Eksistensi Pondok Pesantren Di Lombok Nusa Tenggara Barat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 45

Fahrurrozi Dahlan

EKSISTENSI PONDOK PESANTREN DI LOMBOK NUSA TENGGARA


BARAT

Fahrurrozi1[1]
ABSTRAK
Sebagai institusi pendidikan formal tertua di Indonesia, pesantren memiliki
peranan penting dalam dinamika masyarakat Islam. Pesantren telah berperan
sebagai; 1) pusat transmisi ilmu-ilmu keislaman; 2)menjaga keberlansungan
tradisi Islam; dan 3) pusat reproduksi ulama. Lombok, sebuah pulau di propinsi
NTB yang dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid adalah sebuah wilayah
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kehadiran Islam sebagai agama
mayoritas di pulau Lombok tidak hanya ditandai dengan tingginya antusiasme
masyarakat dalam mendirikan tempat ibadah berupa masjid dan mushalla, tetapi
juga kehadiran banyak pondok pesantren. Tercatat tak kurang dari 300 pondok
pesantren yang tersebar di pulau kecil ini. Untuk itu, mengkaji keberadaan
pesantren dalam aspek peranannya di tengah-tengah masyarakat tidak pernah
usang untuk terus dikaji dan dianalisis.

A. PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial
kemasyarakatan telah memberikan warna dan corak khas dalam masyarakat
Indonesia, khususnya pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat sejak berabad-abad, oleh karena itu, secara kultural lembaga ini
telah diterima dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai
1[1] Penulis adalah Dosen IAIN Mataram NTB dan Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajihin
Nahdlatul Wathan Bagek Nyala Gunung Rajak Kec. Sakra Barat Lombok Timur NTB.E-mail :
[email protected]. CP: 081803669310

kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur


kyai (baca: Tuan Guru bahasa Sasak Lombok), santri serta seluruh perangkat
fisik dari sebuah pesantren membentuk sebuah kultur yang bersifat keagamaan
yang mengatur prilaku seseorang, pola hubungan dengan warga masyarakat.
Dalam keadaan demikian, produk pesantren lebih berfungsi sebagai faktor
integratif pada masyarakat dalam upaya menuju perkembangan pesantren.2[2]
Dalam pengamatan selama ini, lembaga pendidikan pesantren kelihatan
mengalami semacam kebangkitan setidaknya menemukan populiritas baru.
Secara kualitatif jumlah pesantren kelihatan meningkat berbagai pesantren baru
muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, Sumatra, tetapi juga Lombok Nusa
Tenggara Barat.3[3] Sementara itu perkembangan fisik bangunan pesantren juga
mengalami kemajuan yang sangat observable.
Banyak pesantren di berbagai tempat terutama Lombok, NTB mempunyai
gedung-gedung atau bangunan yang megah dan yang paling penting lagi sehat
2[2] Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe, dan akhiran an, berarti
'tempat tinggal santri (Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984), h. 18. Soegarda juga menjelaskan, pesantren berasal dari kata
santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian pesantren mempunyai arti
tempat orang berkumpul untuk mempelajari agama Islam, (Soegarda Purbakawatja,
Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1976), h. 223. Mamfred Ziemik menyebutkan
bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri an tempat santri. Santri atau murid
umumnya sangat berbeda-beda dalam mendapatkan pelajaran dari pimpinan pesantren
(Kyai/TGH) dan oleh para guru pelajaran mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan
Islam. (Mamfred Ziamek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Butce B. Soenjono, pent.,
(Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 18. Prof Johan berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti guru ngaji, sedangkan C. Cberg berpendapat istilah santri dalam bahasa
India berarti orang yang tahu buku-buku agama Hindu dan kata santri berasal dari kata
shastra berarti buku suci, buku-buku agama dan ilmu pengetahuan. (Zamakhsari Dhofier,
op.cit., h. 18)
3[3] Nusa Tenggara Barat yang dibatasi oleh Selat Lombok di sebelah Barat, Selat Sape di
sebelah Timur, Laut Jawa di sebelah Utara dan Samudra Indonesia di sebelah Selatan
(Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara Barat, (Jakarta:
Pemrakarsa). h. 6, dan wilayah NTB terdiri dari daerah Lombok yang meliputi daerah Kodya
Mataram,Kabupaten Lombok Barat, lombok Tengah, Lombok Timur, serta daerah Sumbawa
yang meliputi daerah Kabupaten Sumbawa Besar, Kabupaten Dompu, dan Kabupaten Bima.

dan kondusif sebagai tempat berlansungnya pendidikan yang baik. Dengan


demikian, citra yang pernah disandang pesantren sebagai kompleks bangunan
yang reot dan tidak higienis semakin pernah disandang pesantren seperti
ditemukan di atas, mengindikasikan terjadinya peningkatan kemampuan
swadaya dan swadaya masyarakat muslim sebagai hasil kemajuan ekonomi
yang dicapai kaum muslimin dalam pembangunan.
Pembahasan masalah ini, secara implisit menyarankan bahwa pesantren
perlu mengkaji ulang secara cermat dan hati-hati berbagai gagasan untuk
mengorientasikan pesantren pada tantangan kekinian sebab tidak mungkin
orientasi semacam itu akan menimbulkan implikasi negatif terhadap eksistensi
dan fungsi pondok pesantren itu sendiri. Harus dipahami bahwa dengan
menyatakan hal ini, tidak berarti pesantren harus tidak peduli sama sekali
terhadap perkembangan luar dunianya, sebaliknya dapat memproduksi calon
ulama yang berwawasan luas.
B. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Lombok NTB
Di pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat pesantren sedikit banyak
dipengaruhi oleh pesantren di pulau Jawa, sebab dalam sejarah perkembangan
Islam di Lombok diperkirakan pada abad ke-16 yang dibawa oleh Sunan Prapen,
putera Sunan Giri, salah seorang dari walisongo di Jawa. 4[4] Di mana
sebelumnya penduduk Lombok masih menganut faham Animisme.5[5] Pada
awalnya Islam masuk dengan melalui adat Hindu yang dibawa oleh para wali
4[4] Solichin Salam, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya, (Jakarta: Kuning
Mas, 1992), h. 4.
5[5] Animisme, dalam paham ini terkandung maksud bahwa semua benda bernyawa maupun
tidak layak memiliki roh. Faham ini berasal dari kata latin anime yang berarti jiwa sungguh
mereka bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif serupa ini telah percaya kepada roh, roh
itu bagi mereka bukanlah roh sebagaimana masyarakat primitif lainnya, mereka juga belum bisa
membedakan antara apa yang seharusnya disebut materi dan apa yang disebut roh (Baca
Nasution: Falsafah Agama, 1987: 26)

dari Jawa, dengan bahasa pengantar bahasa Jawa kuno. Hal ini terlihat dalam
kitab-kitab lontar dan silsilah raja-raja di Lombok yang ada hubungannya dengan
penyebaran agama Islam dari Jawa ke Indonesia bagian timur. Perkiraan
tersebut juga didasari oleh pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam
dibawa ke Lombok oleh Pangeran Sangepati.6[6]
Tentang kehadiran pesantren di Lombok pertama kalinya, dimana dan
siapa pendirinya, tidak dapat diperoleh keterangan yang pasti 7[7] tapi jika dilihat
dari perkembangan-perkembangan pesantren yang istilah bahasa lombok ngaji,
Gerbung dapat ditelusuri dari para tokoh Tuan Guru. Tuan Guru Lombok yang
6[6] Sangepati adalah seorang murid dari walisanga yang diakui sebagai peletak dasar pertama
agama Islam di pulau Jawa. Sangepati ditafsirkan dengan sange artinya sembilan pati
artinya empat hal tersebut mengisyaratkan bahwa Islam masuk ke pulau Lombok pada tahun
904 Hijriyah, bertepatan dengan tahu 1538 masehi. Sangepati sendiri menurut sebagian besar
pendapat bukan nama sebenarnya sebab dalam perjalanan selanjutnya ia bernama Sunan
Semeru dan dalam perjalan pulang ke Jawa melalui Bali ia memakai nama Pande Wau Rauh,
dan setelah sampai di jawa ia memakai Haji Duta (lihat, Harapandi, Pemikiran Pembaharuan
TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999), h. 10
7[7] Ada beberapa pendapat tentang peletak dasar agama Islam di Pulau Lombok
seperti Syekh Ali Fatwa yang berasal dari Bagdad. Beliau tinggal di dekat gunung Rinjani, dan
diperkirakan di daerah Sembalun. Diantaranya juga terungkap seseorang yang bernama
Petung Anunggul ia juga memakai naman Sunan Alelana yang berarti pengelana, namun
sebenarnya adalah Raden Mas Karta Jagat, nama lain juga diperkirakan sebagai peletak dasar
agama Islam di pulau Lombok adalah Raden Nor Pakel, dari dialah muncul tiga orang
pimpinan Islam di pulau Lombok yaitu: Penghulu kiyai Gading atau Guni Tepun, Guru Deriah
dan Guru Mas Mirah. Lebih lanjut dikatakan bahwa selain dari namanama tersebut di atas ada
beberapa nama yang juga terhitung sebagai peletak dasar Agama Islam di Pulau Lombok,
seperti Sunan Guru Makassar yang nama aslinya adalah Sangsurima Alam bersama-sama
dengan putrinya NI Demi Sukarren yang berasal dari Sulawesi. Disamping itu juga terdapat
agama Islam mereka berasal dari Sumatra yaitu; Jatisuara, Kiai Serimbang, Eman Beret.
(Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1979), h. 22-23. Sebagaimana juga telah dikutip oleh, Harapandi, Ibid, h. 8-9.

pernah mengembangkan dakwah Islam. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20
muncul tokoh-tokoh ulama (Tuan Guru) di Lombok seperti Tuan Guru H. Umar
kelayu, Lombok Timur, setelah bermukim di Makkah 10 tahun kemudian kembali
ke Lombok mengajarkan masalah-masalah aqidah dengan sistem ngamarin
(bahasa Sasak :

jalan ke pelosok-pelosok kampong) mengajarkan rukun

syahadat, rukun iman, rukun ihsan, dan tata cara thaharah, ini semua beliau
lakukan dengan cara ngamarin dan juga dengan cara ngaji tokol,(Sasak :
memberikan bimbingan agama dengan duduk bersila) di hadapan tuan guru,
ngaji tokol (istilah bahasa Sasak Lombok) ini biasa disebut oleh masyarakat
Lombok dengan istilah bekerbung, lalo mondok ngaji.
Tuan Guru yang melakukan hal yang sama pada awal-awal abad ke 20 itu,
antara lain, TGH. Musthafa Sekarbela, Lombok Barat, TGH. Amin Sesela, TGH.
Abdul Hamid, Kediri Lombok Barat, Tuan Guru H. Masud Kopang Lombok
Tengah, TGH. Ali Akbar Penendem, Lombok Timur. Para tokoh-tokoh tersebut
sangat gigih mendakwahkan Islam ke pelosok-pelosok kampung dan tidak
ketinggalan mengadakan pengajian di rumah masing-masing yang kebiasaan di
rumah tokoh-tokoh tersebut ada Beruga (langgar: Jawa), sekepat (langgar yang
punya tiang penyangga empat, sekenem (langgar yang punya tiang penyanggah
enam)8[8] di tempat-tempat inilah para santri mengaji mulai

dari mengaji

masalah agama dan lain-lain. Sistem pengajaran yang diterapkan oleh tuan
guru-tuan guru tersebut masih sangat sederhana dan tradisional, mengingat
kondisi saat itu masyarakat Lombok sangat terbelakang dan premitif. Sistem
seperti itu yang kemudian terkenal dengan sistem sorogan (Jawa).
Pada perkembangan selanjutnya, terjadi sedikit perubahan sistem
pengajaran pasca tuan guru-tuan guru periode awal (1889-1912) dan pada
periode 1920-1930 yang secara langsung dilanjutkan oleh penerus-penerusnya.
8[8]Istilah Beruga, Sekepat, Sekenan, memang sudah terkenal sejak zaman penjajahan Bali,
sebab miniatur Beruga dan sejenisnya dengan arsitek orang-orang Hindu dan biasanya tempat
ini digunakan untuk menjamu tamu, melihat kebiasaan masyarakat yang biasa duduk di Beruga
(langgar: Jawa), para tokoh tuan guru memberikan pengajian di tempat itu.

Seperti, Tuan Guru H. Badarul Islam, Pancor, Lombok Timur (putra TGH. Umar
Kelayu) TGH. Rais (Putera TGH. Musthafa) Sekarbela, TGH. Saleh dengan
sebutan Tuan Guru Lopan, TGH. M. Saleh Hambali Bengkel, Lombok Barat,
TGH. Abdul Hafizd Sulaiman, Kediri Lombok Barat, TGH.Mukhtar, Kediri Lombok
Barat. Perubahan yang signifikan pada periode ini adalah adanya sistem
pengajian melalui santren (musalla) yang didirikan di dekat rumah tuan guru.
Tapi materi pengajiannya tidak jauh beda dengan materi-materi yang
disampaikan oleh tuan guru terdahulu, Cuma ada perluasan pembahasan
terhadap materi-materi tauhid, usul fiqh dan mulai bersentuhan dengan
pengajaran gramatikal bahasa arab seperti nahwu, sharef.9[9]
Perkembangan pesantren mengalami perubahan sistem pada era 1930-an
perubahan sistem pesantren mulai dirintis pertama kali oleh tokoh kharismatik
TGKH M. Zainuddin Abdul Majid, yang mendirikan pesantren Darul Mujahidin
tahun 1934 M. namun setelah penduduk Jepang, pesantren tersebut dibubarkan
oleh penjajah Jepang. Meskipun secara formal pesantren tersebut telah
dibubarkan tapi dalam aplikasi dan penerapan pengajaran tetap dilaksanakan
oleh TGKH. Zainuddin Abdul Majid, sehingga selang beberapa tahun TGKH.
Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan
Diniyah Islamiyah (NWDI) 15 Jumadil Akhir 1356 H bertepatan dengan 22
Agustus 1935 M khusus untuk putra dan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah
Islamiyah (NBDI) 15 Rabiul Akhir 1364 H bertepatan dengan 21 April 1943 M
khusus untuk putri dan inilah madrasah pertama di daerah
menggunakan pengajaran sistem klasikal.10[10] Dari dua

Lombok yang
madrasah inilah

sebagai embrio berdirinya organisasi masyarakat terbesar di NTB yang bernama


organisasi Nahdlatul Wathan (NW) pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 M
9[9] TGH. M. Ruslan Zain Annahdly, Pimpinan Ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang,
Lotim, Wawancara Pribadi, Lombok, 21 Maret, 2007.
10[10] Abd Hayyi Numan dan Sahafari Aysari, Nahdlatul Wathan: Organisasi Pendidikan,
Sosial, dan Dakwah, Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1, h. 91

bertepatan dengan 1 Maret 1953 M dan sekaligus memiliki cabang di seluruh


daerah Lombok dan untuk mengkoordinasi pendidikan di lingkungan organisasi
didirikan pesantren Darunnahdlatain NW Pancor.11[11]
Secara priodenisasi dari tahun ketahun, TGKH M. Zainuddin Abd Majid
memberikan peranan penting dalam mencetak tokoh-tokoh pendiri pondok
pesantren di Lombok NTB sebagai berikut:
Murid-murid beliau pada angkatan pertama dari NWDI tahun 1934-1938-an
antara lain TGH. Muthi Musthafa pendiri pondok pesantren al-Mujahidin Manben
Lauq Lombok Timur, Ust Masud Kelayu, ABU Muminin,sedangkan angkatan
kedua sekitar tahun 1939-1945-an yang terkenal antara lain TGH. Najamudin
Mamun Pendiri pondok pesantren Darul Mujahidin Praya, Raden Tuan Sakra
Pendiri pondok pesantren Nurul Islam Sakra,Ust Yusi Muhsin dan angkatan
ketiga sekitar tahun 1946-1949-an TGH. Dahmuruddin Pengasuh ponoes
Darunnahdlatain Pancor, TGH. Saleh Yahya Kemudian disusul pada angkatan
berikutnya sekitar 1950-1955 Yaitu Syeikh M Adnan kini menjadi syeikh di
Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah al-Mukarramah dan bermukim di sana, TGH.
L.M Faishal Pendiri pondok pesantren Manhal al-Ulum, Praya, dan satu-satunya
murid beliau yang diberi tugas dan amanat untuk menjadi pemgurus Nahdlatul
Ulama (NU), sehingga NU masuk keLombok tidak terlepas dari peranan TGKH
M Zainiddin AM ,TGH. Zainal Abidin Ali, pendiri pondok pesantren Manbaul
Bayan Sakra Lombok Timur.12[12]
Adapun murid-murid angkatan kelima sekitar tahun 1955-1960-an terkenal pada
era ini adalah TGH. Afifuddin Adnan pendiri pondok pesantren al-Mukhtariyah
Manben, TGH. M. Zainuddin Mansyur,MA., TGH. ZAINI Pademare, TGH. Zainal
Abidin Ali Sakra, Pendiri ponpes Manbaul Bayan Sakra. Sedangkan angkatan
11[11] TGH.Mamud Yasin, Pimpinan Ponpes Islahal-Ummah Lendang Kekah, Mantang.
Wawancara Pribadi, Lombok, 22 Maret 2007
12[12] TGH. Zainal Abidin Ali, Dewan Pertimbangan FKSPP NTB/Pengasuh ponpes Manbaul
Bayan Sakra, Wawancara Pribadi, Sakra, 24 April 2007.

keenam sekitar tahun 1960-65-an TGH. L. M Yusuf Hasyim,Lc., pendiri ponpes


Dar al-Nahdhoh NW Korleko Lombok Timur, TGH. A.Syakaki, Pendiri ponpes
Islahul Muminin Kapek Lombok Barat,TGH. M.Salehuddin Ahmad, pendiri
ponpes Darusshalihin NW Kalijaga, TGH. Ahmad Muaz, pendiri ponpes Nurul
Yakin Praya, TGH. Juaini Mukhtar pendiri ponpes Nurul Haramain NW
Narmada, TGH. Musthafa Umar pendiri ponpes al-Aziziyah Kapek Pemenang
dan lain-lain.
Peningkatan pengembangan pondok pesantren banyak yang lahir dari angkatan
terakhir priodenisasi pengkaderan TGKH M Zainuddin Abd Majid dan sekaligus
kader-kader ini dijadikan sebagai asisten beliau dalam banyak kegiatan
keagamaan sekaligus sebagai penerus pasca meninggalnya syeikh Zainuddin
antara lain, TGH. Mustamiudin pendiri ponpes Suralaga, TGH. Habib Thanthawi,
pendiri ponpes Dar al-Habibi NW Bunut Baok Praya, TGH. Mahmud Yasin,
Pendiri ponpes Islahul Ummah NW Lendang Kekah Mantang, TGH. M.Ruslan
Zain An Nahdli pendiri ponpes Darul Kamal NW Kembang Kerang, Lombok
Timur, TGH. M. Zahid Syarif pendiri ponpes Hikmatussyarif NW Salut Narmada,
TGH. Tajuddin Ahmad pendiri ponpes Darunnajihin Bageknyale Rensing, TGH. L.
Anas Hasyri pendiri ponpes Darul Abror NW Gunung Raja Rensing, TGH.
M.Yusuf Mamun pendiri ponpes Birrul Walidain, TGH. M. Helmi Najamuddin
pendiri ponpes Raudlatutthalibin PaoMotong Masbagik, TGH. Khaeruddin
Ahmad, Lc., pendiri ponpes Unwanul Falah PaoLombok dan ratusan pondok
pesantren yang tersebar di pulau Lombok didirikan oleh alumnus-alumnus
pondok pesantern Darun Nahdlathain NW Pancor di bawah bimbingan TGKH M.
Zainuddin Abd Majid (w. thn 1997 M) dalam usia 102 tahun13[13]
Rintisan TGKH M.Zainuddin AM

dengan orientasi baru, muncul TGH.

Musthafa Khalidi dan TGH.Ibrahim Khalidi, dua bersaudara mendirikan Pondok


13[13] TGH. L.Anas Hasyri, Pengasuh ponpes Dar Al-Abror NW Gunung Raja, Wawancara
Pribadi, Rensing 13 Maret 2007 dan TGH. Tajuddin Ahmad, Pengasuh Ponpes Darunnajihin
Bagek Nyale, Wawancara Pribadi,15 Maret 2007

Pesantren Al-Islahuddiny Kediri Lombok Barat sekitar Tahun 1940-an, pesantren


inilah yang kemudian mengembangkan sistem kepesantrenan ke arah yang
tradisonal menuju sistem klasikal, seperti yang pertama kali dirintis oleh
TGH.M.Zainuddin AM Pancor Lombok Timur. Pondok pesantren ini merupakan
pesantren pertama yang mengadopsi sistem klasikal dalam pengajarannya di
kawasan Lombok Barat, baru disusul oleh pesantren-pesantren berikutnya,
seperti Nurul Hakim Kediri, dll.
Pada tahun berikutnya para tokoh tuan guru dimasing-masing daerah
termotivasi untuk mendirikan madrasah sistem klasikal, dapat dilihat dari
periodisasi tuan guru yang semasa dengan TGKH. M. Zainuddin seperti TGH.
Ibrahim mendirikan pondok pesantren Islahuddin Kediri, TGH. Abdul Karim
mendirikan

pondok pesantren Nurul Hakim, Kediri, TGH. L. Abd Hafiz

mendirikan pondok pesantren Selaparang, Kediri, TGH. Ibrahim Lomban Lombok


Tengah, TGH. Moh. Mutawalli, Jerowaru Lombok Timur mendirikan pondok
pesantren Darul Yatama wal Masakin.
Pada awal tahun 1970-an pondok pesantren di Lombok NTB mengalami
peningkatan yang signifikan baik dari segi kuantitas dan kualitas, segi kuantitas
maksudnya bertambah banyaknya pondok pesantren, pondok pesantren yang di
dirintis dan dibangun oleh para penerus tokoh-tokoh tuan guru periode awal dan
kedua, seperti pesantren Darul Muhajirin, Praya, Lombok Tengah, didirikan oleh
TGH. Najmuddin Mamun, Manhalul Ulum, Praya didirikan oleh TGH.L.M.
Faishal, Manbaul Bayan Sakra Lombok Timur didirikan oleh TGH. Zaenal Abidin
Ali. Semua pondok pesantren yang ada di Lombok merupakan hasil didikan
para tokoh-tokoh tuan guru periode awal dan kedua. Adapun segi kualitas dapat
dilihat dari segi pengembangan pondok pesantren dengan sistem pendidikan
yang berjenjang dari tingkat dasar (madrasah ibtidaiyah), tingkat menengah
(MTs) dan tingkat Aliyah (Aliyah/SMU). Bahkan ada yang mengelola perguruan
tinggi dan

rata-rata semua pondok pesantren mengelola jenjang pendidikan

formal disamping informal. Sedangkan pondok pesantren yang mengelola

pendidikan jenjang perguruan tinggi seperti, Pondok pesantren Darunnahdatain


Pancor mengelola IAIH NW Lombok Timur,STKIP. Pondok pesantren

Syekh

Zainuddin Anjani mengelola IAIH NW Lombok Timur, Universitas NW


Mataram,STMIK NW, Pondok Pesantren Nurul Hakim mengelola Universitas
Tuan guru Abdul Karim (UNTAK) Kediri, STIT, pondok pesantren Qomarul Huda,
mengelola IAI Ibrahimy, STIKES.14[14] Dengan pengembangan seperti ini
menandakan adanya perubahan sistem pesantren yang dulunya masih
mengenal istilah Gerbung, Ngaji Tokol, berubah menjadi pesantren formal sesuai
dengan perkembangan zaman namun tetap melestarikan tradisi-tradisi yang baik
dan relevan.

C. Tipologi Pondok Pesantren di Lombok NTB


Mengidentifikasi perkembangan tipologi pondok pesantren yang jumlahnya
ratusan dan tersebar luas hampir di setiap pelosok daerah Nusa Tenggara Barat
merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Dalam pola yang lamapun terdapat
berbagai macam tipologi, seperti sistem Gerbung15[15], sistem Ngabdi16[16],
sistem Langgar17[17] dan lain-lain. Sistem ini berbeda karena perbedaan sistem
14[14] Mardin Abdul Malik, Drs. H., Ketua Umum FKSPP Lombok Timur, Wawancara Pribadi,
Lombok, 26 Maret 2007
15[15] Sistem Gerbung: santri yang menyantri di rumah Tuan Guru/kiyai dengan membawa
peralatan tempat tinggal dari rumah santri, kemudian didirikan didekat rumah Tuan Guru/Kiyai
dengan bangunan seadanya. Sistem gerbung ini biasa dilakukan oleh para santri tahun 1925an.
16[16] Sistem Ngabdi: cara ini dilakukan dengan tinggal di rumah Kyai/Tuan Guru semata-mata
mengabdi dan melayani Kiyai/Tuan Guru dalam kehidupan sehari-harinya, seperti memijatnya,
mencuci pakaiannya dan lain-lain dengan mengharap barokah dari Kiyai/Tuan Guru.
17[17] Sistem Langgar: santri mendapatkan pengajian/ilmu dari tuan guru di langgar tempat
tuan guru istirahat, duduk dan terkadang dijadikan sebagai tempat shalat, tempat anak-anak
mengaji al-Quran.

kemasyarakatan

daerah

masing-masing.

Begitu

juga

ada

yang

dapat

dikategorikan pesantren tarekat.18[18] Ada pula pesantren yang terkenal dengan


pengajaran Nahwu dan Sharaf19[19] atau mengutamakan pendalaman fiqh,
tasawuf dan lain-lain. Dengan demikian pada dasarnya tipologi pondok
pesantren di NTB sangat dipengaruhi oleh tipologi pemimpin-pemimpinnya (TG),
para pendukungnya, maupun sistem kemasyarakatan di sekeliling pondok
pesantren tersebut.
Di samping itu, dilihat dari sudut tinggi rendahnya pendidikan dan pengajaran,
pondok pesantren di NTB dapat dikelompokkan ke dalam pesantren tingkat
dasar, menengah dan tinggi. Pengelompokan ini sejajar dengan medan
pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing pesantren sehingga menurut ukuran
pengaruhnya dalam masyarakat tersebut pesantren-pesantren yang ada dapat
dikelompokkan ke dalam pesantren kecil, cakupan atau pesantren besar.
Tipologi pondok pesantren mau tidak mau harus selaras dengan tipologi
para

pemimpin

dan

pendukungnya.

Demikian

pula

kecenderungan

perkembangannya. Dulu sewaktu para pemimpin dan pendukungnya relatif lebih


homogen, maka pondok pesantren boleh dikatakan hanya mempunyai satu tipe,
tidak banyak memiliki perbedaan. 20[20] Hal ini disebabkan selain karena tuntutan
masyarakat terhadap isi pendidikan dalam lingkungan pesantren tidak banyak

18[18] Tipologi pesantren yang mensfesifikasikan dalam kajian tarekat yang lebih terkenal
dengan pesantren tarekat seperti ponpes Yadama asuhan TGH. Mutawalli Jerowaru Lombok
Timur.
19[19] Pesantren yang lebih berorientasi pada pendalaman ilmu nahwu dan sharaf seperti
pesantren Nahdhatul Wathan khususnya ponpes Darun Nahdhathain secara umum, pesantren
Arraisiyah Sekarbela, pesantren Ibrahim di Lombok Tengah, pesantren Ishlahuddin Kediri,
pesantren Yusuf Abdussattar, Kediri.
20[20] Tipe pesantren yang berorientasi pada pendalaman fiqh seperti pondok pesantren
Selaparang-Kediri yang terkenal dengan tokoh ahli fiqh, yaitu TGH. L. Abd Hafizh Sulaiman,
juga pondok pesanten Manbaul Ulum, Pimpinan TGH. Zainal Abidin Ali, Sakra Lotim.

dan masih sangat sederhana juga disebabkan karena pemimpin yang hampir
sama.
Kini, masyarakat pendukung pondok pesantren sudah banyak berubah, sehingga
banyak memiliki tuntutan terhadap isi pendidikan pesantren yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan kelompok-kelompok yang
semakin beranekaragam aspirasi dan tuntutannya. Di samping itu aspirasi dan
latar belakang pendidikan dan sosial para pemimpin pesantren yang
dikembangkannya juga semakin berwarna-warni.21[21]
Tumbuhnya berbagai tipologi pondok pesantren di Lombok Nusa Tenggara Barat
pada dewasa ini merupakan manifestasi dari vitalitas lembaga untuk tetap
berkembang di tengah masyarakat dan bangsa yang sedang mengalami
perubahan yang luar biasa. Namun demikian, tidak semua tipe pendidikan
pesantren yang masing-masing mangikuti kecenderungan yang berbeda-beda.
Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren di Lombok, NTB dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok besar:
1. Pesantren Salafi, yang tetap mempertahankan pengajian kitab-kitab Islam klasik
sebagai

inti

pendidikan

pesantren/sistem

madrasah

diterapkan

untuk

memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian


lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum22[22].
2.

Pesantren Khalafi, yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam


madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe-tipe sekolah
umum dalam lingkungan pesantren23[23].
21[21] Pendidikan para pemimpin pondok pesantren di Lombok kebanyakan alumnus Timur
Tengah seperti Madrasah Assaulatiyah, Madrasah Darul Ulum, Makkah Madrasah Ummul Quro,
Makkah dan informal di Masjid al-Haram, begitu juga dari al-Azhar Cairo, Libia, Madinah dan
rata-rata pendidikan para pemimpin pondok pesantren adalah setingkat madrasah Aliyah.
22[22] Lihat buku Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I
h. 79, pada bab IV, Pertumbuhan Madrasah di Indonesia, sebagai perbandingan.
23[23] Lihat Tabel kitab-kitab yang populer dipelajari di Pondok Pesantren (terlampir).

Perlu ditegaskan di sini bahwa tipologi dari kecenderungan perkembangan


pesantren ke dalam tipe salafi dan khalafi tidaklah bersifat dikotomis dalam
pengertian bahwa antara keduanya tidak terjadi loncatan-loncatan dimana santri
dari tipe pesantren salafi yang telah menamatkan pelajarannya kemudian
mengajar atau menyantri pada pesantren khalafi. Sebaliknya para santri dari
pesantren khalafi yang memerlukan pendalaman dalam pengajian kitab-kitab
seringkali menetap pada pesantren salafi dalam waktu yang cukup lama.24[24]
Hal yang cukup menarik perhatian ialah adanya tipe pesantren salafi yang
membuka cabang-cabang pengajaran keilmuan material-profesional, tetapi
tempat pengajaran tersebut didirikan di luar komplek pesantren, atau karena
kelompok pondok tersebut berada di wilayah pinggiran perkotaan yang tersedia
fasilitas pendidikan formal dan modern yang cukup luas, para santri
dipersilahkan atau dianjurkan untuk merangkap belajar pada sekolah-sekolah
formal dan modern yang cukup luas, para santri dipersilahkan atau dianjurkan
untuk merangkap belajar pada sekolah-sekolah formal, sedang di dalam
lingkungan komplek pesantren para santrinya khusus belajar kitab-kitab Islam
klasik.
Dalam proses perkembangan dalam jangka panjang, tipe pesantren salafi
akan semakin kurang jumlahnya, tetapi peranannya justru akan tetap menonjol,
khususnya memusatkan pendalaman pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang
diikuti oleh sejumlah santri yang terbatas justru akan menjadi investasi yang
langka

dan

mahal

dimana

para

lulusannya

akan

merupakan

sumber

pengetahuan Islam bagi kalangan intelektual di masa mendatang. Tentu saja ciricirinya akan berbeda dengan ciri yang dimilikinya sekarang. Tipe-tipe pesantren
takhassus semacam ini nampaknya sudah mulai dikembangkan oleh beberapa
pesantrendi Lombok NTB.25[25]

24[24] Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1. h. 70

Dalam

kelompok

pesantren

khalafi

(modern)

yang

sekarang

ini

berkembang, dapat digolongkan ke dalam tiga tipe besar, yaitu yang masih
terbatas menambah pengajaran profesional dalam bentuk latihan keterampilan.
Karena pendidikan keterampilan sudah merupakan bagian penting dalam
keseluruhan

tujuan

pendidikan

pesantren,

maka

pesantren

ini

dapat

dikategorikan sebagai pesantren modern (Khalafi).


Kelompok kedua adalah pesantren yang sudah mengembangkan lembagalembaga madrasah, di mana komponen pendidikan umum telah merupakan
bagian penting dalam keseluruhan sistem pendidikan pesantren. Tujuan
pengembangan madrasah ini masih terbatas pada kebutuhan agar para
muridnya kelak dapat menentukan pilihan pengembangan karirnya secara lebih
baik dalam kehidupan modern, tetapi tetap diharapkan menjadi orang yang dapat
mendalami dan penganjur Islam yang potensial.26[26]
Kelompok ketiga adalah pesantren-pesantren yang telah mendirikan
sekolah-sekolah

umum.

Tujuan

yang

hendak

dicapai

melalui

program

pengembangan sekolah umum ini tentunya udah lebih luas lagi daripada
pesantren khalafi kelompok kedua, yaitu mempersiapkan anak didik yang kelak
sanggup melanjutkan ke Universitas umum dengan bobot keislaman yang cukup
memadai sehingga bila kelak menjadi sarjana, mereka akan menjadi sarjana
muslim yang cukup kuat keislamannya.27[27]
Dalam perkembangannya dalam jangka panjang, ketiga tipe pesantren khalafi
tersebut akan semakin besar jumlahnya, karena selain pesantren tipe seperti itu
25[25] Pesantren Nahdlatul Wathan, Mendirikan Mahad Darul Quran Wa al-Hadits al-Majidiyah
al-Syaffiiyah, sebagai lembaga yang khusus mengkaji kitab kuning. Kemudian ponpes
Islahuddin Kediri mendirikan Mahad Aly al-Islahuddiny dan Pondok Pesantren Nurul Hakim
Kediri mendirikan Mahad Ali al-Salafi.
26[26] Pola ini telah dikembangkan oleh pondok pesantren Nurul Haromain NW Narmada
dengan mengembangkan sistem komputerisasi dan penggunaan Bahasa Arab dan Inggris di
dalam Asrama, dan pengajaran bahasa Inggris melalui pengiriman santri ke Pare Kediri Jawa
Timur tiap semester untuk mempelajari Bahasa Inggris secara intensif.

dianggap dapat memenuhi kebutuhan kontemporer bagi generasi muda dan


yang menarik dari tipe pesantren khalafi seperti yang telah diuraikan di atas
adalah adanya kecenderungan untuk memperluas bangunan-bangunan fisik
sebagai penunjang sistem klasikalnya di luar maupun di dalam kelompok
pesantren.

D. Kondisi Objektif Pondok Pesantren Di Lombok


Keberadaan pesantren di Lombok merupakan fenomena yang menarik. Di
pulau yang terkenal dengan sebutan pulau seribu masjid ini berdiri dan
berkembang lebih dari 300 buah pondok pesantren.28[28] Jumlah ini lima kali
lipat dari jumlah pesantren yang berada di pulau Sumbawa, pulau yang secara
geografis lebih besar dibandingkan pulau Lombok. Banyaknya jumlah pesantren
di Lombok menunjukkan pola hubungan yang saling terkait antara peran tokoh
27[27] Pengiriman santri yang berprestasi selalu dilaksanakan oelh pesantren-pesantren besar,
seperti pesantren Nahdlatul Wathan, mengirim santri belajar ke tanah suci Makkah di Madrasah
Assaulatiyyah, Madrasah Darul Ulum, Ummul Qura dengan tujuan sekembalinya dari tanah suci
diharapkan menjadi tenaga pengajar di pondok pesantren NW. begitu juga pondok pesantren
Nurul Hakim mengirim santrinya ke LIPIA Jakarta, Universitas Madinah, Jamiah Islamiyah
Madinah, Mesir, Yordan dan negara Timur Tengah lainnya, sehingga dapat dilihat prestasi
pondok pesantren yang tetap mengadakan kaderisasi dalam bidang pendidikan sangat baik dan
bermutu.
28[28] Sumber Data Emis Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab.
Lombok Barat 72 Ponpes Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab.
Sumbawa 16 Ponpes Kab. Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes. Dalam data 2005 Kanwil Depag
NTB, Lombok Barat dengan Jumlah Masjid 829, Lombok Tengah 1229 masjid, Lombok Timur,
1.574 masjid, kota Mataram, 225 masjid. John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok
dicap sebagai ''sebuah pulau dengan 1000 masjid'' yang mungkin meremehkan keberadaan sejumlah
masjid kecil di pulau tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah
tempat Islam diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku
dan bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di Negara ini. Lengkapnya
baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and Tradition in an
Indonesian Kampung, 1999, Cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya, Alif Lam Mim : Kearifan
Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1, h. 86

agama dam hal ini Tuan Guru, keinginan menjaga tradisi kebreagamaan dan
kebutuhan akan terus lahirnya Ulama di kalangan masyarakat.29[29]
Selain menampilkan kategori pondok seperti mukim dan tidak mukim,
keberadaan pondok pesantren di Lombok juga agak berbeda dengan apa yang
terjadi di daerah lain seperti Jawa. Jika di pulau Jawa sebagian besar pesantren
berupa pesantren salafiyah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama secara
tradisional, di Lombok sebagian besar pondok pesantren memakai pola
madrasah atau sekolah. Hampir semua pesantren di Lombok menyelenggarakan
kegiatan pendidikan mdel sekolah. Berbagai jenjang pendidikan seperti
madrasah dan sekolah umum diselenggarakan oleh pesantren. Sulit ditemukan
adanya pesantren salaf murni di Lombok.
Kemunculan pesantren di Lombok dengan sendirinya juga menyebabkan
banyaknya jumlah madrasah di wilayah ini. Jadi, jika berbicara soal pesantren,
maka untuk konteks Lombok, tidak bisa dilepaskan dengan persoalan madrasah.
Hal ini sekali lagi semakin meneguhkan hubungan antara pesantren, masjid,
madrasah dan tuan guru.
Hanya saja, besarnya jumlah pesantren dan madrasah tersebut, belum
berdampak

pada

keseluruhan

aspek

kehidupan

masyarakat

Lombok.

Keberadaannya hanya menyentuh pada aspek kehidupan beragama dan belum


mengarah kepada perbaikan dan peningkatan aspek lain seperti ekonomi, politik,
dan bahkan budaya. Nuansa religiusitas masyarakat tinggi belum berimbas pada
perbaikan ranah yang lain. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa kasus
terakhir yang terjadi di daerah ini seperti rendahnya kualitas pendidikan jika
diukur secara nasional, rendahnya tingkat kesehatan masyarakat dan rendahnya
daya beli masyarakat. Semua ini menunjukkan bahwa pesantren, madrasah, dan
masjid belum banyak berperan melakukan perbaikan pada aspek-aspek
29[29] Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang Aktifitas Dakwah bi
al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh, Fakultas Dakwah IAIN Mataram, Vol. 4,
Nomor 1, Desember 2006, h. 105.

kehidupan lain di luar kehidupan beragama. Meskipun, tentu saja bukan hanya
pesantren yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi tersebut, tetapi
paling tidak pesantren dapat mengambil peran-peran mediasi, atau advokasi
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.30[30]
Memang banyak pesantren di Lombok telah berhasil mengembangkan
kegiatan tambahan berupa peningkatan ekonomi dan kesejahteraan hidup.
Dalam satu dasawarsa terakhir banyak pesantren yang memiliki jenis usaha
semisal koperasi, agrobisnis, peternakan, pertanian, dan lain-lain. Untuk
menyebut beberapa di antaranya misalnya yayasan pesantren Darunnahdlatain
NW Pancor Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Syeikh Zainuddin NW
Anjani Lombok Timur, Yayasan Pondok Pesantren Atthohiriyah al-Fadhliyyah
Bodak, Lombok Tengah, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Haramain NW
Narmada Lombok Barat, Yayasan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok
Barat, Pondok Pesantren Ishlahuddiniy Kediri Lombok Barat. Pesantrenpesantren tersebut, secara akif mengembangkan usaha-usaha yang menjadi
andalan masing-masing dalam upaya meningkatkan kapasitas dan kemajuan
pondok pesantren.
Hanya saja, semua cerita sukses pesantren-pesantren tersebut belum bisa
sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat sekitar pesantren secara luas. Belum
banyak anggota masyarakat di sekitar pesantren memiliki akses untuk bersamasama terlibat dalam berbagai unit usaha pesantren. Kegiatan-kegiatan tersebut
pada umumnya dikerjakan dan dikelola para pengurus pesantren yang nota bene
keluarga dan kerabat dekat Tuan Guru. Jika ada beberapa kegiatan yang
dikelola bersama dengan masyarakat, umumnya keterlibatan itu hany bersifat
komplementer. Masyarakat tidak terlibat sejak awal secara partisipatif. Ide dasar
kegiatan biasanya berasal dari Tuan Guru. Selanjutnya Tuan Guru lah -dengan
kharismadan ketokohannya- yang berusaha mecari sumber pendanaan hingga
30[30] Suprapto, Pesantren..h.106

jaringan pemasaran produk. Dengan demikian akses atas sumber-sumber


informasi dan perubahan sosial tetap dimiliki elit pesantren. Masyarakat tetap
saja menjadi pihak ke sekian dalam proses transformasi sosial. Masyarakat
belum

menjadi

pemain

pertama

dalam

pemberdayaan

masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat mengadaikan adanya partisipasi lansung dari semua


elemen masyarakat. Pesantren diandaikan sebatas menjadi fasilitator bukan
subyek atau actor tunggal. Dengan demikian gagasan, inovasi, tanggungjawab
dapat muncul lansung dari masyarakat secara kreatif dan partisipatif.31[31]

E. Problematika Pondok Pesantren di Lombok NTB


Secara general, dapat dikategorikan beberapa problematika pondok
pesantren di Indonesia, khususnya di Lombok NTB sebagai berikut.
a. Problematika Psikologis
Kemungkinan

terlaksananya

suatu

usaha

pengembangan

dan

pembaharuan di kalangan pesantren adalah lebih banyak tergantung pada


kerelaan dan kesediaan para Tuan Guru (TG) untuk melakukan perubahan dan
inovasi pembaharuan. Hal ini menimbulkan kemungkinan ganda yaitu usaha
pembaharuan tersebut akan macet dan gagal atau bahkan tidak menyentuh
sama sekali apabila para tuan guru yang bersangkutan tidak menghendakinya.
Sebaliknya usaha pengembangan dan pembaharuan tersebut akan mudah
dilakukan, apabila tuan guru tersebut menghendaki atau memberikan restunya.
Dengan demikian, terlihat bahwa faktor komunikasi dan approach sesungguhnya
menempati posisi kunci dalam proses implementasi dari usaha pembaharuan
pesantren, terutama dalam hubungan bahwa ide pembaharuan tersebut berasal
dari luar pesantren yang bersangkutan. Ketertutupan para Tuan Guru/Kiyai dan
pesantren adalah faktor kunci sebagai akibat dari orientasi ke akhiratan yang

31[31] Suprapto, Pesantren, h. 106-197

terlalu berat. Lain halnya apabila ide tersebut berasal dari kyai atau kalangan
pemimpin pesantren yang bersangkutan.32[32]
b. Problematika Politis
Seyogyanya dalam usaha pengembangan dan pembaharuan pendidikan
pondok pesantren, pendekatan dan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
politis tidak boleh terlalu ditonjolkan, tetapi usaha-usaha pengembangan dan
pembaharuan yang dilaksanakan dalam bidang ini sejauh mungkin harus bersifat
dan dirasakan sebagai netral walaupun sesungguhnya program yang
dijalankan oleh lembaga apapun tak akan lepas dari implikasi politik selama hal
itu menyangkut perubahan-perubahan sosial.33[33]
c. Problematika Paedagogis
Selanjutnya, hambatan lain yang sering dijumpai adalah problematika
yang bersifat paedagogis, khususnya dalam hubungannya dengan usaha
pengembangan dan pembaharuan kurikulum. Untuk mengintegrasikan pelajaranpelajaran keterampilan ke dalam struktur pengajaran yang dimiliki oleh pesantren
secara menyeluruh ternyata bukan suatu hal yang mudah. Tercantumnya matamata pelajaran keterampilan dalam kurikulum pendidikan pesantren belum
menjamin timbulnya keserasian dengan mata-mata pelajaran lain. Hal ini karena
pelajaran-pelajaran keterampilan ini masih kurang menimbulkan rasa kewajiban
bersama untuk mencapai sasaran konkrit baik materil maupun ideal yang cukup
mantap yang perlu dikerjakan berpayah-payah. Untuk mengatasi hal ini, maka
yang perlu ditempuh adalah usaha menumbuhkan motivasi kerja produktif yang
disemangati ajaran-ajaran agama secara merata dan intensif. Di samping itu,
32[32] Zainal Arifin Thoha, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan Kekuasaan,
Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren sebagai pendidikan Alternatif, (Yogyakarta:
Kutub, 2007), Cet. II, h. 35-37
33[33] Nurkholis Majid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab II Pesantren
Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta: Paramadina, 1997), cet. I. h. 7384, (sebagai kajian).

memang perlu juga dipikirkan bagaimana menimbulkan kerangka pemikiran


tertentu (frame of mind) di kalangan pesantren.34[34]
d. Problematika Pembiayaan
Problem lain, yang juga sering menjadi hambatan dalam usaha pengembangan
dan pembaharuan pesantren adalah masalah pembiayaan. Dahulu pesantren
didukung oleh tanah wakaf dan subsidi masyarakat dalam soal-soal yang
berhubungan dengan pembiayaan. Hal semacam itu, pada masa dahulu
merupakan satu kebiasaan sosial karena itu tidak dilembagakan. Sekarang ini
etik sosial semacam itu sudah sulit untuk dikembangkan terutama dalam
hubungannya

dengan

program-program

keterampilan

yang

memerlukan

pembiayaan besar. Lebih-lebih mengingat kemampuan ekonomi masyarakat


pedesaan yang mendukung pesantren pada umumnya adalah dalam kondisi
lemah.35[35]
e. Problematika Kepemimpinan (Leadership)
Permasalahan yang sering terjadi pada pondok pesantren adalah masalah
kepemimpinan sebab pola kepemimpinan dalam pesantren itu tidak terlepas dari
tiga cara pandang yang berbeda.
Pertama, kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang
melekat dalam diri individu atau orang perorang. Hal ini berarti aspek tertentu
dari seseorang tidak memberikan sesuatu penampilan berkuasa dan
menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai suatu yang harus
diakui. Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat bimbingan

34[34] A. Malik Fadjar, Madrasah Dan Tantangan Modernitas, dalam Bab Tantangan dan
prospek Madarasah, (kasus madrasah ibtidaiyah), h. 34 sebagai bahan perbandingan
35[35] Pradjarta Dirdjosanjoto, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar di Jawa, Pada
Bab 7: Pesantren: Lembaga Pendidikan dan Pusat Ortodok Islam pada HAM, Sumber Ekonomi
dan Kehidupan sehari-hari di Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I, h. 151-154, sebagai
perbandingan dalam menganalisa

wahyu, memiliki kualitas yang sakral dan menghimpun massa dari masyarakat
kebanyakan.36[36]
Kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa itu disebut
kepemimpinan karisma atau charismatic autority.37[37] Kepemimpinan jenis ini
didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain.
Kedua, kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu,
melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang oleh individu. Menurut Max
Weber, kekuasaan yang bersandar pada tata aturan disebut legal authority38[38]
artinya atoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggung jawab
pemimpin dalam mengandalkan organisasi tidak ditentukan penampilan
kepribadian dan individu melainkan dari prosedur aturan yang telah di sepakati.
Unsur-unsur emosional di kesampingkan dan diganti unsur rasional.
Pondok pesantren, dalam hal ini amat sangat terkesan dengan
kepemimpinan

kharismatik

dan

tradisional

yang

biasanya

Max

Weber

menggunakan istilah authority: charismatic autority, legal authority dan traditional


authority.39[39] Sehingga struktur masyarakat tradisional seperti pondok
pesantren akhirnya memiliki gambaran kepemimpinan dengan gaya paternalistik
baik dalam fungsi kepemimpinan maupun dalam corak masyarakatnya.
Masyarakat yang bercorak demikian, disebabkan oleh faktor-faktor seperti
kuatnya ikatan primordial, kehidupan masyarakat yang kumulalistik,

peranan

36[36] Franklin S. Haiman, Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin Company,
1951), h. 19.
37[37] Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Free
Press 1966), h. 358.
38[38] Ibid, h. 328.
39[39] Max Weber, Economy and Society, 1, (London: University of California Press, Berkeley,
Los Angeles 1978), h. 217.

adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan sehari-hari dan kokohnya
hubungan pribadi yang lazim antara anggota kumunitas dengan kumunitas yang
lainnya serta adanya Extended Family System.40[40]
Pada tahap-tahap pertama berkembangnya sebuah pesantren memang
diperlukan kepemimpinan dengan sifat-sifat sedemikian itu, tetapi pada tahaptahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkannya.
Pertama, munculnya ketidakpastian dalam perkembangan pesantren yang
bersangkutan, karena semua hal bergantung kepada keputusan pribadi sang
pemimpin. Seringkali proses pengembangan yang direncanakan dengan sadar
harus terhenti tanpa dapat diselesaikan dengan tuntas, hanya karena
kepemimpinan yang ada kekurangan stamina untuk melanjutkannya, atau
sebab-sebab lain yang bersifat pribadi.
Kedua, sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk calon
pengganti yang kreatif) untuk mencoba menerapkan pola-pola pengembangan
yang sekiranya tidak diterima oleh kepemimpinan yang ada. Termasuk dalam
kesulitan ini adalah sukarnya membuat perkiraan tentang tanggapan yang akan
diberikan oleh sang pemimpin atas suatu usulan apakah tanggapan itu bersifat
negatif atau positif.
Kesulitan

seperti

ini

menstimulus

mereka

untuk

merencanakan

pengembangan pola-pola baru. Salah satu bentuk kesulitan ini adalah watak fasif
yang

dimiliki pesantren dalam pengembangan dirinya, sehingga menunggu

ajakan dari luar saja. Itupun terkadang dilakukan tanpa pengertian penuh akan
maksud baik dan tujuan ajakan dari luar itu.
Ketiga, pola pengantar kepemimpinan berlangsung secara tiba-tiba dan
tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai oleh sebab-sebab alami,
seperti meninggalnya sang pemimpin secara tiba-tiba. Pola pergantian pimpinan
yang berlangsung secara demikian itu seringkali membawa perbedaan pendapat
40[40] Sumamto, op.cit., h. 3

dan saling berlawanan di antara calon-calon pengganti. Upaya untuk mengganti


perbedaan pendapat seringkali mengambil waktu sangat panjang yaitu hingga
tegaknya kepemimpinan karismatis yang baru.
Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat-tingkat kepemimpinan di
pesantren untuk tingkat lokal, regional, dan nasional. Seorang pemimpin
pesantren yang mencapai peningkatan pengaruh sebagai akibat semakin
meluasnya daerah asal yang dijangkau oleh pola penerimaan santri ke
pesantrennya, seringkali tidak dapat mengimbangi peningkatan pengaruh itu
dengan peningkatan kualitas kepemimpinan yang sanggup melintasi perbedaan
tingkat-tingkat yang dihadapi. Cakrawala pemikirannya seringkali masih sangat
bersifat lokal, paling tinggi bersifat regional. Jarang ada yang mau memandang
kepada ufuk nasional dalam pengembangan pesantren, sehingga tidak banyak
meliputi pesantren yang dikelolanya sendiri atau pesantren-pesantren lain yang
ada disekelilingnya.41[41]

F. PENUTUP
Pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisonalnya,
yakni a) transmissi dan transfer ilmu-ilmu Islam, b) Pemeliharaan tradisi Islam,
dan c) Refroduksi ulama. Dengan demikian respon pesantren terhadap
modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang
berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup:

Pembaruan substansi atau isi pesantren dengan memasukkan subjek-subjek


umum dan vocational.

Pembaruan metodologi seperti sistem klasikal dan penjenjangan.

Pembaruan kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren dan derivikasi


lembaga pendidikan.

41[41] Ahmad Munjid Nasih, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi Kasus Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002),h. 1

Pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, kemudian


dikembangkan sehingga mencakup fungsi sosial dan ekonomi.
Pondok pesantren di Lombok secara kuantitatif dapat dikategorikan
sebagai pesantren yang menjamur di setiap pelosok, tapi secara kualitatif
pondok pesantren di Lombok NTB masih membutuhkan pemikiran dan
pemberdayaan yang konprehensif, sebab peranan pondok pesantren di Lombok
sangat memberikan pengaruh yang significant terhadap pengembagan ajaran
Islam dan pemberdayaan masyarakat, meskipun belum maksimal.

BIBLIOGRAFI
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, Cet.1.
Bartholomen, John Ryan, Alif Lam Mim : Kearifan Masyarakat Sasak,
(Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), Cet.1.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai, ( Jakarta: LP3ES,1984)
Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat: Kyai Pesantren, Kyai Langgar
di Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. I.
Haiman, Franklin S. Leadership and Democratic Action, (Houghton: Mifflin
Company, 1951)
Harapandi, Pemikiran Pembaharuan TGKH. Muhammad Zaenuddin Abdul
Majid, (Tesis), (Jakarta: IAIN, t.p, 1999)
Litbang: Diskripsi Aliran Kepercayaan Wetu Telu di Pulau Lombok,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1979).
Majid, Nurkholis, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah potret Perjalanan, pada Bab
II Pesantren Dalam Perkembangan Politik Kita, Analisis Konfaratif, (Jakarta:
Paramadina, 1997), cet. I. h. 73-84
Maksum, Madrasah: Sejarah Perkembangan, (Jakarta: Logos, 1999), Cet.
I
Nasih, Ahmad Munjid, Kajian Fiqh Sosial Dalam Bahtsul Masail Studi
Kasus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, (Jakarta: Inis, 2002).
Numan, Abd Hayyi, dan Sahafari Aysari, Nahdlatul Wathan: Organisasi
Pendidikan, Sosial, dan Dakwah, Lombok: Toko Buku Kita, 1988, Cet. 1.
Purbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung
Agung, 1976)
Salam, Solichin, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya,
(Jakarta: Kuning Mas, 1992)

Suprapto, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat : Menimbang


Aktifitas Dakwah bi al-Hal Pesantren di Lombok, dalam Jurnal Tasamuh,
Fakultas Dakwah IAIN Mataram, Vol. 4, Nomor 1, Desember 2006.
Thoha, Zainal Arifin, Runtuhnya Singgasana Kyai: NU Pesantren Dan
Kekuasaan, Pencarian Tak Kunjung Usai, pada Bab Pesantren sebagai
pendidikan Alternatif, (Yogyakarta: Kutub, 2007), Cet. II.
Weber, Max, The Theory of Social and Economic Organization, (New York:
The Free Press 1966)
Weber, Max, Economy and Society, 1, (London: University of California
Press, Berkeley, Los Angeles 1978).
Yayasan Bahkti Wawasan Nusantara 1992). Profil Propinsi Nusa Tenggara
Barat, (Jakarta: Pemrakarsa)
Yasmedi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurkholis Majid Terhadap
Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. 1.
Ziamek, Mamfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Butce B.
Soenjono, pent., (Jakarta: LP3ES, 1985).

DAKWAH TRANSFORMATIF TUAN GURU DI LOMBOK ( STUDI


KOMUNIKASI RELATIONAL)
ABSTRAK
Dakwah transformatif adalah suatu model pendekatan dan metode dakwah yang
tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materimateri keagamaan kepada masyarakat, yang memposisikan dai sebagai penyebar
pesan-pesan keagamaan, tetapi juga menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke
dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan komunikasi relasional dan
pendampingan masyarakat secara langsung. Dengan demikian dakwah tidak hanya
untuk memperkuat aspek religiusitas masyarakat, melainkan memperkokoh basis sosial
untuk mewujudkan transformasi sosial dan menghilangkan kesenjangan sosial yang
terjadi selama ini.
Starting point dari persoalan di atas, permasalahan utama dalam kajian ini
adalah bagaimana dakwah transformatif Tuan Guru perspektif komunikasi relasional?
Dari sini dapat dipertegas dengan memunculkan sub-sub pertanyaan sebagai berikut:
bagaimana kriteria dakwah transformatif tuan guru di Lombok? bagaimana signifikansi
komunikasi relasional tuan guru dalam melakukan dakwah transformatif di Lombok?

Keberhasilan dakwah islamiyah sangat ditentukan oleh komunikasi relasional


antara individu dan masyarakat, semakin intensif komunikasi da'i dengan masyarakat,
semakin terjalin semangat keberagamaan dalam menyikapi berbagai problem umat.
Pendekatan utama dalam menyikapi stagnasi dakwah dapat diterapkan teori
komunikasi relasional (Katrin Miller : 1998 : 86) yang menyatakan,
berkelanjutan antara individu dan masyarakat yang

hubungan

terus dikomunikasikan akan

terjalin ikatan yang berkelanjutan pula. Teori ini diperkuat oleh Alvin L. Bertrand : 1980
: 161 yang menyatakan, awal dari perubahan yang ingin dicapai dalam segala aspek
tergantung pada komunikasi berkelanjutan di antara para individu-individu yang satu
dengan yang lain.
Tuan Guru sebagai komunikator umat tidak akan terlepas dari dua aspek
komunikasi relasional yaitu, dialektik relasional yang meliputi internal dan eksternal

yang merupakan bagian terpenting dari teori komunikasi relasional. Dengan dilektik
komunikasi internal Tuan Guru dapat dengan mudah membenahi persoalan-persoalan
yang terjadi di kalangan mad'u (objek dakwah), begitu juga dialektik eksternal dapat
membantu Tuan Guru dalam mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang terjadi di
luar objek dakwah.
Agenda dakwah ke depan harus mampu merubah paradigma yang selama ini
salah dan telah mengkristal di kalangan umat dengan paradigma komunikasi relasional.
Dai diharapkan tidak berperan sebagai juru dakwah yang hanya menyampaikan Islam
bil lisan (konvensional) di atas mimbar saja, tapi lebih dari itu, juru dakwah dituntut
menjadi cultural broker (makelar budaya), bahkan menjadi intermediary forces
(kekuatan perantara) bagi permasalahan sosial ummat.
Komunikasi relasional yang mengedepankan dialektik internal dan
eksternal akan memberikan dampak transformatif bagi perkembangan
dakwah menuju kesejahteraan umat.

A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan dakwah oleh Tuan Guru menunjukkan bagaimana tingkat jarak
kesenjangan sosial di antara pembawa pesan dan masyarakat yang menerima pesanpesan

Islam.

Sepanjang

pelaksanaannya

masih

merupakan

usaha-usaha

mengintroduksi suatu yang baru dengan tanpa berorientasi pada nilai-nilai dan tatanan
kontekstual sehingga diterimanya pesan tersebut tidak akan pernah mengakar dalam
masyarakat. Dakwah seharusnya dipahami sebagai suatu upaya terencana dan
terprogram, bukan seperti mengisi suatu gelas kosong dengan air, sehingga perlu ada

paradigma baru dalam melihat perkembangan dakwah ke depan, seperti pendekatan


dakwah transformatif, di samping pendekatan-pendekatan yang lain. 42[1]
Tuan Guru sebagai da'i sekaligus agent of change memberikan dasar filosofi
''eksistensi diri'' dalam dimensi individual, keluarga, dan sosio-kultural, sehingga dapat
memiliki kesiapan untuk berinteraksi dan menafsirkan kenyataan-kenyataan yang
dihadapi secara mendasar dan menyeluruh menurut ajaran Islam. Jadi Islam yang telah
internalized menjadi paradigma untuk memberi struktur dan makna terhadap realitas
sosial dan fisik serta menjadi kerangka dasar pemecahan masalah. Oleh karena
perubahan sosial atau tranformasi sosial menuju pada arah tertentu, maka dakwah
Islam berfungsi memberikan arah dan corak ideal tatanan masyarakat baru yang akan
datang. Aktualitas dakwah berarti upaya penataan masyarakat terus menerus di tengahtengah dinamika perubahan sosial sehingga tidak ada satu sudut kehidupan pun yang
lepas dari perhatian dan penggarapannya. Dengan demikian dakwah Islam senantiasa
harus bergumul dengan kenyataan baru yang pemunculannya kadangkala sulit
diperhitungkan sebelumnya.
Sejalan dengan hal tersebut, agama seharusnya selalu berani tampil dalam setiap
keadaan, bukan saja untuk menunjukkan hal-hal yang ma'ruf (positif), tetapi juga halhal yang munkar (negatif). Mekanisme kritis dalam agama sangat ditekankan terhadap
perubahan. Itu tercermin dalam ajaran tentang perlunya saling mengingatkan dalam
kritik yang membangun (wasiat dalam kebenaran) atau dengan istilah lain dalam
sosiologi komunikasi adanya interaksi sosial dalam melihat dinamika sosial masyarakat,
yang sekaligus juga sesuai fungsi kekhalifahan yang diamanatkan Tuhan kepada umat
manusia di bumi.43[2]
Selain pendekatan dari dalam, pemegang peranan selanjutnya adalah pemimpin
kharismatik agama dalam konteks ini adalah Tuan Guru. Prinsip uswah hasanah (suri
teladan) merupakan salah satu ujung pangkal keberhasilan dakwah Rasullullah SAW.
Kepemimpinan yang kharismatik tidak selalu hanya dipahami melekat dalam tubuh
42[1]Istilah Tuan Guru dalam perspektif masyarakat Islam di pulau Lombok merupakan gelar
atau title keagamaan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang memiliki kapasitas
keilmuan dalam bidang Agama secara mendalam, dan penamaan gelar ini tumbuh dari
kalangan masyarakat itu sendiri karna faktor-faktor spesifik yang dimiliki oleh sosok tokoh
tersebut dan secara umum bahwa sosok yang disebut tuan guru memiliki pesantren dan basis
masyarakat tertentu.

individu seorang tokoh masyarakat (Tuan Guru), tetapi juga bisa dipahami sebagai
suatu lembaga yang merujuk pada kepemimpinan kolektif.
Tumbuh berkembangnya Islam hendaknya selalu berjalan seiring dengan
terselesaikannya segala problematika pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,
terutama sektor ekonomi. Dengan demikian, dakwah haruslah berorientasi pada
kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga sasaran dakwah hendaknya ditujukan
kepada masyarakat secara keseluruhan, bukan individu/anggotanya. Intinya adalah
penyebaran Islam lebih dibidikkan pada suatu sistem sosial, baik itu menyangkut nilai
dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat maupun tata hubungan organisasi sosial
yang ada.
Dalam konteks keberagamaan di Lombok, dapat dikatakan bahwa pulau kecil ini
memiliki beberapa potensi daerah; a) Lombok dengan komposisi masyarakat
berpenduduk mayoritas muslim.44[3] b) Lombok dengan pondok pesantrennya yang
menyebar di seluruh pelosok kota dan desa berjumlah sekitar 290 pondok pesantren
dengan berbagai macam tipe.45[4] c) Lombok dengan basis masjid dan mushalla 46[5]
yang berdiri megah di setiap kampung, sehingga Lombok lebih dikenal dengan sebutan
43[2]Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigama dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat, (Jakarta : Kencana, 2007), Cet. 2.h. 31. Lihat juga penjelasannya pada buku, Ketherine
Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New York : McGraw Hill
International Edition, 2005), second edition. h. 84. Lihat juga, Stepehen W. Litteljohn & Karen A. Foss,
Theories of Human Communication, (Belmots : Thomson Wadsworth, 2005), eight edition. h.154. Lihat
juga, Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte Hingga Parsons, (Bandung : Rosda, 2006), cet.1, h.
239.

44[3] Lombok Barat Jumlah penduduk muslimnya, 743.484 jiwa, Lombok Tengah : 793.440
jiwa, Lombok Timur: 1.033.669 jiwa, kota Mataram: 356.748. jiwa sehingga total penduduk
muslim yang tinggal di pulau Lombok berjumlah 2.897.331 jiwa. Sementara jumlah
masyarakat muslim untuk pulau Sumbawa berjumlah 1.245.951, Sumber : Survey Sosial
Ekonomi Nasional, 2005.
45[4]Sumber Data Emis Departemen Agama NTB, 2005 Kota Mataram 22 Ponpes Kab. Lombok Barat 72
Ponpes Kab. Lombok Tengah 87 Ponpes Kab. Lombok Timur 115 Ponpes Kab. Sumbawa 16 Ponpes Kab.
Dompu 22 Ponpes Kab. Bima 26 Ponpes.

46[5] Dalam data 2005 Kanwil Depag NTB, Lombok Barat dengan jumlah masjid 829, Lombok
Tengah 1.229 masjid, Lombok Timur, 1.574 masjid, kota Mataram 225 masjid.

''pulau seribu masjid''.47[6] d) Lombok dengan basis organisasi Islam seperti organisasi
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai organisasi terbesar di NTB yang berpusat di Lombok
Timur, NU, Muhamadiyah, Maraqith Ta'limat, dll. 48[7] e)Lombok dengan sumber daya
alam yang melimpah ruah, seperti lahan pertanian, perikanan, dan parawisatanya. 49[8]
Di samping potensi-potensi tersebut, masih menyisakan berbagai agenda
problematika yang belum tuntas dilaksanakan :
Pertama, agenda pengembangan sumber daya manusia( IPM) Masyarakat NTB,
khususnya yang berdomisili di pulau Lombok sumber daya manusianya masih tergolong
rendah jika dibandingkan dengan IPM (Indek Pembangunan Manusia) rata-rata
nasional.50[9]
47[6] John Ryan Bartholomen mengatakan bahwa bila Lombok dicap sebagai ''sebuah pulau
dengan 1000 masjid'' yang mungkin meremehkan keberadaan sejumlah masjid kecil di pulau
tersebut, pesannya jelas, Lombok sangat terkenal di Indonesia sebagai sebuah tempat Islam
diterima secara serius dan tipe Islam yang dipraktekkan di sana pada umumnya agak kaku dan
bentuknya ortodoks bila dibandingkan dengan kebanyakan daerah lain di negara ini.
Lengkapnya baca, John Ryan Bartholomen, Alif Lam Mim : Reconciling Islam, Modernity and
Tradition in an Indonesian Kampung, 1999, cet.1. dalam edisi bahasa Indonesianya; Alif Lam
Mim : Kearifan Masyarakat Sasak, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001), cet. 1, h. 86.
48[7]Organisasi Islam yang paling dominan di NTB adalah organisasi Nahdlatul Wathan (NW)
yang didirikan oleh TGKH.M.Zainuddin Abdul Majid pada tahun 1952, yang dimana cikal
bakal berdirinya organisasi ini berawal dari didirikannya Pondok pesantren Darul Mujahidin
1932 M pada zaman kolonial Belanda, tapi dalam perkembangan berikutnya, pesantren ini
berubah menjadi Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) madrasah khusus
untuk kaum pria, didirikan pada tahun 1935, dalam selanjutnya didirikan madrasah khusus
untuk kaum wanita yang disebut sebagai madrasah pertama di NTB yang mendirikan lembaga
pendidikan khusus untuk kaum wanita yang disebut Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah
Islamiyah (NBDI) pada tahun 1942 M. Dari dua madrasah induk ini menyebar cabangcabangnya ke seluruh pelosok Lombok, sehingga perlu dibentuk suatu wadah yang
mengorganisir madrasah-madrasah cabang di daerah-daerah, terbentuklah organisasi
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, sosial dan
dakwah islamiyah. (lihat, Moh. Noer, dkk, Visi Kebangsaan Religius TGKH M.Zainiddin Abdul
Majid, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2005, cet. 1. h. 35, lihat juga, Abdul Hayyi Nu'man &
Sahafari As'ary, Organisasi Nahdlatul Wathan Di Bidang Pendidikan, Sosial dan Dakwah
Islamiyah, (Pancor : Toko Buku Kita)1984, cet.1.h.12.
49[8] Keterangan lengkap tentang potensi SDA dijelaskan secara rinci pada Katalog BPS :
2108 : 52, Tentang Statistik Potensi Desa Provinsi NTB, 2005

Kedua, aspek pendidikan masyarakat yang rata-rata tamat sekolah dasar dan
sekolah tingkat pertama. Indek ini sangat tidak sebanding dengan tingkat rata-rata
pendidikan nasional.51[10]
Ketiga, aspek ekonomi masyarakat yang masih tergolong menengah ke bawah,
bahkan masih hidup dalam kehidupan prasejahtra.52[11]
Keempat, aspek kesehatan. Aspek ini mencakup banyak hal antara lain, angka
kematian bayi tinggi, kematian ibu melahirkan, angka harapan hidup pendek. 53[12]
Kelima, konflik sosial. Fenomena di kalangan masyarakat Lombok tentang
masalah konflik sangat memprihatinkan, konflik antar pemeluk agama, seperti konflik
antara warga penganut salafi dengan non-salafi, konflik penganut warga Ahmadiyah,
konflik antar kampung yang disebabkan faktor sepele, dan lain-lain.54[13]
Memperhatikan berbagai kenyataan obyektif kehidupan umat sebagai mayoritas
penduduk

Indonesia,

kegiatan

dakwah

perlu

diarahkan

untuk

mendorong

berkembangnya suatu tatanan kehidupan sosial yang mandiri, berkualitas dan


sejahtera. Dakwah, dengan demikian merupakan kegiatan bertahap dan sistemik
mengembangkan kualitas hidup dalam rangka menghampiri keredhaan Allah. 55[14]

50[9] Zaini Arroni dalam Statistik Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora NTB)
2005
51[10] Sumber Kanwil Dikpora NTB, 2005
52[11] Sumber Badan Pemberdayaan Masyarakat NTB, 2006
53[12] Sumber Kakanwil Departemen Kesehatan, 2006
54

[13] Penelusuran terhadap beberapa peristiwa konflik yang pernah terjadi di NTB, khususnya di
Pulau Lombok berdasarkan pengalaman (insight). Penelusuran peristiwa tersebut menggunakan metode
survei terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi dan dilengkapi dengan literatur dan riset yang pernah
dilakukan. Lokasi riset dilakukan di sekitar Kabupaten-kabupaten yang ada di pulau Lombok. Lokasilokasi yang mewakili daerah konflik adalah: 1. Konflik pernah terjadi dan berulang ; Karang Tapen
(Sasak/Islam), Karang Lede (Bali/Hindu), Kampung Petemon (Sasak/Islam), Karang Genteng
(Sasak/Islam). 2. Konflik pernah terjadi tapi tidak muncul lagi; Desa Kediri (Sasak/Islam), Desa Jagerage
(Bali/Hindu).3. Harmoni; Desa Lembuak, Narmada (Sasak/Islam-Bali/Hindu), Kampung Jawa, Praya,
Lombok Tengah dan sekitarnya (Sasak, Jawa dan Sumbawa/IslamBali/Hindu-Tionghoa/Kristen dan
Kong Hu Cu).

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis akan mencoba


memotret kembali sepak terjang sosok Tuan Guru sebagai tokoh agama dan panutan
masyarakat sejauh mana kreadibilitas dan efektivitas dakwah yang dilakukan di tengahtengah masyarakat dengan mengedepankan paradigma dakwah transformatif perpektif
komunikasi relasional sebagai barometer keberhasilan dalam upaya mewujudkan
perubahan sosial di Lombok dengan mengemukakan persoalan utama:
Bagaimana dakwah transformatif Tuan Guru perspektif komunikasi relasional?

B. TEORI

KOMUNIKASI

RELASIONAL

SEBAGAI

LANDASAN

OPERASIONAL DAKWAH TRANSFORMATIF.


Pengakuan bahwa relasi (hubungan) merupakan suatu yang penting dalam
komunikasi sudah ada paling tidak sejak tahun 1950-an. Meskipun penelitian tentang
hubungan telah dari berbagai sudut pandang. Kebanyakan dari apa yang dirujuk
sebagai ''komunikasi relasional'' didasarkan pada inti dari asumsi-asumsi umum.
Asumsi Pertama, hubungan selalu dihubungkan dengan komunikasi dan tidak
dapat dipisahkan. Asumsi Kedua, sifat hubungan didefinisikan oleh komunikasi dengan
para anggotanya. Asumsi Ketiga, hubungan biasanya didefinisikan lebih secara implisit
ketimbang eksplisit. Asumsi Keempat, hubungan-hubungan berkembang sepanjang
waktu melalui sebuah negosiasi di antara mereka yang terlibat. 56[15]
Konsep sistem ala group Palo Alto:
55[14]Kenyataan perubahan sosial yang terjadi dewasa ini lain sekali sifatnya dengan perubahan yang
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Kelainan ini telah menempatkan sistem dakwah
dipengaruhi oleh perubahan sosio-kultural. Ciri yang menonjol bahwa perubahan yang terjadi dewasa ini
adalah diawali oleh discovery, invention dan innovation dalam bidang ilmu dan teknologi. Penerapan
ilmu dan teknologi ini menjadi penggerak perubahan yang dilatarbelakangi oleh keinginan kebutuhan
material. Dalam kerangka ini secara filosofis nilai penggerak perubahan adalah filsafat materialism yang
begitu jauh mewarnai indikator kemajuan mayarakat yang sedang berkembang yang melaksanakan
perubahan melalui pembangunan. Jargon kemiskinan-kemakmuran, keterbelakangan-kemajuan
dipahami dalam ukuran material belaka. Aspek spiritual dan religius tidak menjadi ukuran untuk
menentukan pembangunan suatu bangsa. Sehingga pertumbuhan ekonomi nyaris menjadi ideologi yang
menentukan semua perilaku masyarakat. (Baca:Abdul Munir Mulkan, Runtuhnya. ibid. h. 245).

56[15] Ketherine Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, (New
York : McGraw Hill International Edition, 2005 ), Second Edition, h. 187.

Teori sistem adalah seperangkat hal-hal yang berhubungan satu sama lain dan
membentuk suatu keseluruhan. Pada bagian ini dapat dilihat pada dua jalur awal teori
yang merupakan benih dari studi komunikasi tentang hubungan, mulai dengan karya
klasik dari kelompok Palo Alto.57[16]
Lima Aksioma Dasar Tentang Komunikasi Menurut Kelompok Palo Alto
a) Aksioma Pertama, orang tidak bisa tidak berkomunikasi.
b) Aksioma Kedua, setiap percakapan -betapapun singkatnya- meliputi dua pesan- yaitu
pesan isi dan sebuah pesan hubungan-metakomunikasi (non-verbal).
c) Aksioma Ketiga, bahwa orang menggunakan kode-kode digital dan analog. Digital
komunikasi memiliki kekuatan penuh dan dapat dipahami melalui syintac bahasa yang
baik dan juga dapat disetujui. Contoh On-Of diungkap maupun tidak dapat dipahami
maksudnya sebagai kode untuk menghidupkan atau untuk mematikan sesuatu. Analog;
tidak memiliki kejelasan (non-verbal) tapi bisa dikomunikasikan dengan makna yang
banyak tentang hubungan itu. contoh gerakan tubuh (non-verbal) tapi bisa dimaknai
untuk mengexspresikan kesetujuan atau keikutsertaan atau emosional.
d) Aksioma Keempat, pengelompokan, artinya tahapan-tahapan interaksi seperti kata,
kalimat, tidak bisa dipahami sebagai rangkaian elemen-elemen yang terpisah, supaya
bisa diterima ia harus dikelompokkan dan pengelompokan ini umumnya merupakan
masalah persepsi pribadi.
e) Aksioma Kelima, komunikasi berhubungan dengan kecocokan atau pengaitan pesanpesan di dalam suatu interaksi, baik secara simetris (dua komunikator dalam suatu
hubungan yang berperilaku sama dan perbedaan-perbedaan diupayakan untuk
diminimalkan) maupun secara komplementer (perbedaan respon komunikator
dimaksimalkan).58[17]
a. Klasifikasi Teori Dialektik Relasional
Komunikasi relasional jika dilahat dari konsep operasionalnya dapat dijabarkan
sebagai komunikasi syiclic, dualistic, dualism dan totality.59[18] Dari penjabaran ini
dapat diklasifikasikan secara lebih mendetail menjadi dua bagian penting ; dialektik
internal dan eksternal.
a.i. Dialektik Internal
57[16] Kebanyakan teoritisasi hubungan mengakui pentingnya hasil karya Gregory Bateson, Paul
Watziawick, dan kolega-kolega mereka pada tahun-tahun awal dari studi komunikasi interpersonal. Para
pengikut awal Bateson dikenal dengan kelompok Palo Alto, karena mereka mendirikan dan bekerja di
Mental Research Institute yang berpangkal di Palo Alto, California. Pemikiran- pemikiran mereka paling
jelas diuraikan dalam Pragmatics of Human Communication. Dalam buku itu, Paul Watslawick, Janet
Beavin, dan Don Jackson mengemukakan sebuah analisis yang terkenal tentang komunikasi yang
didasarkan pada prinsip-prinsip Sistem. Sistem ada enam hal : Objek, Atribut, Interaksi, Lingkungan,
Equifinality, Cybernetic. (lihat Miller, Communication, h. 187 )

58[17]Katherine Miller, Communication. h. 194.

Berbicara tentang dialektik internal ada beberapa komponen teori yang termasuk
dalam bagian ini antara lain :

Dependency-indepedensi-Openness-privacy:Ketergantungan-kemandirianKeterbukaan-kerahasiaan.

Certainly-uncertainly dialectic : Dialektik pasti-tidak pasti ; level awal interaksi


antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan
keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama
lainnya.

Oppenness-closedness

dialectic/expression-non-expression

dialectic:

Mengungkapkan perasaan secara terbuka-tertutup, dalam banyak hal ini


merupakan sebuah ketegangan antara spontanitas dan strategi dan respon yang
muncul terhadap dialektik ini adalah berusaha mencapai keduanya sekaligus,
berlaku jujur tapi hati-hati dalam mengungkapkan kejujuran itu.

Affection-intrumentality dialectic: Dialektik kesenangan-instrumentalitas; suatu


dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai teman sebagai teman
versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.60[19]

b. Dialektik Eksternal
Dialektik eksternal memiliki teori tersendiri yang meliputi :

59[18] Syiclic ; Perkembangan hubungan yang bergerak dalam lingkaran bolak balik. Dialictic ;
Ketegangan antara dua orang atau lebih dalam elemen yang bertentangan dari suatu sistem yang
menuntut setidaknya suatu penyelesaian sementara. Analisis Dealictic; melihat cara-cara sistem
berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam menanggapi kontradiksi dan bagaimana ia
melihat tindakan-tindakan strategis yang diambil oleh sistem untuk menyelesaikan kontradiksi.
Dualism ; Ketegangan (oposisi)dari dua hubungan kutub yang tidak bisa eksis bersama. Totality ; Konsep
totalitas; kembali kepada dugaan, perkiraan bahwa ketegangan/kontradiksi dalam hubungan merupakan
bagian yang menyatu dalam keseluruhan dan tidak bisa dipahami jika dipisah-pisahkan. Implikasinya
adalah dapat disepakati dengan cepat atau tidak bisa dipisahkan dari yang lain. (Lihat Miller,
Communicationh.198)

60[19] Lihat Miller, Communication, h.198.

Inclution-Seclution Dialectic: Pencakupan-pengasingan dialektik; tekanan dalam


hubungan harus menegosiasi ketegangan antara melakukan sesuatu secara
kelompok kecil (couple) atau melakukan sesuatu dalam kelompok yang lebih
luas.

Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah ditandai dengan


adanya

usaha/perjuangan

untuk

mereka

komfirmasikan/

menyesuaikan

terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di dalam


dunia sosial.

Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi dalam


konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing
hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari
hubungan ini dibuat sangat umum, seperti dalam acara perkawinan yang
membutuhkan komitmen bersama, karena diantara masing-masing ada yang
disembunyikan dari yang lainnya.61[20]

C. TUAN

GURU

DAN

DAKWAH

TRANSFORMATIF

PERSPEKTIF

KOMUNIKASI RELASIONAL
1. Dakwah Sebagai Konsep Sistem Ala Alto Paolo.

61[20] Katherine Miller, Communication. h.199. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional
dapat dijabarkan sebagai; Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang
selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam
ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan):
Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola
dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau
wilayah kegiatan. Balance : Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan
dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik
ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak terlalu lama diakui/disadari sebagai
perlawanan. Reaffirmation: Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam
memperkokoh dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. ( Miller, Ibid. h.135).

Komunikasi insani merupakan gejala yang hampir selalu melibatkan manusia.


Sebagai aktor komunikasi, baik perannya sebagai komunikator maupun komunikan,
manusia merupakan sosok yang sarat dengan muatan nilai. Sesuatu nilai yang dianut
manusia dapat bersumber dari budaya, tradisi, norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang nilai inilah yang
kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang memaknai simbol yang
diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan. Karena itu, pesan dalam
komunikasi selalu sarat nilai dan memerlukan suatu sistem yang sistematis. 62[21]
Dakwah seharusnya dipahami sebagai suatu sistem yang melibatkan proses
Tahawwul wa taghayyur (transformasi dan perubahan), yang berarti sangat terkait
dengan upaya taghyirul ijtima'iyyah (rekayasa sosial). Sasaran utama dakwah adalah
terciptanya suatu tatanan sosial yang di dalamnya hidup sekelompok manusia dengan
penuh kedamaian, keadilan, keharmonisan di antara keragaman yang ada, yang
mencerminkan sisi Islam sebagai Rahmatan lilalamin.63[22]
Dakwah transformatif bisa dilihat dari kandungan ayat al-Qur'an (Q.S. AL-A'raf :
.157, Q. S. Ali Imran : 164), dengan formasi dakwah dalam empat dimensi


(164- )

Dimensi Tilawah ; membacakan ayat-ayat Allah atau Oral Communication,


komunikasi lansung dengan publik.

Dimensi tazkiyah ; yaitu sugesti untuk melembagakan kebenaran dan keadilan


sosial (amar ma'ruf) dan mendistorsi kejahatan dan kesenjangan sosial (nahi
munkar).

62[21] Santoso S. Hamijoyo, Komunikasi Partisipatoris : Pemikiran dan Implementasi


Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat, ( Bandung : Humaniora, 200) cet. 1. h. 1.
63[22]Moh. Ali Aziz, Rr. Suhartini, A. Halim (editors), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat:
Paradigma Aksi Metodologi,( Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), cet. 1, h. 26.

Dimensi ta'lim ; mentransformasi pengetahuan kognitif kepada masyarakat,


sehingga tercipta masyarakat yang berpendidikan (educated people).

Dimensi Ishlah ; upaya untuk perbaikan dan pembaharuan dalam konteks


keberagamaan yang lebih luas.
Dari empat formasi dakwah ini akan diharapkan dapat membawa pencerahan

yanga memiliki semangat transformatif dan dapat dijadikan landasan untuk


mewujudkan trilogi dakwah; pembentukan, restorasi dan pemeliharaan dan perubahan
masyarakat islami.64[23]
Dakwah transformatif adalah suatu model pendekatan dan metode dakwah yang
tidak hanya mengandalkan dakwah verbal (konvensional) untuk memberikan materimateri keagamaan kepada masyarakat, yang memposisikan dai sebagai penyebar
pesan-pesan keagamaan, tetapi juga menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan ke
dalam kehidupan riil masyarakat dengan cara melakukan pendampingan masyarakat
secara langsung. Dengan demikian dakwah tidak hanya untuk memperkuat aspek
religiusitas masyarakat melainkan juga memperkokoh basis sosial untuk mewujudkan
transformasi sosial.65[24]
Selain dakwah transformatif, dikenal juga istilah dakwah struktural. Dakwah
struktural adalah segenap kegiatan yang dilakukan negara (pemerintah) dengan
berbagai perangkatnya untuk mengkonstruksikan tatanan masyarakat sesuai dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta tidak terlepas dari lingkaran amar maruf
(menyeru kepada kebaikan) dan nahy munkar (mencegah kemungkaran). Dengan
demikian aktivitas dakwah mencakup seluruh segi dan aspek kehidupan masyarakat,
seperti pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan aspek lainnya. Sehingga proses dakwah
64[23] Pembacaan seperti ini penulis sadur dari berbagai macam refrensi tentang
dakwah.seperti dalam buku, Jum'ah Amin Abdul Aziz, Al-da'wah Qawaid Wa Ushul, (Mesir :
Dar al-Mishriyah) ttp. h.123. yang menjabarkan tiga hal yang dicakup dalam dakwah ; pertama ;
membangun masyarakat islami (ta'sis al-mujtma' al-islamy). Kedua, melakukan restorasi pada
masyarakat Islam (al-ishlah fi mujtama'al-muslimah). Ketiga, kesinambungan dakwah pada
masyarakat Islam (istimrar al-da'wah fi al-mujtmi'at al-qoimah bi al-haq).
65[24]Mustafa Hamdi (editor), Dakwah Tranformatif, (Jakarta: PP Lakpesdam NU, 2006), h.
4.

tidak terbatas pada dakwah di mimbar (bil lisan) saja, tetapi mencakup dakwah bil hal
(yaitu dengan tindakan), bil hikmah (pendekatan keilmuan). Nabi menerangkan
pentingnya dakwah struktural tersebut, beliau bersabda:

-

Artinya, barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia
merubah dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak
mampu juga hendaklah ia merubah dengan hatinya, yang demikian itu merupakan
selemah-lemah iman.66[25]
Perubahan dengan tangan maksudnya adalah dengan struktural, dimana negara
dengan perangkatnya sangat mungkin untuk berperan sebagai pelaku dakwah (dai),
sedangkan dengan lisan maksudnya adalah dengan kultural, dan dengan hati
maksudnya adalah perubahan dan mobilitas sosial. 67[26]
2. Dakwah Mengedepankan Dialektik Internal Dan Eksternal.
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh aktivitas komunikasi rasional atau
dakwah Tuan Guru dalam berbagai aspek, mulai dari aktivitas lembaga pesantren yang
dipimpinnya, sampai kepada metode, sistem, dan pendekatan dakwah yang
dilakukannya kepada masyarakat, karena Tuan Guru dalam hal ini bisa dikategorikan
sebagai pelopor perubahan sosial (agents of Change). Pelopor

perubahan penulis

maksudkan, tuan guru yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam salah
satu lembaga atau beberapa lembaga sosial. Orang seperti ini (tuan guru) mempelopori
jalan meninggalkan masa lampau menuju zaman baru, yakni menetapkan kaidah
sistem baru atau yang diperbaharui yang diikuti oleh para anggota masyarakat lainnya
berdasarkan otoritas sang pemimpin yang diakui.
Akses dari dakwah tuan guru dalam perubahan sosial titik tekannya pada
keseimbangan sosial, yaitu syarat yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat bisa
berfungsi sebagaimana mestinya, dalam pengertian bahwa keseimbangan sosial atau
66[25] Lihat Shahih Buhkari Muslim.
67[26] M. Jakfar Puteh, Dakwah Tekstual dan Kontekstual; Peran dan Fungsinya Dalam
Pemberdayaan Ekonomi Ummat (Jogjakarta: AK. Group, 2006). h. 145.

ekuilibrum sosial, merupakan suatu situasi di mana segenap lembaga sosial utama
berfungsi dan saling menunjang.68[27] Dalam keadaan seperti ini tiap warga
masyarakatbisa memperoleh ketentraman bathin karena tidak ada konflik norma dan
nilai dalam masyarakat.
Dakwah transformatif dilakukan dalam dua metode, yaitu metode refleksi dan
aksi. Daur refleksi dan aksi ini meniscayakan bahwa dakwah transformatif bukan
sekedar dalam level verbal seperti pengajian, majlis taklim, ceramah dialog di radio dan
televisi melainkan seorang dai harus menyentuh persoalan-persoalan riil yang menjadi
problema masyarakat, dimana tujuan esensi dari komunikasi itu tidak hanya pada
perubahan sikap (attitude change), perubahan pendapat (opinion change), perubahan
perilaku (behavioral change), tapi yang utama adalah terjadinya perubahan sosial
dalam segala aspek (social change).69[28]
Dalam

upaya

penerapan

komunikasi

relasional

dialektik

dapat

diimplementasikan dalam aspek-aspek berikut ini :


Pertama:

Dependency-indepedensi-Openness-privacy:

Ketergantungan-

kemandirian-Keterbukaan-kerahasiaan.
Tuan Guru dalam menjalankan misi dakwah harus mampu memiliki sifat
ketergantungan kepada mad'u yang menjadi sasaran dakwah, sebab tanpa memiliki
sifat ini dikhawatirkan Tuan Guru hanya sebatas memberikan materi dakwah yang
bersifat konvensional. Dengan demikian dilektik komunikasi keterbukaan dan
kemandirian akan mengarah kepada perubahan pada aspek materi dakwah, dari aspek
materi yang disampaikan harus ada perubahan, yaitu dari materi ubudiyah atau
ukhrawi ke materi dakwah yang bersifat sosial.
Dalam konteks ini, dai dituntut untuk memperluas masalah isu-isu sosial yang
terjadi dimasyarakat dan menjadi patologi sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme,
penindasan, pelanggaran HAM dan lainnya. Perubahan yang lainnya adalah materi
68[27]Selo Seomardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta : UGM Press), 1986, cet.
2, h. 306. Lihat juga redaksi aslinya, Selo Seomardjan, Social Changes in Jogjakarta, (Itacha
New York : Cornell University Press, 1962), h. 379.
69[28]Jumroni & Suhaimi, Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta : UIN Press),
2006 cet.1, h.6

dakwah eksklusif ke materi dakwah inklusif, dimana dai dituntut untuk menghilangkan
sifat memojokkan atau memusuhi non-muslim, karena kecendrungan selama ini, dai
sering menyampaikan dakwah yang bernada permusuhan dengan agama lain. 70[29]
Kedua, Certainly-uncertainly dialectic : Dialektik pasti-tidak pasti ; level awal
interaksi antara orang yang sudah diketahui dan orang lain dapat mengarahkan
keinginannya untuk mereduksi yang tidak pasti/ jelas terhadap satu sama lainnya.
Teori dialektik ini menekankan pada aspek metodologi, harus dilakukan
perubahan dari monolog ke dialog. Sebab interaksi ini tidak akan berjalan oftimal
tanpa diawali dengan mengarahkan visi dari yang diajak bicara. Esensi dari teori ini
adalah menformat dialog antara komunikan dan komunikator sehingga ada kejelasan
visi dan isi dari kedua belah pihak.
Teori tersebut jika diterapkan kepada aspek dakwah, maka dakwah dengan
monolog sering melakukan indoktrinisasi kepada jamaah, padahal Islam juga
menganjurkan dialog yang mampu memberikan pencerahan dengan komunikasi
langsung dengan jamaah sehingga dai tahu masalah ummat yang sebenarnya. Dakwah
dengan pendekatan dialog akan memancing keaktifan jamaah untuk berpartisipasi
dalam perubahan sosial yang berdimensi religius. Jika hanya mengandalkan
pendekatan monolog, maka dakwah hanya mampu menghilangkan dahaga spiritual,
bukan melakukan perubahan pemahaman, sikap dan prilaku sosial.
Ketiga,
Affection-intrumentality
dialectic:
Dialektik
kesenanganinstrumentalitas ; suatu dialiktik persahabatan seringkali terjadi antara menghargai
teman sebagai teman versus memamfaatkan teman untuk tujuan lain.
Teori ini menekankan pada efektifitas komunikasi dalam membujuk komunikan
untuk bekerja sama dalam kesepakatan.
Relevansinya dengan berdakwah adalah menggunakan institusi yang bisa diajak
bersama dalam aksi. Dalam dakwah transformatif, institusi merupakan indikator
penting untuk memuluskan jalan perubahan. Kekuatan dakwah transformatif bukan
saja pada diri sang dai, tetapi juga basis institusional yang dimilikinya, sehingga para
dai mempunyai bargaining position (posisi tawar) yang tinggi terhadap negara dan
masyarakat.
Keempat, Convensional Unique Dialectic: Sugestinya bahwa relasi adalah
ditandai

dengan

adanya

usaha/perjuangan

untuk

mereka

komfirmasikan/

menyesuaikan terhadap ekspektasi (keinginan) dan kepercayaan kepada yang lain di


dalam dunia sosial.
70[29] Mustafa Hamdi (editor), Dakwah Transformatif , (Jakarta : Lakpesdam NU), 2006,
cet.1.

Aplikasi teori ini dalam aspek dakwah Tuan Guru adalah ada wujud
keberpihakan pada kaum mustadafin (kaum lemah dan tertindas). Para dai, harus
melakukan usaha-usaha sosial untuk kepentingan kaum tertindas di daerahnya, seperti
kasus penggusuran tanah, pencemaran lingkungan, nasib nelayan dan petani atau kasus
lainnya.
Dai melakukan pembimbingan dan pendampingan bahkan melakukan advokasi
dan pengorganisasian masyarakat terhadap kasus-kasus dan problema sosial
masyarakat.71[30]
Dakwah sangat terkait dengan perubahan sosial. Upaya dakwah seharusnya
diartikan sebagai suatu akitivitas yang membawa konsekuensi perubahan sosial yang
terencana, bukannya perubahan sosial yang terjadi begitu saja. Seorang da'i oleh
karenanya haruslah tahu apa yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial serta
dampak-dampaknya.72[31]
Kelima, Revalation-Concealment Dialectic: banyak pandangan yang terjadi
dalam konteks ini dimana jika ingin menjaga sifat, atau eksistensi diri masing-masing
hubungan yang disembunyikan atau dirahasiakan dari yang lain dan sifat dari
hubungan ini dibuat sangat umum.73[32]
71[30]Mustafa Hamdi (editor), ibid., h.12. Dalam konteks inilah, Hasan al-Banna
mengilustrasikan bahwa seorang dai ibarat gardu listrik yang menyebarkan aliran listrik untuk
menerangi seluruh pelesok dan sudut kota. Oleh sebab itu tugas dan tanggung jawab dai adalah
menyampaikan sinar dan cahaya Islam tersebut ke segenap lapisan masyarakat. Lihat, Suf
Kasman, ibid., h. 127.
72[31]Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau
mencakup sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara sistem tertentu dalam jangka
waktu berlainan. Lebih lanjut, berbicara tentang perubahan kita membayangkan suatu yang
terjadi setelah jangka waktu tertentu, kita berurusan dengan perbedaan keadaan sistem dalam
jangka waktu tertentu. Untuk dapat menyatakan perbedaannya ciri-ciri awal unit analisis harus
diketahui dengan cermat, meski terus berubah, sehingga perubahan sosial adalah setiap
perubahan yang tak terulang lagi sistem sosial sebagai satu kesatuan. Lihat, Piotr Sztompa,
Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2007), Cet. 3.h. 3
73[32]Katherine Miller, Communication. h.135. untuk pola penerapan dialiktik komunikasi relasional
dapat dijabarkan sebagai: Danial: Kelaim bahwa ketegangan itu tidak ada, Pasangan suami-istri yang
selalu senang dan selalu ingin bersama. Disorientation; Mengadopsi kebiasaan yang fatal dalam
ketegangan adalah diakui sebagai suatu yang tidak dapat dihindarkan. Spiraling Invension (tekanan):
Pola kontradiksi ini dominan pada berbagai permintaan setiap saat, dan ada pasang surut antara dua pola
dialektik. Segmentation: Masing-masing pola kontradiksi itu dominan tergantung pada sifat tofik atau
wilayah kegiatan. Balance: Masing-masing pola diligitimasi dalam kompromi guna mencairkan pola
ketegangan yang terjadi. Integration: Bagian relasional dapat diterima secara penuh terhadap opposan
dalam satu waktu tanpa diawali dengan kompromi atau pencairan suasana. Recalibration : Pola dialektik

Teori ini dapat diterapkan dalam dimensi saling keterikatan antara komunikan
dan komunikator pada aspek perubahan sosial yang diinginkan bersama. Titik tekannya
terlihat pada konsekwensi dari komunikasi yang dilakukan, baik komunikasi yang
mengarah pada eksistensi diri maupun kepada masyarakat secara umum.
Proses perubahan sosial yang dilakukan secara berencana dengan sasaran yang
jelas akan membawa perubahan yang intensif dan ekstensif serta menyentuh nilai-nilai
yang paling fundamental bagi umat Islam. Dakwah dalam hal ini dihadapkan dengan
serangkaian permasalahan yang harus dijawab secara simultan dalam kerangka yang
jelas. Di satu pihak dakwah Islam dipanggil untuk memberi rasa aman kepada
pemeluknya atas gejala keterasingan, goncangan psikologis, kepastian hukum,
ketidakmenentuan partisipasi politik, semakin hilangnya peran sejarah, lingkungan,
hidup semakin sumpek untuk bernafas, serta dihantui oleh situasi internasional yang
semakin tidak menentu dan mandulnya ilmu pengetahuan dalam mendatangkan
tatanan masyarakat yang adil dan makmur, di lain pihak dakwah Islam dihadapkan
dengan permasalahan untuk mencari solusi dari struktur yang semakin mencekam.
Perubahan

sosial

merupakan

segala

perubahan

pada

lembaga-lembaga

kemasyarakatan di dalam masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk


di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompokkelompok dalam masyarakat. Sebenarnya dalam kehidupan sehari-sehari, acapkali
tidak mudah untuk menentukan letak garis pemisah antara perubahan sosial dengan
kebudayaan. Hal itu disebabkan karena tidak ada masyarakat yang tidak memiliki
kebudayaan dan sebaliknya tidak mungkin ada kebudayaan yang tidak terjelma dalam
masyarakat. Hal itu mengakibatkan bahwa garis pemisah di dalam kenyataan hidup
antara perubahan sosial dan kebudayaan lebih sukar lagi untuk ditegaskan, tapi
biasanya antara ke dua gejala itu, dapat diketemukan hubungan timbal balik sebagai
sebab akibat.74[33]
ditransformasi dalam situasi yang khusus sehingga mereka tidak terlalu lama diakui/disadari sebagai
perlawanan. Reaffirmation: Ketegangan atau perlawanan pola dialektik dapat dijadikan dalam
memperkokoh dan menambah kekayaan dalam menjalin hubungan. ( Miller, Ibid. h.135).

74[33]Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1999), edisi
Baru ke-4, cet.27 h. 388.

Raimond Firth mengatakan perubahan dalam masyarakat dapat terjadi karena


adanya penggerak-penggerak tertentu. Daya penggerak untuk proses-proses perubahan
sosial itu dalam masyarakat datang dari dua sumber dari dalam dan dari luar. Sesuatu
yang datang dari dalam adalah gerak yang berupa pendapatan-pendapatan baru di
lapangan teknik, perjuangan-perjuangan perseorangan untuk memperoleh tanah dan
kekuasaan, perumusan baru dari paham-paham orang-orang kritis yang dianugrahi
bakat-nbakat istimewa. Sedangakan yang datang dari luar untuk sebagian terletak
dalam lingkungan pergaulan itu sendiri dan untuk sebgaian lagi terletak dalam
kekuatan ekspansinya peradaban.75[34]
Alvin. L. Bertrand berpendapat bahwa awal dari perubahan itu adalah
komunikasi, yaitu proses dengan mana informasi disampaikan dari individu-individu
yang satu ke individu yang lain. Maka yang dikomunikasikan itu tidakada lain adalah
gagasan-gagasan, ide-ide atau keyakinan-keyakinan maupun hasil budaya yang berupa
fisik itu. 76[35]
Perubahan sosial dapat dilaksanakan jika memiliki kekuatan pendorong
(motivational force) di mana kekuatan pendorong itu dapat merubah masyarakat.
Diantara kekuatan itu adalah: ketidak puasan terhadap situasi yang ada karena itu ada
keinginan untuk situasi yang lain, adanya pengetahuan tentang perbedaan antara yan
ada dengan yang seharusnya bisa ada, adanya tekanan dari luar untuk menyesuaikan
diri dan lain-lain, kebutuhan dari dalam untuk mencapai efesiensi dan peningkatan,
misalnya produkitifitas, dan lain-lain.77[36]
Dengan pendekatan komunikasi relasional, diharapkan dai mempunyai peran
ganda yaitu melakukan aktivitas penyebaran materi keagamaan dan melakukan
pendampingan masyarakat untuk isu-isu sosial seperti korupsi, kolusi, perusakan
lingkungan hidup, dan menjadi advokasi terhadap pelanggaran hak rakyat oleh negara
75[34] Raymin Firth, at all, Ciri-Ciri dan Alam Hidup Manusia : Suatu Pengantar Antropologi
Budaya, (Bandung : Sumur Bandung, 1960), cet.1, h.143.
76[35]Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, alih bahasa Sanapiah S. Faisal, (Surabaya : PT Bina Ilmu,
1980), h.161. Lihat juga, Soloman B Taneko, Struktur dan Proses SosiaL : Suatu Pengantar
Sosiologi Pembanguan, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), cet.1. h. 135.
77[36] Alvin. L. Bertrand, Sosiologi, h. 137.

seperti kasus penggusuran, hak-hak perempuan, konflik antar agama, dan problem
kemanusiaan lainnya. Oleh sebab itu, maka dai disamping sebagai ahli agama juga
harus mampu menjadi agen perubahan sosial.78[37]
D. PENUTUP
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dakwah transformatif Tun Guru
berusaha melakukan misinya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, lahir
dan bathin. Upaya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat ini dilakukan dengan
membawa mereka kepada kehidupan yang islami, dengan meningkatkan iman dan
taqwa serta kemampuan dalam penguasaan ilmu teknologi. Dengan keunggulan
jasmani dan ruhani ini, cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur serta sejahtera
lahir dan bathin dapat tercapai. Upaya dakwah transformatif ini, dengan begitu sesuai
dengan misi penyebaran Islam, yakni untuk membawa kedamaian dan kesejahteraan
bagi dunia global (rahmatan lil alamin).79[38]
Dalam konteks seperti itu, dakwah transformatif sangat berpeluang dan harus
mengambil tanggung jawab dengan memegang peranan aktif. Dengan peran aktif Tuan
Guru dalam pengembangan dakwah, maka pembangunan manusia Indonesia akan
mendapatkan jaminan moralitas dan etika keagamaan sebagai landasannya. Jaminan
moralitas dan etika keagamaan ini akan memberikan arahan pembangunan manusia
Indonesia untuk melahirkan manusia yang unggul secara material dan spiritual.
Sebaliknya, tanpa peran aktif aktor dakwah dalam hal ini Tuan Guru atau yang seprofesi
dengannya, akan mengulangi pengalaman pahit dengan banyaknya penduduk, namun
memiliki kualitas yang sangat rendah dalam kedua aspek tersebut.

78[37]Dalam konteks inilah seorang dai harus berperan sebagai kekuatan perantara
(intermediary forces) bagi permasalahan sosial ummat, di samping tugasnya sebagai apa yang
disebut oleh Clifford Geertz sebagai peran makelar budaya (cultural broker) yang harus
menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. Lebih
lengkapnya tentang peran dai sebagai kekuatan perantara, baca hasil penelitian Hiroko
Horikoshi di Garut, Kyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1987)
79[38] Q.S. al-Anbiya' : 107

Anda mungkin juga menyukai