Sahabat Sejati
Sahabat Sejati
Sahabat Sejati
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan
terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat
dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi.
“Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak
pernah absen. Selalu datang.”
“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin
menengoknya!” katanya bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang
membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Ia
mendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang
ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya
mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan
Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
“Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau
pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur
“Momon, Pa.”
Iwan menggeleng.
Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan
omongan Iwan.
“Maksudmu?”
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa
itu!” kata Papa.
Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon
di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang
pernah dikontrak keluarga Momon.
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa
berjumpa kembali!”
“Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau
ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami
sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau?” Tanya Papa.
“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya
pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”
Suatu sore Andi curhat sama Rudi. “Hari ini aku bener-bener kesal banget Rud”,
tutur Andi kepada Rudi.
Dengan sedikit menggerutu Andi menjawab pertanyaan Rudi, “Tadi siang aku
sholat jum'at berjama'ah di masjid Sabilul Khoir di sebelah rumahku. Aku
berangkat ke masjid memakai sandal yang baru kubeli di mall bareng kamu
minggu lalu, ta....”. Dia berhenti bicara karena terpotong omongan Rudi.
“Emang kenapa dengan sandalmu And?”, sahut Rudi karena merasa penasaran
dengan cerita Andi.
“Waktu aku mau pulang, sandal yang ku pakai waktu berangkat ke masjid itu
sudah raib entah kemana. Setelah lama kucari, tetap gak ada, yach... akhirnya
kuputuskan untuk menunggu sampai semua jama'ah sholat jum'at pulang. Aku
berfikir mungkin sandalku tertukar sama sandal milik orang lain. Setelah
semuanya pulang, yang tersisa hanya tinggal sepasang sandal usang, dan yang
menyedihkan lagi salah satunya udah berlubang. Mau gimana lagi..., akhirnya
dengan terpaksa sandal itu ku pakai dan kubawa pulang, itung-itung dibanding
pulang gak pakai sandal”. Jawab Andi dengan muka agak kusut.
Sembari menahan tawa, Rudi bilang pada Andi, “Hmm... kalau gitu... minta aja
pertanggung jawaban sama pak ustadz yang tadi siang jadi khotib di masjid”.
Dengan sedikit bingung Andi bertanya pada Rudi, “kok bisa gitu Rud?”.
Sambil tertawa Rudi menjawab, “Disetiap khutbah sholat jum'at, pak ustadz selalu
menyerukan kepada para jama'ah untuk mengambil yang baik-baik dan tinggalkan
yang jelek-jelek. Mungkin orang yang mengambil sandalmu itu mengikuti apa
yang dikatakan pak ustadz”.