Auditing

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

https://davidparsaoran.wordpress.

com/2009/11/04/skandal-manipulasilaporan-keuangan-pt-kimia-farma-tbk/
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di
Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma
melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di
audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN
dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung
unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan
keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan
itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan
berupa overstatedpenjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral
berupaoverstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang
Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar
dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang
ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui
direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master
prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah
digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit
distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan
keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun
gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak
terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan
bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham
milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan
keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002.
Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang
Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 Khusus huruf m Perubahan
Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis,
kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta
dan kecurangan atau kelalaian.

Dampak perubahan kebijakan akuntansi atau koreksi atas kesalahan mendasar


harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian kembali
(restatement) untuk periode yang telah disajikan sebelumnya dan melaporkan
dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian sebagai suatu penyesuaian
pada saldo laba awal periode. Pengecualian dilakukan apabila dianggap tidak
praktis atau secara khusus diatur lain dalam ketentuan masa transisi penerapan
standar akuntansi keuangan baru.
Sanksi dan Denda
Sehubungan dengan temuan tersebut, maka sesuai dengan Pasal 102 Undangundang Nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal jo Pasal 61 Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1995 jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah Nomor 45
tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal maka PT
Kimia Farma (Persero) Tbk. dikenakan sanksi administratif berupa denda yaitu
sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Sesuai Pasal 5 huruf n Undang-Undang No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal,
maka:
1. Direksi Lama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. periode 1998 Juni 2002
diwajibkan membayar sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
untuk disetor ke Kas Negara, karena melakukan kegiatan praktek
penggelembungan atas laporan keuangan per 31 Desember 2001.
2. Sdr. Ludovicus Sensi W, Rekan KAP Hans Tuanakotta dan Mustofa selaku
auditor PT Kimia Farma (Persero) Tbk. diwajibkan membayar sejumlah Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk disetor ke Kas Negara, karena
atas risiko audit yang tidak berhasil mendeteksi adanya
penggelembungan laba yang dilakukan oleh PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
tersebut, meskipun telah melakukan prosedur audit sesuai dengan
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), dan tidak diketemukan adanya
unsur kesengajaan. Tetapi, KAP HTM tetap diwajibkan membayar denda
karena dianggap telah gagal menerapkan Persyaratan Profesional yang
disyaratkan di SPAP SA Seksi 110 Tanggung Jawab & Fungsi Auditor
Independen, paragraf 04 Persyaratan Profesional, dimana disebutkan
bahwa persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen
adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik
sebagai auditor independen.

Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk.


Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan pemeriksaan atau
penyidikan baik atas manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk. ataupun
terhadap akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Dan akuntan
publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan
publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan
dengan yang interim 30 Juni tahun 2002.

Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan


pencatatan atas laporan keuangan. Tapi setelah audit interim 2002 akuntan
publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan alas
laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal
bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal
Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para
akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam
kesalahan pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma Tbk. untuk tahun
buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen
karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya
ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal
1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambamya
dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam.
Dan apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat
dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi
akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan
pelanggaran peraturan pasar modal. Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali
laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. dikarenakan adanya kesalahan
pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa
mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik.
Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi
laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans
Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang
diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal PT Kimia Farma Tbk
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. Telah terbukti melakukan pelanggaran dalam
kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan
perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta
agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari
laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama
yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui,
perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001
sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah
terjadi penggelembungan. Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih
2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit
ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30
Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik.
Setelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta
& Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Dan Kimia Farma juga siap
melakukan revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti
ternyata ditemukan kesalahan dalam pencatatan. Untuk itu, perlu dilaksanakan
rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban

manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya
tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan
keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab
atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba
terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam
laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan
adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah
kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang
sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena
laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui,
perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam
laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik
Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan
laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma,
yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan
keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia
Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk
penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham
Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat
tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui
tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen
tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut
memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak
menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya.
Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak
yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur
tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan
dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika
oleh para akuntan publik.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh
KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien
(PT Kimia Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutanstakeholder mana
ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.

2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan
dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP
HTM semata yang tidak mampu melakukan reviewmenyeluruh atas semua
elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia
Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai
persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu
tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan
besar akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma,
mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini
berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada
akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya
kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan
pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya
Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam
manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak
terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai
risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan
strategis dengan stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan
penilaian risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
A.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja
parastakeholder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan
mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan
mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan
harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior
sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi
para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam
menjalankan tugas audit.
C) Mengutamakan reputasi KAP HTM

Yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran,


kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi
kerangka kerja dalam melakukan perbandingan.
Tiga tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan pimpinan KAP
HTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat
ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar
dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2. Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis
dengan stakeholder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stakeholder dan meratingnya dari
segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi
dengan stakeholder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan
strategi, yang dapat memenuhi harapan para stakeholder HTM.
http://yudasil.blogspot.com/2013/01/kasus-3-manipulasi-laporankeuangan-pt.html
KASUS 3 : Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Dalam kasus tersebut, terdeteksi adanya kecurangan dalam penyajian
laporan keuangan. Ini merupakan suatu bentuk penipuan yang dapat
menyesatkan investor dan stakeholder lainnya. Kasus ini juga berkaitan dengan
masalah pelanggaran kode etik profesi akuntansi.
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005,
perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal
apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian
sebesar Rp. 63 Miliar. Komisaris PT KAI Hekinus Manao yang juga sebagai
Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara
Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT KAI untuk
tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan
Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT KAI untuk disetujui
sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT
KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT KAI tahun
2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan
seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT KAI tahun
2005 :
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam
laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun
2005. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai
piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya
menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak

pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di
PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama
tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24
Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui
manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada
akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan
sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya
dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal
total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara
sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31
Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus
bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari
modal perseroan.
Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap
kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah
dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI
tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan
auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola
perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite
audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan
setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan
keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi
Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran
atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8
Agustus 2006).
Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal
dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima
umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak
menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang
sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh
pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya.
Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini
mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi
permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar.
Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut
dipertanyakan.

Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang
melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu
menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan
Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran.
Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan
baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal
itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari
berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor,
masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke
depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan
harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.
Sumber : Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006

ANALISIS:
Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu
merupakan suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun
tersebut yang terjadi karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan
pada laporan keuangan PT KAI tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan
yang menyesatkan banyak pihak seperti investor tersebut. seharusnya PT KAI
harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-asas etika profesi
akuntansi yang dijelaskan oleh tulisan blog saya sebelumnya.

http://anindyaherdiani.blogspot.com/2011/08/skandal-laporan-keuangan-banklippo.html
Skandal Laporan Keuangan Bank Lippo
Fraud dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang dapat merugikan pihak
tertentu dan menguntungkan pihak lainnya. Fraud menurut Blacks Law
Dictionary : Mencakup semua ragam cara yang dapat dipikirkan manusia dan
diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain
dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran dan mencakup semua cara
yang tak terduga,penuh siasat,licik atau tersembunyi dan setiap cara yang tidak
wajar yang menyebabkan orang lain tertipu
Salah satu yang merupakan tindakan fraud adalah Kecurangan laporan
keuangan (Financial statement fraud), korupsi (corruption), penggelapan asset
(asset misappropriation), Korupsi dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan
jabatan yang digunakan untuk kepentingan pribdi atau perusahaan. Selain itu
korupsi juga bias dikatakan sebagai tindakan pengkhianatan terhadap amanah.
Dalam hal ini termasuk perilaku penyuapan, memberikan upah tertentu untuk
melindungi diri dari hokum, nepotisme dan sebagainya. Selain itu yang termasuk
dalam tindakan fraud lainnya adalah penggelapan asset (asset

misappropriation), meliputi penyalahgunaan atau pencurian aset atau harta


perusahaan atau pihak lain dan pernyataan palsu (fraudulent statement),
meliputi tindakan yang dilakukan untuk menutupi kondisi keuangan yang
sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering) dalam
penyajian laporan keuangan untuk memperoleh keuntungan.
Oleh karena adanya tindakan-tindakan fraud tersebut, maka diperlukan
adanya langkah-langkah perbaikan dalam mengatasi tindakan-tindakan tersebut.
Hal ini bias dilakukan dengan melakukan pencegahan terhadap fraud,
mendeteksi adanya fraud, serta melakukan investigasi fraud. Dengan adanya
usaha-usaha seperti ini diharapkan dapat meminimalisir semua fraud. Dalam hal
ini akan menjelaskan tentang kasus skandal keuangan ganda Bank Lippo.
Kasus Bank Lippo bermula ketika bank menarik dana publik melalui tabungan
maupun deposito. Melalui kredit yang disalurkan, dana itu, selanjutnya
digunakan untuk membiayai investasi di perusahaan afiliasi. Ketika krisis
melanda, dan perusahaan- perusa- haan berguguran, kredit macet, bank pun
berguguran. Ketika kemudian diperoleh berita bahwa pemerintah dalam hal ini
Bank Indonesia (BI) akan melakukan uji tuntas terhadap bank-bank, apakah
melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terhadap perusahaan
afiliasi, maka Bank Lippo cepat bergerak. Mereka mengambil alih semua agunan
dari kredit perusahaan afiliasi. Dengan demikian, seluruh kredit dianggap lunas,
dan hapus dari pembukuan. Kalau mau melihat lebih jauh, mestinya Bank Lippo
juga melanggar BMPK.
Dalam paparan kepada publik untuk menjelaskan kasus laporan keuangan
ganda per 30 September 2002, manajemen Bank Lippo kembali berkelit. Ketika
dikejar, apakah AYDA berasal dari kredit kepada afiliasi dan pembelinya adalah
perusahaan afiliasi, manajemen hanya menjawab bahwa menurut peraturan
Bank Indonesia tidak ada aset yang tercatat di buku yang merupakan afiliasi
dengan pinjaman grup. Padahal, dalam laporan keuangan Bank Lippo, sejak
tahun 1998, jelas-jelas tertulis bahwa AYDA tersebut adalah surat berharga yang
meliputi saham PT Lippo Karawaci Tbk, PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo
Securities Tbk, PT Bukit Sentul Tbk, PT Hotel Prapatan Tbk, PT Matahari Putra
Perkasa Tbk, dan PT Panin Insurance Tbk. Selain itu ada pula properti berupa
perumahan, komersial, dan industri di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang,
Ujung Pandang (Makassar), Bogor, Serang, Bandung, Surabaya, Purwakarta,
Medan, dan Tasikmalaya. Dari namanya saja, jelas-jelas itu dari grup Lippo
pemberian kredit kepada kelompok sendiri.
Penggelembungan nilai (mark up) memang sulit dibuktikan. Kasus ini
mencuat, ketika dalam laporan keuangan Bank Lippo per 30 September 2002
kepada publik pada tanggal 28 November 2002, manajemen menyebutkan total
aktiva perseroan Rp 24 trilyun dan laba bersih Rp 98 milyar. Namun, dalam
laporan keuangan kepada BEJ 27 Desember 2002, manajemen menyebutkan
total aktiva berkurang menjadi Rp 22,8 trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun.
Perbedaan laba dikatakan karena adanya kemerosotan nilai agunan yang diambil
alih dari Rp 2,393 trilyun pada laporan publikasi menjadi Rp 1,42 trilyun pada

laporan ke BEJ. Akibatnya, dalam keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat


kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen.
Keanehan semakin menjadi, ketika dalam suatu wawancara dengan salah
satu majalah berita, Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo Roy Tirtadji
menyatakan, penjualan AYDA tersebut dilakukan, salah satunya karena AYDA
membebani bank dengan biaya perawatan sampai Rp 400 milyar per tahun.
Menggelikan. Bank Lippo yang pemegang saham mayoritasnya pemerintah,
harus mengeluarkan biaya Rp 400 milyar tiap tahun untuk biaya pemeliharaan
AYDA, yang berisi aset-aset yang berasal dari Grup Lippo sendiri. Biaya
perawatan itu setara dengan 15 persen dari nilai AYDA sendiri yang Rp 2,393
trilyun.
Kecurigaan justru menyeruak, apakah ini cara lain moroti bank? Bagaimana
mungkin bank tiap tahun mengeluarkan biaya perawatan Rp 400 milyar untuk
aset-aset properti yang bisnisnya berjalan. "Tiap tahun kita mengeluarkan Rp
400 milyar," katanya. Selain itu kemungkinan mengakali uang negara juga
terbuka dalam proses pengalihan aset yang dianggap macet pada BPPN. Seluruh
permainan memiliki benang merah yang sama. Menyalahgunakan subyektivitas
dalam penilaian aset.Proses penyerahan aset ke BPPN, banyak sekali
menimbulkan peluang bagi pemilik bank yang direkapitalisasi untuk mengambil
dana sebanyak mungkin dari negara. Sementara itu, begitu banyaknya dokumen
yang diserahkan ke BPPN, juga membuatnya menjadi mudah dimainkan. Entah
itu karena lelah, malas, lalai, tidak teliti, atau apa pun, yang jelas menjadi
terbuka lebar untuk dibobol saat harus menghadapi banyaknya dokumen. Inilah
rupanya hal yang tak dapat ditolak. Rekapitalisasi besar-besaran di satu sisi
memang dibutuhkan, tetapi di sisi lain menimbulkan banyak kesempatan bagi
orang-orang yang ingin mengambil keuntungan secara tidak wajar. Proses
administrasi yang sedemikian banyak, merupakan titik lemah yang sering kali
menjadi sumber korupsi.
Belum lagi, rekayasa dengan berbagai bentuk tukar guling dalam bank dan
grup sendiri. Misalnya, aset dalam grupnya sendiri ditukar guling melalui
perusahaan jadi-jadian di Mauritius atau Cayman Island. Dengan demikian,
pemilik lama yang sesungguhnya telah melanggar BMPK akan bisa menguasai
kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, ataupun membeli kembali kreditnya
sendiri dengan diskon besar. DI sisi lain, dengan memanfaatkan isu-isu, baik
yang alamiah maupun yang direncanakan seperti penggembosan valuasi AYDA
dan kasus laporan keuangan ganda, di pasar modal saham Bank Lippo digarap
habis-habisan. . Sejak dari dugaan menggerojog pasar untuk kemudian
memborong kembali saham setelah harganya jatuh, sampai upaya menurunkan
saham dengan melakukan transaksi satu lot pada menit terakhir selama 40 hari.
Berdasarkan kasus dan faktor-faktor fraud diatas, maka dapat Terdapat dua
metode pendekteksian kecurangan secara pro aktif, yaitu :
1. Inductive Detection Method : Pendekatan yang dilakukan dengan

menggunakan commercial data-mining software seperti Audit Command


Language (ACL).Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah melakukan
prosedur analytical review.
2. Deductive Detection Method : Pendekatan ini untuk menentukan apa saja
yang dapat terjadi dalam situasi tertentu dan kemudian menggunakan teknik
dan metode lainnya untuk menentukan apabila kecurangan tersebut benarbenar ada.

Menganalisis kasus skandal Bank Lippo melakukan tindakan fraud


seperti:

Asset Misapropriation (Penggelapan/Penyelewengan Aset) Adalah fraud yang


dilakukan dengan cara mencuri penerimaan, mencuri kas/asset yang ada di
perusahaan, dan melakukan kecurangan terhadap pengeluaran. Para pelaku
biasanya melakukan kejahatannya secara sendiri atau denga kolusi bersama
pihak lain.
Dalam hal ini Bank Lippo mengakali penjualan AYDA karena AYDA membebani
Bank dengan biaya perawatan sampe 400 Milyar per tahun, dan ini untuk
membiayai aset yang berasal dari group sendiri yang bisnisnya masih berjalan.
Dan berbagai rekayasa seperti gropu nya sendiri ditukar guling melalui
perusahaan jadi-jadian di Mauritius atau cayman Island, sehingga dapat
menguasai kembali asetnya yang telah menjadi AYDA, membeli kembali
kreditnya sendiri dengan diskon besar.
Selain itu adanya laporan keuangan ganda Bank Lippo yang berbeda antara
laporandi BEJ dan di publik. Laporan keuangan BankLippo kepada publik pada
tanggal 28 November 2002, manajemen menyebutkan total aktiva perseroan Rp
24 trilyun dan laba bersih Rp 98 milyar. Namun, dalam laporan keuangan kepada
BEJ 27 Desember 2002, manajemen menyebutkan total aktiva berkurang
menjadi Rp 22,8 trilyun dengan rugi bersih Rp 1,3 trilyun.

Corruption (Korupsi)
Korupsi yang dilakukan Bank Lippo yaitu:
1. Penyuapan (Bribery) Adalah menawarkan, memberikan, menerima, atau
meminta sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan pejabat. Dalam
kasus ini, Bank Lippo mengakali uang Negara dalam proses pengalihan asset
yang dianggap macet pada BPPN. Di BPPN proses rekapitalisasi dan proses
administrasi yang sedemikian banyak, sering kali dan bias menjadi sumber
korupsi.

2. Konflik Kepentingan (Conflict of Interest) Bertindak atas nama individu atau


organisasi tetapi memiliki kepentingan pribadi dalam aktivitas yang dilaksanakan
dan mempengaruhi/merugikan pihak yang diwakilinya. Dalam kasus ini, Bank
Lippo memberikan kredit kepada kelompok sendiri sehingga melanggar BMPK
namun Bank Lippo berdalih tidak ada asset yang tercatat di buku yang
merupakan afiliasi dengan pinjaman group, padahal sudah jelas bahwa AYDA
tersebut merupakan surat berharga meliputi saham dengan nama group sendiri.
Dengan melihat tindakan-tindakan fraud yang dilakukan oleh Bank Lippo
tersebut, maka dapat dilakukan langkah-langkah yang dapat digunakan untuk
mengatasi fraud yang telah ada tersebut. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi fraud tersebut diantaranya:
1. Strategi Preventif
Strategi ini dilakukan dengan pengendalian atas faktor-faktor penyebab korupsi,
dengan rumusan sebagai berikut :
- memperkuat peran lembaga tinggi Negara,
- Membangun kode etik di sektor publik dan lembaga lainnya seperti parpol,
organisasi profesi, asosiasi dan sebagainya.
- penataan manajemen yang berorientasi hasil dan ber-azas akuntabilitas baik
dalam manajemen SDM, keuangan, dan manajemen pelayanan public.

Dalam kasus Bank Lippo hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran
lembaga tinggi Negara, dalam kasus Bank Lippo mulai dari BI, Bapepam, DPR
ataupun BPPN. Dan yang menjadi ujung tombak berbagai rekayasa uang negara
adalah komisaris oleh karena itu peran komisaris, wakil dari kepentingan
pemerintah selaku pemegang saham mayoritas menjadi penting.

2. Strategi Detektif
Strategi ini adalah upaya mengidentifikasi tindakan korupsi dengan rumusan
sebagai berikut:
- penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.
- peningkatan kemampuan audit investigasi bagi auditor internal dalam
mendeteksi korupsi
- pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan pribadi yang jumlahnya
signifikan dan pelaporan kekayaan pribadi manajemen perusahaan
penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.
- Peningkatan partisipasi perusahaan pada gerakan anti korupsi dan pencucian
uang pada masyarakat internasional.

Dalam kasus Bank Lippo yang harus diberlakukan adalah pemberlakuan


kewajiban pelaporan transaksi keuangan pribadi dan pelaporan kekayaan pribadi
manajemen perusahaan.

3. Strategi Represif
Adalah tindakan utuk menangani perbuatan-perbuatan korupsi yang terjadi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat dirumuskan
dengan:
-Penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para
manajemen dan pegawai yang melakukan korupsi.
-pemberlakuan system pemantauan proses penyelesaian tindak pidana korupsi
secara terpadu
-Penataan kembali pelaksanaan tugas.

Dalam kasus Bank Lippo strategi represif yang harus dilakukan adalah strategi
penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para
manajemen dan pegawai yang melakukan korupsi.

Sumber :

Workshop audit kecurangan.STAN.Jakarta


http://aprasetyantoko.blogspot.com/2006/04/pelajaran-dari-skandal-lippo.html
http://www.tempointeractive.com/hg/ekbis/2003/03/12/brk,20030312-27,id.html

Anda mungkin juga menyukai