LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan
adalah penyebab ketiga pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per 100.000
populasi di amerika serikat.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:
a. Kecelakaan lalu lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.
b. Jatuh
Menurut kbbi, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut kbbi, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan).
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti
translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala
bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat
searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan
(akselerasi) pada arah tersebut.
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba
dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala
tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat
gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di
bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial.
3. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala,
jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera
kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang
datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat
benturan (price dan wilson, 2006).
cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma
tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala
terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak.
Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah
dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi
perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(corwin, 2001: 175).
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi
hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler,
serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan
a. Berdasarkan mekanisme
Nilai
Reaksi berbicara
Reaksi verbal
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang
Nilai
5
4
Mengikuti perintah
Melokalisir rangsangan nyeri
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri
Nilai
6
5
4
3
2
1
Dengan glasgow coma scale (gcs), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
Cedera kepala ringan (ckr) :
bila gcs 14-15 (kelompok resiko rendah)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
Cedera kepala sedang (cks) :
Bila gcs 9-13 (kelompok resiko sedang)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Cedera kepala berat (ckb) :
Bila gcs 3-8 (kelompok resiko berat)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga
rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah pada orbital
mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada
fossa anterior, media dan posterior (garg, 2004).
Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral
dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
Cedera otak
1) Commotio cerebri (gegar otak)
Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan karena
terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10
menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat
berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar
kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum
dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).
2) Contusio cerebri (memar otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah
kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan
saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi
adalah kelumpuhan n. Facialis atau n.hypoglossus, gangguan bicara,
yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada
kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak
encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak
pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan
sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian
takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus,
serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio
rigiditas).
Perdarahan intrakranial
Menurut price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Hematoma epidural
Hematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan
arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi, penderita
hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode
tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid.
B. Hematoma subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini
timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma
subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki
gejala dan prognosis yang berbeda-beda.
1) Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang
tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan
dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik
progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
2) Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna
dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah
cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang
subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita ini adalah adanya
trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang bertahap.
3) Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan
dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari hematoma
subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat
disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
C. Hematoma subarachnoid
Hematoma intracerebralis
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang
mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak.
Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga
karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
subduralis haematoma.
e. Berdasarkan Patofisiologi
Cedera primer
2.
3.
cedera sekunder
Cedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera
sekunder lain seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik,
kelainan saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok.
1.
2.
Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacuum.
5. Gejala klinis
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang ulang.
ketajamannya,
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Diaphoresis
Pemeriksaan laboratorium
b.
Radiology
-
c.
arakhnoid.
d.
jika
terjadi
peningkatan
tekanan
intrakranial
8. Diagnosis/criteria diagnosis
a.
b.
c.
d.
e.
Hematoma intra serebrum adalah pendarahan didalam otak itu sendiri, hal
ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera
kepala terbuka.
9.
Penggunaan
cairan
yang
mengandung
glukosa
dapat
10. Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka
matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek.
Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh
b. Seizure.
pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena
keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain
d. Kerusakan saraf.
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus
facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran
f. Komplikasi lain :
kejang
o Pneumonia
o Perdarahan gastrointestinal
o Distrimia jantung
o Hidrochepalus
o Kerusakan control respirasi
o Inkotinensia bladder dan bowel
o Kebocoran
o Liquor cerebro spinal.
o Edema pulmonal
o Bocornya lcs
o
gangguan mobilisasi
o Hipovolemia
o
hiperthermia
o Infeksi
11. Prognosis
prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama
pada pasien dengan cedera berat. Skor gcs waktu masuk rumah sakit memiliki
nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau
tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan gcs 12 atau lebih
kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan
dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan
berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak berkembang
pada pasien cedera kepala. Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah
untuk pemulihan dari cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya
pemulihan yang baik (brunner dan suddarth. 2002). Prognosis pasien cedera
kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Pasien meninggal karena beberapa faktor yakni : prolog hipoksia dan hipotensi,
herniasi otak, komplikasi - komplikasi sistemik.
12. Pathway
(terlampir)
Primary survey
Primary survey merupakan deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang
mengancam yang bertujuan untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan
kemudian dilakukan tindakan life saving.
a.
Airway
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal
Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan teknik
head tilt/chin lift/jaw trust, hati-hati pada korban trauma
Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
Breathing
Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas
atau tidak.
c.
Circulatation
Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, compress, elevation (istirahatkan
lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi,
sianosis, pulsus arteri distal
Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak
yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan
trauma kepala dilakukan penanganan dengan agresif.
Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid dengan
perbandingan 3:1 hingga map pasien lebih dari sama dengan 95. Kristaloid dan
koloid diberikan dalam suhu 390c.
d.
e.
Secondary survey
Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan
mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki
(head to toe) yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien
sehingga dapat ditangani lebih lanjut.
Anamnesis :
Riwayat ampe yang harus diingat yaitu :
A : alergi
M : medikasi (obat yang diminum sebelumnya)
P : past illness (penyakit sebelumnya)/pregnancy (hamil)
E : event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)
Pemeriksaan fisik :
1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh
a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai
adanya fraktur servikal
b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung gcs pasien
c. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepat
d. Cek adanya trauma ataupun kelainan
e. Observasi keadaan kulit
2. Periksa kepala dan leher
a. Rambut dan kulit kepala
Perlihatikan ada tidaknya perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Amati adanya perlukaan, darah, cairan
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya
benda asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak
f. Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
g. Rahang
Perlukaan, stabilitas, krepitasi
h. Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang
leher
3. Periksa dada
Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan
(luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas.
4. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi.
5. Periksa tulang belakang
Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot.
6. Periksa pelvis/genetalia
Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia.
7. Periksa ekstremitas atas dan bawah
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi,
warna luka.
8. Pemeriksaan neurologis
Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri
dari :
Gcs
Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon
motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang
terbaik.
Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah.
Catat nilai gcs dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan
pasien.
2. Diagnosa keperawatan
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus atau benda
asing ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan
sputum, lidah jatuh ke belakang, ronchi, stridor, perubahan ritme dan frekuensi
napas, rr >20 x/mnt.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan
akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien ( diatas normal
> 16 20x/menit ), pernapasan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu napas,
retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.
3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral
terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, tekanan darah klien meningkat,
mual, muntah, gelisah, penurunan kesadaran dan gcs, nyeri kepala.
4) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
akibat perdarahan eksternal dan internal, mual dan muntah.
5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: trauma pada kepala ditandai
dengan keluhan nyeri secara verbal skala 1-10, gelisah, memegangi area yang
sakit, berhati hati menggerakkan bagian yang sakit, meringis, peningkatan ttv (td
> 130/90mmhg, n >100 x/menit, rr > 20 x/menit, s > 37,5 oc), diaphoresis, dilatasi
pupil.
6) Nausea berhubungan dengan peningkatan tik ditandai dengan adanya keluhan
mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, hipersalivasi, berkeringat dingin,
mengeluh ingin muntah, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang
disediakan.
7) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.
Daftar pustaka
Bickley, lynn s. 2008. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5.
Jakarta: egc
Brunner & suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah, volume 3, jakarta:egc.
Carpenito, lynda juall. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 10. Jakarta: egc
Doenges m.e. 2000. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3 . Jakarta: egc
Dochterman, joanne mccloskey & bulecheck, gloria n. 2004. Nursing intervention
classification. Usa : mosby.
Hafid, abdul. 1989. Strategi dasar penanganan cidera otak. Surabaya: pkb ilmu bedah xi
traumatologi
Hudak & gallo, 1996. Keperawatan kritis: pendekatan holistik, volume 2, jakarta: egc
Moorhead, sue, dkk. 2008. Nursing outcomes classification. Usa : mosby
Nanda. 2012. Panduan diagnosa keperawatan. Jakarta: prima medika
Sjamsuhidajat, r. Wim de jong. 1997. Buku ajar ilmu bedah. Edisi revisi. Jakarta: egc
Price. 2005. Patofisiologi konsep klinis penyakit volume 1 dan 2. Jakarta : egc
Smeltzer, suzanne c, 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Egc, jakarta
Arif, mansjoer, dkk, 2000. Kapita selekta kedokteran. Media aesculpius, jakarta
PATHWAY
No
1
Diagnosa
Bersihan jalan nafas tidak
efektif obstruksi jalan napas
akibat mucus atau benda asing
ditandai dengan klien tampak
gelisah,
ketidakmampuan
mengeluarkan sputum, lidah
jatuh ke belakang, ronchi,
stridor, perubahan ritme dan
frekuensi napas, rr >20 x/mnt.
Intervensi
Airway management
Auskultasi bunyi nafas tambahan;
ronchi, wheezing.
Rasional
Broncodilator meningkatkan ukuran
lumen
percabangan
trakeobronkial
sehingga menurunkan tahanan terhadap
aliran udara.
Meringankan
kerja
paru
untuk
memenuhi kebutuhan oksigen
Mengoptimalkan keseimbangan cairan
dan membantu mengencerkan sekret
sehingga mudah dikeluarkan.
Membantu mempermudah pengeluaran
sekret.
Memaksimalkan pengeluaran sputum
.
Membantu mempertahankan kepatenan
jalan napas.
Mempertahankan jalan napas apabila
dicurigai adanya cedera servical.
Membersihkan obstruksi benda asing
dari jalan nafas.
Mencegah obstruksi atau aspirasi.
Penghisapan dapat diperlukan bia klien
tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.
Posisi memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernapasan.
Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan gerakan
sekret ke jalan nafas besar untuk
Kolaborasi
pemberian
broncodilator sesuai indikasi.
2
Setelah
diberikan
asuhan
keperawatan selama ... x 30 menit
diharapkan pola nafas klien efektif,
dengan kriteria hasil:
A.status pernapasan: ventilasi
- Kedalaman pernapasan normal
(skala 5 = no deviation from
normal range)
- Tidak tampak penggunaan otot
bantu pernapasan (skala 5 = no
deviation from normal range)
- Tidak tampak retraksi dinding
dada (skala 5 = no deviation from
normal range)
B.tanda-tanda vital
- Frekuensi pernapasan dalam batas
normal (16-20x/mnt) (skala 5 =
no deviation from normal range)
Monitoring respirasi
Pantau rr, irama dan kedalaman
pernapasan pasien
Pantau adanya penggunaan otot
bantu pernapasan dan retraksi
dinding dada pada pasien
Berikan posisi semifowler pada
pasien
dikeluarkan
Bunyi ronchi menandakan terdapat
penumpukan sekret atau sekret berlebih
di jalan nafas.
Posisi semifowler dapat membantu
meningkatkan toleransi tubuh untuk
inspirasi dan ekspirasi
Penggunaan otot bantu pernapasan dan
retraksi dinding dada menunjukkan
terjadi gangguan ekspansi paru
Ketidakefektifan pola napas dapat
dilihat dari peningkatan atau penurunan
rr, serta perubahan dalam irama dan
kedalaman pernapasan
Kelainan status
pernapasan dan
perubahan saturasi o2 dapat menentukan
indikasi terapi untuk pasien
Pemberian oksigen sesuai indikasi
diperlukan untuk mempertahankan
masukan o2 saat pasien mengalami
perubahan status respirasi
.
3
ortostatik.
Pengukuran tekanan darah setelah
Ukur tekanan darah ketika klien
mendapatkan terapi/medikasi penting
tidur, berbaring, sebelum dan
untuk mengetahui keefektifan terapi.
sesudah berubah posisi.
Mempertahankan kepatenan jalan napas
bertujuan untuk mencegah terputusnya
Ukur tekanan darah setelah klien
aliran oksigen ke otak sehingga
mendapatkan medikasi/terapi.
mencegah terjadinya hipoksia jaringan
otak.
Ukur tekanan darah, nadi, dan
respirasi sebelum, selama, dan
setelah beraktivitas. Rasional:
mengetahui reaksi tubuh klien
terhadap aktivitas sehingga dapat
menentukan
intervensi
selanjutnya
4
Setelah
diberikan
asuhan Fluid management
keperawatan selama x 30 menit Kaji tanda tanda vital klien
Peningkatan suhu atau memanjangnya
diharapkan kebutuhan cairan klien
demam meningkatkan laju metabolic dan
terpenuhi, dengan kriteria hasil :
kehilangan cairan melalui evaporasi.
a) Fluid balance (keseimbangan
Indikator langsung keadekuatan volume
cairan)
Kaji turgor kulit, kelembaban
cairan,
membran mukosa (bibir, lidah).
Shock prevention
Pantau status sirkulasi seperti
tekanan darah, perubahan warna Mengetahui tingkat balance cairan
- Nadi dalam batas normal (60kulit, temperatur kulit, irama
sebagai indikator pencegahan syok
100 kali/menit)
jantung, nadi dan crt.
Membran mukosa merupakan salah satu
Pantau intake dan output klien
bagian tubuh yang cepat menunjukkan
- Klien tidak mengeluh haus
tingkat kekurangan cairan
b) Blood loss severity (kehilangan Pantau suhu tubuh dan status rr Menentukan tingkat cairan dalam tubuh,
klien
banyak darah)
- Klien
tidak
hematuria
mengalami
Pantau
hasil
pemeriksaan Peningkatan suhu atau memanjangnya
laboratorium
seperti
tingkat
demam meningkatkan laju metabolik dan
- Tidak terjadi perdarahan
hemoglobin, hematokrit, elektrolit
kehilangan cairan melalui evaporasi.
vagina
Pantau kondisi membran mukosa
klien
- Tekanan darah dalam batas
normal
(110-120/80-90
mmhg)
- Membran mukosa tidak pucat
- Hb dalam batas normal ( >
11 )
- Suhu tubuh dalam batas
normal ( 36,5 37,5c )
5
Nyeri
akut
berhubungan Setelah
diberikan
Pengkajian
berguna
untuk
mengidentifikasi nyeri yang dialami
klien meliputi lokasi, karasteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri serta faktor-faktor yang dapat
memicu nyeri klien sehinggga dapat
menentukan intervensi yang tepat.
Dengan mengetahui rasa tidak nyaman
klien secara non verbal maka dapat
membantu mengetahui tingkat dan
perkembangan nyeri klien.
Membantu
klien
dalam
menginterpretasikan nyerinya.
Setelah
diberikan
asuhan
keperawatan selama ..x 30 menit
diharapkan
menunjukkan
penurunan derajat mual dan
muntah, dengan out come :
A.nausea and vomiting severity
(keparahan mual muntah)
- Klien mengatakan tidak ada
mual (skala 5 = none)
- Klien mengatakan tidak muntah
(skala 5 = none)
- Tidak ada peningkatan sekresi
saliva (skala 5 = none)
Membantu
memodifikasi
dan
menghindari faktor-faktor yang dapat
meningkatkan ketidaknyamanan klien.
Nausea management
Dorong klien untuk mempelajari Dengan mendorong klien untuk
strategi untuk memanajemen mual
mempelajari strategi manajemen mual,
akan membantu klien untuk melakukan
Kaji frekuensi mual, durasi,
manajemen mual secara mandiri.
tingkat
keparahan,
factor Penting untuk mengetahui karakteristik
frekuensi, presipitasi
yang
mual dan faktor-faktor yang dapat
menyebabkan mual.
menyebabkan atau meningkatkan mual
muntah pada klien dan membantu dalam
memberikan intervensi yang tepat.
Kaji riwayat diet meliputi
Untuk mengetahui makanan yang dapat
makanan yang tidak disukai,
menurunkan dan meningkatkan nafsu
disukai, dan budaya makan.
makan klien selama tidak ada kontra
B. Appetite (nafsu makan)
indikasi.
Menunjukkan peningkatan nafsu
Kontrol lingkungan sekitar yang Mulut yang tidak bersih dapat
makan, dengan kriteria hasil :
mempengaruhi rasa makanan dan
- Keinginan klien untuk makan
menyebabkan mual.
menimbulkan mual.
meningkat (skala 5 = not
Teknik
manajemen
mual
compromised)
Ajarkan
teknik
nonfarmakologi
nonfarmakologi
dapat
membantu
- Intake makanan adekuat (porsi
untuk
mengurangi
mual
mengurangi
mual
secara
makan yang disediakan habis)
(relaksasi,
guide
imagery,
nonfarmakologi
dan
tanpa
efek
(skala 5 = not compromised)
distraksi).
samping.
- Intake cairan adekuat (skala 5 =
not compromised)
demonstrated)
Ajarkan klien dan keluarga untuk
- Klien
mampu
memonitor
menghindari infeksi.
lingkungan penyebab infeksi Ajarkan pada klien dan keluarga
(skala
5
=
consistenly
tanda-tanda infeksi.
demonstrated)
- Klien mampu memonitor tingkah
laku penyebab infeksi (skala 5 =
consistenly demonstrated)
- Tidak terjadi paparan saat
tindakan keperawatan (skala 5 =
consistenly demonstrated)