Trauma Urogenital
Trauma Urogenital
Trauma Urogenital
RESPONSI
TRAUMA SALURAN KEMIH
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................
ii
iii
1
Latar Belakang......................................................................
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................
BAB II
Klasifikasi ......................................................................
Diagnosis........................................................................
Penatalaksanaan...........................................................
Komplikasi......................................................................
Klasifikasi.......................................................................
Diagnosis........................................................................
Penatalaksanaan...........................................................
Komplikasi......................................................................
12
12
Etiologi............................................................................
13
Klasifikasi.......................................................................
14
Diagnosis........................................................................
14
Penatalaksanaan...........................................................
15
Komplikasi......................................................................
16
15
16
Klasifikasi.......................................................................
17
17
23
26
Fraktur Penis....................................................................
25
ii
BAB 3
Strangulasi Penis.............................................................
27
27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................
30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trauma genito urinaria terjadi sekitar 10-15% dari pasien yang menderita
trauma abdomen dan pelvis.
(1)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. TRAUMA GINJAL
Ginjal terletak di rongga retroperitoneum dan terlindung oleh otot punggung di
sebelah posterior dan oleh organ intraperitoneal di sebelah anteriornya, karena itu
cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ yang mengitarinya. Trauma
ginjal merupakan trauma terbanyak pada system urogenitalia. Kurang lebih 10%
dari trauma abdomen mengenai ginjal. (2)
Cedera ginjal dapat terjadi secara : (1). Langsung akibat benturan yang
mengenai daerah pinggang atau (2). Tidak langsung : cedera deselerasi akibat
pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Jenis cedera
yang dapat mengenai ginjal dapat merupakan cedera tumpul, luka tusuk atau luka
tembak. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitoneum menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis
yang memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat
menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal
dapat dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti
hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal.
Klasifikasi Trauma Ginjal
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi : (1) Cedera minor, (2). Cedera major, (3). Cedera pada pedikel atau
pembuluh darah ginjal. Pembagian sesuai skala cedera organ ( organ injury scale)
cedera ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan
pencitraan maupun hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal
merupakan cedera minor ( derajat I dan II), 15% termasuk cedera major ( derajat
III dan IV) dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal.
Kontusio
2
JENIS KERUSAKAN
ginjal
/
hematoma
II
III
IV
arteri segmentalis
Laserasi sampai mengenai sistem kaliks
ginjal
Avulsi hilum renalis, mungkin terjadi
thrombosis arteri renalis
Ginjal terbelah ( shatered)
atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu.
Hematuri
Fraktur costa sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra
Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang
Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu
lintas
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi
tergantung derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang
menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas
kerusakan yang terjadi. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan
nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria
makroskopis ataupun mikroskopis. Pada trauma major atau rupture pedikel
seringkali pasien datang dalam keadaaan syok berat dan terdapat hematoma di
daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin
pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan IVP karena usaha untuk memperbaiki
hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar
dari ginjal cukup deras. Untuk itu harus segera dilakuakan eksplorasi laparatomi
untuk menghentikan perdarahan.
Imaging
Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas
yang dimiliki oleh RS yang bersangkutan. Pemeriksaan pencitraan dimulai dari IVP
(dengan menyuntikkan bahan kontras dosis tinggi 2ml/kg berat badan) untuk
menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral.
Pembuatan IVP dilakukan jika diduga ada (1) Luka tusuk atau luka tembak yang
mengenai ginjal, (2) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria
makroskopik, dan (3) Cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda
hematuria mikroskopik dengan disertai syok. (2)
Pada beberapa RS, dugaan cedera tumpul pada ginjal yang menunjukkan
tanda hematuri mikroskopik tanpa disertai syok melakukan pemeriksaan
Ultrasonografi sebagai pemeriksaan penyaring. Pemeriksaan USG ini diharapkan
dapat menemukan kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler. Dengan
pemeriksaan ini dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal.
Jika IVP belum dapat menerangkan keadaan ginjal (misalkan pada ginjal non
visualized) perlu dilakukan pemeriksaan CT scan atau arteriografi. Pemeriksaan
IVP pada kontusio renis sering menunjukkan gambaran sistem pelvikalises normal.
Dalam keadaan ini pemeriksaan USG abdomen dapat menunjukan adanya
hematoma perenkim ginjal yang terbatas pada subkapsuler dan dengan kapsul
ginjal yang masih utuh. Kadang kala kontusio renis yang cukup luas menyebabkan
hematoma dan edema parenkim yang hebat sehingga memberikan gambaran
system pelvikalises yang spastic atau bahkan tak tampak (non visualized). Sistem
pelvikalises yang tak namapk pada IVP dapat pula terjadi pada rupture pedikel
atau pasien yang berada dalam keadaan syok berat pada saat menjalani
pemeriksaan IVP.
4
Konservatif
Operasi
Operasi ditujukan pada trauma ginjal major dengan tujuan untuk segera
menghentikan perdarahan. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan debridement,
reparasi ginjal ( berupa renorafi atau penyambungan vaskuler) atau tidak
jarangharus dilakukan nefrektomi parsial bahkan total karena kerusakan yang berat.
operasi ginekologi (73%), pada ureter distal (74%). Cedera yang dapat terjadi pada
ureter dapat terjadi karena trauma dari luar, yaitu trauma tumpul maupun trauma
tajam, ataupun trauma iatrogenik.
(2)
Klasifikasi
Klasifikasi trauma ureter berdasarkan AAST ( The american association for
the surgery of trauma) adalah sebagai berikut.13
Grade I : Hematom ureter
Grade II : Laserasi kurang dari 50 % lingkar ureter
Grade III: Laserasi lebih dari 50 % lingkar ureter
Grade IV : Terpotong kurang dari 2 cm
Grade V : Terpotong lebih dari 2 cm
Diagnosis
Kecurigaan ke arah trauma ureter didapatkan pada:
Saat operasi
Pasca bedah
Fistula
ureterokutan/fistula
urerovagina
Penunjang: Retrograde pyelogram adalah tes yang paling sensitive. Selain itu
pemberian zat warna yang diekskresikan lewat urin jika diduga terdapat
kebocoran urin melalui pipa drainase pasca bedah, pemeriksaan ureum dan
8
Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan terhadap trauma ureter tergantung pada
saat trauma ureter terdiagnosis, keadaan umum pasien, dan letak serta derajat
lesi ureter.13
Trauma parsial (grade I dan II)
Pada trauma ureter grade I dan II dapat ditangani dengan pemasangan stent
pada ureter maupun nefrostomi untuk diversi urine yang keluar. Dengan
pemasangan stent diharapkan aliran urine dapat melewati daerah trauma,
memberikan kanalisasi dan stabilisasi di daerah ureter yang mengalami trauma
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya striktur. Pemasangan stent dapat
9
10
11
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga abdomen. Namun
Semakin bertambahnya usia, tempatnya turun dan terlindung di dalam kavum pelvis.
12
(2)
Etiologi
Kurang lebih 90% trauma buli-buli adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi buli-buli
pada daerah tulang pelvis oleh facia endopelvik dan diafragma pelvis sangat
kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasiabergerak pada
intraperitoneum.
Tindakan endoneurogi dapat menyebabkantrauma buli-buli iatrogenik antara
lain pada reseksi buli-buli transuretral (TUR buli-buli) atau pada litotripsi.
Tindakan opresi di daerah pelvis
Ruptur spontan; biasanya terjadi jika didahului oleh kelainan dinding buli-buli.
Infeksi tuberkulosis, tumor buli-buli, atau obstruksi intravesikal kronis
menyebabkan perubahan struktur otot buli-buli yang melemahkan dinding
buli-buli. Pada keadaan itu bisa terjadi ruptura buli-buli spontanea.
13
Klasifikasi (2)
1. Kontusio buli-buli
Pada kontusio bulu-buli hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin
terdapat hematoma perivesikel, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke
luar buli-buli.
2. Cedera Intraperitoneal
Merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-kdang cedera buli
intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-12%).
3. Cedera ekstraperitoneal
Terjadi kurang lebih 45-60% dari seluruh trauma.
Diagnosis
ml.
Pada daerah yang jauh dari tempat rujukan dan tidak ada sarana untuk
melakukan sistografi untuk menentukan adanya ruptur buli, maka dapat
dicoba uji pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan garam fisiologis
steril ke dalam buli-buli sebanyak 300 ml; kemudian cairan itu dikeluarkan
lagi, jika cairan tidak keluar atau keluar kurang dari volume semula,
kemungkinan besar ada robekan pada dinding buli-buli. Cara ini tidak
14
bersamaan
dengan
cedera
organ
lain,
sebaiknya
4. TRAUMA URETRA
A. ANATOMI URETRA
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra di bagi menjadi 2 bagian, yaitu uretra posterior
dan uretra anterior. Uretra dilengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak
diperbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uratra interna terdiri atas otot polos
yang dipersarafi oleh sistemsimpatik sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ani
terbuka. Sfingter uratra eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh
sistem somatik. Aktivitas sfingter uretra eksterna ini dapat diperintah sesuai dengan
keinginan seseorang. Panjang uretra wanita sekitar 3-5 cm, sedangkan pada pria
sekitar 23-25 cm.
1. Urethra bagian anterior
Uretra anterior memiliki panjang 18-25 cm. Saluran ini dimulai dari meatus uretra,
uretra pars pendularis dan uretra pars bulbosa. Uretra anterior ini berupa tabung
yang lurus, terletak bebas diluar tubuh, sehingga bila memerlukan operasi atau
reparasi relatif mudah.
2. Urethra bagian posterior
16
Uretra posterior memiliki panjang 3-6 cm. Uretra yang dikelilingi kelenjar
prostat dinamakan uretra pars prostatika. Bagian selanjutnya adalah uretra pars
membranasea, yang memiliki panjang terpendek dari semua bagian uretra, sukar
untuk dilatasi dan pada bagian ini terdapat otot yang membentuk sfingter. Sfingter ini
bersifat volunter sehingga seseorang dapat menahan kemih dan berhenti pada waku
berkemih. Uretra pars membranacea terdapat dibawah dan dibelakang simfisis
pubis, sehingga trauma pada simfisis pubis dapat mencederai uretra pars
membranasea. (2)
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan anatomi, trauma uretra dibagi atas trauma uretra posterior yang
terletak proksimal diafragma urogenital dan trauma uretra anterior yang terletak
distal diafragma urogenital. Hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi trauma, tanda gejala klinis, pengelolaan serta prognosisnya.
1. TRAUMA URETRA POSTERIOR
Trauma uretra posterior yang terdiri dari pars membranacea dan pars
prostatika. Trauma uretra posterior hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat
fraktur tulang pelvis, terjadi robekan pars membranacea karena prostat dengan
uretra pars prostatika tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra
pars membranasea terikat di diafragma urogenital.
(8)
terjadi total atau inkomplet. Pada trauma total, uretra terpisah seluruhnya dan
ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke
cranial. Diafragma urogenital yang mengandung otot-otot yang berfungsi sebagai
spincter urethra melekat atau menempel pada daerah os pubis bagian bawah. Bila
terjadi trauma tumpul yang menyebabkan fraktur daerah tersebut, maka urethra pars
membranacea
akan
terputus
pada
daerah
membranaeous junction.
17
apeks
prostat
pada
prostato
Patologi
18
Trauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan
fraktur pelvis. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma
urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat kearah superior (prostat terapung =
floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesika.
Gejala klinis
Pasien biasanya mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut
bagian bawah.
1. Darah menetes dari uretra adalah gejala yang paling penting dari ruptur uretra
dan sering merupakan satu-satunya gejala, yang merupakan indikasi untuk
membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi
karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan perivesika hematom serta
dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total. (9)
2. Tanda-tanda fraktur pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada
pemeriksaan fisik.
3. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating
prostate) pada ruptur total dari uretra pars membranacea oleh karena
terputusnya ligament puboprostatika.
Trias ruptur uretra posterior (2)
- Bloody discharge atau perdarahan per uretra
- Retensio urine
- Floating prostat
Klasifikasi trauma uretra Colapinto & McCallum 1976 melalui gambaran uretrogram:
Tipe I : Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan).
Foto uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang.
Tipe II : Uretra posterior terputus
20
Retrograde urethrogram menunjukkan tipe III trauma uretra. Ektravasasi pada kedua
organ ekstraperitoneal yaitu pelvis dan perineum (proksimal dan distal diafragma
urogenital).
Diagnosis
Trauma uretra posterior dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Trauma uretra posterior harus dicurigai bila
terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvis, pasien seringkali
21
datang dalam keadaan syok karena fraktur pelvis atau cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Selain itu, pada pemeriksaan colok dubur
ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada diafragma
urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba prostat lagi karena pindah ke cranial.
Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan hati-hati karena fragmen tulang
dapat mencederai organ lain, seperti rectum. Ditemukan juga retensi urin.
Pemeriksaan radiologi dapat menunjukkan adanya fraktur pelvis dan retrograde
urethrogram akan menunjukkan elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars
membranacea.
Terapi
Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa perdarahan.
Oleh karena itu sebaiknya dibidang urologi tidak perlu melakukan tindakan yang
invasif pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya
perdarahan yang lebih banyak pada kavum pelvis dan prostat serta menambah
kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Kerusakan
neurovaskuler
menambah
kemungkinan
terjadinya
disfungsi
ereksi
dan
inkontinensia.
Pada keadaan akut tindakan yang dilakukan adalah melakukan sistostomi
untuk diversi urine. Setelah keadaan stabil sebagian ahli urologi melakukan primary
endoscopic realigment yaitu melakukan pemasangan kateter uretra sebagai splint
melalui tuntunan uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang
terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca
ruptura dan kateter uretra dipertahankan selama 14 hari.
Sebagian ahli lain mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti) setelah 3 bulan
pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra telah stabil dan
matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil yang lebih baik.
Penyulit
Penyulit yang terjadi pada ruptura uretra adalah striktura uretra yang sering
kali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urine. Disfungsi ereksi terjadi pada
22
(10)
Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa : kontusio dinding uretra, ruptur
parsial, atau ruptur total dinding uretra.
Patologi
Uretra anterior terbungkus didalam korpus spongiosum penis. Korpus spongiosum
bersama dengan korpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia Buck dan fasia
Colles.
Jika terjadi ruptur uretra beserta korpus spongiosum, darah dan urine keluar dari
uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat hematoma
yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek, ekstravasasi urine dan
darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah dapat menjalar hingga
skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan
gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau hematoma
kupu-kupu, yaitu daerah memar atau hematom pada penis dan skrotum.
23
24
ekstravasasi kontras di pars bulbosa sehingga dapat memberi keterangan letak dan
tipe ruptur uretra. (2)
Terapi
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera ini
dapat menimbulkan penyakit striktura uretra di kemudian hari, maka setelah 4 6
bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulangan. Pada ruptur uretra parsial
dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran
urine. Kateter sitostomi dipertahankan sampai 2 minggu sampai terjadi epitelisasi
uretra yang cedera, dan dilepas setelah diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi
bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul striktura uretra dan
bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.
Namun jika timbul striktura uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.
Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan
anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan parineal. Dipasang kateter silikon
selama tiga minggu.
Tidak jarang ruptur uretra anterior disertai dengan ekstravasasi urine dan
hematom yang luas sehingga diperlukan debridement dan insisi hematoma untuk
mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan setelah luka menjadi lebih baik.
25
Retrograde urethrogram menunjukkan tipe III urethral tear pada diafragma urogenital
(panah solid) dan tipe IVurethral distruption pada leher vesika urinaria (panah
terputus).
(2)
Fraktur Penis
Fraktur penis adalah ruptura tunika albuginea korpus kavernosum penis
yang terjadi pada saat penis dalam keadaan ereksi. Ruptura ini dapat disebabkan
karena dibengkokkan sendiri oleh pasien pada saat masturbasi, dibengkokkan
oleh pasangannya, atau tertekuk secara tidak sengaja pada saat hubungan
seksual. Akibat tertekuk ini, penis menjadi bengkok (angulasi) dan timbul
hematoma
pada
penis
dengan
26
disertai
rasa
nyeri.
Tindakan
Eksplorasi ruptura dengan sayatan sirkuminsisi, kemudian dilakukan
evakuasi hematoma. Selanjutnya dilakukan penjahitan pada robekan tunika
albuginea. Robekan yang cukup lebar jika tidak dilakukan evakuasi hematom dan
penjahitan, dapat menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada tunika yang
menimbulkan perasaan nyeri pada penis dan bengkok sewaktu ereksi.
Strangulasi Penis
Strangulasi penis adalah jeratan pada pangkal penis yang menyebabkan
gangguan aliran darah pada penis. Gangguan aliran darah ini mengakibatkan
penis menjadi iskemia dan edema yang jika dibiarkan akan menjadi nekrosis.
Jeratan ini dapat terjadi pada orang dewasa maupun pada anak-anak.
Pada orang dewasa penjeratnya berupa logam, tutup botol, atau karet yang
biasanya dipasang pada batang penis untuk memperlama ereksi. Pada anak kecil
biasanya jeratan pada penis dipasang oleh ibunya untuk mencegah ngompol
(enuresis) atau bahkan secara tidak sengaja terjadi pada bayi yang terjerat tali
popok atau rambut ibunya. Jeratan pada penis harus segera ditanggulangi dengan
melepaskan cincin atau penjerat yang melingkar pada penis. (2)
Karena edema yang begitu hebat, jeratan oleh cincin logam sulit untuk
dilepaskan. Beberapa cara untuk melepaskan cincin yang menjerat batang penis
adalah: (1) memotong logam itu dengan gerinda atau gergaji listrik, tetapi dalam
hal ini energi panas yang ditimbulkan dapat merusak jaringan penis, (2)
melingkarkan tali pada penis pada sebelah distal logam dan kemudian
melepaskannya perlahan-lahan seperti pada Gambar 6-7, atau (3) melakukan
insisi pada penis yang telah mengalami edema dengan tujuan membuang cairan
(edema) sehingga logam dapat dikeluarkan.
Trauma Genitalia Eksterna
27
Trauma yang dapat terjadi pada genitalia eksterna berupa: avulsi, crushing,
luka tajam, luka tumpul, atau luka bakar. (12)
Avulsi
Avulsi adalah kehilangan sebagian atau seluruh dinding skrotum. Biasanya
terjadi pada pekerja pabrik atau petani yang mempergunakan mesin pengolah
lading. Celana dan kulit skrotum atau kulit penis terjerat pada mesin yang sedang
berputar. Tindakan pertolongan pertama adalah memberikan analgetika, sedative,
serta traquilizer untuk menenangkan pasien. Kemudian dilakukan pencucian luka
dari debris dan rambut yang menempel dengan melakukan irigasi memakai air
bersih dan kalau tersedia dengan garam fisiologis. Tidak diperkenankan menyikat
jaringan dan melakukan irigasi dengan antiseptic. Dilakukan debridement jaringan
yang mengalami nekrosis, tetapi diusahakan sedapat mungkin jangan terlalu
banyak membuang kulit skrotum yang masih hidup, karena skrotum penting untuk
membungkus testis.
Jika kulit skrotum yang tersisa tidak cukup membungkus testis, dianjurkan
membuat kantong di paha atau di inguinal untuk membungkus testis. Kantong di
inguinal lebih mudah membuatnya daripada kantong di paha, akan tetapi karena
suhunya sama dengan suhu di dalam rongga abdomen, testis yang diletakan di
inguinal seringkali mengalami gangguan dalam proses spermatogenesis. Karena itu
pada pasien yang masih muda, sebaiknya testis diletakkan pada kantong yang
dibuat di paha.
28
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Staff.
Genitourinary
Trauma.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
15. Bradley C Gill, MD, MS; Chief Editor: Bradley Fields Schwartz, DO, FACS
Bladder
Trauma.[online].
[cited
on
2016,
Feb
17th]. Available
http://emedicine.medscape.com/article/441124-overview#showall
16. Urethral Injury Types. [online]. [cited on 2016, Feb 17th]. Available from:
https://myradnotes.wordpress.com/2010/03/31/urethral-injury-types/
31
from: