Responsi Interna SINDROM NEFROTIK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

0

LAPORAN KASUS
SINDROM NEFROTIK












Oleh :
ARRUM CHYNTIA YULIYANTI
H1A 010 024


Pembimbing:
dr. Lalu Ahmadi, Sp.PD



DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA
BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014



1

BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jurang Jaler, Praya
Suku : Sasak
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Petani
MRS : 22 April 2014
Waktu Pemeriksaan : 24 April 2014
Cara datang : datang sendiri

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : bengkak seluruh badan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan bengkak seluruh badan terutama pada wajah, tangan,
kaki, perut, dan kemaluan. Bengkak dirasakan os sejak sekitar 1 bulan sebelum MRS.
Bengkak timbulnya mendadak dan awalnya ringan, dirasakan pertama kali timbul pada
wajah, pada kaki dan perut. Bengkak dirasakan terus-menerus dan semakin memberat
terutama sejak 1 minggu terakhir. Bengkak terasa nyeri (-), nyeri persendian (-). Os
mengaku tidak mual dan muntah. Os mengatakan masih dapat berjalan sejak MRS. Os juga
mengeluh rasa tidak nyaman pada daerah perut sejak 1 bulan terakhir. Nyeri pinggang dalam
3 bulan terkahir disangkal. Pusing (-), sakit kepala (-), Sakit tenggorokan (-), nyeri menelan
sebelum bengkak (-), demam (-), sesak saat aktivitas (-) juga disangkal oleh pasien. Keluhan
sesak napas dan nyeri dada disangkal oleh pasien. Os mengaku lemas sejak sekitar 1 minggu
sebelum MRS dan nafsu makannya sedikit menurun sebelum MRS. Pasien mengaku BAK
frekuensi 3-4x/hari, warna kuning jernih, sedikit berbuih, jumlah sekitar satu gelas belimbing
tiap kali BAK. Nyeri saat BAK (-). Riwayat kencing batu disangkal. BAB (+), warna
kecoklatan, darah (-), konsistensi keras, frekuensi 2 kali seminggu, Nyeri saat BAB (-), kentut
(+).
2


c. Riwayat Penyakit Dahulu:
7 bulan yang lalu pasien mengaku pernah didiagnosis oleh dokter dengan penyakit ginjal
(+) yaitu radang ginjal. Pasien juga datang dengan gejala bengkak pada badan yang
serupa dengan keluhan saat ini. Pasien pernah dirawat di RS selama 28 hari dan bengkak
hilang.
Pada tanggal 17 februari 2014 os pernah MRS di RSUP NTB dengan diagnosis utama
sirosis hepatis dan diagnosis komplikasi yaitu sindrom hepatorenal. Pasien boleh pulang
dari RS pada tanggal 7 Maret 2014.
Riwayat penyakit DM, Hipertensi, Asma, penyakit jantung, Sakit kuning, Wasir, batu
ginjal disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga:
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarganya yang mengalami keluhan seperti pasien.
Riwayat penyakit DM, Hipertensi, Asma, penyakit jantung, penyakit ginjal dalam
keluarga disangkal oleh pasien.

e. Riwayat Pengobatan:
Os mengaku tidak pernah mengkonsumsi jamu-jamuan. Sebelum MRS os tidak pernah
meminum obat-obatan untuk mengobati keluhan bengkaknya.

f. Riwayat Pribadi dan Sosial:
Pasien adalah seorang petani. Pasien menyangkal kebiasaan merokok, minum alkohol
dan kopi. Riwayat mengkonsumsi makanan yang di luar kebiasaan pasien ataupun makanan
siap saji disangkal. Pasien mengaku belum pernah mendapat imunisasi apapun sejak kecil.

g. Riwayat alergi
Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat alergi makanan disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK (24/4/2014)
Status generalis:
Keadaan umum : sedang
Kesan sakit : sedang
Kesadaran : compos mentis / E4V5M6
Status gizi : baik
3

Berat Badan : 76 kg
Tinggi badan : 163 cm
Vital sign
Tekanan darah : 150/110 mmHg
Nadi : 88 x / menit, regular, kuat angkat
Pernapasan : 20 x / menit, regular, torakoabdominal
Suhu : 36,5 C

Status Lokalis:
Kepala :
- Ekspresi wajah : normal
- Bentuk dan ukuran : bulat dan normal
- Rambut : sebaran rambut rata, kebotakan (-)
- Edema wajah (+)
- Malar rash (-)
- Parese N VII (-)
- Hiperpigmentasi (-)
- Nyeri tekan kepala (-)

Mata :
- Bentuk : normal, simetris
- Alis : normal
- Bola mata: exopthalmus (-/-), anopthalmus (-/-), nystagmus (-/-), strabismus (-/-)
- Palpebra: edema (-/-), ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
- Sklera : ikterus (-/-), perdarahan (-), hiperemia (-/-), pterigium (-/-)
- Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya (+/+)
- Kornea : normal
- Lensa: jernih, katarak (-/-)
- Pergerakan bola mata : normal ke segala arah

Telinga :
- Bentuk : normal, simetris kiri dan kanan
- Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-)
4

- Nyeri tekan tragus : (-/-)
- Pendengaran : kesan normal
Hidung :
- Bentuk: simetris, deviasi septum (-)
- Napas cuping hidung (-)
- Perdarahan (-/-), sekret (-/-)
- Daya penciuman : kesan normal

Mulut :
- Bentuk : simetris
- Bibir : sianosis (-), edema (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-)
- Gusi : hiperemia (-), edema (-), perdarahan (-), benjolan (-)
- Gigi : karang gigi (+), caries (+)
- Mukosa : pucat (+), lesi (-), kotor (-)
- Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di pinggir (-),
tremor (-), lidah kotor (-), pseudomembran (-)
- Faring : hiperemia (-)

Leher :
- Kaku kuduk (-)
- Scrofuloderma (-)
- Pembesaran KGB (-)
- Trakea: deviasi (-)
- JVP: tidak meningkat
- otot sternocleidomastoideus: aktif (-), hipertrofi (-)
- Pembesaran tiroid (-)

Thorax :
Pulmo :
Inspeksi :
- Bentuk: simetris
- Ukuran: normal, barrel chest (-)
- Pergerakan dinding dada : simetris
5

- Permukaan kulit : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), sikatrik (-)
- Iga dan sela antar iga: Pelebaran ICS (-), retraksi (-)
- Penggunaan otot bantu napas: sternocleidomastoideus (-), otot intercostalis
interna dan eksterna (-)
- Fossa supraclavicula, fossa infraclavicula dan fossa jugularis normal
- Tipe pernapasan torakoabdominal, reguler
Palpasi :
- Trakea : di tengah
- Permukaan dada: thrill (-), nyeri tekan (-), massa (-), edema (-), krepitasi (-),
suhu normal
- Pergerakan dinding dada simetris
- Fremitus raba simetris D/S
- Nyeri tekan (-)
Perkusi :
- Sonor +/+ di lapang paru superior dan media dekstra dan sinistra.
- Redup pada lapang paru inferior dekstra dan sinistra
- Batas paru-hepar : inspirasi ICS 5 MCL dekstra -> ekskursi 2 ICS
Auskultasi :
- Suara napas vesikuler melemah di lapang paru kiri bawah
- Suara tambahan rhonki +/+ pada lapang paru inferior dekstra dan sinistra
- Suara tambahan wheezing -/-
- Suara gesek pleura ()
Cor :
- Inspeksi: Iktus cordis tidak tampak
- Palpasi: Iktus cordis teraba ICS 5 linea midklavikula sinistra
- Perkusi: - batas kanan jantung : ICS 4 linea parasternal dextra
- batas kiri jantung : ICS 5 linea midklavikula sinistra
- Auskultasi : S
1
S
2
tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : masuk ke dalam
6

- Permukaan Kulit : mengkilat (+), sikatrik (-), venektasi (-), sianosis (-), vena kolateral
(-), caput meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) 6 x/menit normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Perkusi :
- redup (+) pada seluruh lapang abdomen
- undulasi (+)
- Nyeri ketok CVA: -/-
Palpasi :
- Turgor : sde
- Tonus : sde
- Massa : (-)
- Nyeri tekan (-)
- Hepar / Lien / renal tidak teraba.

Extremitas :
Ekstremitas atas :
- Akral hangat : +/+
- Akral pucat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema: +/+ pitting
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
Ekstremitas bawah:
- Akral hangat : +/+
- Akral pucat : +/+
- Deformitas : -/-
- Sendi : dalam batas normal
- Edema: +/+ pitting
- Sianosis : -/-
- Clubbing finger: -/-
7


Genitalia:
edema scrotum (+), penis tampak masuk.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :
Parameter 22/4/2014 Normal
HGB 7,1 L : 13,0-18,0 g/dL
RBC 2,81 L : 4,5 5,5 [10^6/L]
WBC 7,68 4,0 11,0 [10^3/ L]
HCT 22,1 L : 40-50 [%]
MCV 78,6 82,0 92,0 [fL]
MCH 25,3 27,0-31,0 [pg]
MCHC 32,1 32,0-37,0 [g/dL]
PLT 570 150-400 [10^3/ L]

b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik
Parameter 22/4/2014 Normal
GDS 82 <160
ureum 47 10-50
kreatinin 3,2 0,9-1,3
SGOT 9 <40
SGPT 8 <41

c. Hasil Pemeriksaan Elektrolit
Parameter 22/4/2014 Normal
Na 136 mmol/L 135-146
K 5 mmol/L 3,4-5,4
Cl 117 mmol/L 95-108

d. Hasil Pemeriksaan profil lipid dan protein
Parameter 22/4/2014 Normal
cholesterol 436 <200 mg%
TG 280 <200 mg%
HDL 28 >45 mg%
LDL 315 <130 mg%
Albumin 2,6 3,5-5,0 g/dl





8




e. EKG tanggal 22/4/2014:

Interpretasi: normal
f. Foto thorax tanggal 22/4/2014:
9


Interpretasi : efusi pleura minimal pulmo dekstra dan sinistra
V. RESUME

Tn.S 26 tahun datang dengan edema anasarka sejak 1 bulan sebelum MRS. Edema terus-
menerus dan semakin memberat terutama sejak 1 minggu terakhir. Dispneu (-), nyeri dada
(-). Lemas (+), urin sedikit berbuih (+) sejak sekitar 1 minggu sebelum MRS dan nafsu
makannya menurun sebelum MRS. Riwayat penyakit ginjal (+).
Dari pemeriksaan fisik ditemukan Edema wajah (+), Konjungtiva : anemis (+/+), karang
gigi (+), caries (+), mukosa mulut pucat (+), Redup pada lapang paru inferior dekstra dan
sinistra, Suara napas vesikuler melemah di lapang paru kiri bawah, Suara tambahan rhonki
+/+ pada lapang paru inferior dekstra dan sinistra, abdomen : distensi (+): mengkilat
(+),redup (+) pada seluruh lapang abdomen, undulasi (+). Pada ekstremitas atas dan bawah
Akral pucat : +/+ Edema: +/+ pitting. Pada genitalia edema scrotum (+), penis tampak masuk.
TD 150/110 mmHg, Nadi 88 x / menit regular, RR 20 x / menit regular, Suhu 36,5 C.
Dari pemeriksaan penunjang HGB 7,1, RBC 2,81, HCT 22,1, MCV78,6, MCH 25,3,
MCHC 32,1, PLT 570, cholesterol 436, TG 280, HDL 28, LDL 315, Albumin 2,6, kreatinin
3,2. Interpretasi EKG normal, rontgen thorax efusi pleura minimal.

VI. DIAGNOSIS
10

Edema anasarka e.c. Sindrom nefrotik

VII. DIAGNOSIS BANDING
Penyakit ginjal kronis
GNAPS
Sirosis hepatis
Penyakit autoimun

VIII. RENCANA TERAPI
- metilprednisolon iv 125 mg/8 jam selama 14 hari
- Furosemide (1 mg/kg/hari)
- valsartan 80 mg iv 1 amp/24 jam
- Albumin 1 g/kg
- Diet rendah garam rendah kolesterol (60 gram), protein (40 gram/hari).

IX. USULAN PEMERIKSAAN :
- urinalisis
- Pemeriksaan darah lengkap ulangan dan albumin
- USG abdomen
- ANA test
- biopsi ginjal

X. KIE:
Restriksi aktivitas tidak diperlukan
Restriksi cairan <1,5 L/hari
Penyakit dapat menimbulkan kekambuhan
Kenali gejala dan tanda komplikasi akut

XI. PROGNOSIS
dubia et bonam

XII. FOLLOW UP PASIEN
Monitor berat badan, vital sign,
Monitor tanda-tanda komplikasi
Monitor relaps
11

Monitor efek samping steroid jangka panjang

Tanggal 25/04/2014
S: Pasien mengeluh bengkak pada badan dan lemas. Sesak napas (-), perut mulas (-), mual (-
), demam (-).
O: KU : sedang Kesadaran: CM
TD : 130/80 mmHg RR : 22 x/ menit BB: 75 kg
N : 80 x/menit T : 36,5C
Status lokalis : Edema anasarka, rhonki +/+ pada lapang paru inferior dekstra dan sinistra,
Konjungtiva anemis (+/+), ascites (+), nyeri tekan abdomen (-), bising usus (+) 18 x/ menit
Hasil Pemeriksaan Laboratorium : Albumin : 1,2
Parameter 24/4/2014 Normal
HGB 7,0 L : 13,0-18,0 g/Dl
RBC 2,90 L : 4,5 5,5 [10^6/L]
WBC 8,65 4,0 11,0 [10^3/ L]
HCT 23,0 L : 40-50 [%]
MCV 79,3 82,0 92,0 [fL]
MCH 24,1 27,0-31,0 [pg]
MCHC 30,4 32,0-37,0 [g/dL]
PLT 614 150-400 [10^3/ L]
c. Pemeriksaan Urin Lengkap tanggal 24/4/2014
Kimia
BJ: 1.020
pH: 5,0
Nitrit (-)
Protein (-)
Glukosa 1000 g/dl (+4)
Keton (-)
Urobilinogen (-)
Bilirubin (-)
Darah (-)
Leukosit (-)
Protein 500 mg/dl (+4)
Eritrosit (+1)
Warna kuning
Sedimen
Leukosit 5-6/lpb
Eritrosit 1-5/lpb
Epitel 2-4/lpb
Kristal:
Ca. Ozalat (-)
Asam urat 1-4/lpb
Amorf urat (-)
Triple fosfat (-)
Amorf fosfat (-)
Bakteri (-)
Jamur (-)
Granular 1-3/lpb

A: Edema anasarka e.c. Sindrom nefrotik atipikal dengan anemia sedang
P: - IVFD PZ 20 tpm
- furosemide iv 1 amp/8 jam
- valsartan 80 mg iv 1 amp/24 jam
- metilprednisolon iv 125 mg/8 jam
12

- transfusi albumin 1 kolf
- simvastatin 20 mg tab 1x1/hari

Tanggal 26/04/2014
S: Pasien mengeluh bengkak pada badan dan lemas. Sesak napas (-), perut mulas (-), mual (-
), demam (-), nafsu makan baik.
O: KU : sedang Kesadaran: CM
TD : 140/90 mmHg RR : 20 x/ menit BB: 75 kg
N : 86 x/menit T : 36,2C
Status lokalis :
Konjungtiva anemis (+/+), Edema anasarka, rhonki +/+ pada lapang paru inferior dekstra dan
sinistra, Distensi abdomen (+), ascites (+), nyeri tekan abdomen (-), bising usus (+) 18 x/
menit
A: Edema anasarka e.c. Sindrom nefrotik atipikal dengan anemia sedang
P: - IVFD PZ 12 tpm
- furosemide iv 1 amp/8 jam
- valsartan iv 1 amp/24 jam
- metilprednisolon iv 125 mg/8 jam
Tanggal 28/04/2014
S: Pasien mengeluh bengkak pada badan dan lemas. Sesak napas (-), perut mulas (-), mual (-
), demam (-), nafsu makan baik.
O: KU : sedang Kesadaran: CM
TD : 140/90 mmHg RR : 20 x/ menit BB: 73 kg
N : 86 x/menit T : 36,2C
Status lokalis :
Konjungtiva anemis (+/+), Edema anasarka, rhonki +/+ pada lapang paru inferior dekstra dan
sinistra, Distensi abdomen (+), ascites (+), nyeri tekan abdomen (-), bising usus (+) 18 x/
menit
A: Edema anasarka e.c. Sindrom nefrotik atipikal dengan anemia sedang
P: - IVFD PZ 12 tpm
- furosemide iv 1 amp/8 jam
- valsartan iv 1 amp/24 jam
- metilprednisolon iv 125 mg/8 jam
- urinalisis dan albumin serum
13



14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis
yang ditandai dengan proteinuria masif (33,5 g/hari atau rasio protein kreatinin pada urin
sewaktu > 300-350 mg/mmol), hipoalbuminemia (<25 g /l), dan manifestasi klinis edema
perifer. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus ditemukan.
1

SN terbagi menjadi SN primer yang tidak diketahui kausanya dan SN sekunder yang
dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit sistemik, metabolik, obat-obatan, dan lain-lain.
2
Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar
albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga
berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas,
gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.
Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang
menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi tidak demikian.
3,4


II. EPIDEMIOLOGI
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia
2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan adalah 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa
rasio ini berkisar 1:1. Sindrom nefrotik meningkat pada penggunaan NSAID jangka lama,
diabetes mellitus lebih dari 10 tahun, ataupun riwayat penyakit ginjal. Anak dengan SN
atipikal lebih jarang memiliki minimal change disease dan tidak responsif terhadap terapi
steroid dan memerlukan biopsi ginjal sebelum memulai terapi.
Kriteria Typical SN Atypical SN
Usia 1-11 tahun <1 atau >11 tahun
Fungsi ginjal kreatinin normal peningkatan kreatinin
Hematuria Mikroskopis Mungkin terjadi makroskopis
Hipertensi Biasanya normotensi Meningkat
Riwayat keluarga dengan SN Biasanya tidak ada Mungkin ada
15

III. ETIOLOGI
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer ataupun sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin, dan akibat penyakit
sistemik.
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kausanya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI)
atau yang sering disebut juga SN primer. Penyebab SN primer diantaranya terdapat pada
tabel berikut.


b. Penyebab Sekunder

a. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma
1

b. Keganasan : leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma
multiple, karsinoma ginjal
1,3,5

c. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)
1

d. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
5

16

e. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin
IV. PATOFISIOLOGI


a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat
kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan
muatan listrik. Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria
glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular).
Perubahan integritas membran basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas
glomerulus terhadap protein plasma dan albumin adalah protein utama yang dieksresikan
dalam urin.
1,2,6

b. Hipoalbuminemia
Hipoalbumin disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal menurun.
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbuminemia.
17

Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid,
menyebabkan eksudasi cairan ke interstitial dan meningkatkan edema.
2

c. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density
lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat
meningkat, normal atau meningkat. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipoprotein oleh
hati dan penurunan katabolisme lipid.
d. Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,
trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta
menurunnya faktor zymogen.
2,4


V. TANDA DAN GEJALA
Gejala pertama yang muncul meliputi anoreksia, rasa lemah, urin berbusa
(disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas
(efusi pleura), oligouria, arthralgia, hipotensi ortostatik, dan nyeri abdomen (ascites). Edema
(sembab) merupakan keluhan pertama (utama), tidak jarang merupakan satu-satunya keluhan
dari pasien dengan SN. Lokasi sembab pada daerah kelopak mata (puffy face), dada, perut,
tungkai dan genitalia.
8
Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza,
bengkak periorbital dan oliguria.
4
Edema kadang-kadang mencapai 40% dari berat badan dan
didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa
minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia dan hipertensi ringan. Pada beberapa pasien
SN (anasarka), tidak jarang ada keluhan-keluhan menyerupai akut abdomen seperti mual dan
muntah, dinding perut sangat tegang. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut.
Hipertensi terjadi 15% pada minimal change disease dan 33% pada pasien dengan
glomerulosklerosis fokal segmental.
5
Tanda dan gejala yang lain timbul sesuai dengan
etiologi masing-masing.
6
Riwayat atopi, imunisasi terutama pada anak-anak, riwayat keluarga
(terutama penyakit ginjal dan trombofilia) perlu digali.
18


VI. DIAGNOSIS
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium
berupa proteinuria masif >3,5 g/1,73 m
2
luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia <3
g/dl, edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti
venerologi diperlukan untuk menegakkan diagnosis thrombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer diperlukan biopsi ginjal untuk menentukan jenis
kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi.
2,5


VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut:
Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada
pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+
menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau
lebih yang masuk dalam nephrotic range.
2

Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang
mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan
torak eritrosit.
2

Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed
collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu
yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya
proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
2, 5

Single spot collection lebih mudah dilakukan. Jika rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g,
maka kadar protein urin per hari sebanyak 3g.
2,3

19

Albumin serum
- kualitatif : ++ sampai ++++
- kuantitatif : > 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)
Pemeriksaan serologis untuk infeksi dan kelainan imunologis
ANA test
USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
2

Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8 tahun, resisten
steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.
Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis.
Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change
disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease
memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
2
Indikasi Saat onset:
- Onset usia <1 tahun
- Hematuria massif, hematuria mikroskopis persisten, atau serum C3 rendah
- Hipertensi menetap
- Gagal ginjal yang bukan diakibatkan oleh hipovolemia
- Suspek NS sekunder
Indikasi Setelah terapi awal:
- Proteinuria persisten setelah 4 minggu terapi steroid
- Sebelum diberikan terapi cyclosporine A atau tacrolimus

Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
2

- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml)
- 1 globulin normal (N: 0,1-0,3 gm/100ml)
- 2 globulin meninggi (N: 0,4-1 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,5-0,9 gm/100ml)
- globulin normal (N: 0,3-1 gm/100ml)
- rasio albumin/globulin <1 (N:3/2)
20

- komplemen C3 normal/rendah (N: 80-120 mg/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.

VIII. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan
atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi
terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder),
mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah
dan mengatasi penyulit.
2,5

21


22


Terapi Kortikosteroid
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Imunosupresan bermanfaat untuk
menurunkan inflamasi yang menyertai penyakit ginjal dan dipertimbangkan jika SN
menyebabkan kesakitan pasien, edema yang mengganggu, ataupun terdapat koagulopati.
Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan
relaps.
2,5

Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, diantaranya pada
orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 8
minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tappering di 4 bulan
berikutnya. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu
namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.
2,5
23


Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten. Remisi lengkap terjadi jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam),
albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang.
Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350
mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Resisten steroid terjadi jika klinis dan
laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan
dengan kortikosteroid.
5

Remisi terjadi jika albumin urin negatif atau trace (atau proteinuria <4mg/m
2
/jam
selama 3 hari berurutan). Kelompok SNSS dalam perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu SN non-relaps (30%), SN relaps jarang (10-20%), SN relaps sering dan SN
dependen steroid (40-50%).
Sindrom nefrotik non relaps ialah penderita yang tidak pernah mengalami relaps
setelah mengalami episode pertama penyakit ini. Sindrom nefrotik relaps jarang ialah anak
yang mengalami relaps kurang dari 2 kali dalam periode 6 bulan atau kurang dari 4 kali
dalam periode 12 bulan setelah pengobatan inisial. Sindrom nefrotik relaps sering ialah
penderita yang mengalami relaps >2 kali dalam periode 6 bulan pertama setelah respons awal
atau > 4 kali dalam periode 12 bulan. Sindrom nefrotik dependen steroid bila dua relaps
terjadi berturut-turut pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam waktu 14 hari setelah
pengobatan dihentikan.
5,7

Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid dapat diberikan dengan steroid
jangka panjang, yaitu setelah remisi dengan prednison dosis penuh dilanjutkan dengan steroid
24

alternating dengan dosis yang diturunkan bertahap sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kg secara alternating. Dosis ini disebut sebagai
dosis threshold yang diberikan minimal selama 3-6 bulan kemudian dicoba untuk
dihentikan.
5,7

Pengobatan lain adalah menggunakan terapi nonsteroid yaitu: Siklofosfamid,
Klorambusil, Siklosporin A, Levamisol, obat imunosupresif lain, dan ACE inhibitor. Obat-
obat ini utamanya digunakan untuk pasien-pasien yang non-responsif terhadap steroid.
5

Terapi suportif/simtomatik
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan
glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan
insufisiensi ginjal moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena
tidak memberikan progres yang baik.
1,4

Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang
disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat
memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan
furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila
pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari.
Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan
infus albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg
intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke
dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang mendapat
infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
1,2,5,7

Diet
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori yang
adekuat. Kebutuhan protein dewasa sekitar 0,6-0,8 g/kg/hari. Kebutuhan protein anak ialah
1,52 g/kg, namun anak-anak dengan proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami
malnutrisi diberikan protein 22,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.
Karbohidrat diberikan dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin. Restriksi
garam tidak perlu dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang
nyata yaitu <3 gram/hari untuk membuat keseimbangan negatif natrium dan restriksi intake
cairan <1,5 L/hari.
1,2,5,7

25



26

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi akut yang mungkin terjadi adalah hipovolemia, infeksi, thrombosis,
hiperlipidemia. Penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik (CKD) juga mungkin
terjadi, terutama apabila terdapat faktor risiko laki-laki, hipertensi tidak terkontrol,
insufisiensi renal, proteinuria berat
I nfeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering adalah selulitis dan
peritonitis. Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan D
di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri. Pemakaian imunosupresif
menambah risiko terjadinya infeksi. Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus,
sedangkan sepsis pada SN sering disebabkan oleh kuman Gram negatif. Peritonitis primer
umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga
perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
ketiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Amerika Serikat tidak
digunakan antibiotik ataupun intervensi lain untuk mencegah infeksi, sedangkan di Inggris,
penderita SN dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa
penisilin oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.
1,2,5,7

Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi
sebagai akibat efek samping steroid. Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan ACE
inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker.
27

Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak
terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan
tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan
kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri
abdomen. Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-
20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.
1,2,5,7

Hiperkoagulabilitas
Keadaan hiperkoagulabilitas meningkatkan risiko tromboemboli. Selain disebabkan
oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh
peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko
terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar
fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%, pada orang tua atau pada keadaan
imobilisasi. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat
dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan
bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100
U/kg tiap 4 jam secara intravena.
1,2,5,7

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan
asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida,
fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding terbalik dengan
kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh
karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar
untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga
menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal
pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak.
Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler
pada anak penderita SN masih belum jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid
seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih
diperdebatkan.
1,2,5,7

28



X. PROGNOSIS
Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan sindrom. Saat ini, prognosis pasien dengan SN
bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian
kortikosteroid.
2

Hanya sekitar 20% pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami
frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat
muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan
30-40 % muncul dalam 10 tahun.
2

Orang dewasa dengan minimal-change nephropathy memiliki kemungkinan relaps
yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat
baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.
2
Pemberian kortikosteroid memberi remisi
lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsialpada 50% SN
nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Efek samping
pemakaian kortikosteroid jangka lama seperti nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,
hipertensi, diabetes mellitus perlu diperhatikan.
2,4

29

Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik.
Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan
komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait
pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.
2
Penderita SN non
relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering
dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh
efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.
2

Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya.
Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas.
Biasanya, ada respon yang baik terhadap ACE inhibitor, dengan penurunan proteinuria, dan
level subnefrotik. Jarang terjadi remisi nyata. Risiko penyakit kardiovaskular meningkat
seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa pasien akan membutuhkan dialisis atau
transplantasi ginjal.
2
Pada amiloidosis primer, prognosis tidak baik, bahkan dengan
kemoterapi intensif. Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab utama, seperti rheumatoid
arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini berhubungan dengan SN.
2



30

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang pria dewasa 26 tahun datang ke RSUP NTB. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan :
Keluhan utama berupa badan bengkak atau sembab pada seluruh badan, mendadak,
tidak diketahui penyebabnya, dan berawal dari bengkak wajah, dada, perut, lengan
dan tungkai.
Adanya hipertensi ringan
Urin sedikit berbuih
Riwayat penyakit ginjal
Berdasarkan hal diatas diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
diperoleh hasil :
Kadar serum albumin 2,6 g/dl (hipoalbuminemia) yang kemudian turun menjadi 1,2
g/dl
Kadar kolesterol darah 436 mg/dl, TG 280, LDL 315 (hiperlipidemia)
Protein dalam urin 4+ (Proteinuria)
Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosis sindrom
nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema
generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan proteinuria. Penyebab utama
terjadinya SN belum dapat dipastikan, baik primer ataupun sekunder. Sebenarnya untuk lebih
memastikan tipe SN ini adalah dengan melakukan biopsi ginjal.
SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan penyakit ginjal kronis, sirosis hepatis,
dan GNAPS karena gejala klinis yang ditimbulkan sama yakni berupa edema. Rasio BUN,
kreatinin yang tidak meningkat dapat menyingkirkan Penyakit ginjal kronis. Proteinuria berat
yang terjadi yakni +4 dapat menyingkirkan kemungkinan sirosis hepatis. Menurut
epidemiologi insidensi GNAPS lebih sering pada anak-anak. Sesuai dengan teori di atas
hipertensi lebih sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain dinyatakan bahwa
hipertensi ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi bersamaan
dengan peningkatan diuresis. Hal ini berbeda dengan hipertensi pada GNA, dimana sering
terjadi hipertensi berat sehingga memerlukan terapi anti hipertensi.
31

Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan istirahat cukup, diet tinggi kalori cukup
protein dan rendah garam, rendah kolesterol. Sedangkan secara medikamentosa dengan ACE
inhibitor ataupun ARB yang dapat menurunkan tekanan darah sistemik, menurunkan tekanan
intraglomerular, dan bekerja langsung pada podosit sehingga dapat mengurangi kebocoran
glomerulus yang menyebabkan proteinuria. Pada kasus ini dipilih valsartan 80 mg iv 1
ampul/24 jam.
Spironolakton seharusnya dipilih sebagai diuretik yang baik pada pengobatan sindrom
nefrotik untuk menurunkan edema dan meningkatkan fungsi ginjal, namun karena pada kasus
ini terdapat kreatinin serum yang tinggi maka spironolakton merupakan kontraindikasi.
Pemberian diuretik berupa furosemid IV 80 mg (1 ampul/8 jam) sebagai diuretik untuk
mengurangi edema.
Pengobatan hiperlipidemia pada sindrom nefrotik tidak esensial karena tidak
memperbaiki fungsi ginjal. Namun menurut literatur, pemberian simvastatin dapat
menurunkan risiko penyakit jantung koroner pada SN. Pada pasien ini diberikan simvastatin
20 mg tab 1x1/hari. Obat ini adalah golongan inhibitor HMG KoA reduktase dan sebagai
obat penurun lipid yang sangat efektif dalam menurunkan kolesterol total dan LDL. Obat ini
akan memblok sintesis kolesterol dalam hati. Hal ini menstimulasi ekspresi lebih banyak
enzim, cenderung mengembalikan sintesis kolesterol menjadi normal. Oleh karena pada
kasus SN, kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida sangat tinggi, pasien ini
membutuhkan obat simvastatin supaya kadar profil lipid dalam batas normal.
Diberikan juga transfusi albumin 1 kolf karena albumin pasien sangat rendah (1,2
g/dl). Albumin harganya cukup mahal dan juga tidak terlalu bermanfaat. Namun terapi
albumin dipilih bersamaan dengan terapi untuk menutupi kebocoran glomerular yang terjadi.
Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi reaksi peradangan pada ginjal terutama
jika ternyata pasien memiliki penyakit autoimun untuk mengurangi proteinuria.
Kortikosteroid yang direkomendasikan adalah prednisone, prednisolone, atau
metilprednisolon. Steroid lain seperti betametason, hidrokortison, deksametason, dan tidak
dianjurkan karena efek samping lebih berat. Namun karena pasien BPJS maka dipilih obat
metilprednisolon yang memiliki sediaan injeksi intravena (iv 125 mg/8 jam). Antibiotik tidak
diberikan karena tidak ditemukan tanda-tanda infeksi.
Monitor vital sign, tanda-tanda komplikasi, dan bert badan dilakukan setiap hari.
Setelah 6 hari pengobatan berat badan pasien turun dari 75 kg menjadi 73 kg. Hal ini berarti
pengobatan pasien tidak cukup untuk pasien karena penurunan berat badan yang diinginkan
adalah 1-2 kg per hari. Evaluasi harus dilakukan sampai 4 minggu untuk menentukan apakah
32

pasien sensitif steroid ataukah resisten steroid. Jika pasien tidak berespons baik terhadap
terapi steroid maka dipilih obat imunosupresan lain seperti Levamisole, cyclosporin A,
cyclofosfamid, atau michofenolat mofetil.
Pada kasus ini seharusnya dilakukan pemeriksaan USG Abdomen untuk mengetahui
gambaran ascites dan gambaran kerusakan ginjal sehingga penanganannya lebih tepat. Biopsi
ginjal dan pemeriksaan Antinuclear Antibody (ANA) untuk menentukan etiologi dari sindrom
nefrotik dengan tepat sehingga terapi dapat lebih tepat.


33

DAFTAR PUSTAKA

1. Christian, Martin. 2013. Guideline for the assessment and management of nephrotic
syndrome in children and young people. Nottingham: Nottingham Unversity
Hospitals.
2. Bagga & Mantan. Nephrotic syndrome in children. Indian J Med Res 122, July 2005,
pp 13-28
3. Lau, Keith, et al. "Steroid Responsive Nephrotic Syndrome in IgA Nephropathy with
FSGS." The Internet Journal of Nephrology 4 (2008)
4. Seigneux. 2009. Management of patients with nephrotic Syndrome. Swiss Medwkly
2009 ; 139 (2930) : 416422
5. Kodner, Charles. 2009. Nephrotic Syndrome in Adults: Diagnosis and Management.
Kentucky: Am Fam Physician. 2009;80(10):1129-1134
6. Trachtman, Howard. 2012. Common Diseases: Minimal Change Nephrotic
Syndrome. Nephrology Self Assessment Program 11 (2012) 19-20.
7. Trachtman, Howard. 2012. Common Diseases: Focal Segmental Glomerulosclerosis.
Nephrology Self Assessment Program 11 (2012) 20.

















34




Volume depletion may occur with diuretic use, which should be monitored by assessment of
symptoms, weight, pulse, and blood pressure.
Hypolipidemic agents may be used, but if the nephrotic syndrome cannot be controlled, the patient
will have persistent hyperlipidemia.
Follow-up care in patients with nephrotic syndrome includes immunization, treatment of relapses of steroid-
responsive nephrotic syndromes, monitoring for steroid toxicity, and monitoring of diuretic and angiotensin
antagonist regimens.
Most patients experience relapses; data suggest relapse rates of 76-97%, with frequent relapse occurring
at rates of up to 50%. The first 2 relapses are treated in the same manner as the initial presentation;
frequent relapses are treated with a maintenance dose of prednisone at 0.1-0.5 mg/kg on alternate days for
3-6 months, with the drug then tapered.
Monitoring for steroid toxicity every 3 months in the outpatient clinic is necessary to help detect adverse
effects and to record growth in children. Supplemental calcium and vitamin D may attenuate bone loss. A
yearly checkup is necessary to help detect cataracts.













NEPHROTIC SYNDROME
Nephrotic syndrome classically presents with heavy proteinuria, minimal
hematuria, hypoalbuminemia, hypercholesterolemia, edema, and
hypertension. If left undiagnosed or untreated, some of these syndromes
will progressively damage enough glomeruli to cause a fall in
GFR, producing renal failure.
Therapies for various causes of nephrotic syndrome are noted under
35

individual disease headings below. In general, all patients with hypercholesterolemia
secondary to nephrotic syndrome should be treated
with lipid-lowering agents since they are at increased risk for cardiovascular
disease. Edema secondary to salt and water retention can be
controlled with the judicious use of diuretics, avoiding intravascular
volume depletion. Venous complications secondary to the hypercoagulable
state associated with nephrotic syndrome can be treated with
anticoagulants. The losses of various serum binding proteins, such as
thyroid-binding globulin, lead to alterations in functional tests. Lastly,
proteinuria itself is hypothesized to be nephrotoxic, and treatment of
proteinuria with inhibitors of the renin-angiotensin system can lower
urinary protein excretion.
MINIMAL CHANGE DISEASE
MCD, sometimes known as nil lesion, causes 7090% of nephrotic
syndrome in childhood but only 1015% of nephrotic syndrome in
adults. MCD usually presents as a primary renal disease but can be associated
with several other conditions, including Hodgkins disease, allergies,
or use of nonsteroidal anti-inflammatory agents; significant
interstitial nephritis often accompanies cases associated with nonsteroidal
use. MCD on renal biopsy shows no obvious glomerular lesion
by light microscopy and is negative for deposits by immunofluorescent
microscopy, or occasionally shows small amounts of IgM in the mesangium
(Fig. e9-1). Electron microscopy, however, consistently demonstrates
an effacement of the foot process supporting the epithelial
podocytes with weakening of slit-pore membranes. The pathophysiology
of this lesion is uncertain. Most agree there is a circulating cytokine,
perhaps related to a T cell response that alters capillary charge
and podocyte integrity. The evidence for cytokine-related immune injury
is circumstantial and is suggested by the presence of preceding allergies,
altered cell-mediated immunity during viral infections, and
the high frequency of remissions with steroids.
MCD presents clinically with the abrupt onset of edema and nephrotic
syndrome accompanied by acellular urinary sediment. Less common
clinical features include hypertension (30% in children, 50% in
36

adults), microscopic hematuria (20% in children, 33% in adults), atopy
or allergic symptoms (40% in children, 30% in adults), and decreased
renal function (<5% in children, 30% in adults). The appearance of
acute renal failure in adults is usually caused by intrarenal edema
(nephrosarca) that is responsive to intravenous albumin and diuretics.
This presentation must be distinguished from acute renal failure secondary
to hypovolemia. In children, the abnormal urine principally
contains albumin with minimal amounts of higher molecular weight
proteins, and is sometimes called selective proteinuria. Although up to
30% of children have a spontaneous remission, all children today are
treated with steroids; only children who are nonresponders are biopsied
in this setting. Primary responders are patients who have a complete
remission (<0.2 mg/24 h of proteinuria) after a single course of
prednisone; steroid-dependent patients relapse as their steroid dose is
tapered. Frequent relapsers have two or more relapses in the 6 months
following taper, and steroid-resistant patients fail to respond to steroid
therapy. Ninety to 95% of children will develop a complete remission
after 8 weeks of steroid therapy, and 8085% of adults will achieve
complete remission, but only after a longer course of 2024 weeks. Patients
with steroid resistance can develop FSGS on repeat biopsy. Some
hypothesize that if the first renal biopsy does not have a sample of deeper
glomeruli, then the correct early diagnosis of FSGS may be missed.
Relapses occur in 7075% of children after the first remission, and
early relapse predicts multiple subsequent relapses. The frequency of
relapses decreases after puberty, although there is an increased risk of
relapse following the rapid tapering of steroids in all groups. Relapses
are less common in adults but are more resistant to subsequent therapy.
Prednisone is first-line therapy, and other immunosuppressive
drugs, such as cyclophosphamide, chlorambucil, and mycophenolate
mofetil, are saved for frequent relapsers, steroid-dependent, or steroidresistant
patients. Cyclosporine can induce remission, but relapse is
also common when cyclosporine is withdrawn. The long-term prognosis
in adults is less favorable when acute renal failure or steroid resistance
occurs.
37

FOCAL SEGMENTAL GLOMERULOSCLEROSIS
FSGS refers to a pattern of renal injury characterized by segmental glomerular
scars that involve some but not all glomeruli; the clinical findings
of FSGS largely manifest as proteinuria. When the secondary
causes of FSGS are eliminated (Table 227-5), the remaining patients


Nephrotic Syndrome
Essentials of Diagnosis
Urine protein excretion > 3.5 g/1.73 m
2
per 24 hours.
Hypoalbuminemia (albumin < 3 g/dL).
Peripheral edema.
General Considerations
In adults, about one-third of patients with nephrotic syndrome have a systemic renal disease
such as diabetes mellitus, amyloidosis, or systemic lupus erythematosus. With the current
epidemic of type 2 diabetes mellitus, this proportion is slowly increasing. The remainder have
idiopathic nephrotic syndrome due to primary renal lesions. The four most common are
minimal change disease, focal glomerular sclerosis, membranous nephropathy, and
membranoproliferative glomerulonephritis.
Clinical Findings
Symptoms and Signs
Peripheral edema is a hallmark of the nephrotic syndrome, occurring when the serum albumin
concentration is < 3 g/dL. Edema is most likely due to sodium retention (from renal disease)
rather than arterial underfilling from low plasma oncotic pressure. Initially this presents in the
dependent areas of the body such as the lower extremities; however, such edema can become
generalized. Patients can experience dyspnea due to pulmonary edema, pleural effusions, and
diaphragmatic compromise with ascites. Complaints of abdominal fullness may also be
present in patients with ascites.
Patients may show symptoms and signs of infection more frequently than the general
population owing to loss of immunoglobulins and certain complement moieties in the urine.
Laboratory Findings
Urinalysis
Proteinuria occurs as a result of effacement of epithelial cell foot processes and an alteration
of the negative charge in the GBM. The screening test for proteinuria is the urinary dipstick
analysis; however, this test indicates albumin only. The addition of sulfosalicylic acid to the
38

urine sediment allows abnormal paraproteins to be detected. Urine dipstick testing can detect
as little as 15 mg/dL of protein, but the results must be interpreted along with the urine
specific gravity. Trace protein seen on highly concentrated specimens may be insignificant,
while trace protein on dilute specimens may indicate true renal disease. A spot urine protein
to urine creatinine ratio gives a reasonable approximation of grams of protein excreted per
day.
Microscopically, the urinary sediment has relatively few cellular elements or casts. However,
if marked hyperlipidemia is present, patients can have oval fat bodies in the urine. These
represent lipid deposits in sloughed renal tubular epithelial cells. They appear as "grape
clusters" under light microscopy and "Maltese crosses" under polarized light.
Blood chemistries
Characteristic blood chemistries include a decreased serum albumin (< 3 g/dL) and total
serum protein < 6 g/dL. Hyperlipidemia occurs in over 50% of those with early nephrotic
syndrome. As patients excrete larger amounts of protein per day, the frequency and degree of
hyperlipidemia increases. There is increased hepatic production of lipids (cholesterol and
apolipoprotein B), owing to a fall in oncotic pressure. There is also decreased clearance of
very low-density lipoproteins, causing hypertriglyceridemia. Patients can also have an
elevated erythrocyte sedimentation rate as a result of alterations in some plasma components
such as increased levels of fibrinogen.
Other less common tests may be necessary depending on the patient's clinical presentation,
including complement levels, serum and urine protein electrophoresis, ANA, and serologic
tests for hepatitis. Patients may become deficient in vitamin D, zinc, and copper from loss of
binding proteins in the urine; they are prone to infection, in part from urinary losses of
immunoglobulins.
Renal biopsy
Specific classification and findings are shown in Table 2210. Specimens are examined by
light microscopy, with immunofluorescent stains, and by electron microscopy. Renal biopsy
is often performed in adults with new-onset idiopathic nephrotic syndrome if a primary renal
disease that may require drug therapy (eg, corticosteroids, cytotoxic agents) is suspected.
Significantly elevated creatinine levels may indicate irreversible kidney disease mitigating
the usefulness of kidney biopsy. Disease due to amyloidosis or diabetes mellitus may not
need to be biopsied, since nephrotic range proteinuria in these diseases represents irreversible
damage, although bone marrow transplant with high-dose chemotherapy can be considered in
some patients with amyloidosis. The role of biopsy for other systemic kidney diseases is
debated. However, it can be useful for prognosis and treatment. An occasional unexpected
diagnosis is made, such as membranous nephropathy due to lupus erythematosus without
serologic evidence of that illness.
Table 2210. Classification and findings in glomerulonephritis: nephrotic syndromes.


Etiology Histopathology Pathogenesis
Minimal change Associated with Light: Normal (with or Unknown
39

disease (nil disease;
lipoid nephrosis)
allergy, Hodgkin
disease, NSAIDs
without mesangial
proliferation)
Immunofluorescence:
No immunoglobulins
Electron microscopy:
Fusion foot processes
Focal and segmental
glomerulosclerosis
Associated with
heroin abuse, HIV
infection, reflux
nephropathy,
obesity
Light: Focal segmental
sclerosis
Immunofluorescence:
IgM and C3 in sclerotic
segments
Electron microscopy:
Fusion foot processes
Unknown
Membranous
nephropathy
Associated with
non-Hodgkin
lymphoma,
carcinoma
(gastrointestinal,
renal,
bronchogenic,
thyroid), gold
therapy,
penicillamine,
lupus
erythematosus
Light: Thickened
GBM and spikes
Immunofluorescence:
Granular IgG and C3
along capillary loops
Electron microscopy:
Dense deposits in
subepithelial area
In situ
immune
complex
formation
Membranoproliferative
glomerulonephropathy
Type I associated
with upper
respiratory
infection
Light: Increased
mesangial cells and
matrix with splitting of
GBM
Immunofluorescence:
Granular C3, C1q, C4
with IgG and IgM
Electron microscopy:
Dense deposits in
subendothelium
Unknown
Type II Light: Same as type I
Immunofluorescence:
C3 only
Electron microscopy:
Dense material in GBM
Unknown


GBM = glomerular basement membrane; NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs.
Treatment
Protein Loss
40

The daily total dietary protein intake should replace the daily urinary protein losses so as to
avoid negative nitrogen balance. Protein malnutrition often occurs with urinary protein losses
> 10 g/d. In the past, protein restriction was suggested for patients with kidney disease. The
largest human trial to date (the MDRD Study) did not show a significant benefit, but two
meta-analyses in 1999 and 2001 have shown a mild renal benefit. For this reason, the KDOQI
recommends protein restriction to 0.60.8 g/kg/d in patients with a GFR < 25 mL/min prior
to starting dialysis. However, great care must be taken to avoid malnutrition in these patients.
In both diabetic and nondiabetic patients, therapy that is aimed at reducing proteinuria may
also reduce progression of renal disease. ACE inhibitors are effective by lowering efferent
arteriolar resistance out of proportion to afferent arteriolar resistance, thereby reducing
glomerular capillary pressure, reducing kidney damage, and lowering urinary protein
excretion. Other effects include alterations of glomerular mesangial proliferation. ACE
inhibitors can be used in patients despite compromised GFR as long as significant
hyperkalemia (K
+
> 5.25.5 mEq/L) does not occur and serum creatinine rises < 30%,
stabilizing over 2 months (see Table 118). Large randomized controlled trials (ie, the
RENAAL and IDNT studies) have also proved the benefit of angiotensin II-receptor blockers
in reducing proteinuria and preventing progression of renal disease in diabetic nephropathy.
"Head-to-head" comparisons of an ACE inhibitor and an ARB have shown the ARB to be no
better than the ACE inhibitor in preventing progression of renal disease in diabetic persons
with proteinuria. The combination of an ACE inhibitor and ARB versus ARB alone for
slowing the progression of diabetic nephropathy is being tested in a multicenter, prospective
randomized study.
Edema
Dietary salt restriction is essential for managing edema; most patients also require diuretic
therapy. Commonly used diuretics include thiazide and loop diuretics. Both are highly protein
bound. With hypoalbuminemia and poor kidney function, diuretic delivery to the kidney is
reduced, and patients often require large doses. The combination of loop and thiazide
diuretics can potentiate the diuretic effect. This may be needed for patients with refractory
fluid retention associated with pleural effusions and ascites.
Hyperlipidemia
Hypercholesterolemia and hypertriglyceridemia occur as outlined above. Dietary
management in patients with nephrotic syndrome is of little value; however, dietary
modification and exercise should be advocated. Aggressive pharmacologic treatment should
be pursued (see Chapter 28: Lipid Disorders). Statins are hepatically cleared, so dosage is not
altered for chronic kidney disease. Rhabdomyolysis, however, is more common in patients
with chronic kidney disease who take gemfibrozil in combination with statins, especially
lovastatin.
Hypercoagulable State
Patients with serum albumin < 2 g/dL can become hypercoagulable. Nephrotic patients have
urinary losses of antithrombin, protein C, and protein S and increased platelet activation.
Patients are prone to renal vein thrombosis and other venous thromboemboli, particularly
with membranous glomerulopathy. Anticoagulation therapy is warranted for at least 36
months in patients with evidence of thrombosis in any location. Patients with renal vein
41

thrombosis and recurrent thromboemboli require indefinite anticoagulation.
When to Refer
Any patient noted to have nephrotic syndrome should be referred immediately to a
nephrologist for aggressive volume and blood pressure management, assessment for renal
biopsy, and treatment of the underlying disease.
When to Admit
Patients with edema refractory to outpatient therapy or rapidly worsening kidney function
that may require inpatient interventions should be admitted.
Glassock RJ. Prophylactic anticoagulation in nephrotic syndrome: a clinical conundrum. J
Am Soc Nephrol. 2007 Aug;18(8):22215. [PMID: 17599972]

Anda mungkin juga menyukai