Syok Hipovolemik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Syok Hipovolemik

2.1.1. Definisi
Syok hipovolemik merupakan syok yang di sebabkan oleh berkurangnya
volume intravaskuler (Dachlan, 2009).

2.1.2. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.
Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit volume darah lebih dari 45
persen umumnya fatal (Dachlan, 2009). Syok hipovolemik disebabkan oleh
perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan
kontusio. Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ dalam
seperti hemothoraks, rupture organ, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan
atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
-

Gastrointestinal : peritonitis,pankreatitis, dan gastroenteritis.

Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis.


Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya

aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke


dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa
melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman

jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan
keton. Hal terpenting untuk diketahu dalam klinik adalah fokus perhatian syok
hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta
perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan (Butler,
2010).

2.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun
secara umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan
respon untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ
vital melalui reflex neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah
yang beredar, tonus pembuluh darah dan system pompa jantung. Gangguan dari salah
satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok
hipovolemik maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui (Butler,
2010):
1. Baroreseptor.
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh
darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap
baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke
pusat juga berkurang sehingga akan terjadi:
-

Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre

Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor


Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan

takikardia. Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri
dan kanan, ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus
merupakan baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan
darah.
2. Kemoreseptor.
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun
sampai 60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila

terjadi hipoksia dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini


adalah vasokonstriksi yang luas dan rangsangan pernafasan.
3. Cerebral ischkemic reseptor.
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi
sympathetic discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari
pada reseptor-reseptor perifer .
4. Reseptor humoral.
Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormonehormon stress seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone
yang mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari
hormone ini adalah terjadinya takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi.
Vasokonstriksi diharapkan akan meningkatkan tekanan darah perifer dan preload,
isi sekuncup dan curah jantung. Sekresi ADH oleh hipofisee posteriosr juga
meningkat sehingga pengeluaran air dari ginjal dapat dikurangi.
5. Retensi air dan garam oleh ginjal
Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran renin oleh
apparatus jukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I.
angiotensin I ini oleh converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang
mempunyai sifat:
-

Vasokonstriksi kuat

Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi


natrium di tubulus ginjal.

Menigkatkan sekresi vasopressin

Refleks kardiovaskular pada hipotensi


Volume sirkulasi
Preload
Volume sekuncup

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic reseptor

Cardio inhibitor center dihambat

Aktivasi cardiostimulator center

Output simpatetik meningkatkat,output


parasimpatetik menurun
HR, kontraktilitas otot jantung ,
vasokonstriksi

Ginjal
Ngiotensi, vasopressin, aldosteron

6. Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan
agar volume dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat
keseimbangan antara jumlah cairan intravascular yang keluar ke ekstravaskular
atau sebaliknya. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik
intravascular akan menurun maka akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke
intravascular sehingga tekanan darah dapat dipertahankan. Hal ini tergantung dari
kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya cairan tubuh cepat maka proses
ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah. Akibat dari semua ini maka akan
terjadi:

Vasokonstriksi yang luas vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada


pembuluh darah skeletal, splancnic dan kulit, sedang pada pembuluh darah
otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi, bahkan aliran darah pada
kelenjar

adrenal

meningkatkan

meningkat

respon

sebagai

katekolamin

usaha
pada

kompensasi
syok.

tubuh

Vasokonstriksi

utuk
ini

menyebabkan suhu tubuh perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
-

Sebagai akibat vasokonstriksi ini maka tekanan distolik akan meningkat pada
fase awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tetapi bila proses berlanjut ini
tidak dapat dipertahankan dan tekanan datah akan semakin menurun sampai
tidak teratur.

Takikardia

Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolism anaerobic dan terjadi


asidosis metabolic

Hipovolemia

menyebabkan

aliran

darah

menjadi

lambat

sehingga

keseimbangan pertukaran O2 dan Co2 kedalam pembuluh darah lama dan


kaibatnya terjadi perbedaan yang besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri dan
vena.
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi
sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal,
dan sistem neuroendokrin (Butler, 2010). Sistem hematologi berespon terhadap
kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan
vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal).
Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan
membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan
fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk
menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan

pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di
paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem

neuroendokrin

berespon

terhadap

syok

hemoragik

dengan

meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari


glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah
(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang
dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.

2.1.4. Manifestasi Klinis


Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase (Butler, 2010):
1. Fase Inisial.
Pada fase ini, gejala dan tanda yang muncul tidak terlalu signifikan karena
tubuh masih mentoleransi jumlah cairan yang hilang. Namun, pasien dapat
cepat berpindah ke fase berikutnya bahkan tidak melewati fase ini apabila
jumlah cairan yang hilang dari tubuh cukup banyak.
Gejala dan tanda :
Tekanan darah menurun 5-10 mmHg

Denyut jantung agak meningkat


2. Fase Kompensasi
Pada fase ini tubuh berusaha lebih keras untuk mengkompensasi hilangnya
volume cairan sehingga akan terjadi perubahan besar pada tanda vital.
Pemberian resusitasi cairan dan pencegahan kehilangan cairan lebih lanjut
pada fase ini sangat penting.
Gejala dan tanda:
Penurunan tekanan darah 10-15 mmHg
Takikardi (untuk mencukupi jumlah cardiac output)
Takipnea (sebagai kompensasi terhadap penurunan perfusi jaringan)
Peningkatan aliran darah ke organ vital (otak, paru-paru, dan jantung)
Penurunan jumlah urin
Vasokontriksi perifer : Akral dingin, peningkatan capillary refill time
3. Fase Progresif
Apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kehilangan cairan yang terjadi,
maka syok akan berlanjut pada fase ini. Pada fase ini akan terjadi hipotensi
yang menyebabkan perfusi pada organ vital menurun yang kemudian dapat
berujung pada kerusakan organ.
Gejala dan tanda :
Penurunan tekanan darah
Nadi meningkat dan lemah
Penurunan vaskularisasi pada kulit, abdomen, dan ginjal :
-

Kulit dingin

Penurunan bising usus akibat motilitas usus yang menurun

Penurunan jumlah urin

4. Fase Refraktor
Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat
irreversible. Gejala dan tanda:
Hipoksia
Oligouria

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Manifestasi klinis yang muncul sebanding dengan volume darah yang


berkurang. Semakin banyak volume darah yang hilang, semakin berat gejala klinis
yang dapat ditemui (Dachlan, 2009).
1. Takikardi.
Terjadi karena tubuh berusaha mencukupi cardiac output yang merupakan hasil
perkalian antara stroke volume dengan heart rate (CO = HR x SV). Pada keadaan
syok hipovolemik terjadi penurunan stroke volume sehingga untuk tetap
mempertahankan cardiac output, maka kompensasi yang dilakukan adalah dengan
meningkatkan heart rate.
2. Nadi yang cepat dan lemah.
Berhubungan dengan poin sebelumnya, akibat denyut jantung yang meningkat,
maka denyut nadi juga akan meningkat, namun lemah akibat volume vaskuler
yang menurun pada keadaan syok serta pengalihan vaskularisasi ke organ vital
yaitu otak, paru, dan jantung.
3. Hipotensi.
Hipotensi terjadi akibat volume darah yang berkurang, yang kemudian
menyebabkan venous return menurun dan lama-kelamaan tekanan darah juga
akan menurun sebagai hasil dari volume sirkulasi yang menurun.
4. Perubahan Status Mental.
Hal ini terjadi akibat penurunan perfusi oksigen ke otak. Pasien akan
menunjukkan gejala seperti agitasi. Penurunan kesadaran dapat terjadi apabila
terjadi kehilangan darah yang lebih dari 2 liter.
5. Penurunan Jumlah Urin.
Akibat pengalihan vaskularisasi ke otak, jantung, dan hati, maka akan terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal yang bermanifestasi klinis pada penurunan
jumlah urin.
6. Akral Dingin.

Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke
organ vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan
perfusi ke kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah akral.

2.1.5. Derajat Syok Hipovolemik


Syok hipovolemik merupakan kondisi dimana terjadinya kehilangan volume
sirkulasi yang berujung pada kegagalan organ akibat perfusi yang inadekuat.
Syok hipovolemik sendiri paling sering disebabkan oleh perdarahan. Selain itu
dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Berdasarkan jumlah darah yang hilang,
maka syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas (Butler, 2010):

2.1.6. Pemeriksaan
-

Darah Lengkap

Analisa Gas Darah

Kadar Elektrolit (Na, K, Cl)

Tes faal ginjal (ureum, kreatinin, BUN)

Golongan darah (bila perlu transfusi darah)

Tes kehamilan

EKG (untuk monitoring jantung)

2.1.7. Tatalaksana

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk


memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus
segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan
pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (airway) harus
bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen
100%. Defisit volume peredaran darah (circulation) pada syok hipovolemik harus
diatasi dengan pemberian cairan intravena. Segera menghentikan perdarahan yang
terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok
(Purwadianto, 2011).
Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam
menghadapi syok (Dahclan, 2009):
1. Posisi Tubuh
-

Secara

umum

posisi

pasien

dibaringkan

telentang

dengan

tujuan

meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital


-

Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, jangan digerakkan
pada bagian tersebut agar tidak memperparah kondisi pasien

Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang


dengankaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanandarah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi
lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya
kembali.

2. Pertahankan Respirasi
-

Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila terdapat muntah.

Ekstensikan

kepala,

kalau

perlu

pasang

alat

bantu

jalan

nafas

(Gudel/oropharingeal airway)
-

Berikan oksigen 6 liter/menit

Bila pernapasan / ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa


sungkup (Ambu bag) atau ETT

3. Pertahankan Sirkulasi
-

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus.

Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, dan produksi urin

Cari dan atasi penyebab syok hipovolemik


Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan

exposure. Secondary survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey


dilakukan selain pengkajian primary dan secondary survey, misalnya terapi atau
resusitasi cairan. (Garner, 2013).
A. Primary Survey
Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon
penderita terhadap terapi. Periksa tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat
kesadaran.
a) Airway & Breathing.
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Airway (Jalan Nafas) Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look,
listen, dan feel. Look atau melihat yaitu melihat ada tidaknya obstruksi jalan
napas, berupa agitasi: (hipoksemia), penurunan kesadaran (hipercarbia),
pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see saw-rocking respiration),
kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir (sianosis), adanya sumbatan
di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada tidaknya darah. Tahapan
kedua yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu bunyi napas. Ada dua
jenis suara napas yaitu suara napas tambahan obstuksi parsial, antara lain:
snoring, gurgling, crowing/stridor, dan suara parau (laring) dan yang kedua yaitu
suara napas hilang berupa obstruksi total dan henti napas. Terakhir yaitu feel,
pada tahap ini merasakan aliran udara yang keluar dari lubang hidung pasien.
Breathing (Pernafasan):
-

Look (Melihat) Melihat apakah pasien bernapas, pengembangan dada


apakah napasnya kuat atau tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.

Listen (Mendengar) Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas
tambahan atau tidak

Feel Merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan


pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.

b) Circulation
-

Look Mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per
menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat
dingin pada tubuh pasien, menghitung capillary refill time, ada tidaknya
akral dingin-

Feel Merasakan gerakan nadi (nadi radialis, brakhialis, dan carotis)

Listen Bunyi aliran darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan


darah

c) Disability Pemeriksaan Neurologi


GCS (Glasgow Coma Scale), dan kedaan pupil dengan menggunakan
penlight. Pupil normal yaitu isokor. Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat
untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil,
fungsi motorik dan sensorik.
d) Exposure Pemeriksaan Lengkap.
Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya dan diperiksa dari ubun-ubun
sampai jari kaki untuk mencari ada atau tidaknya bagian yang cedera.
e) Dilatasi lambung Dekompresi
Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada
anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang
tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi nervus
vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit.
Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko
aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.
Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selang atau pipa kedalam
perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk
mengeluarkan isi lambung.

f) Pemasangan kateter urin


Kateterisasi kandung kemih memudahkan penilaian urin akan adanya
hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.

B. Secondary Survey
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena nomor 18/16. Infus dengan cepat
larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (V.
Jugularis) yang kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan
darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah edema paru, terutama
pada pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan
cairan. Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus :
1. Nadi
Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
2. Tekanan darah.
Bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah
menurun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya
transfusi cairan.
3. Produksi urin.
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin
harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya
hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intravaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam,
bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin
25 g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal
8-12 cm H2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa
haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi
cairan.
C. Tersiery Survey : Terapi cairan

Resusitasi Cairan
Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan
keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang
hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan
angka mortalitas. Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan
elektrolit, plasma, atau darah. Dapat dimulai dengan memberikan infus Saline atau
Ringer Laktat isotonis. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik
adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi
syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar
dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang
cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab
yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti lukabakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan
pankreatitis akut (Dachlan, 2009).
Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien. Larutan parenteral pada syok hipovolemik
diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik
untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah
tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek
samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema
seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah (Dachlan, 2009).
1. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.

2. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler.
RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik atau sindroma syok.
3. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat di
metabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis
laktat.

Beberapa contoh cairan (Spaniol, 2007):


1. Cairan kristaloid
A. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l,
Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan
ini dimetabolisme di dalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi
dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan
gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi
menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat dehidrogenase) atau
glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan
membentuk HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan
karena komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma.
Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut.
Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.
B. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4mEq/l,
Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi keadaan
asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di
dalam otot, sedangkan laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250

400mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam. Cairan ini bisa mengganti


pemakaian Ringer Laktat.
C. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter, 100 gr/liter, 200 gr/liter. Glukosa 5%
digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi, gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria.
D. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida,yang
digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk
penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia
atau alkalosis metabolik.

2. Cairan Koloid
1) Albumin. Terdiri dari 2 jenis yaitu :
a. Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang
dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000,
terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan
berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50
% akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3-nya.
b. Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,
albumin eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin
eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma
manusia yangdimurnikan. Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25%
dalam garam fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan
meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah yang diberikan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini
menyebabkan translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah
cairan intersisial mencukupi.
2) HES (Hidroxy Ethyl Starch)

Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Tersedia dalam bentuk larutan
6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.
Pengikatan cairan intravaskuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh
karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi.

2.1.8. Komplikasi Syok Hipovolemik (Maier, 2008)


1. Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan
seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah
menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme
terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler
karena hipoksia.
Hipoksia seluler

Pelepasan faktor-faktor biokimia


( enzim lisosom, vasoaktif, system komplemen, asam metabolic, kolagen, histamine )

Pe permiabilitas kapiler paru

Pe aktivitas surfaktan

Edema interstisial alveolar paru

Kolaps alveolar yang progresif

Pe compliance paru
Stiff lung
Pe shunting


Hipoksia arterial

3. DIC (Koagulasi Intravascular Diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan


yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi. Dinding
pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi
bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter
prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke
jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat
terjadi koagulopati intravasa yang luas.

Anda mungkin juga menyukai