokoh dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. ( Miller, Ibid. h.135).
(164- )
tidak terbatas pada dakwah di mimbar (bil lisan) saja, tetapi mencakup dakwah bil hal
(yaitu dengan tindakan), bil hikmah (pendekatan keilmuan). Nabi menerangkan
pentingnya dakwah struktural tersebut, beliau bersabda:
-
Artinya, barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia
merubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak
mampu juga hendaklah ia merubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan
selemah-lemah iman.66[25]
Perubahan dengan tangan maksudnya adalah dengan struktural, dimana negara
dengan perangkatnya sangat mungkin untuk berperan sebagai pelaku dakwah (dai),
sedangkan dengan lisan maksudnya adalah dengan kultural, dan dengan hati
maksudnya adalah perubahan dan mobilitas sosial. 67[26]
2. Dakwah Mengedepankan Dialektik Internal Dan Eksternal.
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas komunikasi rasional atau
dakwah Tuan Guru dalam berbagai aspek, mulai dari aktivitas lembaga pesantren yang
dipimpinnya, sampai kepada metode, sistem, dan pendekatan dakwah yang
dilakukannya kepada masyarakat, karena Tuan Guru dalam hal ini bisa dikategorikan
sebagai pelopor perubahan sosial (agents of Change). Pelopor
perubahan penulis
maksudkan, tuan guru yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam salah
satu lembaga atau beberapa lembaga sosial. Orang seperti ini (tuan guru) mempelopori
jalan meninggalkan masa lampau menuju zaman baru, yakni menetapkan kaidah
sistem baru atau yang diperbaharui yang diikuti oleh para anggota masyarakat lainnya
berdasarkan otoritas sang pemimpin yang diakui.
Akses dari dakwah tuan guru dalam perubahan sosial titik tekannya pada
keseimbangan sosial, yaitu syarat yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat bisa
berfungsi sebagaimana mestinya, dalam pengertian bahwa keseimbangan sosial atau
66[25] Lihat Shahih Buhkari Muslim.
67[26] M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual; Peran dan Fungsinya Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Ummat (Jogjakarta: AK. Group, 2006). h. 145.
ekuilibrum sosial, merupakan suatu situasi di mana segenap lembaga sosial utama
berfungsi dan saling menunjang.68[27] Dalam keadaan seperti ini tiap warga
masyarakatbisa memperoleh ketentraman bathin karena tidak ada konflik norma dan
nilai dalam masyarakat.
Dakwah transformatif dilakukan dalam dua metode, yaitu metode refleksi dan
aksi. Daur refleksi dan aksi ini meniscayakan bahwa dakwah transformatif bukan
sekedar dalam level verbal seperti pengajian, majlis taklim, ceramah dialog di radio dan
televisi melainkan seorang dai harus menyentuh persoalan-persoalan riil yang menjadi
problema masyarakat, dimana tujuan esensi dari komunikasi itu tidak hanya pada
perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan
perilaku (behavioral change), tapi yang utama adalah terjadinya perubahan sosial
dalam segala aspek (social change).69[28]
Dalam
upaya
penerapan
komunikasi
relasional
dialektik
dapat
Dependency-indepedensi-Openness-privacy:
Ketergantungan-
kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
Tuan Guru dalam menjalankan misi dakwah harus mampu memiliki sifat
ketergantungan kepada mad'u yang menjadi sasaran dakwah, sebab tanpa memiliki
sifat ini dikhawatirkan Tuan Guru hanya sebatas memberikan materi dakwah yang
bersifat konvensional. Dengan demikian dilektik komunikasi keterbukaan dan
kemandirian akan mengarah kepada perubahan pada aspek materi dakwah, dari aspek
materi yang disampaikan harus ada perubahan, yaitu dari materi ubudiyah atau
ukhrawi ke materi dakwah yang bersifat sosial.
Dalam konteks ini, dai dituntut untuk memperluas masalah isu-isu sosial yang
terjadi dimasyarakat dan menjadi patologi sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
penindasan, pelanggaran HAM dan lainnya. Perubahan yang lainnya adalah materi
68[27]Selo Seomardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta : UGM Press), 1986, cet.
2, h. 306. Lihat juga redaksi aslinya, Selo Seomardjan, Social Changes in Jogjakarta, (Itacha
New York : Cornell University Press, 1962), h. 379.
69[28]Jumroni & Suhaimi, Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta : UIN Press),
2006 cet.1, h.6
dakwah eksklusif ke materi dakwah inklusif, dimana dai dituntut untuk menghilangkan
sifat memojokkan atau memusuhi non-muslim, karena kecendrungan selama ini, dai
sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan dengan agama lain. 70[29]
Kedua, Certainly-uncertainly dialectic : Dialektik pasti-tidak pasti ; level awal
interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan
keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
Teori dialektik ini menekankan pada aspek metodologi, harus dilakukan
perubahan dari monolog ke dialog. Sebab interaksi ini tidak akan berjalan oftimal
tanpa diawali dengan mengarahkan visi dari yang diajak bicara. Esensi dari teori ini
adalah menformat dialog antara komunikan dan komunikator sehingga ada kejelasan
visi dan isi dari kedua belah pihak.
Teori tersebut jika diterapkan kepada aspek dakwah, maka dakwah dengan
monolog sering melakukan indoktrinisasi kepada jamaah, padahal Islam juga
menganjurkan dialog yang mampu memberikan pencerahan dengan komunikasi
langsung dengan jamaah sehingga dai tahu masalah ummat yang sebenarnya. Dakwah
dengan pendekatan dialog akan memancing keaktifan jamaah untuk berpartisipasi
dalam perubahan sosial yang berdimensi religius. Jika hanya mengandalkan
pendekatan monolog, maka dakwah hanya mampu menghilangkan dahaga spiritual,
bukan melakukan perubahan pemahaman, sikap dan prilaku sosial.
Ketiga,
Affection-intrumentality
dialectic:
Dialektik
kesenanganinstrumentalitas ; suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai
teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.
Teori ini menekankan pada efektifitas komunikasi dalam membujuk komunikan
untuk bekerja sama dalam kesepakatan.
Relevansinya dengan berdakwah adalah menggunakan institusi yang bisa diajak
bersama dalam aksi. Dalam dakwah transformatif, institusi merupakan indikator
penting untuk memuluskan jalan perubahan. Kekuatan dakwah transformatif bukan
saja pada diri sang dai, tetapi juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga para
dai mempunyai bargaining position (posisi tawar) yang tinggi terhadap negara dan
masyarakat.
Keempat, Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah
ditandai
dengan
adanya
usaha/perjuangan
untuk
mereka
komfirmasikan/
Aplikasi teori ini dalam aspek dakwah Tuan Guru adalah ada wujud
keberpihakan pada kaum mustadafin (kaum lemah dan tertindas). Para dai, harus
melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya, seperti
kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan petani atau kasus
lainnya.
Dai melakukan pembimbingan dan pendampingan bahkan melakukan advokasi
dan pengorganisasian masyarakat terhadap kasus-kasus dan problema sosial
masyarakat.71[30]
Dakwah sangat terkait dengan perubahan sosial. Upaya dakwah seharusnya
diartikan sebagai suatu akitivitas yang membawa konsekuensi perubahan sosial yang
terencana, bukannya perubahan sosial yang terjadi begitu saja. Seorang da'i oleh
karenanya haruslah tahu apa yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial serta
dampak-dampaknya.72[31]
Kelima, Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi
dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing
hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari
hubungan ini dibuat sangat umum.73[32]
71[30]Mustafa Hamdi (editor), ibid., h.12. Dalam konteks inilah, Hasan al-Banna
mengilustrasikan bahwa seorang dai ibarat gardu listrik yang menyebarkan aliran listrik untuk
menerangi seluruh pelesok dan sudut kota. Oleh sebab itu tugas dan tanggung jawab dai adalah
menyampaikan sinar dan cahaya Islam tersebut ke segenap lapisan masyarakat. Lihat, Suf
Kasman, ibid., h. 127.
72[31]Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau
mencakup sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara sistem tertentu dalam jangka
waktu berlainan. Lebih lanjut, berbicara tentang perubahan kita membayangkan suatu yang
terjadi setelah jangka waktu tertentu, kita berurusan dengan perbedaan keadaan sistem dalam
jangka waktu tertentu. Untuk dapat menyatakan perbedaannya ciri-ciri awal unit analisis harus
diketahui dengan cermat, meski terus berubah, sehingga perubahan sosial adalah setiap
perubahan yang tak terulang lagi sistem sosial sebagai satu kesatuan. Lihat, Piotr Sztompa,
Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2007), Cet. 3.h. 3
73[32]Katherine Miller, Communication. h.135. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional
dapat dijabarkan sebagai: Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang
selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam
ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan):
Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola
dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau
wilayah kegiatan. Balance: Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan
dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik
Teori ini dapat diterapkan dalam dimensi saling keterikatan antara komunikan
dan komunikator pada aspek perubahan sosial yang diinginkan bersama. Titik tekannya
terlihat pada konsekwensi dari komunikasi yang dilakukan, baik komunikasi yang
mengarah pada eksistensi diri maupun kepada masyarakat secara umum.
Proses perubahan sosial yang dilakukan secara berencana dengan sasaran yang
jelas akan membawa perubahan yang intensif dan ekstensif serta menyentuh nilai-nilai
yang paling fundamental bagi umat Islam. Dakwah dalam hal ini dihadapkan dengan
serangkaian permasalahan yang harus dijawab secara simultan dalam kerangka yang
jelas. Di satu pihak dakwah Islam dipanggil untuk memberi rasa aman kepada
pemeluknya atas gejala keterasingan, goncangan psikologis, kepastian hukum,
ketidakmenentuan partisipasi politik, semakin hilangnya peran sejarah, lingkungan,
hidup semakin sumpek untuk bernafas, serta dihantui oleh situasi internasional yang
semakin tidak menentu dan mandulnya ilmu pengetahuan dalam mendatangkan
tatanan masyarakat yang adil dan makmur, di lain pihak dakwah Islam dihadapkan
dengan permasalahan untuk mencari solusi dari struktur yang semakin mencekam.
Perubahan
sosial
merupakan
segala
perubahan
pada
lembaga-lembaga
74[33]Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1999), edisi
Baru ke-4, cet.27 h. 388.
seperti kasus penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antar agama, dan problem
kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu, maka dai disamping sebagai ahli agama juga
harus mampu menjadi agen perubahan sosial.78[37]
D. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dakwah transformatif Tun Guru
berusaha melakukan misinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, lahir
dan bathin. Upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat ini dilakukan dengan
membawa mereka kepada kehidupan yang islami, dengan meningkatkan iman dan
taqwa serta kemampuan dalam penguasaan ilmu teknologi. Dengan keunggulan
jasmani dan ruhani ini, cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur serta sejahtera
lahir dan bathin dapat tercapai. Upaya dakwah transformatif ini, dengan begitu sesuai
dengan misi penyebaran Islam, yakni untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan
bagi dunia global (rahmatan lil alamin).79[38]
Dalam konteks seperti itu, dakwah transformatif sangat berpeluang dan harus
mengambil tanggung jawab dengan memegang peranan aktif. Dengan peran aktif Tuan
Guru dalam pengembangan dakwah, maka pembangunan manusia Indonesia akan
mendapatkan jaminan moralitas dan etika keagamaan sebagai landasannya. Jaminan
moralitas dan etika keagamaan ini akan memberikan arahan pembangunan manusia
Indonesia untuk melahirkan manusia yang unggul secara material dan spiritual.
Sebaliknya, tanpa peran aktif aktor dakwah dalam hal ini Tuan Guru atau yang seprofesi
dengannya, akan mengulangi pengalaman pahit dengan banyaknya penduduk, namun
memiliki kualitas yang sangat rendah dalam kedua aspek tersebut.
78[37]Dalam konteks inilah seorang dai harus berperan sebagai kekuatan perantara
(intermediary forces) bagi permasalahan sosial ummat, di samping tugasnya sebagai apa yang
disebut oleh Clifford Geertz sebagai peran makelar budaya (cultural broker) yang harus
menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Lebih
lengkapnya tentang peran dai sebagai kekuatan perantara, baca hasil penelitian Hiroko
Horikoshi di Garut, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
79[38] Q.S. al-Anbiya' : 107