CHF + CKD Stage V + HT Stage II
CHF + CKD Stage V + HT Stage II
CHF + CKD Stage V + HT Stage II
Laporan Kasus
Oleh:
Pembimbing:
Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada Lab/SMF Farmakologi Klinik RSUD A. Wahab Sjahranie Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman SAMARINDA 2012
Presentasi Kasus Farmakologi Klinik 2012 RSUD AWS FK Unmul I. Identitas Pasien : Nama Usia Agama Status Alamat Pekerjaan No RM : Ny. S : 58 tahun : Islam : Menikah : Jl. Ulin Rt.26 : Pegawai Swasta : 475315 P/L
Tanggal: 06 April
II.
Anamnesis (Subjektif) :
Riwayat Penyakit Sekarang : Sesak napas dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya sudah sering mengalami sesak napas. Sesak napas ini muncul sewaktu-waktu dan hanya di pengaruhi oleh aktivitas ringan. Pasien mengaku ia selalu menggunakan bantal 4 tumpuk untuk mengatasi sesak sewaktu tidur. Selain sesak, pasien juga mengalami bengkak pada tubuhnya sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak diawali pada kaki, tangan, perut dan merasa bagian payudara pun ikut bengkak sejak 4 hari yang lalu. Pasien juga
mengalami nyeri dada kiri yang menjalar sampai ke punggung. Nyeri dada ini muncul sewaktu-waktu, tidak setiap saat. Riwayat Penyakit Dahulu : 1. Riwayat penyakit jantung : riwayat masuk rumah sakit dan dirawat di rumah sakit sebanyak 5 kali dengan keluhan yang serupa dan didiagnosa oleh dokter spesialis menderita penyakit jantung. 2. Riwayat penyakit ginjal : sudah menjalani hemodialisa sebanyak 3 kali dan transfuse 2 kantong. 3. 4. Riwayat hipertensi : terdapat riwayat hipertensi. Riwayat diabetes mellitus : tidak terdapat.
Riwayat Penyakit Keluarga : Pada keluarga pasien, tidak terdapat keluhan serupa dengan pasien.
III.
Pemeriksaan Fisik (Objektif) Keadaan umum : sakit sedang Kesadaran : Compos mentis RR: 28 x/menit T: 360C
Kepala dan leher : Anemis (+/+), Ikterik (-), sianosis (-), dispneu (-) Thoraks : Pulmo : ronkhi +/+, wheezing -/+/+ -/+/+ -/Cor : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: Cembung, asites (+), bising usus (+) kesan normal, nyeri tekan epigastrium (-) Ekstremitas : Akral hangat, edema +/+ , sianosis -/+/+ +/+
IV.
Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium (03 - 04 - 2012) Pemeriksaan yang dilakukan Pemeriksaan Darah HB Leukosit RBC Hct GDS Ureum Creatinin Na K Cl Pemeriksaan Urin Berat Jenis Hemoglobin/darah Warna Kejernihan pH Protein Leukosit Eritrosit Bakteri Hasil yang didapat Nilai normal
8.2 g/dl 5.0 x 103 uL 3.02 x 106 uL 25% 113 mg/dl 116.1 mg/dl 3.6 mg/dl 135 mmol/L 4.8 mmol/L 110 mmol/L 1.020 + Kuning Keruh 5.0 +2 Banyak 2-3/lpb +3
11.0-16.0 g/dl 4.0-10.0 x 103 uL 3.50-5.50 x 106 uL 37.0-54.0 % 60-150 mg/dl 10-40 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl 135-155 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L 95-108 mmol/L 1.003-1.30 Jernih 4.8-7.8 <10/lpb 0-1/lpb -
2. Laboratorium (04 - 04 -2012) Pemeriksaan yang dilakukan Pemeriksaan Darah GDS SGOT SGPT Ureum Creatinin Bilirubin total Bilirubin indirect Bilirubin direct Kolesterol Hasil yang didapat Nilai normal
76 mg/dl 33 UI 10 UI 134.7 mg/dl 7.3 mg/dl 0.3 mg/dl 0.2 mg/dl 0.1 mg/dl 176 mg/dl
60-150 mg/dl P<25/W<31 P<41/W<32 10-40 mg/dl 0.5-1.5 mg/dl 0-1.0 mg/dl 0-0.75 mg/dl 0-0.25 mg/dl 150-220 mg/dl
V.
VI.
Terapi ( yang diberikan ) 1. 2. 3. 4. IVFD RL 12 tpm Nifedipin 10 mg SL saat di IGD O2 4L/Menit Co.Sp.JP dan Sp. PD
VII.
Terapi ( Plan ) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Nifedipin Amlodipin Captopril Furosemid Spirolonakton Bisoprolol CaCO3 Allupurinol Asam folat
05 April 2012
S: Sesak (+), nyeri dada (-), bengkak pada tangan dan kaki O: KU: Sedang; CM; TD 170/100 mmHg; N 80 x/i; RR 34 x/i; Ronki -/- Wheezing -/-/-/-
IX.
Masalah yang akan dibahas 1. Penggunaan obat-obatan pada kasus ini berdasarkan diagnosis 2. Rasionalisasi pengobatan pada kasus ini 3. Interaksi dan efek samping obat-obat yang digunakan
Etiologi dan Patofisiologi Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang
menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaankeadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati8. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa: aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Penanganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penyakit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung8.
Karena morbiditas, mortalitas dan biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, maka faktor resiko yang menyebabkan gagal jantung perlu diidetifikasi dan ditangani sedini mungkin. Penyakit yang menyebabkan gagal jantung adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan katup jantung, dan kardiomiopati8. Evaluation of the Cause of Heart Failure: The History
History to include inquiry regarding: Hypertension Diabetes Dyslipidemia Valvular heart disease Coronary or peripheral vascular disease Myopathy Rheumatic fever Mediastinal irradiation History or symptoms of sleep-disordered breathing Exposure to cardiotoxic agents Current and past alcohol consumption Smoking Collagen vascular disease Exposure to sexually transmitted diseases Thyroid disorder Pheochromocytoma Obesity Family history to include inquiry regarding: Predisposition to atherosclerotic disease (Hx of MIs, strokes, PAD) Sudden cardiac death Myopathy Conduction system disease (need for pacemaker) Tachyarrhythmias Cardiomyopathy (unexplained HF) Skeletal myopathies HF indicates heart failure; Hx, history; MI, myocardial infarction; and PAD, peripheral arterial disease
Klasifikasi Gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan jenis dan tingkat kelainan untuk mencapai tujuan terapi. Pengklasifikasian juga diperlukan untuk membantu memantau respon pengobatan. Berbagai klasifikasi gagal jantung ditentukan berdasarkan patofisiologi, gejala, dan kapasitas aktivitas8. 1. Forward and Backward Heart Failure (Gagal jantung efek ke depan dan ke belakang) Klasifikasi ini digunakan untuk memahami perubahan hemodinamik yang muncul segera setelah suatu patofisiologi yang spesifik. a) Forward heart failure (Gagal jantung efek ke depan)
Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengosongan penampungan vena yang tidak mencukupi. Penyebab umum dari gagal jantung kiri dengan efek forward adalah: Stenosis aorta (hambatan pengosongan akibat obstruksi mekanis) Miokarditis (menyebabkan fase sistolik yang memendek akibat kerusakan otot jantung) Infark miokard luas
b) Backward heart failure (Gagal jantung efek ke belakang) Gagal jantung jenis ini terjadi akibat pengurangan pengosongan darah menuju arteri paru dan aorta. Peyebab dari gagal jantung dengan efek backward adalah: Stenosis mitral (mengakibatkan penurunan aliran balik vena menuju ventrikel kiri) Kardiomiopati hipertropik (mengakibatkan penurunan pengisiian saat diastolic 2. Gagal Jantung Sistolik, Gagal Jantung Diastolik Klasifikasi ini lebih mudah dipahami dibandingkan dengan klasifikasi sebelumnya, yaitu: a) Gagal jantung sistolik Gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya kemampuan jantung untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh adanya penekanan kontraktilitas miokard. Gagal jantung sistolik akut terlihat pada miokarditis akibat virus, keracunan alkohol, dan anemia, sedangkan gagal jantung sistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati atau infark miokard. b) Gagal jantung diastolik Gagal jantung diastolik terjadi akibat dari pengisian jantung yang terganggu. Hal ini biasa tampak pada wanita lanjut usia. Empat mekanisme patologi yang dihasilkan pada gagal jantung jenis ini telah diketahui. Penyakit struktural Kerusakan katup jantung Abnormalitas anatomi seperti hipertropi konsentrik
Efusi pericardial Abnormalitas fisiologis Peningkatan volume sistolik akhir Pengurangan waktu pengisian sebagaimana tampak pada takikardia Abnormalitas non-miosit Peningkatan jaringan ikat Perikarditis konstriktif Abnormalitas miosit
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan Klasifikasi ini terutama bermanfaat pada pasien dengan penyakit jantung valvular dan kongenital: a) Gagal jantung kiri Gagal jantung kiri lebih banyak terjadi pada praktek klinik. Gagal jantung kiri biasa terjadi pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi. Hal ini terjadi akibat akumulasi darah sebelum darah sebelum masuk ventrikel kiri. Yang mengakibatkan peningkatan tekanan atrium kiri dan vena paru sehingga terjadi akumulasi cairan diparu. Pasien dengan gagal jantung kiri ini sering mengalami kesulitan bernapas. b) Gagal jantung kanan Gagal jantung kanan lebih jarang terjadi dan hanya terjadi pada pasien dengan penyakit jantung bawaan dan kor pulmonal. Gagal jantung kanan terjadi akibat akumulasi darah sebelum masuk ke ventrikel kanan. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan dari vena sistemik sehingga terjadi akumulasi cairan pada jaringan lunak tubuh. Pasien dengan gagal jantung kanan sering mengalami edema. 4. Low-Output Heart Failure, High-Output Heart Failure Klasifikasi ini berdasarkan pada volume hemodinamik dan curah jantung. Perbedaan antara gagal jantung curah rendah dan tinggi dapat dilihat dari karakteristik detak jantung atau dengan kata lain detak jantung yang ringan menandakan curah rendah dan detak jantung yang tidak beraturan menandakan gagal jantung curah tinggi. Sebagian besar gagal jantung adalah gagal jantung curah rendah. Gagal jantung curah tinggi jarang terjadi dan jika terjadi berhubungan dengan:
Defisiensi nutrisi seperti beri-beri atau anemia Hipertiroidisme Tumor vaskular yang besar
5. Klasifikasi Kapasitas Fungsional dan Penilaian Objektif a. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA Kelas I: Asimtomatik Tidak ada pembatasan aktifitas fisik akibat penyakit jantung kelas ini, hanya dapat diduga jika terdapat riwayat penyakit jantung yang dipastikan melalui pemeriksaan misalnya kardiomegali. Kelas II: Ringan Terdapat sedikit pembatasan aktivitas fisik. Aktivitas yang lebih berat menyebabkan nafas tersengal, misalnya berjalan menaiki tangga. Pasien pada kelas ini dapat menjalani gaya hidup dan pekerjaan yang hampir mirip dengan keadaan normal. Kelas III: Sedang Terdapat pembatasan aktivitas yang lebih jelas sehingga dapat mengganggu pekerjaan. Kelas IV: Berat Tidak mampu menjalani aktivitas fisik tanpa disertai gejala. Pasien kesulitan bernapas pada saat beristirahat dan kebanyakan jarang keluar rumah.
b. Klasifikasi gagal jantung menurut American Heart Association/American Collage of Cardiology (AHA/ACC) Klasifikasi ini menekankan pada evolusi dan perkembangan gagal jantung kronik.
A Klasifikasi Gagal Jantung Pasien mempunyai resiko tinggi mengalami gagal jantung karena menderita penyakit yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung. Pasien seperti ini tidak mempunyai abnormalitas struktur jantung maupun fungsi perikardia, miokard, atau katup jantung dan tidak pernah memperlihatkan gejala gagal jantung. Pasien dengan penyakit jantung dengan abnormalitas struktur yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung namun tidak pernah menunjukkan gejala gagal jantung. Pasien yang pernah atau sedang mengalami gejala gagal jantung akibat adanya abnormalitas struktur jantung. Pasien dengan abnormalitas struktur jantung yang parah dan menunjukkan gejala gagal jantung pada saat beristirahat meskipun diberikan terapi medik secara maksimal sehingga memerlukan penanganan yang khusus.
C D
Gejala Sindroma klinis gagal jantung merupakan efek terakhir dari berbagai penyakit jantung. Pasien yang sudah mengalami gagal jantung biasanya akan mengalami satu atau lebih gejala-gejala berikut8:
Nyeri. Jika otot tidak mendapatkan cukup darah (suatu keadaan yang disebut iskemi), maka oksigen yang tidak memadai dan hasil metabolisme yang berlebihan menyebabkan kram atau kejang. Angina merupakan perasaan sesak di dada atau perasaan dada diremas-remas, yang timbul jika otot jantung tidak mendapatkan darah yang cukup. Jenis dan beratnya nyeri atau ketidaknyamanan ini bervariasi pada setiap orang. Beberapa orang myang mengalami kekurangan aliran darah bisa tidak merasakan nyeri sama sekali (suatu keadaan yang disebut silent ischemia).
Dispnea: Sulit bernafas (sesak nafas) merupakan gejala utama dari gagal jantung. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan kerja jantung untuk membuat paru-paru terbendung berventilasi.
Dispnea nocturnal paroksismal (sesak nafas malam hari): Episode sulit bernafas (sesak nafas) yang terjadi pada saat tidur sehingga menyebabkan pasien terbangun secara tiba-tiba.
Orthopnea: Merupakan gejala sulit bernafas yang memburuk pada saat pasien berbaring. Hal ini terjadi karena tingginya elevasi posisi kaki akan meningkatkan aliran darah vena kembali ke kanan.
Kelelahan atau kepenatan. Hal ini terjadi karena penurunan curah jantung dalam waktu lama. Jika jantung tidak efektif memompa, maka aliran darah ke otot selama melakukan aktivitas akan berkurang, menyebabkan penderita merasa lemah dan lelah. Gejala ini seringkali bersifat ringan. Untuk mengatasinya, penderita biasanya mengurangi aktivitasnya secara bertahap atau mengira gejala ini sebagai bagian dari penuaan.
Palpitasi (jantung berdebar-debar) Pusing & pingsan. Penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.
Edema tungkai : Hal ini terjadi karena adanya akumulasi cairan pada kaki akibat gaya berat gravitasi.
Penegakkan Diagnosis a. Anamnesis b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik: pada kondisi gagal jantung yang tidak berat, hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat merupakan gejala yang tidak khas karena dapat pula merupakan gejala penyakit lain selain gagal jantung, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang lengkap jika pasien datang dengan keluhan gejala gagal jantung. Tanda-tanda fisik berikut ini dapat terjadi pada pasien gagal jantung: Takikardia: tanda ini bukan merupakan gejala yang khs bagi gagal jantung. Detak nadi: detak nadi yang lambat terjadi pada gagal jantung dengan curah jantung rendah dan detak nadi yang tidak beraturan terjadi pada gagal jantung dengan curah jantung tinggi. Peningkatan tekanan vena jugularis: gejala ini merupakan gejala yang sangat khas pada gagal jantung karena jika tekanan vena jugularis normal maka bisa dipastikan penyakit yang muncul bukan penyakit gagal jantung. Namun hal ini tidak berlaku bagi pasien yang sedang mengkonsumsi diuretik Diagnosis gagal jantung berdasarkan criteria Framingham harus mendapatkan/ menemukan minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor.
Mayor Paroxysmal nocturnal dispnea Distensi vena-vena leher Peningkatan vena jugularis Ronki Kardiomegali Edema paru akut Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari terapi Minor Edema ektremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (>120 denyut per menit)
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin Pasien dengan gagal jantung onset baru dan yang sudah kronis dan juga dekompensasi akut harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit,
ureum, kreatinin, fungsi hati, dan juga urinalisis. Pada beberapa pasien juga harus dilakukan pemeriksaan penyaring diabetes mellitus (kadar gula darah puasa dan 2 jam PP), dislipidemia (profil lipid), dan kelainan tiroid (kadar TSH). Elektrokardiogram (EKG) EKG rutin 12 lead direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Adapun peranan EKG disini adalh untuk menilai irama jantung, melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, melihat riwayat infark miokard sebelumnya (ada atau tidaknya gelombang Q patologis), dan juga menilai lebar QRS sebagai kandidat terapi resinkronisasi. EKG yang normal pada umumnya mengeksklusikan disfungsi sistolik. Foto Thoraks Foto thoraks memberi informasi tentang bentuk dan ukuran jantung, gambaran vaskularisasi pulmonal, dan juga dapat mengidentifikasi penyebab non-kardial dari gejala-gejala pasien. Meskipun pasien dengan gagal jantung akut mempunyai bukti adanya hipertensi pulmonal, edema interstisial, dan/atau edema pulmonal, mayoritas pasien dengan gagal jantung kronis tidak. Tidak adanya temuan- temuan ini pada pasien dengan gagal jantung kronis menggambarkan peningkatan kapasitas drainage dari sistem limfatik untuk membuang cairan interstisail dan pulmonal. Echocardiogram Pencitraan jantung noninvasif adalah penting untuk diagnosis, evaluasi, dan penatalaksanaan dari gagal jantung. Test yang paling berguna adalah echocardiogram 2-D/Doppler, yang dapat memberi gambaran
semikuantitatif dari ukuran dan fungsi ventrikel kiri begitu juga ada tidaknya abnormalitas katup dan/atau gerakan dinding regional (indikatif untuk MI sebelumnya). Indeks penting untuk menilai fungsi dari ventrikel kiri adalah ejection fraction (perbandingan stroke volume terhadap enddiastolic volume). Oleh karena EF mudah untuk dinilai dengan menggunakan test noninvasive, hal ini telah diterima luas di kalangan klinisi. Namun EF juga memiliki beberapa keterbatasan sebagai ukuran kontraktilitas, karena juga dipengaruhi oleh perubahan pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LVEF akan meningkat pada regurgitasi
mitral oleh karena ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang tekanan nya rendah. Meskipun demikian, dengan pengecualian kasus di atas, ketika EF normal (50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF menurun (<30-40%), kontraktilitas biasanya juga menurun. Biomarker Kadar natriuretic peptides di sirkulasi berguna sebagai pemeriksaan tambahnn untuk mendiagnosis pasien dengan gagal jantung. Baik B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP, yang dilepas pada saat kegagalan jantung terjadi, adalah marker yang sensitif adanya gagal jantung dengan EF yang menurun; marker ini juga meningkat pada pasien dengan EF yang normal, meskipun kadarnya lebih rendah.
Tatalaksana Menurut Mansjoer (2001) prinsip penatalaksanaan Congestive Heart Failure adalah9: Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian Oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung 1) Mengatasi keadaan reversibel termasuk tirotoksikosis, miksedema dan aritmia. 2) Digitalisasi, digoksin, condilamid. Menurunkan beban jantung a. Menurunkan beban awal dengan: 1. Diit rendah garam 2. Furosemid ditambah kalium 3. Vasodilator: menghambat Angiotensin-converting enzyme (ACE), Isosorbid dinitrat (ISDN), nitrogliserin, nitroprusid. Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol
2.2 Hipertensi Definisi Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih.3 Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu:
Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, atau disebut juga hipertensi idiopatik. Faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia10.
Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan10.
Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi tekanan darah dewasa yang berumur diatas 18 tahun ke atas, yang didasarkan pada tekanan darah rata-rata pengukuran 2 kali atau lebih dan tekanan darah pada waktu kontrol sebagai berikut10: Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah yang Berumur 18 Tahun Keatas
Klasifikasi tekanan darah Normal Prehipertensi Stage 1 hipertensi Stage 2 hipertensi TDS (mmHg) <120 120-139 140-159 160 TDD (mmHg) <80 80-89 90-99 100
Keterangan: TDS = Tekanan Darah Sistole TDD = Tekanan Darah Diastol Sumber: (The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure)3
Gejala Hipertensi Hipertensi dikenal juga sebagai sebagai silent killer atau pembunuh terselubung yang tidak menimbulkan gejala atau asimptomatik. Pada umumnya, sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa dirinya menderita tekanan darah tinggi. Oleh karena itu sering ditemukan secara kebetulan pada waktu penderita datang ke dokter untuk memeriksakan penyakit lain. Kenaikan tekanan darah tidak atau jarang menimbulkan gejala-gejala spesifik. Pengaruh patologik hipertensi sering tidak menunjukkan tanda-tanda selama beberapa tahun setelah
terjadi hipertensi. Gangguan hanya dapat dikenali dengan pengukuran tensi dan ada kalanya melalui pemeriksaan tambahan terhadap ginjal dan pembuluh darah10. Adapun beberapa faktor yang dapat meningkatkan tekanan darah secara reversibel, antara lain: 1) Garam Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin.11 2) Drop (liquorice) Sejenis gula-gula yang dibuat dari succus liquiritiae mengandung asam glizirinat dengan khasiat retensi air, yang dapat meningkatkan tekanan darah bila dimakan dalam jumlah besar.11 4. Stres (ketegangan emosional) Hubungan antara stres dan hipertensi ditilik melalui aktivitas saraf simpatik, yang diketahui dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten. Stress yang berkepanjangan mengakibatkan tekanan darah tetap tinggi. Tekanan darah meningkat juga pada waktu ketegangan fisik11. 5. Merokok Merokok dapat meningkatkan tekanan darah, meskipun pada beberapa penelitian didapatkan kelompok perokok dengan tekanan darah lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak merokok . Nikotin dalam rokok berkhasiat vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah. Merokok meningkatkan efek buruk hipertensi terhadap sistem pembuluh11. 6. Pil antihamil Mengandung hormon wanita estrogen, yang juga bersifat retensi garam air. Wanita yang peka sebaiknya menerapkan suatu cara pembatasan kelahiran lain11. 7. Hormon pada pria dan kortikosteroid Hormon pria dan kortikosteroid juga berkhasiat retensi air. Setelah penggunaan hormon ini dihentikan pada umumnya tekanan darah menurun dan menjadi normal kembali.11
8. Kehamilan Kenaikan tekanan darah yang dapat terjadi selama kehamilan. Mekanisme hipertensi ini serupa dengan proses di ginjal, bila uterus direnggangkan terlampau banyak (oleh ginjal) dan menerima kurang darah, maka dilepaskannya zat-zat yang meningkatkan tekanan darah.11
Patofisiologi Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu curah jantung dan resistensi vaskular perifer. Curah jantung adalah hasil kali antara frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume), sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena dan kekuatan kontraksi miokard. Resistensi perifer ditentukan oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh darah dan viskositas darah. Semua parameter diatas dipengaruhi beberapa faktor antara lain system saraf simpatis dan parasimpatis, sistem renin-angiotensinaldosteron (SRAA) dan factor local berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel pembuluh darah.12 Sistem saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung, memperkuat kontraktilitas miokard, dan meningkatkan resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis bersifat depresif, yaitu menurunkan takanan darah karena menurunkan frekuensi denyut jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek vasokontriksi angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan natrium diginjal sehingga meningkatkan volume darah12
Terapi Hipertensi 1. Terapi non obat (non farmakologi) Terapi non farmakologi adalah terapi yang dilakukan dengan cara pola hidup sehat untuk menurunkan tekanan darah, mencegah peningkatan tekanan darah dan mengurangi resiko kardiovaskuler secara keseluruhan, meliputi: a) Penurunan berat badan jika gemuk. b) Membatasi atau mengurangi natrium menjadi 2,3 gram atau < 6 gram NaCl sehari. c) Latihan olah raga secara teratur. d) Membatasi konsumsi alkohol (maksimum 20-30 ml etanol per hari).
e)
Berhenti merokok dan mengurangi makanan kolesterol, agar dapat menurunkan resiko kardiovaskuler yang berkaitan1
2. Terapi obat-obatan (farmakologi) Selain tindakan umum seperti terapi diatas, pada hipertensi lebih berat perlu ditambahkan obat-obat hipertensi untuk menormalkan tekanan darah.12 Tujuan terapi hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi. Tekanan darah harus diturunkan serendah mungkin yang tidak menggangu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup. Terapi dengan hipertensi harus selalu dimulai dengan dosis rendah agar darah jangan menurun terlalu drastis atau mendadak. Kemudian, setiap 1-2 minggu dosis berangsurangsur dinaikan sampai tercapai efek yang diinginkan (metode: starts low, go slow). Begitu pula penghentian terapi harus secara berangsur pula.11,12 Antihipertensi hanya menghilangkan gejala tekanan darah tinggi dan tidak penyebabnya. Maka, obat pada hakikatnya harus diminum seumur hidup, tetapi setelah beberapa waktu dosis pemeliharaan pada umumnya dapat diturunkan.12 Pemberian antihipertensi pada penderita usia lanjut harus hati-hati karena pada mereka ini terdapat : penurunan reflek baroreseptor sehingga mereka lebih mudah mengalami hipotensi artostatik, gangguan
autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik, penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat, pengurangan volume intravaskuler sehingga lebih sensitivitas terhadap hipokalemia sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan otot.12 Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan hipertensi
digolongkan berdasarkan pengetahuan patologisnya. Macam-macam obat antihipertensi, yaitu: a. Diuretik b. 1-Blokers (Antagonis Adrenoreseptor) c. -Blokers (Penghambat Adrenoresptor) d. Calsium Channel Bloker e. Inhibitor (ACEi) f. Angiotensin II Antagonists
g. Direct Vasodilator14
Terapi Farmakologis Amlodipine12,14,15 Amlodipin merupakan golongan antihipertensi calsium chanel blocker yang biasa digunakan dalam pengontrolan tekanan darah tinggi dengan proses relaksasi pembuluh darah serta memperlebar pembuluh darah. Secara umum akan menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Relaksasi ini terutama di arteriol. 1. Sediaan dan Dosis: Tablet 5mg dan 10 mg. Dosis awal 5mg/hari, dapat ditingkatkan maksimal 10mg.13,14 2. Farmakodinamik: Mekanisme kerjanya memberi efek langsung pada nodus AV dan SA minimal, sehingga menurunkan resistensi perifer tanpa penurunan fungsi jantung yang berarti.14 3. Farmakokinetik12,14 A : terjadi perlahan, karena sediaanya lepas lambat D : bioavailabilitasnya lebih tinggi dibanding obat lain di golongannya. M : dihati, mengalami first pass metabolism, pada 24 jam pemakaian kadarnya baru mencapai 2/3 kadar puncak. E : hanya sedikit dalam bentuk utuh melalui ginjal, T1/2 panjang (cukup 1 kali perhari) 4. Indikasi, kontraindikasi, Efek samping obat13,14 I : Hipertensi dengan kadar renin rendah (usia tua),
K : penyakit jantung koroner, stenosis aorta berat, angina pektoris tak stabil, IMA, gangguan hati berat. ES : hipotensi, mual, nyeri perut, kelainan kulit, gangguan muskulskeletal, gangguan saluran kemih, sakit kepala, mengantuk, somnolen, gangguan sensorik, sensasi panas, kemerahan pada wajah, gynekomastia, disfungsi seksual, dan keringat berlebihan.
Bisoprolol12,14 Anti hipertensi yg memblok adrenergik reseptor 1 pada jaringan jantung Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tek. darah i. Dosis dan sediaan: Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: Hipertensi Dewasa Awal 5 mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr Org tua Awal: 2.5-5 mg/hr dapat ditingkatkan 2,5-5 mg/hr. Maksimal 20 mg/hr ii. Farmakokinetik. A: baik diserap dari GIT. D: protein binding 25-33%. M: di hepar. E: melalui urine T1/2 9-12 jam (meningkat pd gagal ginjal) iii. iv. v. Indikasi: Hipertensi Perhatian: Gangguan ginjal dan hati, bronkospasme, DM Efek samping obat: Frequent: Hipotensi-pusing, mual, sakit kepala, akral dingin, lemas, konstipasi atau diare. Occasional: Insomnia, Flatulence, sering kencing, impotensi atau penurunan libido. Jarang Rash, nyeri sendi dan otot, hilang nafsu makan. vi. Interaksi obat: Adenosin: bradikardi 1 adrenergik reseptor: membatasi potensi dosis pertama. Amiodarone: meningkatkan efek bradikardi bisoprolol. Antidiabetic: mengurangi efek hipoglikemi. Barbiturat: membatasi metabolisme bisoprolol. Cimetidin: meningkatkan level plasma bloker Clonidin: rebound hipertensi. Cocaine: Vasokonstriksi koroner Digoxin. digitoxin: bradikardia potensiasi, perpanjangan waktu konduksi
atriventricular. Dypiridamol: additive bradikardi. NSAID: menurunkan efek antihipertensi. ISDN14,15 Kerja nitrat melalui pengurangan kebutuhan oksigen miokard sekunder terhadap venodilatasi dan dilatasi arterial-arteriolar, mengarah pada pengurangan tekanan dinding dan berkurangnya volume ventrikuler dan tekanan. 1. Farmakokinetik: secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam, secara spray masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral masing-masing 20 menit dan 4 jam. Resorpsinya baik. T1/2nya 30-60 menit. Di dalam hati dirombak menjadi metabolit aktif.
2. Dosis: pada serangan akut atau profilaksis, sublingual tablet 5 mg, bila perlu diulang sesudah beberapa menit. Interval: oral 3 dd 20 mg dc atau tablet/kapsul retard maksimum 1-2 dd 80 mg. 3. Indikasi: untuk gangguan penyakit arteri koroner , angina pectoris, gagal jantung kongestif, infark jantung 4. Efek samping: mencakup hipotensi postural yang berhubungan dengan gejala system syaraf pusat, reflex takikardi, sakit kepala, dan wajah memerah, mual pada waktu tertentu. Aspirin12,15 Asam asetilsalisilat atau aspirin selain mempunyai efek antipiretik juga digunakan untuk mencegah trombus koroner berdasarkan efek penghambatan agregasi trombosit. 1. Farmakokinetik: Diabsorpsi sempurna melalui saluran cerna. puncak konsentrasi plasma 3-4 jam, waktu paruh 3-4 jam, metabolisme sudah terjadi dimukosa usus kemudian juga dihati. Metabolitnya diekskresi melalui urin. 2. Dosis: sebagai antiagregasi dosis yang dianjurkan 80-160 mg / hari. Sediaan yang ada yaitu tablet 80 mg, 100 mg dan 160 mg. 3. Indikasi: untuk pengobatan dan pencegahan angina pectoris dan infark jantung 4. Efek samping: ulserasi peptik, gangguan gastrointestinal, meningkatnya waktu perdarahan, hipotrombinemia, reaksi hipersensitivitas, pusing, tinitus. Fondaparinux12,15 Merupakan low molecular wight heparin ( LMWH ) yang dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin yang hanya menghambat faktor Xa. 1. Farmakokinetik: Tidak diabsorpsi secara oral, oleh karena itu diberikan secara IV atau SC. masa paruh lebih panjang daripada heparin standar. 2. Dosis: 2,5 mg, 1-2 kali hari secara sub kutan selama 5-9 hari 3. Indikasi: pencegahan tromboemboli
4. Efek samping: anemia, trombositopenia, perdarahan, purpura, edema, tes faal hati abnormal Clopidogrel 12,15 Clopidogrel merupakan golongan thienopyridine yang bekerja dengan menghambat reseptor P2Y12 pada trombosit sehingga tidak terjadi aktivasi fibrin dan agregasi trombosit. 1. Farmakokinetik: waktu paruh singkat. 2. Dosis: loading dose 300 mg lalu dilanjutkan 75 mg/ hari 3. Indikasi: pengobatan infark miokard, pencegahan stroke dan kematian kardiovaskuler. 4. Efek samping: Mual, muntah dan diare, perdarahan Alprazolam12,15 Potensiasi inhibisi GABA sebagai mediatornya. Efek farmakodinamiknya tidak hanya bekerja sentral, tetapi juga perifer pada susunan saraf kolinergik, adrenergik, dan triptaminergik. 1. Farmakokinetik: kadar tertinggi dicapai setelah 8 jam pemberian oral dan tetap bertahan tinggi sampai 24 jam. Ekskresi melalui ginjal lambat 2. Dosis: dewasa 0,25-0,5 mg 3x/hari. Dapat ditingkatkan dengan interval 34 hari hingga maksimal 4mg dosis terbagi. 0,25 mg 2-3 x/hari untuk pasien lanjut usia dan gangguan fungsi hati berat. 3. Indikasi: Sebagai sedasi, menghilangkan rasa cemas, dan keadaan psikosomatik yang disertai cemas. 4. Efek samping: depresi susunan saraf pusat (mengantuk, ataksia), rash, mual, nyeri kepala, agranulositosis. Analsik112,15 1. Komposisi 2. Dosis 3. Indikasi : methampyrone 500 mg, diazepam 2 mg : 1 kaplet, 3x1/hari : sakit keala psikis, nyeri saraf, nyeri pinggang, reumatik, kolik empedu, dan ginjal, nyeri otot dan sendi. .
4. Kontra Indikasi: Psikosis berta, kecenderungan perdarahan, porfiria hipersensitif golongan pirazolon. 5. Efek samping : Mengantuk, pusing, amnesia, gangguan penglihatan, hipotensi, ketergantungan agranulositosis, reaksi alergi. Berinteraksi dengan obat-obatan depressan SSP, alkohol, klorpromazin, dan simetidin.
2.3 Penyakit Ginjal Kronik / Chronic Kidney Desease (CKD) Penyakit ginjal kronis adalah masalah kesehatan di seluruh dunia. Penyakit ini ditandai sering kali berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler dan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel. Penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan uremia, suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ 1,4. The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan penyakit ginjal kronik sebagai kerusakan ginjal (struktural atau fungsional) atau penurunan glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,72 m2 selama 3 bulan atau lebih. Apapun etiologi yang mendasari, akan selalu terjadi massa renal dengan skerosis ireversibel dan kehilangan nefron, mengakibatkan penurunan GFR secara progresif 1. Pada tahun 2002, K/DOQI mengklasifikasikan penyakit ginjal kronik sebagai berikut : 1. Derajat 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau (>90 mL/min/1.73m2) 2. 3. 4. 5. Derajat 2 : Reduksi minimal GFR (60-89 mL/min/1.73 m2) Derajat 3 : Reduksi moderat GFR (30-59 mL/min/1.73 m2) Derajat 4 : Reduksi berat GFR (15-29 mL/min/1.73 m2) Derajat 5 : Gagal ginjal (GFR < 15 mL/min/1.73 m2 atau dialisis) Pada derajat 1 dan 2, nilai GFR saja tidak cukup untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan lain yang menandakan kerusakan ginjal harus dilakukan, seperti komposisi abnormal darah dan urin serta abnormalitas dalam pemeriksaan
radiologi. Pasien dengan gagal ginjal derajat 1 sampai 3 umumnya asimtomatis, manifestasi klinik umumnya baru akan muncul pada derajat 4 dan 5 1. Tabel. Klasifikasi derajat penurunan faal ginjal berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG)
Derajat A B C D E F Primer (LFG) Normal 50-80 % Normal 20-50 % Normal 10-20 % Normal 510 % Normal < 5 % Normal Sekunder = Kreatinin (mg%) Normal Normal - 2,4 2,5 4,9 5,0 7,9 8,0 12,0 Lebih dari 12,0
Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik sebagai berikut : 1. Penurunan cadangan faal ginjal (LFG = 40-75%) Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih dipertahankan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac nephron hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan pada pemeriksaan lab rutin secara tidak sengaja 4. 2. Insufisiensi ginjal (LFG = 20-50 %) Pasien GGK pada tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normal walaupun sudah memperlihatkan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia. Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan hhiperurikemia. Pasien pada tahhap ini mudah terjun ke sindrom acute on chronic renal failure artinya gambaran klinik gagal ginjal akut (GGA) pada seorang pasien gagal ginjal kronik (GGK), dengan trigger yang memperburuk faal ginjal (LFG). Sindrom ini sering berhubungan dengan faktor-faktor yang memperburuk faal ginjal (LFG) 4. Sindrom acute on chronic renal failure : Oliguria Tanda-tanda kardiomegali) Edema perifer (ekstremitas dan otak) Asidosis, hiperkalemia overhidrasi (edema paru, bendungan hepar,
3.
Klinik sering dikacaukan dengan penyakit jantung hipertensif. Gagal ginjal (LFG = 5-25 %) Gambaran klinik di laboratorium makin nyata : anemia, hipertensi, overhidrasi atau dehidrasi, kelainan lab, seperti penurunan HCT, hiperurisemia, kenaikan ureum dan kreatinin serum, hiperfosfatemia, hiponatremia, kalium serum biasanya masih normal 4. 4. Sindrom azotemia (LFG = kurang dari 5 %) Sindrom azotemia dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan banyak organ (multi organ) 3.
2.2.1
Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain 4.
2.2.2
terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth ,factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan memberikan aktivitas kontribusi aksis renin-angiotensin-aldosteron terjadinya hiperfiltrasi, intrarenal, sklerosis ikut dan
terhadap
progresifitas tersebut. Beberapa hal yang juga dianggap, berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial 4. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kernudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisms fosfor dan kalsium, pruritus. mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cema. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natriurn dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan Sampai pada stadium gagal ginjal 4.
2.2.3
Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia (azotemia), yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (vohinie overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. c). Gejala koniplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida) 3. 1. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom normositer sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg % atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. Dalam penentuan hematokrit akan lebih penting dari pada penentuan jumlah hemoglobin (Hb) karena : Penurunan hematokrit akan terlihat lebih dulu daripada jumlah Hb Hematokrit dapat dipakai untuk menuntun selama transfusi darah
Anmia pada GGK bersifat kompleks, mungkin berhubungan dengan anemia normokrom normositer, anemia hemolisis, anemia akibat defisiensi besi. Beberapa hipotesa mekanisme anemia adalah sebagai berikut : Azotemia-related anemia Faktor utama kontribusi anemia terkait azotemia yaitu defisiensi eritropoietin oleh sel peritubuler sebagai respon hipokia lokal akibat pengurangan parenkim ginjal fungsional (mass of functional paenchyma). Penurunan masa hidup eritrosit Defisiensi Fe Defisiensi vitamin B12 dan asam folat menyebabkan anemia hipokrom makrositer Perdarahan saluran cerna dan uterus 3.
2.
Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien.
3.
Kelainan mata Gangguan dapat berupa penurunan visus. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, seperti hemodialisa. Retinopati dapat disebabkan oleh hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien GGK 4.
4.
Kelainan sistem kardiopulmonum 4.1 Kardiovaskuler Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
penyebaran kalsifikasi di sistem vaskuler,, sering dijjumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal, dapat meyebabkan gagal faal jantung. Umumnya gagal jantung yang terdapat gagal ginjal sangat resisten terhadap obat konvensional dan dinamakan gagal jantung refrakter 4. 4.2 Hipertensi Patogenesis hipertensi ginjal sangat komplek, melibatkan peranan keseimbangan natrium, aktivitas renin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari medula ginjal, akitivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lain seperti cardiac output dan hipoklasemia. Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma dan volume cairan ekstraseluler. Ekspansi volume plasma akan mempertinggi tekanan pengisian jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output. Kenaikan COP mempertinggi tonus arteriol dan meningkatkan tahanan perifer. Kenaikan tonus vaskuler arteriol akan menimbulkan mekanisme umpan balik sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal kenaikan tekanan darah (hipertensi) masih
dipertahankan. Pada gagal ginjal, sistem buffer tekanan darah yang diatur oleh sinus karotikus tidak lagi berfungsi secara adekuat karena telah terjadi perubahan mangenai volume dan tonus pembuluh darah arteriol 4.
4.3
Kalsifikasi pembuluh darah perifer Kalsifikasi sering ditemukan pada pasien gagal gginjal terminal terutama yang menjalani hemodialisa intermitten. Kalsifikasi yang berat dapat menyebabkan gangren ekstremitas 3.
4.4
Paru uremic (edema paru) Gambaran radiologis paru azotemia sangat khas dan dinamakan butterflyy attau bat-wing distribution. Mekanisme diduga
berhubungan dengan kenaikan permeabilitas kapiler paru akibat toksin azotemia. Pada azotemia merupakan indikasi mutlak untuk melakukan dialisis 4.
2.2.4
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Laboratoris Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureurn dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum Baja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asarn urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d) Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria 4. Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak. b). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi 4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gaga) napas, dan obesitas 4.
2.2.4
1. 2. 3.
Mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif Meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia Mempertahnkan dan memperbaiki metabolisme secara optimum
4.
Terapi Konservatif Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. DRP bertujuan : mempertahankan keadaan nutrisi optimal, mengurangi akumalasi toksin azotemia, mencegah perburukan faal ginjal akibat glomerulosklerosis 3. Terapi Farmakologis Terapi Farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik 4. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Enzim Converting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini
terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 1. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan 4. 2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. 3. Anemia Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ serum iron, kapasitas ikat besi Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 12g/dl 3,4.
4.
Osteodistrofi Renal Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang
sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cema. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia 4. 5. Mengatasi Hiperfosfatemia a) Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori. rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi 4. b) Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate 4. c) Pemberian bahan kalsium mimetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dipertimbangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek sarnping yang minimal 4. Pembatasan Cairan dan Elektrolit Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500 -800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditarnbah jumlah urin 4,7.
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natriurn dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi 4. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/ mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal 4.
2.4 Tinjauan Tentang Farmakologis 1. Ringer Laktat (RL) Ringer laktat (RL) merupakan cairan yang dapat diberikan pada kebutuhan volume dalam jumlah besar. Keunggulan terpenting dari larutan RL adalah komposisi elektrolit dan konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler. Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot. Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan. Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya ketosis 5. Komposisi dan sediaan: Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran memiliki komposisi elektrolit Na+(130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), K+ dan laktat (28 mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaan yang tersedia adalah 500 ml dan 1.000 ml 5,2. Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik 2.
Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru. RL juga dapat menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob 6. 2. NaCl 0,9% 2 Kandungan: sodium chloride 0,9% Indikasi: Pengganti cairan plasma isotonik yang hilang, pengganti cairan pada kondisi alkalosis hipokloremia. Kontraindikasi: Hipernatremia, asidosis, hipokalemia. Perhatian: Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal, hipoproteinemia, edema perifer atau paru, hipertensi, toxemia pada kehamilan, anak, lanjut usia. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit. Efek samping: Demam, iritasi atau infeksi pada tempat injeksi, trombosis atau flebitis yang meluas dari tempat injeksi, ekstravasasi. Kemasan: Larutan infus NaCl 0,9% x 500 mL. Dosis: Dosis bersifat individual. Dosis lazim: 1000 mL/70 kg berat badan/hari dengan kecepatan infus sampai dengan 7,7 mL/kg berat badan/jam. 3. Spirolonakton 2,6 Merupakan penghambat aldosteron berupa steroida. Mulai kerjanya setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari setelah pengobatan. Daya diuretisnya agak lemah, maka khusus digunakan terkombinasikan dengan antidiuretik lainnya. Akhir-akhir ini ditemukan bahwa spironolakton pada gagal jantung berat berdaya mengurangi resiko kematian sampai 30%. Farmakokinetik : A : bioavailibility 70%, D : Vd 0,05 l/kg Ikatan protein plasma > 98% M : menjadi cantreonat yang aktif dan metabolit lain di hepar. Indikasi : Hipertensi, edema. Efek samping obat : Hiperkalemi (pada fungsi ginjal terganggu), Hiponatremi, dehidrasi, hiperkalsiuri, eskresi magnesium berkurang, asidosis hiperkloremik pada sirosis hepatis, dekompensata, Libido , impoten, ginekomasti, gangguan
menstruasi (efek anti androgen), Gangguan GIT, Sakit kepala, mengantuk, kebingungan, jarang: ataksia, urtikaria Bentuk dan sediaan: Tablet 25 mg, 100 mg, PO 100-200 mg/hari, Anak 3 mg/kg/hari. Interaksi obat: efek diuretik bila bersamaan dengan asam asetilsalisilat, bahaya hiperkalemi bersama kaptopril litium-clearence renal, Mengurangi reaksi jaringan thd noradrenalin, konsentrasi digoksin karena hambatan sekresi tubuler pada ginjal, efek carbenoxolon. (Ganiswarna, S.G., dkk. 1995) 4. Bisoprolol 2,6 Anti hipertensi yg memblok adrenerguk reseptor 1 pada jaringan jantung Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tekanan darah. Dosis dan sediaan: Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: Hipertensi Dewasa Awal 5 mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr Org tua Awal 2.5-5 mg/hr dapat ditingkatkan 2,5-5 mg/hr Max. 20 mg/hr . Farmakokinetik. A: baik diserap dari GIT D: protein binding 25-33% M: di hepar E: melalui urine T1/2 9-12 jam (meningkat pd gagal ginjal). Indikasi: Hipertensi. Perhatian: Gangguan ginjal dan hati, bronkospasme, DM. Efek samping obat: Sering: hipotensi-pusing, mual, sakit kepala, akral dingin, lemas, konstipasi atau diare. Jarang: insomnia, Flatulence, sering kencing, impotensi atau penurunan libido Jarang Rash, nyeri sendi dan otot, hilang nafsu makan. Interaksi obat: Adenosin: bradikardi 1 adrenergik reseptor: membatasi potensi dosis pertama Amiodarone: meningkatkan efek bradikardi bisoprolol Antidiabetik: mengurangi efek hipoglikemi Barbiturat: membatasi metabolisme bisoprolol Cimetidin: meningkatkan level plasma bloker Clonidin: rebound hipertensi Cocaine: Vasokonstriksi koroner Digoxin, digitoxin: bradikardia potensiasi, perpanjangan waktu konduksi atriventricular Dypiridamol: additive bradikardi NSAID: menurunkan efek antihipertensi (Ganiswarna, S.G., dkk. 1995).
5. Furosemid
2,6
Merupakan diuretik kuat yang menghambat reabsorbsi NaCl ansa Henle asendens. Farmakokinetik Diuretik kuat diabsorbsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus. Respon kerja obatnya bervariasi antara 2 3 jam. Furosemide bekerja pada bagian luminal tubulus yang responnya berhubungan positif dengan sekresinya di urin. Gangguan kerja obat ini biasanya jika diberikan bersama indometasin dan probenesid sehingga clearancenya terhambat. Ketersediaan oral 61 %, eksresi melalui urin 66 %, berikatan dalam plasma 99 %, waktu paruh 1 jam. Konsentrasi toksik 25 mg/L. Farmakodinamik Obat ini menghambat sistem transpor pasangan Na+/K+/2Cl- di membran luminal bagian tebal ansa henle asendens. Penghambatan ini, menurunkan reabsorbsi NaCl dan mengurangi potensial positif lumen. Hilangnya potensial positif menyebabkan peningkatan ekskresi Mg2+ dan Ca2+ sehingga terjadi hipomagnesium sedangkan hipokalsemia tidak terjadi karena adanya reabsorbsi kembali kalsium di tubulus kontortus distal. Indikasi: Furosemide dapat mengurangi kongesti paru dan menurunkan tekanan ventrikel kiri pada CHF, sirosis hepar, sindrom nefrotik, hiperkalemia, gagal ginjal akut toksik bromida, fluorida, dan yodida. Terapi tunggal atau kombinasi untuk hipertensi ringan s/d sedang. Terapi cepat edema paru akut biasanya melalui parenteral. Edema pada eklampsi dan kehamilan. Dosis: oral = edema dewasa: awal 20 80 mg dosis tunggal ulangi 6 8 jam jika diperlukan. Dapat ditingkatkan 20 40 mg tiap 6 8 jam. Edema akut: dosis maksimal 600 mg/hari. Anak: awal 1 2 mg/kgBB dapat ditingkatkan dalam 6 8 jam. Dosis maksimal 6 mg/kgBB. Maintenance: turunkan hingga dosis minimal efektif. Hipertensi dewasa: 40 mg 2x/hari. Parenteral: Edema dewasa: 20 40 mg IV/IM (IV diberikan perlahan 1 2 menit). Setelah 2 jam tingkatkan sebanyak 20 mg. Edema paru 40 mg IV, dapat diulang 1 jam kemudian. Dosis maksimal 80 mg. Anak: 1 mg/kgBB IM/IV dapat ditingkatkan 2 jam kemudian. Dosis maksimal 6 mg/kgBB.
Kontraindikasi: hipersensitif sulfonamid, anuria, koma hepatica, hipokalemia, awal kehamilan, dalam terapi litium. Perhatian: defisiensi elektrolit, hamil, laktasi, geriatric, gangguan fungsi ginjal, gangguan hepar, hipertrofi prostat, gangguan miksi, pengguna digitalis. Efek samping: gangguan GI, hipersensitivitas, reaksi SSP, reaksi kulit, hiperglikemia, glikosuria, hiperurisemia, reaksi hematologik, vertigo, sakit kepala. Interaksi obat: induksi kerja antihipertensi d-tubokurarin, Toksik
aminoglikosida, sefalosporin, litium, salisilat, glikosida jantung, penurunan aktivitas diuretik jika dengan probenesid, meningkatkan hipotensi ortostatik dengan alkohol, narkotik, barbiturat, meningkatkan sensitifitas digitalis. Furosemide menurunkan metabolism propanolol sehingga efeknya meningkat. Jika dengan NSAID menyebabkan penurunan diuretik, natriuretik dan respon antihipertensinya. Toksisitas a. Alkalosis metabolik hipokalemia: furosemide meningkatkan sekresi ion kalium dan hidrogen. b. Ototoksik: bersifat reversibel, kembali normal jika obat dihentikan. Biasanya terjadi dengan penderita gangguan fungsi ginjal dan pengguna antibiotic aminoglikosida. c. Hiperurisemia: hipovolemia menyebabkan reabsorbsi asam urat pada tubulus proksimal. Hal ini bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah furosemide. d. Hipomagnesemia: terjadi jika penggunaan kronik diuretik kuat. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian magnesium oral. e. Alergi: hal ini segera menghilang setelah pemakaian obat dihentikan. Sediaan: Tab 40 mg 10 x 10, Tab 20, 40, 80 mg. Larutan 8, 10 mg/ml. Amp 10 mg/ml x 2 ml x 5. Keadaan khusus: tipe C: pada manusia belum ada penelitian atau tidak ditemukan ancaman terhadap janin tetapi pada hewan coba ada gangguan. 6. Amlodipin 2,6 Farmakodinamik: Bekerja dengan menghambat influk ca mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan kontraksi jantung.
Farmakokinetik: A: lambat diabsorbsi di GI D: protein binding 93% M: di hepar E: melalui urine T 30-50 jam Indikasi: Hipertensi Chronic, angina pectoris, Renal impairement. Dosis : Dws awal 5 mg/hr single dose. Max 10 mg/hr Lansia 2,5 mg/hr. Efek samping: Edema perifer, sakit kepala, flushing, palpitasi, mual, bradikardia, & hipotensi. Cara Pemakaian: diberikan secara oral. 7. Asam Folat 2,6 Asam folat (asam pteroilmonoglutamat, PmGA) terdiri atas bagianbagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat. PmGA bersamasama dengan konjugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat, membentuk suatu kelompok zat yang dikenal sebagai folat. Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan pengolahan (pemasakan) makanan. PmGA merupakan prekursor inaktif dari beberapa koenzim yang berfungsi pada transfer unit karbon tunggal. Berbagai reaksi penting yang menggunakan unit karbon adalah : (1) sintesis purin melalui pembentukan asam inosiat; (2) sintesis nukleotida pirimidin melalui metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam timidilat; (3) interkonversi beberapa asam amino misalnya antara serin dengan glisin, histidin dengan asam glutamat, homosistein dengan metionin. Kebutuhann tubuh akan folat rata-rata 50g sehari, dalam bentuk PmGA, tetapi jumlah ini dipengaruhi oleh kecepatan metabolisme dan laju malih sel (cell turn-over) setiap harinya. Komposisi dan sediaan: Asam folat tersedia dalam bentuk tablet yang mengandung 0,4; 0,8 dan 1 mg asam pteroilglutamat dan dalam larutan injeksi asam folat 5 mg/mL. Selain itu, asam folat terdapat dalam berbagai sediaan multivitamin atau digabung dengan antianemia lainnya. Asam folat injeksi
biasanya hanya digunakan sebagai antidotum pada intoksikasi antifolat (antikanker). Indikasi: penggunaan folat yang rasional adalah pada pencegahan dan pengobatan defisiensi folat. Kontraindikasi: Efek samping: jarang terjadi dan berupa reaksi alergi, juga gangguan lambung-usus dan sukar tidur. 8. Kalsium Karbonat 2,6 Formula kimia kalsium karbonat adalah CaCO3. Umumnya secara medis digunakan sebagai antasida. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan air dan tersaturasi dengan karbondioksida untuk membentuk kalsium bikarbonat CaCO3 + CO2 + H2O Ca(HCO3)2 Indikasi : hiperfosfatemia pada gagal ginjal kronis, diare. Dosis : 2,5 gr/hari hingga 17 gr/hari dengan dosis terpisah Sediaan : tablet 600 dan 1000 mg. 1 mg dapat menetralkan 21 mEq asam. Efek samping : konstipasi, flatus, hiperkalsemia, alkalosis metabolik, kalsifikasi jaringan, hipersekresi gaster. Kontraindikasi : Pasien dengan riwayat kalkuli renal, hiperkalsemia, dan hipopospatemia. Interaksi obat : Penggunaan Ca karbonat dengan tiazid diuretik atau vitamin D dapat menyebabkan milk alkali syndrome. hiperkalsemia. Penurunan absorbsi terjadi jika digunakan bersama kortikoseroid, tetrasiklin, quinolon, atenolol, Zn, dan kalsium channel blocker. Penggunaan bersama digitalis dapat memicu intoksikasi digitalis. 9. Captopril 2,6 Merupakan golongan ACE inhibitor yang menekan sistem angiotensialdosteron dan menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, menurunkan kadar angiotensin II, meningkatkan aktivitas renin, dan menurunkan sekresi aldosteron, serta menurunkan tahanan perifer.
distribusinya total protein binding 25-30%, dimetabolisme di hepar dan akan dieksresikan melalui urine dengan waktu paruh < 3 jam. Indikasi : Hipertensi, CHF, Post MI, impaired liver function, Diabetic nephropathy, dan prevention of kidney failure. Kontraindikasi : angioedema, laktasi, hamil, stenosis aorta dan hipersensitif. Dosis : Dosis: Awal 12,5-25 mg/2-3x/hr dapat ditingkatkan 50 mg/2-3x/hr Maintenance 25-150 mg/2-3x/hr. Efek Samping : batuk kering, stomatitis, ruam, pruritus, demam, anemia, iritasi GIT, hipotensi, angioedema, takikardia, proteinuria, peningkatan ureum dan kreatinin. 10. Nifedipin 2,6 Sebagai agen antiangina dan antihipertensi yang menghambat
pergerakan ion kalsium melewati membran sel, menekan kontraksi jantung dan otot polos vaskuler. Efek: meningkatkan denyut jantung dan cardiac output, menurunkan resistensi vaskuler dan tekanan darah. Farmakokinetik : Di absorpsi lengkap di saluran cerna dengan kadar protein binding 92-98%. Obat ini akan dimetabolisme di hepar dan akan di ekskresikan melalui urine dengan waktu paruh 2-5 jam. Indikasi : Hipertensi esensial dan angina stabil. Kontraindikasi : hipertemsi parah dan diabetes mellitus. Dosis : Dosis: untuk Angina, per oral Dewasa, org tua, 10 mg 3 kali sehari, ditingkatkan 7- 14 hari interval. Maintenace 10 mg 3 kali sehari sampai 30 mg 4 kali sehari per oral (extended release). Awal 30-60 mg/hr. Maintenance sampai 20 mg/hari. Untuk Hipertensi essensial, PO (extended release) Dewasa, org tua Awal 30-60 mg/hr. Maintenance sampai 20 mg/hari Efek Samping : edema perifer, sakit kepala, pusing, mual, gemetar, kram otot, nyeri, mengantuk, palpitasi, kongesti nasal, batuk, sesak, dan whezzing. 11. Allopurinol 2,6 Allupurinol bekerja dengan menghambat xantin oksidase, enzim yang mengubah hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat.
Allopurinol termasuk dalam golongan NSAID yang berguna untuk mengobati penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Selain itu juga dapat digunakan untuk gangguan fungsi ginjal. Farmakokinetik : Allupurinol memiliki masa paruh yang pendek 1-2 jam sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Indikasi : Obat ini terutama berguna mengobati penyakit pirai kronik dengan insufisiensi ginjal atau adanya batu urat pada ginjal juga berguna mengobati penyakit pirai sekunder akibat penyakit lain seperti polisitemia vera,leukimia dan psoriasis. Kontraindikasi : Hamil, laktasi, dan serangan gout akut. Dosis : untuk penyakit pirai ringan 200-400 mg sehari, 400-600 mg untuk penyakit yang lebih berat. Untuk pasien gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100-200 mg sehari. Dosis untuk hiperurisemia sekunder 100-200 mg sehari. Untuk anak 6-10 tahun 300 mg sehari dan anak dibawah 6 tahun 150 mg sehari. Efek Samping : Reaksi kulit dan obat harus dihentikan sebelum reaksi menjadi lebih berat. Allupurinol dapat meningkatkan frekuensi serangan sehingga pada awal terapi penggunaan bersama kolkisin juga diperlukan sampai kadar asam urat dalam serum mencapai normal atau berkurang hingga 6 mg/dL
1. Dinyatakan CHF bila terdapat 2 1. CHF FC II-IV kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada Gejala-gejala: saat yang bersamaan. Ronki Kriteria mayor: Edema paru akut Edema ekstremitas Paroxysmal nocturnal dispnea Sesak pada aktivitas Distensi vena-vena leher Tekanan darah tinggi Peningkatan vena jugularis Riwayat nyeri dada sebelah kiri Ronki Kardiomegali 2. TD pasien 170/100 mmHg (stage Edema paru akut II) Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif 3. Dinyatakan CKD Penurunan berat badan > 4,5 kg Gejala-gejala : dalam 5 hari terapi Kriteria minor: Edema ektremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (>120 denyut per menit) Ada riwayat hipertensi Kelainan hemopoesis berupa anemia Menderita gagal jantung Terdapat edema pulmo yang ditandai dengan suara nafas ronki.
Didiagnosis CKD grade V karena pasien terjadi kerusakan ginjal dengan GFR 8,62%, tampak edema ekstremitas dan anemia
2. Didiagnosis Hipertensi bila pasien: Stage 1 (TDS 140-159 mmHg atau TDD 90-99 mmHg). Stage 2 (TDS 160 mmHg atau TDD 100 mmHg) 3. Dinyatakan CKD apabila :
Ada penyakit yang mendasari : hipertensi, diabetes, hiperurisemi, dan batu traktus urinarius. Sindrom uremia (azotemia) Kelainan saluran cerna Penurunan visus Kelainan system kardiopulmonal. Peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
Didiagnosis CKD grade V bila pasien: Kerusakan ginjal (struktural atau fungsional) atau penurunan glomerular filtration rate (GFR) kurang dari 60 ml/menit/1,72 m2 selama 3 bulan atau lebih Terapi Farmakologis Untuk menetapkan rasional tidaknya terapi yang diberikan, harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Obat yang diberikan harus tepat indikasi sesuai dengan standar
medis/panduan klinis atau sesuai dengan penyakit yang dihadapinya. Contoh penggunaan obat tidak rasional: penggunaan antibiotik untuk diare yang non spesifik, penggunaan antibiotik untuk infeksi virus saluran nafas akut. 2. Tepat obat, obat berdasarkan efektifitasnya, keamanannya dan dosis 3. Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi dan kemungkinan efek yang tidak diinginkan, misal pasien yang mempunyai gangguan iritasi lambung tidak diberikan analgesik yang mempunyai efek samping mengiritasi lambung 4. Tepat penggunaan obat artinya pasien mendapat informasi yang relevan, penting dan jelas mengenai kondisinya dan obat yang diberikan (Aturan minum, sesudah atau sebelum makan, dll) 5. Tepat monitoring, artinya efek obat yang diketahui dan tidak diketahui dipantau dengan baik. Dengan demikian, kerasionalan dalam pemberian terapi dapat dirangkum secara keseluruhan menjadi 4T 1W + EARMU, yaitu Tepat Indikasi, Tepat Dosis, Tepat Pemakaian, Tepat Pasien dan Waspada efek samping + Efektif Aman Rasional Murah dan Mudah didapat.
1. Ringer Laktat Pada pasien ini, salah satu terapi cairan yang diberikan yaitu ringer laktat. Biasanya cairan ini diberikan sebagai cairan pengganti sesuai dengan sifatnya yang isotonis, dimana partikel yang terlarut sama dengan CIS, dapat melewati membran semi permeabel. Tonositas 275-295 mOsm/kg. Dengan tekanan onkotiknya yang rendah, cairan ini dapat dengan cepat terdistribusi ke seluruh cairan ekstraseluler. Pada pasien ini diberikan 10-12 tetes/ menit (1 tetes=0,05 ml). Berarti cairan infus akan habis dalam waktu + 14-17 jam. Penentuan kecepatan pemberian ini dilihat dari keadaan pasien. Pada saat masuk kondisi pasien dalam keadaan stabil walaupun pasien merasakan sesak dan nyeri dada. Oleh karena itu tatalaksana cairan yang diberikan Ringer laktat hanya diberikan dengan 12 tetes/menit untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batasbatas fisiologis disebabkan pasien ini sudah memiliki edema pada paru dan tungkai. Namun melihat adanya peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang menunjukkan adanya gangguan ginjal seharusnya tidak digunakan karena merupakan kontraindikasi pemakaian Larutan RL.
No 1 Teori Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok hipovolemik Kontraindikasi: hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat. kasus sebagai terapi rumatan, tetapi tetap melihat pada keadaan edema. rasional Ya tidak
Dosis: sesuai dengan penderita Efek samping: edema jaringan pada penggunaan dengan volume yang besar, biasanya pada paru-paru hiperkloremia dan asidosis metabolic
Pada pasien ini terdapat kelainan ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin. diberikan 10-12 tpm yang kondisi akan habis dalam waktu 13-17 jam
2. NaCl 0,9%
Pada pasien ini diberikan terapi cairan berupa NaCl 0,9% pada keesokan harinya setelah diperiksa oleh dokter spesialisnya. Larutan ini diberikan dalam 12 tetes/menit yang dihabiskan dalam 13 jam.
no 1 Teori Indikasi: mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi Dosis: sesuai dengan kondisi penderita Efek samping: panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau phlebitis yang meluas, dan ekstravasasi Kontraindikasi: hipernatremia, asidosis, hipokalemia kasus Pasien menggunakannya sesuai dengan indikasi rasional Ya tidak
Tidak keadaan
ditemukan
3. Lasix (Furosemid) Pada pasien ini diberikan furosemid yang merupakan golongan diuretik kuat yang menghambat reabsorbsi NaCl ansa Henle asendens. Diuretik kuat diabsorbsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus. Furosemide bekerja pada bagian luminal tubulus yang responnya
berhubungan positif dengan sekresinya di urin. Pada pasien ini didapatkan edema paru dan edema tungkai sehingga diharapkan dengan pemberian Furosemid dapat meningkatkan fungsi diuresis dari ginjal.
No 1 Teori Kasus rasional Ya tidak
Sebagai terapi cepat untuk Indikasi: mengurangi kongesti paru keadaan edema paru dan dan menurunkan tekanan edema tungkai ventrikel kiri pada CHF, sirosis hepar, sindrom nefrotik, hiperkalemia, gagal ginjal akut toksik bromida, fluorida, dan yodida. Terapi tunggal atau kombinasi untuk hipertensi ringan s/d sedang. Terapi cepat edema paru akut biasanya melalui parenteral.
Edema pada eklampsi dan kehamilan. Dosis: Parenteral: Edema dewasa: 20 40 mg IV/IM (IV diberikan perlahan 1 2 menit). Setelah 2 jam tingkatkan sebanyak 20 mg. Edema paru 40 mg IV, dapat diulang 1 jam kemudian. Dosis maksimal 80 mg. Kontraindikasi: hipersensitif sulfonamid, anuria, koma hepatica, hipokalemia, awal kehamilan, dalam terapi litium Efek samping: Gangguan GIT, hipersensitivitas, reaksi SSP, reaksi kulit, hiperglikemia, glikosuria, hiperurisemia, reaksi hematologik, vertigo, sakit kepala IO: Induksi kerja antihipertensi d-tubokurarin, Toksik aminoglikosida, sefalosporin, litium, salisilat, glikosida jantung, penurunan aktivitas diuretik jika dengan probenesid, meningkatkan hipotensi ortostatik dengan alkohol, narkotik, barbiturat, meningkatkan sensitifitas digitalis. Furosemide menurunkan metabolisme propanolol sehingga efeknya meningkat. Jika dengan NSAID menyebabkan penurunan diuretik, natriuretik dan respon antihipertensinya.
Pada pasien ini diberikan obat lain berupa NSAID. Dimana dapat menurunkan diuretik, natriuretik dan respon antihipertensinya.
Pada pasien ini diberikan Cara Pemakaian: Dapat digunakan oral dan secara parenteral parenteral
4. Spironolakton Merupakan penghambat aldosteron berupa steroida. Mulai kerjanya setelah 2-3 hari dan bertahan sampai beberapa hari setelah pengobatan. Daya
diuretisnya agak lemah, maka khusus digunakan terkombinasikan dengan diuretik lainnya. Dalam kasus ini, pasien selain diberikan Spironolakton juga diberikan Lasix (Furosemid) untuk memaksimalkan efeknya.
No 1 Teori Indikasi: Hipertensi , Edema Dosis: Tablet 25 mg, 100 mg, PO 100-200 mg/hari, untuk hipertensi dosis awal 25 mg/hari. Anak 3 mg/kg/hari. Interaksi obat: efek diuretik bila bersamaan dengan asam asetilsalisilat, bahaya hiperkalemi bersama kaptopril litium-clearence renal, Mengurangi reaksi jaringan thd noradrenalin, konsentrasi digoksin karena hambatan sekresi tubuler pada ginjal, efek carbenoxolon. Edema Kasus Rasional Ya Tidak
Terdapat obat yang akan meninbulkan interaksi. Karena pada pasien ini digunakan juga obat captopril.
Tidak terdapat Efek samping obat: Hiperkalemi (pada fungsi samping obat. ginjal terganggu), Hiponatremi, dehidrasi, hiperkalsiuri, eskresi magnesium berkurang, asidosis hiperkloremik pada sirosis hepatis, dekompensata, Libido , impoten, ginekomasti, gangguan menstruasi (efek anti androgen), Gangguan GIT, Sakit kepala, mengantuk, kebingungan, jarang : ataksia, urtikaria Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral.
efek
5. Bisoprolol
Pada pasien ini diberikan bisoprolol yaitu Anti hipertensi yg memblok adrenerguk reseptor 1 pada jaringan jantung Efek: memperlambat denyut jantung sinus dan menurunkan tek. Darah.
No 1 2 Teori Indikasi: Hipertensi dan CHF Dosis dan sediaan: Film-co tab.2,5, 5 mg Dosis: Hipertensi Dewasa Awal 5 mg/hr dapat ditingkatkan 20 mg/hr Org tua Awal 2.5-5 mg/hr dapat ditingkatkan 2,5-5 mg/hr Max. 20 mg/hr. Interaksi obat: Adenosin: bradikardi 1 adrenergik reseptor: membatasi potensi dosis pertama Amiodarone: meningkatkan efek bradikardi bisoprolol Antidiabetic: mengurangi efek hipoglikemi Barbiturat: membatasi metabolisme bisoprolol Cimetidin: meningkatkan level plasma bloker Clonidin: rebound hipertensi Cocaine: Vasokonstriksi koroner Digoxin, digitoxin: bradikardia potensiasi, perpanjangan waktu konduksi atriventricular Dypiridamol: additive bradikardi NSAID: menurunkan efek antihipertensi Efek samping obat: Frequent: Hipotensi-pusing, mual, sakit kepala, akral dingin, lemas, konstipasi atau diare Occasional: Insomnia, Flatulence, sering kencing, impotensi atau penurunan libido Jarang Rash, nyeri sendi dan otot, hilang nafsu makan. Cara Pemakaian: dapat digunakan secara oral. Kasus Pasien CHF dan hipertensi. Diberikan bisoprolol 2,5 mg 1x1 tab rasional Ya tidak
Terdapat pemakaian obat NSAID sehingga akan terjadi interaksi obat yang akan menurunkan efek dari antihipertensinya.
6. Amlodipin
Pada pasien ini diberikan obat golongan Calsium Canal Bloker. Obat ini bekerja dengan menghambat influk ca dan mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan kontraksi jantung.
No 1 Teori Indikasi: Hipertensi Chronic, angina pectoris, Renal impairement. Dosis : Dws awal 5 mg/hr single dose. Max 10 mg/hr Lansia 2,5 mg/hr Efek samping: Edema perifer, sakit kepala, flushing, palpitasi, mual, bradikardia, & hipotensi Cara Pemakaian: diberikan secara oral. Kasus Pada kasus ini adalah pasien dengan hipertensi. Rasional Ya Tidak
Diberikan amlodipin 10 mg 1x1 Terjadi edema pada kedua ekstremitas. Pada pasien ini diberikan secara oral
7. CaCO3
Formula kimia kalsium karbonat adalah CaCO3. Umumnya secara medis digunakan sebagai antasida. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan air dan tersaturasi dengan karbondioksida untuk membentuk kalsium bikarbonat. No 1 Teori Kasus Rasional Ya Tidak
Indikasi: hiperfosfatemia pada Tidak ada informasi gagal ginjal kronis, diare mengenai hiperfosfatemia, namun pasien terdiagnosa CKD stage V. Dosis : 2,5 gr/hari hingga 17 Pasien diberikan tab 3 x 1 gr/hari dengan dosis terpisah Efek samping: konstipasi, Tidak ada efek samping flatus, hiperkalsemia, alkalosis dari pemberian CaCO3 metabolik, kalsifikasi jaringan, hipersekresi gaster Cara Pemakaian: digunakan IV dan IM dapat Pada pasien ini diberikan secara IV.
8. Asam Folat
No 1
Teori Indikasi: penggunaan folat yang rasional adalah pada pencegahan dan pengobatan defisiensi folat. Dosis : 400-800 mcg/hr Efek samping: jarang terjadi dan berupa reaksi alergi, juga gangguan lambung-usus dan sukar tidur. Cara Pemakaian: Oral dan IV
Kasus Pasien tampak anemis dan kadar Hb dari pasien yaitu 8. Kurang dari nilai normal Pasien diberikan tab 3 x 1 Tidak ada efek samping yang dikeluhkan sesuai keterangan. Diberikan secara oral.
Rasional Ya Tidak
2 3
9. Nifedipin Pada pasien ini diberikan Nifedipin, sebagai agen antiangina dan
antihipertensi yang menghambat pergerakan ion kalsium melewati membran sel, menekan kontraksi jantung dan otot polos vaskuler. Efek: meningkatkan denyut jantung dan cardiac output, menurunkan resistensi vaskuler dan tekanan darah. No 1 Teori Indikasi: sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat. dan untuk mempercepat absorpsi sebaiknya dikunyah lalu ditelan. Jika diberi secara sublingual maka tidak akan mempercepat efek maksimal Dosis : 30-60 mg/hari Kasus Saat masuk, tekanan darah pasien 200/110, lalu diberikan nifedipin 10 mg secara 10 mg. Rasional Ya Tidak
2 3
Hanya diberikan sekali saat masuk IGD yaitu 10 mg. Efek samping: jarang terjadi Tidak ada efek samping dan berupa reaksi alergi, juga yang dikeluhkan sesuai gangguan lambung-usus dan keterangan. sukar tidur. Cara Pemakaian: Oral dan IV Diberikan secara oral.
10. Allopurinol
Allupurinol bekerja dengan menghambat xantin oksidase, enzim yang mengubah hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat.
Allopurinol termasuk dalam golongan NSAID yang berguna untuk mengobati penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Selain itu juga dapat digunakan untuk gangguan fungsi ginjal.
No 1
Teori Indikasi: Obat ini terutama berguna mengobati penyakit pirai kronik dengan insufisiensi ginjal atau adanya batu urat pada ginjal juga berguna mengobati penyakit pirai sekunder akibat penyakit lain seperti polisitemia vera,leukimia dan psoriasis. Dapat juga digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal. Dosis : untuk penyakit pirai ringan 200-400 mg sehari, 400600 mg untuk penyakit yang lebih berat. Untuk pasien gangguan fungsi ginjal dosis cukup 100-200 mg sehari. Dosis untuk hiperurisemia sekunder 100-200 mg sehari. Untuk anak 6-10 tahun 300 mg sehari dan anak dibawah 6 tahun 150 mg sehari. Efek samping: Reaksi kulit,
Rasional Ya Tidak
Tidak ada efek samping reaksi alergi berupa demam, yang dikeluhkan sesuai menggigil, leukositosis, dan keterangan.
pruritus.
4 Cara Pemakaian: Oral Diberikan secara oral.
j. Penggunaan Allupurinol dilihat dari Indikasi (rasional), dosis (rasional), Pemakaian (rasional), tepat pasien & keamanan atau efek samping (rasional).
2. Saran Untuk kepentingan medikolegal, salah satu hal penting yang memegang peranan penting adalah pengarsipan data rekam medis termasuk pencatatan setiap tindakan yang diberikan pada pasien, serta melaksanakan semua terapi yang dituliskan oleh dokter penganggung jawab pasien sehingga kesembuhan pasien dapat tercapai secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Author : Pradeep Arora. http://emedicine.medscape.com/article/238798overview (19 agustus 2011-08-23 MedScape Reference). 2. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi dari CMP Medica. 2009/2010. 3. Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUD Hasan Sadikin. 4. Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 5. Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo. 6. Ganiswarna, S.G., dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. 7. Siregar, P. 2007. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik. Jakarta. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 8. McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrisons. Principles of Medicine. Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462 9. Mansjoer A, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2001: 518 10. Trisnohadi, H. Hipertensi Essensial. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006: 1606-1608 11. Tjay,Tan Hoan., Rahadja, Kirana. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT alex Media computindo 12. Ganiswarna, S.G., dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI. 2007 13. Katzung B.G (Editor). Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. EGC : Jakarta. 1998. Internal
14. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. Jakarta. PT. Infomaster Lisensi dari CMP Medica. 2009/2010 15. Sweetman, S. C. 2005. Martindale The Complete Drug Reference 34th Edition. USA: Pharmaceutical Press