Osteoartritis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

Osteoartritis

Jodie Josephine
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Pendahuluan
Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.
Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada pria
dan 12,7% pada wanita.
Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh
adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada
permukaan persendian.
Terdapat di dalam skenario bahwa seorang perempuan, 60 tahun datang berobat ke poliklinik
penyakit dalam RS UKRIDA dengan keluhan nyeri pada lutut kanan dan kiri sejak 2 tahun
yang lalu. Nyeri pada lutut terutama bertambah saat berjalan, menekuk kaki, bangun dari
duduk yang lama dan saat sholat. Pasien mengatakan saat bangun tidur lututnya sering terasa
kaku juga sekitar 30 menit dan pada lututnya sering berbunyi kretek-kretek.
Dengan hipotesa awal bahwa perempuan di skenario menderita OA, makalah ini akan
menjelaskan lebih jauh tentang OA dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, etiologi-epidemiologi, penatalaksanaan, dan prognosis daripada penyakit OA.

Jodie Josephine Jonazh, NIM: 102011186, Fakultas Kedokteran Universitas Krida


Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510, [email protected].

Anamnesa
Identitas:

- Nama

:-

- Jenis Kelamin

: Perempuan

- Umur

: 60 tahun

Keluhan Utama: nyeri lutut kiri dan kanan


Pada anamnesis biasanya didapatkan pasien yang berusia lanjut yang menderita nyeri pada
sendi-sendi besar seperti vertebrae, panggul, lutut dan pergelangan kaki. Sendi-sendi
pergelangan dan jari tangan jarang terkena osteoarthritis. Tidak ada dominasi jenis kelamin
dalam osteoarthtritis. Pada umur di bawah 50 tahun didapatkan lebih banyak pria yang
menderita osteoarthritis. Sedangkan pada saat berusia diatas 50 tahun lebih banyak ditemukan
penderita wanita.1
Osteoarthtritis ialah penyakit yang bersifat kronik progresif. Pada tingkat yang lebih lanjut
pasien dapat datang bukan hanya dengan keluhan nyeri, namun bisa juga terdapat
pembesaran sendi yang dapat menghambat gerakan sendi bahkan deformitas sendi tersebut.
Pada osteoarthritis daerah genu dapat terlihat kaki yang berbentuk valgus maupun varus.
Pasien osteoarthritis juga biasanya mengalami stress pada sendi akibat penekanan berat badan
tubuh yang berlebih. Sehingga pada pasien penyakit ini biasanya didapat obesitas. Selain itu
dapat pula ditanyakan apakah pasien mengalami cedera sebelumnya karena cedera dapat
memperburuk keadaan penyakit.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik umum:

Berat badan
Tinggi badan
Tekanan darah
Denyut nadi
Frekuensi pernapasan
Suhu tubuh
Kesadaran

: 80 kg
: 165 cm
: 120/80 mmHg
: 88x/menit
: 20x/menit
: 36,40C
: Compos mentis

Pada pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi look (inspeksi), feel (palpasi) dan
move (menggerakan sendi-sendi). Pemeriksaan osteoarthritis difokuskan pada sendi-sendi
2

dengan kemungkinan terbesar terkena penyakit ini, yaitu sendi pangkal paha, lutut serta
pergelangan kaki.2
Pada persendian di daerah pangkal paha pemeriksaan yang dilakukan meliputi:

Inspeksi
Pemeriksaan sendi pangkal paha dapat dimulai ketika pasien memasuki ruang periksa.
Yang perlu diperhatikan ialah fase berdiri dan fase mengayun. Fase berdiri ialah pada saat
kaki mengenai tanah dan menyangga beban tubuh. Sedangkan fase mengayun ialah fase
disaat kaki bergerak ke depan dan tidak menyangga beban tubuh. Cara berjalannya harus
terlihat lancar dengan irama yang berkesinambungan. Selain itu dapat dilihat pemukaan
anterior dan posterior sendi pangkal paha untuk menemukan bagian yang mengalami

atrofi otot maupun memar.2


Palpasi
Pada perabaan dapat ditemukan bagian-bagian os coxae seperti SIAS, krista illiaka, dan
tuberkulum illiaka di permukaan anterior sendi. Pada permukaan posterior ditemukan
trokanter mayor dan tuber iskiadikum.
Jika terasa nyeri pada sendi pangkal paha dapat dilakukan palpasi bursa illiopektineal

yang berada pada bidang yang lebih dalam dari ligamentum inguinalis.
Kisaran gerak dan manuver
Gerakan pada sendi pangkal pada meliputi fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi dan rotasi.
Khusus untuk osteoarthritis biasanya dijumpai keterbatasan pada abduksi. Selain itu
gangguan pada rotasi internal merupakan suatu indikator yang sensitif terhadap penyakit
sendi pangkal paha. Biasanya hal ini juga diikuti dengan gangguan pada rotasi eksternal.2

Pada sendi lutut dan tungkai bawah juga dapat dilakukan pemeriksaan yang dengan pola yang
sama, yaitu:

Inspeksi
Perhatikan aliran gerak pasien saat berjalan memasuki ruang periksa. Lutut harus
diekstensikan ketika tumit menyentuh tanah dan difleksikan pada siklus berdiri dan
mengayun. Pada penderita osteoarthritis sering terdapat pembengkakan sendi lutut dan

kantong suprapatela sehingga cekungan normal di sekitar patela menghilang.2


Palpasi
Pada posisi duduk palpasi akan lebih mudah dilakukan karena semua patokan tulang
terlihat dengan lebih jelas. Ibu jari dapat digunakan untuk meraba cekungan lunak yang
terletak di kedua sisi patela. Selain itu dapat juga diraba kondilus medialis femur serta
tepi atas plateau medialis tibia.
3

Pada perabaan juga tanyakan pada pasien apakah ada nyeri tekan. Rasa nyeri dan
krepitasi merupakan indikasi adanya pergesekan antara os tibia dan os femur. Hal ini
dapat terjadi akibat berkurangnya cairan sendi maupun pembentukan spur/osteofit yang
kerapkali dapat ditemukan pada penderita osteoarthritis.1,2
Pada osteoarthritis terjadi efusi banyak di sendi. Hal ini dapat menyebabkan kompresi
sendi sehingga cairan tersebut dapat menyemprot ke dalam rongga yang berada di dekat

patella. Gelombang cairan dapat dideteksi dengan tes tertentu seperti tes balon.
Kisaran gerak dan manuver
Gerakan sendi lutut yang terutama adalah fleksi, ekstensi, rotasi internal dan eksternal.
Pada penderita osteoarthritis biasanya ditemukan pengurangan range of movemen / ROM.
Terutama pada gerakan fleksi-ekstensi. Normalnya pada pergerakan ini pasien setidaknya
dapat mencapai ROM sebesar 120o. Namun sudut ini dapat menurun pada penderita
osteoarthritis. Umumnya pasien akan kesulitan melakukan fleksi yang dalam seperti pada
saat berlutut.2

Pergelangan kaki dan kaki juga merupakan tempat yang sering terjadi perubahan radiografi
akibat terjadinya proses peradagan. Oleh karena itu pemeriksaan di daerah ini tidak kalah
pentingnya.

Inspeksi
Amati apakah ada deformitas, noduli maupun pembengkakan di daerah pergelangan kaki.
Palpasi
Pemeriksaan dengan menggunakan kedua ibu jari di daerah anterior setiap sendi
pergelangan kaki dengan memperhatikan adanya pembengkakan serta nyeri tekan. Selain
itu dapat dilakukan perabaan pada daerah posterior yaitu pada tendon Achiles untuk
menemukan adanya noduli dan nyeri tekan. Selain itu lakukan pula palpasi pada
artikulasio metatarsofalangeal. Nyeri pada daerah ini lebih mengindikasikan ke arah

penyakit arthritis gout.2


Kisaran gerak dan manuver
Pergerakan pada pergelangan kaki meliputi gerakan fleksi dan ekstensi serta gerakan
inversi dan eversi.

Secara umum pada pemeriksaan osteoarthritis didapatkan nyeri sendi yang dapat disertai
dengan gangguan pergerakan pada sendi yang terkena peradangan.
Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan artosentesis sebagai suatu indikasi untuk
memastikan diagnosis. Namun perlu diperhatikan kontraindikasi yaitu pada sendi yang tidak
stabil. Hal ini biasanya terjadi pada tingkat ostearthritis yang lebih tinggi dimana terjadi
deformitas. Selain itu pada osteoarthritis yang sudah parah juga dapat ditemukan gangguan
sendi celah sendi menyempit dan jmlah cairan sendi berkurang. Pengambilan cairan sendi
akan semakin memperburuk keadaan pada kondisi ini.3
Pada artrosentesis dapat dilakukan pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, tes mikrobiologi,
tes kimia serta tes imunologi. Pada pemeriksaan makroskopik yang dapat dilihat ialah warna
cairan sendi, tes musin, tes viskositas dan melihat bekuan dalam sendi. Diantara keempat
jenis tes tersebut hanya tes warna yang masih bisa digunakan untuk kasus osteoarthritis. Pada
tes warna umumnya didapatkan perubahan warna cairan sendi dari bening menjadi warna
kuning jernih. Tes yang lain umumnya tetap terlihat seperti keadaan normal.

Gambar 2: Warna Cairan Sendi Pada Penderita Osteoarthritis


Diunduh dari http://images.rheumatology.org/search.php?searchstring=%22synovial%20fluid%22

Selain itu angka normal juga ditunjukan pada pemeriksaan hitung sel darah dan laju endap
darah darah. Pemeriksaan imunologi seperti pemeriksaan C-Reactive Protein, Anti Nuclear
Antibodies serta Rheumatoid Factor juga tidak banyak membantu karena hasilnya tetap
normal. Akan tetapi ketiga pemeriksaan ini bisa digunakan untuk membedakan osteoarthritis
terhadap jenis penyakit sendi yang lain seperti rheumatoid arthritis.3
C-Reactive Protein ialah suatu protein yang dilepaskan secara cepat pada proses peradangan
akut. Pada 70-80 % penderita rheumatoid arthritis didapatkan peningkatan kadar CRP.
Sedangkan Rheumatoid Factor merupakan antibodi terhadap bagian Fc (constant region) dari
immunoglobulin G yang ditemukan pada 80% penderita rheumatoid arthritis. Tes Anti
Nuclear Antibodies umumnya meningkat pada 70% penderita Sistemic Lupus Eritomatosus
5

dan pada 20% penderita rheumatoid arthritis. Sehingga ketiga tes tadi bisa digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan pasien terkena osteoarthritis bila didapatkan hasil yang positif.3
Lantas jenis pemeriksaan apa yang dapat kita gunakan untuk memastikan diagnosis
osteoarthritis? Pemeriksaan radiologi ialah jenis pemeriksaan yang cukup akurat dan
meyakinkan dalam diagnosis penyakit ini. Pada pemeriksaan radiologi umumnya didapatkan
penyempitan pada rongga sendi yang disertai dengan sklerosis tepi persendian. Mungkin pula
terdapat deformitas, pembentukan kista juksta artikular serta pembentukan spur/osteofit.
Kadang bisa didapatkan liping pada tepi tulang serta adanya tulang yang lepas.1,4
Berdasarkan gambaran radiologisnya, dua orang ahli yaitu Kellgren dan Lawrance
menetapkan lima derajat osteoarthritis, yaitu:

Derajat 0 : normal, celah sendi baik, tidak ada osteofit dan kista subkondral.
Derajat 1 : adanya penyempitan celah sendi yang meragukan dan adanya kemungkinan

pembentukan osteofit.
Derajat 2 : adanya osteofit yang disertai dengan kemungkinan penyempitan pada celah

sendi.
Derajat 3 : jumlah osteofit yang lebih dari satu, penyempitan celah sendi, beberapa
gambaran sklerotik pada tulang yang disertai dengan kemungkinan adanya deformitas

tulang.
Derajat 4 : osteofit yang besar, celah sendi yang menyempit, sklerosis dalam tingkatan
yang parah serta didapatkan adanya deformitas pada tulang.

Gambar 3: Osteoarthritis Sendi Lutut Derajat 3


Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/310834-overview

Derajat ini digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit serta penanganan yang
tepat terhadap tingkat penyakit tersebut. Selain pemeriksaan radiologi, dapat pula dilakukan

pemeriksaan resonansi magnetik (MRI) serta artoskopi untuk mendukung diagnosis


osteoarthritis.3
Terdapat bermacam-macam marker molekular yang dapat ditemukan pada cairan sinovial
maupun dalam serum pasien OA yang berasal dari komponen ekstraartikular matriks yang
dapat digunakan sebagai penanda biokimia timbulnya penyakit ini. Contohnya ialah core
protein epitopes, keratan sulfate epitopes, cartilage matrix proteins dan type II colagen Cpropeptide. Semua biomarker tadi akan meningkat kadarnya dalam cairan sendi penderita
osteoarthritis.3
Diagnosis Kerja
Diagnosis kerja penderita osteoarthritis dipastikan melalui gambaran klinis dan radiografis.3
Gambaran klinis yang tampak pada pasien osteoarthritis umumnya ialah sebagai berikut :

Nyeri sendi
Keluhan ini yang umumnya disampaikan oleh pasien saat pertama kali bertemu dengan
dokter. Pasien biasanya merasa bertambah nyeri pada saat beraktivitas dan berkurang
nyerinya saat beristirahat. Nyeri pada osteoarthritis juga dapat berupa penjalaran maupun
akibat radikulopati misalnya pada osteoarthritis servikal dan lumbal. OA lumbal dapat
menimbulkan stenosis spinal yang berujung pada rasa nyeri di daerah betis yang disebut
sebagai claudicatio intermitten.

Hambatan gerakan sendi


Gangguan ini umumnya semakin bertambah parah seiring bertambahnya rasa nyeri.
Kaku pagi
Kaku biasanya timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi dalam waktu yang lama
maupun setelah bangun tidur. Setidak-tidaknya didapati 20 menit keadaan kaku sebelum

sendi dapat digerakan lagi.


Krepitasi
Pada keadaan di mana celah sendi telah menyempit dapat terjadi pergesekan antara tulang
yang satu dengan yang lainnya yang menimbulkan bunyi gemertak dan dapat terdengar

pada jarak tertentu.


Pembesaran sendi (Deformitas)
Biasanya perbesaran sendi secara progresif dapat terlihat pada sendi lutut dan sendi

tangan.
Perubahan gaya berjalan
Perubahan gaya berjalan yang paling sering terlihat ialah menjadi pincang. Hal ini akan
sangat mengganggu mobilisasi pasien OA.
7

Adapun gambaran radiologi yang dapat menyokong diagnosis osteoarthritis ialah:

Penyempitan celah sendi yang seringkali bersifat asimetris dan lebih sering terjadi pada

persendian yang berperan untuk menyangga badan.


Peningkatan densitas (gambaran sklerotik) tulang subkondral.
Adanya kista pada tulang akibat efusi cairan sendi.
Osteofit yang tampak pada pinggiran sendi.
Perubahan struktur anatomis sendi.

Namun yang perlu diperhatikan ialah perubahan radiografi ini seringkali tidak terlihat pada
tingkat awal OA.
Selain radiografi dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan magnetik (MRI) untuk bila OA
dicurigai berkaitan dengan penyakit akibat gangguan metabolisme seperti alkaptonuria,
displasia epifisis, hiperparatiroidisme, maupun penyakit Paget. MRI serta artroskopi dapat
dilakukan juga bila OA disertai dengan penyakit berat seperti osteonekrosis dan pigmented
sinovitis.3

Diagnosis Banding
Diagnosis banding terhadap osteoarthritis ialah penyakit radang sendi lainnya, yaitu:
1. Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid Arthritis merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dengan
manifestasi utama poliarthritis progresif dan dapat menyaebabkan komplikasi ke seluruh
organ tubuh. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun. Terlibatnya sendi pada
pasien arthritis rheumatoid akan terjadi pada tingkatan yang lebih lanjut dari penyakit ini.5
Penyakit ini umumnya menyerang sendi yang kecil, meskipun tidak menutup
kemungkinan mengenai sendi yang besar. Hal ini berbanding terbalik dengan
osteoarthritis yang umumnya mengenai sendi penyangga tubuh. Seringkali terdapat
deformitas yang sangat khas untuk RA yaitu deformitas swan neck (fleksi kontraktur
MCP hiperekstensi PIP fleksi PIP) dan deformitas Boutonniere (fleksi PIP
hiperekstensi DIP).5

Gambar 4: Swan Neck Deformities


Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/310834-overview

Selain itu ciri yang khas ialah terdapatnya poliarthritis yang serentak serta arthritis pada
daerah persendian tangan yang bersifat simetris. Hal ini berbanding terbalik dengan
osteoarthritis yang lebih sering terjadi monarthritis asimetris. Ciri khas lain dari RA ialah
adanya nodul subkutan pada pada lengan ekstensor yang bila dibiopsi akan terlihat
kolagen rusak dengan histiosit yang tersusun seperti pagar.
Pemeriksaan laboratorium juga dapat mendiferensiasi RA terhadap OA. Laju endap
darah, hitung sel darah, rheumatoid factor, anti CCP dan C-reactive protein umumnya
meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Pada penderita osteoarthritis didapati
angka yang normal pada semua indikator diatas.
2. Kristaline Arthritis
Merupakan suatu peradangan sendi yang kebanyakan disebabkan oleh deposit kristal urat
di jaringan lunak dan sendi. Penyakit ini lebih dikenal sebagai gout. Ciri khasnya ialah
umumnya kadar asam urat dalam darah yang meningkat diatas 7 mg/dl. Penyakit ini
dapat semakin bertambah parah, biasanya dimulai dari serangan akut yang jika tidak
dapat ditangani dengan baik dapat berubah menjadi kronik dan dapat menyebabkan
komplikasi ke organ lain seperti ginjal.4,5
Perbedaan utama yang ditemukan antara gout dan OA ialah pada gout sendi yang
berwarna kemerahan dan adanya pembengkakan yang bila dibiopsi akan terdapat massa
amorf urat dan giant cell proses peradangan yang disebut sebagai tophus. Hal ini tidak
ditemukan pada osteoarthritis. Selain itu juga ciri khas pada gout ialah ditemukannya
pembengkakan pada persendian metatarsophalangeal 1 yang hanya terjadi unilateral.5
Tophus yang terjadi pada pada kristaline arthritis biasanya terjadi pada lokasi yang
spesifik dan khas seperti cuping telinga, olekranon, metatarsophalangeal 1, tendon achiles
dan jari tangan.

Gambar 5: Gout pada Jaringan Lunak di Persendian Tangan


Diunduh dari : http://jointpainarthritis.net/causes-of-gout/

Etiologi
Faktor umum yang mempengaruhi peningkatan resiko osteoarhritis ialah:

Umur
Faktor ini merupakan faktor dengan hubungan terbesar terhadap osteoarthritis. Ditemukan
sekitar 80% individu berusia diatas 75 tahun yang menderita osteoarthritis dengan
progresivitas penyakit hampir mengenai seluruh sendi. Perubahan radiologis yang
menunjukan gejala OA umumnya makin nyata ditemukan pada usia lanjut meskipun
perubahan ini tidak selalu berkorelasi dengan gejala klinik yang muncul.3
Perubahan morfologis dan struktural yang berkaitan dengan kartilago pada sendi ialah
semakin menipis dan melembutnya permukaan kartilago. Selain itu berkurangnya ukuran
dan agregasi matriks proteoglikan juga dapat terlihat pada usia tua. Hal ini mungkin
disebabkan oleh penurunan kemampuan kondrosit dalam memperbaiki jaringan akibat
proses degenerasi yang terjadi. Selain itu pada usia tua sering ditemukan penurunan
sensitivitas kondrosit terhadap insulin growth factor 1 yang berperan dalam stimulasi
produksi proteoglikan, kolagen dan reseptor sel integrin.3,4
Didapatkan pula korelasi langsung antara apoptosis pada kondrosit dan degradasi
kartilago pada usia lanjut dengan peningkatan resiko timbulnya osteoarthritis.

Lokasi Sendi
Seperti yang kita ketahui bersama, ostearthritis kerapkali terjadi pada persendian antara
tulang-tulang yang menyangga badan, seperti pada persendian pangkal paha, lutut dan
pergelangan kaki. Hal ini juga tidak lepas dari pengaruh umur yang mempercepat
penurunan fungsi persendian dalam menyangga badan. Sebuah studi menunjukkan bahwa
daerah pangkal paha dan lutut lebih tinggi kemungkinannya untuk terkena osteoarthritis.
10

Pada kedua daerah ini ditemukan lebih banyak reseptor terhadap interleukin 1 dan lebih
banyak kondrosit yang mengekspresikan Mrna pembentuk metalloproteinase dibanding
daerah pergelangan kaki. Hal ini diduga turut berperan dalam mempercepat degenerasi

yang terjadi dalam persendian tersebut.3,4


Obesitas
Obesitas juga merupakan suatu predisposisi terhadap peningkatan resiko terkena
osteoarthritis. Seseorang dikatakan mengalami obesitas apabila indeks massa tubuhnya
melebihi 25,0 (indeks massa tubuh ialah hasil pembagian berat badan dalam kilogram
terhadap kuadrat tinggi badan dalam meter). Obesitas menyebabkan tulang-tulang
penyangga badan bekerja lebih keras dalam menyangga badan sehingga meningkatkan
gaya mekanik pada persendian antar tulang tersebut.3
Apalagi bila kondisi ini ditambah dengan aktivitas fisik yang terlalu keras. Hal ini tentu
saja dapat memperberat keadaan tersebut. Oleh karena itu harus dijaga agar penderita
osteoarthritis tidak melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Pada penderita OA yang
menurunkan berat badannya didapati peningkatan status fungsional yang berarti bahkan
didapati perbaikan yang setara dengan pasien yang telah mengalami operasi penggantian
sendi.4

Genetik
Studi populasi yang diikuti pasien dengan perubahan radiografis khas osteoarthritis
menemukan kontribusi genetik terhadap penyakit ini, yaitu gen resesif dan komponen
multifaktorial. Ada beberapa gen struktural yang berperan penting dalam pengelolaan
serta perbaikan kartilago sendi dan berperan dalam pengaturan proliferasi kondrosit serta
ekspresi gen. Beberapa gen untuk kode protein pembentukan matriks ekstraselular yang
mengalami mutasi telah dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya osteoarthritis.
Contohnya ialah mutasi titik yang terjadi pada gen yang berperan dalam pembentukan
protein kolagen tipe II. Mutasi ini diwariskan dalam keluarga yang memiliki riwayat
spondyloepifisial displasia dan poliartikular osteoarthritis. Gangguan ini pada gilirannya
akan menghasilkan protein yang salah sehingga protein yang terbentuk tidak dapat
bekerja dengan tepat dalam perbaikan kartilago sendi. Hal ini meningkatkan resiko
timbulnya osteoarthritis.3,4

Trauma
Terjadinya trauma dapat menyebabkan peningkatan terjadinya osteoarthritis secara cepat
maupun dapat menginisiasi suatu proses lambat yang menghasilkan gejala osteoarthritis
beberapa tahun kemudian. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya suplai darah
11

periartikular pasca trauma maupun berkurangnya proses remodelling pada osteochondral


junction. Faktor lokal lainnya seperti stress yang berkaitan dengan frekuensi penggunaan
sendi dan deformitas sendi juga mempunyai pengaruh atas timbulnya osteoarthritis.4

Gender
Wanita memiliki resiko dua kali lebih besar dibanding pria untuk terkena osteoarthritis.
Sebelum usia 50 tahun, lebih banyak didapati pria penderita OA dibanding wanita. Diatas
50 tahun, hal ini menjadi berkebalikan. Hal ini dikaitkan dengan berkurangnya kadar
estrogen pasca menopause pada wanita berusia di atas 50 tahun. Kondrosit pada daerah
persendian memiliki reseptor terhadap estrogen yang mengindikasikan bahwa sebenarnya
sel-sel diregulasi oleh estrogen. Peningkatan kadar estrogen juga sebanding dengan
peningkatan proteoglikan yang sangat diperlukan untuk menunjang matriks ekstraselular.4
Sebuah studi juga menunjukkan bahwa konsumsi estrogen oral selama 10 tahun berturut
pada wanita pasca menopause menghindarkan mereka terhadap resiko terkena
osteoarthritis di daerah pangkal paha.

Epidemiologi
Penyakit ini tidak terkonsentrasi pada wilayah tertentu di belahan bumi. Namun penyakit ini
sangat umum dijumpai pada usia lanjut. Data yang dimiliki di Indonesia adalah data OA pada
sendi lutut. Didapat prevalensi OA pada pria 15,5% dan wanita 12,7%. Angka yang cukup
tinggi ini membuat osteoarthritis memiliki dampak sosio-ekonomik yang cukup besar baik di
negara maju maupun negara berkembang.3
Data dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES III) di Amerika
Serikat menunjukan prevalensi osteoarthritis lutut pada usia di atas 60 tahun mencapai 12,1%
dari keseluruhan kasus dimana wanita lebih sering terkena OA lutut dibanding laki-laki
(42,1% berbanding 31,2%) dan wanita lebih sering terkena OA derajat 3 dan 4 (12,9%
berbanding 6,5% laki-laki.4
Patofisiologi
Secara umum berdasarkan patogenesisnya osteoarthritis dibagi menjadi dua, yaitu OA primer
dan OA sekunder. OA primer primer disebut juga OA idiopatik yaitu jenis OA yang
penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada hubungan dengan penyakit sistemik serta
perubahan lokal yang terjadi pada sendi. Sedangkan yang disebut sebagai OA sekunder ialah
OA yang didasari pada kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas
12

mikro dan makro serta imobilisasi yang terjadi dalam waktu yang lama. Kasus primer lebih
sering ditemukan dalam kenyataannya dibanding dengan kasus sekunder.3
Para ahli menyatakan bahwa OA merupakan penyakit dengan gangguan metabolisme pada
kartilago yang juga diikuti dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang belum
diketahui mekanismenya. Terjadinya jejas mekanik dan kimiawi pada sinovial sendi
umumnya disebabkan oleh banyak faktor dan jejas ini dapat merangsang pembentukan
molekul yang abnormal serta menyebabkan adanya produk dari hasil degradasi kartilago
yang berada di dalam persendian yang memicu terjadinya inflamasi sendi, kerusakan
kondrosit serta nyeri. Pada OA juga didapati hipertrofi kartilago berupa peningkatan terbatas
dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit yang diduga merupakan suatu mekanisme
kompensasi terhadap degradasi rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi pada cairan
sendi.3
Secara fisiologis didapatkan bahwa rawan sendi mampu melakukan perbaikan sendiri dimana
akan terjadi replikasi pada kondrosit untuk memproduksi matriks yang baru. Proses perbaikan
ini dibantu oleh oleh suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel serta membantu proses
komunikasi antar sel. Polipeptida ini merupakan suatu faktor pertumbuhan yang menginduksi
proses sintesis DNA dan protein serta kolagen dan proteoglikan. Contoh faktor pertumbuhan
tersebut ialah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor
(TGF- ) dan coloni stimulating factors (CSFs). Namun pada keadaan inflamasi terjadi
suatu kondisi dimana sensitivitas sel terhadap faktor pertumbuhan menurun. Selain faktorfaktor pertumbuhan tadi, hormon seperti testosteron, -estradiol dan kalsitonin juga memiliki
peranan dalam sintesis komponen kartilago.4
Proses degradasi pada kolagen akan terjadi oleh berbagai macam faktor (yang terutama ialah
usia). Seiring dengan laju degradasi yang makin cepat ini maka hasil degradasi matriks tulang
rawan sendi cenderung berkumpul di dalam cairan sendi. Hal ini akan mengawali terjadinya
inflamasi sendi. Hal ini juga didukung dengan data bahwa perbandingan sintesis dan
pemecahan matriks tulang rawan sendi pada pasien penderita OA ialah sekitar 0,29
berbanding 1.3
Pada penderita OA juga terjadi gangguan suplai darah. Gangguan ini disebabkan oleh
peningkatan aktivitas fibrinogenik sekaligus penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini akan
menyebabkan munumpuknya trombus dan kompleks lipid pada pembuluh darah daerah
subkondral yang berujung pada iskemia dan nekrosis pada jaringan subkondral tersebut.
13

Seperti kita ketahui bersama saat terjadi nekrosis, sel akan melepaskan mediator kimiawi
seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat memicu rasa sakit karena dihantar oleh saraf
sensibel. Selain dilepaskannya mediator kimiawi, adanya peradangan pada tendo atau
ligamen serta spasme otot ekstra artikuler juga dapat memicu terjadinya rasa sakit. Sakit pada
sendi juga dapat disebabkan oleh adanya penekanan periosteum dan radiks saraf oleh osteofit
serta peningkatan tekanan intramedular akibat statisnya aliran darah vena intramedular karena
proses remodelling pada trabekula dan subkondral.3,4
Pada saat terjadi jejas yang menyebabkan nekrosis sel, material hasil nekrosis (yang dikenal
sebagai CSFs) akan memproduksi suatu sitokin aktivator plasminogen yang disebut sebagai
katabolin. Sitokin ini terdiri dari interleukin, tumor necrosis factor dan interferon. Sitokin ini
akan merangsang pembentukan CSFs tambahan yang akan mempengaruhi monosit untuk
mendegradasi rawan sendi secara lebih lanjut. Selain itu adanya sitokin ini juga akan
mempercepat proses resorpsi matriks rawan sendi. Adanya interlekuin-1 juga memiliki efek
yang banyak terhadap cairan sendi, yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi
rawan sendi seperti stromelisin dan kolagenosa. Selain mendegradasi rawan sendi, enzim ini
juga menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit.4
Efek antagonis dapat terlihat antara sitokin terhadap faktor pertumbuhan. Sitokin cenderung
merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan
merangsang sintesis. Namun yang menjadi permasalahan adalah pada penderita OA
seringkali didapatkan penurunan kadar faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor
1/IGF-1.3
Penatalaksanaan
Secara umum terapi pada penderita osteoarthritis terdiri atas 3 hal, yaitu:
1. Terapi Non-Farmakologis
Perlindungan sendi dengan koreksi postur tubuh yang buruk, penyangga untuk lordosis
pada daerah lumbal, menghindari aktivitas berlebihan pada sendi yang sakit dan

pemakaian alat-alat yang dapat meringankan kerja sendi.4


Dapat juga dilakukan terapi penggunaan ultrasound, stimulasi elektrik, akupuntur dan

pemijatan untuk mengurangi efek nyeri pada osteoarthritis.


Diet untuk menurunkan berat badan agar dapat mengurangi timbulnya keluhan.
Fisioterapi dengan pemakaian panas dan dingin (diathermi), serta program latihan yang
tepat.
14

Edukasi dan penerangan tentang cara menangani pasien osteoarthritis bagi kerabat dan

keluarga yang bersangkutan.


Dorongan psikososial bagi penderita osteoarthritis.

2. Terapi Farmakologis
Pada penyakit osteoarthritis obat yang dapat digunakan meliputi analgesik oral non-opioid,
analgesik topikal, OAINS, steroid intraartikular serta penggunaan suplemen.

Pada penderita osteoarthritis yang digunakan sebagai lini pertama penanganan penyakit
adalah asetaminofen. Asetaminofen/Paracetamol merupakan obat analgesik-antipiretik
yang berasal dari golongan Para Amino Fenol. Dosis yang digunakan berkisar antara 350650 mg dan digunakan 4 kali sehari. Obat ini dapat mengurangi rasa nyeri dalam tingkat
ringan yang timbul akibat gejala awal dari osteoarthritis.3
Yang perlu diperhatikan adalah efek samping obat yang dapat menyebabkan reaksi alergi
seperti eritemia, urtikaria dan demam. Selain itu dapat timbul nefropati analgesik. Dalam

dosis yang toksik maka bisa terjadi nekrosis hati dan tubuler ginjal.
Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) yang digunakan hanya bekerja sebagai analgesik
dan mengurangi peradangan, namun tidak dapat menghentikan reaksi patologis yang
terjadi. Adapun jenis obat yang digunakan ialah fenoprofin, piroksikam serta ibuprofen.

Dosis yang digunakan hanya

1
2

1
3

dari dosis obat yang sama bila digunakan pada

penderita rheumatoid arthritis.3


Karena pemakaiannya yang digunakan dalam jangka panjang, umumnya muncul efek
samping utama yaitu gangguan mukosa lambung dan gangguan faal ginjal. Hal ini
disebabkan karena hambatan pada COX-1 dan COX-2 pada jalur siklooksigenase tempat
kerja obat ini. Oleh karena itu saat ini dikembangkan jenis OAINS yang hanya bekerja
selektif pada COX-2 yaitu Celecoxib dan Valdecoxib. Kedua jenis obat ini memiliki efek

samping yang lebih kecil pada traktus gastrointestinal dibanding jenis OAINS yang lain.5
Bila penggunakan Asetaminofen dan OAINS tidak memberi perubahan yang berarti pada
pasien, maka dapat diberikan analgesik opiod dalam dosis yang rendah yang
dikombinasikan dengan Asetaminofen. Contohnya ialah penggunaan 8 mg kodein
ditambah dengan 650 mg Paracetamol. Tetap perhatikan efek samping seperti mual,

muntah, pusing, sakit kepala dan penurunan tingkat kesadaran pada pemakaian obat ini.3
Selain penggunaan per oral, dapat digunakan analgesik topikal. Contohnya adalah
Capsaicin yang berasal dari ekstrak cabe merah. Capsaicin melepas substansi P dari
15

serabut saraf sehingga dapat mengurangi nyeri pada osteoarthritis. Agar efektif, Capsaicin
harus digunakan secara reguler setidak-tidaknya selam 2 minggu. Pemberian Capsaicin
dapat dikombinasikan dengan analgesik maupun OAINS.3
Penggunaan ketiga jenis obat-obatan diatas memiliki efek gastrointestinal yang cukup
besar seperti tukak lambung dan gastritis. Di Amerika Serikat penggunaan OAINS
menyebabkan 100.000 kasus tukak lambung dengan 10.000 15.000 kematian per tahun.
Hal ini mendorong para ahli untuk berusaha mencari obat yang bukan mengurangi nyeri
dengan menghambat jalur siklooksigenase, melainkan mencari obat yang dapat
memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi bahkan kalau bisa mencegah
timbulnya kerusakan kartilago.
Jenis obat ini digolongkan sebagai chondroprotective agents atau disease modifying

osteoarthritis drugs (DMOADs). Yang termasuk ke dalam golongan DMOADs ialah:


Tetrasiklin dan derivatnya yang mempunyai kemampuan menghambat kerja enzim
metaloproteinase. Salah satu derivat yang digunakan ialah doksisiklin. Penggunaan obat

ini masih dalam tahap percobaan pada hewan dan belum diterapkan pada manusia.6
Asam Hialuronat digunakan untuk memperbaiki tingkat kekentalan cairan sinovial. Obat
ini digunakan melalui suntikan intra-artikuler dengan dosis 2 cc sekali seminggu dan
disuntik sebanyak 3-5 minggu berturut-turut. Jenis preparat yang digunakan ialah NaHyaluronat (Hyalgan) dan Hylan G-F 20 (Synvisc). Asam hialuronat memegang peranan
penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan.
Efek samping yang perlu diperhatikan ialah pembengkakan dan reaksi kulit yang bersifat

lokal yang mungkin terjadi.5,6


Injeksi steroid intra-artikuler dapat mengurangi inflamasi sendi maupun efusi sendi yang
terjadi pada osteoarthritis. Hal ini dikarenakan steroid (seperti kortikosteroid) dapat
menghambat kerja enzim fosfolipase sehingga tidak terbentuk mediator peradangan
seperti prostaglandin dan leukotrien melalui jalur siklooksigenase dan lipooksigenase.3
Penggunaan kortikosteroid dibatasi hanya 3 4 kali per tahun dikarenakan efek
sistemiknya yang besar. Preparat yang digunakan ialah Metil Prednisolon Asetat dan

Triamnisolon Hexatidone.
Glikosaminoglikan merupakan sejenis suplemen yang dapat menghambat sejumlah enzim
yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan seperti hialuronidase, protease,
elastase dan cathepsin B1 in vitro. Selain itu glikosaminoglikan juga merangsang sistensis
proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia. Berdasarkan
peneliatian didapatkan penggunaan glikosaminoglikan selama 5 tahun dapat memberikan
perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga dan kehilangan jam kerja aktif.5

16

Kondroitin Sulfat ialah suatu komponen yang penting pada matriks ekstraselular
sekeliling sel pada kelompok vertebrata. Tulang rawan kita terdiri dari 98% matriks
ekstraselular dan hanya 2% sel. Pada OA terjadi kerusakan sendi yang disebabkan oleh
berkurangnya komponen matriks ekstraselular seperti proteoglikan. Pada pemberian
Kondroitin Sulfat ditemukan efek protektif terhadap kerusakan tulang rawan sendi

tersebut.6
Vitamin C, dapat berguna pada penderita OA karena dapat menghambat aktivitas enzim

lizosim.
Superoxide Dismutase, merupakan suatu enzim yang dapat menangkal radikal bebas
seperti superoksida dan radikal hidroksil. Radikal bebas ini dapat merusak kolagen,
proteoglikan, asam hialuronat dan kondrosit. Sehingga pemberian superoxide dismutase
dapat memberikan efek positif dalam pengobatan penderita OA.

3. Pembedahan
Pembedahan dilakukan bila penatalaksanaan dengan terapi non farmakologis dan terapi
farmakologis tidak berhasil dengan baik. Selain itu pembedahan juga dapat dilakukan
juga pasien mengalami keluhan seperti nyeri, kaku dan deformitas bengkok yang semakin
bertambah parah seiring dengan perjalanan penyakit. Keluhan ini sangat mengganggu
pasien karena membatasi aktivitas sehari-hari pasien seperti berjalan, naik turun tangga
dan bekerja.
Secara umum ada 2 tindakan yang dilakukan dalam pembedahan yaitu artroskopi dan
total joint replacement. Tindakan ini diindikasikan sesuai dengan derajat keparahan
radiologis penderita OA menurun Kellgren dan Lawrance (Pembagian derajat Kellgren
Lawrance dapat dilihat pada bagian pemeriksaan penunjang). Untuk OA derajat 1 dan 2
dilakukan artroskopi sedangkan untuk OA derajat 3 dan 4 dilakukan total joint
replacement. Berikut ini akan dideskripsikan mengenai kedua bentuk pembedahan
tersebut.
1. Artroskopi
Artroskopi merupakan prosedur pembedahan tanpa operasi terbuka dengan cara
melihat sendi melalui kabel serat optik sambil melakukan proses pembedahan dengan
semacam selang kecil yang ditusukan ke dalam persendian. Indikasi dilakukannya
artroskopi ialah bila ada peradangan tiba-tiba serta keluhan terkunci (locking),
tertahan (catching), dan sempoyongan (giving way). Selain itu artroskopi dapat
dilakukan untuk memperbaiki robekan meniskus/bantalan sendi. Pada artroskopi

17

dapat dikeluarkan benda asing dan pencucian sendi. Umumnya pasca operasi nyeri
dapat hilang hingga 2-5 tahun pada 50-85% pasien.7
Ada dua bentuk artroskopi yang dipakai saat ini yaitu lavage dan debridement.
Lavage merupakan proses pencucian cairan sendi dengan memakai larutan garam
yang kemudian dikeluarkan lagi bersama benda asing dari dalam sendi beserta dengan
cairan sendi yang berlebihan. Sedangkan debridement merupakan proses yang sama
namun ditambah dengan proses penipisan dan pelembutan kartilago sendi yang telah
keras dan meradang serta pengambilan serpihan tulang rawan yang ada dari
persendian. Selain itu pada debridement dapat pula dilakukan synovectomy yaitu
tindakan membuang selaput sinovial yang meradang.7
Berdasarkan prospective study yang dilakukan Jackson pada tahun 1982, ditemukan
bahwa

debridement memiliki angka keberhasilan yang lebih baik dibandingkan

lavage dalam jangka waktu 3 tahun pasca operasi.


2. Total Joint Replacement
Merupakan operasi penggantian permukaan sendi yang rusak dengan metal dan
plastik. Operasi ini telah dimulai sejak tahun 1950. Saat ini dilakukan penelitian untuk
mendapatkan material yang lebih baik sehingga sendi buatan ini bertahan lebih lama.
Operasi penggantian sendi secara total diindikasikan pada orang yang mengalami
ostearthritis derajat 3 dan 4. Operasi ini jarang dilakukan pada usia muda.
Kontraindikasi dilakukannya total joint replacement ialah adanya penyakit tambahan
seperti diabetes dan jantung yang dapat memperparah keadaan pasien.8
Operasi ini dilakukan pada penderita yang mengalami nyeri lutut parah hingga terjadi
deformitas (seperti varus dan valgus pada lutut), kegagalan pengobatan serta
keterbatasan dalam melakukan gerakan / penurunan range of movement yang
berujung pada kehilangan fungsi sendi seperti ketidakmampuan berjalan dan
berjongkok.8
Sendi yang paling sering dilakukan total joint replacement adalah sendi lutut dan
pangkal paha. Umumnya keluhan nyeri berkurang setelah operasi dan terdapat koreksi
pada deformitas. Pada lutut didapati fleksi hingga 120 derajat bahkan dengan desain
implant high flex knee fleksi hingga 155 derajat bisa tercapai. Hal ini akan sangat
membantu pasien dalam melakukan gerakan yang melibatkan fleksi yang dalam
seperti berlutut pada saat berdoa. Selain itu tingkat keberhasilan operasi ini cukup
tinggi, yaitu mencapai lebih dari 95% dalam kurun waktu 10-15 tahun pasca operasi.8

18

Gambar 6 : Total Knee Joint Replacement


Diunduh dari : http://topnews.us/content/213296-total-knee-replacement-surgery-national-trendamong-younger-patients

Namun, ada komplikasi yang dapat timbul dari operasi total joint replacement, yaitu
infeksi akibat operasi terbuka, trombosis vena-vena dalam, keterbatasan gerakan
sendi, nyeri lutut yang menetap dan keausan implant dalam jangka panjang. Untuk
mengatasi berbagai kekurangan ini dikembangkan suatu sistem operasi dengan
bantuan komputer. Sistem ini dikenal sebagai Computer Assisted Surgery. Sistem ini
memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibanding operasi yang dikerjakan secara
manual. Selain itu resiko infeksi dan penggunaan tourniquet dapat diturunkan dalam
penggunaan operasi ini.8

Pencegahan
Secara umum pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari resiko terkena
osteorarthritis adalah:
1. Mengatur diet dan pola makan sehingga berat badan tetap stabil dan tidak terjadi
obesitas.6
2. Menghindarkan diri sebisa mungkin dari kemungkinan trauma yang dapat terjadi.
3. Konsumsi suplemen yang bersifat chondroprotective agents seperti kondroitin sulfat dan
glikosaminoglikan.
4. Aktivitas fisik teratur namun hindari aktivitas fisik yang memberi beban terlalu berat pada
tubuh, apalagi bila sudah berusia lanjut.

Prognosis

19

Umumnya baik. Sebagian besar nyeri dapat ditangani dengan obat-obat konservatif. Hanya
pada kasus yang berat dan sangat mengganggu aktivitas pasien saja baru dilakukan operasi.
Operasi yang dilakukan pun memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi. Kuncinya bergantung
kepada penanganan yang cepat dan tepat terhadap penyakit ini.5
Kesimpulan
Osteoarthritis merupakan penyakit yang dikaitkan dengan degenerasi pada tulang rawan dan
matriks ekstraselular pada persendian. Penyakit ini kadang disertai dengan inflamasi dan
sering terjadi pada sendi-sendi besar yang menyangga tubuh, meskipun tidak menutup
kemungkinan mengenai sendi yang lebih kecil.
Selain akibat degenerasi, osteoarthritis juga dapat dikaitkan dengan gangguan lain yang dapat
menjadi predisposisi penyakit ini, antara lain kelainan endokrin, inflamasi, gangguan
metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta immobilisasi yang terlalu
lama.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk mendiagnosa OA. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan meliputi inspeksi, palpasi dan mengecek pergerakan sendi. Pemeriksaan
laboratorium kurang membantu karena hampir semua indikator masih berada dalam level
normal kecuali pemeriksaan dengan menggunakan marker biokimiawi yang lebih spesifik
untuk OA. Pemeriksaan penunjang yang cukup berguna yaitu pemeriksaan radiologis.
Faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan timbulnya osteoarthritis ialah umur, lokasi
persendian, genetik, trauma serta gender. Penyakit ini bukan merupakan penyakit epedemik
di suatu negara. Namun penyakit ini punya trend yang cukup besar untuk terjadi pada wanita
yang berusia tua.
Jalur patogenesis penyakit ini terutama akibat ketidakmampuan protein pada matriks tulang
untuk memperbaiki secara normal bagian rawan sendi yang telah terkena jejas baik secara
mekanis maupun biokimiawi. Penurunan sensitivitas sel terhadap faktor pertumbuhan yang
diikuti dengan peningkatan aktivitas sitokin diduga sebagai pencetus terjadinya osteoarthritis.
Penatalaksanaan

penyakit

ini

meliputi

penatalaksanaan

secara

non-farmakologis,

penatalaksanaan farmakologis dan pembedahan. Ketiganya dilakukan secara bertahap dan


bergantung pada derajat keparahan penyakit yang dialami penderita. Saat ini masih terus

20

dikembangkan teknik yang lebih baik dan kurang efek sampingnya dalam menangani
penyakit ini.
Pencegahan penyakit ini meliputi pengontrolan diet, penghindaran diri dari resiko trauma
serta mengkonsumsi suplemen yang bersifat chondroprotective agents untuk menghindari
degenerasi matriks tulang lebih lanjut. Pada usia lanjut, juga dianjurkan untuk tidak terlalu
melakukan aktivitas berat yang dapat mempercepat terjadinya proses degenerasi tersebut.
Prognosis penyakit ini umumnya baik asalkan dapat ditangani secara tepat.
Daftar Pustaka
1. Runge MS, Greganti MA. Netters internal medicine. 2 nd edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier Publisher; 2009.p.1009-17.
2. Bickley LS, Szilagyi PG. Buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. edisi 8.
Jakarta: EGC; 2009.h.516-30.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. edisi 5 jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.2538-49.
4. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, etc. Kelleys textbook of rheumatology. 8 th edition.
Philadelphia: Elsevier Publisher; 2009.p.1525-73.
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, dkk. Kapita selekta kedokteran. Edisi 4 jilid 1. Jakarta:
Media Aeculapius; 2005.h.535-9.
6. Beers MH, Berkow R. The merck manual of geriatrics. 3th edition. New York: Merck &
Co. Inc; 2004.p.489-93.
7. Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, etc. Hazzards geriatri medicine and gerontology.
6th edition. New York: McGraw-Hill Medical Publisher; 2009.p.1411-9.
8. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, etc. Schwartzs principles of surgery. 8 th
edition. New York: McGraw-Hill Medical Publisher; 2005.p.1703-6.

21

Anda mungkin juga menyukai