Analisis Kebijakan Yang Relevan Pelaku Ekonomi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

1.

ANALISIS KEBIJAKAN YANG RELEVAN


A. Kebijakan Peningkatan Kinerja dan Daya saing
1. Pengertian dan Faktor Kinerja dan Daya Saing
Banyak negara di dunia ini yang memproduksi dan mengekspor komoditas yang
sama dengan yang diproduksi Indonesia, baik ke pasar dunia maupun ke pasar
domestik Indonesia. Ini berarti bahwa banyak negara yang menjadi pesaing bagi
Indonesia. Dengan semakin liberal perdagangan dunia, termasuk menyatunya
ekonomi ASEAN melalui ASEAN Economic Community 2015, persaingan antar
negara akan semakin tinggi. Untuk dapat bersaing baik di pasar dunia, maupun
pasar domestik, upaya peningkatan daya saing perlu terus dilakukan melalui
intervensi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi daya saing tersebut. Daya saing
(competitiveness) adalah kekuatan untuk menembus pasar ekspor sekaligus sebagai
kekuatan untuk membendung impor.
Keberhasilan dalam perdagangan internasional suatu negara dapat dilihat dari daya
saingnya. Daya saing ini merupakan suatu konsep umum yang digunakan didalam
ekonomi, yang merujuk kepada komitmen terhadap persaingan pasar

terhadap

keberhasilannya dalam persaingan internasional. Daya saing telah menjadi kunci


bagi perusahaan, negara maupun wilayah untuk bisa berhasil dalam partisipasinya
dalam globalisasi dan perdagangan bebas dunia (Bustami dan Hidayat, 2013).
Daya saing suatu komoditas dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Irawati et al. (2008), faktor-faktor yang dimaksud adalah: (a) Ketersediaan SDA, (b)
Kualitas SDM yang ditentukan oleh tingkat pendidikan, (c) Kualitas hidup
masyarakat, dan (d) Prasarana dan sarana untuk menunjang kesejahteraan
masyarakat. Makin tinggi tingkat daya saing suatu komoditas, maka makin tinggi
pula tingkat kesejahteraan pelaku usahanya.
Sementara menurut Kalaba (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
suatu komoditas ekspor adalah sebagai berikut: (a) harga domestik komoditas itu
sendiri. Kenaikan harga domestik akan mendorong produsen lokal lebih
meningkatkan jumlah produksinya dan memperhatikan mutu hasilnya, sehingga
komoditas tersebut mendapat tempat di pasar internasional. Efek dari peningkatan
harga domestik tersebut adalah meningkatnya

pendapatan

yang kemudian

meningkatkan daya saing komoditas. Namun kenaikan harga domestik akan diikuti
peningkatan daya saing jika pada saat yang sama terjadi juga peningkatan harga
domestik komoditas yang sama di negara-negara pesaing, (b) harga internasional
komoditas sendiri dalam dolar AS. Kenaikan harga internasional akan mendorong

eksportir untuk meningkatkan volume ekspor sehingga nilai ekspor akan meningkat
dan akan meningkatkan daya saing di pasar internasional, (c) nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah berpengaruh negatif terhadap daya saing
komoditas ekspor pertanian. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
menyebabkan harga relatif ekspor komoditas pertanian Indonesia menjadi lebih
murah, sehingga eksportir didalam jangka pendek akan cenderung mengurangi
volume ekspor, sehingga daya saing akan menurun. Namun pengurangan ekspor
produk primer akan mendorong produksi produk olahan. Sebagai contoh, penurunan
ekspor biji kakao akan meningkatkan produksi pasta, lemak, dan bubuk, dan (d) nilai
tukar mata uang negara re-eksportir terhadap dolar AS. Ada beberapa negara yang
mengimpor komoditas pertanian Indonesia kemudian mengekspornya, baik di dalam
bentuk primer maupun olahan. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang
mengimpor kakao biji dari Indonesia, kemudian mengekspornya ke pasar dunia.
Nilai tukar Ringgit Malaysia (RM) dan dolar Singapura (SGD) berpengaruh positif
terhadap daya saing ekpor biji kakao Indonesia. Jika kedua negara itu hanya sebagai
importir saja, seharusnya akan menurunkan daya saing biji kakao Indonesia karena
keduanya akan mengurangi impor. Namun karena kedua negara itu juga sebagai
eksportir biji kakao, maka melemahnya RM dan SGD akan meningkatkan ekspor,
yang pada akhirnya berdampak positif terhadap impor dari Indonesia (berarti ekspor
Indonesia meningkat). Kaidah demikian juga berlaku bagi komoditas-komoditas
pertanian lainnya.
Selanjutnya, Cahill (2005) mengindikasikan adanya dua faktor determinan daya
saing. yaitu sebagai berikut: (a) akses pasar (market access). Faktor ini merupakan
pilar kunci, dimana penurunan hambatan tarif dan non-tarif akan mendorong ekspor
ke negara-negara yang mengenakan kebijakan pengurangan hambatan perdagangan
tersebut. Lebih dari 75% perolehan ekspor berasal dari penurunan tarif, dan (b)
Kompetisi ekspor (export competition). Kebijakan subsidi ekspor (utamanya oleh
UE), kredit ekspor (utamanya oleh AS), monopoli ekspor (utamanya oleh Kanada
dan Australia), dan bantuan pangan (oleh AS dan lain-lain), berdampak melemahkan
daya saing Indonesia karena subsidi ekspor dan kredit ekspor menjadikan harga
produk-produk

mereka

menjadi

lebih

murah,

sementara

monopoli

tidak

memungkinkan negara lain termasuk Indonesia masuk.


Sementara

menurut Simanjuntak (2011), energi yang murah, suku bunga yang

rendah, infrastruktur yang lebih baik, produktivitas yang tinggi, dan sumber daya

alam yang besar, mempunyai kontribusi penting bagi meningkatnya daya saing.
China mempunyai kesemuanya itu sehingga berani bersaing dengan negara-negara
lain termasuk Indonesia.
Kajian Ismail dan Syafitri (2005) menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya saing komoditas pertanian Indonsia, yaitu: (a) Kapasitas
produksi terbatas sehingga produsen pertanian tidak mampu memenuhi permintaan
dunia diatas jumlah tertentu, (b) Petani kurang informasi mengenai potensi pasar
yang muncul akibat depresiasi Rupiah, (c) Komoditas yang dihasilkan mempunyai
kualitas yang rendah, dan (d) Kurangnya penguasaan teknologi dan inovasi sehingga
pengembangan produk baru (diferensiasi produk) terbatas.

2. Posisi Daya Saing Indonesia diantara Negara Lainya


World Economic Forum telah merilis Global

Competitiveness

Report 2015-2016 pada akhir bulan lalu. Dalam laporan tersebut, indeks
daya saing Indonesia tahun ini tercatat berada di peringkat ke-37 dari 140
negara yang dinilai. Peringkat Indonesia ini berada di atas negara-negara
seperti Portugal yang berada di peringkat 38, Italia di peringkat 43, Rusia di
peringkat 45, Afrika Selatan di peringkat 49, India di peringkat 55, dan
Brazil yang berada di peringkat 75. Di level ASEAN sendiri, peringkat
Indonesia ini masih berada di bawah tiga negara tetangga, yaitu Singapura
yang berada di peringkat 2, Malaysia di peringkat 18 dan Thailand yang
berada di peringkat 32. Namun demikian, Indonesia masih mengungguli
Filipina yang berada di peringkat 47, Vietnam di peringkat 56, Laos di
peringkat 83, Kamboja di peringkat 90, dan Myanmar di peringkat 131.
Dicapainya posisi tersebut tak pelak menjadikan Indonesia kembali
diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia, sebagaimana yang telah
dipidatokan mantan Presiden SBY dalam pidato Nota Keuangan 2015,
dimana secara tegas Bank Dunia sudah memasukkan Indonesia dalam 10
besar ekonomi dunia berdasarkan metode perhitungan Purchasing Power
Parity (PPP). Dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,8% dalam
periode 10 tahun terakhir, pengelolaan ekonomi makro yang makin
prudent, ditambah kualitas pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan,
pencapaian tersebut memang sudah selayaknya. Namun demikian

pemerintah tetap wajib memperhatikan beberapa aspek yang masih


menjadi catatan, khususnya terkait dengan persoalan kesenjangan dan
ketimpangan beberapa faktor dan indikator daya saing tersebut.
Secara umum, penilaian terhadap indikator infrastruktur dan konektivitas
mengalami perbaikan di posisi 56, lebih baik dibandingkan tahun
sebelumnya. Indikator lainnya yang menunjukkan kriteria positif adalah
indikator kualitas hubungan antara pemerintah dan swasta, melompat
hingga 14 peringkat di posisi 53, begitupula indikator efisiensi
pemerintahan yang berada di ranking 36. Sayangnya, untuk beberapa
indikator lainnya, justru memperlihatkan fakta yang berkebalikan.
Tingkat korupsi di Indonesia dinyatakan masih dalam kondisi yang
membahayakan, berada di peringkat 87. Meskipun pemerintah sudah
mengupayakan pemberantasan korupsi di berbagai tingkatan, dampak
yang ditimbulkan ternyata masih sangat minim khususnya bagi upaya
mendongkrak daya saing.
Persoalan defisit anggaran juga masih membebani indikator makro
ekonomi. Sebagai sebuah indikator, kemampuan mengelola defisit
anggaran ini memang sering dijadikan tolak ukur kinerja utama
pemerintah. Defisit yang terkendali, tentu memberikan ruang gerak yang
cukup besar bagi pemerintah. Sebaliknya defisit yang bergejolak, selain
membahayakan kondisi stabilitas fiskal, juga menimbulkan potensi
penarikan pembiayaan hutang luar negeri. Mengutip data pemerintah,
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kemampuan mengendalikan defisit
anggaran sebetulnya relatif memuaskan. Tahun 2007 misalnya, defisit
level 1,3% PDB atau senilai Rp50,1 triliun, sementara tahun 2009 stabil
di level 1,6% PDB atau Rp88,6 triliun. APBN-P 2011 pun mencatat
realisasi defisit anggaran 2,1% PDB, sementara tahun 2013 sebesar
2,38% dan 2014 sebesar 1,69% PDB.
Problem besar lainnya terkait persoalan ketenagakerjaan, dimana
indikator pasar tenaga kerja Indonesia turun sampai 7 peringkat di posisi
110, dengan tingkat partisipasi pekerja wanita menempati peringkat 112.
Sektor lain yang juga mendapat perhatian serius adalah masalah
kesehatan publik. Mudahnya penyebaran wabah penyakit, ditambah
infant mortality yang masih tinggi, menjadikan Indonesia berada di

level yang sama dengan kawasan SubSahara Afrika, di ranking 99.


Indikator kesiapan teknologi juga tergolong rendah, menempati
peringkat 77, aspek penggunaan teknologi informasi di posisi 94.
Jika disimpulkan, rekomendasi WEF menyebutkan bahwa indikator daya
saing global Indonesia belum memperlihatkan hasil yang merata.
Sejumlah indikator menunjukkan perbaikan yang cukup mengesankan,
sejumlah indikator lain justru mengkhawatirkan. Beberapa indikator
justru memperlihatkan kesan berkebalikan, misalnya indikator efisiensi
pemerintah dengan indikator korupsi. Korupsi juga tercatat sebagai
hambatan tertinggi dalam berbisnis di Indonesia, bersama dengan
instabilitas kebijakan, persoalan hukum serta rendahnya kualitas sumber
daya manusia (SDM).
Hasil survei lain dari World Bank dengan judul Ease of Doing Business
2016 yang dirilis beberapa bulan lalu sedikit kontradiktif. Dalam laporan
tersebut dinyatakan bahwa kemudahan berusaha di Indonesia meningkat
sebelas peringkat dari sebelumnya peringkat ke-120 menjadi peringkat
ke-109 dari 189 negara yang disurvei oleh World Bank. Kemudahan
bisnis di Indonesia akan mendorong para pengusaha dari dalam maupun
luar negeri untuk memulai bisnis ataupun malakukan ekspansi bisnis di
Indonesia. Di sisi lain, apabila dikaitkan dengan IMD World Talent
Report 2015, penulis berpandangan bahwa hal ini merupakan sinyal
bahwa tenaga berbakat dan terampil Indonesia kurang bisa bersaing
dengan baik dengan warga negara ASEAN lainnya khususnya Singapura,
Thailand dan Malaysia. Jangan sampai kemudahan bisnis yang telah
diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia justru lebih dimanfaatkan
negara lain dalam berbisnis di Indonesia dengan tetap membawa tenaga
kerja terampil dari negaranya sementara warga negara Indonesia tidak
bisa bersaing dengan warga negara asing lainnya.
Survei tentang sisi positif Indonesia juga diungkap oleh Legatum
Institute dalam The Legatum Prosperity Index 2015. Survei tersebut
menceritakan kisah kemajuan manusia tidak hanya sekedar dari sisi
ekonomi. Agar suatu negara tumbuh dengan baik, suatu negara harus
memberikan kesempatan dan kebebasan kepada warganya. Survei ini
juga menunjukkan bagaimana akses terhadap kualitas kesehatan dan

pendidikan sehingga negara tersebut bisa tumbuh menjadi negara yang


lebih maju. Survei juga membuktikan bahwa pemerintahan yang efektif
dan transparan akan mampu memberdayakan warga negaranya untuk
mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hal yang patut digarisbawahi
dalam Prosperity Index 2015 adalah bahwa Indonesia berdiri sebagai
negara dengan performa terbaik secara keseluruhan. Hal ini tercermin
bahwa dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir sejak tahun 2009,
Indonesia mengalami kenaikan sebanyak 21 peringkat dari peringkat ke85 ke peringkat ke-64.
Nilai ekspor dan nilai impor merupakan landasan pemikiran dalam mengukur
keunggulan komparatif suatu negara. Dalam kasus Indonesia, nilai ekspor
suatu komoditas dapat saja besar tetapi nilai impor untuk komoditas tersebut
juga besar atau bahkan lebih besar.

Table 2.
Neraca Perdagangan Indonesia
Sumber: BPS, Processed by Trade Data and Information Center, Ministry of
Trade
Nilai neraca perdagangan Indonesia Desember 2015 mengalami defisit
US$0,23 miliar dipicu oleh defisit sektor migas US$0,50 miliar, walaupun
sektor nonmigas surplus US$0 ,27 miliar.
Dari sisi volume perdagangan, pada Desember 2015 neraca volume
perdagangan Indonesia mengalami surplus 28,49 juta ton. Hal tersebut
didorong oleh surplusnya neraca volume perdagangan nonmigas 29,18 juta
ton, namun demikian sektor migas defisit 0,69 juta.
3. Kebijakan Pemerintah dalam Peningkatan Kinerja dan Daya Saing

Indonesia
Berbagai uraian di atas tentu membutuhkan perhatian yang serius. Dan
secara tidak langsung, ada hal yang cukup menarik ketika menyimak
pidato kerakyatan Presiden tepilih Joko Widodo. Selain himbauan untuk
saling bekerjasama dan sapaan untuk seluruh profesi, jargon kerja, kerja
dan kerja sekiranya menjadi solusi yang ampuh bagi upaya memperbaiki
berbagai indikator daya saing Indonesia yang masih memprihatinkan.
Ditambah dengan kecepatan dan ketegasan Presiden, ke depannya daya
saing Indonesia akan meningkat. Persoalannya, Presiden seorang tentu
tidak mampu mewujudkan semua impian tersebut. Dibutuhkan kerjasama
yang seimbang dari seluruh Menteri dan jajaran pembantu Presiden serta
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dalam jangka pendek, APBN 2015 dapat dijadikan dukungan yang
utama. Pemerintah harus dapat menjadikan APBN sebagai enginee of
growth melalui berbagai belanja yang berkualitas. Sayangnya, beberapa
pihak justru mempertanyakan hal ini. Berdasarkan data pemerintah,
hingga 29 Agustus 2014, realisasi belanja negara mencapai 55,9% atau
sekitar Rp1.049 triliun dari pagu 1.876,9 triliun APBN-P 2014. Dari
besaran tersebut, realisasi belanja pemerintah pusat mencapai 53,4%
atau Rp683,9 triliun sementara transfer ke daerah 61,2% atau sekitar
Rp365,3 triliun. Di dalam komponen belanja pemerintah pusat, realisasi
pembayaran kewajiban utang mencapai 63,6% atau Rp86,2 triliun dari
pagu Rp135,5 triliun. Disusul realisasi belanja subsidi 61,7% atau
Rp248,5 triliun, belanja pegawai sebesar Rp164,8 triliun atau 63,8%,
belanja bantuan sosial 53,1% atau Rp51,4 triliun dan belanja barang
Rp82,6 triliun atau 42,3%.
Fakta realisasi belanja modal yang baru mencapai 30,2% atau Rp48,6
triliun, mungkin patut menjadi keprihatinan bersama.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi tersebut relatif hampir
sama. Hingga 30 Agustus 2013, realisasi belanja negara mencapai
54,8% atau sekitar Rp945,8 triliun dari pagu Rp1.726,2 triliun dalam
APBN-P 2013. Realisasi belanja pemerintah pusat sendiri mencapai
Rp615,6 triliun atau 51,4% sementara transfer ke daerah mencapai
Rp330,1 triliun atau 62,4%. Dalam komponen belanja pemerintah pusat,

realisasi pembayaran kewajiban utang mencapai 64,8% atau Rp72,9


triliun, disusul belanja subsidi 61,1% atau Rp212,8 triliun, belanja
pegawai Rp152,6 triliun atau 65,5%, belanja bantuan sosial Rp45,7
triliun atau 55,4% serta belanja barang Rp70,0 triliun atau 33,9%.
Realisasi belanja modal kembali yang paling rendah sekitar Rp60,6
triliun atau 31,4%.
Jika ditarik data 5 tahun ke belakang pun, sepertinya pola realisasi
belanja negara masih akan tetap sama. Pembayaran kewajiban utang,
belanja subsidi, belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja barang
selalu mendominasi, sementara belanja modal selalu tertinggal. Fakta ini
tentu menyiratkan adanya persoalan serius serta wajib dicermati oleh
pemerintahan baru, mengingat secara teori, di beberapa negara
berkembang, peran dari belanja modal pemerintah masih menjadi
penggerak utama. Hal ini jelas berkaitan dengan minimnya peran swasta
serta lembaga perbankan yang seharusnya menjadi penggerak utama laju
modernisasi di negara tersebut.
Rendahnya realisasi penyerapan anggaran pemerintah tentu bukan
menjadi bentuk dukungan yang memadai bagi upaya mendongkrak posisi
daya saing bangsa. Begitupula kinerja aparat pemerintah yang masih
melestarikan budaya birokrasi dan administrasi yang serba sulit.
Inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Presiden di kantor Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanyalah satu dari serangkaian
niat tulus pemerintah untuk terus memperbaiki iklim usaha yang pro
investasi demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan.
Kementerian/Lembaga (K/L) yang belum maksimal dalam menjalankan
tugasnya, juga harus terus dievaluasi, khususnya yang terkait dengan
misi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Reformasi juga perlu
dilakukan di dalam sistem penganggaran, dimana asumsi anggaran
yang besar akan mendorong kinerja yang lebih baik" adalah tidak 100%
tepat. Untuk K/L yang sudah mendapatkan alokasi anggaran besar, tapi
ternyata kinerjanya masih jalan di tempat, Pemerintah harus berani
untuk memberikan hukuman meski harus berhadapan dengan regulasi
hukum demi tercapainya asas keadilan dan pemerataan. Ingat kegagalan

dalam menciptakan kinerja pelayanan publik yang handal, dapat


dianggap sebagai bentuk ketidakberhasilan pemerintah mengemban
amanat masyarakat.

B. Kebijakan Perusahaan Kecil Menengah


1. Pentingnya UMKM
Dalam perekonomian Indonesia UMKM merupakan kelompok usaha yang
memiliki jumlah paling besar dan terbukti tahan terhadap berbagai macam
goncangan krisis ekonomi. Kriteria usaha yang termasuk dalam Usaha Mikro
Kecil dan Menengah telah diatur dalam payung hukum. Berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan
pengertian dan kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Menurut Rahmana (2008), beberapa lembaga atau instansi bahkan
memberikan definisi tersendiri pada Usaha Kecil Menengah (UKM), diantaranya
adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan
UKM),

Badan

Pusat

Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No

316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994. Definisi UKM yang disampaikan


berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.
Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil

Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil
(UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha
milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp
200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.
Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas
tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga
kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang
memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil
didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan
kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp
600.000.000 atau aset/aktiva setinggi- tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah
dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan
koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak,
nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa)
Dalam rangka pemberdayaan UMKM di Indonesia, Bank Indonesia (2011)
mengembangkan filosofi lima jari/ Five finger philosophy, maksudnya setiap jari
mempunyai peran masing-masing dan tidak dapat berdiri sendiri serta akan lebih
kuat
jika digunakan secara bersamaan.
1

Jari jempol, mewakili peran lembaga keuangan yang berperan dalam


intermediasi keuangan, terutama untuk memberikan pinjaman/pembiayaan
kepada nasabah mikro, kecil dan menengah serta sebagai Agents of
development (agen pembangunan).

Jari telunjuk, mewakili regulator yakni Pemerintah dan Bank Indonesia yang
berperan
dalam Regulator sektor riil dan fiskal, Menerbitkan ijin-ijin usaha,
Mensertifikasi tanah sehingga dapat digunakan oleh UMKM sebagai agunan,
menciptakan iklim yang kondusif dan sebagai sumber pembiayaan.

Jari tengah, mewakili katalisator yang berperan dalam mendukung perbankan

dan UMKM, termasuk Promoting Enterprise Access to Credit (PEAC) Units,


perusahaan penjamin kredit.
4

Jari manis, mewakili fasilitator yang berperan dalam mendampingi UMKM,


khususnya usaha mikro, membantu UMKM untuk memperoleh pembiayaan
bank, membantu bank dalam hal monitoring kredit dan konsultasi
pengembangan UMKM.

Jari kelingking, mewakili UMKM yang berperan dalam pelaku usaha,


pembayar pajak dan pembukaan tenaga kerja.

Dalam rangka menuju Pasar Bebas Asean 2015, masih banyak peluang
UMKM untuk meraih pangsa pasar dan peluang investasi. Guna memanfaatkan
peluang tersebut, maka tantangan yang terbesar bagi UMKM di Indonesia
menghadapi Pasar Bebas Asean adalah bagaimana mampu menentukan strategi
yang tepat guna memenangkan persaingan. Saat ini, struktur ekspor produk
UMKM Indonesia banyak berasal dari industri pengolahan seperti furniture,
makanan dan minuman, pakaian jadi atau garmen, industri kayu dan rotan, hasil
pertanian terutama perkebunan dan perikanan, sedangkan di sektor pertambangan
masih sangat kecil (hanya yang berhubungan dengan yang batu- batuan, tanah liat
dan pasir). Secara rinci barang ekspor UMKM antara lain alat-alat rumah tangga,
pakaian jadi atau garmen, batik, barang jadi lainnya dari kulit, kerajinan dari
kayu, perhiasan emas atau perak, mainan anak, anyaman, barang dari rotan,
pengolahan ikan, mebel, sepatu atau alas kaki kulit, arang kayu/tempurung,
makanan ringan dan produk bordir. Sedangkan

bahan baku produksi

UMKM

yang digunakan adalah bahan baku lokal sisanya dari impor seperti plastik, kulit
dan beberapa zat kimia.
Beberapa

kendala

UMKM

yang

banyak

dialami

negara-negara

berkembang termasuk Indonesia antara lain adalah masalah kurangnya bahan


baku yang mesti harus diimpor dari negara lain untuk proses produksi. Disamping
itu pemasaran barang, permodalan, ketersediaan energi, infrastruktur dan
informasi juga merupakan permasalahan yang sering muncul kemudian, termasuk
masalah-masalah non fisik seperti tingginya inflasi, skill, aturan perburuhan dan
lain sebagainya. Tabel 3 di bawah ini memperlihatkan kendala-kendala yang
sering dialami negara Asean termasuk Indonesia.

Table 1.
kendala UKM beberapa Negara
sumber : Tulus tambunan, 2009

Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga mengatakan,. " Jumlah
pengusaha di Indonesia hanya sekitar 1,65 persen dari jumlah penduduk saat ini. Kita kalah
jauh dibandingkan dengan negara tetangga. Misalnya Singapura sebesar tujuh persen, Malaysia
lima persen, dan Thailand empat persen,". Padahal agar perekonomian Indonesia dapat
berkembang lebih cepat diperlukan lebih

dari

persen dari jumlah penduduk sebagai

wirausaha atau berkecimpung dalam UMKM. Singapura, sebuah negara kecil namun
mempunyai 7 persen dari jumlah penduduknya merupakan wirausaha dan mempunyai banyak
UMKM. Sedangkan Malaysia, lebih dari 2 persen jumlah penduduknya merupakan para
interpreneur yang berkecimpung dalam berbagai usaha mikro.

Table 2
Anggaran pendapatan Negara 2007-2015
Sumber : kementrian keuangan

Tidak dipungkiri bahwa UMKM juga mempunyai kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja
serta penerimaan negara terutama pajak. Perkembangan penerimaan pajak dari tahun 2007
sampai dengan 2015 juga terus mengalami peningkatan, dengan rata-rata 37 persen.
Penerimaan pajak ini sebagian besar adalah dari Usaha Besar sedangkan potensi dari
UMKM perlu digali secara optimal.

2. Kebijakan Pemerintah dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Mikro Menengah


(UMKM)

Awal September 2015, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi


untuk mendorong perekonomian nasional. Salah satu poin kebijakan tersebut
ditujukan bagi pemberdayaan sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM). Pemerintah memberikan fasilitas subsidi bunga dalam pembiayaan
ekspor melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan program
Kredit Usaha Rakyat (KUR). Fasilitas tersebut memungkinkan UMKM
memperoleh kredit berbunga rendah, dari 22-23 persen menjadi 12 persen.
Pemerintah bertekad meningkatkan kemandirian ekonomi, dan daya saing di
pasar internasional. Pemberian fasilitas melalui program KUR dan LPEI
meningkatkan

kemampuan permodalan UMKM. Sejalan dengan hal

tersebut, Rencana Kerja Pemerintah tahun 2016 mencantumkan upaya


peningkatan daya saing UMKM termasuk dalam sasaran pembangunan
dimensi pemerataan antarkelompok pendapatan.
Kriteria UMKM Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
Tentang UMKM
Pelaku Usaha
Usaha Mikro
Usaha Kecil
Usaha Menengah

Kekayaan Bersih (Rupiah)


Sampai dengan 50.000.000
50.000.000-500.000.000
500.000.000-10.000.000.000

Hasil Penjualan Tahunan (Rupiah)


Sampai dengan 300.000.000
300.000.000-2.500.000.000
2.500.000.000-50.000.000.000

Keterangan: 1) Hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha dengan total nilai
kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

UMKM merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian nasonal.


Hal ini tercermin dari besarnya penyerapan tenaga kerja oleh sektor UMKM.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan jumlah tenaga
kerja di sektor UMKM sebesar 107,6 juta pekerja atau sekitar 97 persen dari
jumlah pekerja di Indonesia. Sebagian besar tenaga kerja berada pada usaha
Mikro yang mencapai 90 persen. Adapun persentase tenaga kerja pada usaha

Kecil dan Menengah masing-masing mencapai 4 persen dan 3 persen.

a. Program KUR UMKM


Saat ini, Indonesia dihadapkan pada keterbukaan ekonomi dunia. Hal ini
membuka peluang akses pasar dan peningkatan pendapatan (devisa). Situasi
ini berdampak kepada pelaku ekonomi domestik, termasuk sektor UMKM.
Sektor UMKM didorong terhubung dengan rantai nilai global (Global Value
Chain/GVC) dan meningkatkan kontribusi bagi pertumbuhan
ekonomi. Di sisi lain, peningkatan keterlibatan UMKM dalam GVC masih
dihadapkan pada kendala permodalan dan pemasaran.1

Guna mengatasi permasalahan permodalan UMKM, pemerintah memberikan


dukungan fasilitas pembiayaan yang berasal dari perbankan. Dukungan
pemberdayaan UMKM dilaksanakan melalui alokasi anggaran pemberian
jaminan

kredit dalam Program KUR. Data Kementerian Keuangan

menyebutkan bahwa sejak November 2007 sampai dengan November 2014,


jumlah KUR yang berhasil disalurkan mencapai Rp159,2 triliun kepada
12.145.201 debitur.
Perkembangan pemanfaatan fasilitas KUR bagi UMKM melalui Bank Umum
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2012, total kredit melalui skema Kredit
dengan Penjaminan Tertentu mencapai Rp39,7 triliun, meningkat menjadi
Rp48,3 triliun pada tahun 2014. Penyaluran KUR bagi usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah tahun 2012 masing-masing sebesar 43 persen, 51 persen, dan 6
persen. Pada tahun 2014, program KUR dimanfaatkan
oleh sektor usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, masing-masing sebesar 56
persen, 40 persen, dan 4 persen.
Program KUR berhasil meningkatkan akses UMKM terhadap fasilitas
pembiayaan perbankan. Data Bank Indonesia yang dirilis BPS menunjukkan
perkembangan kredit

UMKM pada Bank Umum mengalami peningkatan.

Pada tahun 2012, kredit sektor UMKM sebesar Rp526,3 triliun, meningkat

menjadi Rp671,7 triliun pada tahun 2014. Penggunaan kredit bank tersebut
sebagian besar, 73 persen, digunakan untuk tambahan modal kerja, sementara
sisanya digunakan untuk kegiatan investasi.
Tahun 2015, pemerintah menargetkan penyaluran KUR sebesar Rp30 triliun.
Nota Keuangan dalam APBN 2015 menyebutkan alokasi anggaran program
KUR bertujuan mendorong kontribusi sektor UMKM terhadap penyerapan
tenaga kerja, meningkatkan kontribusi dalam pembentukan Produk Domestik
Bruto (PDB), pertumbuhan ekspor nonmigas, dan pertumbuhan investasi.
Selanjutnya, kebijakan fiskal melalui pemberian subsidi bunga kredit program
kepada UMKM ditujukan untuk meningkatkan daya saing produksi dan akses
permodalan UMKM.
Sektor UMKM menjadi salah satu pilar perekonomian nasional dan berperan
sebagai penopang perekonomian nasional. Program KUR berkontribusi
terhadap peningkatan kapasitas usaha dan penyerapan tenaga kerja. Data BPS
tahun 2006 menyebutkan jumlah tenaga kerja UMKM tercatat sebesar 87,9
juta orang. Pada tahun 2012, jumlah tersebut meningkat sebesar 22,5 persen
atau sebanyak 107,7 juta orang. Oleh karena itu, paket kebijakan pemerintah
sangat relevan ditujukan untuk pemberdayaan sektor UMKM.
b. Fasilitas Pembiayaan Ekspor dan Dana Bergulir UMKM
Data BPS tahun 2012 menyebutkan jumlah UMKM sebanyak 56,5 juta unit
atau tumbuh 15,3 persen dari tahun 2006 yang sebanyak 49 juta unit.
Kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB tahun 2012 meningkat 46 persen
atau menjadi sebesar Rp1.505 triliun dibandingkan Rp1.032 triliun pada tahun
2006.
Sejak tahun 2009, setelah pemerintah membentuk LPEI, pembiayaan diberikan
baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah kepada
korporasi dan UKM. Data BPS menunjukkan nilai ekspor UMKM tahun 2012
tercatat tumbuh 28,2 persen sebesar Rp208 triliun dari tahun 2009 yang
sebesar

Rp162,2

triliun.

Selanjutnya

pada

tahun

2015,

pemerintah

mengalokasikan dana sebagai tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN)


kepada LPEI sebesar Rp1 triliun. Nota Keuangan APBN 2015 menyebutkan
salah satu tujuan PMN kepada LPEI adalah untuk meningkatkan kapasitas
LPEI dalam memberikan pembiayaan berorientasi ekspor kepada sektor UKM.
Selain melalui program KUR dan LPEI, dukungan Pemerintah terhadap sektor
UMKM tercermin dalam alokasi APBN 2015 melalui alokasi dana bergulir.
Kebijakan dana bergulir tersebut telah dilaksanakan sejak tahun 2008 untuk
penguatan modal bagi Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
(KUMKM). Nota Keuangan APBN 2015 menyebutkan dana bergulir telah
direalisasikan sebesar Rp4.567,7 miliar kepada 570.350 KUMKM serta
menyerap kurang lebih 1.140.700 tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Achya Ngasuko, Tri, 2015, Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia Menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN, [online], (http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/daya-saingsumber-daya-manusia-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean, diakses tanggal 13
Pebruari 2016)
Kementrian Keuangan, 2015, Indeks Daya Saing Global Indonesia Duduki Peringkat 37 dari
140

Negara,

[online],

(http://www.kemenkeu.go.id/Berita/indeks-daya-saing-global-

indonesia-duduki-peringkat-37-dari-140-negara, diakses tanggal 13 Pebruari 2016)


Rina Wijayanti, Rahma, dkk, 2014, Strategi Pemberdayaan UMKM Menghadapi Pasar
Bebas

Asean,

[online],

(http://www.kemenkeu.go.id/Kajian/strategi-pemberdayaan-

umkm-menghadapi-pasar-bebas-asean, diakses tanggal 13 Pebruari 2016)


Tri Haryanto, Joko, 2014, Kualitas Belanja, Kinerja, dan Daya Saing Indonesia, [online],
(http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kualitas-belanja-kinerja-dan-daya-saing-indonesia,
diakses tanggal 13 Pebruari 2016)
Zainul Abidin, Muhammad, 2015, Meningkatkan Daya Saing Investasi Melalui Stimulus
Fiskal,

[online],

(http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/meningkatkan-daya-saing-investasi-

melalui-stimulus-fiskal, diakses tanggal 13 Pebruari 2016)


Zainul, Abidin, Muhammad, 2015, Kebijakan Fiskal dan Peningkatan Peran Ekonomi
UMKM,

[online],

(http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/kebijakan-fiskal-dan-peningkatan-

peran-ekonomi-umkm, diakses tanggal 13 Pebruari 2016)

Tabel :
Neraca Perdagangan Indonesia http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesiaexport-import/indonesia-trade-balance
http://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1179

Anda mungkin juga menyukai