Auditing
Auditing
Auditing
com/2009/11/04/skandal-manipulasilaporan-keuangan-pt-kimia-farma-tbk/
Skandal Manipulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma Tbk.
Permasalahan
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di
Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma
melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di
audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN
dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung
unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan
keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah
ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru,
keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah
sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan
itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan
berupa overstatedpenjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral
berupaoverstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang
Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar
dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang
ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui
direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master
prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah
digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit
distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak
disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan
penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan
keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun
gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak
terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Selanjutnya diikuti dengan pemberitaan di harian Kontan yang menyatakan
bahwa Kementerian BUMN memutuskan penghentian proses divestasi saham
milik Pemerintah di PT KAEF setelah melihat adanya indikasi penggelembungan
keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester I tahun 2002.
Dimana tindakan ini terbukti melanggar Peraturan Bapepam No.VIII.G.7 tentang
Pedoman Penyajian Laporan Keuangan poin 2 Khusus huruf m Perubahan
Akuntansi dan Kesalahan Mendasar poin 3) Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis,
kesalahan dalam penerapan kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta
dan kecurangan atau kelalaian.
manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya
tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan
keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab
atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba
terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam
laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan
adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah
kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang
sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena
laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui,
perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam
laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik
Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan
laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma,
yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan
keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia
Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk
penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham
Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat
tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui
tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen
tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut
memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak
menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya.
Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak
yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur
tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan
dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika
oleh para akuntan publik.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Risiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh
KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien
(PT Kimia Farma Tbk.) dan pemberian opini atas laporan keuangan klien.
Dalam kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutanstakeholder mana
ditinjau dari segi kepentingan stakeholder adalah:
1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk.
2. Pemegang saham
3. Masyarakat luas
Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan
dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP
HTM semata yang tidak mampu melakukan reviewmenyeluruh atas semua
elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia
Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai
persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah risiko inheren dari dijalankannya suatu
tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan
besar akan ada risiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma,
mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Risiko ini
berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun publik, dan pada
akhirnya HTM harus menghadapi konsekuensi risiko seperti hilangnya
kepercayaan publik dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan
pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya
Kantor Akuntan Publik tersebut.
Diluar risiko bisnis, risiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada
kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam
manipulasi laporan keuangan. Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak
terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi.
Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen risiko yang dapat
diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai
risiko etika, serta menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan
strategis dengan stakeholder.
1. Mengidentifikasi dan menilai risiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, pengidentifikasian dan
penilaian risiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
A.) Melakukan penilaian dan identifikasi para stakeholder HTM
HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja
parastakeholder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan
mengetahui siapa saja para stakeholder dan apa kepentingannya serta harapan
mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan
harapan stakeholder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior
sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
B) Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi
para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam
menjalankan tugas audit.
C) Mengutamakan reputasi KAP HTM
pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di
PT KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama
tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24
Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui
manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada
akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan
sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya
dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal
total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara
sebesar Rp 70 Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31
Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus
bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari
modal perseroan.
Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap
kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah
dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI
tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan
auditor akuntan publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola
perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite
audit (komisaris) PT KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan
setelah diaudit akuntan publik. Akuntan publik yang telah mengaudit laporan
keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi
Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik itu diberi sanksi teguran
atau pencabutan izin praktek. (Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8
Agustus 2006).
Kasus PT KAI di atas menurut beberapa sumber yang saya dapat, berawal
dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Sebagai akuntan sudah selayaknya menguasai prinsip akuntansi berterima
umum sebagai salah satu penerapan etika profesi. Kesalahan karena tidak
menguasai prinsip akuntansi berterima umum bisa menyebabkan masalah yang
sangat menyesatkan.
Laporan Keuangan PT KAI tahun 2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh
pihak-pihak tertentu. Banyak terdapat kejanggalan dalam laporan keuangannya.
Beberapa data disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Hal ini
mungkin sudah biasa terjadi dan masih bisa diperbaiki. Namun, yang menjadi
permasalahan adalah pihak auditor menyatakan Laporan Keuangan itu wajar.
Tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi keuangan. Hal ini lah yang patut
dipertanyakan.
Dari informasi yang didapat, sejak tahun 2004 laporan PT KAI diaudit oleh
Kantor Akuntan Publik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang
melibatkan BPK sebagai auditor perusahaan kereta api tersebut. Hal itu
menimbulkan dugaan kalau Kantor Akuntan Publik yang mengaudit Laporan
Keuangan PT KAI melakukan kesalahan.
Profesi Akuntan menuntut profesionalisme, netralitas, dan kejujuran.
Kepercayaan masyarakat terhadap kinerjanya tentu harus diapresiasi dengan
baik oleh para akuntan. Etika profesi yang disepakati harus dijunjung tinggi. Hal
itu penting karena ada keterkaitan kinerja akuntan dengan kepentingan dari
berbagai pihak. Banyak pihak membutuhkan jasa akuntan. Pemerintah, kreditor,
masyarakat perlu mengetahui kinerja suatu entitas guna mengetahui prospek ke
depan. Yang Jelas segala bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh akuntan
harus mendapat perhatian khusus. Tindakan tegas perlu dilakukan.
Sumber : Harian KOMPAS Tanggal 5 Agustus 2006 dan 8 Agustus 2006
ANALISIS:
Dari kasus studi diatas tentang pelanggaran Etika dalam berbisnis itu
merupakan suatu pelanggaran etika profesi perbankan pada PT KAI pada tahun
tersebut yang terjadi karena kesalahan manipulasi dan terdapat penyimpangan
pada laporan keuangan PT KAI tersebut. pada kasus ini juga terjadi penipuan
yang menyesatkan banyak pihak seperti investor tersebut. seharusnya PT KAI
harus bertindak profesional dan jujur sesuai pada asas-asas etika profesi
akuntansi yang dijelaskan oleh tulisan blog saya sebelumnya.
http://anindyaherdiani.blogspot.com/2011/08/skandal-laporan-keuangan-banklippo.html
Skandal Laporan Keuangan Bank Lippo
Fraud dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang dapat merugikan pihak
tertentu dan menguntungkan pihak lainnya. Fraud menurut Blacks Law
Dictionary : Mencakup semua ragam cara yang dapat dipikirkan manusia dan
diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain
dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran dan mencakup semua cara
yang tak terduga,penuh siasat,licik atau tersembunyi dan setiap cara yang tidak
wajar yang menyebabkan orang lain tertipu
Salah satu yang merupakan tindakan fraud adalah Kecurangan laporan
keuangan (Financial statement fraud), korupsi (corruption), penggelapan asset
(asset misappropriation), Korupsi dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan
jabatan yang digunakan untuk kepentingan pribdi atau perusahaan. Selain itu
korupsi juga bias dikatakan sebagai tindakan pengkhianatan terhadap amanah.
Dalam hal ini termasuk perilaku penyuapan, memberikan upah tertentu untuk
melindungi diri dari hokum, nepotisme dan sebagainya. Selain itu yang termasuk
dalam tindakan fraud lainnya adalah penggelapan asset (asset
Corruption (Korupsi)
Korupsi yang dilakukan Bank Lippo yaitu:
1. Penyuapan (Bribery) Adalah menawarkan, memberikan, menerima, atau
meminta sesuatu yang bernilai untuk mempengaruhi tindakan pejabat. Dalam
kasus ini, Bank Lippo mengakali uang Negara dalam proses pengalihan asset
yang dianggap macet pada BPPN. Di BPPN proses rekapitalisasi dan proses
administrasi yang sedemikian banyak, sering kali dan bias menjadi sumber
korupsi.
Dalam kasus Bank Lippo hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat peran
lembaga tinggi Negara, dalam kasus Bank Lippo mulai dari BI, Bapepam, DPR
ataupun BPPN. Dan yang menjadi ujung tombak berbagai rekayasa uang negara
adalah komisaris oleh karena itu peran komisaris, wakil dari kepentingan
pemerintah selaku pemegang saham mayoritas menjadi penting.
2. Strategi Detektif
Strategi ini adalah upaya mengidentifikasi tindakan korupsi dengan rumusan
sebagai berikut:
- penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.
- peningkatan kemampuan audit investigasi bagi auditor internal dalam
mendeteksi korupsi
- pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan pribadi yang jumlahnya
signifikan dan pelaporan kekayaan pribadi manajemen perusahaan
penyempurnaan sistem pengaduan masyarakat atas pelayanan publik.
- Peningkatan partisipasi perusahaan pada gerakan anti korupsi dan pencucian
uang pada masyarakat internasional.
3. Strategi Represif
Adalah tindakan utuk menangani perbuatan-perbuatan korupsi yang terjadi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dapat dirumuskan
dengan:
-Penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para
manajemen dan pegawai yang melakukan korupsi.
-pemberlakuan system pemantauan proses penyelesaian tindak pidana korupsi
secara terpadu
-Penataan kembali pelaksanaan tugas.
Dalam kasus Bank Lippo strategi represif yang harus dilakukan adalah strategi
penyelidikan, penuntutan, peradilan dan penerapan hukuman bagi para
manajemen dan pegawai yang melakukan korupsi.
Sumber :