Sajak-Sajak Sahabat Sadhar - 2014 PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 72

Sajak-sajak Sahabat Sadhar

Sebuah Apresiasi Puisi

= Novita Dewi =

Penerbit
Universitas Sanata Dharma

Sajak-sajak Sahabat Sadhar


Sebuah Apresiasi Puisi:
Copyright 2014
Dra. Novita Dewi, M.S., M.A., (Hons.) Ph.D.
Prodi Kajian Bahasa Inggris, Pasca Sarjana.
Universitas Sanata Dharma

Diterbitkan oleh:
Penerbit Universitas Sanata Dharma
Jl. Affandi (Gejayan) Mrican,
Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 513301, 515253;
Ext.1527/1513; Fax (0274) 562383
e-mail: [email protected]

Penulis:
Novita Dewi

Ilustrasi Sampul:
Lieke & Pius Sigit
Tata Letak: Thoms

Cetakan Pertama 2014


ii, 133 hlm.; 148 x 210 mm.
ISBN: 978-602-9187-90-8
EAN: 9-786029-187908

Universitas Sanata Dharma berlambangkan


daun teratai coklat bersudut lima dengan
sebuah obor hitam yang menyala merah, sebuah
buku terbuka dengan tulisan Ad Maiorem Dei
Gloriam dan tulisan Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta berwarna hitam di
dalamnya. Adapun artinya sebagai berikut.
Teratai: kemuliaan dan sudut lima: Pancasila;
Obor: hidup dengan semangat yang menyalanyala; Buku yang terbuka: iImu pengetahuan
yang selalu berkembang; Teratai warna coklat:
sikap dewasa yang matang; Ad Maiorem Dei
Gloriam: demi kemuliaan Allah yang lebih
besar.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa
pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kata Pengantar

ajak-sajak Sahabat Sadhar: Sebuah Apresiasi Puisi terbit


atas budi baik banyak pihak yang telah mendukung

saya selama ini.


Saya ucapkan terimakasih kepada Dr. Yoseph Yapi Taum,
M. Hum., selaku Kepala Pusat Penerbit, LPPM, Universitas Sanata
Dharma yang memfasilitasi penerbitan buku ini. Wara yang
ditulisnya untuk sampul belakang buku ini sangat saya hargai.
Saya hargai pula profesionalisme staf penerbitan, terutama
Veronica Margiyanti yang dengan sigap menangani semua
urusan administrasi. Thomas Aquino Hermawan Martanto juga
bekerja dengan cepat tanpa meninggalkan ketelitiannya dalam
mengatur tata letak sekaligus mengawal proses penerbitan buku
ini sesuai yang telah dijadwalkan. Ilustrasi sampul oleh Lieke
membuat buku ini cantik. Ardi Wahyu Inugroho juga sangat
efektif dan cekatan dalam bekerjasama.
Rekan-rekan dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan
Program Pascasarjana terus-menerus mendorong dan memberikan
dukungan. Terimakasih atas kesetiaan yang ditunjukkan kepada
saya.
Akhirnya, buku ini tak akan pernah mewujud jika G.
Sukadi alias Jalu Suwangsa, I Dewa Putu Wijana, Ouda Teda Ena,

Henny Herawati, Yoseph Yapi Taum, dan Bakdi Soemanto


berikut karya-karya mereka yang luar biasa tak pernah hadir
dalam kehidupan saya. Pada kesempatan ini, saya sungguh ingin
menyampaikan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada
kelima sahabat yang masih mengembara di dunia ini, dan Prof.
Dr. C. Soebakdi Soemanto yang telah berbahagia bersama Bapa
di Surga. Teruslah menjadi sahabat-sahabat yang arif dan bungabunga mewangi yang menginspirasi.
Andai ada sejumlah cacat dan kekeliruan pada Sajak-sajak
Sahabat Sadhar: Sebuah Apresiasi Puisi, semua itu kealpaan saya,
dan tak satu nama pun di atas yang tercederai. Selamat
membaca.
Yogyakarta, 11 Desember 2014
Novita Dewi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

~1

~3

Pendahuluan

~5

BAB SATU
Membaca Puisi, Membaca Isi Semesta

~ 11

1.

Bumi Makin Panas

~ 13

2.

Belajar, Bermain, dan Berdoa

3.

Mencari Mesias

~ 33

~ 40

BAB DUA
Guratkan Kata, Bebaskan Jiwa

~ 49

1.

Pembebas Itu Mengambil Rupa Seekor Katak

2.

Sajak-sajak Bebas yang Memikat

3.

Tekukur Terbang Tinggi

~ 51

~ 60

~ 75

BAB TIGA
Puisi: Grafiti di Setiap Hati

~ 83

1.

Melongok Laci Imajinasi

2.

Kisahku, Kampung Halamanku:


Selayang Pandang

~ 85

~ 95

3.

Endgame: Akhir Sebuah Pencarian

Daftar Pustaka
Daftar Indeks

~ 125
~ 131

~ 108

PENDAHULUAN

ujuan utama buku Sajak-sajak Sahabat Sadhar: Sebuah


Apresiasi Puisi ini adalah terabadikannya puisi/

sajak/pantun yang tercipta di tangan para penulis yang


mempunyai ikatan emosi dengan Universitas Sanata Dharma
sejak institusi ini bernama IKIP Sanata Dharma hingga sekarang.
Keenam penyair dalam buku ini telah dan sedang mengabdikan
diri di berbagai program studi di USD; tiga di antaranya alumni
yang kembali ke almamater tercinta. Mereka menerbitkan
sejumlah karya di media massa (cetak dan daring) maupun
yang terbit dalam bentuk buku kumpulan puisi. Mereka inilah
sahabat-sahabat yang telah membuat paguyuban widyani Sanata
Dharma bangga atas ketekunan dan kesetiaan mereka bersastra.
Hakekat bersastra, yakni membaca dan menulis seperti
yang dilakukan oleh para sahabat tadi adalah mengasah akal
budi dan perasaan. Bersastra membantu memahami diri dan
berempati pada pelbagai pengalaman hidup manusia. Pengalamanpengalaman ini secara kreatif dan imajinatif dihadirkan oleh
pengarang melalui karyanya. Sayang sekali, sisa-sisa budaya
moderen

cenderung

mengedepankan

rasionalitas,

bukan

imajinasi. Padahal, di era pasca-moderen ini, hendaknya manusia


melihat pula dimensi kehidupan yang mampu mengatasi
rasionalitas, antara lain dengan pengalaman-pengalaman yang
sublim seperti seni dan sastra, walaupun rasionalitas tetap
diperlukan bagi pengembangan sains dan teknologi. Adapun

teknologi,

Martin

Heidegger

berkata,

merupakan

modus

pemaparan yang harus bersinergi dengan bentuk pemaparan lain


yang bernilai estetis agar karakter manusia berkembang menjadi
lebih holistik. Pada titik inilah pemaparan karya oleh para
penulis di lingkungan USD ini layak diberi apresiasi.
Lalu, mengapa puisi? Pertama, di zaman yang serba cepat
ini, puisi membantu mengembalikan budaya membaca dengan
mata hati, ketika informasi dapat disampaikan dengan sekejap
mata dan langsung diserap tanpa butuh permenungan. Maka,
membaca puisi tidak sama dengan membaca judul berita utama
surat kabar, tayangan iklan, atau layanan SMS, meski puisi bisa
saja tersaji secara singkat dan padat. Di sinilah kelebihan puisi:
selarik kalimat dalam puisi mempunyai bobot sama dengan satu
atau dua paragraf dari sebuah prosa. Tiap kata dalam puisi
dipilih dengan seksama untuk dinikmati dan dicerna dengan
baik. Membaca puisi dengan penuh perasaan, tenang, perlahanlahan, serta kontemplatif amat diperlukan untuk mengasah
akal-budi.
Kedua, puisi itu unik dan terbuka untuk berjuta definisi
dari yang filsafati sampai yang ugahari, dari yang klasik sampai
yang non-konvensional. Puisi adalah luapan spontan perasaanperasaan yang luar biasa, kata pujangga Inggris William
Wordsworth. Ada yang berpendapat bahwa awalan puisi adalah
kegembiraan, pengakhirannya, kebijaksanaan. Pendapat yang
lain, Puisi yang berhasil tidak diukur oleh kedalaman perasaan
penyair ketika menuliskannya, tetapi berapa dalamnya perasaan
seseorang yang membacanya. Tak ketinggalan pula definisi yang
sederhana dan nampak lugu ini: Puisi adalah cerita yang ditulis
dalam baris-baris pendek menjauhi marjin tepi kertas.

Ketiga, berbagai definisi puisi di atas boleh dikatakan telah


mewujud pada karya para penulis Sanata Dharma yang
berkumpul di sini. Jika kita percaya bahwa teori menerangi
praktik dan praktik menyempurnakan teori, mengkaji puisi-puisi
karya penyair kita ini tentu merupakan kegiatan yang tidak siasia. Keenam penyair ini mungkin saja tidak memikirkan teori
ketika berpuisi. Mereka hanya berkarya dan terus berkarya guna
berbagi cerita tentang suka maupun duka, harapan, mimpi dan
angan secara apik dan inspiratif.
Sebagai suatu karya kompilasi, buku ini berisi 9 (sembilan)
tulisan, beberapa di antaranya telah terbit dalam versi yang
sedikit berbeda sebagai kata pengantar/sekapur sirih untuk
beberapa antologi puisi. Bab Satu: Membaca Puisi, Membaca Isi
Semesta imajinasi alam dalam puisi dibahas melalui terang
Ekokritik. Refleksi G. Sukadi, F. X. Ouda Teda Ena, dan I Dewa
Putu Wijana tentang keindahan alam termasuk penganiayaan
atasnya dibahas dalam artikel pertama dari bab ini. Sub bab
kedua mencermati secara khusus nyanyian semesta ciptaan
G. Sukadi alias Jalu Suwangsa yang didendangkan di Sungai
Sepauk, Kalimantan Barat. Sub bab berikutnya mencermati
manusia sebagai ciptaan tertinggi di jagat raya yang terus
mencari untuk apa ia tercipta sebuah teka-teki yang terjawab
ketika penyair menemukan kedamaian dalam imannya.
Penyair merayakan kebebasannya ketika mengukir katakata untuk syair ciptaannya. Tema ini menjadi inti ketiga artikel
dalam Bab Dua: Guratkan Kata, Bebaskan Jiwa. Pada Sub Bab
Satu, katak, yakni tokoh tetap dalam pantun Ki Jalu, dipakai
sebagai corong atau perpanjangan lidah manusia yang tak
segan menertawakan diri atas tingkahnya. Tema dalam sub bab

pertama ini gayut dengan kegelisahan manusia yang tertangkap


dari sejumlah puisi Ouda Teda Ena yang dibahas di sub bab
berikutnya. Sub bab ketiga melihat kembali karya Jalu Suwangsa
yang kini memakai burung tekukur yang terbang pulang untuk
menggambarkan manusia usia senja yang ingin terbebas dari
rasa takut, gelisah, atau bahkan marah sebelum akhirnya pasrah
ketika akan kembali ke pangkuan Sang Pemilik Kehidupan.
Judul Bab Tiga disempal dari pernyataan Lawrence
Ferlinghetti, yakni Poetry is eternal graffiti written in the heart of
everyone. Menurut penyair Amerika ini, setiap orang menorehkan
grafiti berupa puisi di hatinya. Bab terahir buku ini Puisi: Grafiti
di Setiap Hati mencoba melihat kebenaran diktum ini melalui
beberapa puisi terpilih dari antologi puisi Henny Herawati dan
Yoseph Yapi Taum yang masing-masing dibahas pada sub bab
pertama dan kedua. Meskipun puisi semi-biografis keduanya
terlalu luas untuk diperbincangkan dalam dua buah artikel
pendek, kedua tulisanini adalah awal untuk dilanjutkan di
kesempatan lain. Bab ini ditutup dengan endgame, untuk
meminjam istilah dalam permainan catur, berupa ulasan puisipuisi Bakdi Soemanto yang sampai akhir hayatnya mendampingi
mahasiswa Program Magister Kajian Bahasa Inggris, USD.
Artikel pungkasan ini lebih tepat disebut eulogi bagi pecinta
sekaligus pelibat Samuel Beckett yang telah mengakhiri
Pencariannya (dengan P besar) secara gemilang seperti yang acap
kali dibenihkan dalam karya-karyanya.
Dengan cara yang berbeda-beda namun mirip satu sama
lain, keenam sahabat Sadhar ini melakukan peziarahan batin
lewat puisi-puisi mereka. Dan memang begitulah seharusnya
ketika penyair mencoba menggumuli masalah-masalah yang

mendalam. Dengan berpuisi, mereka mencoba memaknai legitgetir maupun hambarnya hubungan manusia dengan sesama,
termasuk dirinya sendiri, dengan alam semesta, dan dengan Sang
Penyair Agung.
Sajak-sajak Sahabat Sadhar: Sebuah Apresiasi Puisi hanya memuat
satu pandangan saja dari sekian banyak interpretasi pembaca
atas karya keenam penyair terulas. Maka, sesuai judulnya, buku
ini tidak mendaku melakukan kajian kritis atas puisi-puisi yang
ada, melainkan sebentuk penghargaan bagi para sahabat yang
telah setia menebar asa dengan mengguratkan aksara.

BAB SATU
MEMBACA PUISI,
MEMBACA ISI SEMESTA

11

Belajar, Bermain, dan Berdoa1

dalah Samuel Johnson, penyair Inggris abad ke-18,


yang

berpendapat

bahwa

puisi

hendaknya

menghantar kita untuk belajar sekaligus bermain. The end of


writing is to instruct, tuturnya, The end of poetry is to instruct by
pleasing. Tanggapan atas pendapat Johnson ini nampaknya
terbukti lewat Katak pun Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk,
yaitu ketika sang penulis Jalu Suwangsa alias G. Sukadi bersamasama dengan umat Paroki Sepauk berpuisi sambil berdendang
melengkapi indahnya alam Kalimantan Barat. Sekaligus
dipersiapkan pula sebagai buku kenangan, kumpulan puisi Sang
Katak2 ini ternyata tidak berhenti pada diktum Johnson tentang

puisi. Selain ajaran dan hiburan, dalam Katak pun Berpantun ada
pula undangan untuk doa dan refleksi lewat pantun yang
disampaikan secara renyah dan jenaka. Jalu Suwangsa mengajak
sejumlah pemantun baru, yakni warga paroki setempat dan
komunitas-komunitas lain yang mendadak ndendang itu untuk
menanggapi berbagai peristiwa dan pengalaman yang ditemui
sehari-hari: alam, manusia, Sang Pencipta, pekerjaan, pergaulan,
1
2

Versi lain tulisan ini telah terbit sebagai Catatan Pengantar untuk karya Jalu
Suwangsa Katak Pun Ikut Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk Kalimantan
Barat (Yogyakarta: Penerbit Amara Books, 2009), hal. 15 22.
Buku kumpulan pantun katak Jalu Suwangsa yang terbit sebelumnya yaitu
Katak Pun Tertawa (2007) dan Katak Pun Memilih Presiden (2008).

33

pendidikan, dan, tentu saja, komentar kocak terhadap rekan dan


mentor mereka, seperti berikut ini:

SUNGAI SEPAUK3

Sungai Sepauk amatlah keruh,


Sampan laju harus kutambat.
Biar Bapak Sukadi amatlah jauh,
Budi dan jasa selalu kuingat.
AirSepauk melimpah ruah,
Desa dan hutan di tepian.
Bapak Latut yang baik dan ramah,
Terus kukenang di kejauhan.
Atau ini:

KUPAS TEBU
Kupas tebu dibagi dua,
Mari dimakan bersama-sama.
Kalau rindu dengan orang tua,
Janganlah sayang dengan pulsa. ( KPIB ,93)
Juga ini:

UNTUK APA
Untuk apa membeli talam,
Kalau untuk menyimpan kain.

34

Jalu Suwangsa, Katak Pun Ikut Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk


Kalimantan Barat (Yogyakarta: Amara Books, 2009), hal. 114; Kutipan
selanjutnya dari buku ini ditulis dengan KPIB dan nomor halaman.

Jangan mimpi jadi imam,


Kalau masih berpikir kawin. ( KPIB ,70)
Membaca Katak pun Berpantun, mau tak mau ingatan kita
mampir ke suasana riang dan pemandangan indah di Salzburg,
Austria yang dijumpai dalam Sound of Music, film musik terkenal
sepanjang zaman yang digemari semua generasi. Getaran-getaran
dalam kumpulan pantun ini yakni pujian terhadap semesta yang
menakjubkan disertai gerak dan lagu, mengingatkan kita pada
film yang diangkat dari sandiwara musik Broadway itu. Tokoh
utama, Maria, seorang calon biarawati, naik turun bukit,
menyanyi dan menari bersama ketujuh anak Kapten Von Trapp
yang diasuhnya. Dendang dan lagu membuat anak-anak yang
susah diatur itu mulai tertarik pada hal-hal kecil di sekitar
mereka dan akhirnya semakin menyukai Maria yang semula
mereka musuhi. Berbeda dengan Kapten Von Trapp yang
mendidik anak-anaknya dengan disliplin militer yang kaku,
Maria memperkaya jiwa-jiwa muda itu dengan hal-hal yang
indah yang didapat dari hasil olah ragawi dan indrawi melalui
irama dan lagu. Syair lagu yang sederhana namun indah serta
musik yang merdu membuat Sound of Music melekat di hati anakanak dan orang tua.
Dalam Sound of Music, hanya yang serba indah, yang
membuat hati bersuka cita, yang diperkenalkan oleh Maria
kepada anak-anak asuhannya lewat musik, bukan keburukan
dunia. Bahkan ketika dunia begitu buruk memperlakukan
mereka, musiklah yang menyelamatkan seluruh keluarga Von
Trapp termasuk Maria, yang kelak diperistri oleh sang kapten,
dari kejaran tentara Nazi Jerman lewat suatu lomba paduan
suara. Di sinilah Sound of Music berbeda dengan Sound of the

35

Singing Frog along the River Sepauk, karena yang disebut


belakangan ini selain memuji juga menangisi dunia, dilantunkan
dalam Katak pun Berpantun nyanyi sendu tentang perilaku
manusia yang secara sadar menghancurkan semesta dan
kehidupannya. Maka Katak Sungai Sepauk juga tak segan-segan
menggigit ketika disakiti. Ia berkata:

PROYEK LOKAL
Proyek lokal pembangunan,
Buat jalan tanpa koral.
Produk gagal pendidikan,
Orang pandai tidak bermoral. ( KPIB , 19)
Mengapa Maria Von Trapp dan Jalu Suwangsa memilih
puisi dan irama lagu pantun dan kondan? Puisi dan lirik (yang
di) lagu (kan) merupakan dua karya seni yang serupa tapi tak
sama, namun keduanya bisa saling mengisi. Keduanya begitu
penting untuk mengasah imajinasi kita. Menurut Carla Starret,
pengelola SongLyricist.com, sebuah situs terdepan untuk segala
sesuatu yang berkaitan dengan puisi, penulisan lagu, musik, film,
dan sastra, persamaan mendasar antara puisi dan lirik lagu
terletak pada kemampuan keduanya mementikkan api imajinasi
lewat tema-tema yang menyentuh, menggugah emosi, dan
orisinal. Punggawa seni yang dikenal luas di London, Paris, dan
New York ini lebih lanjut menekankan pentingnya penerapan
piranti puitik atau gaya bahasa pada puisi dan lirik lagu seperti
metafor, simili, aliterasi, hiperbola, personifikasi, dan sebagainya.
Penggunaan bahasa, permainan kata, dan pemilihan istilah
perlu dipadukan dengan rima dan irama lagu. Perpaduan ini
harus benar-benar merangsang otak dan telinga pendengar agar

36

pantun sampai di lubuk hati. Bahwa kegiatan ini tidak mudah


dikeluhkan oleh katak yang sedang mencoba berpantun berikut
ini:

SI MAMA
Si mama membeli manggis,
Si Atun keluar kota naik bis nusa indah.
Lama-lama kata-kataku habis,
Pantun perlu kata cerdas dan indah. ( KPIB , 20)
Jelaslah di sini bahwa menulis puisi atau pantun untuk
dilantunkan sebagai lagu membutuhkan koordinasi yang baik
antara ketrampilan menulis, berpikir, dan refleksi diri hand,
headand heart. Pembaca dipersilahkan menilai sejauh mana
koordinasi tersebut nampak pada masing-masing pantun,
mengingat beberapa diantaranya ditulis oleh pemula yang acap
kali tidak bersedia disebutkan identitasnya.
Namun, sebelum pembaca bergegas melompat bersama
Sang Katak menyusuri Sungai Sepauk, ada sebuah catatan kecil
seputar momen kreativitas penyair di akhir tulisan ini. Setiap
penyair mempunyai caranya sendiri yang biasanya cukup unik
saat menorehkan gagasannya menjadi puisi. Lain Virgil, lain
OHara, lain pula Katak Sungai Sepauk. Virgil, seorang pujangga
Romawi abad pertengahan, misalnya, mondar-mandir seorang
diri di kebunnya dari pagi hingga matahari terbenam; dan
merasa sudah bekerja keras bila menghasilkan satu baris saja dari
puisi yang sedang disusunnya. Sebaliknya, penyair dari New
York School, Frank OHara, dikenal paling senang makan siang
dan ngobrol bersama sahabat-sahabatnya, setelah itu balik ke
kantornya di Museum of Modern Art, mengetik dulu puisinya,

37

kemudian melanjutkan kembali pekerjaan yang sesungguhnya;


dan hasilnya, Lunch Poems, sebuah kumpulan puisi yang terkenal.
Hal menarik tentang Katak pun Berpantun adalah
kelahirannya yang relatif cepat. Jika benar apa yang dikatakan
oleh William Wordsworth bahwa puisi adalah spontaneous
overflow of powerful feelings, pastilah Katak Sungai Sepauk ini
tidak menyia-nyiakan luapan perasaan spontan dari setiap
peristiwa yang menggetarkan jiwanya. Tanggal lahir yang tertera
pada setiap pantun menandai momen-momen kreatif itu. Pantun
bertanggal 24 Februari 2009 di bawah ini agaknya tercipta ketika
Jalu Suwangsa sedang dalam perjalanan menyambangi salah
seorang sahabatnya yang sedang berduka karena kepergian
ibunda tercinta untuk selama-lamanya:

DARI YOGYA
Dari Yogya ke kota Malang,
Singgah makan di kota Ngawi.
Setiap orang pasti kan pulang,
Jangan lupa bekal sorgawi. ( KPIB , 21)
Peristiwa-peristiwa lain di tanah air dengan cepat ditanggapi dan
direkam dalam Katak pun Berpantun: dari heboh dukun cilik
Ponari, hingar-bingar Pemilu, sampai ke semangat dan suka-cita
kebangkitan Paskah. Tak terlewatkan pula di sini berbagai
peristiwa keseharian kita yang dipantunkan.
Akhir

kata,

Romo

Mangunwijaya

dalam

Ragawidya

menguraikan dengan jelas bahwa manusia tidak terdiri dari jiwa


dan raga, melainkan sepenuhnya jiwaraga. Oleh karena itu
semua kejadian sehari-hari yang kita alami, sekecil apapun itu,

38

merupakan kenyataan satu-tunggal: rohanijasmani. Religiositas


berhembus ketika kita menyanyi, melamun, tertawa, menangis,
duduk, berdiri, mandi, makan-minum, tidur, dan sebagainya.
Dengan demikian tidaklah berlebihan untuk menyebut sekali lagi
bahwa Katak Pun Ikut Berpantun tengah mengajak pembaca tidak
hanya untuk belajar dan bermain, tetapi juga berdoa.

Rujukan
Jalu Suwangsa, Katak Pun Ikut Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk
Kalimantan Barat. Yogyakarta: Amara Books, 2009.
John Timpane, Poetry for Dummies. New York: Wiley Publishing,
Inc., 2001.
Mangunwijaya, J. B. Ragawidya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
1986.
Starret. Carla. Poetry and Song Lyrics Copyright 2009. Diunduh
21 April 2009 dari http://www.songlyricist.com/lyricorpoem.
htm.

39

BAB DUA
GURATKAN KATA,
BEBASKAN JIWA

49

Sajak-sajak Bebas yang Memikat

antara

. E. Hulme, T.S. Eliot, dan Ezra Pound adalah tiga


penyair Amerika awal abad ke- 20 yang didaku oleh,

lain,

Rebecca

Beasley,

sebagai

pelopor

mazhab

Modernisme dalam sastra yang terkenal dengan puisi tak


bersajaknya (free verse).1 Bagian pertama tulisan ini akan melihat

sekilas dinamika puisi kontemporer dari Modernisme ke AntiModernisme sampai Modernisme Baru, yang dari segi bentuk
tidak mengalami perubahan berarti, tetapi dilihat dari isi
mengalami transformasi seiring dengan berubahnya pandangan
ideologis pengarangnya. Latar belakang ini menarik, karena
puisi-puisi besutan penyair sahabat (dan alumnus) Sadhar kita
kali ini, Ouda Teda Ena, memiliki kesamaan dengan penyair
Modernis Lama dilihat dari bentuknya, tetapi secara konsisten
menyerupai penyair Modernis Barudari segi isi.
Seabad sebelum berkembangnya gaya puisi bebas a la
Modernisme, penyair Inggris Gerard Manley Hopkins sudah
memulainya, sementara di Amerika Walt Whitman dikenal sebagai
pendobrak tradisi puisi lama, yakni puisi yang mementingkan
1

60

Gaya bebas yang konon diciptakan Gustave Kahn penyair Perancis beraliran
Simbolisme ini sebenarnya bukan kreasi baru karena merupakan varian dari
puisi-puisi dalam bahasa Latin dan Yunani yang ada sejak abad pertengahan.
Lihat selengkapnya Rebecca Beasley, Theorist of Modern Poetry (London:
Routlegde, 2007), hal. 26 29.

ritma dan sajak. Mata yang jeli merupakan karunia yang dimiliki
penyair untuk mengamati alam sekitarnya yang biasanya luput
dari pengamatan kebanyakan orang. Penyair hanya memaparkan
tanpa memberikan komentar apapun, seakan membiarkan
keindahan (atau kebenaran) berbicara dengan sendirinya.
Pemaparan inilah yang oleh tiga serangkai penyair Amerika
tadidisebut dengan Imagisme.
Gaya Imagisme Pound, terutama, dipengaruhi oleh Haiku
dari Jepang dan Cina. Puisi berikut ini, misalnya, merupakan
salah satu karya Pound yang menyergap perhatian pembaca:

In a Station of the Metro:


The apparition of these faces in the crowd;
Petals on a wet, black bough.2

Di sebuah Stasiun di Metro:


Wajah-wajah yang menyeruak di kerumunan;
Kelopak-kelopak bunga,dahan basah hitam. [Terjemahan
penulis]
Di sini, wajah-wajah penumpang di balik jendela kereta api (yang
berwarna gelap, tentunya) tiba-tiba disandingkan dengan imaji
alam kelopak bunga yang berjatuhan di batang pohon yang
dibasahi embun. Penyair ingin menyodorkan ke hadapan
pembaca imaji wajah, kelopak bunga, dan dahan.3 Puisi
2

Dalam Donald McQuade, Donald dan kawan-kawan (Editor), The Harper


American Literature. Compact Edition (New York: Harper & Row, Publishers,
1987), hal. 1848.
Puisi asli ditulis demikian:
T h e a p pa r i t i o n of t h e s e fa c es i n t h e c ro wd :
Pe t a l s o n a we t , b l a c k b o u g h .
Jarak kata per kata sengaja dibuat renggang tak beraturan untuk membuat ujud
visual yang memudahkan pembaca membayangkan dahan pohon dan kelopak

61

yang konon diotak-atik selama satu setengah tahun dan


akhirnya kelar tahun 1913 ini dipangkas dari 30 baris menjadi
tiga larik termasuk judul dengan tipografi unik yakni permainan
tanda baca dan jeda.4

Selain bentuk sajak bebasnya, puisi Modernisme menandingi

aturan puisi lama yang mementingkan pesan moral atau politik.


Jika puisi lama cenderung demokratis dan realistis, puisi
Modernis justru elitis, terikat dengan tradisi, dan abstrak. Hasrat
kaum Modernis adalah meretas bahasa dengan gaya sajak
bebasnya guna menyuguhkan pelbagai pengalaman lewat
simbol, imaji, dan abstraksi karena itulah momen Modernisme.
Tidak didaktis, tidak berpolitik. Kembali ke slogan lama arts for
arts sake.
Namun dengan berkecamuknya perang dunia, dua dari
begawan puisi Modernis ini, T. S. Eliot dan Ezra Pound berubah
haluan secara ideologis. Eliot menyintas ke ajaran Gereja
Katolik Anglikan, sedangkan Pound menjadi pengagum fanatik
Mussolini dan faham Fasisnya yang hingga kini menuai banyak
kecaman itu.5 Transformasi keduanya juga mengubah pandangan
sastrawi mereka: penyair yang peduli (inilah yang mungkin oleh
Mangunwijaya disebut sebagai sastrawan hati nurani), yakni
penyair yang paham akan problema sosial termasuk dekadensi
moral masyarakatnya.

62

bunga yang berjatuhan di atasnya. (Lihat R. Beasly, Theorist of Modern Poetry,


hal. 39)
Louis Menand, The Pound Error: The elusive master of allusion. The New
Yorker, 6 September 2008. Diunduh dari http://www.newyorker.com/
magazine/2008/06/09/the-pound-error
Louis Menand, The Pound Error: The elusive master of allusion.

Maka dapat disimpulkan bahwa penyair Modernis yang


dulu seakan hanya mengandalkan kekuatan pikiran, pada akhir
abad ke-20 mulai melihat dengan mata hati dan melakukan
permenungan yang mendalam tentang realitas di dunia yang
makin carut-marut. T. S. Eliot, misalnya, melantunkan bait
pertobatan dalam puisi panjang yang dipersembakan ke Ezra
Pound The Fire Sermon (dalamThe Waste Land) demikian:

To Carthage then I came


Burning burning burning burning
O Lord Thou pluckest me out
O Lord Thou pluckest
burning6

Penggalan bait puisi tersebut diangkat dari Confessions, buku


Pengakuan Santo Agustinus, yang melambungkan rasa syukur
kepada Tuhan karena telah menariknya dari bara dosa. Fire
Sermon sendiri merupakan judul kotbah Sang Buddha Gautama
yang mencemooh nafsu, kebencian, dan gelora asmara yang
berkobar-kobar.
Observasi tajam tentang kehidupan yang dikemas dengan
ringkas juga ditampilkan oleh Ouda Teda Ena. Reticent:
Reminiscent of Macapat Poems (2011) berisi 40 buah puisi dalam
bahasa Inggris yang disusun seperti macapat, yakni puisi kebatinan
Jawa yang kaya dengan simbolisme tapi kadang, menurut

Dalam Donald McQuade, dan kawan-kawan (Editor). The Harper American


Literature. Compact Edition (New York: Harper & Row, Publishers, 1987), hal.
1893.

63

penulisnya, aneh dan absurd.7 Versi bahasa Indonesia dari

sejumlah puisi dalam Reminiscent diterbitkan dua kemudian


dalam antologi puisi Perempuan dalam Almari. Mari kita
cermati puisi-puisi sahabat Sadhar kita ini sambil sesekali
membandingkannya dengan puisi-puisi Modernisme Amerika.
***
Puisi Ouda Teda Ena tampil ramping tapi padat arti.
Sebagian besar berisi otokritik, kadang menertawakan si Aku
dalam puisi. Bentuknya yang cekak, selarik atau dua larik, tanpa
ritma maupun rima mengingatkan kita pada penyair Imagisme.

BUNUH WAKTU8

Engkau coba membunuh waktu dengan sebilah tawa.


Waktu membalas
Menghujammu dengan detik runcing yang tumpul.
Sekilas imaji yang ditampilkan adalah kekerasan: membunuh,
sebilah, runcing. menghujam. Para Imagis akan berhenti di
sini. Tetapi setelah dicermati, tawa yang beraliterasi dengan
tumpul membuat kita berpikir; Rupa-rupanya ada pesan yang
ingin disampaikan: Adalah sia-sia saja membunuh waktu. Kesiasiaan ini ditonjolkan lagi dengan paradoks runcing yang
tumpul.

7
8

64

Ouda Teda Ena, Reticent: Reminiscent of Macapat Poems (Charleston, SC,


2011), hal. v; Kutipan selanjutnya dari buku ini ditulis dengan R dan nomor
halaman.
Ouda Teda Ena, Perempuan dalam Almari: Kumpulan Puisi (Charleston, South
Carolina: Createspace.com, 2013), hal. 1; Kutipan selanjutnya dari buku ini
ditulis dengan PA dan nomor halaman.

Pengamatan penyair tentang perilaku manusia dituangkan


dalam puisi berikut:

AKU DAN ANJING


Anjing tidur lelap
Tak ada pikiran yang mengutuk sebab
Aku tidur berlari
Karena dikutuk pikiran sendiri. ( PA , 26)
Versi bahasa Inggrisnya pun tak kurang elok, demikian:

THE DOG AND I


The dog sleeps soundly
For he got no troubled mind really
I sleep in agony
Because my mind is chasing me. ( R, 14)
Coba kita bandingkan dengan puisi Ezra Pound di bawah ini:

MEDITATIO
When I carefully consider the curious habits of dogs
I am compelled to conclude
That man is the superior animal.
When I consider the curious habits of man
I confess, my friend, I am puzzled. 9

Di sini, baik Ouda Teda Ena maupun Ezra Pound menampilkan


sub-teks: Ketika manusia berperilaku seperti binatang, ia tidak
9

Dalam Poems of Ezra Pound. PoetHunter.com. Diunduh dari http://www.


poemhunter.com/ezra-pound/poems/

65

mendapatkan apa-apa, sementara tingkah laku binatang kadang


justru nampak tidak terlalu jauh dari manusia.
Ouda Teda Ena juga mengajak pembaca melakukan
refleksi tentang makna penggembaraan manusia di dunia sebagai
berikut:

MENUNGGU BIS
Aku tahu kapan dan darimana berangkatnya.
Aku tahu kemana tujuannya.
Yang aku tidak tahu apakah aku akan sampai padaMu. ( PA ,
12)
Atau ini:

ORANG NASRANI
Hari ini aku melihat orang Nasrani
berjalan gontai
menuruni bukit tengkorak
Wajahnya letih
tidak setegar ketika dia mendaki. ( PA, 66)
Seorang Ouda Teda Tena yang Katolik itu membuat distansi
dengan Ouda Teda Ena sang penyair dengan memilih kata,
yang mungkin dianggap lebih umum, Nasrani ketimbang
Kristiani. Puisi ini barangkali akan sedikit sulit dipahami
apabila pembaca tidak memahami konteks bukit tengkorak
yang dituju sembari memanggul salib kehidupan. Namun
demikian, absennya penjelasan justru membuat puisi ini makin
kuat dalam hal pesan yang akan disampaikan, sama halnya
dengan pesan dalam puisi di bawah ini. Puisi pendek ini

66

mencubit siapa saja yang mencoba menjadi pahlawan atau pun


penyelamat seperti halnya seorang malaikat yang di sini
digambarkan terlena oleh citra yang dibangunnya sendiri:

MALAIKAT YANG MATI


Malaikat yang menyamar itu telah mati.
Sebab ia terbang terlalu rendah dan menerjang tanah. ( PA , 62)
Aspek didaktis inilah yang membuat puisi Ouda Teda Ena
menyerupai karya para penyair Modernis akhir, semisal Pound
melalui The Cantos atau Eliot dengan The Waste Land-nya yang
padat pesan.
Sementara itu, doa pasrah diri juga ditampilkan melalui
larik-larik puitis berikut ini:

DOA SEBUAH KEYBOARD


Aku ini sebuah keyboard
Jadilah padaku seturut ketukan jariMu. ( PA, 135)
Sedangkan puji dan syukur atas kemurahan Tuhan diungkapkan
secara apik, demikian:

SIMPANG
Tuhan aku mengemis di persimpangan
Ada bulan dan bunga liar
Ada matahari dan rumpun padi
Apalah yang tak aku ingini. ( PA , 37)
Penyair menyesali dirinya yang terus-menerus meminta, alih-alih
mengucap syukur. Ia pengemis yang tak tahu berterimakasih.

67

Puisi tersebut menarik untuk dibandingkan dengan puisi Pound


di bawah ini:

TO DIVES
Who am I to condemn you, O Dives,
I who am as much embittered
With poverty
As you are with useless riches ? 10

Selain masalah spiritual, isu-isu sosial juga digarap oleh


Ouda Teda Ena. Penyair nampak asyik mengamati kehidupan
perempuan. Ada perempuan yang ditawari pil pelangsing dan
pemutih wajah dalam Within Six Weeks (R, 4); ada juga
perempuan tua dalam A Pragmatic Prayer yang main jackpot
sambil berdoa rosario (R, 5); dan di bawah ini sepertinya
perempuan korban kekasaran laki-laki:

KDRT
Tak terlihat tapi terdengar
Prang, Glondang, Krompyang
lalu
tak terdengar apa-apa lagi
kecuali sunyi. ( PA, 19)
Akan halnya tema Cinta, Ouda Teda Ena nampaknya
berguru pada penyair mistis abad ke-13 Mevlana Jalaludin
Rumi yang terkenal dengan rubaiyat terlarangnya. Begitu
10

68

Dalam Poems of Ezra Pound. PoetHunter.com. Diunduh dari http://www.


poemhunter.com/ezra-pound/poems/

[cinta] menjangkitimu, kata penganut Sufisme ini, cinta


membinasakanmu, dan kau bukan lagi penguasa hidupmu.11
Sperti pada rubaiyat cinta Rumi, kegilaan, kemabukan, dan halhal yang menyakitkan diguratkan dalam cerita cinta Ouda Teda
Ena, misalnya pada puisi berikut ini:

SEDIKIT CIU
Hari ini tanggal 27
Sudah tiga hari sejak pertemuan denganmu
Ku rasa aku perlu minum sedikit ciu
Untuk menghambat laju detak jantungku. ( PA, 77)
Juga dalam puisi di bawah ini si Aku kehilangan kewarasannya
karena cinta. Ia ingin sang kekasih menikam saja hatinya
daripada kesakitan karena cinta.

SWEET PICKLE DEATH


Be my chef
Be my angel of death
Bring me sweet pickle
Lay me down on your kitchen table
Insert the cooking knife
in between my 7th and 8th ribs
Shutdown my heart beat
Let your olive oil perfumed hair be my last screen
Saver before it goes totally dark ( R, 46).
11

Rubaiyat Terlarang Rumi, Nevit O. Ergin dan Will Johnson (penerjemah). Bakdi
Soemanto (penerjemah Indonesia) (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2006),
hal. 11. Lihat juga The Rubais of Rumi: Insane with Love, Nevit O. Ergin dan Will
Johnson (penerjemah) (Rochester, Vermont: Inner Traditions, 2007).

69

Bandingkan dengan nada-nada cinta yang dilantunkan Rumi di


bawah ini:

what use is there for advice


now that Ive fallen into your love?
tie his feet down they say about me
but its my heart thats gone crazy
whats the use of tying my feet? 12

Si Aku yang sedang kasmaran ini tidak takut siapapun yang


menghalanginya. Tidak juga pada mereka yang akan mengikat
erat kedua belah kakinya. Untuk apa mengikat kaki kalau yang
gila tak lain tak bukan adalah hatinya?
Kemudian, kedua puisi di bawah ini, meski tidak bisa
dikatakan sebagai puisi cinta, kita bisa berspekulasi bahwa
petualangan cinta terselip di dalamnya. Si Aku dalam puisi ingin
menghindari godaan cinta (baca: nafsu) terlarang. Jika alusi puisi
pertama adalah Doa Bapa Kami, yang ke dua, fairy tales Perault
dongeng anak yang kadang berkonotasi dengan kejahatan
seksual terhadap bocah di bawah umur.

GODAAN HARIAN
Bapa kami yang ada di surga
Berilah kami godaan hari ini. ( PA, 75)

12

70

The Rubais of Rumi: Insane with Love, Nevit O. Ergin dan Will Johnson
(penerjemah) (Rochester, Vermont: Inner Traditions, 2007), hal. 105.

SI KERUDUNG MERAH DAN SERIGALA


Pinta si Serigala:
Sibakkanlah kerudungmu
Tutuplah mataku
Hunuslah sebilah pisau dapur
Hujamlah hati setanku
Sekejab akan ada rasa sakit
Tapi setan hatiku tak akan lagi bangkit. (PA, 128)
Puisi cinta Ouda Teda Ena juga sesekali tampil kocak tanpa
meninggalkan gaya sajak bebasnya dengan pilihan kata yang
sederhana seperti puisi yang ditulis dalam dua bahasa ini:

JIKA PULANG
Jika aku harus pulang sebelum senja
Aku telah bahagia.
Telah kau bawakan aku Ocha, teh hijau yang
Menenangkan jiwa
Yang kau seduh di bawah bulan membara. ( PA , 70)
Versi bahasa Inggris puisi ini yang diberi judul Ocha (R, 25)
mengingatkan kita pada karya penyair Amerika lainnya, William
Carlos Williams. Puisi terkenal karya penyair yang juga beraliran
Modernisini mirip dengan sebuah catatan pesan yang biasanya
ditempelkan di pintu almari es:

71

This Is Just to Say


I have eaten
the plums
that were ini
the icebox
and which
you were probably
saving
for breakfast
Forgive me
they were delicious
so sweet
and so cold13

Puisi ini dialihwahanakan menjadi sebuah surat oleh J. Prapta


Diharja, S. J. Demikian:

Tommy yang baik,


Sekedar bilang bahwa saya terlanjur makan buah persik
Dalam kulkas yang mungkin sengaja kau sisihkan buat sarapan.
Maafkan aku, rasanya renyah, begitu manis, begitu dingin.
Williams.14
13

14

72

Dalam Donald McQuade, dan kawan-kawan (Editor). The Harper American


Literature. Compact Edition. (New York: Harper & Row, Publishers, 1987), hal.
1832.
Lihat J. Prapta Diharja, S. J., Bahasa Sastra dalam Penerapannya, dalam Butirbutir Gagasan Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya Y. Setiyaningsih
dan R. Kunjana Rahardi (Editor) (Yogyakarta: Penerbit USD, 2013), hal. 76.

Terlihat di sini bahwa disajikan dalam bentuk aslinya pun puisi


di atas sudah cukup jelas dan komunikatif. Tepatlah apa yang
dikatakan oleh Eliot bahwa puisi yang asli bisa berkomunikasi
sebelum dipahami. Puisi cekak dengan pilihan kata cermat
mampu berbicara dengan sendirinya; dan formula inilahyang
dipakai oleh puisi Ouda Teda Ena. Penyair mempertahankan
bentuk puisi tak bersajak untuk lebih bebas berkomunikasi
seraya menitipkan pesan agar karyanya memberi sumbangan
pada persoalan manusia.
Kiranya, penjelasan panjang lebar untuk puisi-puisi Ouda
Teda Ena hanya akan mengurangi daya pikatnya. Mau tidak mau
kita harus bersetuju dengan pendapat penulis dan ilmuwan asal
Lebanon Nassim Nicholas Taleb: If you want to annoy a poet,
explain his poetry. Siapa yang akan membuat penyair sahabat
Sadhar yang berbakat ini kesal? Puisi-puisinya renyah, begitu
manis, begitu adem, dan . . . . menenangkan, seperti teh hijau!

Rujukan
Beasley, Rebecca. Theorist of Modern Poetry, London: Routlegde,
2007.
Diharja, J. Prapta, S. J., Bahasa Sastra dalam Penerapannya,
dalam Butir-butir Gagasan Bahasa dan Sastra Indonesia serta
Pengajarannya. (Editor) Y. Setiyaningsih dan R. Kunjana
Rahardi. Yogyakarta: Penerbit USD, 2013.
McQuade, Donald dan kawan-kawan (Editor). The Harper
American Literature. Compact Edition. New York: Harper
& Row, Publishers, 1987.

73

Menand, Louis The Pound Error: The elusive master of


allusion. The New Yorker, 6 September 2008. Diunduh
dari

http://www.newyorker.com/magazine/2008/06/09/

the-pound-error
Ouda Teda Ena, Reticent: Reminiscent of Macapat Poems.
Charleston, South Carolina: Createspace.com 2011.
Ouda Teda Ena, Perempuan dalam Almari: Kumpulan Puisi.
Charleston, South Carolina: Createspace.com, 2013.
Poems

of

Ezra

Pound.

PoetHunter.com.

Diunduh

http://www.poemhunter.com/ezra-pound/poems/

74

dari

BAB TIGA
PUISI: GRAFITI DI SETIAP HATI

83

Melongok Laci Imajinasi1

Poetry is eternal graffiti written in the heart of everyone.


Lawrence Ferlinghetti, Americus, Book I
Love, the poet said, is woman's whole existence.
Virginia Woolf, Orlando

ebuah laci diperlukan untuk menyimpan pernakpernik atau beraneka barang mungil nan cantik yang

bagi pemiliknya mungkin punya makna sentimentil atau nilai


bendawi. Sebuah laci menjadi tempat yang aman bagi bendabenda berharga yang belum kita ketahui kegunaannya tapi
dibuang sayang karena menyimpan sejuta kenangan. Sebuah laci
milik Henny Herawati inilah yang diserahkan kepada saya untuk
dilihat isinya, yakni 65 puisi dwibahasa IndonesiaInggris yang
ditulisnya sejak 5 tahun terakhir.
Sebelum menikmati Puisi Laci, menarik dicermati makna
puisi bagi Lawrence Ferlinghetti, penyair Amerika pasca-Perang
Dunia II, pelopor puisi terbuka yang membebaskan diri dari
pelbagai definisi seni yang elitis. Aturan-aturan artistik puisi
1

Versi lain Kata Pengantar untuk Puisi Laci karya Henny Herawati (segera
terbit)

85

yang dianggap konvensional dilanggar oleh Ferlinghetti. Bagi


penyair sekaligus mantan kolonel angkatan laut Amerika Serikat
ini, puisi adalah grafiti abadi yang ditorehkan di hati setiap
orang. Ferlinghetti dikenal dengan puisi-puisi anti-perangnya
yang bebas dan lugas. City Lights Bookstore di San Francisco
yang dirintisnya merupakan toko buku dan penerbit tandingan
yang kini hadir di banyak kota besar dunia. Setiap orang berhak
menulis, menerbitkan, dan menjual karyanya tanpa harus
mengikuti logika ekonomi politik penerbit-penerbit ternama.
Seperti

Ferlinghetti,

Herawati

memakai

puisi

agar

peristiwa, pengalaman, kegelisahan, suka-duka, mimpi, harapan,


dan sebagainya tetap terpateri dalam hati selamanya. Keputusan
dosen pengampu mata kuliah Creative Writing di Program
Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP USD ini, kiranya
bersetuju pula dengan gagasan Ferlinghetti agar siapapun tidak
ragu untuk berswadaya menyebarluaskan hasil karya supaya
bisa menjangkau lebih banyak pembaca. Selama ini baru
kalangan terbatas saja yang menikmati guratan kata Herawati
(Sekedar catatan: Selain menulis puisi, Henny Herawati, seperti
Lawrence Ferlinghetti, juga gemar menggambar sketsa). Pada
acara Culture Fest 2013 yang diselenggarakan oleh Lembaga
Bahasa misalnya, puisi berjudul Terkesima diterjemahkan dan
dibacakan dalam Bahasa Inggris, Belanda, Hongaria, Korea,
Portugis, Birma, Tetum, Jepang, Laos, Polandia, Jawa, Mandarin,
Thai, dan Vietnam. Setahun kemudian, musikalisasi puisi
Herawati berjudul Seperti Daun mengundang kekaguman
ketika disenandungkan oleh seorang mahasiswi dengan gitar
tunggalnya dalam Misa Ucapan Syukur atas hasil Akreditasi A

86

Program studi tempatnya berkarya. Kedua puisi ini bisa


dinikmati dalam Puisi Laci.
Lain Lawrence Ferlinghetti, lain pula Henny Herawati
dalam hal pesan yang disampaikan oleh masing-masing penulis.
Jika penyair yang pada 1956 pernah dicekal karena menerbitkan
Howl & Other Poems karya Allen Ginsberg yang dianggap carut
itu banyak menyampaikan pesan politik dan protes sosial lewat
karyanya, penyair perempuan kita lebih banyak menceritakan
seputar pengalaman (cinta) nya. Dalam hal ini, benarlah kata
Virginia Woolf bahwa cinta adalah eksistensi perempuan
seutuhnya.
Cinta bertaburan dalam Puisi Laci: dari cinta dan harapan
ibu kepada anak-anaknya (To My Son, Nduk (1), Nduk (2),
Nduk (3), Sementara Anak Lelakiku Tertidur, Ketika
Melepasmu Naik Kereta, When I Saw You off at Tugu Station,
You and I); cinta abadi dan kesetiaan sepasang suami-istri
(Spoon and Fork, Kemarin, Hometown); perkawinan yang
hambar cinta (Percakapan Valentine, Bougenville, Hujan
dan Kopi, The Dust-laden Box), angan-angan dan kegalauan
cinta (Intoxicated, Labirin Awan, Misty Mountain, A Thin
Mist. I, Saat Ia Ada, Floating), kekasih yang rindu pada
kisah cinta di masa lalu (Kolam Angan, Sepotong Gambar,
Menghanyut, Rhapsody Concert, Lavender); sampai cinta
dan

kekaguman

pada

alam

semesta

(Seperti

Daun,

Terkesima, Mesmerized, Prayer: After Merapi). Selain


keenam topik di atas, masih ada puisi reflektif seperti Turning
Forty Two, Prejudice, Jugglers Tale, A 5-Watt Light Bulb,
untuk menyebut beberapa.

87

Cinta dan komunikasi merupakan dua hal yang tak


terpisahkan dalam karya Henny Herawati. Komunikasi biasanya
dijalin lewat acara minum teh ( A Cup of Tea, My Tea Riverie
(1), My Tea Riverie (2), Senja Kau dan Aku, Tea Reader),
dan masih banyak lagi. Cinta merupakan inti suasana intim
tersebut seperti puisi di bawah ini:

SENJA KAU DAN AKU


Dua cangkir teh hangat
Bercawan tembikar beraroma segar lemon
Yang kubuat untukmu dan untukku,
Ketika senja menyapa
Membungkus peluh pegal dengan rindu bertemu
Memupus keluh kesah dengan kecuk kecil merah jambu.
Dua cangkir teh hangat
Yang kubuat untukmu dan untukku masih menunggu,
Berteman kecipak ikan koi di air biru
Dan pendar mekar cattelya ungu.
Ketika senja, kau dan aku.
Berikut salah satu dari untaian 3 puisi cinta dibalut rindu dalam
secangkir teh:

MY TEA REVERIE (1)


When I brew my tea
It is you that I see
Through the loose leaves floating
As I sit waiting.

88

Hours away is your city from mine;


But in the city of my tea riverie
Youre here with me.
Teh hangat juga dijadikan tanda pengingat dan pengikat
saat maut memisahkan sepasang kekasih yang telah lanjut usia
dalam puisi yang menyentuh hati ini:

KEMARIN
Kemarin
Ketika malam menjemput sebelah hatinya
Jari-jarinya yang keriput menggegam mesra
Biru jemari keriput kekasihnya
Dibelainya sayang sambil pelan berkata,
bikinkan aku secangkir teh hangat ya, Pak
Tunggu aku hingga malamku
Di bawah bayang-bayang bintang
Aku pasti datang
Temanimu minum teh hangat
Dari cangkir kita
Seperti senja biasanya
Namun secangkir teh simbol kehangatan kadang juga
dijadikan metafora kekecewaan; dan suasana minum tehpun
serasa hambar dan kehilangan makna seperti pada kedua puisi
berikut ini:

AKU, KAU, DAN SEPI


Ketika suatu malam
Bulan berkilau di antara serbuk daun teh buatanmu,

89

Aku berjanji untuk membacakan satu puisiku


Untuk kau hirup bersama hangatnya sepi.
Dan karena sepi itulah puisi
Maka akupun menggumamkan bait-baitnya
dalam hati.
Atau yang ini:

NEW YEARS TEA


The clouds and rain have lifted a little,
As I make myself two cups of tea:
A cup of last year and another of the coming year.
Savoring the first cup, I taste a story in every sip
A tinge of sadness, disappointment, and doubt;
But also a warm, sweet, and thick contentedness.
As for the other cup,
I have picked tea made of peace and tranguility,
Perseverance flavored.
And though there is still achance of mist or drizzle,
I am ready to lift the cup,
And take a long sip.
Ketika acara ngeteh bukan lagi sebuah bentuk komunikasi, si
pecinta teh yang setia tetap mencoba hadir untuk merawat cinta
seperti berikut ini:

MENGHANYUT
Ketika kau ingatkan aku
Tentang sungai kecil di belakang rumahku,
Kupikir kau ingin ulurkan tanganmu
90

Untuk menyeberang bersama ke tepinya


Seperti dulu.
Tapi tentu saja aku tahu,
Tanganmu sudah terlalu penuh
Untuk bisa menggandengku.
Dan aku juga tahu
Kakiku sudah berani untuk sebranginya
Tak seperti dulu.
Dan meski sekarang aku suka teh,
Sedang kau memilih kopi,
Kita masih bisa duduk bersama di sini;
Agar bisa kuhirup harum kopimu
Dan kau dengarkan cerita rasa tehku,
Sembari memandang daun yang menghanyut
Bersama kenangan akan sungai kecil kita.
Selain secangkir teh, daun merupakan unsur penting yang
bermunculan dalam Puisi Laci seperti pada Dancing Leaves,
Seperti Daun, Mesmerized, Terkesima, My Homeland
Tree, Merindu Angin, This is as It Should Be, Aku
Memikirkanmu, Mencium Hujan, Menghanyut, Prayer:
After Merapi termasuk, tentu saja, daun teh dalam Aku, Kau,
dan Sepi, My Tea Reverie (1), dan My Tea Riverie (2).
Senandung cinta dalam kumpulan puisi ini diwarnai
dengan kesetiaan dan pengorbanan yang dilambangkan oleh
daun:

91

SEPERTI DAUN
Seperti daun mencintai embun
Yang kadangkala singgah menyentuhnya.
Seperti daun mencintai angin
Yang sesekali lembut membelainya.
Baginya tak pernah ada kata
Karena memang tak perlu ada.
Dan jika saatnya tiba
Ia akan luruh.
Nafasnya akan memberi tumbuh
Daun-daun muda
Yang mencintai embun dan angin
Seperti sebelumnya ia.
Disamping menjadi tokoh penting dalam Puisi Laci karena
sifatnya sebagai pengayom, daun sering muncul bersama angin
dan embun pagi menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan
bak selendang menjuntai mewarna suarga dalam puisi
Terkesima. Namun tidak jarang daun harus rela berkorban
seperti pada puisi Hujan dan Kopi di mana angan adalah
daun bambu kering [...] yang mengambang, menari ditiup angin,
lalu pelan jatuh ke tanah. Selain menjadi angan, daun juga luruh
berjatuhan ketika mendung menggantung dan tangan yang
kedinginan mencoba mencari hangatnya mentari dalam puisi
Aku Memikirkanmu.
Akhirnya, di bawah ini adalah puisi sendu tentang sebuah
karya lukis kolaborasi yang oleh salah satu pelukisnya
dipercantik dengan gambar bunga dan dedaunan tetapi belum

92

selesai jua karena masih menunggu sentuhan tangan pelukis


lainnya:

SEPOTONG GAMBAR
Di bukuku ada satu gambar
Yang tak selesai.
Pernah bisa kutambahkan
Satu dua bunga dan sejumlah daun.
Tapi lebih sering kupandangi,
Kucermati setiap lengkung dan titiknya;
Ombak yang kubuat,
Teratai yang kautambahan.
Mencoba mengingat
sebenarnya gambar apa
Yang ingin kita buat.
Dan ketika jari-jariku
Ingin menyelesaikannya,
Mereka mencari
Jari-jarimu.
Pada awal tulisan ini, disebutkan bahwa Lawrence
Ferlinghetti menggagas puisi sebagai bentuk ekspresi kebebasan.
Epigraf kedua diambil dari Orlando, novel Virginia Woolf yang
bertokohkan

laki-laki

yang

akhirnya

berubah

menjadi

perempuan. Tokoh ini lebih bahagia ketika akhirnya menjadi


seorang Lady Orlando yang menemukan cinta (perkawinan)
dan kehidupan, meski kehilangan kebebasan yang pernah
digenggamnya saat menjadi laki-laki bangsawan yang kaya raya
dan dihormati.

93

Puisi Laci digurat secara bebas oleh penulisnya untuk


mengabadikan ragam pengalaman perempuan sebagai ibu, istri,
anak, kekasih, dan terutama makhluk istimewa ciptaan Allah
karena inti kisah hidupnya adalah cinta seluas samudra seperti
yang antara lain diajarkannya pada anak-anaknya. Sebagai kata
penutup, kiranya tak berlebihan untuk menyebut kumpulan
puisi ini secara unik terwakilkan oleh keduanya, yakni kebebasan
perempuan untuk berkisah (seperti yang dihimbau oleh
Ferlinghetti) dan narasi cinta perempuan (yang oleh Woolf
dikritik ketika percintaan dianggap sebagai obsesi terbesar
perempuan yang membuatnya berbeda dengan laki-laki).

Rujukan
A Biography of Lawrence Ferlinghetti City Lights: Booksellers
and Publishers. Diunduh dari http://www.citylights.com/
ferlinghetti/
Herawati, Henny. Puisi Laci (segera terbit)
Woolf, Virginia. Orlando: A Biography by Virginia Woolf (1928).
San Diego: A Harvest Book, Harcourt, Inc. 2010.

94

Endgame: Akhir Sebuah Pencarian

asanya tak pernah cukup keluarga besar Program


Magister Kajian Bahasa Inggris, Universitas Sanata

Dharma menuangkan rasa duka atas kepergian Prof. Dr. C.


Soebakdi Soemanto, S.U. yang akrab dipanggil Pak Bakdi.
Sabtu pagi itu, 20 September 2014, Pak Bakdi terlihat sehat, segarbugar, dan nampak ceria ketika bergegas melangkahkan kaki
untuk berfoto bersama di bawah pohon Beringin Soekarno. Pak
Bakdi begitu bersemangat datang ke kampus di hari libur untuk
mendukung acara visitasi akreditasi Prodi S2 KBI. Kegembiraan
kami bertambah ketika petang harinya beliau masih berkenan
makan malam bersama kami seusai visitasi. Tak pernah kami
sadari bahwa itulah terakhir kalinya kami bersantap bersama
Pak Bakdi.
Kami mengenal pria asli Solo yang bergelar K. R. M. T.
Widya Djogonadpodo ini bukan sebagai Guru Besar di bidang
Susastra,

pakar

teater

yang

berulang

kali

mendapatkan

penghargaan, penulis sejumlah buku, kumpulan cerpen dan


puisi, artikel jurnal ilmiah dan kebudayaan, pengisi tetap kolom
surat kabar lokal, dan segudang sebutan lainnya. Kami mengenal
Pak Bakdi sebagai seorang pribadi bersahaja yang sungguh
istimewa dengan akal budinya yang tak henti mencari, matanya
yang terus mengamati, telinganya yang sabar mendengarkan,

108

dan terutama, hatinyayang selalu peduli kepada siapa saja yang


membutuhkan bantuannya. Pak Bakdi tak pernah membedakan
anak-anak didiknya mahasiswa yang cemerlang maupun yang
meredup(terutama saatsuntuk menyelesaikan tugas akhir, tesis,
dan disertasi). Semua mahasiswa diterima kapan saja, di mana
saja. Rumahnya yang nyaman dan adem di Jalan Podang tak jauh
dari kampus juga selalu terbuka bagi siapa saja yang
membutuhkan bimbingan dan bombongan.
Meski mata kami tak bisa lagi melihat Pak Bakdi, ataupun
mendengar gelak-tawanya yang khas menular, ramah dan
sopan, kenangan kami akan selalu terpateri di hati. Seakan beliau
berkata dari tempatnya nun jauh di sana, mengutip dramawan
pujaannya Samuel Beckett dalam Endgame, The end is in the
beginning and yet you go on. Ya, akhir permainan menjadi
permulaan. Teruslah melangkah!
Vaya con Dios, Pak Bakdi! Setelah remis abadi, nikmatilah
sepenuhnya perjalanan yang amat luar biasa dahsyat menuju
Reuni Agung yang telah kau tunggu-tunggu. Kami baru paham
sekarang apa makna Si Godot bagimu.
***
Buku Kata: Antologi Puisi 1976 2006 Bakdi Soemanto
merupakan salah satu dari sekian banyak karya Bakdi
Soemanto.1 Berisi 134 puisi pilihan, antologi puisi ini memberi

gambaran, meski samar-samar, tentang penulisnya. Rentang


waktu 30 tahun menjadi saksi bagi perjalanan hidup penyair dan
1

Bakdi Soemanto, Kata: Antologi Puisi 1976 2006 Bakdi Soemanto (Yogyakarta:
Bentang, 2007); Kutipan lain dari buku ini ditulis dengan K dan nomor halaman.

109

ukiran-ukiran aksaranya. Aneka tema dalam kumpulan puisi ini


diterawang oleh pemahaman penyairnya tentang alam, keluarga,
lingkungan sosial-politik, estetika, religiositas, atau singkatnya:
realita kehidupan. Sastra sejati, kata Mangunwijaya, selalu
datang dari kepenuhan hidup nyata yang dihayati secara
mendalam.2

Apa yang dihayati seorang Bakdi Soemanto secara

mendalam? Tidak mudah berkomentar tentang rumah kata yang


dibangun selama tiga dasawarsa dalam sebuah tulisan yang lahir
agak tergesa. Namun artikel pungkasan ini akan melihat
sejumlah puisi Bakdi Soemanto dengan mengintip adicita
sastra yang dianutnya. Apakah keduanya paralel? Apakah puisi
Bakdi Soemanto mewakili puisi hidupnya? Meski harus diakui
teknik baca semi-biografis ini memiliki kekurangan ketika isi
atau tokoh suatu karya dicocok-cocokkan dengan kehidupan
penulisnya, nampaknya sulit untuk mengabaikan fanatisme
Bakdi Soemanto pada drama-drama absurdisme.
Menurut pandangan absurdisme, dunia ini kacau-balau
dan tidak bisa diterangkan secara rasional. Manusia tidak perlu
menambah kegaduhan, tetapi sebaliknya berkomitmen mengerjakan
hal yang penting agar hidupnya bermakna. Bakdi Soemanto
mempertahankan disertasi doktornya yang berjudul Makna
Kehadiran Waiting for Godot di Amerika dan Indonesia: Suatu Studi
Banding (UGM, 2001) dengan dua promotor kondang Prof. James
Peacock dan Prof. Dr. Umar Kayam. Drama yang miskin dialog
dan adegan serta nampaknya tidak masuk akal ini menjadi salah
2

110

Lihat Y. B. Mangunwijaya, Pengakuan Seorang Amatir dalam Menjadi


Generasi Pasca-Indonesia, Ed. Sindhunata. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 199),
hal. 121 48.

satu bukti kesetiaannya menekuni suatu karya yang sulit.


Konsistensi, komitmen, dan kegilaannyapada jagat kata (istilah
yang diciptakannya sendiri) berbuahkan otoritas di bidang teater
yang semakin mengakar dengan diraihnya gelar Guru Besar
pada 2004 dan sederet penghargaan nasional serta internasional.
Penggambaran James R. Knowlson3 tentang kepribadian

Samuel Beckett, secara tak terduga, juga memiliki kesamaan


dengan Bakdi Soemanto. Beckett yang melankolis, kritis terhadap
diri sendiri, dan tekun dalam pekerjaan ini ternyata, seperti
terungkap lewat surat-suratnya, senang berkelakar, ulet, dan
berbelarasa tinggi semua sifat yang didapati pula pada Bakdi
Soemanto. Knowlson menambahkan lagi ciri lain yang juga lekat
dengan pribadi penyair kita, yakni kemampuan menanggapi
kesulitan dengan humor sehingga meninggalkan kesan yang
mendalam bagi siapapun yang mengenalnya.
Tentu saja tidak cukup mencermati hidup dan karya
Samuel Beckett yang dalam hal tertentu kebetulan gayut dengan
Soemanto Bakdi, tanpa membuktikannya lewat teks-teks yang
dihasilkannya. Berikut pemaparan sejumlah bandingan itu.
Membaca puisi Bakdi Soemanto berarti membaca, pertama,
ketaatasasan buah pikirnya, yakni pandangannya tentang nilainilai hidup yang tidak lekang oleh waktu terutama tentang
kesetiaan dan keberanian menjadi diri sendiri. Kedua, Bakdi
Soemanto lihai dalam memilih dan memaknai kata sederhana,
minim, tapi punya kekuatan karena katalah yang menjadi citra
diri yang kelak akan selalu dikenang dari budayawan ini. Ketika
segala sesuatu berakhir dan jantung berhenti berdegup, yang
3

Lihat James R. Knowlson, Damned to Fame: The Life of Samuel Beckett (New
York: Grove Press, 1996).

111

tersisa hanya kata, seperti pada puisi yang berjudul sama dengan
buku yang mewadahinya berikut:

KATA
Seribu kata
menggebu
lewat jari
yang dipanggang mentari.
Punggung bumi meleleh
gedung dan kehidupan rata
dalam cahya hari
tak ramah.
Di dalam genggam
kehidupan gemetar
dalam sajak
kehidupan mencampak busur.
Dan baris-baris kata
adalah bekas jejak nafas
yang enggan lepas
dari dengus desah. ( K, 38)
Apakah judul ini juga diilhami oleh pernyataan Samuel Beckett
Words are all we have hanya kata harta kita? Nampaknya,
semangat dalam puisi yang ditulis di tahun 1974 ini masih terasa
pula dalam puisi berjudul Penyair yang digurat di Oberlin 13
tahun kemudian, yakni eksistensi penyair adalah kata yang
ditulisnya. Maka ketika medengar perintah Penyair, kembali ke
bumi! setelah membubung tinggi ke langit mimpi di mana
hidup tak dibagi malam dan hari, sang penyair terhenyak

112

karena di tangannya hanya ada sebatang pena dan secarik


kertas di atas meja. Ia kembali bertanya, Benarkah saya ingin
mengubah dunia? (K, 82 )
Sikap yang merupakan pelaksanaan kata-kata sudah
dipesankan sejak lama. Sebagai catatan, dalam antologi puisi
ini diikutkan pula 6 buah puisi yang ditulis pada tahun
enampuluhan yang sudah pernah terbit di berbagai majalah
sastra dan budaya seperti Horison, Basis, Sabana, Andika, dan yang
lain. Puisi berjudul Pernyataan (1965) tegas mengatakan Kita
bersikap/ dan kita ada! Para pejalan jauh yang menjadi tokoh
dalam puisi ini belum tahu apa yang akan ditemui dalam
pengembaraannya, namun yakin sikap mereka bukan igauan
bukan perhitungan, karena makna ini menuntut arti setiap
arti (K, 96 ). Dalam pandangan absurdisme, hidup adalah tujuan
dan tujuan adalah hidup itu sendiri. Hidup memang tidak punya
arti karena arti itulah hidup, maka rangkul saja absurditas ini.
Beraneka kejadian sehari-hari, pahit-manis kehidupan, pengalaman
suka atau duka, datang dan pergi silih berganti. Begitu terusmenerus dan berulang-ulang. Tapi bertahanlah, jangan berhenti
bermain, karena kehidupan pendek yang berkualitas (meski
mungkin berat dan menyiksa) jauh lebih baik daripada
kehidupan yang panjang tapi miskin tantangan.
Setiap kali batu besar didorong sampai ke puncak bukit,
memuncak pula, menurut Albert Camus, suka-cita Sisyphus,
walau dalam sekejab ia harus menyaksikan batu itu terguling lagi
ke bawah dan Sisyphus harus mendorongnya kembali ke atas.
Sisyphus adalah pahlawan absurditas dan hukuman terhadapnya
bukanlah siksaan. Bayang-bayang sosok Sisyphus tertangkap
pada puisi yang ditulis pada tahun 1974 ini :

113

YANG DATAR
Ada datar
memuncak datar
penjara datar
cengkaman datar.
Matahari bulan
yang siang yang malam
dan kehidupan.
Ada perjalanan
tanpa pencapaian
ada pergulatan
tetapi cuma perputaran
ada pergantian
tetapi cuma pengulangan.
datar di puncak datar
menanjak datar
mencengkam datar. ( K, 3)
Dilihat dari fitur bahasa, gaya pengulangan kata yang plastis
seperti menanjak datar/ mencengkam datar lebih sering
dijumpai di karya-karya lawas. Misalnya, /Langit yang
menghati/ hati yang melangit./ pada Langit (K, 14 ); atau
/Lantas:/merdeka dan tidak merdeka/ bukan lagi suatu soal./
pada puisi Bunga Mawar (K, 15); dan /Baik dan buruk/ buruk
dan baik/ tak terbagi/ karena engkau ada dalam hati./ dalam
Engkau (K, 21) ketiga puisi ini terbit tahun 1975.
Di sini, seperti sastrawan eksistensialis lainnya, diam
(dalam arti mengambil sikap) dan menunggu menjadi dua kata

114

kunci pentingbagi Bakdi Soemanto, seperti terlihat pada puisi


yang lahir pada tahun 1968 berikut ini:

BARANGKALI DIAM ADALAH YANG PALING BAIK


Barangkali diam adalah yang paling baik
Diam dan menyaksikan semuanya.
Diam.
Selama tidak terlalu menipu diri sendiri, Diam.
Bukan karena pepatah:
bahwa diam adalah emas!
Diam.
Dan menyaksikan semuanya
Yang telah berlangsung.
Barangkali diam adalah yang paling baik.
Daripada berhianat atau bunuh diri.
Pada suatu saat barangkali memang harus diakui: diam.
Dan menunggu.
Dan menunggu.
Sudah pasti sekali di sini:
Menunggu! ( K, 109)
Diam dan penantian bak tunas yang terus bertumbuh
dihampir semua puisi Bakdi Soemanto. Bahwa diam adalah
kekuatan nampak dalam puisi Rumputan dan Topan:
Sementara rumputan dimainkan topan/menunduk luruh/dan
tegak kembali/begitu setiap kali, pepohonanyang kokoh seperti
asam dan mlandingan justru rubuh lintang pukang (K, 32).
Dari puisi yang ditulis tahun 1984 ini, makin terbaca
membulatnya sikap penyair ketika menyamakan diri dengan
rumputan kuat tertanam yang kuat dalam keyakinan, lentur

115

dalam pelaksanaan, karena, dugaannya, itu namanya seni


kehidupan (K, 33)
Puisi yang terkumpul dalam Kata: Antologi Puisi1976 2006
Bakdi Soemantoini tidak semuanya pucat dan pilu, apalagi jika
pembaca makin terbiasa dengan pengaruh eksistensialisme
dalam karyanya. Kedua puisi Ledek Munyuk (1995) dan
Tikar (1984) berikut layak dikutip seluruhnya karena kuatnya
pilihan kata dan makna yang dibawanya seiring peziarahan
penyair yang makin hari makin bijak, demikian:

LEDEK MUNYUK
Terlintas, kita adalah ledek munyuk itu
Menari diiringi tabuhan
Membawa payung jumpalitan
Menarik gerobak tanpa tujuan.
Jika si munyuk bosan dan tak hiraukan irama gendang
Lari mencolek tangan perawan tengah nonton
Cemeti memukul punggung sebagai hukuman
Seiring irama gendang kehidupan
Kita pun menari
Hingga batas waktu
Tatkala tirai panggung turun
Dan pertunjukan usai
Lenyaplah kita tanpa catatan. ( K, 68)
TIKAR
Mungkin kita ini tikar.
Orang duduk, ya.
Orang jongkok, ya.
116

Orang berdiri, ya.


Orang sujud, ya.
Orang kentut, ya.
Mungkin kita ini tikar.
Bisa digulung tiba-tiba
tanpa alasan yang jelas.
Hanya bosan misalnya.
Kita ini memang tikar.
Seorang bayi pipis di atasnya.
Sebuah gelas tumpah menindihnya.
Kita harus selalu siap dibakar. ( K, 70)
Pertanyaan khas tentang eksistensi manusia, yakni Siapa saya?
yang mengemuka pada karya-karya tahun tujuh puluhan, kini
telah menemukan jawab, yakni ledek munyuk atau tikar
yang siap dilenyapkan ketika tidak lagi bermanfaat. Makin jelas
pula di sini bahwa inti keberadaan manusia terletak pada proses
menjadi, entah itu menjadi ledek munyuk atau menjadi tikar.
Maka ketika proses mengada itu selesai, munyuk siap ditendang
dan tikar rela digarang lalu dibuang. Camus pernah berkata,
Saya suka Anda melukis, bukan lukisan Anda.
Aspek lain yang menandai pencarian penyair dalam Kata:
Antologi Puisi1976 2006 Bakdi Soemanto adalah integritas. Selain
kesetiaan seperti telah disebut di atas, keberanian penyair untuk
mengakui dengan jujur semua citra dan cacat diri terungkap
dalam puisi berikut:

117

DEBU DI BLOUSE MERAH


Debu jalan
ikut mewarnai blouse-mu
yang merah darah.
Darah dan debu
warna kehidupan.
Janganlah debu itu dihapus
sebab barangkali
debu itu mengajak kita bersahabat.
Debu itu kehidupan kita.
Marilah kita cium
dan kita tangisi
diri kita.
Debu itu cacat-cacat kita
Dan cacat-cacat itu
Sebagian diri kita
Jangan disembunyikan.
Seperti Puntadewa mengajak serta anjingnya
ke sorga,
kalau memang ingin diterima
kita ingin diterima
seluruhnya.
Pada titik terakhir
kita memang tak bisa berbagi
dengan diri sendiri.

118

Kita adalah kita


yang kotor dan merana,
pendosa.
Tapi kita telah terbuka
karena noda itu
tak usah kita tutup
dengan bulu domba.
Kita mau
seluruh diri diterima
atau tidak sama sekali. ( K, 26 7)
Juga dalam puisi Hujan Turun Rintik-Rintik (1980), penyair
kembali bertanya mengapa kita tidak berani menjadi diri sendiri
seperti hujan/ yang melakukan sesuatu/ karena memang
harus begitu, bukannya malu/ karena selamanya/ berselubung
(K, 37). Penyair secara konsisten murka akan kemunafikan dan
borok-borok yang disembunyikan seperti pada Sajak Cengeng,
1979 (K, 111), Bunga, 1981 (K, 120),dan Kolam 1986, (K, 121),
atau puisi lama Berhenti di Sini Saja, Tuhan, 1966 (K, 97)
tentang keadilan dan kebebasan yang dipasung oleh nafsu saling
bunuh. Keberanian mengaku sebagai pendosa yang diampuni
muncul di beberapa puisi seperti Piala,1974 (K, 4 ), Tuhan di
Hari Minggu, 1979 (K, 28 ), Natal Putih, 1982(K, 48), dan
ketiga puisi doa yang terbit tahun 1977 (K, 103 8). Puisi Di
Muka Patung Pak Dirman, 1995 (K, 67) menegaskan kembali arti
penting kesetiaan, keyakinan, dan kemerdekaan untuk menjadi
diri-sendiri.
Sementara dapat dirangkum bahwa karya Bakdi Soemanto
dalam kumpulan puisi ini koheren dengan pandangan sastra

119

yang secara malar diikutinya, yakni perayaan kebebasan dan


kreativitas. Karyanya merupakan sebuah tafsir kehidupan
bernama puisi yang enggan direcoki maupun merecoki apalagi
menggurui yang lain Karya yang memancarkan kejujuran,
kepastian, dan kritis terhadap diri sendiri. Peristiwa keseharian
yang dibidik penyair nampaknya biasa-biasa saja dan manusiawi
(rindu, resah, dikejar dosa, gembira, kasmaran, marah, geram,
dan sebagainya), namun di balik itu semua, (tentu pembaca
bebas menafsirkan yang lain), hadir sebuah peristiwa rahmat:
manusia yang terus mencari itu, pada akhirnya menemukan.
***
Bahwa akhir kisah menjadi awal baru, tiga puluh tahun
yang lalu Bakdi Soemanto sudah mafhum seperti nampak dalam
puisi berikut ini:

KEMARAU
Kemarau menggulung tikar
waktu mendung bergantung
di ujung hari.
Apakah kehidupan seperti musim
melap keringat duka dan
berteduh di meriah pesta?
Jika begitu
apa pula maknamenunggu
sesudah jera
pusing di tungku.
Ada yang berlanjut

120

di antara yang rontok dan berganti


ada yang tumbuh
di antara yang buyar dan mati.
Mencari
yang selalu memulai
suatu kelanjutan;
kelanjutan dalam permulaan
meski (ah!)
entah akhirnya. ( K, 5)
Meski Bakdi Soemanto muda tahu bahwa manusia harus terus
menerus mencari, hakekat pencariannya belum diketahui secara
pasti entah akhirnya, sang penyair mendesah resah. Kemarau
berganti hujan, fajar menyulih sang malam, yang tumbuh
gantikan yang luruh, yang hidup berpindah tempat ke alam
maut lalu apa lagi yang ditunggu? Kehidupan yang sirkular,
peristiwa sama yang diulang-ulang, cakra menggilingan yang
terus berputar silih berganti. Untuk apa ini semua?
Namun, paling tidak 5 tahun kemudian, penyair kita sudah
tak lagi bertanya karena yang dicari sudah ditemukannya. Puisi
yang ditulis tahun 1979 ini menjadi salah satu signature poem
Bakdi Soemanto:

TUHAN DI HARI MINGGU


Suatu hari Minggu
pagi-pagi jam lima
Tuhan sudah berkemas-kemas
berpakaian rapi
untuk dijadikan korban di altar.

121

Orang-orang menyaksikan
bagaimana Tuhan dirajam
oleh dosa-dosa kita
di atas altar kehidupan.
Ada koor dan organ
dan bunga-bunga hiasan.
Perayaan dan korban
dalam satu pengertian.
Alangkah indah
tetapi pedih juga.
Setiap
Setiap
Setiap
Setiap

Minggu Tuhan dibantai.


hari Tuhan dibunuh dan mati
jam Tuhan dirajam.
detik.

Tuhan telah disalib di sini


di hati
oleh kita sendiri,
justru tatkala kita
tak berani
menjadi diri sendiri.
Kita tak tahu
kapan penyaliban ini berakhir
karena kita juga tak tahu
kapan kita berani
menjadi diri sendiri.
Kita tak akan pernah bisa
menjadi diri sendiri,
selama-lamanya.

122

Tetapi
marilah kita berjanji
akan menjadi diri sendiri
bersamaNya.
Barangkali
penyaliban bukan sekedar upacara. ( K, 28 29)
Sebelum melibati ABC (Albee, Beckett, Camus), untuk
menyebut beberapa nama saja, Bakdi Soemanto sudah mengenal
Sokrates yang mengajarinya bahwa sia-sia saja hidup yang tak
teruji. Bahkan jauh sebelumnya, ia pun selalu bersama Kristus
yang erat melekat di pundaknya saat menyeberangi sungai
kehidupan dan kematian, karena ia seorang Christopher. Meski
ia tahu Siapa yang dicarinya, terus mencari ia, walau tak lagi
bertanya apa hakekatnya. Terus bermain ia, di atas papan catur
hidup, dengan tetap setia berkarya, seperti Sisyphus dengan batu
besarnya. Sia-siakah ia? Jawabnya pasti: Tidak!
Maka, pada pagi 11 Oktober 2014, delapan belas hari
menjelang ulang tahunnya yang ke-73, ketika permainan tak
mungkin lagi dilanjutkan saat mencapai Remis, sang penyair
telah menitipkan kata-kata untuk kita hasil buah pikir
pencariannya selama ini. Akhir kisah akan menjadi suatu awal
yang baru. Selalu begitu.

Rujukan
Knowlson, James R. Damned to Fame: The Life of Samuel Beckett.
New York: Grove Press, 1996.

123

Mangunwijaya, Y. B. Pengakuan Seorang Amatir dalam Menjadi


Generasi Pasca-Indonesia, Ed. Sindhunata. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1999.
Soemanto, Bakdi. Kata: Antologi Puisi 1976 2006 Bakdi Soemanto.
Yogyakarta: Bentang, 2007.

124

Daftar Pustaka

A Biography of Lawrence Ferlinghetti City Lights: Booksellers


and

Publishers.

Diunduh

dari

http://www.citylights.

com/ferlinghetti/
Aging Quotes that Embrace Growing Old. Diunduh dari
http://www.great-inspirational-quotes.com/aging-quotes.html.
Andrews, Richard. The Problem with Poetry. Bristol: Open
University Press, 1991.
Beasley, Rebecca. Theorist of Modern Poetry. London: Routlegde,
2007.
Clark, Timothy. The Cambridge Introduction to Literature and the
Environment. Cambridge: Cambridge University Press,
2011.
Critical Insights: Emily Dickinson. Hackensack: Salem Press, 2010.
Derr, Jason. The Role of Poetry in Religious Knowledge The
Huffington Post, July 6, 2010. Diunduh dari http://
www.huffingtonpost.com/jason-derr/the-role-of-poetry-inrel_b_636293.html.
Dewi, Novita, Puisi Itu Membebaskan. GATRA 34. 24 (Januari
2008): 62 66.

125

Dewi, Novita. Tekukur Terbang Tinggi. Dalam Jalu Suwangsa.


Pantun Senja: Jejak Terbang Burung Tekukur. Yogyakarta:
Amara Books, 2010, hal. 8 15.
Dewi, Novita . Ekokritik dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia: Sebuah Usulan Prosiding Seminar Nasional
Bahasa Indonesia sebagai Pembentuk Sikap dan Perilaku
Bangsa untuk Menyongsong Generasi Emas. Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2013, hal. 77 85.
Dewi, Novita. Sastra Lingkungan Hidup sebagai Gerakan
Sosial dalam Bahasa dan Sastradalam Perspektif Ekologi
dan Multikulturalisme. Yogyakarta: JBSI Universitas
Negeri Yogyakarta, 2014, hal. 311 320.
Dewi, Novita. Kata Pengantar. Dalam Henny Herawati. Puisi
Laci (segera terbit).
Diharja, J. Prapta, S. J., Bahasa Sastra dalam Penerapannya,
dalam Butir-butir Gagasan Bahasa dan Sastra Indonesia serta
Pengajarannya. (Editor) Y. Setiyaningsih dan R. Kunjana
Rahardi. Yogyakarta: Penerbit USD, 2013.

Dije. Ini Katak atau Kodok. 6 Maret 2008. Diunduh 14


Mei 2008 dari http://radio.spin.net.id/?p=221
Donald McQuade, Donald dan kawan-kawan. Editor. The Harper
American Literature. Compact Edition. New York: Harper
& Row, Publishers, 1987.
Encyclopedia Americana. Danbury: Grolier Incorporated, 1992.
Farstad, Arthur L. Jesus and Emily: The Biblical Roots of Emily
Dickinson's Poetry Journal of the Grace Evangelical
Society (Autumn 1991): 4. Diunduh dari http://www.
faithalone.org/journal/1991b/Farstad.html.

126

Herawati, Henny. Puisi Laci (segera terbit)


Huggan, Graham dan Helen Tiffin. Postcolonial Ecocriticism:
Literature, Animals, Environment. London: Routledge,
2010.
I Dewa Putu Wijana, Tanah Lot: Kumpulan Puisi. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2012.
Jalu Suwangsa. Katak Pun Tertawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka
Nusatama, 2007.
Jalu Suwangsa, Katak Pun Memilih Presiden. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama, 2008.
Jalu Suwangsa, Katak Pun Ikut Berpantun: Menyusuri Sungai Sepauk
Kalimantan Barat. Yogyakarta: Penerbit Amara Books,
2009.
Jalu Suwangsa. Pantun Senja: Jejak Terbang Burung Tekukur.
Yogyakarta: Amara Books, 2010.
Jalu Suwangsa. Katak, Belalang, dan Tikus Pun Ingin Memuliakan
Penciptanya. Yogyakarta: Amara Books, 2013.
Jalu Suwangsa. Pantun: Mengikututi Yesus. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2014.
Knowlson, James R. Damned to Fame: The Life of Samuel Beckett.
New York: Grove Press, 1996.
Menand, Louis. The Pound Error: The elusive master of
allusion. The New Yorker, 6 September 2008. Diunduh
dari

http://www.newyorker.com/magazine/2008/06/09/the-

pound-error

127

Mangunwijaya, J. B. Ragawidya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,


1986.
Mangunwijaya, Y. B. Pengakuan Seorang Amatir dalam
Menjadi

Generasi

Pasca-Indonesia,

Ed.

Sindhunata.

Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999.


Matsuo Basho: Frog Haiku. Bureau of Public Secret. Diunduh
12

Mei

2008 dari

http://www.biopsecrets.org/gateway/

passages/basho-frog.htm
O. Ergin, Nevit dan Will Johnson (penerjemah). Bakdi Soemanto
(penerjemah Indonesia). Rubaiyat Terlarang Rumi. Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2006.
O. Ergin, Nevit dan Will Johnson (penerjemah). The Rubais of
Rumi: Insane with Love. Rochester, Vermont: Inner
Traditions, 2007
Ouda Teda Ena. Perempuan dalam Almari: Kumpulan Puisi.
Charleston, South Carolina: Createspace.com, 2013.
Ouda Teda Ena. Hampir Chairil: Kumpulan Kisah Kilat. Charleston,
South Carolina: Createspace.com. 2013.
Poems

of

Ezra

Pound.

PoetHunter.com.

Diunduh

dari

http://www.poemhunter.com/ezra-pound/poems/
Sastrapratedja, M., S. J. Pendidikan sebagai Humanisasi. Jakarta:
Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila, 2013.
Sidin, Samuel Oton, OFM. Cap. Sejauh ini Allah Menciptakan
Satu Bumi Praedicamus 12. 4 (Januari Maret 2013): 15 30.
Soemanto, Bakdi. Kata: Antologi Puisi 1976 2006 Bakdi Soemanto.
Yogyakarta: Bentang, 2007.

128

Starret, Carla. Poetry and Song Lyrics Copyright 2009.


Diunduh 21 April 2009 dari http://www.songlyricist.
com/lyricorpoem.htm.
Stephen, Carter D. (pengantar dan terjemahan). Traditional
Japanese Poetry: An Anthology. Stanford University Press,
1991.
Sunardi, St. Ilmu Sosial Berbasis Sastra: Catatan Awal, Basis
(November Desember 2002): 9 15.
Timpane, John. Poetry for Dummies. New York: Wiley Publishing,
Inc., 2001.
Woolf, Virginia. Orlando: A Biography by Virginia Woolf (1928). San
Diego: A Harvest Book, Harcourt, Inc. 2010.

Yapi Taum, Yoseph. Ballada Arakian: Sebuah Antologi Puisi.


Yogyakarta: Penerbit Lamalera, 2014.

129

Daftar Indeks

Abstraksi 62.
Absurditas 113.
Akal budi 5.
Albert Camus 113.
Aliterasi 36, 45, 98.
Allen Ginsberg 53, 87.
Amos Wilder 40.
Anna Mary Robertson Moses
80.
Anthony Giddens 30.
Antroposentrisme 13, 26.
Ari Subagyo 42.
Aristophanes 52.
Arthur Miller 77.

Doa 33, 67, 101, 102, 104,


119, 70.

Bencana alam 15, 30.


Bersastra 5.
Billy Graham 75, 82.
Budi Darma 78.

Fabianus Tibo 95.


Fokalisasi 15.
Franois de la Rochefoucauld
75.
Frank OHara 37.

C
Creative Writing 86.

E
Ekokritik 7, 14, 21, 26, 126.
Eksistensialis 114.
Emil Salim 19.
Emily Dickinson 42, 46, 47,
48, 125, 126.
Emosi 5, 36, 43.
Ernest Hemingway 78.
Ezra Pound 60, 62, 63, 65,
74, 128.

G
Gabriel Garca Mrquez 78.
Gaya bahasa 15, 36, 45.

131

Gerard Manley Hopkins 60.


Gesang 80.
Grafiti 3, 8, 83, 86, 96, 107.
H
Haiku 53, 54, 55, 59, 61, 128.
Harapan 7, 29, 77, 78, 86, 87.
I
Imaji 40, 61, 62, 64, 97.
Imajinasi 3, 5, 7, 14, 36, 41,
51, 56, 78, 85, 106.
Imajinatif 5, 52.
Inspiratif 7.
Interpretasi 9, 103.
J
Jagat kata 111.
James Kirkup 53.
James Peacock 110.
James R. Knowlson 111.
K
Kebenaran 8, 58, 61.
Keindahan 7, 14, 28, 29, 30,
54, 61.
Kematian 16, 17, 40, 81, 82,
123.
Kontemplatif 6.
Kreatif 5, 38.
Krisis ekologis 14, 22.
L
Lafcadio Hearn 53.

132

Lawrence Ferlinghetti 8, 85,


86, 87, 93, 94, 125.
M
Macapat 63, 74.
Mahatma Gandhi 19.
Malcolm Forbes 82.
Mangunwijaya 38, 39, 62,
110, 124, 128.
Mark Twain 52.
Matsuo Basho 53, 59, 128.
Maxim Gorky 78.
Metafora 41, 53, 89.
Mevlana Jalaludin Rumi 68.
Modernisme 60, 62, 64.
Musikalisasi puisi 86.
N
Nassim Nicholas Taleb 73.
Nur St. Iskandar 52.
O
Onomatopi 45.
Otokritik 64.
P
Pelestarian alam 14, 15, 30.
Pemaparan 6, 15, 61, 111.
Pencemaran lingkungan 15,
26, 30.
Perasaan 5, 6, 38.
Permenungan 6, 63.
Pesan politik 87.
Piranti puitik 36.
Pramoedya Ananta Toer 75.

Prapta Diharja 42, 72.


Protes sosial 87.
R
R.A. Kosasih 80.
Rabindranath Tagore 81.
Rachel Carson 21.
Rasionalitas 5.
Rebecca Beasley 60.
Refleksi 7, 15, 24, 30, 33, 37,
40, 55, 56, 66, 77, 78, 79.
Repetisi 45, 55.
Rima 36, 45, 64.
Ritme 45.
Romantisme 14, 40.
Rosihan Anwar 80.
S
Samuel Beckett 8, 109, 111,
112, 123, 127.
Samuel Johnson 33.
Samuel Oton Sidin 13, 14.
Santo Agustinus 63.
Saut Sitompul 52.
Semangat 38, 57, 78, 105,
112.

Shakespeare 77.
Simbol 15, 25, 62, 89.
Sisyphus 113, 123.
Sufisme 69.
T
T. E. Hulme 60.
T.S. Eliot 60.
Tanka 55.
Teopuitik 47.
Thornton Wilder 40.
U
Umar Kayam 110.
Unik 6, 37, 44, 62, 94.
V
Virgil 37.
Virginia Woolf 85, 87, 93, 94,
129.
W
Walt Whitman 60.
William Carlos Williams 71.

133

Anda mungkin juga menyukai