Syok Hipovolemik
Syok Hipovolemik
Syok Hipovolemik
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Syok Hipovolemik
2.1.1. Definisi
Syok hipovolemik merupakan syok yang di sebabkan oleh berkurangnya
volume intravaskuler (Dachlan, 2009).
2.1.2. Etiologi
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif.
Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan
penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit volume darah lebih dari 45
persen umumnya fatal (Dachlan, 2009). Syok hipovolemik disebabkan oleh
perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan
kontusio. Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ dalam
seperti hemothoraks, rupture organ, dan kehamilan ektopik terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah
yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan
atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein
plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
-
jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan
keton. Hal terpenting untuk diketahu dalam klinik adalah fokus perhatian syok
hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta
perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan (Butler,
2010).
2.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi sangat berhubungan dengan penyakit primer dari syok. Namun
secara umum bila terjadi penurunan tekanan darah maka tubuh akan mengadakan
respon untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi yang adekuat pada organ-organ
vital melalui reflex neurohumoral. Integritas sirkulasi tergantung pada volume darah
yang beredar, tonus pembuluh darah dan system pompa jantung. Gangguan dari salah
satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila terjadi syok
hipovolemik maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui (Butler,
2010):
1. Baroreseptor.
Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh
darah. Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap
baroreseptor akan menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke
pusat juga berkurang sehingga akan terjadi:
-
takikardia. Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri
dan kanan, ventrikel kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus
merupakan baroreseptor perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan
darah.
2. Kemoreseptor.
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun
sampai 60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila
Vasokonstriksi kuat
Ginjal
Ngiotensi, vasopressin, aldosteron
6. Autotransfusi
Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan
agar volume dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat
keseimbangan antara jumlah cairan intravascular yang keluar ke ekstravaskular
atau sebaliknya. Hal ini tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik
intravascular akan menurun maka akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke
intravascular sehingga tekanan darah dapat dipertahankan. Hal ini tergantung dari
kecepatan hilangnya cairan, bila proses hilangnya cairan tubuh cepat maka proses
ini tidak akan mampu menaikkan tekanan darah. Akibat dari semua ini maka akan
terjadi:
adrenal
meningkatkan
meningkat
respon
sebagai
katekolamin
usaha
pada
kompensasi
syok.
tubuh
Vasokonstriksi
utuk
ini
menyebabkan suhu tubuh perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
-
Sebagai akibat vasokonstriksi ini maka tekanan distolik akan meningkat pada
fase awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tetapi bila proses berlanjut ini
tidak dapat dipertahankan dan tekanan datah akan semakin menurun sampai
tidak teratur.
Takikardia
Hipovolemia
menyebabkan
aliran
darah
menjadi
lambat
sehingga
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi
renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di
paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya
membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem
neuroendokrin
berespon
terhadap
syok
hemoragik
dengan
Kulit dingin
4. Fase Refraktor
Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat
irreversible. Gejala dan tanda:
Hipoksia
Oligouria
Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke
organ vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan
perfusi ke kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah akral.
2.1.6. Pemeriksaan
-
Darah Lengkap
Tes kehamilan
2.1.7. Tatalaksana
Secara
umum
posisi
pasien
dibaringkan
telentang
dengan
tujuan
Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, jangan digerakkan
pada bagian tersebut agar tidak memperparah kondisi pasien
2. Pertahankan Respirasi
-
Ekstensikan
kepala,
kalau
perlu
pasang
alat
bantu
jalan
nafas
(Gudel/oropharingeal airway)
-
3. Pertahankan Sirkulasi
-
Listen (Mendengar) Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas
tambahan atau tidak
b) Circulation
-
Look Mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per
menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat
dingin pada tubuh pasien, menghitung capillary refill time, ada tidaknya
akral dingin-
B. Secondary Survey
Pasang satu atau lebih jalur infus intravena nomor 18/16. Infus dengan cepat
larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (V.
Jugularis) yang kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan
darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah edema paru, terutama
pada pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan
cairan. Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus :
1. Nadi
Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.
2. Tekanan darah.
Bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah
menurun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya
transfusi cairan.
3. Produksi urin.
Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin
harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya
hipovolemia. Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila
volume intravaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam,
bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin
25 g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal
8-12 cm H2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa
haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi
cairan.
C. Tersiery Survey : Terapi cairan
Resusitasi Cairan
Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan
keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang
hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan
angka mortalitas. Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Pada keadaan demikian, memperbaiki keadaan
umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan dengan pemberian cairan
elektrolit, plasma, atau darah. Dapat dimulai dengan memberikan infus Saline atau
Ringer Laktat isotonis. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik
adalah tranfusi darah. Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi
syok hipovolemik. Sumber kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar
dapat segera dilakukan tindakan. Cairan infus harus diberikan dengan kecepatan yang
cukup untuk segera mengatasi defisit atau kehilangan cairan akibat syok. Penyebab
yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan, kehilangan plasma atau cairan tubuh
lainnya seperti lukabakar, peritonitis, gastroenteritis yang lama atau emesis, dan
pankreatitis akut (Dachlan, 2009).
Pemilihan Cairan Intravena
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi
elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah
dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan
intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam
penanganan dan perawatan pasien. Larutan parenteral pada syok hipovolemik
diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik
untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah
tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek
samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema
seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah (Dachlan, 2009).
1. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik
dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik.
2. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler.
RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan
kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik atau sindroma syok.
3. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme
laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat di
metabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat
terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan
pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis
laktat.
2. Cairan Koloid
1) Albumin. Terdiri dari 2 jenis yaitu :
a. Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang
dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000,
terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan
berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50
% akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3-nya.
b. Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,
albumin eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin
eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma
manusia yangdimurnikan. Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25%
dalam garam fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan
meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah yang diberikan. Hal ini
disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan ini
menyebabkan translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah
cairan intersisial mencukupi.
2) HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Tersedia dalam bentuk larutan
6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.
Pengikatan cairan intravaskuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh
karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi.
Pe aktivitas surfaktan
Pe compliance paru
Stiff lung
Pe shunting
Hipoksia arterial