Referat Gastropati DM

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 26

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT
GASTROPATI DIABETIKUM

Penguji:
dr. Hotmen Sijabat, Sp.PD- FINASIM

Disusun oleh:
Genoveva Maditias Dwi Pertiwi
1518012168

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes

mellitus

merupakan

penyakit

sistemik

yang

dapat

mengakibatkan disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna


merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita diabetes mellitus dan
berkaitan dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna.
Istilah gastroparesis diabeticorum pertama sekali digunakan oleh Kassender
terhadap keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita diabetes mellitus
yang asimptomatik. Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada penderita
IDDM maupun NIDDM. Diperkirakan keterlambatan waktu pengosongan
lambung dijumpai pada sekitar 50% penderita IDDM maupun NIDDM.
Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab
kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedang penyakit
tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%). Dari hasil berbagai
laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita diabetes mengalami
keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi keterlambatan
pengosongan lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM maupun NIDDM.
Karena prevalensi yang masih tinggi pada penderita diabetes melitus maka penulis
bertujuan untuk memaparkan mengenai gastropati diabetikum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Anatomi Lambung
Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium
kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar
lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Secara kasar lambung
berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan
ostium pyloricum, dua curvatura yang dikenal sebagai curvatura major dan
minor, dan dua permukaan anterior dan posterior. Lambung relatif
terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-ujung tersebut sangat
mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang
yang pendek dan gemuk (lambung steer-horn) dan memanjang secara
vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (lambung berbentuk huruf J).
Bentuk lambung sangat berbeda-beda pada orang yang sama tergantung
pada volume isinya, posisi tubuh dan fase pernafasan.

Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :


1. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah
kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.

2. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura


angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura
minor.
3. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk
lambung. Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum.
Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.

Gambar 1. Bagian Lambung

Pada lambung, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir kanan


lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus. Omentum
minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura major jauh
lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium
cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan menuju
ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum)
gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan

omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon
transversum.

Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen


masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga
bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung
ke oesophagus.Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang
panjangnya sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih
tebal di sini dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter
pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat
dikenali dengan adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung.
Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke
duodenum. Membran mukosa adalah tebal dan banyak pembuluh darah dan
terdiri atas banyak lipatan atau rugae yang terutama longitudinal arahnya.
Lipatan memendek bila lambung teregang.

Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular


dan serabut obliq. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling
banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi
fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk membentuk
sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada daerah
fundus. Serabut obliq membentuk lapisan otot yang paling dalam. Serabut
ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan
posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi

lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda


yang dikenal sebagai omentum.
Batas-batas lambung :
Anterior
Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma
dan lobus kiri hepar.
Posterior
Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal
kiri, A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

Vaskularisasi Lambung
1. Pembuluh Arteri
A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas dan kiri
untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang
curvatura

minor

lambung.

Ia

memperdarahi

sepertiga

bawah

oesophagus dan bagian kanan atas lambung.


A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus dan
berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian
kanan bawah lambung.
A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan
ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi fundus.
A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan
berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi
lambung sepanjang bagian atas curvatura major.

A.gastroepiploida dextra, berasal dari A.gastroduodenalis yang


merupakan cabang dari A.hepatica. Ia berjalan ke kiri dan
memperdarahi lambung sepanjang bagian bawah curvatura major.
2. Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra
dan dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica
dextra bermuara dalam V.mesenterica superior.

Persyarafan pada lambung


Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system ( ENS) yang
terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik
parasimpatis ( terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.
Inervasi intrinsik
Traktus gastrointestinal dapat melakukan fungsi motorik tanpa adanya
pengaruh atau input dari sistem saraf pusat, tetapi melalui ENS. ENS
terdistribusi sepanjang usus berupa plexus mienterykus yang terletak
antara lapisan sirkuler dan longitudinal otot, dan plexus submucosa yang
terletak antara lapisan sirkuler otot dengan lapisan muskularis mukosa.
Plexus mienterykus lebih dominan terdapat di lambung dan plexus
submukosa dominan di usus halus dan usus besar (Scheman et al, 2001),
Neuron yang termasuk dalam ENS diantaranya adalah neuron primer
aferen intrinsik, interneuron, neuron motorik eksitator atau inhibitor,
vasomotor, dan secretomotor (Di Nardo et al, 2008).

Neuron primer

aferen intrinsik sensitif terhadap stimulus kimiawi dan perubahan mekanik


seperti distensi. Interneuron menghubungkan neuron primer aferen
intrinsik dengan motor neuron eksitator maupun inhibitor. Neuron
eksitattor akan menggunakan asetilkolin, takiin, dan substansi P untuk
neurotransmisi, dimana transmisinya dapat dihambat oleh polipeptida
vasoaktif intestinal dan nitrit oxid.
Inervasi extrinsik
Traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom yaitu
parasimpatis dan simpatis. Inervasi parasimpatis berasal nucleus motoris
dorsalis n.X (DMV) di medulla spinalis (Travagli et al, 2006), sedangkan
simpatis berasal dari ganglia paravertebralis (Furness, 2006). Pergerakkan
gaster terutama dikontrol oleh nervus vagus, yang merupakan gabungan
dari nervus sensorik dan motorik, Axon sensoris n. Vagus akan menerima
input aferen dari reseptor gastrointestinal kemudian memproyeksikannya
ke nucleus traktus solitarius ( Chang et al, 2003).

Gambar 3. Sistem Saraf Otonom


Neuron NTS akan mengaktifkan vagal motor neuron pada nucleus
ambiguus (NA) dan nucleus dorsomedial (DMN) untuk mengatur
kontraksi dari otot lambung dan duodenum yang dikenal dengan
vagovagal reflek (Broussard and Altschuler, 2000)

2.2

Fisiologi Lambung
Berdasarkan pada fungsinya, lambung di bagi menjadi dua bagian yaitu
bagian proximal dan distal. Bagian proximal merupakan tempat
penyimpanan makanan yang di makan. Bagian ini terdiri dari fundus dan
sepertiga proximal corpus. Pola aktivitas motorik dari lambung lambat dan
dilanjutkan dengan munculnya tonus kontraksi, pergerakan ini akan
mempengaruhi tekanan dalam lambung dan menentukan gradien tekanan
antara lambung dan duodenum. Tekanan ini penting untuk mengosongkan
cairan dalam lambung. Tonus pada bagian proximal lambung menurun
ketika makanan masuk dari esofagus ke lambung, hal ini akan
menyebabkan peningkatan volume lambung, yang dikenal dengan
relaksasi reseptif (Cullen and Kelly, 2002). Hal ini diikuti dengan relaksasi
yang lebih lama yang disebut dengan akomodatif relatif yang akan
menyebabkan lambung dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa
ada zat yang menimbulkan tekanan pada lambung.
Pola pergerakan dari lambung sangatlah spesifik. Awalnya akan terjadi
kontraksi menyeluruh pada fundus dan cardiac, akibat munculnya

pacemaker oleh sel interstisial cajal (ICCs), sedangkan bagian bawah


lambung dan antrum akan menghambat aktifitas motorik.

Terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi pengosongan lambung diantaranya


adalah usia, jenis kelamin, densitas dan osmolaritas kalori. 300 ml garam
yang diberikan secara bolus akan mengosongkan lambung 2 kali lebih
cepat dibandingkan dengan bolus 150 ml garam. Pada umunya
pengosongan cairan akan berlangsung cepat yang memakan waktu 50%
dari waktu pengosongan ( 8-18 menit). Cairan yang kaya akan kalori akan
dikosongkan lebih lambat daripada makanan yang rendah kalori.
Peningkatan osmolaritas akan menurunkan respon kontraksi pada usus
halus. Selain itu karakteristi dari nutrisi itu sendiri akan mempengaruhi
pengosongan isi lambung, Karbohidrat dan sebagian besar asam amino
akan diserap usus melalui osmoreseptor mukosa usus halus yang berperan
aktif dalam inhibisi feedback jalur neral. L-triptofan, prekusor dari 5-HT
yang berasal dari asam amino lain efektif dalam menunda pengosongan
lambung. Efek dari trigliserida pada motilitas lambung tergantung pada
panjangnya rantai asam lemak yang berbeda dalam mensekresi CCK.
Namun demikian, pada suatu penelitian, perubahan makanan yang drastis
dan cepat tidak menunjukkan perubahan pada pergerakan gastrointestinal
(Boudry et al. 2001)..
Pada pengosongan lambung, neurohormonal sangatlah berperan termasuk
peranan inervasi n. Vagus. Namun demikian n. Vagus tidak dibutuhkan
untuk menginisiasi pola pergerakan gastroduodenal ketika puasa atau
postprandial, tetapi dibutuhkan untuk memodulasi pola kontraksi selama

fase ke III. Berbagai neurohormonal akan berperan dalam pengosongan


lambung, Perbedaan tipe neuron dengan perbedaan kombinasi transmisi
akan memberikan kontrol yang berbeda terhadap pergerakan lambung.
Inervasi dari sistem saraf pusat (CNS) berperan dalam regulasi aktivitas
motorik dan pengosongan lambung. Tekanan mental akan memperlama
periode dari MMC. Kemarahan akan meningkatkan aktivitas motorik dari
lambung sedangkan kecemasan dan depresi akan menurunkan kontraksi
lambung.

Nyeri dan dingin, serta nyeri iskemik akan memperlambat

pengosongan lambung. Beberapa jalur saraf berperan dalam tekanan


tersebut. Mediator untuk otak-usus telah dievaluasi secara intensif. Infus
TRH

intraventrikular

akan

mempercepat

pengosongan

lambung,

sedangkan CRF, CCK, opiat, bombesin, takinin, somatostatin, faktor


natriuretic atrial, GABA, kalsitonin, dan CGRP akan memperlambat
pengosongan lambung, sebagian melalui mekanisme vagal. Untuk
menurunkan LESP dan menurunkan relaksasi spincter esofagus, GABA,
dan agonis reseptor 5HT-1 yang akan menginduksi pemneuhan gaster yag
diikuti oleh aktivasi neuron mienterik (Tack et al. 2001).
2.3

Definisi Gatropati Diabetikum


Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis
diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati
diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan
neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes.
Talley et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom

klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas
pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan
pengosogan lambung.
American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan
bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala
yang sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi
obstruktif pada lambung maupun usus halus. Dengan demikian,
gastroparesis diabetik dapat didefinisikan sebagai gastroparesis yang
terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria gastroparesis
sesuai dengan yang dijelaskan AGA.
Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian
atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan
gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang
multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi
adanya keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien dengan
gastroparesis yang relative asimtomatik. Gastroparesis asimtomatik sering
timbul pada pasien dengan diabetes melitus.
2.4

Patofisiologi Gastropat Diabetikum


Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum diketahui.
Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus,
antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan duodenum. Proses ini
merupakan interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom,
sel enterik, dan sel-sel pacemaker khusus yang disebut dengan sel

intersetisial Cajala (ICC). Neurotransmiter dan neuroendokrin juga


berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside (NO) merupakan senyawa
yang penting dalam menghambat nonadrenergik, nonkolinergik, dan
neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam mempengaruhi motilitas
lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter osefagus bagian bawah
dan pilorus, mengtur reflek fundus, serta mengatur reflek peristaltik pada
usus. Disfungsi neuron NO pada pleksus mienterikum akan menyebabkan
terjadinya

penyakit

gastrointestinal,

termasuk

gastroparesis.

CRH

(Corticotropin Releasing Hormon) terbukti dapat menurunkan motilitas


lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali dicetuskan oleh ICC yang
terdapat pada dinding otot antrum serta corpus gaster selama kurang lebih
3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat menyebabkan terjadinya
gastroparesis. Faktor lain yang juga mempengaruhi pengosongan lambung
adalah neuropati otonom, neuropati enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula
darah yang terjadi tiba-tiba, dan faktor psikosomatis. Selain itu
pengosongan lanbung biasanya terjadi lebih lambat pada keadaan
hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama hipoglikemia. Kelailan
kadar elektrolit (hipokalsemia, hipomagnesemia) dan hormon motilin dan
gastrin juga berpengaruh terhadap terjadinya gastroparesis.

2.5

Penegakkan Diagnosis Gastropati Diabetikum


1. Gejala Klinis
Diagnosis

gastroparesis

ditegakkan

dengan

adanya

penundaan

pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan


melalui pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang

muncul pada gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang,


kembung, tidak nyaman

dan nyeri pada perut, serta bersendawa .

Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia


pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu diperlukan
pengukuran

terhadap

kecepatan

pengosongan

lambung

untuk

membedakan keduanya. (Park et al, 2006). Muntah yang terjadi pada


gastroparesis harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada
gastroparesis biasanya vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan
masuk ke dalam lambung (postprandial regurgitasi).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk, tetapi
tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap tandatanda malnutrisi dan penurunan berat badan.

3. Pemeriksaan Penunjang
Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang menunjukkan
gejala gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan untuk
menegakkan diagnosa gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk
membedakan dengan dengan dispepsia. Pengukuran tekanan dan profil
listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada sebagian besar
pasien yang telah menderita diabetes.
Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran cerna
atas yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada pasien
diabetes, tanpa adanya obstruksi mekanik yang dapat menyebabkan

gejala saluran cerna atas, dan terdapat tanda-tanda perlambatan


pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan lambung disebabkan
oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan radiografi
abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance imaging.
Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur, massa,
atau ulkus. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan
infeksi, metabolik, dan penyebab imunologis menyebabkan gejala
saluran cerna atas yaitu pemeriksaan darah lengkap, pemantauan
metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes fungsi hati,
urinalisis, tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan
imunologis untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan
etiologi lain yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan
pencitraan abdomen, gastroparesis diabetik didiagnosis dengan
menunjukkan adanya perlambatan pengosongan lambung.
2.6

Komplikasi Gastropati Diabetikum


Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga sedapat
mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun regurgitasi
yang berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan luas yang
menyebabkan perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun kronis,
dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory weiss, pneumonia aspirasi,
malnutrisi maupun gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Akibat
terganggunya pengosongan lambung solid non digestible dapat terjadi
pembentukan bezoar di lambung. Gastroparesis juga dapat menyebabkan
terganggunya absorbsi obat oral sehingga menyebabkan fluktuasi kadar

obat dalam darah, hal ini menjadi masalah yang penting bagi penderita
diabetes dewngan obat hipoglikemik oral.

2.7

Penatalaksanaan Gastropati Diabetikum


Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas hidup,
mencegah

komplikasi

dan

untuk

gastroparesis

diabetika

disertai

terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini


tindakan

pengobatan

lebih

ditujukan

kepada

kasus-kasus

yang

simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes


yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu
mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,
pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap
penderita

gastroparesis

yang simptomatik sebaiknya dilakukan

penyesuaian diet, yang dianjurkan adalah porsi

kecil namun sering,

dengan kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan
kalori yang cukup (John. 2001). Bila cara tersebut tidak menolong dapat
diberikan makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi dan pada kasus
yang sangat berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum
untuk nutrisi enternal.

Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan berkurangnya


intake oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien, penurunan berat
badan, dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral. Dengan demikian,
tujuan manajemen diet adalah mengembalikan dan mempertahankan status

nutrisi dan secara bersamaan mengurangi keluhan. Pada pasien diabetes,


intervensi diet ditujukan pada untuk mengontrol status glikemik pasien.
Pada gejala sedang sampai berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi
tambahan.
Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran partikel,
ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam makanan.
Alkohol dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara keseluruhan dapat
disimpulkan saran untuk diet gastroparesis adalah diet yang sering, ukuran
kecil, makanan rendah serat dan rendah lemak dengan peningkatan intake
nutrisi dalam bentuk cairan.
Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi keluhan
dan mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support rute
pemberian makanan perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan pompa
nasogastrik perlahan adalah pilihan terapi yang disarankan. Walau dalam
praktiknya, pasien dengan gastroparesis berat jarang yang dapat
mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk

menentukan kebutuhan

nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke dalam lambung.


Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi risiko aspirasi
pada pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung. Pemberian
makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi karena melewatkan lambung
yang malfungsi.
Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk mencegah
inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung. Mempertahankan

kontrol status glikemik penting karena hiperglikemia menginhibisi aksi


obat prokinetik seperti eritromisin.Obat oral antidiabetik dapat digunakan
pada pasien diabetes tipe 2 dan gastroparesis ringan. Insulin dapat
digunakan pada pasien diabetes melitus tipe I dan pasien

dengan

gastroparesis berat.
Penggunaan

obat-obat

prokinetik

untuk

meningkatkan

kecepatan

pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam


pengobatan penderita gastroparesis yang

simptomatik. Sebelum terapi

prokinetik dimulai seharusnya waktu pengosongan lambung diukur,


namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi pengobatan selama 4
minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali setelah
terapi dihentikan maka waktu pengosongan lambung harus diukur.
Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,
namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati
gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride
dan erythromycin. Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam ada
gastroparesis diabetika maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan
terhadap seluruh kelainan motorik/sensorik dengan satu obat. Waktu
pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar
plasma obat. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa
sehingga kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan
waktu makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial.

Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan antagonis


reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas acetylcholine dan
inhibitor cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti
emetik dan dapat melewati sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya
diperkirakan berasal dari antagonisme

reseptor

dopamine

lambung

peningkatan pelepasan acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi


prokinetiknya antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus
bawah, menghambat relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum
dan merelaksasi sfingter pylorus. Aksi metoclopramide pada

aktivitas

IMMC masih belum jelas. Aktivitas antiemetiknya adalah berdasarkan


antago-nisme reseptor dopamine sentral pada chemoreceptor trigger zone
dan vomiting center. Metoclopramide dapat menurangi symptom statis
lambung dan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid,
namun antara perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak
berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-panjangan efek prokinetiknya
akan menghilang meskipun perbaikan simptomatiknya terus berlangsung.
Metoclopramide dianggap merupakan obat yang paling efektif dalam hal
memperbaiki symptom. Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5
20 mg sebelum makan dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan
melalui

intravena,

intramuskuler, subkutan,

intrarektal

maupun

intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya mengenai


20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang tersering adalah
gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan neurologik berupa
mengantuk, gelisah, cemas, depresi, symptom dystonic (yaitu tardive

dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus, trismus dan torticollis), dan


symptom
Gangguan

parkinsonisme
endokrinologik

(yaitu
antara

tremor,
lain

rigidity

dan akinesia).

hiperprolaktinemia

menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan

yang

amenorrhea,

selain itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan
penurunan kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan
growth hormone.
Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis reseptor
dopamine yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik
lambungnya adalah

melalui penghambatan reseptor dopamine pada

lambung dan duodenum, sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada


chemoreceptor trigger zone. Domperidone efektif dalam mengendalikan
symptom dan memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis
diabetika. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan
meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah
pengobatan 4 minggu peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun
pengosongan solid

tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada

pengobatan akut maupun kronis. Domperidone dapat diberikan melalui


oral, intravena, intramuskuler ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah
10 mg sebelum makan dan malam sebelum tidur, dapat ditingkatkan
menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat dapat
ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari. Efek samping domperidone
bervariasi dari 2-7%, umumnya adalah mulut kering, sakit kepala, ruam

kulit, gatal, diare, kegelisahan dan gangguan endokrin yang berkaitan


dengan hiperproklaktinemia.
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki
sifat antidopaminergik,

akan

tetapi

meningkatkan

pelepasan

acetylcholine pada plexus myentericus intestinalis dan juga bersifat


antagonis terhadap reseptor 4 HT3 dan antagonis 5HT4. Cisapride tidak
mempunyai efek antiemetik langsung,
amplitudo

kontraksi

di

seluruh

namun

bagian

dapat

saluran

meningkatkan
cerna

sehingga

menguntungkan bagi penderita. Obat ini meningkatkan kontraksi antrum


dan duodenum dan juga meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada
penderita

gastroparesis diabetika

cisapride

dapat

memperbaiki

pengosongan lambung liquid, solid maupun non digestible solid, dan


efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun kronis. Dibanding
dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap sebagai obat
pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini. Cisapride

diberikan

melalui oral dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan atau pada
waktu tidur.
Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding metoclopramide,
umumnya adalah kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya
bersifat sementara dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis.
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek
menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai
agonis motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor motilin pada

antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas ini tidak berkaitan
dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan

bahwa selain

merangsang kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga


menginhibisi

otot

pylorus.

Pada

manusia

erythromycin

dapat

meningkatkan kontraksi antrum, memperbaiki kontraksi antroduodenal,


mengurangi waktu aktivitas IMMC fase 2 dan

merangsang serta

memperpanjang aktivitas IMMC fase

kutip). Kao dkk

(5

menyimpulkan bahwa erythromycin efektif terhadap gastroparesis


diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan pengo-songan
lambung.
Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada
penderita gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul
dibanding cisapride, metoclopramide maupun domperidone dalam hal
mempercepat pengosongan lambung. Pemberian erythromycin 200 mg
intravena kepada penderita gastroparesis diabetika akan memperbaiki
pengosongan lambung solid maupun liquid secara dramatis menjadi
seperti yang terlihat pada orang normal, bila diberi secara oral kali 250
mg selama 4 minggu, perbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang
dibanding intravena. Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam
bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis erythromycin stearst adalah 3 kali
250 mg diberikan 30 60 menit sebelum makan. Untuk penggunaan
intravena dalam bentuk lactobionate diberikan

sebagai infus selama 30

menit dengan dosis 200 mg, diencerkan dalam larutan garam fisiologis.

Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping mual,


muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang berlamalama sebagai prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain
bakteri resisten. Saat ini dikembangkan derivat erythromycin, ER 523,
suatu agonis reseptor motilin
erythromycin

namun

tidak

yang

18

memiliki

kali

lebih

kuat

aksi antibiotik, dan

dari

terbukti

efektif memperpendek waktu pengosongan lambung liquid maupun


solid pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat.
Ondansentron,
mengontrol

antagonis

reseptor

keluhan, tetapi

tidak

5-HT3 dapat

digunakan

untuk

menunjukkan perbaikan dalam

pengosongan lambung. Mirtazipine adalah antidepresan yang aktif pada


resep 5-HT3 dan dilaporkan bermanfaat untuk gastroparesis refrakter
dibandingkan terapi lain. Antidepresan trisiklik juga bermanfaat dalam
sindrom muntah kronik. Ada beberapa gabungan terapi yang sedang dalam
evaluasi penggunaannya untuk gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik
azithromycin dan mitemcinal dapat menstimulasi reseptor motilin.
Ghrelin, suatu hormone peptide yang diproduksi oleh sel entero-endokrin
dalam lambung yang menstimulasi nafsu makan dan meningkatkan gerak
lambung.

BAB III
KESIMPULAN

Gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari gangguan saluran


cerna bagian atas akibat gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan
didapatkan adanya keterlambatan pengosogan lambung. Diagnosis gastroparesis
ditegakkan dengan adanya penundaan pengosongan lambung dengan gangguan
obstruksi telah disingkirkan melalui pemeriksaan

endoskopi dan pencitraan

radiologi
Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas
hidup, mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai
terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan
pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang
asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik belum diperlukan
pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu mencapai kendali gula darah yang
lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus asimptomatik
dapat diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:


Evaluation and Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.
Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganongs review of medical
physiology. 23th edition. New York: McGraw Hill; 2010
Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto:
Brooks/Cole Cengage Learning; 2010.
Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic
Gastroparesis and Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N
Am, 2003; 32: 619-658.
Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The
Understanding of Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.

Anda mungkin juga menyukai