Kebijakan Komoditas Ubi Kayu Di Indonesia
Kebijakan Komoditas Ubi Kayu Di Indonesia
Kebijakan Komoditas Ubi Kayu Di Indonesia
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Agribisnis Tanaman Pangan
Prestilia Ningrum Rakhmi Primadianthi Bernida H Munthe Ratna Puspita Dewi Fakhrizal Maulana Wendi Irawan D
Kelas: Agribisnis B
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ubi kayu mempunyai peranan yang strategis dan multiguna, sebagai penghasil sumber bahan pangan karbohidrat, bahan baku industri, makanan, kosmetika, dan pakan serta bahan energi. Sebagai bahan baku industri, ubi kayu dapat diolah menjadi tapioka, sirup glukosa, High Fructose Syrup (HFS), Citric Acid, Monosodium Glutamate, bahan perekat plywood, maltosa, sorbitol, etanol dan lain sebagainya. Dalam struktur perekonomian Indonesia, ubi kayu mempunyai kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sektor tanaman pangan terbesar ke tiga setelah padi dan jagung. Pada tahun 2003 kontribusi ubi kayu terhadap PDB sebesar Rp 6,1 trilyun. Nilai tersebut hanya dari on farm dan belum termasuk dari sub sistem hulu dan hilir. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa komoditas ubi kayu memberikan andil yang cukup besar terhadap perekonomian nasional maupun daerah. Dengan manfaat yang multiguna tersebut, ubi kayu dari hasil olahannya menjanjikan bisnis yang menguntungkan apabila diusahakan secara agribisnis. Bahan baku ubi kayu cukup tersedia dan sudah dikenal oleh masyarakat, mudah dibudidayakan serta mudah beradaptasi di lahan kering dan marginal. Di lain pihak, pengembangan ubi kayu ke depan masih menghadapi berbagai permasalahan kritis, seperti kemitraan usaha yang belum berkembang dan berjalan dengan baik, fluktuasi produk dan harga, rendahnya tingkat produktivitas dan terbatasnya permodalan serta persaingan dengan komoditas lain. Diharapkan, di masa depan agribisnis ubi kayu dapat lebih memiliki daya saing dan memberikan nilai tambah agar usahatani ubi kayu dapat lebih berkembang dan industri olahan berjalan dengan baik. Jika tidak ada ladang minyak yang baru, cadangan minyak bumi yang berasal dari fosil diperkirakan hanya cukup untuk 18 tahun ke depan.
1.2 Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu agar pembaca mengetahui dan memahami tentang kebijakan terhadap tanaman ubi kayu.
1.3 Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah melalui studi pustaka yang bersumber dari media cetak maupun media elektronik.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Keragaan Produksi Ubi kayu Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa luas panen ubi kayu berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan penurunan sebesar 0,66 % per tahun. Pada tahun 2006 (angka ramalan II), luas panen secara nasional sekitar 1.241.676 ha. Produktivitas ubi kayu dari tahun 20022006 masih relatif rendah, tetapi menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun. Produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2006 (angka ramalan II) sebesar 16,2 ton/ha. Produksi ubi kayu pada kurun waktu 20022006 terlihat berfluktuasi, namun menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Produksi ubi kayu tertinggi terjadi pada tahun 2006 di mana secara nasional mencapai 20.054.634 ton, produksi tertinggi yang dapat dicapai selama ini.
2.2 Keragaan Ekspor Impor Gambaran umum keragaan ekspor ubi kayu di Indonesia selama tahun 20012005 disajikan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa volume ekspor ubi kayu dalam bentuk gaplek, tapioka dan ampas tapioka berfluktuasi dari tahun ke tahun. Volume ekspor tapioka tertinggi dicapai pada tahun 2004, sebesar 252.617 ton dengan nilai sebesar US.$ 41 juta, sedangkan ekspor gaplek tertinggi sebesar 234.169 ton dengan nilai US.$ 20,4, juta dicapai pada tahun 2004.
Di samping mengekspor tapioka, ampas tapioka dan gaplek, Indonesia juga mengimpor tapioka. Impor tapioka dari tahun ke tahun, mulai tahun 2001 2005 cenderung berfluktuasi (Tabel 3). Impor tapioka tertinggi terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 190.627 ton dengan nilai US.$ 33,7 juta, sedangkan pada tahun yang sama ekspor mencapai 21.966 ton dengan nilai US.$ 3,1 juta. Hal ini menunjukkan bahwa prospek permintaan tapioka untuk pasar dalam maupun luar negeri cukup baik.
2.3 Permasalahan Pengembangan Ubi Beberapa permasalahan kritis dalam peningkatan produksi dan
pengembangan ubi kayu antara lain: 1) Aspek Fluktuasi Produksi dan Harga Fluktuasi produksi dan harga pada ubi kayu masih terjadi, di mana harga setiap bulannya berfluktuasi. Harga terendah terjadi pada saat panen raya yaitu pada periode bulan JuliOktober. Pada saat ini petani dirugikan dan sebaliknya di luar periode tersebut harga cukup baik tetapi produksi terbatas dan dalam hal ini pihak industri dirugikan. Hal ini terjadi karena tidak adanya pengaturan
5
waktu tanam dan panen yang merata setiap bulan dikarenakan sebagian besar pertanaman ubi kayu ditanam di lahan kering di mana kebutuhan air sepenuhnya tergantung dari curah hujan, dan pada umumnya petani telah terbiasa menanam pada musim hujan. Di samping itu, adanya tekanan ekonomi pada petani maka petani sering menjual secara ijon atau panen muda sehingga pendapatan petani rendah. 2) Aspek Kemitraan Usaha Kemitraan usaha antara petani/kelompok tani dengan Mitra Usaha/Mitra Industri belum dapat berjalan dan berkembang dengan baik dikarenakan belum adanya kesepahaman antara pelaku agribisnis (Petani/Kelompok Tani dengan Mitra Usaha/Mitra Industri) khususnya untuk menampung hasil dengan harga yang wajar dan berkelanjutan. Kemitraan ini penting artinya dalam upaya memberikan kepastian berusahatani sehingga petani termotivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi. Sedang di sisi industri dapat diperoleh kepastian dan kelangsungan penyediaan bahan baku lebih terjamin. Sebagai mitra petani yang bertanggung jawab, sebaiknya Mitra Usaha/Mitra Industri yang tumbuh dan berkembang harus rela berbagi rasa (share) sebagai ungkapan kepedulian (care) terhadap petani secara jujur (fairly).
Aktualisasinya adalah penetapan harga yang layak yang ditentukan oleh ke dua belah pihak. Dengan harga yang layak tersebut diharapkan akan
menggairahkan petani untuk menerapkan teknologi baru dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pengembangan produksi. 3) Aspek Penerapan Teknologi Tingkat produktivitas ubi kayu pada tahun 2006 (Angka ramalan II, BPS 2005) masih di bawah potensi hasil, di mana tingkat produktivitas secara Nasional baru mencapai 16,2 ton/ha sedangkan potensi hasil berkisar 2540 ton/ha. Hal ini sebagai akibat penerapan teknologi produksi oleh petani khususnya pupuk dan penggunaan varietas unggul belum sepenuhnya diterapkan, dan adanya panen muda mengakibatkan kualitasnya rendah khususnya pada kandungan patinya. Petani ubi kayu belum menerapkan pemupukan sesuai anjuran, bahkan seringkali tanaman tidak dipupuk sama sekali. Rendahnya penggunaan pupuk dikarenakan belum adanya jaminan pasar dan harga yang menguntungkan atau
6
layak dan kondisi sosial-ekonomi petani ubi kayu yang pada umumnya marginal. 4) Skala Usaha dan Permodalan Sebagian besar petani ubi kayu mengusahakan lahan yang relatif sempit sehingga tidak memenuhi skala ekonomi (pemilikan lahan kurang dari satu hektar). Hal ini mengakibatkan petani sulit meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Di samping itu, pada umumnya petani ubi kayu menghadapi kesulitan yakni keterbatasan dalam modal usaha. Kredit yang tersedia (KKP, Taskin Agribisnis) belum dapat dimanfaatkan secara optimal dikarenakan keterbatasan akses untuk memperolehnya dan belum adanya kemudahan memanfaatkan modal tersebut.
2.4 Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu Untuk Agroindustri Dalam upaya mendukung keberhasilan agribisnis ubi kayu yang berdaya saing dan berkelanjutan, maka diperlukan adanya dukungan-dukungan kebijakan sebagai berikut. 1. Kebijakan Makro Kebijakan makro diperlukan dalam upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi tumbuh kembangnya sistem usaha agribisnis ubi kayu. Kebijakan makro dilakukan melalui makro ekonomi baik moneter maupun fiskal, untuk itu perlu dipertimbangkan bagaimana stakeholders sub sistem hulu, on farm dan hilir mendapat modal usaha melalui kredit. Kemudahan mendapatkan fasilitas kredit dengan persyaratan mudah terjangkau dan dapat diakses oleh seluruh stakeholders dengan tingkat suku bunga rendah
merupakan hal yang sangat diperlukan bagi dunia usaha agribisnis ubi kayu. Di samping itu pula perlu diupayakan dan didorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di antaranya melalui peraturan dan perundangan yang mendukung berkembangnya agribisnis ubi kayu. Peraturan-peraturan yang tidak sesuai hendaknya diperbaiki dan perlu pula diciptakan suatu Peraturan Daerah (PERDA) agar setiap industri pengolahan dan eksportir bermitra dengan petani dengan harga yang layak dan berkesinambungan.
2. Kebijakan Investasi dan Permodalan Investasi dalam pengembangan ubi kayu sangat dibutuhkan dan masih terbuka bagi investasi baru baik melalui PMDN maupun PMA. Kebijakan permodalan melalui pemberian fasilitas kredit pada sub sistem on farm selama ini pihak perbankan belum memberikan perhatian dan komitmen yang kuat terhadap petani ubi kayu. Di dalam melakukan investasi bagi pengembangan ubi kayu maka pihak industri haruslah menjalin kemitraan usaha. 3. Kebijakan Kemitraan Hubungan kelembagaan petani/kelompok tani ubi kayu dengan industry pengolahan hasil yang membutuhkan bahan baku ubi kayu dalam kegiatan usahanya diarahkan pada hubungan kemitraan yang saling menguntungkan. Persyaratan yang diperlukan adalah terciptanya kelembagaan/asosiasi petani yang kokoh dan kompak, mewadahi petani sebagai anggotanya, mempunyai posisi tawar yang cukup kuat sehingga hubungan antara petani/kelompok tani dengan industri pengolahan hasil ubi kayu harmonis dan saling
menguntungkan. 4. Kebijakan Teknologi Teknologi yang dirakit atau diramu haruslah suatu teknologi yang dapat meningkatkan pendapatan dan nilai tambah yang dihasilkan sesuai dengan input yang telah dikeluarkan sehingga teknologi yang dihasilkan tersebut dapat diterima, diterapkan dan dikembangkan. Di dalam meramu paket teknologi haruslah merupakan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi. 5. Kebijakan Kelembagaan Dalam membangun agribisnis ubi kayu salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah kelembagaan baik kelembagaan di hulu, tengah maupun hilir. Kelembagaan pada industri hulu diarahkan untuk menghasilkan produk yang efesien sehingga harganya dapat terjangkau oleh petani dan kebijakan subsidi pupuk nampaknya masih perlu dipertahankan mengingat ketidakberdayaan petani ubi kayu dalam menyediakan modal usahataninya untuk meningkatkan produktivitas. Kelembagaan petani ubi kayu masih sangat lemah bahkan petani ubi kayu masih terbiasa bekerja sendiri-sendiri tidak dalam suatu wadah kelembagaan seperti kelompok tani. Oleh karenanya peran
8
dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Pertanian atau yang menangani kegiatan tanaman pangan perlu memediasi dan memfasilitasi terbentuknya kelembagaan dan organisasi petani dalam rangka pemberdayaan petani. 6. Kebijakan Sumber Daya Manusia Pada subsistem usahatani sumberdaya manusia diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mengadopsi dan penguasaan teknologi, kemampuan untuk mandiri dan mengembangkan jiwa kewiraswastaan (interpreneurship) serta meningkatkan semangat partisipasi dan kooperatif di antara petani dalam kelompok dan antar kelompok.
2.5 Strategi Pengembangan Ubi Kayu Strategi yang ditempuh dalam pengembangan ubi kayu meliputi delapanlangkah operasional, yakni : 1. Peningkatan produktivitas Peningkatan produktivitas dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan menerapkan rekayasa sosial teknologi maju spesifik lokasi yang didukung oleh alat dan mesin pertanian. Peningkatan produktivitas dan produksi diupayakan melalui penerapan teknologi sesuai anjuran setempat (bila ada) namun apabila belum tersedia dapat digunakan anjuran teknologi secara umum. Untuk itu maka diperlukan penyediaan stek dari varietas berpotensi produksi tinggi dengan kadar pati yang tinggi, pupuk dan sarana produksi lainnya. 2. Dukungan Permodalan Dukungan permodalan diperlukan dalam upaya penerapan teknologi sesuai anjuran seperti penggunaan/pergantian varietas yang berpotensi produksi tinggi, pemberian pupuk dan saprodi lain. Untuk itu perlu diupayakan adanya kemudahan petani di dalam mengakses kredit/permodalan dengan persyaratan yang mudah, misalnya KKP, Kredit Agribisnis dan lain sebagainya dengan bunga rendah. Sumber pembiayaan dapat berasal dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya dan diupayakan agar pihak industri olahan dapat bertindak sebagai Avalis. Oleh karena itu, diperlukan adanya peningkatan koordinasi dengan pihak perbankan, industri olahan, industri pupuk, dan
9
instansi terkait lainnya dalam upaya penyediaan/pembelian saprotan khususnya bibit dan pupuk. 3. Menjalin Kemitraan Usaha Untuk mendapatkan jaminan pasar dengan harga yang layak dan berkelanjutan perlu diupayakan terjalinnya kemitraan usaha antara kelompok tani dengan mitra industri olahan. Untuk itu Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota diperlukan peran aktifnya untuk memfasilitasi, memediasi dan mendorong terjalinnya kemitraan dan mengupayakan industri olahan dapat bertindak sebagai avalis serta dapat bertindak sebagai juri yang adil. Kemitraan usaha ini penting artinya dalam upaya memberikan kepastian berusaha tani sehingga petani/kelompok tani termotivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi, sedangkan di sisi industri akan dapat diperoleh kepastian dan kelangsungan penyediaan bahan baku lebih terjamin. Di samping itu pula, adanya kemitraan usaha akan lebih mendorong pola kemitraan antara Pemerintah Daerah dan masyarakat. 4. Perluasan Areal Tanam Perluasan areal tanam merupakan upaya tambahan areal tanam-panen untuk meningkatkan produksi. Upaya perluasan areal tanam dapat dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan dan pemanfaatan lahan terlantar/yang tidak dimanfaatkan. 5. Koordinasi Instansi Terkait Perlu diupayakan koordinasi dengan instansi terkait, termasuk dengan perusahaan/industri dan perbankan, serta stakeholders lainnya guna
meningkatkan produktivitas dan produksi, kualitas hasil, pemasaran dan pendapatan petani/pelaku agribisnis, yang pada akhirnya akan memperkuat pembangunan daerah dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 6. Peningkatan Peran Kelembagaan Ekonomi dan Petani Dalam rangka memantapkan kelembagaan di tingkat petani, perlu didorong dan ditumbuhkembangkan Kelompok-kelompok Tani yang selanjutnya bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan membentuk Koperasi Tani serta Asosiasi Produsen Ubi kayu dalam upaya meningkatkan posisi tawar dan sebagai jembatan komunikasi dengan lembaga lainnya/mitra usahanya. Ke
10
depan, koperasi tani perlu ditumbuhkembangkan berdasarkan kesamaan aktivitas dan kepentingan ekonomi dalam usaha tani. 7. Pembinaan yang Berkesinambungan Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, diharapkan berperan secara aktif dalam melakukan pembinaan, baik terhadap sub sistem hulu, on farm, hilir maupun jasa pendukung untuk mendapatkan produk yang berdaya saing dan berkelanjutan serta ramah lingkungan. 8. Peningkatan SDM Petani Perlu diupayakan agar semua sumberdaya manusia yang ada, baik di on farm maupun off farm secara perlahan-lahan dapat ditingkatkan kapasitasnya
melalui proses pembelajaran seperti pengalaman, studi banding, magang, diskusi, temu lapang, dan program penyuluhan melalui media cetak dan elektronik lainnya. Untuk itu, diperlukan adanya pelatihan teknologi produksi, manajemen usaha, kewira-usahaan dan lain sebagainya.
11
Kabupaten/Kota), instansi terkait/stakeholders, dan masyarakat agribisnis tanaman pangan. Dukungan yang dipandang sangat penting dalam upaya mengembangkan agribisnis ubi kayu yang berdaya saing dan berkelanjutan adalah sebagai berikut: 1) Dukungan dari daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), agar mengupayakan terjalin kemitraan antara pihak industri olahan dengan kelompok tani. Hal ini berkaitan dengan jaminan pasar dengan harga yang layak, berkesinambungan, dan adanya kontinuitas pasokan bahan baku ke pihak industri. 2) Dukungan dari pihak perbankan, untuk memberikan kemudahan
mendapatkan dan memanfaatkan fasilitas kredit dengan bunga rendah. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan produktivitas dan upaya pengembangan dan perbaikan pabrik/industri. 3) Adanya kesepakatan antara pihak industri dengan kelompok tani untuk melakukan kemitraan usaha sehingga penyediaan bahan baku dapat dipenuhi secara berkelanjutan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pengaturan waktu tanam dan panen agar produksi tidak tertumpu pada bulan-bulan tertentu, yakni dengan menanam berbagai macam varietas berpotensi produksi tinggi dengan kadar pati tinggi dan umur panennya berbeda. 4) Keberpihakan Pemerintah melalui pengaturan iklim usaha yang kondusif dalam upaya peningkatan pendapatan dan kelangsungan usaha bagi kelompok tani dan industri olahan ubi kayu.
12
3.2 Saran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota), instansi terkait/stakeholders, dan masyarakat agribisnis tanaman pangan harus terus meningkatkan dukungan terhadap para petani agar keberhasilan produksi ubi kayu dapat terus ditingkatkan. Petani yang membudidayakan ubi kayu harus terus diberdayakan dan ditingkatkan kemampuan dalam melaksanakan kegiatan usaha taninya agar para petani bisa melakuakan kegiatan usaha tani ubi kayu dengan efektif dan efisien yang menghasilkan produktivitas yang tinggi. Dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, Pemda, stakeholders, dan masyarakat agribisnis melalui kebijakan-kebijakan yang bedampak positif bagi para petani ubi jalar pasti akan semakin memajukan prospek usaha ubi jalar khususnya bagi para petani.
13
DAFTAR PUSTAKA
Sani, Sondah. 2010. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Ubi Kayu Untuk Agroindustri. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Diakses melalui: http://balitkabi.bimasakti.malang.te.net.id/PDF/03-DIRJEN%20P2HP.pdf Pada tanggal 7 November 2011. Sutrisno. 2007. Ubi Kayu. Diakses melalui:
14