Analisis Kebijakan Yang Relevan Pelaku Ekonomi
Analisis Kebijakan Yang Relevan Pelaku Ekonomi
Analisis Kebijakan Yang Relevan Pelaku Ekonomi
terhadap
pendapatan
yang kemudian
meningkatkan daya saing komoditas. Namun kenaikan harga domestik akan diikuti
peningkatan daya saing jika pada saat yang sama terjadi juga peningkatan harga
domestik komoditas yang sama di negara-negara pesaing, (b) harga internasional
komoditas sendiri dalam dolar AS. Kenaikan harga internasional akan mendorong
eksportir untuk meningkatkan volume ekspor sehingga nilai ekspor akan meningkat
dan akan meningkatkan daya saing di pasar internasional, (c) nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap daya saing
komoditas ekspor pertanian. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
menyebabkan harga relatif ekspor komoditas pertanian Indonesia menjadi lebih
murah, sehingga eksportir didalam jangka pendek akan cenderung mengurangi
volume ekspor, sehingga daya saing akan menurun. Namun pengurangan ekspor
produk primer akan mendorong produksi produk olahan. Sebagai contoh, penurunan
ekspor biji kakao akan meningkatkan produksi pasta, lemak, dan bubuk, dan (d) nilai
tukar mata uang negara re-eksportir terhadap dolar AS. Ada beberapa negara yang
mengimpor komoditas pertanian Indonesia kemudian mengekspornya, baik di dalam
bentuk primer maupun olahan. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang
mengimpor kakao biji dari Indonesia, kemudian mengekspornya ke pasar dunia.
Nilai tukar Ringgit Malaysia (RM) dan dolar Singapura (SGD) berpengaruh positif
terhadap daya saing ekpor biji kakao Indonesia. Jika kedua negara itu hanya sebagai
importir saja, seharusnya akan menurunkan daya saing biji kakao Indonesia karena
keduanya akan mengurangi impor. Namun karena kedua negara itu juga sebagai
eksportir biji kakao, maka melemahnya RM dan SGD akan meningkatkan ekspor,
yang pada akhirnya berdampak positif terhadap impor dari Indonesia (berarti ekspor
Indonesia meningkat). Kaidah demikian juga berlaku bagi komoditas-komoditas
pertanian lainnya.
Selanjutnya, Cahill (2005) mengindikasikan adanya dua faktor determinan daya
saing. yaitu sebagai berikut: (a) akses pasar (market access). Faktor ini merupakan
pilar kunci, dimana penurunan hambatan tarif dan non-tarif akan mendorong ekspor
ke negara-negara yang mengenakan kebijakan pengurangan hambatan perdagangan
tersebut. Lebih dari 75% perolehan ekspor berasal dari penurunan tarif, dan (b)
Kompetisi ekspor (export competition). Kebijakan subsidi ekspor (utamanya oleh
UE), kredit ekspor (utamanya oleh AS), monopoli ekspor (utamanya oleh Kanada
dan Australia), dan bantuan pangan (oleh AS dan lain-lain), berdampak melemahkan
daya saing Indonesia karena subsidi ekspor dan kredit ekspor menjadikan harga
produk-produk
mereka
menjadi
lebih
murah,
sementara
monopoli
tidak
rendah, infrastruktur yang lebih baik, produktivitas yang tinggi, dan sumber daya
alam yang besar, mempunyai kontribusi penting bagi meningkatnya daya saing.
China mempunyai kesemuanya itu sehingga berani bersaing dengan negara-negara
lain termasuk Indonesia.
Kajian Ismail dan Syafitri (2005) menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya saing komoditas pertanian Indonsia, yaitu: (a) Kapasitas
produksi terbatas sehingga produsen pertanian tidak mampu memenuhi permintaan
dunia diatas jumlah tertentu, (b) Petani kurang informasi mengenai potensi pasar
yang muncul akibat depresiasi Rupiah, (c) Komoditas yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang rendah, dan (d) Kurangnya penguasaan teknologi dan inovasi sehingga
pengembangan produk baru (diferensiasi produk) terbatas.
Competitiveness
Report 2015-2016 pada akhir bulan lalu. Dalam laporan tersebut, indeks
daya saing Indonesia tahun ini tercatat berada di peringkat ke-37 dari 140
negara yang dinilai. Peringkat Indonesia ini berada di atas negara-negara
seperti Portugal yang berada di peringkat 38, Italia di peringkat 43, Rusia di
peringkat 45, Afrika Selatan di peringkat 49, India di peringkat 55, dan
Brazil yang berada di peringkat 75. Di level ASEAN sendiri, peringkat
Indonesia ini masih berada di bawah tiga negara tetangga, yaitu Singapura
yang berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand yang
berada di peringkat 32. Namun demikian, Indonesia masih mengungguli
Filipina yang berada di peringkat 47, Vietnam di peringkat 56, Laos di
peringkat 83, Kamboja di peringkat 90, dan Myanmar di peringkat 131.
Dicapainya posisi tersebut tak pelak menjadikan Indonesia kembali
diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia, sebagaimana yang telah
dipidatokan mantan Presiden SBY dalam pidato Nota Keuangan 2015,
dimana secara tegas Bank Dunia sudah memasukkan Indonesia dalam 10
besar ekonomi dunia berdasarkan metode perhitungan Purchasing Power
Parity (PPP). Dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,8% dalam
periode 10 tahun terakhir, pengelolaan ekonomi makro yang makin
prudent, ditambah kualitas pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,
pencapaian tersebut memang sudah selayaknya. Namun demikian
Table 2.
Neraca Perdagangan Indonesia
Sumber: BPS, Processed by Trade Data and Information Center, Ministry of
Trade
Nilai neraca perdagangan Indonesia Desember 2015 mengalami defisit
US$0,23 miliar dipicu oleh defisit sektor migas US$0,50 miliar, walaupun
sektor nonmigas surplus US$0 ,27 miliar.
Dari sisi volume perdagangan, pada Desember 2015 neraca volume
perdagangan Indonesia mengalami surplus 28,49 juta ton. Hal tersebut
didorong oleh surplusnya neraca volume perdagangan nonmigas 29,18 juta
ton, namun demikian sektor migas defisit 0,69 juta.
3. Kebijakan Pemerintah dalam Peningkatan Kinerja dan Daya Saing
Indonesia
Berbagai uraian di atas tentu membutuhkan perhatian yang serius. Dan
secara tidak langsung, ada hal yang cukup menarik ketika menyimak
pidato kerakyatan Presiden tepilih Joko Widodo. Selain himbauan untuk
saling bekerjasama dan sapaan untuk seluruh profesi, jargon kerja, kerja
dan kerja sekiranya menjadi solusi yang ampuh bagi upaya memperbaiki
berbagai indikator daya saing Indonesia yang masih memprihatinkan.
Ditambah dengan kecepatan dan ketegasan Presiden, ke depannya daya
saing Indonesia akan meningkat. Persoalannya, Presiden seorang tentu
tidak mampu mewujudkan semua impian tersebut. Dibutuhkan kerjasama
yang seimbang dari seluruh Menteri dan jajaran pembantu Presiden serta
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dalam jangka pendek, APBN 2015 dapat dijadikan dukungan yang
utama. Pemerintah harus dapat menjadikan APBN sebagai enginee of
growth melalui berbagai belanja yang berkualitas. Sayangnya, beberapa
pihak justru mempertanyakan hal ini. Berdasarkan data pemerintah,
hingga 29 Agustus 2014, realisasi belanja negara mencapai 55,9% atau
sekitar Rp1.049 triliun dari pagu 1.876,9 triliun APBN-P 2014. Dari
besaran tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat mencapai 53,4%
atau Rp683,9 triliun sementara transfer ke daerah 61,2% atau sekitar
Rp365,3 triliun. Di dalam komponen belanja pemerintah pusat, realisasi
pembayaran kewajiban utang mencapai 63,6% atau Rp86,2 triliun dari
pagu Rp135,5 triliun. Disusul realisasi belanja subsidi 61,7% atau
Rp248,5 triliun, belanja pegawai sebesar Rp164,8 triliun atau 63,8%,
belanja bantuan sosial 53,1% atau Rp51,4 triliun dan belanja barang
Rp82,6 triliun atau 42,3%.
Fakta realisasi belanja modal yang baru mencapai 30,2% atau Rp48,6
triliun, mungkin patut menjadi keprihatinan bersama.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi tersebut relatif hampir
sama. Hingga 30 Agustus 2013, realisasi belanja negara mencapai
54,8% atau sekitar Rp945,8 triliun dari pagu Rp1.726,2 triliun dalam
APBN-P 2013. Realisasi belanja pemerintah pusat sendiri mencapai
Rp615,6 triliun atau 51,4% sementara transfer ke daerah mencapai
Rp330,1 triliun atau 62,4%. Dalam komponen belanja pemerintah pusat,
Badan
Pusat
Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil
(UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha
milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp
200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas
tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga
kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang
memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil
didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan
kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp
600.000.000 atau aset/aktiva setinggi- tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah
dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan
koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak,
nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)
Dalam rangka pemberdayaan UMKM di Indonesia, Bank Indonesia (2011)
mengembangkan filosofi lima jari/ Five finger philosophy, maksudnya setiap jari
mempunyai peran masing-masing dan tidak dapat berdiri sendiri serta akan lebih
kuat
jika digunakan secara bersamaan.
1
Jari telunjuk, mewakili regulator yakni Pemerintah dan Bank Indonesia yang
berperan
dalam Regulator sektor riil dan fiskal, Menerbitkan ijin-ijin usaha,
Mensertifikasi tanah sehingga dapat digunakan oleh UMKM sebagai agunan,
menciptakan iklim yang kondusif dan sebagai sumber pembiayaan.
Dalam rangka menuju Pasar Bebas Asean 2015, masih banyak peluang
UMKM untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna memanfaatkan
peluang tersebut, maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di Indonesia
menghadapi Pasar Bebas Asean adalah bagaimana mampu menentukan strategi
yang tepat guna memenangkan persaingan. Saat ini, struktur ekspor produk
UMKM Indonesia banyak berasal dari industri pengolahan seperti furniture,
makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan, hasil
pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor pertambangan
masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batu- batuan, tanah liat
dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain alat-alat rumah tangga,
pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari
kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan,
pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang kayu/tempurung,
makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan
UMKM
yang digunakan adalah bahan baku lokal sisanya dari impor seperti plastik, kulit
dan beberapa zat kimia.
Beberapa
kendala
UMKM
yang
banyak
dialami
negara-negara
Table 1.
kendala UKM beberapa Negara
sumber : Tulus tambunan, 2009
Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga mengatakan,. " Jumlah
pengusaha di Indonesia hanya sekitar 1,65 persen dari jumlah penduduk saat ini. Kita kalah
jauh dibandingkan dengan negara tetangga. Misalnya Singapura sebesar tujuh persen, Malaysia
lima persen, dan Thailand empat persen,". Padahal agar perekonomian Indonesia dapat
berkembang lebih cepat diperlukan lebih
dari
wirausaha atau berkecimpung dalam UMKM. Singapura, sebuah negara kecil namun
mempunyai 7 persen dari jumlah penduduknya merupakan wirausaha dan mempunyai banyak
UMKM. Sedangkan Malaysia, lebih dari 2 persen jumlah penduduknya merupakan para
interpreneur yang berkecimpung dalam berbagai usaha mikro.
Table 2
Anggaran pendapatan Negara 2007-2015
Sumber : kementrian keuangan
Tidak dipungkiri bahwa UMKM juga mempunyai kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja
serta penerimaan negara terutama pajak. Perkembangan penerimaan pajak dari tahun 2007
sampai dengan 2015 juga terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata 37 persen.
Penerimaan pajak ini sebagian besar adalah dari Usaha Besar sedangkan potensi dari
UMKM perlu digali secara optimal.
Keterangan: 1) Hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha dengan total nilai
kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Pada tahun 2012, kredit sektor UMKM sebesar Rp526,3 triliun, meningkat
menjadi Rp671,7 triliun pada tahun 2014. Penggunaan kredit bank tersebut
sebagian besar, 73 persen, digunakan untuk tambahan modal kerja, sementara
sisanya digunakan untuk kegiatan investasi.
Tahun 2015, pemerintah menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp30 triliun.
Nota Keuangan dalam APBN 2015 menyebutkan alokasi anggaran program
KUR bertujuan mendorong kontribusi sektor UMKM terhadap penyerapan
tenaga kerja, meningkatkan kontribusi dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB), pertumbuhan ekspor nonmigas, dan pertumbuhan investasi.
Selanjutnya, kebijakan fiskal melalui pemberian subsidi bunga kredit program
kepada UMKM ditujukan untuk meningkatkan daya saing produksi dan akses
permodalan UMKM.
Sektor UMKM menjadi salah satu pilar perekonomian nasional dan berperan
sebagai penopang perekonomian nasional. Program KUR berkontribusi
terhadap peningkatan kapasitas usaha dan penyerapan tenaga kerja. Data BPS
tahun 2006 menyebutkan jumlah tenaga kerja UMKM tercatat sebesar 87,9
juta orang. Pada tahun 2012, jumlah tersebut meningkat sebesar 22,5 persen
atau sebanyak 107,7 juta orang. Oleh karena itu, paket kebijakan pemerintah
sangat relevan ditujukan untuk pemberdayaan sektor UMKM.
b. Fasilitas Pembiayaan Ekspor dan Dana Bergulir UMKM
Data BPS tahun 2012 menyebutkan jumlah UMKM sebanyak 56,5 juta unit
atau tumbuh 15,3 persen dari tahun 2006 yang sebanyak 49 juta unit.
Kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB tahun 2012 meningkat 46 persen
atau menjadi sebesar Rp1.505 triliun dibandingkan Rp1.032 triliun pada tahun
2006.
Sejak tahun 2009, setelah pemerintah membentuk LPEI, pembiayaan diberikan
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah kepada
korporasi dan UKM. Data BPS menunjukkan nilai ekspor UMKM tahun 2012
tercatat tumbuh 28,2 persen sebesar Rp208 triliun dari tahun 2009 yang
sebesar
Rp162,2
triliun.
Selanjutnya
pada
tahun
2015,
pemerintah
DAFTAR PUSTAKA
Achya Ngasuko, Tri, 2015, Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia Menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN, [online], (http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/daya-saingsumber-daya-manusia-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean, diakses tanggal 13
Pebruari 2016)
Kementrian Keuangan, 2015, Indeks Daya Saing Global Indonesia Duduki Peringkat 37 dari
140
Negara,
[online],
(http://www.kemenkeu.go.id/Berita/indeks-daya-saing-global-
Asean,
[online],
(http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/strategi-pemberdayaan-
[online],
(http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/meningkatkan-daya-saing-investasi-
[online],
(http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kebijakan-fiskal-dan-peningkatan-
Tabel :
Neraca Perdagangan Indonesia http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesiaexport-import/indonesia-trade-balance
http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1179