Case Hamil Bekas SC

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

BAB 1 REKAM MEDIS IDENTIFIKASI Nama Umur Alamat Agama Status Pekerjaan MRS ANAMNESIS Anamnesis Umum (10

Oktober 2012, pkl 15.10 WIB). Riwayat Obstetri : G3 P2 A0 No 1. 2. 3. Tempat Bersalin Dr. SpOG RSMH Hamil ini 2004 2007 Tahun Hasil Kehamilan Postterm Aterm Jenis Persalinan kelamin SC Laki-laki SC Laki-laki ANAK Berat 3200 gr 3500 gr Keadaan Baik Baik : Ny. N : 30 tahun : Jln. Pepera Lrg Rukun Jaya RT 7 RW 3 Kel 20 Ilir 3 Kec IT 1 : Islam : Menikah : Ibu rumah tangga : 10 Oktober 2012 (pkl 15.10 WIB).

Riwayat Kehamilan Lalu Preeklampsi-eklampsia/hiperemesis : (-) Perdarahan post partum Penyakit-penyakit lain Trauma : (-) : (-) : (-)

Operasi yang lalu

: Operasi SC 2 kali ( 2004 dan 2007) atas indikasi disproporsi kepala-panggul

Riwayat kehamilan sekarang Haid Banyaknya HPHT Taksiran persalinan Lama hamil Gerakan anak dirasakan Periksa hamil Riwayat Persalinan Dikirim oleh His mulai sejak tanggal Darah lendir sejak tanggal Ketuban Riwayat Perkawinan Riwayat Sosial ekonomi Riwayat gizi Anamnesis Khusus Keluhan Utama : Hamil kurang bulan dengan perdarahan pervaginam dan bekas operasi melahirkan 2 kali atas indikasi disproporsi kepala-panggul. Riwayat Perjalanan Penyakit : Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan, warna merah segar, berupa flek-flek, banyaknya 1 kali ganti celana dalam. Pasien juga mengeluh nyeri saat berkemih sejak 1 bulan yang lalu. R/ perut mulas yang menjalar kepinggang, hilang timbul (-), R/ keluar darah lendir : Sendiri :::: 1 kali; : Sedang : Sedang : Teratur, siklus 28 hari : Biasa : 15 Maret 2012 : 22 Desember 2012 : 29-30 minggu : Sejak 2 bulan yang lalu : Tidak periksa

(-), R/ keluar air-air (-). R/ trauma (-), R/ post coital (-), R/ minum obat atau jamu (-). Karena perdarahan tidak berhenti, keesokan harinya pasien meminta rujukan ke RSI Siti Khodijah untuk dirawat di RSMH. Pasien pernah dirawat di kebidanan RSMH selama 1 minggu dibangsal karena keluhan yang sama. Pasien pernah operasi melahirkan 2 kali tahun 2004 dan 2007 karena panggul sempit, os mengaku hamil kurang bulan dengan gerakan masih dirasakan. PEMERIKSAAN FISIK Status Present Keadaan umum Kesadaran Tekanan darah Nadi Frekuensi pernafasan Suhu Berat badan Tinggi badan Bentuk badan Konjungtiva palpebra Sklera Gizi Payudara hiperpigmentasi Jantung Paru-paru Hati dan lien Edema pretibial Varices Refleks fisiologis Refleks patologis Status Obstetri : Sedang : Compos mentis : 110/70 mmHg. : 88 x/mnt : 20 x/mnt : 36,5C : 62 kg : 152 cm : asthenikus : Pucat -/: Ikterik -/: Sedang : (+/+) : Gallop (-), murmur (-) : Wheezing (-), ronki (-) : Sulit dinilai : (-/-) : (-/-) : (+/+) : (-/-)

Pemeriksaan Luar: Tanggal : 10 Oktober 2012, pukul 15.10 wib Palpasi : Leopold I Leopold II : 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) : Letak memanjang, punggung kanan.

Leopold III : Terbawah kepala Leopold IV : Penurunan 5/5 His : DJJ : 158x/menit Pemeriksaan Dalam : Tanggal 10 Oktober pukul 15.10 WIB Inspekulo : Portio livide, OUE tertutup, flour (-), fluxus (+) darah tidak aktif, Erosi/Laserasi/Polip (-) Vaginal Toucher : tidak dilakukan Pemeriksaan Panggul: Tidak dilakukan PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 10 Oktober 2012 Hb Leukosit Trombosit : 8,5 gr/dl : 10900/mm3 : 365.000/mm3 Sedimen : sel epitel leukosit eritrosit silinder kristal Protein Glukosa Keton : ++ :::: pos + : 2-3 : 4-6 :-

Nitrit DIAGNOSA KERJA

:-

G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu dengan HAP e.c. susp. plasenta previa totalis dengan bekas SC 2 kali atas indikasi DKP belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala PROGNOSIS Ibu : dubia ad bonam Anak : dubia ad bonam PENATALAKSANAAN Ekspektatif MRS Bed Rest Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan Infus RL gtt xx/menit Injeksi Dexamethasone 1x 12 mg hari ke-1 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr iv Tokolitik dengan Nifedipine 4x10 mg tab. Pemeriksaan laboratoris darah rutin, urin rutin, kultur darah dan crossmatch Rencana pemeriksaan USG konfirmasi

Hasil pemeriksaan USG abdomen: Tampak janin JTH presentasi kepala, Biometri janin BPD=7,1 cm, FL= 5,5cm, AC= 24,8cm, HC= 26,1cm, ketu ban cukup, plasenta di lateral kiri meluas sampai menutupi OUI dengan pembuluh darah di depan OUI, panjang serviks 3,3 cm, vesica urinaria tampak keruh. Kesan: Hamil 28-29 minggu JTH preskep + plasenta previa parsialis + vasa previa + cystitis + panjang cervic 3,3 cm. 5

FOLLOW UP 11/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, his (-), DJJ 151 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. Diagnosis kerja : G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit o Injeksi Dexamethasone 1x 12 mg hari ke-2 o Injeksi Cefriaxone 2x1 gr o Tokolitik dengan Nifedipine 4x10 mg tab. Follow up 12/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku : Perdarahan sedikit berkurang : baik Sens : cm TD : 110/70 N : 84x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C : Hamil kurang bulan dengan perdarahan dari kemaluan dan bekas operasi melahirkan 2 kali : Sedang Sens : cm TD : 110/70 N : 84 x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C

Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, his (-), DJJ 151 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. Diagnosis kerja: G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit o Injeksi Dexamethasone 1x 12 mg ((2 hari) o Injeksi Cefriaxone 2x1 gr o Tokolitik dengan Nifedipine 4x10 mg tab. Follow up 13/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku : : baik Sens : cm Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, his (-), DJJ 151 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. TD : 110/70 N : 86x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C

Diagnosis kerja: G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Hasil laboratorium 13 Oktober 2012 Urinalisa Warna Kejernihan Sel epitel Leukosit Eritrosit Silinder Kristal Jamur Bss Protein total Albumin Globulin Natrium Kalium : Kuning : Jernih : pos + : trace (+) 50 : 0-1 ::: pos (+) : 96 mg/dl : 6,4 g/dl : 3,7 g/dl : 2,7 g/dl : 146 mmol/l : 4,0 mmol/l - SGOT - SGPT - LDH : 17 U/I : 9 U/I : 349 U/I - Protein - Keton - Darah/Hb - Bilirubin - Nitrit : pos (+) ::::-

- Urobilinogen: -

Kimia Klinik

Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit o Injeksi Dexamethasone 1x 12 mg ((2 hari) o Injeksi Cefriaxone 2x1 gr 8

Follow up 14/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku : : Sedang Sens : cm Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, his (-), DJJ 159 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. Diagnosis kerja: G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit o Konsul PDL untuk Cystitis Follow up 15/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku : : Sedang Sens : cm Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) TD : 120/70 N : 88x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,7C TD : 110/70 N : 84x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C

letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, his (-), DJJ 150 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. Diagnosis kerja: G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit Hasil konsul PDL D/ Cystitis Dyslipidemia Terapi : Amoxicilin 3 x 500 g RB dengan PDL div. Ginjal Hipertensi Kultur dan resistensi urine

Follow up 16/10/2012 (07.00 wib) Kel Status present : Ku : : Sedang Sens : cm Status obstetri : PL : tifut 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm) letak memanjang, punggung kanan, terbawah kepala, penurunan 5/5, 10 TD : 120/70 N : 88x/mnt RR : 20 x/mnt T : 36,5C

his (-), DJJ 148 x/menit, taksiran berat janin 2395 gram. Diagnosis kerja: G3 P2 A0 hamil 29-30 minggu + cystitis + vasa previa + plasenta previa partialis dengan bekas SC 2 kali a.i DKP, belum inpartu, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala Penatalaksanaan: o Ekspektatif o Observasi DJJ, his, tanda vital ibu dan tanda-tanda perdarahan o Infus RL gtt xx/menit o Amoxicilin 3x500 g o RB dengan PDL div. Ginjal hipertensi

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. SEKSIO SESAREA Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan dengan cara pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Definisi ini tidak termasuk melahirkan janin dari rongga perut pada kasus ruptura uteri atau kehamilan abdominal.1,2,3,4,5 Pada tahun-tahun terakhir ini, kelahiran seksio sesaria meningkat tajam, sebagian besar karena meluasnya pengenalan tanda dan gejala gawat janin secara dini. Salah satu alasan utama peningkatan ini adalah seksio sesaria ulangan pada bekas seksio sesaria itu sendiri. Kemungkinan sebab lain peningkatan frekuensi seksio sesaria adalah penurunan paritas pada kebanyakan wanita hamil. Hampir separuh wanita adalah nullipara. Dengan demikian dapat diperkirakan meningkatnya tindakan seksio sesaria pada keadaan-keadaan yang memang lebih sering dijumpai pada nullipara.1,2 Angka seksio sesaria di Amerika Serikat pada tahun 1984 sebesar 21%, 24,7% pada tahun 1988 dan menjadi 30% pada tahun 2000. Indikasi untuk melakukan seksio sesaria secara statistik adalah pernah seksio sesaria (36%), distosia (30%), malpresentasi (11%), gawat janin (10%). Di Inggris angka seksio sesar sebesar 13% pada tahun 1992 dan di Belanda pada tahun 1991 sebesar 7,9%, sedangkan di Australia dilaporkan 20,3% pada tahun 1995. Namun berdasarkan National Center for Health Statistic terjadi penurunan menjadi 22,7% dari 4,18 juta kelahiran hidup pada tahun 1990. Di Indonesia dari 12 rumah sakit pendidikan angka seksio sesaria jauh lebih rendah bervariasi antara 2,111,8%. Sedangkan di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tahun 1989 terdapat 11,07%.1,5,6,7

12

Mekanisme persalinan merupakan proses penyesuaian diri dari janin terhadap luasnya bagian keras jalan lahir, yang terutama ditentukan oleh bentuk dan ukuran panggul. Oleh karena itu, panggul merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah persalinan dapat berjalan dengan baik atau tidak.1,2 Ada 4 bentuk dasar panggul menurut Calwell dan Molloy, yaitu panggul ginekoid, panggul antropoid, panggul android, dan panggul plattipeloid. Selain itu, terdapat penggolongan panggul menurut Munro Kerr, yaitu abnormalitas panggul akibat gangguan pertumbuhan, deformitas panggul akibat penyakit tulang dan sendi, deformitas panggul akibat penyakit kolumna vertebralis, dan deformitas panggul akibat kelainan ektremitas inferior. Dalam obstetrik, yang penting bukan panggul sempit secara anatomi, tetapi panggul sempit secara fungsional. Hal ini berarti bahwa perbandingan antara kepala dan panggul atau disproporsi kepala panggul (DKP) merupakan salah satu indikasi untuk seksio sesaria.8,9 Secara statistik, indikasi seksio sesaria sebagian besar (36%) adalah akibat riwayat seksio sesaria, kemudian distosia (30%), malpresentasi (11%), dan gawat janin (10%). Penelitian lain menemukan kejadian seksio sesaria pada riwayat seksio sesaria bervariasi antara 36,33% (Adyana, 1966), 64,1% (Anwar dan Gandamiharja, 1996), dan 70% (Yusrizal, 1997). Tingginya angka seksio sesaria pada riwayat seksio sesaria disebabkan masih ada anggapan bahwa sekali seksio sesaria, maka persalinan berikutnya harus dengan seksio sesaria lagi. Hal ini terjadi akibat kekhawatiran akan risiko ruptura uteri, terutama pada teknik korporal, yaitu 4-14%.2,3,4,10,11,12 1.1.1. Tipe Insisi pada Seksio Sesarea 1. Insisi klasik Insisi tipe ini dilakukan di bagian segmen atas uterus dengan metode insisi longitudinal pada garis tengah fundus uteri anterior. Keuntungan utama teknik

Gambar 3.1 Insisi Klasik


Sumber: Danforth's Obstetrics and Gynecology 10th Edition

13

insisi ini adalah dapat mengeluarkan janin lebih cepat dan pembukaan yang luas. Insisi ini sering dipilih ketika jalan masuk melalui segmen bawah uterus tidak memungkinkan akibat perlengketan, obesitas atau alasan lainnya. Kerugian teknik ini adalah pendarahan yang terjadi cukup banyak, waktu untuk menutup jahitan lebih lama, dan meningkatkan resiko komplikasi setelah dilakukan seksio sesarea, seperti ruptur uteri pada kehamilan berikutnya. 2. Insisi Segmen Bawah Uterus Ciri dari insisi tipe ini adalah insisi yang dilakukan pada bagian bawah uterus setelah letak vesika urinaria dipindahkan. Insisi segmen bawah uterus ini dibagi menjadi dua teknik, yaitu insisi transversa dan insisi vertikal. Insisi yang paling dianjurkan dan paling banyak digunakan adalah insisi transversa. a. Insisi Transversa Tipe insisi ini mempunyai resiko komplikasi yang rendah dan volume pendarahan lebih sedikit serta tipe ini lebih mudah untuk dijahit dibandingkan insisi tipe klasik. Dibandingkan dengan tipe insisi klasik kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil. Ditambah lagi, tipe ini tidak mengakibatkan perlengketan usus atau omentum ke garis insisi.

Gambar 2.2 Insisi Segmen Bawah Uterus Insisi Transversal B. Insisi Vertikal
Sumber: Danforth's Obstetrics and Gynecology 10th Edition

14

b. Insisi Vertikal Insisi vertikal atau insisi Krnig dilakukan bila segmen bawah uterus sempit. Sayangnya, terdapat keterbatasan dalam insisi tipe ini. Insisi ini akan membatasi segmen bawah uterus, terutama pada kasus prematur dan malpresentasi. 3. Insisi Tipe Lain Insisi tipe lain kadang-kadang dilakukan sebagai usaha menghadapi kesulitan yang tidak diharapkan. Akan tetapi, insisi tipe ini sangat baik dihindari. Insisi bentuk J dilakukan saat dokter kandungan memulai insisi transversa segmen bawah uterus dan menemukan bahwa segmen bawah uterus sangat sempit. Insisi bentuk T dapat dilakukan untuk alasan yang sama. 1.2. Persalinan Pervaginam Setelah Seksio Sesarea

Gambar 2.3. Insisi Tipe Lain Insisi Bentuk J B. Insisi Bentuk T


Sumber: Danforth's Obstetrics and Gynecology 10th Edition

Ketika teknik seksio sesaria transperitonealis profunda (SSTP) digunakan secara luas, ketakutan terhadap risiko ruptura uteri berkurang (0,8%) sehingga American College of Obstetricians and Gynecologysts (ACOG) mengajukan kebijakan trial of labor pada bekas seksio sesaria sebagai strategi untuk mengurangi angka seksio sesaria. Selama lebih kurang 10 tahun, telah dilakukan penelitian terhadap lebih kurang 20.000 kasus bekas seksio sesaria dengan angka keberhasilan pervaginam atau vaginal

15

birth after caesarean section (VBAC) berkisar antara 75-82%, dengan angka kejadian ruptura uteri 0,2-0,8%.13,14,15 Persalinan pervaginam setelah seksio sesarea (vaginal birth after caesarean section /VBAC) merupakan persalinan persalinan pervaginam yang dilakukan terhadap pasien yang pernah mengalami seksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Keputusan untuk melakukan persalinan percobaan pada bekas seksio sesaria harus didasarkan pada indikasi atau syarat-syarat tertentu. Berikut adalah beberapa kontra indikasi persalinan percobaan pada kasus dengan dengan riwayat seksio sesaria: 1. Riwayat seksio sesaria korporal atau klasik. 2. Riwayat seksio sesaria dengan insisi T. 3. Riwayat ruptura uteri. 4. Riwayat komplikasi operasi seksio sesaria dengan laserasi serviks yang luas. 5. Riwayat operasi lain pada uterus seperti miomektomi. 6. Disproporsi kepala panggul yang jelas.14 Dalam dunia obstetrik, konsep persalinan percobaan pada kasus bekas seksio sesaria 1 kali telah diterima, tetapi pada kasus dengan riwayat seksio sesaria 2 kali masih kontroversi. Flamm melaporkan bahwa kasus dengan riwayat seksio sesaria korporal dan riwayat seksio sesaria 2 kali akan lebih baik bila dilakukan seksio sesaria elektif. Miller dkk (1994) melaporkan bahwa kejadian ruptura uteri 3 kali lebih besar pada partus percobaan dengan riwayat seksio sesaria 2 kali. Caughey dkk (1996) mendapatkan bahwa penderita dengan riwayat seksio sesaria 2 kali mempunyai risiko untuk terjadi ruptura uteri 5 kali lebih besar bila dibandingkan dengan riwayat seksio sesaria 1 kali (OR=4,8.95%CI=1,8-3,2) .13,15,16 Kemungkinan risiko ruptura uteri akan meningkat pada kasus dengan riwayat seksio sesaria 2 kali atau lebih dan kemungkinan keberhasilan persalinan pervaginam akan berkurang. Hal ini perlu dipertimbangkan

16

dalam mengambil keputusan untuk persalinan pervaginam yang gagal, jika pada saat yang sama prosedur yang lebih menguntungkan dapat dilakukan, dalam hal ini seksio sesaria. 1.2.1. Keberhasilan VBAC Angka keberhasilan VBAC bergantung pada indikasi seksio sesarea sebelumnya. Jika indikasi operasi sebelumnya karena faktor menetap seperti panggul sempit, jelas tidak boleh melakukan VBAC. Tetapi VBAC sering berhasil jika indikasi operasi sebelumnya adalah presentasi bokong,fetal distress, partus tak maju atau partus macet. Pada partus tak maju, VBAC akan mempunyaikeberhasilan lebih tinggi jika operasi sebelumnya dilakukan pada pembukaan lebih dari 5 cm.Hoskins dan Gomez (1997) menganalisis angka kejadian VBAC pada 1917 wanita dalam kaitannya dengan besar pembukaan serviks yang dicapai sebelum dilakukan seksio sesareasebelumnya atas indikasi distosia. Angka keberhasilan VBAC adalah 67% untuk yang seksiosesarea pada pembukaan servik 5 cm atau kurang, dan 73% untuk pembukaan 6-9 cm. Angka keberhasilan VBAC turun menjadi 13% apabila distosia didiagnosis pada kala dua persalinan. Untuk menentukan keberhasilan persalinan pervaginam setelah seksio sesaria (VBAC) dalam suatu penelitian observasional yang melibatkan 5022 pasien, Bruce L. Flamm, MD dan Ann M.Geiger, PhD membuat Admission Scoring System berikut:

17

18

Pembukaan

1.3. Segmen Bawah Rahim Frekuensi kejadian ruptur uterus spontan sekitar 1 dari 149 sampai dengan 1 dari 3869 persalinan. Penyebab terbanyak adalah akibat separasi skar pada luka segmen bawah rahim sebelumnya. Risiko terjadinya ruptur uterus saat partus percobaan berkisar 0,34,0 %. Separasi skar uterus meliputi dehisiensi skar asimtomatik sampai dengan ekstrusi fetal dari uterus ke dalam cavum abdomen ibu17,18. Beberapa cara dilakukan untuk mengevaluasi segmen bawah rahim setelah riwayat persalinan seksio sesaria. Histerografi skar uterus, pemeriksaan pelvis, amniografi dan rontgent pelvimetri tidak cukup berguna untuk memperkirakan risiko ruptur uterus. Beberapa hasil penelitian menduga bahwa pemeriksaan USG transabdominal dapat digunakan untuk mendeteksi defek uterus setelah persalinan seksio sesaria sebelumnya. Sampai saat ini belum ada konsensus pemeriksaan USG prenatal untuk mendeteksi terjadinya ruptur uterus. Hebisch dkk dalam penelitiannya menyeubutkan bahwa hasil sonografi transvaginal lebih akurat dibandingkan pemeriksaan MRI untuk menilai kondisi skar pada miometrium17,18,19. Keamanan persalinan vaginal pada kehamilan dengan riwayat seksio sesaria (VBAC) telah banyak diteliti. Tetapi kemungkinan terjadinya ruptur uterus sekitar 0,3-2,3%. Ruptur uterus adalah kegawatan obstetri sehingga memerlukan penanganan bedah dengan cepat. Jika terjadinya ruptur dapat diprediksi sebelumnya, maka partus percobaan pada VBAC dapat dilakukan dengan lebih aman. Pemeriksaan ketebalan segmen bawah rahim dengan sonografi pada kehamilan dengan riwayat seksio sesaria saat kehamilan aterm untuk menilai kelayakan VBAC telah dilakukan oleh 16% obstetrikus di Canada. Pada pemeriksaan dengan sonografi longitudinal segmen bawah rahim tampak sebagai dua struktur lapisan yang terdiri dari lapisan vesika urinaria dengan gambaran refeksi visceral-parietal ekogenik, meliputi lapisan muskularis dan mukosa vesika urinaria (lapisan luar) dan lapisan

19

miometrium yang relatif lebih hipoekoik. Pada akhir kehamilan selaput ketuban dan lapisan desidua endometrium tidak dapat dilihat sebagai lapisan yang terpisah dari miometrium. Pada fetus dengan presentasi vertex akan mengganggu visualisasi segmen bawah rahim dan tidak akan ada cairan amnion yang dapat dilihat. Belum ada standar untuk pengukuran segmen bawah rahim dan teknik yang digunakan untuk menilai ketebalan segmen bawah rahim17,18. Penelitian oleh Cheung dkk tahun 2004 dengan besar sample 53 orang pada kelompok riwayat seksio sesaria, 80 orang tanpa riwayat seksio sesaria (40 primigravida, 40 multigravida) menyebutkan bahwa ketebalan segmen bawah rahim saat umur kehamilan 36-38 minggu dan belum masuk persalinan pada kehamilan dengan riwayat seksio sesaria adalah 1,9 + 1,4 mm, lebih tipis bila dibanding pada primigravida 2,3+1,1 mm dan pada multigravida 3,4+2,2 mm. Kriteria eklusi diantaranya adalah kehamilan gemelli dan volume air ketuban yang abnormal karena keduanya mempengaruhi volume intrauterine yang akan mempengaruhi ketebalan uterus. Plasenta previa juga disingkirkan. Penelitian ini menyimpulkan keberhasilan VBAC pada ketebalan segmen bawah rahim 2,2+1,8(0,9-9,0) mm dan kegagalan VBAC pada ketebalan 1,9+0,9(0,6-3,2)mm. Pada kelompok riwayat seksio sesaria, defek segmen bawah rahim terdeteksi pada ketebalan < 0,9 mm17. Penelitian oleh Hera dkk, 2004 membandingkan ketebalan segmen bawah rahim kehamilan trimester 2(19-22 minggu) menggunakan USG transvaginal pada riwayat dan tanpa riwayat seksio sesaria. Besar sample sebanyak 54 orang (24 dengan riwayat seksio sesaria dan 30 sebagai control). Kriteria eklusi diantaranya gemelli, plasenta previa, volume air ketuban abnormal, serviks incompetence (panjang kurang dari 3 cm), seksio sesaria tipe klasik, anomaly uterus, mioma uteri, menolak partisipasi dan umur ibu kurang dari 18 tahun. Digunakan USG probe transvaginal dengan frekuensi tinggi (5-9 MHz). Vesika urinaria ibu dan segmen bawah rahim diidentifikasi pada irisan sagital. Ketebalan dinding uterus diukur sebanyak

20

3 kali pada tingkat bladder dome bertemu dengan segmen bawah rahim. Pada penelitian ini sebanyak 14orang (58%) pada kelompok riwayat seksio sesaria terdeteksi adanya niche (defek anekoik pada dinding anterior uterus berbentuk triangular kecil). Segmen bawah rahim secara signifikan lebih tipis pada kelompok dengan riwayat seksio sesaria (4,7+1,1 mm) dibanding pada kelompok tanpa riwayat seksio sesaria (6,6+2,0 mm). Pada kelompok dengan riwayat seksio sesaria rerata ketebalan segmen bawah rahim pada 5 wanita sama antara riwayat seksio 1 kali dan 2 kali (4,6+1,0 mm dibanding 4,7+1,4 mm). Pada kelompok kontrol ketebalan segmen bawah rahim sama pada kelompok multigravida dibandingkan nullipara (6,9+2,2mm dibanding 6,1+1,7 mm). Pada kelompok riwayat seksio sesaria ketebalan segmen bawah rahim secara signifikan lebih tipis dibandingkan pada kelompok kontrol multigravida (4,7+1,1 dibanding 6,9+2,2 mm)18. Penelitian lain oleh Michael dkk menunjukkan adanya defek dinding uterus pada pemeriksaan sonografi sebanyak 24% pada riwayat seksio sesaria dan konfirmasi saat persalinan sebanyak 92% benar-benar mengalami defek dinding uterus saat persalinan. Penelitian Chen dkk menemukan adanya defek uterus post seksio sesaria pada pemeriksaan sonografi pada 5% pada kehamilan trimester 3, pada 20% pada kurang dari 3 bulan setelah seksio sesaria dan pada 23% pada lebih dari 3 bulan setelah seksio sesaria. Penelitian oleh Rozenberg dkk dengan sample 642 gravida dengan riwayt seksio sesaria didapatkan 25 kasus ruptur uterus terjadi pada tebal segmen bawah rahim kurang dari 3,5 mm saat kehamilan trimester 3. Penelitian oleh Regnard dkk evaluasi pada 33 wanita dengan riwayat seksio sesaria dengan pemeriksaan salin sonohisterografi menemukan niche sebanyak 60%17,18 . Penelitian lain oleh Akihito dkk, tahun 2000 yang memprediksi dehisiensi segmen bawah rahim dengan mengukur ketebalan segmen bawah rahim saat onset persalinan dengan riwayat seksio sesaria menyimpulkan bahwa pada ketebalan segmen bawah rahim lebih dari 1,6 mm risiko terjadinya dehisiensi intrapartum sangat kecil (1,3%). Pada kelompok

21

dehisiensi ketebalan segmen bawah rahim 1,7+0,7 mm dan tanpa dehisiensi 2,6+0,8 mm19,20. Penelitian oleh Gideo Hotoh dkk tahun 2000 menyebutkan penipisan segmen bawah rahim pada pemeriksaan USG transvaginal serial pada 374 kehamilan tanpa riwayat seksio sesaria dan 348 kehamilan dengan riwayat seksio sesaria dari umur kehamilan 19 39 minggu. Segmen bawah rahim menipis dari 6,7+2,4 mm pada umur kehamilan 19 minggu menjadi 3,0+0,7 mm pada umur kehamilan 39 minggu pada kelompok tanpa riwayat seksio sesaria. Semua sample memiliki ketebalan uterus lebih dari 2,0 mm. Pada kelompok riwayat seksio sesaria menipis dari 6,8+2,3 mm saat umur kehamilan 19 minggu menjadi 2,1+0,7 mm pada umur kehamilan 39 minggu. Penipisan pada kedua kelompok tidak berbeda pada umur kehamilan 19-26 minggu. Penipisan segmen bawah rahim secara bermakna terjadi setelah umur kehamilan 27 minggu dan setiap minggu setelah umur kehamilan 29 minggu. 11 dari 12 wanita (91%) dengan ketebalan segmen bawah rahim kurang dari kontrol rerata 1 SD pada trimester 2 akhir memiliki ketebalan segmen bawah rahim yang sangat tipis sehingga durante reseksio terbukti terjadi ruptur uterus inkomplet. Pada 17 dari 23 wanita(74%) dengan ketebalan segmen bawah rahim kurang dari 2,0 mm pada waktu kurang dari 1 minggu dari waktu seksio sesaria elektif yang direncanakan terjadi ruptur uterus inkomplet intrapartum20. Pada tahun 1988 ACOG merekomendasikan seleksi ketat pada pasien yang direncanakan VBAC dengan riwayat seksio sesaria 1 kali. Dehisiensi uterus terjadi pada 0,4-4,6% VBAC selama partus percobaan. Dehisiensi uterus dapat terjadi saat onset persalinan dan merupakan kondisi yang berisiko tinggi untuk terjadinya ruptur uterus. Karenanya pengukuran segmen bawah rahim saat awal persalinan dapat mengidentifikasi dehisiensi uterus. Ketebalan segmen bawah rahim pada kasus dengan dehisiensi uterus saat persalinan secara signifikan lebih tipis dibanding pada uterus tanpa dehisiensi. Penipisan segmen bawah rahim sebagai konsekuensi meregangnya segmen bawah rahim karena bertambah besarnya kehamilan

22

dan peregangan ini tidak dapat terjadi pada jaringan skar. Jaringan skar bersifat rigid dan tidak dapat meregang. Turunnya kepala juga dapat menyebabkan peregangan segmen bawah rahim yang pada akhirnya menipiskan segmen bawah rahim. Gangguan penyembuhan luka skar di segmen bawah rahim juga mengakibatkan penipisan ekstrem selama kehamilan berikutnya. Karenanya kualitas dan integritas segmen bawah rahim dapat dievaluasi dengan mengukur ketebalan segmen bawah rahim. Terdapat perbedaan berarti pada pengukuran dengan menggunakan probe sonografi abdominal dan transvaginal17,18,19. Pada sonografi abdominal cut off menurut penelitian Rozenberg dkk adalah 3,5 mm dengan sensitivitas 88,0% dan spesifisitas 73,2%. Pada sonografi transvaginal menurut penelitian Akihito dkk, cut off setebal 1,6 mm dengan sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 88,6%. Berarti ada faktor lainnya juga berpengaruh terhadap terjadinya ruptur uterus pada VBAC. Pada penelitian Hideo Gotoh dkk, jika ketebalan segmen bawah rahim yang diketahui melalui sonografi transvaginal kurang dari 2 mm dalam minggu persalinan, berarti telah terjadi rupture uterus inkomplet dengan positive dan negative predictive values adalah 73,9% dan 100%. Karenanya penipisan dari standar kontrolnya pada trimester kedua dapat memprediksi perkembangan dari ruptur uteri inkomplet saat persalinan. Dengan positive dan negative predictive value 91,7% dan 100%. Predictive values saat kehamilan aterm lebih rendah dibandngkan pemeriksaan saat trimester dua. Pengukuran serial segmen bawah rahim dengan sonografi transvaginal selama trimester dua dapat memprediksi rupture uterus saat kehamilan aterm17,18,19,20. Tetapi laporan kasus terakhir dari Cheung dkk pada bulan Juli 2007 melaporkan seorang G7P5A1 dengan dengan riwayat seksio sesaria pada kehamilan kelima 22 bulan yang lalu atas indikasi CPD dengan hasil pemeriksaan sonografi pada umur kehamilan 37 minggu dengan ketebalan segmen bawah rahim 1,6 mm transabdominal dan 2,8 mm transvaginal. Kemudian direncanakan VBAC. Pada fase aktif (pembukaan 7 cm) serviks

23

udem dan pada CST terjadi peningkatan FHR baseline. Kemudian diputuskan dilakukan seksio sesaria dan ditemukan rupture uterus dengan perluasan rupture pada luka skar lama meluas sampai dekat ureter sinistra. Bayi lahir 3945 gram apgar score 9/9 Menurut berbagai penelitian diatas terbukti bahwa ketebalan segmen bawah rahim pada kehamilan dengan riwayat seksio sesaria lebih tipis sejak terbentuknya segmen bawah rahim sampai dengan aterm dibandingkan pada kehamilan tanpa riwayat seksio sesaria.(Hera dkk, Cheung dkk, Akihito dkk, Hideo dkk). Meskipun pengukuran ketebalan segmen bawah rahim dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya rupture uterus tetapi tetapi belum ada konsensus yang menggunakannya sebagai manajemen VBAC. 1.4. Plasenta Previa Plasenta previa merupakan salah satu penyebab perdarahan ante partum yang terjadi pada kehamilan lanjut (pada trimester III), selain dari solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.21 1.4. 1 Definisi Plasenta previa adalah implantasi plasenta pada segmen bawah rahim (SBR) yang menutupi sebagian atau seluruh bagian orifisium uteri internum (OUI).22 Dari pengertian ini didapat dua hal yaitu : implantasi plasenta letak rendah implantasi plasenta sepanjang atau didepan orificium uteri internum21

1.4. 2 Tipe Plasenta Previa21 Ada 4 tipe plasenta previa yaitu : 1. tipe 1 : plasenta letak rendah pinggir plasenta berimplantasi di segmen bawah rahim 2. tipe 2 : plasenta previa marginal plasenta mencapai OUI tetapi tidak menutup OUI 3. tipe 3 : plasenta previa parsial

24

plasenta menutupi sebagian OUI atau plasenta tidak menutupi OUI seluruhnya ketika berdilatasi 4. tipe 4 : plasenta previa totalis plasenta menutupi seluruh OUI ketika berdilatasi penuh Klasifikasi plasenta previa ini didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu. Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik, maka klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Plasenta previa totalis pada pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan 8 cm. Tentu saja observasi seperti ini tidak akan terjadi dengan penanganan yang baik.21 1.4. 3 Epidemiologi Insidens plasenta previa sekitar 1 dari 500 kelahiran hidup dan yang terjadi pada trimester II (16-20 minggu) sekitar 5%. Sekitar 90% kejadian plasenta previa ini ditindaklanjuti dengan terminasi per abdominam.21 Berdasarkan data kelahiran di Amerika Serikat pada tahun 2001, kejadian plasenta previa adalah 1 dari 305 persalinan (Martin and co workers, 2002). Sekitar 93.000 persalinan di Nova Scotia, Crane dkk (1999) menemukan insidens 0,33 % (1 dari 300). Di Parkland Hospital, insidennya adalah 0,26 % (1 dari 390) untuk lebih dari 169.000 persalinan selama 12 tahun terakhir.23 1.4. 4 Etiologi 21 Penyebab pasti plasenta previa masih belum bisa dipastikan. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa kondisi berikut berkaitan dengan terjadinya plasenta previa : adanya jaringan parut pada endometrium (uterus) plasenta yang besar seperti pada kehamilan kembar (gemelli) bentuk uterus yang abnormal pembentukan plasenta yang abnormal

1.4. 5 Patofisiologi

25

Normalnya plasenta berimplantasi di fundus uteri dan aliran darah di fundus lebih baik dari segmen bawah uterus. Adanya implantasi abnormal dapat diakibatkan jaringan parut / skar pada uterus dan kerusakan pada uterus. 22 Vaskularisasi yang berkurang atau perubahan atropi pada desidua akibat persalinan yang lampau dapat menyebabkan plasenta previa, dimana plasenta yang letaknya normal akan memperluas permukaannya sehingga mendekati atau menutupi sama sekali pembukaan jalan lahir.21

1.4. 6 Faktor Risiko 21 1. Riwayat operasi seksio sesaria sebelumnya (dihubungkan dengan kejadian plasenta akreta) 2. paritas yang tinggi (multiparitas) 3. usia ibu tua 4. kehamilan kembar (gemelli) 5. merokok (penggunaan tembakau) 6. tindakan instrumentasi pada uterus 1.4. 7 Gejala21 perdarahan bercak pada timester pertama dan kedua perdarahan pervaginam pada usia kehamilan 27-32 minggu tanpa disertai nyeri (Sentinel bleed), dengan warna darah merah terang, jumlahnya bervariasi dari perdarahan sedikit sampai banyak. Hal ini dapat dipicu akibat hubungan seksual atau kontraksi uterus. Abdomen lemas, tidak nyeri tekan

1.4. 8 Screening dan Diagnosis 21,22 Pada setiap perdarahan ante partum, pertama kali harus dicurigai bahwa penyebabnya adalah plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.

26

Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu berlangsung tanpa nyeri, tanpa penyebab, terutama pada multigravida. Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis melainkan dari pemeriksaan hematokrit. Bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul. Apabila presentasi kepala, biasanya kepala masih terapung di atas pintu atas panggul atau mengolak ke samping dan sulit didorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang tedapat kelainan letak janin seperti letak lintang atau letak sungsang. Pemeriksaan inspekulo bertujuan untuk mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma poliposis servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai. Penentuan letak plasenta secara tidak langsung dapat dilakukan dengan radiografi, radioisotop, dan ultrasonografi. Adanya plasenta previa dapat dideteksi melalui USG selama kunjungan Ante Natal Care atau setelah tejadinya perdarahan pervaginam.21 Dengan pemeriksaan ultrasonografi rutin (USG) keadaan plasenta letak rendah atau plasenta previa dapat diketahui. Umumnya plasenta previa ini akan terdiagnosis jika sudah terjadi perdarahan per vaginam. Dokter dapat mengkonfirmasi melalui pemeriksaan abdominal ultrasonografi dan transvaginal ultrasonografi. Pemeriksaan tambahan lain dapat dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi sehingga cukup aman bagi janin.2 Penentuan letak plasenta secara langsung Pemeriksaannya adalah secara langsung meraba plasenta melalui kanalis servikalis. Namun pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perdarahan banyak. Oleh karenanya pemeriksaan ini dilakukan apabila penanganan pasif ditinggalkan dan ditempuh penanganan aktif. Pemeriksaannya harus dilakukan dalam keadaan siap operasi. Pemeriksaan Dalam di Meja Operasi (PDMO) yaitu : Perabaan fornises. Pemeriksaan ini hanya bermakna bila janin dalam presentasi kepala. Sambil mendorong sedikit kepala janin ke arah

27

pintu atas panggul, perlahan-lahan seluruh fornises diraba dengan jari. Perabaannya terasa lunak apabila antara jari dan kepala janin terdapat plasenta, dan akan terasa padat / keras bila diantara jari dan kepala janin tidak terdapat plasenta. - Pemeriksaan melalui kanalis servikalis. Apabila kanalis servikalis telah terbuka, perlahan-lahan jari telunjuk dimasukkan ke dalam kanalis servikalis, dengan tujuan meraba kotiledon plasenta. 1.4. 8 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan tergantung dari jumlah perdarahan uterus abnormal, apakah janin sudah viabel atau belum untuk hidup diluar uterus, besarnya plasenta yang menutupi serviks, posisi janin di dalam rahim, dan paritas.21 Pada kehamilan awal, transfusi dapat diberikan untuk menggantikan kehilangan darah ibu. Obat-obatan dapat diberikan untuk mencegah persalinan yang pre term, dan memperpanjang masa kehamilan sampai mencapai 36 minggu. Tindakan operatif (seksio sesaria) merupakan penatalaksanaan pada kasus plasenta previa ini karena dapat mengurangi risiko kematian ibu dan bayi. Berdasarkan usia kehamilan, ada dua tindakan yang dilakukan yaitu : 1. Tindakan Ekspektatif 21 Tujuan : agar janin tidak lahir prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non invasif. Syarat terapi ekspektatif : kehamilan pre term dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti belum ada tanda inpartu keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal) janin masih hidup Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotika profilaksis Pemeriksaan USG untuk menentukan implantasi plasenta, usia kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin. 28

Perbaiki anemia dengan pemberian Sulfas ferosus atau Ferous fumarat per oral 60 mg selama 1 bulan. Pastikan tesedianya sarana untuk melakukan transfusi Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih lama, pasien dapat dirawat jalan (kecuali rumah pasien di luar kota atau diperlukan waktu > 2 jam untuk mencapai rumah sakit) dengan pesan segera kembali ke rumah sakit jika terjadi perdarahan. Jika perdarahan berulang, pertimbangkan manfaat dan risiko ibu dan janin untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut dibandingkan dengan terminasi kehamilan. 2. Tindakan Aktif 21 Rencanakan terminasi kehamilan jika : - janin matur - janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali) - pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa memandang maturitas janin. Jika terdapat plasenta letak rendah dan perdarahan yang terjadi sangat sedikit, persalinan per vaginam masih mungkin dilaksanakan. Jika tidak, tindakan melahirkan dengan seksio sesaria. Pemilihan cara persalinan tergantung dari derajat plasenta previa, paritas, dan banyaknya perdarahan. Persalinan per vaginam dapat dilakukan pada multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm yang dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput ketuban. Persalinan per vaginam bertujuan agar bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Apabila pemecahan selaput ketuban tidak berhasil, dapat dilakukan cara lain dengan pemasangan cunam Willett dan versi Braxton Hicks.21

29

Jika persalinan dengan seksio sesaria dan terjadi perdarahan dari tempat plasenta : - jahit tempat perdarahan pasang infus oksitosin 10 IU dalam 500 ml cairan intravena (NaCl atau RL) dengan kecepatan 60 tetes per menit Jika perdarahan terjadi pasca persalinan, segera lakukan

penanganan yang sesuai (ligasi arteri atau histerektomi) 1.4. 9 Prognosis 21 Dengan penanganan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa rendah sekali, atau tidak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun 1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama.

30

BAB III ANALISIS KASUS Ny.N, 30 tahun, G3P2A0 hamil 29-30 minggu dengan perdarahan pervaginam dan bekas operasi melahirkan 2 kali atas indikasi disproporsi kepala panggul. Dari anamnesis diketahui sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh keluar darah dari kemaluan, warna merah segar, berupa bercak, banyaknya kurang lebih 1 kali ganti celana dalam. Riwayat perut mulas yang menjalar ke pinggang yang hilang timbul tidak ada, riwayat keluar darah bercampur lendir tidak ada, riwayat keluar air-air tidak ada, riwayat trauma tidak ada, riwayat post coital tidak ada, riwayat minum jamu atau obat-obatan tidak ada. Saat usia kehamilan 24 minggu, pasien pernah dirawat di kebidanan RSMH selama 5 hari karena keluhan yang sama. Saat itu pasien ditransfusi darah sebanyak 1 kantong. Pasien pernah operasi melahirkan 2 kali pada 2004 dan 2007 karena panggul sempit, pasien mengaku hamil kurang bulan dengan gerakan janin masih dirasakan. Jaringan parut pasca operasi merupakan faktor risiko terjadinya implantasi plasenta secara abnormal, seperti plasenta previa. Plasenta previa terjadi karena vaskularisasi endometrium abnormal yang terkait dengan atrofi dan scaring akibat trauma atau inflamasi. Hal ini menyebabkan implantansi embrio pada segmen bawah rahim. Dari pemeriksaan obsterti didapatkan pemeriksaan luar: Palpasi leopold 1: 1/2 pusat- proccesus xiphoideus (22 cm), Leopold II : Letak memanjang, punggung kanan.,Leopold III : Terbawah kepala, Leopold IV : Penurunan 5/5, His : -, DJJ : 158x/menit. Inspekulo : Portio livide, OUE tertutup, flour (-), fluxus (+) darah tidak aktif, Erosi/Laserasi/Polip (-) Pasien juga mengalami perdarahan serupa pada usia kehamilan 24 minggu, hal ini sesuai dengan gejala-gejala plasenta previa yaitu perdarahan bercak pada trimester pertama dan kedua kehamilan, perdarahan pervaginam pada usia kehamilan 27-32 minggu tanpa disertai nyeri dengan warna darah merah terang, jumlahnya bervariasi dari perdarahan sedikit sampai banyak. Perdarahan ini dapat dipicu akibat hubungan seksual atau kontraksi uterus.

31

Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil Hb 8,5 gr/dl, leukosit 10900/mm3 trombosit 365000/mm3. Urinalisa sedimen: sel epitel +, leukosit 2-3, eritrosit 4-6, kristal++, tidak ada silinder, protein, glukosa, keton, dan nitrit. Pasien ditatalaksana dengan penatalaksanaan perdarahan, MRS, observasi djj dan tanda vital ibu, serta tanda perdarahan. Nifedipin tab 4x1, ivfd RL, injeksi dexamethasone 1x12 mg, injeksi ceftriaxone 2x1 gr, serta dilakukan pemeriksaan tambahan dan penunjang seperti USG untuk konfirmasi.

32

DAFTAR PUSTAKA 1. Supono. Ilmu kebidanan bagian fisologis. Edisi ke-1. Palembang: Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP/FK Unsri, 1982; 110-125 2. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF. Williams obstetrics. 20th ed. Conecticut: Prentice Hall International Inc, 1993; 509-531, 435-443, 664-665 3. Plauce WC, Morrison JC, OSullivan MJ. Surgical obstetrics. Philadelphia: WB Saunders Company, 1992; 405-429 4. Dickinson JE. Cesarean section. In: James DK, Steer PJ, Weiner CP et al. High risk pregnancy management options. Second edition . London: WB Saunders Company Ltd, 2000; 1217-1229 5. Husodo I. Pembedahan dengan laparotomi. Dalam: Wiknjosastro H. Saifudin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo, 1997; 863-875 6. Jones RO, Nagashima AW, Harnett-Goodman MM et al. Ruptur of low transverse cesarean scars during trial of labor. Obstet Gynecol 1991; 71: 815-817 7. Pangemanan WT dkk. Kecenderungan seksio sesar di RSUP Palembang (1987-1989). KOGI VIII Palembang, 1990 8. Abadi A. Distosia karena kelainan panggul. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997:637-648 9. Syamsuddin KA. Distosia. Palembang: Laboratorium/UPF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Unsri/RSUP, 1981:68-76 10. Adyana IB, Dewata L. Persalinan pada bekas seksio sesar di RSUP dr. Sutoma tahun 1989-1993. Maj Obstet Ginekol 1996;20:5-6 11. Anwar R, Gandamihardja S. Tinjauan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesar di RS Hasan Sadikin Bandung selama 5 tahun (1991-1995) . Kumpulan Makalah KOGI X Padang, 1996:34-54 12. Yusrizal F, Qadar R, Alfin M, Syamsuddin K.A, Mahyuddin. Aplikasi partograf WHO pada persalinan bekas seksio sesar selama 3 tahun (19941996) di RSUP Palembang. Makalah Lengkap POGI Cabang Palembang PITX Ujung Pandang, 1997: 68-79 13. Caughey AB, Ship TD, Repke JT, Zelop CM, Cohen AC, Lieberman E. Rate of uterine rupture during a trial labor in woman with one or two prior cesarian deliveries. Am J Obstet Gynecol 1999;181:872-876 14. Martin ME. Vaginal birth after cesarean delivery . Clin Perinatal 1996;23:141153 15. Miller DA, Diaz FG, Paul RH. Vaginal birth after cesarean: a 10 years experience. Obste Gynecol 1994;84:255-258 33

16. Flamm BL. Vaginal birth after cesarean reducing medical and legal risk . Clin Obstet Gynecol 2001;44:622-629 17. Cheung VYT, Constantinescu OC, Ahluwalia BS, 2004. Sonographic evaluation of the lower uterine segment in patients with previous cesarean delivery. J Ultrasound Med 2004;23:1441-7 18. Sambaziotis H, Conway C, Figueroa R, Elimian A, Garry D. Second trimester sonographic comparison of the lower uterine segment in pregnant women with and without a previous cesarean delivery. J Ultrasound Med 2004;23:907-11 19. Asakura H, Nakai A, Ishikawa G, Suzuki S, Araki T. Prediction of uterine dehiscence by measuring lower uterine segment thickness prior to onset of labor. Evaluation by transvaginal ultrasonography. J Nippon Med Sch 2000.p 352-6. 20. Gotoh H, Masuzaki H, Yoshida A, Yoshimura S, Miyamura T. Ishimaru T. Predicting incomplete uterine rupture with vaginal sonography during the late second trimester in women with prior cesarean. Department of Obstetrics and Gynecology, Nagasaki UniversitySchool of Medicine, Nagasaki, Japan.p 5969. 21. Anonymous. 1998. Premature Rupture of Membranes. No. 1. American College of Obstetricians and Gynecologists Practice Bulletin: USA. (http:/medical-library/journals/e_publish/secure/log.html, diakses 21 Oktober 2012). 22. Anonymous. 2004. Premature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Premature Rupture of Membranes (PPROM). University of Virginia: USA. (http://www.healthsystem.virginia.edu/uvahealth/peds_hrpregnant/online.cfm, diakses 21 Oktober 2012).

34

Anda mungkin juga menyukai