Trauma Urogenital

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

LEMBAR PENGESAHAN

RESPONSI
TRAUMA SALURAN KEMIH

Responsi dengan judul Trauma Saluran Kemih telah diperiksa dan


disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Bedah.

Surabaya, Februari 2016


Pembimbing

dr. Samsul Islam, Sp.U

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................

ii
iii
1

Latar Belakang......................................................................

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................

2.1 Trauma Ginjal.................................................................

BAB II

Klasifikasi ......................................................................

Diagnosis........................................................................

Penatalaksanaan...........................................................

Komplikasi......................................................................

2.2 Trauma Ureter................................................................

Klasifikasi.......................................................................

Diagnosis........................................................................

Penatalaksanaan...........................................................

Komplikasi......................................................................

12

2.3 Trauma Buli Buli.............................................................


..............................................................................................

12

Etiologi............................................................................

13

Klasifikasi.......................................................................

14

Diagnosis........................................................................

14

Penatalaksanaan...........................................................

15

Komplikasi......................................................................

16

2.4 Trauma Uretra................................................................

15

Anatomi Uretra ..............................................................

16

Klasifikasi.......................................................................

17

Ruptur Uretra Posterior.............................................

17

Ruptur Uretra Anterior...............................................

23

2.5 Trauma Penis.................................................................

26

Fraktur Penis....................................................................

25
ii

BAB 3

Strangulasi Penis.............................................................

27

2.6 Trauma Genetalia Eksterna............................................

27

DAFTAR PUSTAKA.............................................................

30

iii

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trauma genito urinaria terjadi sekitar 10-15% dari pasien yang menderita
trauma abdomen dan pelvis.

(1)

Trauma pada genitalia eksterna jarang terjadi. Ketika

trauma genitalia terjadi, pertimbangan adanya trauma uretra adalah penting.


Diagnosa yang benar dan pengobatan trauma genitalia eksterna bertujuan untuk
memelihara struktur organ dan fungsi dan komplikasi seperti infeksi, perdarahan,
dan ekstravasasi urin. Oleh karena itu, jika didapatkan cedera organ urogenitalia,
harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya kerusakan organ lain yang
mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ genitourinaria bukan cedera yang
mengancam jiwa kecuali cedera berat pada ginjal yang menyebabkan kerusakan
parenkim ginjal yang cukup luas dan kerusakan pembuluh darah ginjal. 1
Trauma saluran kemih sering tak terdiagnosa atau terlambat terdiagnosa
karena perhatian penolong sering tersita oleh jejas-jejas ada di tubuh dan anggota
gerak saja, kelambatan ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
perdarahan hebat dan peritonitis, oleh karena itu pada setiap kecelakaan trauma
saluran kemih harus dicurigai sampai dibuktikan tidak ada. Trauma saluran kemih
sering tidak hanya mengenai satu organ saja, sehingga sebaiknya seluruh sistem
saluran kemih selalu ditangani sebagai satu kesatuan. Juga harus diingat bahwa
keadaan umum dan tanda-tanda vital harus selalu diperbaiki/dipertahankan,
sebelum melangkah ke pengobatan yang lebih spesifik.
Suatu kegawatan urologi timbul jika suatu keadaan membutuhkan diagnosa
yang cepat dan pengobatan segera. Trauma organ-organ urogenital umumnya tidak
mengancam jiwa dengan segera. Meski demikian, kegagalan dalam mengevaluasi
dengan benar dan mengobati cedera ini mungkin mengakibatkan morbiditas pasien
jangka panjang. Kemajuan baru-baru ini dalam perawatan intensif dan gambaran
radiologi telah memperbaiki diagnosa dan ketahanan hidup pada trauma yang
serius. Adalah tanggung jawab seorang ahli urologi untuk menyediakan interpretasi
gambaran pencitraan urologi dengan benar dan intervensi secara operatif jika
diperlukan.
1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. TRAUMA GINJAL
Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya, karena itu
cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma
ginjal merupakan trauma terbanyak pada system urogenitalia. Kurang lebih 10%
dari trauma abdomen mengenai ginjal. (2)
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1). Langsung akibat benturan yang
mengenai daerah pinggang atau (2). Tidak langsung : cedera deselerasi akibat
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Jenis cedera
yang dapat mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk atau luka
tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis
yang memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat
menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal
dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti
hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.
Klasifikasi Trauma Ginjal
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi : (1) Cedera minor, (2). Cedera major, (3). Cedera pada pedikel atau
pembuluh darah ginjal. Pembagian sesuai skala cedera organ ( organ injury scale)
cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan
pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal
merupakan cedera minor ( derajat I dan II), 15% termasuk cedera major ( derajat
III dan IV) dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.

Penderajatan Trauma Ginjal (3)


DERAJAT
I

Kontusio
2

JENIS KERUSAKAN
ginjal
/
hematoma

II

subkapsular tanpa laserasi parenkim


Laserasi ginjal terbatas pada korteks

III

dan hematoma perirenal


Laserasi ginjal sampai pada medulla
ginjal, mungkin terdapat thrombosis

IV

arteri segmentalis
Laserasi sampai mengenai sistem kaliks

ginjal
Avulsi hilum renalis, mungkin terjadi
thrombosis arteri renalis
Ginjal terbelah ( shatered)

Gambar 2.1. Derajat Trauma Ginjal


Diagnosis
Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat : (2)
1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah dan perut bagian
2.
3.
4.
5.

atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
Hematuri
Fraktur costa sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi

tergantung derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang
menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas

kerusakan yang terjadi. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan
nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria
makroskopis ataupun mikroskopis. Pada trauma major atau rupture pedikel
seringkali pasien datang dalam keadaaan syok berat dan terdapat hematoma di
daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin
pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan IVP karena usaha untuk memperbaiki
hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar
dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakuakan eksplorasi laparatomi
untuk menghentikan perdarahan.
Imaging
Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas
yang dimiliki oleh RS yang bersangkutan. Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVP
(dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi 2ml/kg berat badan) untuk
menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral.
Pembuatan IVP dilakukan jika diduga ada (1) Luka tusuk atau luka tembak yang
mengenai ginjal, (2) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
makroskopik, dan (3) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda
hematuria mikroskopik dengan disertai syok. (2)
Pada beberapa RS, dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan
tanda hematuri mikroskopik tanpa disertai syok melakukan pemeriksaan
Ultrasonografi sebagai pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan USG ini diharapkan
dapat menemukan kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan
pemeriksaan ini dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.
Jika IVP belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non
visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Pemeriksaan
IVP pada kontusio renis sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal.
Dalam keadaan ini pemeriksaan USG abdomen dapat menunjukan adanya
hematoma perenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul
ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusio renis yang cukup luas menyebabkan
hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga memberikan gambaran
system pelvikalises yang spastic atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem
pelvikalises yang tak namapk pada IVP dapat pula terjadi pada rupture pedikel
atau pasien yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani
pemeriksaan IVP.
4

Pada derajat IV tampak adanya ekstravasasi kontras, hal ini terjadi


karenaterobeknya system pelviokalises ginjal. Ekstravasasi ini akan tampak
semakin luas pada ginjal yang mengalami fragmentasi ( terbelah) pada cedera
derajat V. Di beberapa RS, peranan IVP sebagai alat diagnostik dan penentuan
derajat trauma ginjalmulai digantkan oleh CT scan. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal. Selain itu pemeriksaan ini dapat
mendeteksi adanya trauma pada organ lain.
Tatalaksana
Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk
melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak
memerlukan operasi. Terapi yang dikerjakan pada trauma ginjal adalah :

Konservatif

Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Pada keadaan ini


dilakukan observasi tanda vital (tensi, nadi, suhu, pernapasan), kemungkinan
adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkar peut,
penurunan kadar hemoglobin, dan perubahan warna urine pada pemeriksaan urin
serial.
Jika selama observasi didapatkan adanya tanda-tanda perdarahan atau
kebocoran urin yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan
operasi.

Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement,
reparasi ginjal ( berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak
jarangharus dilakukan nefrektomi parsial bahkan total karena kerusakan yang berat.

Gambar 2.2. Indikasi intervensi bedah trauma ginjal


Komplikasi
Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma major dan
trauma pedikelsering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan
kematian. Selain itu kebocoran system kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urin
sehingga menimbulkan urinoma,

abses perirenal, urosepsis dan kadang

menimbulkan fistula reno-kutan. Di kemudian hari pasca cedera ginjal dapat


menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolithiasis, atau pielonefritis
kronis. (4)
2. Trauma ureter
Trauma ureter sangat jarang dijumpai dikarenakan posisi ureter yang terletak
retroperitoneal, terjadi 1% dari seluruh trauma traktus urogenitalia. Penyebab
paling sering biasanya karena trauma iatrogenik (75%), diikuti trauma tumpul (18%)
dan trauma tajam (7%). Pada trauma iatrogenik, penyebab paling sering karena
7

operasi ginekologi (73%), pada ureter distal (74%). Cedera yang dapat terjadi pada
ureter dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma
tajam, ataupun trauma iatrogenik.

(2)

Klasifikasi
Klasifikasi trauma ureter berdasarkan AAST ( The american association for
the surgery of trauma) adalah sebagai berikut.13
Grade I : Hematom ureter
Grade II : Laserasi kurang dari 50 % lingkar ureter
Grade III: Laserasi lebih dari 50 % lingkar ureter
Grade IV : Terpotong kurang dari 2 cm
Grade V : Terpotong lebih dari 2 cm
Diagnosis
Kecurigaan ke arah trauma ureter didapatkan pada:

Hematuria pasca trauma


Pada trauma iatrogenik, yaitu:

Saat operasi

Pasca bedah

Lapangan operasi banyak cairan


Hematuria
Anuria/oligouri jika cedera bilateral
Demam
Ileus
Nyeri pinggang akibat obstruksi
Luka operasi selalu basah
Sampai beberapa hari cairan

drainase jernih dan banyak

Hematuria persisten dan hematoma


/urinoma di abdomen

Fistula
ureterokutan/fistula

urerovagina
Penunjang: Retrograde pyelogram adalah tes yang paling sensitive. Selain itu
pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urin jika diduga terdapat
kebocoran urin melalui pipa drainase pasca bedah, pemeriksaan ureum dan
8

kreatinin yang diambil dari pipa drainase, pemeriksaan IVP (ekstravasasi


kontras ato kontras berhentidi daerah lesi atau terdapat deviasi ureter ke
lateral karena hemangioma / urinoma, atau hidro-uretronefrosis pada cidera
lama).

Gambar 2.3 Retrograde Pyelography of a Patient with Suspected Left Ureteral


Injury.14

Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada
saat trauma ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat
lesi ureter.13
Trauma parsial (grade I dan II)
Pada trauma ureter grade I dan II dapat ditangani dengan pemasangan stent
pada ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan
pemasangan stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma,
memberikan kanalisasi dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya striktur. Pemasangan stent dapat
9

dilakukan baik secara retrograde maupun antegrade dengan bantuan fluoroskopi


maupun ureteropyelografi. Pemasangan stent dipertahankan selama 3 minggu.
Sedangkan kateter uretra dipertahankan 2 hari untuk mencegah terjadinya refluks
dan memberikan kesempatan penyembuhan.
Pemantauan dengan renogram maupun intravenous pyelografi dilakukan
pada bulan ke-3 hingga ke-6 atau segera apabila didapatkan nyeri pinggang pada
daerah trauma ureter. Apabila terjadi striktur, maka perlu dilakukan tindakan
endourologi maupun pembedahan. Pada trauma grade I maupun II yang diketahui
saat pembedahan, maka dianjurkan untuk dilakukan penutupan lesi secara primer
disertai dengan pemasangan stent.13
Trauma total (grade III, IV dan V)
Perbaikan pada trauma ureter yang komplet sebaiknya dilakukan dengan
melakukan debridement jaringan ureter yang rusak, spatulasi, pemasangan stent
ureter, menjahit ureter dengan benang 4/0 yang diserap secara watertight,
memasang non-suction drain dan menutup tempat jahitan dengan peritoneum
maupun omentum.13
Tindakan yang dilakukan bergantung pada lokasi terjadinya trauma. Beberapa
tindakan yang mungkin dilakukan adalah:
1) Ureter saling disambungkan (end to end anastomosis atau ureteroureterostomi)

10

Gambar 2.4 End to end anastomosis


2) Menyambung ureter dengan kalik ginjal (Ureterokalicostomi)
3) Menyambung ureter dengan ureter sisi yang lain (Transureter ureterostomi)

11

Gambar 2.5. Transureter ureterostomi


4) Inplantasi ureter ke buli-buli (neoimplantasi ureter pada buli-buli, flap Boari,
atau Psoas hitch)

Gambar 2.6 Flap Boari

5) Uretro-kutaneustomi, yaitu menghubungkan ujung akhir ureter dengan


dunia luar, melalui lubang di kulit (stoma)
6) Nefrektomi (pengangkatan ginjal)
Komplikasi
Pada trauma ureter yang lama akan menyebabkan terjadinya fibrosis dan
stenosis

sehingga menyebabkan hidronefrosis pada ginjal sisi yang sama.

Ekstravasasi yang lama juga menyebabkan terjadinya urinoma yang memudahkan


terjadinya infeksi dan memungkinkan terjadinya urosepsis. 13
3. TRAUMA BULI-BULI

Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun
Semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis.
12

Sehingga kemungkinanmendapatkan trauma dari luar jarang terjadi. Angka kejadian


trauma buli kurang lebih 2% dari seluruh trauma pada sistem urogenitalia.

(2)

Etiologi

Kurang lebih 90% trauma buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli
pada daerah tulang pelvis oleh facia endopelvik dan diafragma pelvis sangat
kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasiabergerak pada

arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.


Pada keadaan buli-buli terisi penuh urin, buli-buli mudah ruptur jika mendapat
tekanan dari luarberupa benturan pada perut sebelah bawah. Buli-buli akan
ruptur pada bagian fundus dan menyebabkan ekstravasasi urin ke rongga

intraperitoneum.
Tindakan endoneurogi dapat menyebabkantrauma buli-buli iatrogenik antara
lain pada reseksi buli-buli transuretral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi.
Tindakan opresi di daerah pelvis
Ruptur spontan; biasanya terjadi jika didahului oleh kelainan dinding buli-buli.
Infeksi tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi intravesikal kronis
menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan dinding
buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptura buli-buli spontanea.

13

Klasifikasi (2)
1. Kontusio buli-buli
Pada kontusio bulu-buli hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin
terdapat hematoma perivesikel, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke
luar buli-buli.
2. Cedera Intraperitoneal
Merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-kdang cedera buli
intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-12%).
3. Cedera ekstraperitoneal
Terjadi kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma.
Diagnosis

Anamnesis: pasca trauma, pasien mengeluh nyeri di daerah suprasimfisis,


miksi bercampur darah, atau pasien tidak dapat miksi. Gambaran kliis yang
lain tergantung pada etiologi trauma yang mengalami trauma, yaitu ekstra
atau intraperitoneal, adamya orga lain yang mengalami cidera, serta penyulit
yang tejadi akibat trauma. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda-tanda

fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika.


Pencitraan; sistigrafi, yaitu memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak
300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram,
kemudian dibuat foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam
posisi AP (2) pada posisi oblik (3) wash out film, yaitu foto setelah kontras
dikeluarkan dari buli-buli. Hasil:
o Ekstravasasi kontras di dalam rongga perivesikal robekan pada bulibuli ekstraperitoneal
o Kontras berada di sela-sela usus robekan buli-buli intraperitoneal
o Pada perforasi yang kecil, mungkin tidak didapatkan ekstravasasi
(negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250

ml.
Pada daerah yang jauh dari tempat rujukan dan tidak ada sarana untuk
melakukan sistografi untuk menentukan adanya ruptur buli, maka dapat
dicoba uji pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan garam fisiologis
steril ke dalam buli-buli sebanyak 300 ml; kemudian cairan itu dikeluarkan
lagi, jika cairan tidak keluar atau keluar kurang dari volume semula,
kemungkinan besar ada robekan pada dinding buli-buli. Cara ini tidak
14

dianjurkan karena dapat menimbulkan infeksi atau menyebabkan robekan


yang lebih luas.

Gambar 2.7 Ruptur buli Intraperitoneal dengan menggunakan cystography 15

Gambar 2.8 Ruptur buli ekstraperitoneal dengan menggunakan cystography 15


Penatalaksanaan (2)
1. Kotusio buli-buli
Pemasangan kateter memberi waktu istirahat pada buli-buli, diharapkan
pulih setelah 7-10 hari.
2. Cidera intraperitoneal
Eksplorasi laparotomi mencari robekan pada buli-buli, serta kemugkinan
cidera pada organ lain. Rongga intraperitoneum dicuci, robekan pada buli
dijahit 2 lapis,kemudian dipasang kateter sistostomi yang dilewatkan di luar
sayatan laparotomi.
3. Cidera ekstraperitoneal
Robekan sederhana pemasangan kateter selama 7-10 hari, sebagian ahli
menganjurkan penjahitan buli-buli dengan pemasangan kateter sistostomi.
15

Tanpa pembedahan, kejadian kegagalan penyembuhan luka kurang lebih


15% dan kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika
sebesar 12%.
Jika terjadi

bersamaan

dengan

cedera

organ

lain,

sebaiknya

dilakukanpenjahitan buli-buli dan pemasangan kateter sistostomi.


Komplikasi
o
o
o
o

Infeksi dan abses pelvis akibat ekstravasasi urin ke rongga pelvis


Peritonitis ekstravasasi urin ke rongga intraperitoneum
Sepsis
Keluhan miksi, yaitu frekuensi dan urgensi yang biasanya akan sembuh
sebelum 2 bulan

4. TRAUMA URETRA
A. ANATOMI URETRA
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra di bagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Uretra dilengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak
diperbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uratra interna terdiri atas otot polos
yang dipersarafi oleh sistemsimpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ani
terbuka. Sfingter uratra eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh
sistem somatik. Aktivitas sfingter uretra eksterna ini dapat diperintah sesuai dengan
keinginan seseorang. Panjang uretra wanita sekitar 3-5 cm, sedangkan pada pria
sekitar 23-25 cm.
1. Urethra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm. Saluran ini dimulai dari meatus uretra,
uretra pars pendularis dan uretra pars bulbosa. Uretra anterior ini berupa tabung
yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga bila memerlukan operasi atau
reparasi relatif mudah.
2. Urethra bagian posterior

16

Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm. Uretra yang dikelilingi kelenjar
prostat dinamakan uretra pars prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra pars
membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar
untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini
bersifat volunter sehingga seseorang dapat menahan kemih dan berhenti pada waku
berkemih. Uretra pars membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simfisis
pubis, sehingga trauma pada simfisis pubis dapat mencederai uretra pars
membranasea. (2)
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan anatomi, trauma uretra dibagi atas trauma uretra posterior yang
terletak proksimal diafragma urogenital dan trauma uretra anterior yang terletak
distal diafragma urogenital. Hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi trauma, tanda gejala klinis, pengelolaan serta prognosisnya.
1. TRAUMA URETRA POSTERIOR
Trauma uretra posterior yang terdiri dari pars membranacea dan pars
prostatika. Trauma uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranacea karena prostat dengan
uretra pars prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra
pars membranasea terikat di diafragma urogenital.

(8)

Trauma uretra posterior dapat

terjadi total atau inkomplet. Pada trauma total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke
cranial. Diafragma urogenital yang mengandung otot-otot yang berfungsi sebagai
spincter urethra melekat atau menempel pada daerah os pubis bagian bawah. Bila
terjadi trauma tumpul yang menyebabkan fraktur daerah tersebut, maka urethra pars
membranacea

akan

terputus

pada

daerah

membranaeous junction.

17

apeks

prostat

pada

prostato

Urethrogram menunjukkan partial urethral disruption.

Urethrogram menunjukkan complete urethral disruption.

Patologi

18

Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan
fraktur pelvis. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma
urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat kearah superior (prostat terapung =
floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesika.
Gejala klinis
Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut
bagian bawah.
1. Darah menetes dari uretra adalah gejala yang paling penting dari ruptur uretra
dan sering merupakan satu-satunya gejala, yang merupakan indikasi untuk
membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi
karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan perivesika hematom serta
dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total. (9)
2. Tanda-tanda fraktur pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada
pemeriksaan fisik.
3. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating
prostate) pada ruptur total dari uretra pars membranacea oleh karena
terputusnya ligament puboprostatika.
Trias ruptur uretra posterior (2)
- Bloody discharge atau perdarahan per uretra
- Retensio urine
- Floating prostat
Klasifikasi trauma uretra Colapinto & McCallum 1976 melalui gambaran uretrogram:
Tipe I : Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).
Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang.
Tipe II : Uretra posterior terputus

pada perbatasan prostato-membranacea,

sedangkan diafragma urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan


ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
Tipe III : Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah
proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas
hingga di bawah diafragma urogenitalia sampai ke perineum.
19

Gambar 2.9 Ilustrasi trauma uretra menurut Colapinto & McCallum16

Retrograde urethrogram menunjukkan tipe I trauma uretra dengan peregangan yang


minimal (minimal stretching) dan slight luminal irregularity uretra posterior. Tidak
tampak extravasasi material kontras.

20

Retrograde urethrogram menunjukkan tipe II urethral distruption. Ekstravasasi


material kontras (panah tebal) dari uretra posterior tampak superior menuju
diafragma urogenital yang intak (panah terputus).

Retrograde urethrogram menunjukkan tipe III trauma uretra. Ektravasasi pada kedua
organ ekstraperitoneal yaitu pelvis dan perineum (proksimal dan distal diafragma
urogenital).
Diagnosis
Trauma uretra posterior dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Trauma uretra posterior harus dicurigai bila
terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis, pasien seringkali
21

datang dalam keadaan syok karena fraktur pelvis atau cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Selain itu, pada pemeriksaan colok dubur
ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke cranial.
Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan hati-hati karena fragmen tulang
dapat mencederai organ lain, seperti rectum. Ditemukan juga retensi urin.
Pemeriksaan radiologi dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis dan retrograde
urethrogram akan menunjukkan elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars
membranacea.
Terapi
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan.
Oleh karena itu sebaiknya dibidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang
invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya
perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta menambah
kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Kerusakan
neurovaskuler

menambah

kemungkinan

terjadinya

disfungsi

ereksi

dan

inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi
untuk diversi urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary
endoscopic realigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint
melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang
terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca
ruptura dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan
pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan
matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptura uretra adalah striktura uretra yang sering
kali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi ereksi terjadi pada
22

13-30% kasus disebabkan karena kerusakan saraf parasimpatik atau terjadinya


insufisiensi arteria. Inkontinensia urine lebih jarang terjadi, yaitu 2-4% yang
disebabkan karena kerusakan sfingter uretra eksterna.
Setelah rekonstruksi uretra seringkali masih timbul striktura (12-15%) yang
dapat diatasi dengan uretrotomia interna (sachse). Meskipun masih bisa kambuh
kembali, striktura ini biasanya tidak memerlukan tindakan uretroplasti ulangan.
2. TRAUMA URETRA ANTERIOR
Etiologi
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra anterior adalah
straddle injury (cedera selangkangan) terjadi akibat jatuh terduduk atau terkangkang
yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan benda tumpul atau objek yang keras,
seperti batu, kayu, atau palang sepeda, dengan tulang simfisis. Selain oleh cedera
kangkang, juga dapat disebabkan oleh instrumentasi urologik, seperti pemasangan
kateter, businasi, dan bedah endoskopi.

(10)

Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa : kontusio dinding uretra, ruptur
parsial, atau ruptur total dinding uretra.
Patologi
Uretra anterior terbungkus didalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia
Colles.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari
uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urine dan
darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan
gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma
kupu-kupu, yaitu daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum.

23

Straddle injury. Retrograde urethrogram menunjukkan trauma uretra dengan


extravasasi material kontras dari distal bulbous urethra.
Diagnosis
Kecurigaan ruptur uretra anterior timbul bila ada riwayat cedera kangkang
atau instrumentasi dan darah yang menetes dari meatus uretra sehingga pasien
mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan
pada korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau hematoma
kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.
Beberapa tetes darah segar di meatus uretra merupakan tanda klasik cedera
uretra. Bila terjadi ruptur uretra total, penderita mengeluh tiak bisa buang air kecil
sejak terjadi trauma, dan nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubik. Pada
perabaan mungkin ditemukan kandung kemih yang penuh.
Cedera uretra karena kateterisasi dapat menyebabkan obstruksi karena udem
atau bekuan darah. Abses periuretrial atau sepsis mengakibatkan demam.
Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh, tergantung fasia
yang turut rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat yang disebut infiltrat
urin yang mengakibatkan selulitis dan septisemia bila terjadi infeksi.
Pemeriksaan uretrografi retrograd pada kontusio uretra tidak menunjukkan
adanya ekstravasasi kontras, sedangkan pada ruptur uretra menunjukkan adanya

24

ekstravasasi kontras di pars bulbosa sehingga dapat memberi keterangan letak dan
tipe ruptur uretra. (2)

Terapi
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyakit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4 6
bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial
dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran
urine. Kateter sitostomi dipertahankan sampai 2 minggu sampai terjadi epitelisasi
uretra yang cedera, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi
bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra dan
bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan parineal. Dipasang kateter silikon
selama tiga minggu.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk
mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.

25

Retrograde urethrogram menunjukkan tipe III urethral tear pada diafragma urogenital
(panah solid) dan tipe IVurethral distruption pada leher vesika urinaria (panah
terputus).

Straddle injury. Retrograde urethrogram menunjukkan tipe V trauma uretra dengan


ekstravasasi material kontras dari uretra bulbosa distal.
5.TRAUMA PENIS
Trauma yang mencederai penis dapat berupa trauma tumpul, trauma tajam,
terkena mesin pabrik, ruptur tunika albuguinea, atau strangulasi penis. Pada
trauma tumpul atau terkena mesin, jika tidak terjadi amputasi total, penis cukup
dibersihkan dan dilakukan penjahitan primer. Jika terjadi amputasi penis total dan
bagian distal dapat diidentifikasi, dianjurkan dicuci dengan larutan garam fisiologis
kemudian disimpan di dalam kantung es, dan dikirim ke pusat rujukan. Jika masih
mungkin dilakukan replantasi (penyambungan) secara mikroskopik.

(2)

Fraktur Penis
Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis
yang terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan
karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan
oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan
seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul
hematoma

pada

penis

dengan
26

disertai

rasa

nyeri.

Untuk mengetahui letak ruptura, pasien perlu menjalani pemeriksaan foto


kavernosografi yaitu memasukkan kontras ke dalam korpus kavernosum dan
kemudian diperhatikan adanya ekstravasasi kontras keluar dari tunika albuginea.
(11)

Tindakan
Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan
evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika
albuginea. Robekan yang cukup lebar jika tidak dilakukan evakuasi hematom dan
penjahitan, dapat menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang
menimbulkan perasaan nyeri pada penis dan bengkok sewaktu ereksi.
Strangulasi Penis
Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan
gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan
penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis.
Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak-anak.
Pada orang dewasa penjeratnya berupa logam, tutup botol, atau karet yang
biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil
biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol
(enuresis) atau bahkan secara tidak sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali
popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan
melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis. (2)
Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk
dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis
adalah: (1) memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam
hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis, (2)
melingkarkan tali pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian
melepaskannya perlahan-lahan seperti pada Gambar 6-7, atau (3) melakukan
insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan
(edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.
Trauma Genitalia Eksterna
27

Trauma yang dapat terjadi pada genitalia eksterna berupa: avulsi, crushing,
luka tajam, luka tumpul, atau luka bakar. (12)
Avulsi
Avulsi adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Biasanya
terjadi pada pekerja pabrik atau petani yang mempergunakan mesin pengolah
lading. Celana dan kulit skrotum atau kulit penis terjerat pada mesin yang sedang
berputar. Tindakan pertolongan pertama adalah memberikan analgetika, sedative,
serta traquilizer untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka
dari debris dan rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air
bersih dan kalau tersedia dengan garam fisiologis. Tidak diperkenankan menyikat
jaringan dan melakukan irigasi dengan antiseptic. Dilakukan debridement jaringan
yang mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapat mungkin jangan terlalu
banyak membuang kulit skrotum yang masih hidup, karena skrotum penting untuk
membungkus testis.
Jika kulit skrotum yang tersisa tidak cukup membungkus testis, dianjurkan
membuat kantong di paha atau di inguinal untuk membungkus testis. Kantong di
inguinal lebih mudah membuatnya daripada kantong di paha, akan tetapi karena
suhunya sama dengan suhu di dalam rongga abdomen, testis yang diletakan di
inguinal seringkali mengalami gangguan dalam proses spermatogenesis. Karena itu
pada pasien yang masih muda, sebaiknya testis diletakkan pada kantong yang
dibuat di paha.

28

Cara melepaskan logam yang melingkar pada penis :


a. Cincin logam melingkar di pangkal penis
b. Seutas tali dimasukkan di antara penis dan cincin
c. Bagian tali yang berada di sebelah distal penis dilingkarkan pada batang
penis sehingga
d. Diameter penis di sebelah distal cincin lebih kecil daripada diameter lumen
cincin,
e. Perlahan-lahan cincin dapat ditarik ke luar dengan tetap menambah lingkaran
tali pada penis
f. Cincin dapat dikeluarkan dari penis

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Staff.

Genitourinary

Trauma.

Available

at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Accessed on October 20th, 2012.


2. Purnomo, Basuki B.

Trauma Urogenitalia dalam Dasar-Dasar Urologi.

Jakarta: Sagung Seto; 2012.


3. Wijayanti, Ana. Trauma Urogenital.

Available at: http://www.scribd.com.

Accessed on October 20th, 2012.


4. Rahman, Maizar. Trauma Ginjal. Available at: http://www.bedah-mataram.org.
Accessed on October 20th, 2012.
5. Brandes S, Coburn M, Armenakas N. Diagnosis And Management of Ureteric
Injury : An Evidence Based Analysis. Journal Urology. 2004.
6. McAninch JW, Carroll PR. Major Bladder Trauma. Journal Urology. 2011.
7. Santucci RA, Wessels H, Bartsch G. Evaluation And Management of Renal
Injuries. Journal Urology International. 2004.
8. Devine PC, et al. Posterior Urethral Injuries Associated With Pelvic Fractures.
Journal Urology. 2003.
9. Koraitim, et al. Pelvic Fracture Urethral Injuries. Journal Urology. 2001.
10. McAninch JW, Santucci RA. Urogenital Trauma in Campbells Urology. 8th
Edition. Philadelpia: WB Sanders; 2002.
11. Orvis BR, et al. Penile Rupture. Urology Clin North. 2000.
12. Fahrezi, Indra. Trauma Urogenital. Available at: http://www.scribd.com.
Accessed on October 20th, 2012.
13. Sriyono, Tarmono. Ureteral Trauma profile in Soetomo Hospital. Departemen
Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RS Dr Soetomo,
Surabaya. 2011
14. Tanagho, Emil A and Jack W McAninch, eds. Smiths General Urology 17th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies Inc.; 2008.p.278-87.
30

15. Bradley C Gill, MD, MS; Chief Editor: Bradley Fields Schwartz, DO, FACS
Bladder

Trauma.[online].

[cited

on

2016,

Feb

17th]. Available

http://emedicine.medscape.com/article/441124-overview#showall
16. Urethral Injury Types. [online]. [cited on 2016, Feb 17th]. Available from:
https://myradnotes.wordpress.com/2010/03/31/urethral-injury-types/

31

from:

Anda mungkin juga menyukai