Eiji Yoshikawa - Musashi 7 The Perfect Light

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 135

95.

Sapi yang Lari

BAYANGAN cabang pohon prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan matahari
pucat itu indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal musim semi di
Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke arah selatan,
pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah.

Tidak seperti burung, para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak kenal
musim. Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh pelajaran
dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka perdengarkan
tidak jauh berbeda,

"Izinkanlah, satu pertarungan saja."

"Izinkanlah saya bertemu dengannya,"

"Saya satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau itu".

Selama sepuluh tahun yang lalu, para pengawal memberikan jawaban yang sama: karena
majikan mereka sudah lanjut usia, beliau tidak dapat menerima siapa pun. Hanya sedikit pemain
pedang atau calon pemain pedang yang mau menerima begitu saja. Ada yang melancarkan
kecaman pedas mengenai makna Jalan sejati. Menurut mereka, tidak boleh ada perbedaan
antara tua dan muda, antara kaya dan miskin, antara, pemula dan ahli. Yang lain sekadar
memohon-mohon, ada pula yang mencoba menyogok. Banyak yang meninggalkan tempat itu
sambil menghamburkan kutukan kemarahan.

Sekiranya orang banyak itu mengetahui keadaan sebenarnya, yaitu bahwa Sekishusai sudah
meninggal di akhir tahun sebelumnya, persoalannya mungkin akan jauh lebih sederhana. Namun
telah diputuskan bahwa karena Munenori tidak dapat meninggalkan Edo sebelum bulan keempat,
maka kematian itu mesti dirahasiakan sampai upacara pemakaman diselenggarakan. Salah
seorang dari sejumlah kecil orang luar benteng yang mengetahui keadaan itu kini duduk dalam
kamar tamu, dan mendesak minta bertemu dengan Hyogo.

Orang itu adalah Inshun, kepala biara Hozoin yang sudah cukup tua.

Selama In'ei pikun dan kemudian meninggal, ia berhasil mempertahankan nama baik kuil itu
sebagai pusat seni bela diri. Banyak orang bahkan yakin ia telah meningkatkannya. Ia melakukan
segalanya yang mungkin untuk mempertahankan hubungan erat antara kuil dan Koyagyu yang
sudah ada semenjak zaman In'ei dan Sekishusai. Kini ia ingin bertemu dengan Hyogo, karena
ingin berbicara tentang seni bela diri. Sukekuro tahu apa yang sebetulnya dikehendaki Inshun. Ia
ingin bertarung dengan orang yang oleh kakeknya sendiri dianggap sebagai pemain pedang
yang lebih baik daripada dirinya sendiri maupun Munenori. Hyogo tentu saja tidak mau melayani
pertandingan macam itu, karena menurutnya takkan menguntungkan siapa pun, dan karena itu
tak ada artinya.
Sukekuro meyakinkan Inshun bahwa pesan telah disampaikan. "Saya yakin Hyogo akan datang
menyambut Anda, kalau dia merasa sehat."

"Jadi, menurut Anda dia masih masuk angin?"

"Ya, rupanya dia belum juga sembuh."

"Oh, saya tidak tahu bahwa kesehatannya begitu rapuh."

"Ah, tidak benar juga kalau dikatakan demikian. Beberapa waktu lamanya dia tinggal di Edo, dan
sampai sekarang belum dapat membiasakan diri dengan musim dingin di gunung."

Ketika kedua orang itu masih mengobrol, seorang pemuda pembantu memanggil-manggil nama
Otsu di halaman lingkaran dalam. Sebuah shoji terbuka, dan Otsu keluar dari salah sebuah
rumah, diiringi alunan asap setanggi. Ia masih berkabung lebih dari seratus hari sejak
meninggalnya Sekishusai, dan wajahnya tampak seputih kembang pit.

"Di mana Kakak tadi? Saya cari di mana-mana," tanya anak lelaki itu.

"Di kuil Budha."

"Hyogo menanyakan Kakak."

Ketika Otsu masuk ruangan Hyogo, ia berkata, "Ah, Otsu, terima kasih kau sudi datang. Aku ingin
kau menjumpai seorang tamu atas namaku."

"Tentu."

"Sudah lama dia datang. Sukekuro yang sekarang mengawaninya, tapi kurasa Sukekuro sudah
capek sekarang, mendengarkan dia terus bicara tentang Seni Perang."

"Kepala biara Hozoin?"

"Ya."

Otsu tersenyum tipis, membungkuk, dan meninggalkan ruangan.

Tidak begitu halus cara Inshun mencoba mengetahui pendapat Sukekuro mengenai masa lalu
dan watak Hyogo.

"Saya dengar, ketika Kato Kiyomasa menawarkan kedudukan kepadanya, Sekishusai menolak,
kecuali kalau Kiyomasa menyetujui satu syarat khusus."

"Apa betul? Saya tak ingat, apa pernah mendengar hal seperti itu."

"Menurut In'ei, Sekishusai mengatakan pada Kiyomasa bahwa Hyogo itu sangat gampang naik
darah, maka Yang Dipertuan mesti berjanji, kalau Hyogo melakukan pelanggaran-pelanggaran
besar, beliau akan mengampuni tiga pelanggaran pertama. Sekishusai tidak pernah dikenal
sebagai orang yang mau memaafkan sifat tak sabar. Tentunya beliau punya perasaan khusus
terhadap Hyogo."

Cerita itu begitu mengejutkan Sukekuro, hingga ia masih juga mencari-cari jawaban ketika Otsu
masuk. Otsu tersenyum pada kepala biara itu, dan katanya, "Senang sekali bertemu lagi dengan
Bapak. Sayang sekali, Hyogo begitu sibuk menyiapkan laporan yang harus segera dikirim ke
Edo. Tapi dia minta saya menyampaikan permintaan maafnya, karena tak dapat menemui Bapak
kali ini." Kemudian Otsu menyibukkan diri menyajikan teh dan kue-kue untuk Inshun dan kedua
pendeta muda pembantunya.

Kepala biara tampak kecewa, sekalipun dengan sopan ia mengabaikan perbedaan antara alasan
Sukekuro dengan alasan Otsu. "Sayang sekali. Saya sebetulnya punya kabar penting untuknya."

"Dengan senang hati akan saya sampaikan kabar itu," kata Sukekuro, "dan Anda boleh yakin
bahwa hanya Hyogo yang akan mendengarnya."

"Oh, saya yakin tentang hal itu," kata pendeta tua itu. "Hanya saja saya ingin mengingatkan
Hyogo sendiri."

Kemudian Inshun mengulangi gunjingan yang telah didengarnya, tentang seorang samurai dari
Benteng Ueno di Provinsi Iga. Garis batas antara Koyagyu dan benteng itu berupa daerah yang
jarang penduduknya, sekitar tiga kilometer ke timur. Semenjak Ieyasu menyitanya dari daimyo
Kristen, Tsutsui Sadatsugu, dan menyerahkannya kepada Todo Takatora, banyak perubahan
telah terjadi. Semenjak Takatora menetap setahun sebelumnya, ia telah memperbaiki benteng,
meninjau kembali sistem pajak, memperbaiki irigasi, dan mengambil langkah-langkah lain untuk
mengokohkan investasinya. Semua itu sudah menjadi rahasia umum. Tapi, menurut
pendengaran Inshun, Takatora saat ini sedang mencoba meluaskan wilayah tanahnya dengan
mendesak garis perbatasan.

Menurut laporan, Takatora mengirimkan sejumlah samurai ke Tsukigase, dan di sana mereka
membangun rumah-rumah, menebangi pohon prem, mencegat orang-orang jalan, dan terang-
terangan melanggar hak milik Yang Dipertuan Yagyu.

"Kemungkinan," kata Inshun, "Yang Dipertuan Takatora sedang mengambil keuntungan dari
masa perkabungan Anda. Anda boleh saja menilai saya terlalu pencemas, tapi kelihatannya dia
punya rencana menggeser perbatasan ke arah sini, dan membuat pagar baru. Kalau memang
benar demikian, akan jauh lebih mudah menangani hal-hal ini sekarang, daripada sesudah dia
selesai melakukannya nanti. Saya kuatir kalau Anda hanya santai saja dan tidak melakukan
sesuatu, nanti Anda menyesal."

Sebagai salah seorang abdi senior, Sukekuro mengucapkan terima kasih pada Inshun atas berita
itu. "Akan saya suruh orang menyelidiki keadaan itu, dan kalau perlu nanti akan saya kirimkan
keluhan." Sebagai tanda terima kasih atas nama Hyogo, Sukekuro pun membungkuk ketika
kepala biara itu pulang.

Sukekuro pergi menyampaikan informasi tentang gunjingan itu pada Hyogo, tapi Hyogo hanya
tertawa. "Biar saja," katanya. "Kalau nanti pamanku kembali, dia dapat mengurusnya."

Sukekuro mengerti pentingnya mengawal setiap jengkal tanah, karena itu ia tidak puas benar
dengan sikap Hyogo. Ia berunding dengan para samurai tinggi lainnya, dan bersama-sama
mereka menyimpulkan bahwa sekalipun memang dibutuhkan kebijaksanaan, tetap harus diambil
suatu tindakan. Todo Takatora adalah salah seorang daimyo paling kuat di negeri itu.

Pagi harinya, sesudah berlatih pedang, Sukekuro meninggalkan dojo di atas Shinkagedo dan
bertemu dengan seorang anak lelaki umur tiga belas atau empat belas tahun.

Anak itu membungkuk kepadanya, dan Sukekuro berkata gembira, "Halo, Ushinosuke, melongok
dojo lagi? Bawa hadiah buatku, ya? Coba lihat... oh, kentang liar?" Ia sebetulnya hanya setengah
menggoda, karena kentang Ushinosuke selalu lebih bagus daripada kentang orang lain. Anak itu
tinggal bersama ibunya di kampung terpencil Araki di gunung, dan sering datang ke benteng
untuk menjual arang, daging babi hutan, dan barang-barang lain.

"Tak ada kentang hari ini, tapi saya bawa ini buat Otsu." Anak itu mengangkat kotak berselubung
jerami yang dibawanya.

"Bawa apa sekarang-kelembak?"

"Bukan, ini barang hidup! Di Tsukigase kadang-kadang saya dengar burung bulbul menyanyi.
Dan ini saya tangkap satu!"

"Hmm, jadi kau selalu lewat Tsukigase, ya?"

"Betul. Itu jalan satu-satunya."

"Aku mau tanya sekarang. Apa kau melihat banyak samurai akhir-akhir ini?"

"Ada beberapa."

"Apa kerja mereka di sana?"

"Membangun pondok-pondok."

"Apa kau melihat mereka mendirikan pagar atau semacam itu?"

"Ya, di samping pondok, mereka memasang beberapa jembatan, jadi mereka menebang segala
macam pohon. Untuk kayu bakar juga."

"Apa mereka menghentikan orang-orang di jalan?"

"Saya kira tidak. Saya tidak melihatnya."

Sukekuro menggelengkan kepala. "Kudengar samurai-samurai itu dari perdikan Yang Dipertuan
Todo, tapi aku tidak tahu apa kerja mereka di Tsukigase. Apa kata orang-orang di kampungmu?"

"Orang bilang, mereka itu ronin yang terusir dari Nara dan Uji. Mereka tak punya tempat tinggal,
karena itu mereka pergi ke pegunungan."

Sekalipun sudah mendengar keterangan dari Inshun, Sukekuro merasa penjelasan ini bukan tak
beralasan. Okubo Nagayasu, hakim dari Nara, tak henti-hentinya berusaha agar daerah
hukumnya bebas dari ronin miskin.

"Di mana Otsu?" tanya Ushinosuke. "Saya ingin menyampaikan hadiah untuknya." Ia memang
selalu ingin bertemu Otsu, bukan hanya karena Otsu selalu memberikan gula-gula dan
mengatakan yang baik-baik kepadanya, tapi karena dalam kecantikan Otsu ia merasa ada
sesuatu yang bersifat gaib, yang bukan berasal dari dunia ini. Kadang-kadang ia tak mampu
menentukan, apakah Otsu itu manusia atau dewi.

"Barangkali dia di benteng," kata Sukekuro. Kemudian, sambil memandang ke kebun, katanya,
"Oh, kau beruntung rupanya. Apa bukan dia yang di sana itu?"

"Otsu!" seru Ushinosuke keras.

Otsu menoleh dan tersenyum. Ushinosuke pun berlari terengah-engah ke sisi Otsu dan
mengangkat kotaknya.

"Lihat! Saya tangkap burung bulbul. Buat Kakak."

"Burung bulbul?" Otsu mengerutkan kening, tangannya tetap di samping.


Ushinosuke tampak kecewa. "Suaranya bagus!" katanya. "Tak ingin Kakak mendengar?"

"Aku mau, tapi hanya kalau dia bebas terbang ke mana dia suka. Baru dia akan menyanyikan
lagu-lagu yang bagus buat kita."

"Kakak benar," kata Ushinosuke, sedikit cemberut. "Apa mesti saya lepaskan kembali?"

"Kuhargai maksudmu memberi hadiah, tapi... ya, aku lebih senang kalau burung itu dilepaskan
daripada dikurung."

Dengan diam Ushinosuke membuka kotak jerami itu, dan seperti anak panah, burung itu terbang
ke atas dinding benteng. "Lihat, senang sekali dia bebas," kata Otsu.

"Orang-orang bilang, burung bulbul itu pembawa pertanda musim semi, kan? Barangkali akan
datang orang membawa kabar gembira buat Kakak."

"Pembawa berita sama baiknya dengan datangnya musim semi? Memang benar, aku sedang
mengharap mendengar suatu kabar."

Otsu berjalan menuju hutan dan rumpun bambu di belakang benteng,

Ushinosuke menyertainya di sampingnya. "Kakak mau pergi ke mana?" tanyanya.

"Aku sudah terlalu lama tinggal di dalam benteng akhir-akhir ini. Untuk selingan, aku ingin naik
bukit, melihat kembang prem."

"Kembang prem? Di atas sana tak banyak yang bisa dilihat. Kakak mesti pergi ke Tsukigase."

"Ke sana juga boleh. Jauhkah dari sini?"

"Sekitar tiga kilometer. Bagaimana kalau kita pergi ke sana? Aku mengangkut kayu api hari ini,
karena itu aku membawa sapi."

Karena selama musim dingin itu Otsu hampir tak pernah tinggal di luar benteng, ia cepat
mengambil keputusan. Tanpa mengatakan pada siapa pun, keduanya turun ke gerbang belakang
yang biasa didatangi para pedagang dan orang-orang lain yang punya urusan dengan benteng.
Gerbang itu dikawal seorang samurai bersenjata lembing. la mengangguk dan tersenyum pada
Otsu. Ushinosuke pun orang yang sudah dikenal, karena itu si penjaga mengizinkan mereka
keluar, tanpa memeriksa izin tertulis untuk berada di pekarangan benteng.

Orang-orang di ladang dan di jalan mengucapkan teguran bersahabat kepada Otsu, tak peduli
mereka kenal Otsu atau tidak. Ketika rumahrumah penduduk mulai jarang, ia menoleh kembali ke
arah benteng putih yang bertengger di pinggir gunung itu, dan bertanya, "Apa bisa aku kembali
sebelum gelap?"

"Tentu, nanti saya antar."

"Kampung Araki di sebelah sana Tsukigase kan?" "Tidak apa-apa."

Sambil mengobrol tentang berbagai hal, mereka melewati warung garam. Di sana ada seorang
lelaki menukar daging babi hutan dengan sekarung garam. Selesai melakukan pertukaran, ia
keluar dan berjalan di belakang mereka. Karena salju sedang mencair, jalanan makin lama makin
buruk keadaannya. Tak banyak orang berjalan.

"Ushinosuke," kata Otsu, "kau selalu datang ke Koyagyu, ya?"


"Ya."

"Apa Benteng Ueno tidak lebih dekat dengan Kampung Araki?"

"Betul, tapi di Benteng Ueno tak ada pemain pedang besar macam Yang Dipertuan Yagyu."

"Kau suka pedang, ya?"

"Ya."

Ushinosuke menghentikan sapinya, melepaskan tali dari tangannya, lalu berlari turun ke tepi
sungai. DI situ ada sebuah jembatan. Sebatang balok lepas dari jembatan itu. Ushinosuke
mengembalikan balok itu ke tempatnya, dan menunggu sampai orang di belakang mereka
menyeberang dahulu.

Orang itu tampak seperti ronin. Ketika melewati Otsu, ia memandang Otsu dengan sikap kurang
ajar, kemudian beberapa kali menoleh dari jembatan, dan juga dari seberang jembatan, sebelum
akhirnya menghilang dalam lipatan gunung.

"Siapa orang itu menurutmu?" tanya Otsu gugup. "Kakak takut?"

"Tidak, tapi..."

"Banyak ronin di sekitar pegunungan di sini."

"Betul?" tanya Otsu tidak tenang.

Sambil menoleh, kata Ushinosuke, "Kak, apa Kakak dapat membantu saya? Kalau dapat, tolong
minta pada Pak Kimura supaya mempekerjakan saya. Saya dapat menyapu halaman, menimba
air... atau hal-hal semacam itu."

Anak itu belum lama mendapat izin khusus dari Sukekuro untuk memasuki dojo, melihat orang
berlatih, tapi minatnya sudah tumbuh. Nenek moyangnya bernama Keluarga Kikumura. Sudah
beberapa angkatan kepala keluarga menggunakan nama sebutan Mataemon. Ushinosuke sudah
mantap keinginannya, kalau ia menjadi samurai nanti, ia akan menggunakan nama Mataemon.
Tapi tak seorang pun dari Keluarga Kikumura pernah melakukan sesuatu yang istimewa. Maka ia
akan mengubah nama keluarganya dengan nama kampungnya, dan kalau impiannya terlaksana,
ia akan termasyhur di mana-mana sebagai Araki Mataemon.

Mendengar kata-kata Ushinosuke itu, Otsu teringat akan Jotaro, dan ia tercengkeram oleh rasa
sepi. Umur Otsu sekarang dua puluh lima tahun, sedangkan Jotaro tentunya sembilan belas atau
dua puluh tahun. Memperhatikan kembang prem yang belum sepenuhnya mekar itu, Otsu
merasa bahwa musim seminya sendiri sudah lewat.

"Ayo kita pulang, Ushinosuke," katanya tiba-tiba.

Ushinosuke melontarkan pandangan penuh pertanyaan, namun dengan patuh ia memutar


sapinya.

"Berhenti!" bentak seorang lelaki.

Dua ronin lain bergabung dengan ronin yang datang dari warung garam tadi. Ketiganya
mendekat, kemudian berdiri mengelilingi sapi, tangan mereka terlipat.

"Kalian mau apa?" tanya Ushinosuke.


Orang-orang itu menatap Otsu.

"Ya, sekarang aku mengerti kata-katamu," kata salah seorang. "Cantik, kan?"

"Aku sudah pernah lihat dia," kata yang ketiga. "Mungkin di Kyoto."

"Tentunya dari Kyoto asalnya, dan pasti bukan dari kampung-kampung sekitar sini."

"Aku tak ingat, di Perguruan Yoshioka atau di tempat lain, tapi aku yakin pernah lihat dia."

"Apa kau pernah di Perguruan Yoshioka?"

"Tiga tahun aku di sana, sesudah Sekigahara."

"Kalau kalian punya urusan dengan kami, katakan apa urusan kalian!" kata Ushinosuke marah.

"Kami mau sampai di rumah sebelum gelap."

Seorang dari ketiga ronin menatap Ushinosuke, seolah baru pertama kali itu melihatnya. "Kau
dari Araki, kan? Salah satu dari pembuat arang, ya?"

"Betul. Memang kenapa?"

"Kami tidak butuh kau. Sana pulang!"

"Justru itu yang mau kulakukan."

Ditariknya sapi itu kencang-kencang, dan seorang dari mereka melemparkan pandangan dahsyat
yang pasti akan membuat kebanyakan anakanak gemetar ketakutan.

"Pergi kalian!" kata Ushinosuke.

"Wanita ini harus ikut kami."

"Ikut ke mana?"

"Tak ada urusan denganmu. Berikan tail itu!"

"Tidak!'

"Oh, dia kira aku main-main."

Kedua orang lainnya membidangkan dada dan menatap tajam, bergerak mendekati Ushinosuke.

Salah seorang mengacungkan tinjunya yang sekeras mata kayu cemara ke depan dagunya.

Otsu mencengkeram punggung sapi. Kerutan alis Ushinosuke jelas menandakan bahwa ada
yang akan segera terjadi.

"Oh, tidak, berhenti!" pekik Otsu, dengan maksud menahan anak itu, agar tidak melakukan
sesuatu tanpa pikir panjang.

Namun nada sedih dalam suara Otsu justru memacu Ushinosuke untuk beraksi. Ia menyepak
cepat dengan satu kakinya, mengenai orang yang ada di depannya, hingga orang itu mundur
terhuyung. Baru saja kakinya menyentuh tanah kembali, ia benturkan kepalanya ke perut orang
di sebelah kirinya. Serentak dengan itu, ia mencekal pedang orang itu dan menariknya dari
sarungnya. Lalu ia mengayun-ayunkan pedang itu.

Ia bergerak dengan kecepatan kilat, berpusing-pusing, dan seolah melakukan serangan ke


segala penjuru, menyambar ketiga lawan itu sekaligus, dengan kekuatan yang sama. Apakah
tindakannya yang cemerlang itu berdasarkan naluri semata-mata, ataukah akibat kesembronoan
kanak-kanaknya, yang jelas taktik-taktiknya yang tidak biasa telah mengejutkan ketiga ronin itu.

Ayunan balik pedang itu dengan keras menerjang dada salah seorang ronin. Otsu menjerit, tapi
suaranya tenggelam dalam jerit orang yang terluka itu. Ia jatuh ke arah sapi, sementara darah
menyembur ke muka binatang itu. Dengan ketakutan, sapi pun menguak tak tentu bunyinya.
Tepat saat itu pedang Ushinosuke menoreh pantatnya. Sekali lagi sapi itu melenguh, lalu lari.

Kedua ronin lain menyerbu ke arah Ushinosuke, sedangkan Ushinosuke melompat-lompat


dengan tangkasnya dari batu ke batu di bantaran sungai. "Aku tidak bersalah! Kalian yang
bersalah!" teriaknya.

Ketika kedua ronin merasa bahwa Ushinosuke tak terkejar oleh mereka, mereka mulai mengejar
sapi.

Ushinosuke kembali melompat ke jalan, dan mengejar mereka sambil berseru-seru, "Lari? Kalian
lari?"

Satu orang berhenti dan setengah menoleh. "Bajingan kecil kau!"

"Tinggalkan dulu dia!" teriak yang lain.

Karena ketakutan, sapi itu meninggalkan jalan lembah dan lari mendaki bukit rendah, menempuh
punggung bukit beberapa jauhnya, kemudian menerjang ke balik bukit itu. Dalam waktu sangat
singkat ia berhasil menempuh jarak cukup jauh, dan sampai di tempat yang tak jauh letaknya dari
perdikan Yagyu.

Walaupun dengan mata tertutup menyerah, Otsu dapat bertahan agar tidak terlempar dan
punggung sapi, dengan bergayut pada pelana muatan. la dapat mendengar suara-suara orang
yang berpapasan dengannya, tapi ia begitu bingung, hingga tak dapat berteriak minta tolong.
Sekiranya ia berteriak pun tidak banyak faedahnya. Di antara orang-orang yang membicarakan
kejadian itu, tak ada yang punya keberanian menghentikan binatang yang sudah menggila itu.

Namun ketika mereka hampir sampai di Dataran Hannya, satu orang datang dari jalan kecil ke
jalan utama. Jalan utama itu sangat sempit, walaupun namanya jalan raya Kasagi. Orang itu
menyandang peti surat, dan kelihatan seperti seorang pembantu.

Orang-orang berteriak-teriak, "Awas! Minggir!" tapi ia berjalan terus, langsung menyongsong sapi
itu.

Kemudian terdengar bunyi berderak mengerikan.

"Tertanduk dia!"

"Orang goblok!"

Padahal kenyataannya tidak seperti yang mula-mula diduga para penonton itu. Yang mereka
dengar bukan bunyi sapi menanduk orang itu, tapi orang itu menjatuhkan pukulan yang
memekakkan telinga ke pelipis binatang itu. Sapi pun mengangkat kepalanya yang berat ke
samping, membalik setengah lingkaran, dan balik kanan jalan. Tapi belum lagi sepuluh kaki,
mendadak ia berhenti. Air liur menderas keluar dari mulutnya, sementara sekujur tubuhnya
menggeletar.

"Turun cepat!" kata orang itu pada Otsu.

Para penonton berkerumun dengan gembira, sambil memperhatikan satu kaki orang itu, yang
dengan kokohnya menginjak tali binatang itu.

Begitu selamat turun di tanah, Otsu membungkuk kepada penyelamatnya, walaupun masih
terlalu pening untuk mengetahui di mana ia berada dan apa yang hendak dilakukannya.

"Heran, binatang baik begini bisa menjadi gila!" kata orang itu ketika ia menuntun sapi ke pinggir
jalan, dan mengikatnya ke sebatang pohon. Tapi, ketika terlihat olehnya darah di kaki binatang
itu, katanya, "Oh, apa ini? Lho, luka dia... dan bekas pedang!"

Sementara ia memeriksa luka dan menggerutu, Kimura Sukekuro menerobos kerumunan orang
banyak dan menyuruh mereka bubar.

"Apa kau bukan pembantu Kepala Biara Inshun?" tanyanya, sebelum sempat menarik napas.

"Beruntung sekali saya bertemu Bapak di sini. Saya membawa surat buat Bapak, dari kepala
biara. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan membaca surat ini segera." Orang itu
mengeluarkan surat dari peti, dan menyerahkannya pada Sukekuro.

"Buat saya?" tanya Sukekuro terkejut. Dan sesudah yakin tak ada kesalahan, ia buka surat itu
dan ia baca, "Mengenai para samurai di Tsukigase itu, sejak percakapan kita kemarin, saya telah
memeriksanya, dan saya temukan bahwa mereka bukan orang-orang dari Yang Dipertuan Todo.
Mereka itu orang jembel, ronin yang sudah terusir dari kota-kota, dan terpaksa bersarang di sana
selama berlangsungnya musim dingin. Dengan sengaja saya lekas-lekas mengabarkan
kesalahan saya yang tidak menguntungkan ini pada Anda."

"Terima kasih," kata Sukekuro. "Ini cocok dengan yang saya dengar dari sumber lain. Katakan
pada kepala biara, saya sangat lega, dan saya percaya dia pun merasa demikian juga."

"Maafkan saya, karena telah menyampaikan surat ini di tengah jalan. Pesan Bapak akan saya
sampaikan pada kepala biara. Selamat tinggal."

"Tunggu. Berapa lama kau tinggal di Hozoin?"

"Belum lama."

"Siapa namamu?"

"Sebutan saya Torazo."

"Heran," gumam Sukekuro sambil memperhatikan wajah orang itu. "Apa kau bukan Hamada
Toranosuke?"

"Bukan."

"Saya memang belum pernah bertemu Hamada, tapi ada satu orang di benteng sana yang
berkeras mengatakan, Hamada sekarang bekerja sebagai pembantu Inshun."

"Begitu."

"Apa dia salah sebut?"


Torazo merendahkan suaranya, wajahnya merah. "Memang benar, saya ini Hamada. Saya
datang di Hozoin atas alasan-alasan pribadi. Untuk menghindarkan aib yang lebih besar
terhadap guru saya dan saya sendiri, saya bermaksud merahasiakan identitas saya. Kalau
Bapak tidak keberatan..."

"Jangan kuatir. Aku tidak bermaksud ikut campur dalam urusanmu."

"Saya yakin Bapak pernah mendengar tentang Tadaaki. Dia meninggalkan perguruan dan
mengundurkan diri ke pegunungan itu karena kesalahan saya. Sekarang saya sudah
meninggalkan status saya. Melakukan kerja kasar di kuil itu akan memberikan pada saya disiplin
yang baik. Kepada para pendeta, saya tidak memberikan nama saya yang sebenarnya. Semua
ini memang memalukan."

"Kesudahan pertarungan antara Tadaaki dengan Kojiro itu bukan rahasia lagi. Kojiro sudah
menceritakannya pada semua orang yang dijumpainya antara Edo dan Buzen. Jadi, kau
bermaksud menjernihkan nama gurumu?"

"Ya, hari-hari ini.... Sampai lain kali, Pak?" Torazo cepat meninggalkan tempat itu, seakan-akan
tak sanggup tinggal lebih lama lagi.

96. Biji Rami

HYOGO semakin cemas. Sesudah masuk ke kamarOtsu, dengan membawa surat dari Takuan,
ia mencari gadis itu di seluruh pekarangan benteng, dan makin lama kekuatirannya semakin
memuncak.

Surat dari bulan sepuluh tahun lalu, yang tak jelas sebab keterlambatannya itu, bercerita tentang
akan diangkatnya Musashi sebagai instruktur shogun. Takuan minta Otsu secepat mungkin
datang ke ibu kota, karena Musashi akan segera membutuhkan rumah dan "orang untuk
mengurusnya". Hyogo tak sabar lagi ingin melihat wajah Otsu menjadi cerah.

Karena tidak menemukan gadis itu, akhirnya ia bertanya pada penjaga pintu gerbang, dan
mendapat jawaban bahwa orang-orang sedang pergi mencari Otsu. Hyogo menarik napas
panjang. Pikirnya, sungguh bukan kebiasaan Otsu membuat orang lain kuatir, dan bukan
kebiasaannya pula tidak meninggalkan pesan. Jarang ia bertindak menurutkan kata hati,
sekalipun dalam hal sekecil-kecilnya.

Namun, sebelum ia sempat membayangkan hal yang terburuk, datang berita bahwa mereka
sudah kembali, Otsu dengan Sukekuro; dan Ushinosuke dengan orang-orang yang dikirim ke
Tsukigase. Anak itu minta maaf pada semua orang-entah untuk apa—tak seorang pun tahu, lalu
ia tergesa-gesa pulang.

"Mau ke mana kau ini?" tanya salah seorang abdi.

"Saya mesti kembali ke Araki. Ibu saya pasti kuatir, kalau saya tidak pulang."

"Kalau kau mencoba pulang sekarang," kata Sukekuro, "ronin-ronin akan menangkapmu, dan
kecil kemungkinannya mereka akan membiarkanmu hidup. Kau bisa tinggal di sini malam ini, dan
pulang besok pagi."

Ushinosuke menggumam tak jelas, menyatakan setuju, lalu ia disuruh ke gudang kayu di daerah
lingkaran luar, tempat para magang samurai tidur.

Hyogo memanggil Otsu dengan isyarat, kemudian membawanya ke sisi, dan menyampaikan apa
yang telah ditulis Takuan. Dan ia tidak kaget ketika Otsu mengatakan, "Saya akan pergi besok
pagi." Wajahnya yang merah padam mengungkapkan perasaannya.

Kemudian Hyogo mengingatkan Otsu tentang akan datangnya Munenori, dan menyarankan pada
Otsu untuk kembali ke Edo bersamanya, sekalipun ia tahu benar jawaban apa yang akan
didengarnya dari Otsu. Otsu tak punya selera untuk menunggu dua hari lagi, apalagi dua bulan.
Hyogo berusaha sekali lagi, dengan mengatakan bahwa kalau Otsu mau menanti sampai
sesudah upacara penguburan, Otsu akan dapat mengadakan perjalanan dengannya ke Nagoya,
karena ia telah mendapat panggilan untuk menjadi pengikut Yang Dipertuan Tokugawa dari
Owari. Dan ketika Otsu sekali lagi menyatakan keberatan, ia mengatakan pada Otsu bahwa ia
kurang senang melihat Otsu akan mengadakan perjalanan jauh sendirian. Di setiap kota dan
penginapan sepanjang jalan itu, Otsu akan menjumpai gangguan, bahkan bahaya.

Otsu tersenyum. "Anda rupanya lupa. Saya sudah terbiasa dengan perjalanan. Tak ada yang
perlu Anda kuatirkan."

Malam itu, dalam pesta perpisahan sederhana, tiap orang memperlihatkan rasa sayangnya pada
Otsu, dan pada pagi berikutnya yang terang dan jernih, seluruh keluarga dan para pembantu
berkumpul di gerbang depan, melepas kepergian Otsu.

Sukekuro mengirim orang untuk memanggil Ushinosuke, karena menurut perkiraannya Otsu
dapat menunggang sapinya sampai Uji. Dan ketika orang itu kembali dengan laporan bahwa
anak itu sudah pulang malam sebelumnya, Sukekuro memerintahkan supaya diambilkan kuda.

Otsu merasa statusnya terlampau rendah untuk mendapatkan perlakuan seperti itu, dan ia
menolak tawaran tersebut, namun Hyogo bersikeras. Kuda kelabu berbintik-bintik itu dituntun
oleh seorang samurai magang, menuruni lereng landai yang menuju gerbang luar.

Hyogo berjalan sebentar, kemudian berhenti. Ia tak dapat menyangkal, kadang-kadang ia


merasa iri pada Musashi, sebagaimana ia iri pada siapa pun yang dicintai Otsu. Walaupun hati
Otsu menjadi milik orang lain, rasa sayangnya pada Otsu tidak berkurang. Otsu telah menjadi
teman perjalanan yang menyenangkan dalam perjalanan dari Edo, dan berminggu-minggu dan
berbulan-bulan sesudahnya ia mengagumi pengabdian yang diberikan gadis itu dalam merawat
kakeknya. Walaupun cintanya lebih dalam daripada sebelumnya, cinta itu tidaklah mementingkan
diri sendiri. Sekishusai memerintahkan ia membawa gadis itu dengan selamat kepada Musashi,
dan Hyogo bermaksud melakukannya. Bukanlah sifatnya untuk mendambakan peruntungan
orang lain, ataupun merampas peruntungan itu dari orang yang bersangkutan. Tak dapat ia
membayangkan tindakan yang terpisah dari Jalan Samurai. Melaksanakan keinginan kakeknya
itu sendiri merupakan pernyataan cintanya.

Ia sedang tenggelam dalam angan-angan itu, ketika Otsu menoleh dan membungkuk
menyatakan terima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan jasa baik kepadanya. Ia
berangkat, dan menyentuh beberapa kembang prem. Melihat secara tak sengaja daun bunga
yang berguguran itu, hampir-hampir Hyogo dapat mencium semerbak baunya. Ia merasa itulah
terakhir kali ia melihat Otsu, dan ia senang dapat berdoa diam-diam demi kebaikan masa depan
Otsu. Ia tetap berdiri dan memandang, sementara Otsu menghilang dari pandangan.

"Pak."

Hyogo menoleh dan senyuman tersungging pada wajahnya. "Ushinosuke. Ya, ya. Kudengar kau
pulang juga semalam, biarpun kularang."

"Ya, Pak, ibu saya..." Ushinosuke memang masih terlalu muda, hingga menyebut berpisah
dengan ibunya saja bisa membuat ia menangis.

"Baiklah. Bagus kalau seorang anak lelaki memperhatikan ibunya. Tapi bagaimana kau bisa
menyelamatkan diri dan ronin-ronin di Tsukigase itu?"

"Oh, mudah, Pak."

"Betul mudah?"

Anak itu tersenyum. "Mereka tak ada di sana. Mereka mendengar Otsu datang dari benteng,
karena itu mereka takut akan diserang. Saya kira mereka tentunya pindah ke seberang gunung
itu."

"Ha, ha. Kalau begitu, kita tak perlu lagi kuatir dengan mereka, kan? Kau sudah sarapan belum?"

"Belum," jawab Ushinosuke sedikit malu. "Saya tadi bangun pagi, supaya dapat menggali
kentang liar buat Pak Kimura. Kalau Bapak suka, nanti saya bawakan."

"Terima kasih."

"Apa Bapak tahu di mana Otsu sekarang?"

"Dia baru saja berangkat ke Edo."

"Ke Edo?..." Dan dengan ragu-ragu, katanya, "Saya ingin tahu, apakah dia sudah menyampaikan
pada Bapak atau Pak Kimura tentang keinginan saya."

"Dan apa keinginanmu?"

"Selama mi, saya ingin Bapak menjadikan saya pembantu samurai."

"Kau masih terlalu muda buat pekerjaan itu. Barangkali nanti, kalau kau sudah lebih besar." '

"Tapi saya ingin belajar main pedang. Pak, bantulah saya. Saya mesti belajar selagi ibu saya
masih hidup."

"Apa kau belajar pada orang lain?"

"Tidak, tapi saya sudah latihan menggunakan pedang kayu, dengan pohon dan binatang."

"Oh, itu bagus juga buat permulaan. Kalau nanti kau sudah sedikit lebih besar, kau bisa ikut aku
ke Nagoya. Sebentar lagi aku akan tinggal di sana."

"Tempat itu di Owari, kan? Tak bisa saya pergi sejauh itu, selagi ibu saya masih hidup."

Hyogo jadi tergerak hatinya, katanya, "Sini ikut aku!" Ushinosuke ikut tanpa berkata-kata. "Kita
pergi ke dojo. Akan kulihat, apa kau punya bakat jadi pemain pedang."

"Ke dojo?" Ushinosuke pun bertanya pada diri sendiri, apakah ia sedang bermimpi. Sejak kecil ia
sudah menganggap dojo Yagyu yang kuno itu sebagai lambang segala yang paling
diinginkannya di dunia ini. Sukekuro memang pernah mengatakan ia boleh masuk, hanya saja itu
belum pernah dilakukannya. Tapi sekarang ia diundang masuk oleh salah seorang anggota
keluarga!
"Cuci kakimu."

"Baik, Pak." Ushinosuke pergi ke kolam kecil di dekat pintu masuk, dan dengan hati-hati sekali
mencuci kakinya. Dengan cermat dibersihkannya kotoran yang ada di sela-sela kukunya.

Begitu berada di dalam, ia merasa kecil dan tidak berarti. Kayu-kayu blandar dan kaso itu tua dan
pejal, dan lantai dipoles sampai mengilap, hingga ia dapat berkaca di sana. Suara Hyogo
terdengar lain ketika mengatakan, "Ambil pedang."

Ushinosuke memilih sebilah pedang kayu ek hitam dari antara senjatasenjata yang tergantung di
dinding. Hyogo mengambil juga sebilah, dan dengan ujung pedang diarahkan ke lantai, ia
berjalan ke tengah ruangan.

"Siap?" tanyanya dingin.

"Ya," jawab Ushinosuke sambil mengangkat senjatanya setinggi dada.

Hyogo membuka jurus, sedikit menyudut. Ushinosuke menggembungkan badan seperti landak.
Alisnya terangkat, wajahnya mengerut ganas, dan darahnya menderas. Ketika Hyogo
memberikan isyarat dengan mata bahwa ia akan menyerang, Ushinosuke menggeram keras.
Sambil mengentakkan kaki ke lantai, Hyogo maju cepat ke depan, dan melancarkan serangan
menyamping ke pinggang Ushinosuke.

"Belum!" teriak anak itu. Dengan sikap seakan menendang lantai dan dirinya, ia melompat tinggi-
tinggi, sampai melewati bahu Hyogo. Hyogo menjulurkan tangan kirinya dan mendorong sedikit
kaki anak itu ke atas. Ushinosuke berjungkir-balik dan mendarat di belakang Hyogo. Dalam
sekejap ia tegak kembali dan berlari untuk memegang kembali pedangnya.

"Cukup," kata Hyogo.

"Ah, sekali lagi!"

Ushinosuke mencekal pedangnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dengan kedua


belah tangan, dan menyerbu ke arah Hyogo seperti burung elang. Tapi senjata Hyogo yang
diarahkan langsung kepadanya menghentikan gerakan itu. Ia melihat pandangan mata Hyogo,
dan air matanya berlinang.

"Anak ini punya semangat," pikir Hyogo, namun ia berpura-pura marah. "Kau curang!" teriaknya.
"Kau lompat di atas bahuku." Ushinosuke tak dapat menjawab.

"Kau tidak tahu kedudukanmu; dan lancang terhadap atasan! Duduk di sana!" Anak itu berlutut
dengan tangan ke depan, dan membungkuk meminta maaf. Hyogo mendekatinya, menjatuhkan
pedang kayu itu, dan menarik pedangnya sendiri. "Kubunuh kau sekarang! Jangan menjerit."

"B-b-bunuh saya?"

"Julurkan lehermu! Buat seorang samurai, tak ada yang lebih penting daripada patuh kepada
aturan sopan santun. Biarpun kau cuma anak tani, perbuatanmu itu tak dapat diampuni."

"Bapak mau bunuh saya cuma karena perbuatan kasar?"

"Betul."

Ushinosuke menengadah sebentar kepada samurai itu dengan mata pasrah, kemudian
mengangkat kedua tangan ke arah kampungnya, katanya, "Ibu, aku akan jadi bagian dari tanah
di benteng ini. Aku tahu, Ibu akan sedih. Maafkan aku karena tidak menjadi anak yang baik."
Kemudian dengan patuh ia menjulurkan lehernya.

Hyogo tertawa dan memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya. Sambil menepuk-
nepuk punggung Ushinosuke, katanya, "Kau tidak betul-betul berpikir aku akan membunuh anak
macam kau, kan?"

"Jadi, Bapak tidak sungguh-sungguh?"

"Tidak."

"Bapak bilang, sopan santun itu penting. Jadi, apa bisa dibenarkan kalau seorang samurai
bercanda macam itu?"

"Ini bukan lelucon. Kalau kau mau berlatih jadi samurai, aku mesti tahu orang macam apa kau
itu."

"Tadi saya pikir Bapak sungguh-sungguh," kata Ushinosuke. Napasnya kembali normal.

"Kaubilang belum pernah dapat pelajaran," kata Hyogo. "Tapi waktu kudesak kau ke tepi
ruangan, kau lompat ke atas bahuku. Tidak banyak murid dapat berbuat begitu, biarpun sudah
dapat latihan tiga-empat tahun."

"Tapi saya memang belum pernah belajar pada orang lain."

"Tak perlu dirahasiakan. Kau pasti punya guru yang baik. Siapa dia?"

Anak itu berpikir sebentar, kemudian katanya, "Oh, ya, sekarang saya ingat, bagaimana saya
belajar lompat."

"Siapa yang mengajar?"

"Bukan manusia yang mengajar."

"Peri air barangkali?"

"Bukan, biji rami."

"Apa?"

"Biji rami."

"Mana mungkin kau belajar dari biji rami?"

"Begini, di pegunungan itu ada beberapa petarung-orang-orang yang dapat menghilang dari
depan mata kita. Saya melihat latihan mereka beberapa kali."

"Maksudmu ninja, ya? Tentunya kelompok Iga yang kaulihat itu. Tapi apa hubungannya dengan
biji rami?"

"Begini. Sesudah rami itu ditanam pada musim semi, tak lama kemudian tumbuh kecambahnya."

"Lalu?"

"Saya lompati pokok itu. Tiap hari saya latihan melompat ke sana kemari. Kalau udara lebih
panas, kecambah itu tumbuh cepat—bukan main cepatnya—jadi, dari hari ke hari saya lompat
lebih tinggi lagi."

"Oh, begitu."

"Saya lakukan itu tahun lalu dan tahun sebelumnya. Dari musim semi sampai musim gugur."

Pada waktu itu Sukekuro masuk dojo, katanya, "Hyogo, ini ada surat lagi dari Edo."

Hyogo membacanya, lalu katanya, "Otsu belum jauh, kan?"

"Tak lebih dari delapan kilometer, barangkali. Apa yang terjadi?"

"Ya. Takuan bilang, pengangkatan Musashi dibatalkan. Mereka rupanya sangsi akan wataknya.
Kupikir, kita tak boleh membiarkan Otsu terus pergi ke Edo tanpa memberitahu dia."

"Saya akan pergi!"

"Tidak, biar aku yang pergi."

Sambil mengangguk pada Ushinosuke, Hyogo meninggalkan dojo dan langsung pergi ke
kandang.

Setengah perjalanan menuju Uji, ia mulai berpikir. Biarpun Musashi tak jadi diangkat, buat Otsu
akan sama saja; yang diminati Otsu orangnya, bukan statusnya. Sekalipun Hyogo misalnya
berhasil meyakinkannya untuk tinggal sedikit lebih lama di Koyagyu, Otsu pasti akan pergi terus
ke Edo. Jadi, buat apa menghalangi perjalanannya dengan menyampaikan berita buruk itu?

Hyogo kembali ke Koyagyu dan melambatkan jalan kudanya. Dilihat dari luar, ia tampak tenang,
namun di hatinya berkecamuk perjuangan hebat. Oh, kalau sekiranya ia dapat melihat Otsu
sekali lagi! Ia mesti mengakui pada diri sendiri, bahwa itulah alasan sebenarnya ia menyusul
Otsu, namun ia tak akan mengakuinya pada orang lain.

Hyogo mencoba mengendalikan perasaannya. Seperti semua orang lain, prajurit terkadang
mengalami saat-saat lemah, saat-saat gila. Namun kewajibannya sebagai seorang samurai
sudah jelas: berkeras hati, sampai ia mencapai keseimbangan yang tenang. Sekali ia berhasil
menyeberangi rintangan khayal, jiwanya akan ringan dan bebas, dan matanya akan terbuka
melihat pohon-pohon dedalu hijau di sekitarnya, dan setiap lembar rumput yang ada. Cinta
bukanlah satu-satunya emosi yang dapat mengusik hati seorang samurai. Hatinya adalah dunia
yang sama sekali berbeda. Pada masa ini, dunia sedang sangat membutuhkan orang-orang
muda berbakat, jadi bukan waktunya tergiur oleh sekuntum bunga yang ada di tepi jalan.

Menurut Hyogo, yang penting adalah bagaimana berdiri di tempat yang benar, agar ia dapat
menunggangi ombak zaman. "Ramai juga, ya?" ujar Hyogo dengan hati riang.

"Ya, Nara jarang begini baik keadaannya," jawab Sukekuro. "Macam pesiar saja."

Beberapa langkah di belakang mereka, ikut juga Ushinosuke. Hyogo mulai menyukai anak itu.
Anak itu sekarang lebih sering datang ke benteng, dan dalam masa peralihan untuk menjadi abdi
biasa. Waktu itu ia memanggul makan siang kedua orang itu. Ia membawa sepasang sandal
cadangan untuk Hyogo, yang ia ikatkan ke obi-nya.

Mereka berada di sebuah lapangan terbuka di tengah kota. Di satu sisi menjulang pagoda
Kofukuji yang bertingkat lima, di atas hutan yang mengitarinya. Di seberang lapangan tampak
rumah-rumah para pendeta Budha dan Shinto. Walaupun hari itu tenang dan udara seperti pada
musim semi, namun di daerah-daerah rendah tempat berdiamnya penduduk kota, mengambang
kabut tipis. Kerumunan orang yang berjumlah antara empat sampai lima ratus itu tidak tampak
terlalu besar, karena luasnya lapangan. Sebagian dari rusa yang memasyhurkan nama Nara itu
berjalanjalan di antara para penonton, di sana-sini mengendus-endus potonganpotongan
makanan yang lezat.

"Mereka belum selesai juga, ya?" tanya Hyogo.

"Belum," kata Sukekuro. "Rupanya sedang istirahat makan siang."

"Jadi, pendeta pun mesti makan!"

Sukekuro tertawa.

Waktu itu berlangsung semacam pertunjukan. Kota-kota besar biasanya memiliki teater, tapi di
Nara dan kota-kota yang lebih kecil, pertunjukan itu diadakan di udara terbuka. Para tukang
sulap, penari, tukang boneka, demikian juga para pemanah dan pemain pedang, semuanya
melakukan pertunjukan di luar. Tapi atraksi hari ini lebih dari sekadar hiburan. Tiap tahun para
pendeta pemain lembing Hozoin mengadakan pertandingan. Dengan itu mereka menetapkan
susunan kedudukan mereka di kuil. Karena pertunjukan dilaksanakan di depan umum, para
pemain harus berjuang keras dan pertarungan sering berlangsung hebat dan menakjubkan. Di
depan Kuil Kofukuji dipasang papan pengumuman yang dengan jelas menyatakan bahwa
pertandingan itu terbuka untuk semua orang yang mengabdikan diri kepada seni bela diri, namun
orang luar yang berani menghadapi pendeta pemain lembing itu sedikit sekali.

"Bagaimana kalau kita cari tempat duduk untuk makan siang?" tanya Hyogo. "Rasanya kita
masih punya banyak waktu."

"Di mana tempat yang baik?" tanya Sukekuro, memandang ke sekitar.

"Di sini," seru Ushinosuke. "Bapak-bapak bisa duduk di atas sini." Ia menunjuk selembar tikar
buluh yang telah diambilnya entah dari mana, dan ditebarkannya di atas bukit kecil yang
menyenangkan. Hyogo kagum akan kecekatan anak itu, dan secara keseluruhan ia pun senang
kebutuhan-kebutuhannya diperhatikan, walaupun menurut anggapannya sifat penuh perhatian itu
bukan watak yang ideal untuk seorang calon samurai.

Sesudah mereka mengambil tempat duduk sebaik-baiknya, Ushinosuke menyuguhkan hidangan:


gumpalan nasi kasar, acar prem asam, dan pasta buncis manis, semuanya terbungkus daun
bambu kering untuk memudahkan membawanya.

"Ushinosuke," kata Sukekuro, "lari sana kepada para pendeta itu, dan ambil sedikit teh. Tapi
jangan katakan untuk siapa."

"Akan mengganggu sekali, kalau sampai mereka ke sini menyatakan hormat," tambah Hyogo,
yang waktu itu menenggelamkan muka ke bawah topi anyamannya. Wajah Sukekuro pun lebih
dari setengahnya tertutup bandana, seperti yang biasa dipakai para pendeta.

Ketika Ushinosuke berdiri, seorang anak lelaki lain yang jaraknya sekitar lima belas meter dari
sana mengatakan, "Sungguh saya tak mengerti. Tadi tikar itu di sini."

"Lupakan, Iori," kata Gonnosuke. "Tikar itu tidak penting."

"Tentunya ada yang mencuri. Siapa kira-kira yang melakukannya?"

"Tak usah repot-repot." Gonnosuke duduk di rumput, mengeluarkan kuas dan tinta, dan mulai
mencatat pengeluarannya dalam buku catatan kecil, suatu kebiasaan yang baru-baru ini
didapatnya dari Ion.
Dalam beberapa hal, sikap Iori memang terlampau serius untuk anak semuda dirinya. Ia
memperhatikan benar keuangan pribadinya, tidak pernah memboroskan sesuatu. Ia rapi bukan
main, dan ia merasa berterima kasih atas setiap mangkuk nasi yang diterimanya dan setiap hari
cerah yang dihadapinya. Singkat kata, ia orang yang ingin serbalurus, dan memandang rendah
orang yang tidak bersifat seperti dirinya.

Terhadap orang yang mencuri milik orang lain, walaupun hanya selembar tikar murah, ia merasa
muak.

"Oh, itu dia," teriaknya. "Orang-orang di sana yang mengambilnya. Hei!" la berlari ke arah
mereka, tapi sekitar sepuluh langkah sebelum sampai, tiba-tiba ia berhenti untuk menimbang-
nimbang apa yang akan dikatakannya, dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan Ushinosuke.

"Apa maumu?" geram Ushinosuke.

"Apa maksudmu, apa mauku?" bentak Ion.

Sambil memandangnya dengan sikap dingin, seperti sikap orang kampung terhadap orang luar,
kata Ushinosuke, "Kau yang tadi meneriaki kami."

"Siapa membawa pergi barang orang lain, dia itu pencuri!"

"Pencuri? Kau ini kurang ajar!"

"Tikar itu punya kami!"

"Tikar? Aku tadi menemukan tikar itu di tanah. Apa itu yang bikin kau gusar?"

"Tapi tikar itu penting buat orang yang sedang melakukan perjalanan," kata Iori agak muluk.
"Karena dapat melindungi dari hujan, menjadi alas tidur. Banyak lagi hal lain. Kembalikan tikar
itu!"

"Boleh kau mengambilnya, tapi tarik dulu kata-katamu bahwa aku pencuri!"

"Aku tak perlu minta maaf buat mengambil kembali milik kami sendiri. Kalau tidak kaukembalikan,
akan kuambil kembali!"

"Boleh coba. Aku Ushinosuke dari Araki. Tak mau aku kalah dengan orang kerdil macam kau.
Aku ini murid seorang samurai."

"Aku berani bertaruh, memang kau murid samurai," kata Iori sambil berdiri sedikit lebih lurus.
"Kau berani omong besar karena ada orang banyak di sekitar sini, tapi kau takkan berani
berkelahi, kalau kita cuma berdua."

"Aku takkan lupa kata-kata itu."

"Datang ke sana nanti."

"Ke mana?"

"Dekat pagoda. Kau datang sendiri."

Mereka berpisah. Ushinosuke pergi mengambil teh, dan ketika ia kembali membawa poci teh dari
tembikar, pertandingan sudah mulai lagi. Ketika berdiri dalam lingkaran besar bersama para
penonton lain, Ushinosuke menancapkan matanya pada Iori, menantangnya dengan mata itu. Iori
membalas. Keduanya yakin menang.

Orang banyak yang ribut itu terdorong ke sana-sini, hingga debu kuning naik ke udara. Di tengah
lingkaran, berdiri seorang pendeta, memegang lembing sepanjang tongkat unggas. Satu demi
satu lawan-lawan maju ke depan, menantangnya. Satu demi satu pula mereka diruntuhkan ke
bumi, atau diterbangkan ke udara.

"Ayo maju!" teriaknya, tapi akhirnya tak ada lagi orang yang datang. "Kalau tak ada lagi, saya
pergi. Ada yang keberatan untuk menyatakan diri saya, Nankobo, sebagai pemenang?" Setelah
belajar di bawah pimpinan In'ei, ia menciptakan gayanya sendiri, dan kini menjadi saingan utama
Inshun. Inshun sendiri hari ini tidak hadir, dengan alasan sakit. Tak seorang pun tahu, apakah ia
takut pada Nankobo, atau lebih suka menghindari konflik.

Ketika tak seorang pun maju ke depan, pendeta bertubuh besar dan tegap itu menurunkan
lembingnya, memegangnya mendatar, dan menyatakan, "Tak ada lagi penantang."

"Tunggu!" seru seorang pendeta, sambil berlari ke depan Nankobo. "Saya Daun, murid Inshun.
Saya menantang Anda."

"Siapkan dirimu."

Sesudah saling membungkuk, kedua orang itu melompat menjauh. Kedua lembing mereka begitu
lama saling tatap, seperti makhluk hidup, hingga orang banyak menjadi bosan dan mulai
berteriak-teriak menghendaki aksi.

Kemudian sekonyong-konyong teriakan mereda. Lembing Nankobo menghunjam ke kepala


Daun, dan seperti pengejut burung yang digulingkan angin, tubuhnya pelan-pelan menyandar ke
samping, kemudian tiba-tiba jatuh ke tanah. Tiga-empat pemain lembing berlari maju, bukan
untuk membalas dendam, tapi hanya untuk menyeret tubuh itu ke luar.

Nankobo dengan sombong membidangkan dadanya dan mengamati orang banyak. "Rupanya
tak banyak lagi orang yang berani. Kalau memang masih ada, silakan maju."

Seorang pendeta gunung maju ke depan, dari belakang sebuah tenda. Ia menurunkan pen
perjalanan dari punggungnya, dan tanyanya, "Apa pertandingan ini hanya terbuka buat pemain
lembing Hozoin?'

"Tidak," jawab pendeta-pendeta Hozoin serentak.

Pendeta itu membungkuk. "Kalau begitu, saya ingin mencoba. Ada yang bisa meminjamkan
pedang kayu pada saya?"

Hyogo memandang Sukekuro, katanya, "Oh, ini mulai menarik."

"Barangkali juga."

"Tak sangsi lagi bagaimana jadinya."

"Bukan itu maksudku. Kupikir Nankobo takkan mau berkelahi. Kalau dia mau, dia akan kalah."

Sukekuro tampak bertanya-tanya, tapi ia tidak minta penjelasan.

Satu orang menyerahkan pedang kayu kepada pendeta pengembara itu. Ia berjalan mendekati
Nankobo, membungkuk, dan menyampaikan tantangannya. Umurnya sekitar empat puluh tahun,
tapi tubuhnya yang seperti baja pegas itu mengisyaratkan bahwa ia terlatih bukan dalam cara
pendeta gunung, melainkan di medan laga. Ia tentunya orang yang sudah banyak kali
berhadapan dengan maut, dan siap menghadapi maut dengan tenang. Gaya bicaranya lembut,
dan matanya tenang.

Nankobo memang angkuh, tapi la bukan orang bodoh. "Anda orang luar?" tanyanya asal saja.

"Ya," jawab si penantang, membungkuk sekali lagi.

"Tunggu sebentar." Nankobo melihat dua hal dengan jelas: tekniknya kemungkinan memang
lebih baik daripada teknik pendeta itu, tapi pada akhirnya ia takkan dapat menang. Sejumlah
prajurit terkemuka yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara diketahui masih menyamar
sebagai pendeta pengembara. Hanya Tuhan yang tahu, siapa orang itu.

"Saya tak bisa menghadapi orang luar," kata Nankobo sambil menggeleng.

"Saya sudah tanya peraturannya tadi, dan jawabannya bisa."

"Dengan yang lain bisa-bisa saja, tapi saya memilih untuk tidak bertarung dengan orang luar.
Saya berkelahi bukan dengan tujuan mengalahkan lawan. Ini kegiatan keagamaan. Di sini saya
mendisiplinkan jiwa saya lewat lembing."

"Oh, begitu," kata si pendeta disertai tawa kecil. Ia agaknya masih hendak mengatakan sesuatu,
tapi ragu-ragu. Ia menimbang-nimbang sebentar, kemudian mengundurkan diri dari medan,
mengembalikan pedang kayu itu, dan menghilang.

Nankobo memakai kesempatan itu untuk keluar, tanpa memedulikan bisik-bisik orang bahwa
mengundurkan diri itu baginya berarti pengecut. Diikuti dua-tiga muridnya, ia berjalan dengan
megahnya, seperti jenderal penakluk.

"Nah, apa kataku?" kata Hyogo.

"Anda betul sekali."

"Orang itu pasti salah satu dari orang-orang yang bersembunyi di Gunung Kudo. Gantikan jubah
putih dan dandanannya itu dengan ketopong dan baju zirah, dan dia akan menjadi salah seorang
pemain pedang besar beberapa tahun lalu."

Orang-orang sudah menjarang, dan Sukekuro mulai mencari Ushinosuke, tapi anak itu tidak
kelihatan olehnya. Mendapat isyarat dari Iori tadi, ia pergi ke pagoda, dan kini mereka berdua
berdiri saling tatap dengan ganasnya.

"Jangan salahkan aku, kalau kau terbunuh," kata Iori.

"Omong besar kau!" kata Ushinosuke, mengambil tongkat untuk senjata.

Iori menyerbu dengan pedang diangkat tinggi-tinggi. Ushinosuke melompat mundur. Karena
menurut pendapatnya Ushinosuke takut, Iori berlari langsung ke arahnya, tapi Ushinosuke
melompat sambil menendang sisi kepalanya. Tangan Iori memegang kepalanya, dan ia rebah ke
tanah. Tapi ia cepat pulih kembali, dan dalam sekejap sudah berdiri lagi. Kedua anak itu ber-
hadapan-hadapan dengan senjata terangkat.

Lupa akan ajaran Musashi dan Gonnosuke, Iori menyerang dengan mata tertutup. Ushinosuke
menyamping sedikit dan memukul dengan tongkat.

"Ha! Aku menang!" teriak Ushinosuke. Tapi ketika dilihatnya Iori tak bergerak sama sekali, ia jadi
ketakutan dan lari.
"Siapa bilang!" bentak Gonnosuke. Tongkatnya yang empat kaki panjangnya itu menghantam
pinggul Ushinosuke.

Ushinosuke jatuh sambil menjerit kesakitan, tapi sesudah melihat Gonnosuke sekilas, ia bangkit
dan lari lagi seperti kelinci, hingga kepalanya membentur Sukekuro.

"Ushinosuke! Apa yang terjadi di sini?"

Ushinosuke cepat menyembunyikan diri di belakang Sukekuro, sehingga samurai itu berhadap-
hadapan dengan Gonnosuke. Untuk sesaat seakanakan benturan tak dapat dihindari lagi.
Tangan Sukekuro menyambar pedang, sedangkan Gonnosuke mengetatkan pegangan
tongkatnya.

"Boleh saya bertanya?" tanya Sukekuro. "Kenapa Anda mengejar anak ini, seperti mau
membunuhnya?"

"Sebelum menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan. Apa Anda lihat tadi dia
merobohkan anak itu?"

"Apa anak itu teman Anda?"

"Ya. Apa ini salah seorang pembantu Anda?"

"Secara resmi tidak." Sambil menatap Ushinosuke, tanyanya garang, "Kenapa kaupukul anak itu,
lalu lari? Katakan yang sebenarnya sekarang."

Belum lagi Ushinosuke membuka mulut, Iori sudah mengangkat kepala dan berteriak, "Itu tadi
pertarungan!" Sambil duduk kesakitan, katanya, "Kami berdua bertarung, dan saya kalah."

"Apa kalian berdua sudah saling tantang sesuai aturan, dan sepakat bertempur?" tanya
Gonnosuke. Ia memandang kedua anak itu bergantian, dan tampak nada kagum dalam matanya.

Dengan sikap sangat malu, Ushinosuke berkata, "Saya tidak tahu itu tadi tikarnya."

Kedua pria itu saling menyeringai. Sadarlah mereka bahwa kalau tadi mereka tidak
mengendalikan diri, kejadian sepele yang kekanak-kanakan itu dapat berakhir dengan
pertumpahan darah.

"Saya menyesalkan kejadian ini," kata Sukekuro. "Begitupun saya. Saya harap Anda memaafkan
saya."

"Tidak apa-apa. Guru saya menanti kami, karena itu lebih baik kami pergi sekarang."

Mereka keluar pintu gerbang sambil tertawa, Gonnosuke dan Iori ke kiri, Sukekuro dan
Ushinosuke ke kanan.

Kemudian Gonnosuke menoleh, katanya, "Boleh saya bertanya? Kalau kami terus mengikuti
jalan ini, apa kami akan sampai Benteng Koyagyu?"

Sukekuro mendekati Gonnosuke, dan beberapa menit kemudian, ketika Hyogo bergabung
dengan mereka, ia menyampaikan pada Hyogo siapa orang-orang itu, dan kenapa mereka ada di
sana.

Hyogo menarik napas panjang dengan sikap simpatik. "Sayang sekali. Coba kalau Anda datang
tiga minggu lalu, sebelum Otsu pergi menggabungkan diri dengan Musashi di Edo."
"Tapi dia tak ada di Edo," kata Gonnosuke. "Tak ada yang tahu di mana dia berada, termasuk
teman-temannya."

Iori berusaha menahan air matanya, namun sesungguhnya ia ingin sekali pergi sendiri ke suatu
tempat, untuk melampiaskan perasaannya. Dalam perjalanan turun, tidak henti-hentinya ia bicara
tentang pertemuan dengan Otsu, atau setidaknya demikianlah kesan Gonnosuke. Dan ketika
percakapan orang-orang dewasa itu beralih pada peristiwa-peristiwa di Edo, ia pun lama-lama
merasa asing. Kepada Gonnosuke, Hyogo minta lebih banyak informasi tentang Musashi, minta
kabar tentang pamannya, dan minta perincian tentang hilangnya Ono Tadaaki. Kelihatannya
pertanyaannya takkan ada habisnya, demikian juga jawaban yang diberikan Gonnosuke.

"Ke mana kau pergi?" tanya Ushinosuke pada Iori, sambil menyusulnya dari belakang dan
meletakkan tangan dengan simpati ke bahu Iori. "Kau menangis, ya?"

"Tentu saja tidak!" Tapi ketika menggeleng, air matanya terlontar jatuh.

"Hmm... Kau bisa menggali kentang liar, tidak?"

"Tentu."

"Ada kentang di sana. Mau tahu siapa yang bisa menggali paling cepat?"

Iori menerima tantangan itu, dan mereka mulai menggali.

Hari sudah menjelang senja, dan karena masih banyak yang dibicarakan, Hyogo mendesak
Gonnosuke untuk tinggal beberapa hari di benteng. Namun Gonnosuke mengatakan lebih suka
melanjutkan perjalanan.

Selagi mengucapkan kata-kata perpisahan, mereka menyadari bahwa kedua anak itu hilang lagi.
Tapi sejenak kemudian Sukekuro menunjuk, dan katanya, "Itu mereka di sana. Rupanya mereka
sedang menggali."

Iori dan Ushinosuke sedang tenggelam dalam kegiatan masing-masing. Karena rapuhnya akar
kentang, mereka mesti menggali dengan hati-hati sampai dalam. Ketiga lelaki itu senang melihat
ketekunan mereka, dan diam-diam mendekati mereka dari belakang, serta memperhatikan
mereka beberapa menit lamanya. Akhirnya Ushinosuke menengadah melihat mereka. la
tergagap sedikit, sedangkan Iori menoleh sambil menyeringai. Lalu mereka kembali bekerja
keras.

"Aku menang!" teriak Ushinosuke sambil mencabut kentang panjang dan meletakkannya di
tanah.

Melihat lengan Iori masih terbenam sampai bahu dalam lubang, Gonnosuke berkata tak sabar,
"Kalau kau tidak lekas menyelesaikannya, aku pergi sendiri!"

Sambil meletakkan satu tangan ke paha, seperti seorang petani tua, Iori memaksa dirinya berdiri,
dan katanya, "Oh, tak sanggup aku. Sampai malam takkan selesai." Dengan wajah menyerah,
dikibaskannya tanah dari kimononya.

"Tak bisa kau mengeluarkan kentang itu, padahal sudah menggali begitu dalam?" tanya
Ushinosuke. "Mari aku tarikkan."

"Tidak," kata Iori sambil mencegah tangan Ushinosuke. "Nanti patah." Dengan hati-hati
dikembalikannya tanah itu ke dalam lubang, dan dipadatkannya.
"Selamat tinggal," kata Ushinosuke. Dengan bangga ia memanggul kentangnya, dan secara
kebetulan kelihatan ujungnya yang patah.

Melihat itu, Hyogo berkata, "Kau kalah. Boleh saja kau menang dalam perkelahian, tapi kau tidak
lulus dalam pertandingan menggali kentang."

97. Tukang Sapu dan Pedagang

BUNGA-BUNGA sakura jadi berwarna pucat karena sudah lewat masa puncaknya, sedangkan
kembang widuri sudah layu, mengingatkan orang pada masa berabad-abad lalu, ketikaNara
masih menjadi ibu kota. Hari itu agak terlalu panas untuk berjalan, tapi baik Gonnosuke maupun
Iori belum lelah berjalan.

Iori menarik lengan baju Gonnosuke, dan katanya kuatir. "Orang itu masih saja mengikuti kita!"

Gonnosuke terus memandang lurus ke depan, katanya, "Pura-pura kita tidak melihat dia."

"Dia sudah di belakang kita sejak kita meninggalkan Kofukuji."

"Ya."

"Dan dia ada di penginapan itu, waktu kita tinggal di sana, kan?"

"Tak usah kau kuatir karena itu. Kita tak punya barang yang patut dirampas."

"Tapi kita punya nyawa! Nyawa itu bukan barang sepele."

"Ha, ha. Tap aku sudah mengunci nyawaku. Kau belum, ya?"

"Tapi saya dapat menjaga diri." Dan Ion mengetatkan genggaman tangan kirinya atas sarung
pedangnya.

Gonnosuke tahu, orang itu pendeta pengembara yang menantang Nankobo kemarin, tapi ia tak
habis pikir, kenapa pendeta itu menguntit mereka.

Iori menoleh lagi, dan katanya, "Lho, dia tak ada!"

Gonnosuke menoleh juga ke belakang. "Barangkali dia capek." Ia menarik napas panjang, dan
tambahnya. "Tapi aku merasa lebih lega sekarang." Mereka menginap di rumah seorang petani
malam itu, dan pagi-pagi hari berikutnya, mereka tiba di Amano di Kawachi. Tempat itu adalah
kampung kecil dengan rumah-rumah yang rendah tepian atapnya, dan di belakang rumah-rumah
itu mengalir sungai dengan air gunung yang jernih.

Gonnosuke datang ke situ untuk meletakkan tanda peringatan bagi ibunya di Kuil Kongoji, yang
dinamakan Gunung Koya Para Wanita. Tapi pertama-tama ia ingin mengunjungi seorang wanita
bernama Oan, yang dikenalnya sejak kecil, supaya nantinya selalu ada orang membakar dupa di
hadapan tanda peringatan itu. Kalau wanita itu tak dapat ditemukannya, ia bermaksud pergi ke
Gunung Koya, yaitu tempat pemakaman bagi orang-orang kaya dan perkasa. la berharap tidak
perlu sampai pergi ke sana, sebab pasti ia akan merasa seperti pengemis kalau harus ke sana.

Ia bertanya pada istri seorang penjaga toko, dan mendapat keterangan bahwa Oan adalah istri
seorang pembuat sake bernama Toroku; rumahnya adalah yang keempat di sebelah kanan,
dalam pekarangan kuil.

Ketika melewati gerbang, Gonnosuke heran mengingat kata-kata wanita itu, karena di situ ada
papan pengumuman yang menyatakan bahwa membawa sake dan bawang perai ke pekarangan
suci itu dilarang. Bagaimana mungkin ada penyulingan sake di sana?

Teka-teki kecil tersebut dipecahkan malam itu, oleh Toroku. Ia minta mereka menganggap
tempat itu sebagai rumah sendiri, dan dengan senang hati menyatakan bersedia berbicara
dengan kepala biara, tentang tanda peringatan bagi ibu Gonnosuke. Toroku menyatakan bahwa
Toyotomi Hideyoshi pernah mencicipi dan menyatakan kekaguman atas sake yang dibuat untuk
kuil itu. Para pendeta kemudian membangun penyulingan untuk membuat sake bagi Hideyoshi
dan lain-lain drtimyo yang memberikan sumbangan kepada kuil itu. Produk pabrik agak jatuh
sesudah meninggalnya Hideyoshi, tapi kuil masih menyediakan produksinya bagi sejumlah
pelindung khusus.

Ketika Gonnosuke dan Iori terbangun pagi berikutnya, Toroku sudah pergi. Ia pulang sebentar
sesudah tengah hari, dan mengatakan bahwa sudah dilakukan berbagai persiapan.

Kuil Kongoji terletak di lembah Sungai Amano, di tengah beberapa puncak gunung berwarna
batu lumut. Gonnosuke, Ion, dan Toroku berhenti sebentar di jembatan yang menuju gerbang
utama. Bunga sakura mengapung di air di bawah jembatan. Gonnosuke membidangkan
dadanya, wajahnya memperlihatkan ketakziman. Iori membenahi kerahnya.

Ketika menghampiri ruangan utama, mereka disambut oleh kepala biara, seorang lelaki
jangkung, agak kekar, dan mengenakan jubah pendeta biasa. Akan cocok seandainya ia
memakai topi anyaman yang sudah sobek dan sebatang tongkat panjang.

"Apa ini orang yang ingin melakukan kebaktian untuk ibunya?" tanyanya dengan nada ramah.

"Ya, Pak," jawab Toroku sambil bersujud.

Gonnosuke, yang semula menyangka akan bertemu dengan seorang pendeta berwajah garang
dan mengenakan pakaian brokat emas, menjadi bingung bagaimana akan memberi salam
kepadanya. Ia membungkuk dan memperhatikan ketika kepala biara itu turun dari serambi,
memasukkan kakinya yang besar ke dalam sandal jerami yang kotor, dan berhenti di depannya.
Dengan tasbih di tangan, kepala biara minta mereka mengikutinya, kemudian seorang pendeta
muda mengikuti mereka dari belakang.

Mereka melewati Ruang Yakushi, kamar makan, pagoda harta bertingkat satu, dan tempat
kediaman para pendeta. Sampai di Ruang Dainichi, pendeta muda itu maju ke depan dan bicara
dengan kepala biara. Kepala biara mengangguk, dan si pendeta membuka pintu dengan kunci
yang sangat besar.

Gonnosuke dan Iori memasuki ruang besar itu bersama-sama, dan berlutut di hadapan podium
para pendeta. Sepuluh kaki di atas podium terdapat patung raksasa Dainichi dari emas, Budha
alam semesta dari sektesekte rahasia. Beberapa waktu kemudian, kepala biara muncul dari batik
altar, dalam jubah kebesarannya, dan mengambil tempat di atas podium. Mulailah terdengar
alunan kitab sutra. Tanpa kentara, ia seolah berubah bentuk menjadi seorang pendeta tinggi
yang bermartabat. Kekuasaannya jelas kelihatan dari posisi bahunya.
Gonnosuke menangkupkan tangan di depan badan. Segumpal awan kecil seolah melintas di
depan matanya, dan dari gumpalan awan itu muncul bayangan Celah Shiojiri, di mana ia dan
Musashi saling menguji kekuatan. Ibunya duduk di sisi lain, tegak seperti papan. Ia tampak kuatir,
seperti ketika dulu ia menyerukan kata yang menyelamatkan Gonnosuke dalam perkelahian itu.

"Ibu," pikir Gonnosuke, "Ibu tak perlu kuatir dengan masa depanku. Musashi sudah setuju
menjadi guruku. Tak lama lagi aku akan dapat mendirikan perguruanku sendiri. Dunia boleh saja
kacau, tapi aku takkan menyeleweng dari Jalan-ku. Dan aku pun takkan melalaikan
kewajibankewajibanku sebagai anak...."

Ketika Gonnosuke lepas dari lamunan itu, alunan suara kepala biara sudah berhenti, dan ia
sudah pergi. Di sampingnya Iori duduk terpaku, matanya lekat pada wajah Dainichi yang
merupakan keajaiban dalam bidang seni patung, karya Unkei yang agung di abad ketiga betas.

"Kenapa kau menatap begitu, Iori?"

Tanpa mengalihkan pandangannya, kata anak itu, "Kakak saya! Budha ini kelihatan seperti kakak
saya."

Gonnosuke tertawa mendengarnya. "Apa yang kaubicarakan ini? Melihat dia saja kau belum
pernah. Bagaimanapun, takkan pernah ada orang yang bisa tampak sewelas asih dan
setenteram Dainichi."

Iori menggelengkan kepala keras-keras. "Tapi saya sudah melihat dia! Dekat kediaman Yang
Dipertuan Yagyu di Edo. Dan bicara dengan dia! Waktu itu saya tidak tahu dia kakak saya, tapi
tadi, waktu kepala biara menyanyi, muka sang Budha berubah menjadi muka kakak saya. Dan
kakak saya seolah mengatakan sesuatu pada saya."

Mereka keluar dan duduk di beranda, enggan membuang pesona khayal yang telah mereka
peroleh.

"Kebaktian tadi itu untuk ibuku," kata Gonnosuke termenung. "Tapi hari ini hari baik juga untuk
makhluk hidup. Duduk seperti ini di sini, rasanya sukar aku percaya bahwa perkelahian dan
pertumpahan darah bisa berlangsung."

Puncak pagoda harta yang terbuat dari logam itu berkilauan seperti pedang bertatahkan permata,
dalam cahaya matahari yang sedang tenggelam. Semua bangunan lain berdiri dalam bayangan
gelap. Lentera-lentera batu berderet di jalan gelap yang mendaki bukit terjal menuju warung teh
gaya Muromachi dan sebuah mausoleum kecil.

Seorang biarawati tua, dengan kepala tertutup bandana sutra putih, dan seorang laki-laki gempal
berumur sekitar lima puluh tahun, sedang menyapu daun-daunan dengan sapu jerami, dekat
warung teh.

Biarawati itu mengeluh, kemudian katanya, "Kukira sekarang sudah lebih baik." Hanya sedikit
orang datang ke bagian kuil ini, meski sekadar untuk membersihkan dedaunan dan bangkai
burung yang menumpuk selama musim dingin.

"Ibu tentunya lelah," kata laki-laki itu. "Kenapa tidak duduk beristirahat? Biar kuselesaikan." Ia
mengenakan kimono katun sederhana dengan mantel tak berlengan, sandal jerami, dan kaus
kulit berpola bunga sakura, berikut pedang pendek dengan gagang tanpa hiasan yang terbuat
dari kulit ikan hiu.

"Aku tidak lelah," jawab biarawati itu sambil tertawa kecil. "Tapi bagaimana denganmu? Kau tidak
biasa dengan kerja ini. Apa tanganmu tidak lecet?"
"Tidak lecet, tapi melepuh semua."

Perempuan itu tertawa lagi, katanya, "Nah, apa itu bukan tanda mata yang bagus buat dibawa
pulang?"

"Aku tak peduli. Aku merasa hatiku sudah disucikan. Aku berharap persembahan kerja kita yang
tak berarti ini diterima dewa-dewa."

"Oh, sudah gelap benar. Mari kita selesaikan besok pagi saja."

Gonnosuke dan Iori sekarang berdiri di dekat serambi. Koetsu dan Myoshu pelan-pelan
menyusuri jalan yang menurun, sambil berpegangan tangan. Ketika sampai di dekat Ruang
Dainichi, keduanya terkejut dan berseru, "Siapa di situ?"

Kemudian kata Myoshu, "Hari bagus, ya? Apa kalian datang buat melihat-lihat?"

Gonnosuke membungkuk, katanya, "Tidak, saya mengirim bacaan sutra buat ibu saya."

"Oh, saya senang sekali bertemu dengan orang muda yang tahu terima kasih kepada
orangtuanya."

Ia menepuk kepala Iori dengan sikap keibuan.

"Koetsu, apa kue gandum itu masih ada?"

Koetsu mengeluarkan bungkusan kecil dari lengan kimononya dan menawarkannya pada Iori.
"Maafkan saya, menawarkan makanan sisa."

"Gonnosuke, boleh saya menerimanya?" tanya Iori.

"Ya," kata Gonnosuke, menyatakan terima kasih pada Koetsu atas nama Iori.

"Dari aksen bicaramu, rupanya kau datang dari timur," kata Myoshu.

"Boleh saya bertanya, ke mana kalian hendak pergi?"

"Rasanya ini perjalanan tanpa akhir, di jalan tak ada ujung. Anak ini dan saya sama-sama murid
Jalan Pedang."

"Oh, jalan sulit yang kalian pilih itu. Siapa guru kalian?"

"Namanya Miyamoto Musashi."

"Musashi? Yang benar!" Myoshu tertegun, seakan-akan sedang mengingat kembali kenangan
manis.

"Di mana Musashi sekarang?" tanya Koetsu. "Lama kami tak jumpa dengannya."

Gonnosuke menyampaikan pada mereka tentang nasib baik Musashi selama beberapa tahun
terakhir itu. Sambil mendengarkan, Koetsu mengangguk-angguk dan tersenyum, seakan-akan
mengatakan. "Itu yang saya harapkan untuknya."

Selesai bercerita, Gonnosuke bertanya, "Boleh saya tahu siapa Bapak?"

"O ya, maaf saya tidak mengatakannya tadi."


Koetsu memperkenalkan dirinya dan ibunya. "Musashi tinggal dengan kami sebentar, beberapa
tahun lalu. Kami suka sekali padanya, dan sampai sekarang pun masih sering kami bicara
tentangnya." Kemudian ia bercerita pada Gonnosuke tentang dua-tiga peristiwa yang terjadi
ketika Musashi ada di Kyoto.

Gonnosuke sudah lama tahu nama baik Koetsu sebagai penggosok pedang, dan baru-baru ini ia
mendengar tentang hubungan Musashi dengan orang itu. Tapi ia tak pernah menduga akan
melihat orang kota yang kaya itu membersihkan pekarangan kuil yang terbengkalai.

"Apa di sini ada kuburan orang yang dekat dengan Bapak?" tanyanya. "Atau barangkali Bapak
datang kemari untuk pesiar?"

"Tidak, tak ada yang lebih sembrono daripada pesiar," seru Koetsu. "Setidaknya di tempat suci
seperti ini.... Apa kalian sudah mendengar dari para pendeta, riwayat Kuil Kongoji ini."

"Belum."

"Kalau begitu, izinkan saya sebagai ganti para pendeta, bercerita sedikit tentangnya. Tapi harap
dimengerti, saya hanya mengulang apa yang pernah saya dengar." Koetsu berhenti dan menoleh
ke sekitar pelan-pelan, kemudian katanya, "Tepat sekali bulan malam ini," dan ia menunjuk
beberapa peninggalan penting: di atas mereka mausoleum, Mieido dan Kangetsutei, di bawah
mereka Taishido, tempat suci Shinto, pagoda harta, ruang makan, dan gerbang bertingkat dua.

"Lihat baik-baik," katanya, seolah-olah terpesona oleh suasana sepi itu. "Pohon pinus itu, batu-
batu itu, setiap pohon, setiap lembar rumput di sini, adalah bagian dari keabadian yang tak
kelihatan, yang merupakan tradisi molek negeri kita."

Ia meneruskan dalam nada sama, dan dengan khidmat bercerita bahwa di abad keempat belas,
selama berlangsungnya konflik antara istana selatan dan utara, gunung itu menjadi kubu istana
selatan. Dikatakannya, Pangeran Morinaga, yang dikenal juga sebagai Daito no Miya,
mengadakan pertemuanpertemuan rahasia untuk menggulingkan para regent Hojo. Sementara
itu, Kusunoki Masashige dan kaum loyalis yang lain bertempur melawan tentara istana utara.
Kemudian Keluarga Ashikaga memegang kekuasaan, dan Kaisar Go-Murakami yang terusir dari
Gunung Otoko terpaksa melarikan diri dari tempat satu ke tempat lain. Akhirnya ia berlindung di
kuil itu, dan bertahun-tahun lamanya hidup sebagai pendeta gunung biasa, dengan menanggung
berbagai kekurangan. Dengan menggunakan ruang makan itu sebagai pusat pemerintahannya,
ia bekerja tanpa kenal lelah untuk memperoleh kembali hak istimewa kekaisaran yang direbut
militer.

Sebelum itu, ketika para samurai dan orang-orang istana berkumpul di sekitar mantan Kaisar
Kogon, yaitu Komyo dan Suko, biarawan Zen'e menulis dengan pedih, "Tempat tinggal para
pendeta dan kuil-kuil gunung semuanya diruntuhkan. Kerugian tidak terlukiskan."

Gonnosuke mendengarkan dengan sikap hati-hati dan penuh hormat. Iori, yang terpesona oleh
kesungguhan suara Koetsu, tidak dapat melepaskan matanya dari wajah orang itu.

Koetsu menarik napas panjang, meneruskan, "Segala sesuatu di sini adalah peninggalan zaman
itu. Mausoleum itu tempat peristirahatan terakhir Kaisar Kogon. Sejak surutnya Keluarga
Ashikaga, tak ada yang terawat secara memadai. Itu sebabnya ibu saya dan saya memutuskan
untuk membersihkannya sedikit, sebagai tanda takzim."

Karena senang dengan ketekunan para pendengarnya, Koetsu berusaha keras mencari kata-
kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaannya.

"Waktu sedang menyapu, kami temukan sebuah batu berukir sajak, yang barangkali ditulis oleh
seorang prajurit pendeta zaman itu. Bunyinya:
Biar perang berjalan terus, Sampai seratus tahun sekalipun, Musim semi kan datang kembali,
Hiduplah dengan hati bernyanyi. Hai, kalian rakyat sang Kaisar.

"Coba bayangkan, betapa besar keberanian dan semangat yang diperlukan oleh seorang prajurit
sederhana yang sudah bertempur bertahun-tahun, dan barangkali berpuluh-puluh tahun
lamanya, dalam melindungi sang kaisar, untuk dapat bergembira dan menyanyi! Saya yakin,
dasarnya adalah karena semangat. Masashige bersemayam di had prajurit itu. Walaupun seratus
tahun pertempuran telah berlalu, tempat ini tetap menjadi tanda peringatan bagi martabat
kekaisaran. Maka, tidakkah kita mesti menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya atas hal
ini?"

"Saya tidak tahu bahwa ini dulu tempat berlangsungnya pertempuran suci," kata Gonnosuke.
"Saya harap Bapak memaafkan ketidaktahuan saya."

"Saya senang mendapat kesempatan menyampaikan sebagian buah pikiran saya mengenai
sejarah negeri kita ini."

Keempat orang itu berjalan menuruni bukit bersama-sama. Di dalam terang bulan, bayangan
mereka tampak kecil tak berarti.

Ketika mereka melewati ruang makan, Koetsu berkata, "Kami sudah tujuh hari tinggal di sini.
Kami akan pulang besok. Kalau kalian bertemu dengan Musashi, sampaikan padanya supaya dia
menengok kami lagi."

Gonnosuke menegaskan bahwa ia akan menyampaikan pesan itu.

Di atas sungai dangkal yang mengalir cepat sepanjang dinding luar kuil itu, ada sebuah jembatan
tanah.

Belum lagi Gonnosuke dan Iori menginjakkan kaki di jembatan itu, sesosok tubuh besar putih
bersenjatakan tongkat muncul dari balik bayangan, dan melesat menyerang punggung
Gonnosuke. Gonnosuke menghindar dari serangan itu dengan meluncur ke samping, tapi Iori
terpental dari jembatan.

Orang itu menyeruduk lewat Gonnosuke, ke jalan di ujung sana jembatan. Tapi seketika itu juga
ia berbalik dan mengambil jurus mantap, kedua kakinya mirip batang pohon kecil. Gonnosuke
melihat bahwa orang itu pendeta yang telah mengikuti mereka kemarin.

"Siapa kau?" teriak Gonnosuke.

Pendeta itu tak menjawab.

Gonnosuke menggerakkan tongkatnya dalam posisi siap memukul, dan berteriak, "Siapa kau?
Apa alasanmu menyerang Muso Gonnosuke?"

Pendeta itu pura-pura tak mendengar. Matanya memercikkan api, sementara jari-jari kakinya
yang menyembul dari dalam sandal jerami yang berat itu merayap maju seperti lipan.

Gonnosuke menggeram dan mengutuk berbisik. la beringsut ke depan dengan kakinya yang
pendek berat, yang kini menggelembung karena nafsu berkelahi.

Tongkat si pendeta patah berderak menjadi dua. Separuh melayang ke udara, separuh lagi
dilontarkan sekuat-kuatnya ke wajah Gonnosuke. Lontaran itu tidak mengena, tapi sementara
Gonnosuke memulihkan keseimbangan badannya, lawannya menarik pedang dan menyerbu ke
jembatan.

"Bajingan!" pekik Iori.

Pendeta itu menggagap dan memegang wajahnya. Batu-batu kecil yang dilemparkan Ion
mengenai sasarannya, satu di antaranya tepat mengenai mata. Si pendeta pun berpusing dan
lari.

"Berhenti!" teriak Iori sambil merangkak naik ke tepi sungai, membawa sejumlah batu.

"Biarkan," kata Gonnosuke sambil meletakkan tangan ke lengan Iori. "Biar dia tahu rasa!" ucap
Iori puas, sambil melontarkan bebatuan itu ke bulan.

Segera sesudah mereka kembali ke rumah Toroku dan pergi tidur, badai bertiup. Angin meraung-
raung di antara pepohonan, mengancam akan menerbangkan atap rumah, tapi itu bukan satu-
satunya hal yang membuat mereka susah tidur.

Gonnosuke terbaring terjaga, teringat masa lalu dan masa sekarang. Terpikir olehnya, apakah
dunia ini memang lebih baik sekarang daripada berabad-abad lampau. Nobunaga, Hideyoshi,
dan Ieyasu telah memperoleh simpati rakyat, juga kekuasaan untuk memerintah, tapi terpikir oleh
Gonnosuke, tidakkah penguasa yang sebenar-benarnya itu telah terlupakan, dan kini rakyat
disuruh menyembah dewa-dewa palsu? Zaman Keluarga Hojo dan Ashikaga adalah zaman yang
menimbulkan rasa benci, yang jelas-jelas berlawanan dengan prinsip yang menjadi dasar
berdirinya negeri ini. Namun, di zaman itu pun, para prajurit besar seperti Masashige dan
anaknya, juga loyalis dari banyak provinsi, tetap mengikuti tata krama prajurit sejati. Apa yang
telah terjadi dengan Jalan Samurai? Ya, Gonnosuke kini bertanya pada diri sendiri. Seperti
halnya Jalan Orang Kota dan Jalan Petani, agaknya Jalan Samurai sekarang ini hanyalah demi
penguasa militer.

Pikiran-pikiran itu membuat sekujur tubuh Gonnosuke terasa panas. Puncak Pegunungan
Kawachi, hutan di sekitar Kuil Kongoji, dan badai yang melolong-semuanya jadi seperti makhluk-
makhluk hidup yang berseruseru kepadanya dalam mimpi.

Sementara itu, Iori tak dapat mengusir pendeta tak dikenal itu dari pikirannya. Ia masih juga
memikirkan sosok putih seperti hantu itu, lama kemudian. Ketika badai makin menghebat,
ditutupkannya selimut ke atas matanya, dan barulah ia terlena dalam tidur lelap tanpa mimpi.

Ketika mereka berangkat lagi pagi berikutnya, awan-awan di atas pegunungan berwarna pelangi.
Baru saja mereka keluar dari kampung, seorang pedagang keliling muncul dari balik kabut pagi,
dan mengucapkan selamat pagi pada mereka dengan nada riang.

Gonnosuke menjawab acuh tak acuh. Iori masih terbenam dalam pikiran yang membuatnya tak
bisa tidur malam sebelumnya, jadi ia pun tidak terlalu ramah.

Orang itu mencoba membuka percakapan. "Anda menginap di rumah Toroku tadi malam, ya?
Saya sudah bertahun-tahun mengenalnya. Mereka orang-orang baik, dia dan istrinya."

Kata-kata itu hanya dapat memancing sungutan pelan Gonnosuke.

"Saya juga sekali-sekali berkunjung ke Benteng Koyagyu," kata pedagang itu. "Kimura Sukekuro
banyak membantu saya."

Kata-kata itu dijawab dengan sungutan lagi.

"Saya lihat Anda telah mengunjungi 'Gunung Koya Para Wanita.' Saya kira sekarang Anda akan
pergi ke Gunung Koya itu sendiri. Sekaranglah waktu yang tepat. Salju mulai mencair, dan
semua jalan sudah diperbaiki. Anda dapat melintasi celah Amami dan Kiimi dengan santai, dan
menginap di Hashimoto atau Kamuro..."

Usaha orang itu untuk mencari tahu rencana perjalanan mereka membuat Gonnosuke curiga.
"Apa kerja Anda?" tanyanya.

"Saya penjual tali kepang," kata orang itu, sambil menunjuk bungkusan kecil di punggungnya.
"Tali ini dibuat dari katun yang dianyam datar. Belum lama ditemukan, tapi sudah cepat disukai
orang."

"Begitu," kata Gonnosuke.

"Toroku banyak membantu memasarkan tali saya ini kepada para pemuja di Kuil Kongoji.
Sebetulnya saya punya rencana menginap di rumahnya tadi malam, tapi katanya sudah ada dua
tamu. Agak kecewa juga. Kalau saya tinggal di rumahnya, dia selalu menyuguhi saya sake yang
enak." Ia tertawa.

Gonnosuke jadi agak luluh, dan mulai mengajukan pertanyaan tentang tempat-tempat di
sepanjang jalan itu, karena pedagang itu kenal benar dengan pedesaan di situ. Begitu mereka
sampai di dataran tinggi Amami, percakapan sudah menjadi cukup bersahabat.

"Hei, Sugizo!"

Seorang lelaki datang menderap di jalanan itu, menyusul mereka. "Kenapa kautinggalkan aku?
Aku tunggu di Kampung Amano. Kaubilang akan singgah menjemputku."

"Maaf, Gensuke," kata Sugizo. "Aku jumpa dengan kedua teman ini dan asyik bercakap-cakap,
sampai lupa sama sekali padamu." Ia tertawa dan menggaruk kepalanya.

Gensuke, yang berpakaian seperti Sugizo itu, ternyata pedagang tali juga. Sementara berjalan,
kedua pedagang itu mulai membicarakan soal perdagangan.

Sampai di sebuah jurang yang dalamnya sekitar enam meter, tiba-tiba Sugizo berhenti bicara
dan menunjuk.

"Itu berbahaya," katanya.

Gonnosuke berhenti dan memandang jurang yang menyerupai celah sisa gempa bumi, yang
barangkali terjadi di masa lalu. "Apa susahnya?" tanyanya.

"Balok-balok itu tidak aman buat menyeberang. Lihat itu, sebagian batu yang mendukungnya
sudah terbawa hanyut. Lebih baik kita bereskan dulu balok-balok itu, supaya kokoh." Kemudian
tambahnya. "Kita mesti melakukannya, demi pejalan yang lain."

Gonnosuke memperhatikan mereka ketika mereka berjongkok di ujung karang terjal, dan mulai
memadatkan batu-batuan dan tanah di bawah balok-balok itu. Pikirnya, kedua pedagang itu
banyak mengadakan perjalanan, dan karena itu kenal betul akan kesulitan-kesulitan perjalanan,
seperti juga orang lain. Namun ia agak heran juga.

Sungguh tidak biasa, bahwa orang-orang seperti mereka begitu mencurahkan perhatian pada
kepentingan orang lain, hingga mau bersusah-susah membetulkan jembatan.

Iori sama sekali tidak memikirkan soal itu. la terkesan oleh keprihatinan mereka, dan ia
membantu mengumpulkan batu untuk mereka.
"Saya kira ini cukup," kata Gensuke. Ia melangkah ke atas jembatan. Ia putuskan jembatan itu
aman, lalu katanya pada Gonnosuke, "Saya jalan dulu." Sambil merentangkan tangan untuk
keseimbangan, ia menyeberang cepat ke sebelah sana, kemudian mengajak yang lain-lain
menyusul.

Atas desakan Sugizo, Gonnosuke menyusul, diikuti Iori. Tapi belum lagi sampai tengah
jembatan, mereka sudah memekik kaget. Di hadapan mereka, Gensuke menghadangkan mata
lembing ke arah mereka. Gonnosuke menoleh ke belakang, dan melihat Sugizo telah memegang
lembing juga.

"Dari mana datangnya lembing-lembing itu?" pikir Gonnosuke. Ia menyumpah dan menggigit bibir
dengan marah, sadar akan kedudukannya yang tidak menguntungkan.

"Gonnosuke, Gonnosuke..." Dengan sembrono Iori berpegang pada pinggang Gonnosuke.


Gonnosuke sendiri memeluk anak itu dan memejamkan mata sesaat, mempercayakan hidupnya
pada kehendak Langit.

"Bajingan kalian!"

"Tutup mulut!" teriak pendeta yang berdiri lebih tinggi di jalan, di belakang Gensuke, dengan
mata kiri bengkak hitam.

"Tenang saja," kata Gonnosuke pada Iori, dengan suara menenangkan. Kemudian teriaknya,
"Jadi, kaulah biang keladi semua ini! Nah, awaslah, bajingan pencuri! Kalian berkelahi melawan
orang yang keliru kali ini!"

Si pendeta menatap dingin ke arah Gonnosuke. "Kau tidak layak dirampok. Kau tahu itu. Kalau
kau tidak lebih pintar dari itu, kenapa pula kau mencoba jadi mata-mata?"

"Kausebut aku mata-mata?"

"Anjing Tokugawa! Buang tongkatmu. Kebelakangkan tanganmu. Dan jangan coba berbuat
sesuatu yang konyol."

"Ah!" keluh Gonnosuke, seakan-akan kehendak untuk berkelahi sudah tak ada lagi dalam dirinya.
"Coba dengar! Kau keliru. Aku memang datang dari Edo, tapi aku bukan mata-mata. Namaku
Muso Gonnosuke. Aku ini shugyosha."

"Silakan saja kau berbohong."

"Kenapa kaukira aku mata-mata?"

"Belum lama ini, teman-teman kami di timur, menyuruh kami hati-hati pada lelaki yang berjalan
dengan seorang anak lelaki. Kau dikirim kemari oleh Yang Dipertuan Hojo dari Awa, kan?"

"Tidak."

"Buang tongkat itu dan ayo ikut kami baik-baik."

"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu."

"Kalau begitu, kau akan man di tempat ini juga."

Gensuke dan Sugizo mulai mendesak dari depan dan belakang, dengan lembing siap beraksi.

Agar Iori lepas dari bahaya, Gonnosuke menepuk punggungnya. Sambil memekik keras, Iori
jatuh ke dalam semak-semak yang menutupi dasar jurang.

Sementara itu, Gonnosuke menverbu Sugizo, disertai suara menggeledek, "Y a-a-h!"

Untuk dapat mencapai sasarannva, lembingnya membutuhkan ruang dan saat yang tepat.
Sugizo menjulurkan tangan untuk menusukkan senjatanya ke depan, tapi tidak memperoleh saat
yang tepat. Pekik parau keluar dari tenggorokannya, ketika ujung lembing menetak udara tipis.
Gonnosuke mengempaskan diri ke tubuhnya, dan ia rebah ditimpa Gonnosuke. Ketika ia
mencoba berdiri, Gonnosuke menghantamkan tinju kanan ke wajahnya. Sugizo meringis, tapi
akibatnya menggelikan, karena wajah itu sudah berlumuran darah. Gonnosuke berdiri, menginjak
kepala Sugizo sebagai papan loncatan, untuk mencapai ujung jembatan.

Dengan tongkat terpasang, pekiknya, "Aku tunggu di sini. Pengecut-pengecut!"

Belum selesai ia memekik, tiga utas tali sudah melintas rumput. Yang satu diberati gagang
pedang, yang lain pedang pendek bersarung. Satu tali melilit tangan Gonnosuke, yang lain kedua
kakinya, dan yang ketiga lehernya. Sesaat kemudian, satu tali lagi melilit tongkatnya.

Gonnosuke menggeliat-geliat seperti serangga terjerat sarang labah-labah, tapi tidak lama.
Setengah lusin orang berlarian keluar dari hutan di belakangnya. Begitu mereka selesai
meringkusnya, Gonnosuke terbaring tak berdaya di tanah, terikat lebih erat daripada seikat
jerami. Terkecuali pendeta bermuka masam itu, semua orang yang menangkapnya mengenakan
pakaian pedagang tali.

"Tak ada kuda?" tanya si pendeta. "Aku tak ingin menyuruhnya jalan sampai Gunung Kudo."

"Mungkin kita bisa menyewa kuda di Desa Amami."

98. Kembang Pir

DI tengah hutan kriptomeria yang gelap dan khidmat itu, bunyi burung jagal rendahan bercampur
bunyi burung bulbul surga terdengar seperti nada-nada indah burung mitos Kalavinka.

Dua lelaki turun dari puncak Gunung Koya. Mereka baru mengunjungi ruang-ruang dan pagoda-
pagoda di Kuil Kongobuji. Mereka juga baru menyatakan hormat di tempat suci bagian dalam,
dan berhenti di jembatan lengkung kecil antara pekarangan dalam dan luar kuil.

"Nuinosuke," kata yang tua, sambil merenung, "dunia ini memang rapuh dan tidak abadi, ya?"
Dari jubah buatan sendiri yang berat, dan hakama-nya yang sederhana, orang bisa menduga
bahwa ia seorang samurai desa, kecuali kalau orang melihat pedang-pedangnya yang sangat
bermutu tinggi, dan temannya yang terlalu sopan dan berpendidikan bagi seorang abdi samurai
daerah.

"Kau sudah melihat sendiri semua itu," katanya melanjutkan. "Makam Oda Nobunaga, Akechi
Mitsuhide, Ishida Mitsunari, Kobayakawa Kingoyang beberapa tahun lalu masih menjadi jenderal-
jenderal cemerlang dan terkenal. Dan disana itu, batu-batuan yang tertutup lumut itu menandai
tempat-tempat penguburan anggota agung klan Minamoto dan Taira."
"Jadi, kawan dan lawan... semuanya ada di sini, ya?"

"Mereka semua kini tak lebih dari batu-batuan yang sunyi. Benarkah nama-nama seperti Uesugi
dan Takeda itu besar, atau kita cuma bermimpi?"

"Saya juga merasa janggal. Rasanya dunia yang kita diami ini bukan dunia nyata."

"Begitu, ya? Atau tempat ini yang tidak nyata?"

"Ya. Siapa tahu?"

"Menurutmu, siapa yang punya gagasan menamai jembatan ini Jembatan Khayal?"

"Pilihan nama yang bagus juga, ya?"

"Saya pikir khayal sama dengan kebenaran, tepat seperti pencerahan sama dengan kenyataan.
Kalau khayal itu tak nyata, maka dunia ini tak mungkin ada. Seorang samurai yang membaktikan
hidupnya kepada tuannya tidak dapat-sedikit pun tidak-membiarkan dirinya menjadi seorang
nihilis. Karena itu, Zen yang kuhayati ini adalah Zen yang hidup. Zen dari dunia tercemar, Zen
dari neraka. Seorang samurai yang ngeri memikirkan kefanaan, atau membenci dunia ini, tidak
dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya.... Nah, cukuplah kita di tempat MI. Marl kita
kembali ke dunia lain."

Terlihat olehnya pendeta-pendeta dari Kuil Seiganji, dan ia mengerutkan kening dan menggerutu,
"Kenapa mereka lakukan hal itu?" Ia telah tinggal di kuil itu malam sebelumnva, dan sekarang
sekitar dua puluh pendeta muda berbaris sepanjang jalan setapak, hendak melepas
keberangkatannya, padahal la minta diri pagi itu dengan maksud menghindari pertunjukan
macam itu.

Ia cepat bersalaman dengan mereka, sambil mengucapkan kata-kata perpisahan dengan sopan,
kemudian segera menuruni jalan yang menghadap ke sejumlah lembah yang dikenal dengan
nama Kujukutani. Baru sesudah ia mencapai kembali dunianya yang biasa, ia dapat merasa lega.
Sebagai orang yang sadar akan sifat khilafnya sendiri, bau dunia yang ini terasa melegakan.

"Halo, siapa Anda ini?" Pertanyaan itu datang kepadanya seperti tembakan, ketika mereka
membelok di tikungan jalan itu.

"Dan Anda siapa?" tanya Nuinosuke.

Samurai bertubuh tegap dan berkulit kuning yang berdiri di tengah jalan itu berkata sopan,
"Maafkan saya, kalau saya keliru, tapi apa Anda bukan abdi senior Yang Dipertuan Hosokawa
Tadatoshi, Nagaoka Sado?"

"Saya memang Nagaoka. Siapa Anda, dan bagaimana Anda bisa tahu saya ada di daerah ini?"

"Nama saya Daisuke. Saya anak tunggal Gesso, yang hidup memencilkan diri di Gunung Kudo."

Melihat bahwa nama itu tidak menimbulkan reaksi apa-apa, Daisuke pun berkata, "Ayah saya
sudah membuang namanya yang lama, tapi sebelum Pertempuran Sekigahara dia dikenal
dengan nama Sanada Saemonnosuke."

"Maksud Anda Sanada Yukimura?"

"Betul." Dengan sikap malu yang berlawanan dengan tampangnya, kata Daisuke, "Seorang
pendeta dari Kuil Seiganji singgah di rumah ayah saya tadi pagi. Dia bilang, Bapak datang
berkunjung ke Gunung Koya. Kami mendengar Bapak mengadakan perjalanan ini secara
incognito, tapi ayah saya berpendapat, sayang sekali kalau tidak mengundang Bapak minum
teh."

"Oh, saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan beliau," jawab Sado. Ia menyipitkan mata
sebentar, kemudian katanya pada Nuinosuke, "Kupikir kita mesti menerima undangannya.
Betul?"

"Betul, Pak," jawab Nuinosuke kurang bersemangat.

Daisuke berkata, "Hari masih cukup pagi, tapi ayah saya merasa mendapat kehormatan kalau
Bapak sudi bermalam di tempat kami."

Sado ragu-ragu sejenak, apakah cukup bijaksana kalau ia menerima keramahtamahan orang
yang dianggap musuh Keluarga Tokugawa itu. Tapi kemudian ia mengangguk, katanya, "Soal itu
dapat kita putuskan nanti, tapi dengan senang hati saya akan minum teh dengan ayah Anda.
Setuju, Nuinosuke?"

"Setuju, Pak."

Nuinosuke kelihatan agak gelisah, tapi ketika mereka mulai berjalan di belakang Daisuke, tuan
dan abdi itu saling melontarkan pandangan maklum.

Dari kampung di Gunung Kudo itu, mereka mendaki gunung lagi ke tempat kediaman yang
terpisah dari rumah-rumah lain. Tanah yang dikitari dinding batu rendah, yang disambung pagar
rumput anyam itu, mirip dengan rumah yang setengah dibentengi, milik panglima perang kecil di
daerah, tapi kalau diperhatikan segala sesuatunya, orang lebih terkesan oleh kehalusannya
daripada kesiapan militernya.

"Ayah saya di sana itu, di dekat rumah beratap lalang," kata Daisuke, ketika mereka sudah
melewati pintu gerbang.

Ada sepetak kecil kebun sayur, cukup untuk menghasilkan bawang dan dedaunan bahan sup
pagi dan malam hari. Rumah utama berdiri di depan batu terjal, di dekat beranda samping
tumbuh rumpun bambu, dan di baliknya dua rumah lagi baru saja kelihatan.

Nuinosuke berlutut di beranda, sementara Sado dipersilakan masuk ruangan.

Sado duduk, dan katanya, "Tenang sekali di sini."

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan muda yang ternyata istri Daisuke diam-diam
menghidangkan teh, kemudian pergi.

Sementara menanti kedatangan tuan rumah, Sado melayangkan pandangannya ke arah kebun
dan lembah. Di bawah ada desa, dan di kejauhan tampak kota penginapan Kamuro. Bunga-
bunga kecil berkembang di lumut yang bergayut pada atap lalang yang menggelantung. Tercium
pula bau semerbak setanggi yang jarang ditemui. la dapat mendengar sungai mengalir cepat,
melintasi rumpun bambu, sekalipun tak dapat melihatnya.

Ruangan itu sendiri menimbulkan perasaan keelokan yang tenteram, yang secara halus
mengingatkan orang bahwa pemilik kediaman yang tidak megah ini adalah anak kedua Sanada
Masayuki, Yang Dipertuan Benteng Ueda yang berpenghasilan 190.000 gantang.

Tiang-tiang dan blandar-blandarnya tipis, langit-langitnya rendah. Dinding di belakang ceruk


kamar yang kecil itu terbuat dari tanah liat merah yang kasar pengerjaannya. Karangan bunga di
dalam ceruk kamar berupa setangkai kembang pir, dalam jambangan keramik ramping berwarna
kuning dan hijau muda. Sado teringat akan "kembang pit tunggal yang bermandikan hujan muslin
semi" karya Po Chu-i, dan cinta yang menyatukan Kaisar Cina dengan Yang Kuei-fei, seperti
dilukiskan dalam Chang He Ke. Ia pun seolah mendengar sedu-sedan tanpa suara.

Matanya bergerak ke arah gulungan perkamen di atas karangan bunga. Huruf-huruf yang besar
polos itu berbunyi, "Hokoku Daimyojin", yaitu nama yang diberikan kepada Hideyoshi ketika ia
mencapai tingkat dewa, sesudah meninggal. Di satu sisi, satu catatan dengan huruf-huruf yang
jauh lebih kecil menyatakan bahwa itu adalah karya putra Hideyoshi, yaitu Hideyori, pada umur
delapan tahun. Sado, yang membelakangi gulungan itu, merasa sikapnya terhadap Hideyoshi
kurang sopan. Sado pun beringsut sedikit ke samping. Selagi ia berbuat demikian, tiba-tiba ia
tersadar bahwa bau menyenangkan itu bukan dari setanggi yang terbakar pada waktu itu juga,
melainkan dari dinding dan shoji, yang tentunya telah menyerap bau semerbak itu ketika setanggi
ditempatkan di sana pagi dan malam untuk memurnikan ruangan, guna menghormati Hideyoshi.
Dapat diperkirakan bahwa persembahan sake diberikan juga tiap hari, sebagaimana diperbuat
terhadap dewa-dewa Shinto yang ada.

"Ya," pikirnya, "Yukimura memang berbakti pada Hideyoshi, sebagaimana dikatakan orang."
Yang tidak dapat ia pahami adalah kenapa Yukimura tidak menyembunyikan gulungan itu. Ia
memang punya reputasi sebagai orang yang tak dapat diramalkan, orang dalam bayangan, yang
mengintai dan menanti saat yang tepat untuk kembali ke tengah kancah peristiwa negeri. Tidak
sukar membayangkan bahwa para tamu kemudian dapat menyampaikan kesan-kesan mereka
kepada pemerintah Tokugawa.

Terdengar langkah kaki mendekat di sepanjang gang di luar. Laki-laki kecil kurus yang memasuki
ruangan itu mengenakan jubah tanpa lengan. la hanya mengenakan pedang pendek di depan
obi-nya. Dalam dirinya terpancar kesan kesederhanaan.

Sambil berlutut dan membungkuk ke lantai, Yukimura berkata, "Maafkan saya, karena menyuruh
anak saya mengundang Bapak kemari dan mengganggu perjalanan Bapak."

Sikap merendahkan diri itu membuat Sado merasa tak enak. Dari sudut pandangan resmi,
Yukimura sudah melepaskan statusnya. Ia sekarang hanyalah seorang ronin yang bernama
Budha, Denshin Gesso. Namun demikian, ia adalah putra Sanada Masayuki, dan kakaknya,
Nobuyuki, adalah daimyo yang mempunyai hubungan dekat dengan Keluarga Tokugawa. Sado,
yang hanya seorang abdi, berkedudukan jauh lebih rendah.

"Anda tak pantas membungkuk demikian rupa pada saya," kata Sado, menolak penghormatan
itu. "Sungguh merupakan kehormatan dan kenikmatan tak terduga, bahwa saya bertemu lagi
dengan Anda. Saya senang melihat Anda sehat walafiat."

"Bapak demikian juga kelihatannya," jawab Yukimura yang mulai santai, sementara Sado masih
membungkuk. "Saya senang mendengar Yang Dipertuan Tadatoshi telah kembali ke Buzen
dengan selamat."

"Terima kasih. Ini tahun ketiga sejak meninggalnya Yang Dipertuan Yusai, karenanya menurut
beliau sudah tepat waktunya."

"Apa sudah selama itu?"

"Ya. Saya sudah pergi ke Buzen juga, walaupun saya tak mengerti untuk apa Yang Dipertuan
Tadatoshi mempertahankan barang peninggalan macam saya ini. Seperti Tuan tahu, saya juga
telah mengabdi kepada ayah dan kakeknya."

Ketika hal-hal resmi sudah lewat, dan mereka mulai bicara tentang ini-itu, Yukimura bertanya,
"Apa Anda sudah bertemu dengan guru Zen kita belakangan ini?"

"Tidak, cukup lama juga saya tidak bertemu atau mendengar sesuatu tentang Gudo. Oh, ini jadi
mengingatkan saya. Saya bertemu pertama kali dengan Anda di kamar semedinya. Waktu itu
Anda masih kanak-kanak, dan Anda bersama ayah Anda." Sado tersenyum senang mengenang
masa ia dipercayai membangun Shumpoin, sebuah gedung yang disumbangkan Keluarga
Hosokawa kepada Kuil Myoshinji.

"Banyak setan telah datang pada Gudo untuk meringankan beban," kata Yukimura. "Dia
menerima mereka semua, tak peduli tua atau muda, daimyo atau ronin."

"Sesungguhnya, menurut saya, beliau terutama menyukai ronin-ronin muda," renung Sado.
"Beliau selalu mengatakan bahwa seorang ronin sejati tidak mencari kemasyhuran atau
keuntungan, tidak menjilat orang berkuasa, tidak mencoba menggunakan kekuatan politik untuk
mencapai tujuan-tujuan sendiri, tidak mengecualikan dirinya dari penilaian-penilaian moral.
Sebaliknya, dia orang yang berpikiran luas, sebagaimana awan yang mengapung, cepat
bertindak sebagaimana hujan, dan cukup puas berada di tengah kemiskinan. Dia tidak pernah
menetapkan sasaran bagi dirinya sendiri, dan tidak pernah menggerutu."

"Anda ingat semua itu sesudah bertahun-tahun lm?" tanya Yukimura.

Sado mengangguk sedikit. "Beliau juga menyatakan bahwa seorang samurai sejati sukar
ditemukan, bagaikan sebutir mutiara di tengah laut biru yang luas. Tulang-belulang ronin yang tak
terhitung jumlahnya, dan terkubur karena mengorbankan nyawa demi kebaikan negeri mi, beliau
perbandingkan dengan tiang-tiang pendukung bangsa ini." Sado memandang langsung mata
Yukimura ketika mengucapkan kata-kata itu, tapi Yukimura tidak melihat sindiran terhadap orang-
orang yang memperoleh status baru, sebagaimana dirinya itu.

"Semua itu membuat saya teringat," katanya. "Salah seorang ronin yang duduk di kaki Gudo
waktu itu adalah pemuda dari Mimasaka bernama Miyamoto..."

"Miyamoto Musashi?"

"Betul, Musashi. Dia tampaknya memiliki kedalaman, walaupun waktu itu umurnya baru sekitar
dua puluh tahun, dan kimononya selalu kotor."

"Ya, tentunya itulah orangnya."

"Kalau begitu, Anda ingat dia?"

"Tidak, saya tak pernah mendengar apa-apa tentang dia, sampai baru-baru ini saja, waktu saya
ada di Edo."

"Dia orang yang perlu diperhatikan. Gudo mengatakan bahwa pendekatannya terhadap Zen
memberi harapan; karena itu, saya memperhatikannya. Tapi kemudian tiba-tiba dia menghilang.
Satu-dua tahun kemudian, saya dengar dia memperoleh kemenangan cemerlang melawan
Perguruan Yoshioka. Saya ingat, waktu itulah saya berpikir bahwa Gudo tentunya pandai sekali
menilai orang."

"Saya bertemu dia kebetulan sekali. Dia berada di Shimosa waktu itu, memberikan pelajaran
kepada sejumlah orang desa, tentang cara mempertahankan diri dari bandit-bandit. Belakangan
dia membantu mereka mengubah tanah gersang menjadi sawah."

"Saya pikir, dia jenis ronin sejati yang dibayangkan Gudo—mutiara di tengah samudra luas."

"Apa benar demikian pendapat Anda? Saya sudah merekomendasikan dia kepada Yang
Dipertuan Tadatoshi, tapi saya kuatir menemukan dia sama sukarnya dengan menemukan
mutiara. Satu hal Anda boleh yakin. Kalau seorang samurai seperti itu menerima kedudukan
resmi, maka pasti bukan demi penghasilan. Yang dipentingkannya adalah apakah kerjanya
sesuai dengan cita-citanya. Ada kemungkinan Musashi lebih menyukai Gunung Kudo daripada
Keluarga Hosokawa."

"Apa?"

Sado menghapus pernyataannya dengan tawa singkat, seakan-akan pernyataannya itu hanya
keseleo lidah saja.

"Anda tentunya berkelakar," kata Yukimura. "Dalam keadaan saya sekarang mi, menggaji
seorang pembantu pun saya hampir tak dapat, apalagi seorang ronin terkenal. Saya sangsi
Musashi akan datang, sekalipun misalnya saya mengundangnya."

"Tak ada guna menyangkalnya," kata Sado. "Bukan rahasia lagi bahwa Keluarga Hosokawa
berada di pihak Keluarga Tokugawa. Dan setiap orang tahu, Anda penopang andalan Hideyori.
Melihat gulungan di ceruk kamar itu, saya terkesan akan kesetiaan Anda."

Yukimura seakan-akan tersinggung, katanya, "Gulungan itu saya dapat dari seseorang di
Benteng Osaka, sebagai ganti potter kenangan Hideyoshi. Saya memang berusaha menjaganya
baik-baik. Tapi Hideyoshi sudah meninggal." Ia menelan ludah, lalu lanjutnya, "Zaman sudah
berubah, itu jelas. Orang yang bukan ahli pun bisa menilai bahwa Osaka telah mengalami hari-
hari buruk, sementara kekuasaan Keluarga Tokugawa terus tumbuh. Tapi saya memang orang
yang tak dapat mengubah kesetiaan dan mengabdi pada majikan lain."

"Saya sangsi orang akan percaya bahwa soalnya demikian sederhana. Kalau saya boleh bicara
terus terang, tiap orang mengatakan bahwa Hideyori dan ibunya memberikan uang dalam jumlah
besar pada Anda tiap tahun, dan dengan satu lambaian tangan saja, Anda dapat menggerakkan
lima atau enam ribu ronin."

Yukimura tertawa mencela. "Itu sama sekali tidak benar. Begini, Pak Sado, tidak ada yang lebih
buruk daripada anggapan orang yang menyatakan bahwa kita lebih daripada yang sebenarnya."

"Anda tak bisa menyalahkan mereka. Anda menghadap Hideyoshi ketika Anda masih muda, dan
di antara yang lain-lain, Anda yang paling disukainya. Saya mengerti, ayah Anda kami dengar
pernah mengatakan bahwa Anda adalah Kusunoki Masashige, atau K'ung-ming zaman kita."

"Anda ini bikin saya malu saja."

"Apa itu keliru?"

"Saya ingin menghabiskan sisa hidup saya di sini dengan tenang, dalam bayangan gunung, di
mana Hukum sang Budha masih terjaga. Itu saja. Saya bukan orang yang berbudaya tinggi.
Cukuplah buat saya, kalau saya dapat meluaskan ladang sedikit, sempat melihat kelahiran cucu
saya, makan mi soba yang baru selesai dibuat di musim gugur, dan makan sayuran segar di
musim semi. Lebih dari itu, saya ingin berumur panjang, jauh dari perang atau selentingan
tentang perang."

"Apa betul-betul demikian?" tanya Sado halus.

"Tertawalah, kalau Anda suka, tapi saya menghabiskan waktu senggang saya dengan membaca
Lao-tsu dan Chung-tsu. Kesimpulan yang saya peroleh adalah bahwa hidup ini untuk dinikmati.
Tanpa kenikmatan, apa gunanya hidup?"

"Nah, nah," seru Sado, pura-pura terkejut.

Mereka bercakap-cakap sekitar satu jam lagi, sambil minum teh segar yang dihidangkan istri
Daisuke.
Akhirnya kata Sado, "Saya kuatir saya terlalu lama tinggal di sini, menghabiskan waktu Anda
dengan obrolan saya. Nuinosuke, kita pergi sekarang?"

"Janganlah terburu-buru," kata Yukimura. "Anak saya dan istrinya sudah membuat mi. Itu
makanan desa yang tak bermutu, tapi saya harap Anda suka menyantapnya bersama kami.
Kalau ada rencana singgah di Kamuro, Anda masih punya banyak waktu."

Tepat waktu itu Daisuke muncul dan bertanya pada ayahnya, apakah sudah siap menyantap
makanan yang dihidangkan. Yukimura berdiri dan memimpin tamunya menyusuri gang menuju
bagian belakang rumah itu.

Sesudah mereka duduk, Daisuke menawarkan sumpit pada Sado, katanya, "Saya kuatir
masakan ini tidak terlalu enak, tapi biar bagaimana saya persilakan mencoba."

Istrinya, yang tidak terbiasa dengan orang lain di tempat itu, malu-malu menawarkan mangkuk
sake, tapi dengan sopan ditolak Sado. Daisuke dan istrinya masih tinggal di tempat itu beberapa
waktu lamanya, tapi kemudian mohon diri.

"Bunyi apa itu?" tanya Sado. Bunyi itu terdengar agak menyerupai alat tenun, tapi lebih keras dan
nadanya agak lain.

"Ah, itu? Itu roda kayu untuk membuat tali. Maaf kalau saya katakan bahwa saya terpaksa
mengerahkan keluarga dan para pembantu bekerja memintal tali, yang kemudian kami jual untuk
mengatasi keuangan." Kemudian tambahnya, "Kami semua sudah terbiasa dengan bunyi itu, tapi
saya kira bisa juga mengganggu orang yang tidak terbiasa. Akan saya suruh menghentikan."

"Ah, tak usah. Bunyi itu tidak mengganggu saya. Saya tak ingin menghambat pekerjaan Anda."

Ketika mulai makan, Sado pun mengarahkan pikiran pada makanan tersebut, sebab kadang kala
makanan dapat mencerminkan seseorang. Namun tak ada yang dapat ia ungkap dari situ.
Yukimura sama sekali tidak mirip dengan samurai muda yang pernah dikenalnya bertahun-tahun
lalu. Rupanya Yukimura telah menyelimuti keadaannya sekarang dengan kekaburan.

Kemudian terpikir oleh Sado bunyi-bunyi yang didengarnya-bunyi yang datang dari dapur, orang-
orang yang mondar-mandir, dan beberapa kali denting uang yang sedang dihitung. Para daimyo
yang telantar tidak terbiasa dengan kerja fisik, dan cepat atau lambat mereka akan kehabisan
harta untuk dijual. Maka dapat dimengerti bahwa Benteng Osaka sudah tidak lagi menjadi
sumber dana. Namun gagasan bahwa Yukimura berada dalam kesulitan keuangan yang sangat,
anehnya membuat ia gelisah.

Ia sadar bahwa tuan rumah mungkin mencoba merangkaikan bagian-bagian percakapan mereka,
untuk membentuk gambaran tentang apa yang sedang terjadi di Keluarga Hosokawa, namun
tidak ada petunjuk tuan rumah melakukan itu. Yang mencolok mengenai pertemuan mereka
adalah bahwa Yukimura tidak bertanya tentang kunjungannya ke Gunung Koya. Sado akan
memberikan jawaban dengan senang hati, karena memang tidak ada yang rahasia. Beberapa
tahun lalu, Hosokawa Yusai dikirim oleh Hideyoshi ke Kuil Seiganji, dan tinggal di sana beberapa
waktu lamanya. Ia telah meninggalkan buku-buku, sejumlah tulisan, dan surat-surat pribadi yang
menjadi kenang-kenangan penting. Sado baru memeriksa semuanya itu, memilah-milahnya, dan
mengatur agar kuil dapat mengembalikannya pada Tadatoshi.

Nuinosuke, yang tidak juga bergerak dari beranda, melontarkan pandangan ingin tahu ke arah
belakang rumah. Hubungan antara Edo dan Osaka boleh dikatakan sedang tegang; Kenapa pula
Sado mengambil risiko macam ini? Bukannya ia membayangkan Sado sudah dekat dengan
bahaya, tapi ia mendengar bahwa Yang Dipertuan dari Provinsi Kii, Asano Nagaakira, sudah
memberikan instruksi untuk mengawasi Gunung Kudo dengan ketat. Kalau ada di antara orang-
orang Asano yang melaporkan bahwa Sado melakukan kunjungan rahasia pada Yukimura, ke-
shogun-an akan curiga pada Keluarga Hosokawa.

"Sekarang ini kesempatanku," pikirnya, ketika angin tiba-tiba bertiup melanda kembang forsitia
dan keria di kebun. Awan hitam dengan cepat mengumpul, dan hujan rintik-rintik mulai turun.

Ia bergegas ke gang, dan katanya, "Mulai hujan, Pak. Kalau kita akan minta diri, sekarang ini
waktunya."

Merasa senang mendapat kesempatan melepaskan diri, Sado cepat berdiri. "Terima kasih,
Nuinosuke," katanya. "Betul, mari kita jalan."

Yukimura menahan diri untuk mendesak Sado bermalam. Ia berseru pada Daisuke dan istrinya,
katanya, "Berikan mantel hujan kepada para tamu kita ini. Dan kau, Daisuke, antar mereka ke
Kamuro."

Di pintu gerbang, sesudah menyatakan terima kasih atas keramahtamahan Yukimura, Sado
berkata, "Saya yakin kita akan bertemu kembali, tak lama lagi. Barangkali pada hari hujan
macam ini, atau barangkali pada waktu angin kencang bertiup. Sementara itu, saya harap Anda
sehat-sehat saja."

Yukimura menyeringai dan mengangguk. Ya, tak lama lagi.... Sesaat lamanya, kedua orang itu
saling membayangkan melihat satu sama lain sedang menaiki kuda, memegang lembing. Namun
yang ada saat ini hanyalah tuan rumah yang sedang membungkuk kepada tamunya, di tengah
kelopak bunga aprikot yang berguguran, dan tamu yang hendak berangkat pulang, mengenakan
mantel jerami yang basah oleh air hujan.

Sambil pelan-pelan menuruni jalan, kata Daisuke, "Hujan tak akan besar. Belakangan ini sering
turun hujan gerimis macam ini. "

Namun demikian, awan di atas Lembah Senjo dan puncak Koya tampak mengancam, dan tanpa
sadar mereka mempercepat langkah.

Memasuki Kamuro, mereka disambut oleh pemandangan berupa seorang laki-laki di atas kuda
yang juga dimuati ikatan-ikatan kayu bakar. Orang itu terikat demikian erat, hingga tak dapat
bergerak. Yang menuntun kuda adalah seorang pendeta berjubah putih. Ia memanggil Daisuke
dan berlari mendekati, tapi Daisuke pura-pura tidak mendengar.

"Ada orang memanggil Anda," kata Sado, lalu bertukar pandang dengan Nuinosuke.

Daisuke terpaksa memperhatikan pendeta itu, katanya, "Oh, Rinshobo. Maaf, aku tak melihat
tadi."

"Saya datang langsung dari Celah Kiimi," kata si pendeta, dengan suara keras bersemangat.
"Orang dari Edo yang mesti kita amat-amati itu saya temui di Nara. Dia memberikan perlawanan
hebat, tapi kami tangkap dia hidup-hidup. Sekarang, kalau kita bawa dia ke Gesso dan kita paksa
dia bicara, kita akan menemukan..."

"Apa yang kaubicarakan ini?" sergah Daisuke.

"Orang di atas kuda itu. Dia mata-mata dari Edo."

"Apa tak bisa kau tutup mulut, tolol!" desis Daisuke. "Tak tahu kamu, siapa orang yang
bersamaku itu? Nagaoka Sado dari Keluarga Hosokawa! Kita jarang mendapat hak istimewa
melihat dia, dan aku tak ingin kau mengganggu kami dengan leluconmu yang konyol itu."
Mata Rinshobo yang melayang pada kedua musafir itu tampak terkejut. Sebelum dapat menahan
diri, sudah terluncur dari mulutnya, "Keluarga Hosokawa?"

Sado dan Nuinosuke mencoba bersikap tenang dan masa bodoh, tapi angin melecut mantel
hujan mereka, hingga mantel itu mengepak-ngepak seperti sayap burung bangau, dan agak
menggagalkan usaha mereka.

"Kenapa?" tanya Rinshobo dengan suara rendah.

Daisuke menariknya sedikit ke samping, dan bicara berbisik. Ketika ia kembali mendekati para
tamunya, kata Sado, "Bagaimana kalau Anda kembali saja sekarang? Saya tak ingin merepotkan
Anda lebih banyak lagi."

Setelah memperhatikan mereka sampai mereka tidak kelihatan lagi, kata Daisuke pada pendeta
itu, "Bagaimana mungkin kau begitu bodoh? Apa tak bisa kau membuka mata sebelum membuka
mulut? Ayahku takkan senang mendengar ini."

"Ya, Pak. Maaf. Saya tidak tahu tadi."

Walau mengenakan jubah, orang itu bukanlah pendeta. Ia adalah Toriumi Benzo, salah seorang
abdi terkemuka Yukimura.

99. Pelabuhan

"GONNOSUKE! ... Gonnosuke! ... Gonnosuke! ..."

Iori rupanya tak dapat berhenti memanggil. Ia menyebut nama itu terusmenerus, tak henti-henti.
Setelah menemukan sebagian barang milik Gonnosuke di tanah, ia yakin Gonnosuke sudah mati.

Sehari semalam telah berlalu. Selama itu ia hanya berjalan linglung, lupa akan kelelahannya.
Kaki, tangan, dan kepalanya terpercik darah, dan kimononya compang-camping.

Setiap kali terserang kejang, ia menatap langit dan teriaknya, "Aku siap." Atau ia memandang
tanah dan mengutuk.

"Apa aku sudah gila?" pikirnya, tiba-tiba merasa dingin. Melihat ke dalam genangan air, ia
mengenali wajahnya sendiri dan merasa lega. Tapi ia sendirian, tak ada orang yang akan
ditegurnya. Dan ia hanya setengah percaya bahwa dirinya masih hidup. Ketika tadi terbangun di
dasar jurang, ia tak dapat mengingat di mana ia berada beberapa hari terakhir ini. Tak terpikir
olehnya untuk mencoba kembali ke Kuil Kongoji atau Koyagyu.

Sebuah benda berkilau, dengan warna-warna pelangi, menarik perhatiannya—seekor ayam


pegar. Kemudian ia tersadar akan semerbak bau wisteria liar, dan ia duduk. Ia coba memahami
keadaannya, dan terpikir olehnya matahari itu ada di mana-mana—di balik awan, di antara
puncak-puncak gunung, maupun di dalam lembah. Ia berlutut, menangkupkan tangan sambil
memejamkan mata, dan mulai berdoa. Ketika ia membuka mata beberapa menit kemudian, yang
mula-mula ia lihat adalah samudra yang biru berkabut, di antara dua gunung.
"Anakku," terdengar suara keibuan. "Kau baik-baik saja?"

"Hah?" Dengan terkejut Iori menolehkan matanya yang cekung pada kedua perempuan yang
menatapnya dengan rasa ingin tahu itu.

"Menurut Ibu, apa yang terjadi dengan dia?" tanya perempuan yang muda, sambil memandang
Iori dengan sikap tak suka.

Sang ibu dengan heran berjalan mendekati Iori, dan ketika melihat darah pada pakaian Iori, ia
mengerutkan kening. "Apa luka-luka itu tidak sakit?" tanyanya. Iori menggelengkan kepala.
Perempuan itu menoleh pada anaknya, katanya, "Dia rupanya mengerti kata-kata Ibu."

Mereka menanyakan nama Iori, dari mana ia datang, di mana ia dilahirkan, apa kerjanya di sini,
dan pada siapa ia berdoa. Sedikit demi sedikit, sambil mencari-cari jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan itu, ingatan Iori kembali.

Perempuan yang lebih muda kini lebih simpatik sikapnya. Namanya Otsuru. Katanya, "Mari kita
bawa keSakai. Barangkali ada gunanya nanti di toko. Umurnya cocok."

"Oh, gagasan baik juga," kata ibunya, Osei. "Tapi apa dia mau?"

"Dia pasti mau... Betul, tidak?"

Iori mengangguk, katanya, "Yaa."

"Kalau begitu, ayolah, tapi kau mesti mengangkat barang kami."

"Uh."

Iori membalas kata-kata mereka dengan gerutuan, namun ia tidak mengatakan apa-apa dalam
perjalanan turun gunung, menempuh jalan pedesaan, dan kemudian masuk Kishiwada. Tapi,
sesudah kembali berada di tengah orang lain, ia mau berbicara lagi.

"Di mana kalian tinggal?" tanyanya.

"Di Sakai."

"Apa dekat sini?"

"Tidak, dekat Osaka."

"Di mana itu Osaka?"

"Kita akan naik kapal nanti, dari sini ke Sakai. Nanti kau akan tahu."

"Oh! Kapal?" Karena girang dengan kemungkinan mengadakan perjalanan, Iori berceloteh
beberapa menit lamanya, dan bercerita pada mereka bahwa sudah beberapa kali ia naik kapal
tambang, dalam perjalanan dari Edo ke Yamato, tapi biarpun samudra tidak jauh dari tempat
kelahirannya di Shimosa, ia tidak pernah naik kapal di laut.

"Kalau begitu, kau senang, ya?" tanya Otsuru. "Tapi kau jangan menyebut ibuku 'Bibi'. Katakan
'Ibu' kalau kau bicara dengan beliau."

"Uh."
"Dan jangan menjawab 'Uh'. Katakan 'Ya, Bu."'

"Ya, Bu."

"Ha, itu lebih baik. Nah, kalau kau tinggal dengan kami dan kerja keras, akan kujadikan kau
pembantu toko."

"Apa kerja keluargamu?"

"Ayahku pialang kapal."

"Apa itu?"

"Dia pedagang. Dia punya banyak kapal, dan kapal-kapal itu berlayar ke seluruh Jepang Barat."

"Oh, cuma pedagang?" dengus Iori.

"Cuma pedagang? Lho...!" seru gadis itu. Sang ibu cenderung untuk mengabaikan saja
kekasaran Iori, tapi anaknya naik darah. Tapi kemudian ia bimbang, dan katanya, "Saya rasa dia
belum pernah melihat pedagang selain dari penjual gula-gula atau pedagang pakaian." Maka
kebanggaannya yang luar biasa sebagai salah seorang pedagang Kansai pun bangkit, dan gadis
itu menerangkan pada Iori bahwa ayahnya memiliki tiga gudang besar-besar di Sakai , dan
beberapa puluh kapal. Ia mencoba menerangkan pada Iori bahwa ada kantor-kantor cabang di
Shimonoseki, Marukame, dan Shikama, dan bahkan pelayanan yang mereka berikan pada
Keluarga Hosokawa di Kokura demikian penting, hingga kapal-kapal ayahnya memiliki status
kapal negara.

"Dan," lanjutnya, "beliau diizinkan memiliki nama keluarga dan mengenakan dua bilah pedang,
seperti seorang samurai. Semua orang di Honshu barat dan Kyushu kenal dengan nama
Kobayashi Tarozaemon dari Shimonoseki. Di waktu perang, daimyo seperti Shimazu dan
Hosokawa tidak pernah cukup kapal, hingga ayahku jadi sama pentingnya dengan jenderal."

"Aku tadi tidak bermaksud membuatmu marah," kata Iori.

Kedua wanita itu tertawa.

"Kami bukan marah," kata Otsuru. "Tapi anak-anak macam kau ini, apa yang kauketahui tentang
dunia?"

"Maaf."

Di belokan, mereka disambut oleh bau tajam udara bergaram. Otsuru menunjuk kapal yang
tertambat di Dermaga Kishiwada. Kapal itu dapat membawa muatan lima ratus gantang, dan
sudah dimuati hasil bumi setempat.

"Itu kapal yang akan kita pakai pulang," kata gadis itu bangga.

Kapten kapal dan beberapa agen Kobayashi keluar dari warung teh pelabuhan, untuk
menyambut mereka.

"Bagaimana? Senang Ibu berjalan-jalan?" tanya sang kapten. "Saya minta maaf. Muatan begitu
banyak, hingga tidak banyak ruang tersisa. Apa kita akan naik?"

Ia mengantar mereka ke buritan kapal, di mana telah disisihkan ruang bersekat tirai. Di bawah
telah dihamparkan permadani merah, dan alat-alat pernis gaya Momoyama yang elok dipakai
mewadahi sejumlah besar makanan dan sake. Iori merasa seperti sedang memasuki ruang kecil
yang teratur baik di rumah seorang daimyo.

Kapal itu sampai di Sakai petang hari, sesudah menempuh perjalanan ke Teluk Osaka, tanpa
halangan apa pun. Para musafir langsung menuju gedung Kobayashi yang menghadap dermaga,
dan di sana mereka disambut oleh manajer bernama Sahei, dan sejumlah besar pembantu yang
berkumpul di pintu masuk lebar.

Ketika Osei memasuki gedung, ia menoleh, katanya, "Sahei, saya minta anak itu diurus."

"Maksud Ibu, anak kecil kotor yang turun dari kapal itu?"

"Ya. Kelihatannya dia cerdas, jadi kau tentunya dapat mempekerjakan dia... Dan tolong urus
pakaiannya. Barangkali dia berkutu. Suruh dia mandi baik-baik, dan kasih dia kimono baru.
Sudah itu suruh dia tidur."

Iori tidak melihat nyonya rumah atau anak perempuannya lagi sampai beberapa hari
sesudahnya. Ada tirai yang panjangnya hanya separuh, memisahkan kantor dengan tempat
tinggal di belakang. Tirai itu seperti dinding. Tanpa izin khusus, Sahei pun tidak berani
melewatinya.

Iori mendapat sebuah sudut dalam "toko", demikianlah kantor itu disebut. Di situ la dapat tidur. Ia
bersyukur sekali telah diselamatkan, namun tak lama kemudian ia merasa tak puas dengan cara
hidupnya yang baru itu.

Suasana kosmopolitan yang kini mengitarinya memberikan pesona tertentu kepadanya. Ia


ternganga melihat hal-hal baru yang berasal dari luar negeri di jalan-jalan, melihat kapal-kapal di
pelabuhan dan tanda-tanda kemakmuran yang tampak dari cara hidup orang-orang. Tapi yang
selalu didengarnya adalah, "Hei, Cung! Kerjakan ini ! ... Kerjakan itu!" Dari pembantu terendah
sampai manajer, semua menyuruhnya berlari ke sana kemari seperti anjing, tapi sikap mereka
sungguh berbeda saat berbicara dengan anggota keluarga atau langganan. Dengan mereka,
orang-orang itu berubah menjilat. Dan dari pagi hingga malam, mereka hanya bicara tentang
uang dan sekali lagi uang. Kalau tidak kerja, dan sekali lagi kerja.

"Dan mereka menganggap diri mereka manusia!" pikir Iori. Ia mendambakan langit biru dan bau
rumput hangat di bawah sinar matahari. Berkali-kali la memutuskan untuk melarikan diri. Hasrat
itu paling kuat apabila ia ingat akan Musashi yang pernah berbicara tentang cara-cara
menyegarkan semangat. Ia membayangkan pandangan mata Musashi, dan wajah Gonnosuke
yang sudah meninggal. Dan Otsu.

Keadaan menjadi gawat pada suatu hari, ketika Sahei berseru, "Io! Io, di mana kau?" Karena
tidak mendapat jawaban, Sahei berdiri, lalu mendekati ambang pintu kantor yang berupa tiang
keyaki berpernis hitam. "Oh, kau di situ, anak baru!" serunya. "Kenapa kau tidak datang, padahal
kau dipanggil?"

Iori waktu itu sedang menyapu jalan antara kantor dan gudang. Ia mengangkat wajah, tanyanya,
"Memanggil saya?"

"Memanggil saya, Pak!"

"Oh, begitu."

"Oh, begitu, Pak!"

"Ya, Pak."
"Apa kau tidak punya telinga? Kenapa tidak menjawab panggilanku?"

"Saya dengar Bapak menyebut 'Io'. Itu bukan saya. Nama saya Iori..., Pak."

"Io itu sudah cukup. Dan ada soal lain lagi. Sudah kubilang beberapa hari lalu, jangan pakai
pedang itu lagi."

"Ya, Pak."

"Berikan padaku."

Sesaat Iori ragu-ragu, kemudian katanya, "Ini kenang-kenangan dari ayah saya! Saya tak dapat
melepaskannya."

"Anak kurang ajar! Berikan sini!"

"Bagaimanapun, saya kan tak ingin jadi pedagang."

"Oh, kalau bukan karena pedagang, orang tak dapat hidup," kata Sahei tegas. "Siapa yang
mendatangkan barang-barang dari luar negeri? Nobunaga dan Hideyoshi memang orang-orang
besar, tapi tak mungkin mereka membangun benteng-benteng itu—Azuchi, Jurakudai, Fushimi—
tanpa bantuan para pedagang. Coba perhatikan orang-orang di Sakai-Namban, Ruzon, Fukien,
Amoi. Mereka semua melakukan perdagangan besar-besaran."

"Saya tahu."

"Bagaimana mungkin kau tahu?"

"Tiap orang bisa melihat rumah-rumah tenun besar di Ayamachi, Kinumachi, dan Nishikimachi;
dan di atas bukit itu gedung Ruzon'ya kelihatan seperti benteng. Ada berderet-deret gudang dan
rumah tinggal milik pedagang-pedagang kaya. Tempat ini, yah, saya tahu Ibu dan Otsuru bangga
dengan ini, tapi kalau dibanding-bandingkan, semua ini tak ada artinya."

"Oh, setan kecil kamu!"

Belum lagi Sahei keluar pintu, Iori sudah menjatuhkan sapu dan lari. Sahei memanggil beberapa
pekerja pelabuhan, dan memerintahkan mereka menangkapnya.

Ketika Iori sudah diseret balik, Sahei mengomel. "Enaknya diapakan anak macam ini? Kerjanya
membantah dan menertawakan kita semua. Hukum dia baik-baik hari ini." Sambil kembali ke
kantornya, katanya, "Ambil pedang itu!"

Mereka mengambil pedang Iori yang menjadi gara-gara itu, dan mengikat tangan Iori ke
belakang. Lalu mereka ikatkan talinya ke sebuah peti barang besar, hingga Iori tampak seperti
monyet yang dirantai.

"Tinggal di situ sebentar," kata salah seorang dari mereka, sambil tertawa mengejek. "Biar orang-
orang itu mempermainkanmu dulu." Yang lain-lain tertawa terbahak-bahak, lalu kembali bekerja.

Tak ada yang lebih dibenci Iori daripada ini. Sering sekali Musashi dan Gonnosuke
mengingatkannya untuk tidak melakukan hal-hal yang mempermalukan dirinya sendiri.

Pertama-tama ia mencoba berdalih, kemudian berjanji akan memperbaiki tingkah lakunya. Dan
ketika semua itu terbukti tidak membawa hasil, ia beralih pada caci maki.

"Manajer tolol-kentut tua gila! Lepaskan aku, dan kembalikan pedangku! Aku tak mau tinggal di
rumah macam ini!"

Sahei keluar dan memekik, "Diam!" Kemudian ia mencoba menyumbat mulut Iori, tapi anak itu
menggigit jarinya, karena itu ia langsung menghentikan usahanya dan menyuruh buruh-buruh
pelabuhan melakukannya.

Iori menyentakkan ikatannya, menarik-nariknya ke sana kemari. Ia jadi tegang luar biasa
dijadikan tontonan umum itu. Ia mulai menangis ketika seekor kuda kencing di dekatnya, dan
cairan berbusa itu menetes-netes di kakinya.

Ketika akhirnya ia mulai tenang kembali, terlihat olehnya sesuatu yang hampir-hampir
membuatnya pingsan. Di sebelah seekor kuda, berdiri seorang perempuan muda bertopi lak
bertepi lebar, untuk melindunginya dari matahari yang menyengat. Kimononya yang terbuat dari
kain rami sudah terikat untuk perjalanan. Ia memegang tongkat bambu kecil.

Sia-sia Iori mencoba meneriakkan nama Otsu. Hampir ia tercekik karena menjulurkan leher.
Matanya kering, tapi bahunya bergetar karena sedusedan. Sungguh mengejutkan, bahwa Otsu
begitu dekat dengannya. Ke mana Otsu pergi? Kenapa ia meninggalkan Edo?

Sore itu, ketika kapal ditambatkan di dermaga, tempat itu jadi bertambah ramai lagi.

"Sahei, apa kerja anak ini di sini? Macam beruang tontonan saja! Kejam itu, membiarkan dia
begitu! Dan juga buruk buat usaha kita." Orang yang masuk kantor itu adalah saudara sepupu
Tarozaemon. Biasanya ia disebut Namban'ya, yaitu nama toko tempat ia bekerja. Noda-noda
bekas cacar hitam semakin menambah kesan seram pada wajahnya yang tampak mudah marah
itu. Tapi, walaupun ujud luarnya demikian, ia orang yang bersahabat dan sering memberikan
gula-gula pada Iori. "Aku tidak keberatan kau menghukum dia," lanjutnya, "tapi jangan dilakukan
di jalan. Itu buruk buat nama Kobayashi. Lepaskan dia."

"Baik, Pak." Sahei segera mematuhi perintah itu, seraya menyampaikan pada Namban'ya
keterangan terperinci tentang kenakalan Iori.

"Kalau kau tidak tahu akan kauapakan anak itu," kata Namban'ya, "nanti kubawa dia pulang. Hari
ini juga akan kubicarakan hal ini dengan Osei."

Sahei takut akan akibat-akibatnya kalau nyonya rumah mendengar kejadian itu, karena itu ia
berusaha meredakan kemarahan Iori. Sebaliknya, Iori sudah tak mau lagi berurusan dengan
orang itu.

Dalam perjalanan keluar malam itu, Namban'ya berhenti di sudut toko tempat Iori berada. Sedikit
mabuk, namun dengan semangat tinggi, katanya, "Kau memang tak akan ikut aku. Kedua
perempuan itu tidak mau terima. Ha!"

Namun percakapannya dengan Osei dan Otsuru ternyata mendatangkan akibat bermanfaat. Hari
berikutnya, Iori dapat masuk sekolah kuil, tidak jauh dari tempat itu. Ia diizinkan mengenakan
pedang ke sekolah, dan Sahei maupun yang lain-lain tidak lagi mengganggunya.

Namun Iori tak dapat menenangkan diri. Saat berada di dalam rumah, sering matanya
mengembara ke jalan. Setiap kali ada perempuan muda lewat, biarpun jauh dari gambaran Otsu,
rona mukanya berubah. Kadang-kadang ia berlari keluar, agar dapat melihat lebih jelas.

Pada suatu pagi, menjelang awal bulan sembilan, sejumlah besar muatan mulai datang dengan
kapal sungai dari Kyoto. Tengah hari, peti-peti dan keranjang-keranjang sudah tertimbun tinggi di
depan kantor. Label yang tertera di situ menunjukkan bahwa barang-barang itu milik samurai dari
Keluarga Hosokawa. Mereka pergi ke Kyoto untuk urusan yang serupa dengan urusan yang telah
menyebabkan Sado pergi ke Gunung Koya, menyelesaikan urusan Hosokawa Yusai sesudah ia
meninggal. Sekarang mereka duduk sambil minum teh dan mengipas-ngipas diri, sebagian di
dalam kantor, sebagian lagi di bawah tepian atap di luar.

Pulang dari sekolah, Iori pergi ke jalan. Di sana ia terhenti, wajahnya pucat.

Kojiro, yang duduk di atas sebuah keranjang besar, berkata pada Sahei, "Terlalu panas di tempat
ini. Apa kapal kami belum merapat?"

Sahei menengadah dari surat muatan yang dipegangnya, dan menunjuk ke dermaga. "Kapal
Bapak yang namanya Tatsumimaru, yang dl sana itu. Seperti Bapak lihat, orang belum selesai
mengatur muatan, jadi tempat Anda sekalian di kapal belum siap. Maaf."

"Saya lebih suka di kapal. Di sana lebih sejuk."

"Baik, Pak. Akan saya lihat bagaimana keadaannya." Sahei bergegas keluar, tanpa menghapus
keringat di keningnya, karena terlampau terburu-buru, dan di sana tampak olehnya Iori.

"Ngapain kau berdiri macam patung di situ? Sana ladeni penumpang. Ada teh, air dingin, air
panas-beri mereka yang mereka minta."

Iori pergi ke pondok di jalan dekat gudang, tempat ketel air dididihkan. Tapi di situ ia bukan
melakukan pekerjaannya, melainkan berdiri saja menatap Kojiro.

Kojiro biasa dipanggil Ganryu sekarang, nama yang kedengaran bernada perguruan agaknya
lebih tepat untuk umur dan statusnya sekarang. Tubuhnya lebih gemuk dan gempal. Wajahnya
penuh. Matanya yang dulu tajam menusuk, sekarang tenang dan tenteram. Ia tak lagi sering
menggunakan lidahnya yang setajam pedang, yang di masa lalu demikian banyak mendatangkan
masalah. Tapi, bagaimanapun, martabat pedangnya telah menjadi bagian dari kepribadiannya.

Salah satu hasilnya adalah bahwa berangsur-angsur ia akhirnya diterima oleh para samurai yang
sebaya dengannya. Mereka tidak hanya memujinya, tapi bahkan menghormatinya.

Sahei kembali dari kapal dengan keringat bercucuran. Sekali lagi minta maaf karena telah
memaksa orang lama menanti, ia berkata, "Tempat duduk di tengah kapal belum siap, tapi yang
di haluan sudah." Ini berarti prajurit biasa dan para samurai muda dapat naik kapal. Mereka mulai
mengumpulkan barang-barang dan meninggalkan tempat itu berombongan.

Tinggal Kojiro dan enam atau tujuh orang yang lebih tua, semuanya pejabat penting perdikan.

"Sado belum datang, ya?" tanya Kojiro.

"Belum, tapi mestinya tak lama lagi."

"Sebentar lagi matahari condong ke barat," kata Sahei pada Kojiro.

"Akan lebih sejuk kalau Bapak masuk."

"Lalatnya bukan main," keluh Kojiro. "Dan aku haus. Apa bisa minta teh lagi?"

"Tentu, Pak." Tanpa berdiri lagi, Sahei berseru ke arah pondok air panas, "lo, apa kerjamu?
Bawa teh buat tamu-tamu kita." Dengan sibuknya ia kembali mengurus surat muatan itu, tapi
ketika disadarinya Iori tidak menjawab, ia ulangi perintahnya. Sesudah itu, ia lihat anak itu
berjalan pelan membawa beberapa cangkir teh dengan baki.

Iori menawarkan teh pada setiap samurai, sambil setiap kali membungkuk sopan. Di depan
Kojiro, dengan dua cangkir terakhir, ia berkata, "Silakan minum teh."
Dengan kepala kosong, Kojiro mengulurkan tangan, tapi tiba-tiba menarik tangan itu ketika
matanya bertemu dengan mata Iori. Dengan terkejut, serunya, "Lho, ini kan..."

Sambil menyeringai, kata Iori, "Terakhir kali saya berjumpa dengan Bapak adalah di Musashino."

"Apa?" ujar Kojiro keras, dengan nada yang hampir tidak sesuai dengan statusnya yang
sekarang.

Baru ia hendak mengatakan hal lain lagi, Iori sudah berseru, "Oh, jadi Bapak ingat saya?" Lalu ia
melemparkan baki itu ke wajah Kojiro.

"Oh!" teriak Kojiro sambil mencekal pergelangan Iori. Baki itu tidak mengenainya, tapi teh panas
menciprati mata kirinya. Sisa teh tumpah ke dada dan pangkuannya, sedangkan baki menumbuk
sebuah tiang di sudut.

"Kurang ajar!" teriak Kojiro. Ia lemparkan Iori ke lantai tanah, dan ia injakkan sebelah kakinya di
tubuh anak itu. "Manajer!" panggilnya marah. "Anak nakal ini pegawaimu, kan? Coba sini,
pegangi. Biar dia masih anak-anak, dia tak akan kubiarkan."

Sahei ketakutan setengah mati, dan bergegas melakukan apa yang diperintahkan kepadanya.
Tapi entah bagaimana, Iori berhasil menarik pedangnya dan mengayunkannya ke lengan Kojiro.
Kojiro menendangnya ke tengah ruangan, dan melompat mundur selangkah.

Sahei menoleh, dan cepat kembali sambil menjerit sekuat paru-parunya. Ia sampai ke tempat Iori
tepat ketika anak itu sudah bangkit berdiri.

"Kau jangan ikut campur!" teriak Iori, kemudian sambil menatap wajah Kojiro, semburnya,
"Hukuman setimpal untukmu!" lalu berlari ke luar.

Kojiro mengambil sebuah pikulan yang kebetulan ada di dekatnya, dan melemparkannya pada
anak itu, tepat mengenai belakang lututnya. Iori jatuh tengkurap.

Atas perintah Sahei, beberapa orang menyerbu Iori dan menyeretnya kembali ke pondok air
panas. Di situ seorang pembantu sedang menggosok kimono dan hakama Kojiro.

"Maafkan perbuatan keterlaluan ini," motion Sahei.

"Tak tahu lagi kami, bagaimana mesti minta maaf," kata salah seorang pembantu.

Tanpa memandang mereka, Kojiro mengambil handuk basah dari pembantu dan menghapus
wajahnya.

Iori sudah dijatuhkan ke tanah, tangannya dilipat ke belakang. "Lepaskan saya," pintanya dengan
tubuh menggeliat kesakitan. "Saya takkan lari. Saya anak samurai. Saya lakukan ini tadi dengan
sengaja, dan saya mau menerima hukuman seperti lelaki."

Kojiro sudah selesai merapikan pakaian dan rambutnya. "Biarkan dia pergi," katanya tenang.

Tak tahu bagaimana menanggapi tenangnya wajah samurai itu, Sahei berkata tergagap, "Betul...
betul, Bapak tidak apa-apa?"

"Ya." Tapi perkataan itu terdengar seperti paku dihunjamkan ke papan "biarpun aku tidak
bermaksud terlibat dengan urusan anak kecil, kalau kalian merasa dia mesti dihukum, aku dapat
menyarankan caranya. Tuangkan seciduk air mendidih ke atas kepalanya. Itu takkan
membunuhnya."
"Air mendidih!" Sahei mengerut mendengar saran itu.

"Ya. Tapi kalau kau mau melepaskannya, itu juga tidak apa-apa."

Sahei dan orang-orangnya saling pandang dan ragu-ragu.

"Kita tak bisa membiarkan hal macam ini lewat tanpa hukuman."

"Dia memang suka kurang ajar."

"Untung dia tidak terbunuh."

"Ambil tali."

Ketika mereka mulai mengikatnya, Iori mencoba meronta dari tangan mereka. "Apa yang kalian
lakukan?" jeritnya. Sambil duduk di tanah, katanya, "Sudah saya katakan, saya tidak akan lari,
kan? Akan saya terima hukuman saya. Saya punya alasan, kenapa berbuat begitu. Seorang
saudagar boleh minta maaf, tapi saya tidak. Anak samurai tidak bakal menangis karena sedikit
air panas."

"Baik," kata Sahei. "Kau yang minta."

Ia menggulung lengan bajunya, menciduk air mendidih, dan berjalan pelan-pelan mendekati Iori.

"Tutup matamu, Iori. Kalau tidak, kau bisa buta." Suara itu datang dari seberang jalan.

Iori menutup matanya, tak berani melihat siapa yang mengucapkan katakata itu. Ia teringat cerita
yang pernah didengarnya dari Musashi, dulu di Musashino. Cerita itu tentang Kaisen, seorang
pendeta Zen yang sangat dipuja-puja oleh para prajurit Provinsi Kai. Ketika Nobunaga dan
Ieyasu menyerang Kuil Kaisen dan membakarnya, pendeta itu duduk tenang di tingkat atas pintu
gerbang. Dalam keadaan terbakar menjelang mati, ia mengucapkan kata-kata ini, "Kalau hatimu
sudah mendapat pencerahan, api pun terasa sejuk."

"Cuma seciduk air panas!" kata Iori pada diri sendiri. "Aku tak boleh berpikir macam itu." Ia
mencoba sekuat tenaga menjadikan dirinya kehampaan yang tanpa pribadi, bebas dari khayal,
dan tanpa dukacita. Cara pendeta itu hanya mungkin kalau la lebih muda, atau jauh lebih tua...
tapi pada umurnya sekarang, ia masih benar-benar menjadi bagian dunia ini.

Ah, kapan itu terjadi? Sekejap ia menyangka bahwa keringat yang menetes di dahinya adalah air
mendidih. Waktu semenit terasa satu tahun.

"Oh, itu Sado!" kata Kojiro.

Sahei dan semua orang lain menoleh dan memandang samurai tua itu. "Ada apa disini?" tanya
Sado sambil menyeberang jalan, didampingi Nuinosuke.

Kojiro tertawa, katanya riang, "Anda memergoki kami. Mereka sedang menghukum anak itu."

Sado memandang Iori baik-baik. "Menghukum dia? Ya, kalau dia sudah melakukan sesuatu yang
buruk, mesti dihukum. Teruskan saja. Saya menyaksikannya."

Sahei memandang Kojiro dari sudut matanya. Kojiro segera menilai keadaan itu, dan tahu bahwa
dialah yang akan dianggap bertanggung jawab atas kerasnya hukuman itu. "Cukup!" katanya.

Iori membuka mata. Agak sukar ia memusatkan tatapannya, tapi ketika akhirnya mengenali
Sado, ia berkata gembira, "Saya kenal Bapak, samurai yang pernah datang di Kuil Tokuganji di
Hotengahara."

"Kau ingat aku?"

"Ya, Pak."

"Apa yang terjadi dengan gurumu, Musashi?"

Iori tersedu-sedu, dan menutup mata dengan kedua tangannya.

Kojiro kaget melihat Sado mengenal anak itu. Sesaat ia memikirkannya, dan menyimpulkan
bahwa tentunya hal itu ada hubungannya dengan usaha Sado mencari Musashi. Tapi tentu saja
ia tak ingin nama Musashi muncul dalam percakapan antara dirinya dengan abdi senior itu. Ia
tahu, tak lama lagi ia akan terpaksa berkelahi melawan Musashi, dan itu takkan lagi merupakan
urusan pribadi semata-mata.

Sesungguhnya, telah terjadi perpecahan, baik di dalam garis utama Keluarga Hosokawa maupun
di dalam percabangannya. Sebagian menghargai Musashi, sebagian lagi cenderung berpihak
kepada bekas ronin yang sekarang menjadi instruktur pedang utama klan itu. Sebagian orang
mengatakan bahwa yang menyebabkan tak terhindarkannya pertarungan adalah persaingan di
belakang layar antara Sado dan Kakubei.

Kojiro merasa lega ketika pada waktu itu mandor kapal Tatsumimaru datang, menyatakan bahwa
kapal sudah siap.

Sado, yang belum ikut naik, berkata, "Tapi kapal belum akan berangkat sampai matahari
terbenam, kan?"

"Betul," jawab Sahei, yang sementara itu berjalan mondar-mandir sekitar kantor, karena kuatir
akan akibat-akibat peristiwa hari itu.

"Kalau begitu, aku punya waktu buat istirahat?"

"Banyak waktu buat istirahat. Silakan minum teh."

Otsuru muncul di pintu dalam, dan memanggil manajer. Sahei mendengarkan pembicaraan
Otsuru beberapa menit lamanya, kemudian kembali mendekati Sado, dan katanya, "Kantor ini
bukan tempat yang tepat buat menerima Bapak. Rumah dekat sekali, melintasi kebun itu. Saya
persilakan Bapak masuk ke sana."

"Oh, terima kasih," jawab Sado. "Pada siapa saya berutang budi? Pada nyonya rumah?"

"Ya. Beliau ingin mengucapkan terima kasih pada Bapak."

"Untuk apa?"

Sahei menggaruk kepalanya. "Saya pikir, karena Bapak sudah menolong Iori. Karena sekarang
tuan rumah tidak ada..."

"Bicara soal Iori, aku ingin bicara dengannya. Coba panggil dia."

Kebun itu tepat seperti harapan Sado mengenai kebun rumah seorang saudagar Sakai yang
kaya. Walaupun satu sisinya dibatasi gudang, kebun itu merupakan suatu dunia yang lain sama
sekali, dibanding kantor yang panas dan ribut itu. Batu-batuan dan tanam-tanaman baru disiram,
dan di sana ada sungai yang airnya mengalir.
Osei dan Otsuru berlutut dalam ruangan kecil anggun yang menghadap kebun. Di atas tatami
terhampar permadani wol, dengan baki-baki berisi kue dan tembakau. Sado mencium hall dupa
yang dicampuri rempah-rempah.

Sesudah duduk di ujung ruangan, katanya, "Saya takkan masuk. Kaki saya kotor."

Osei menghidangkan teh kepadanya, meminta maaf atas sikap para pegawainya, serta
mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkan Iori.

Kata Sado, "Kebetulan saya pernah berjumpa anak itu beberapa waktu yang lalu. Saya senang
bertemu dia kembali. Bagaimana dia bisa tinggal di rumah Nyonya?"

Sesudah mendengarkan penjelasan nyonya rumah, Sado bercerita tentang usahanya yang
sudah berjalan lama untuk mencari Musashi. Mereka mengobrol dengan akrab beberapa waktu
lamanya, kemudian kata Sado, "Tadi saya memperhatikan Iori dari seberang jalan. Saya kagum
akan kemampuannya bersikap tenang. Sikap itu baik sekali. Terus terang, menurut saya
merupakan suatu kesalahan membesarkan anak yang demikian besar semangatnya di
lingkungan saudagar. Bagaimana kalau anak itu Nyonya serahkan pada saya? Di Kokura dia
dapat dibesarkan sebagai samurai."

Osei segera menyetujuinya, katanya, "Saya pikir itulah yang sebaik-baiknya buat dia."

Otsuru bangkit untuk mencari Iori, dan tepat pada waktu itu Iori muncul dari balik potion tempat ia
mendengarkan seluruh percakapan tersebut.

"Apa kau keberatan pergi denganku?" tanya Sado.

Dengan sukacita Iori mohon diajak ke Kokura.

Sementara Sado minum teh, Otsuru menyiapkan perlengkapan perjalanan Iori: kimono, hakama,
pembalut kaki, topi anyaman-semuanya baru. Itulah pertama kalinya Iori mengenakan hakama.

Petang itu, ketika Tatsumimaru mengembangkan sayap-sayap hitamnya dan berlayar di bawah
gumpalan awan yang menjadi keemasan oleh matahari yang sedang terbenam, Iori menoleh ke
belakang, ke arah lautan wajah—Otsuru dan ibunya, wajah Sahei, dan orang-orang yang
mengantar, juga wajah kota Sakai.

Dengan senyum lebar ia melepas topi anyamannya dan melambaikannya pada mereka.

100. Guru Menulis

PAPAN nama di pintu masuk jalan sempit, di daerah pedagang ikanOkazaki itu, berbunyi,
"Pencerahan Bagi Para Pemuuda. Pelajaran Membaca dan Menulis", dan tertulis di situ nama
Muka. Melihat segala sesuatunya, Muka tentunya salah seorang dari banyak ronin yang telah
jatuh miskin, namun tulus, dan mencari penghidupan dengan menularkan pendidikan kelas
prajurit kepada anak-anak orang kebanyakan.

Kaligrafi yang kelihatan amatiran itu membuat tersenyum orang-orang yang lewat, tapi Muka
mengatakan tidak malu karenanya. Kalau ada orang menyebutkan hal itu, ia selalu menjawab
dengan kata-kata yang sama, "Dalam hati, saya masih kanak-kanak. Dan saya belajar bersama
anak-anak."

Jalan itu berakhir pada sebuah rumpun bambu, dan di sebelah rumpun bambu terbentang
lapangan pacuan Keluarga Honda. Kalau cuaca terang, lapangan itu selalu diliputi awan debu,
karena tentara berkuda sering berlatih dari fajar sampai senja. Garis keturunan yang mereka
banggakan adalah garis keturunan prajurit-prajurit Mikawa yang terkenal, suatu tradisi yang telah
menghasilkan Tokugawa.

Muka terbangun dari tidur siang, lalu pergi ke sumur dan menimba air. Kimono warna kelabu
gelap yang tak berpinggir, dan topi kelabu yang dikenakannya, lebih cocok untuk orang umur
empat puluhan, padahal ia sendiri belum lagi tiga puluh tahun. Habis mencuci muka, ia berjalan
ke rumpun bambu, dan di situ ia menebang sebatang bambu besar dengan satu tebasan
pedang.

Ia basuh bambu itu di sumur, lalu kembali masuk rumah. Kerai yang tergantung di satu sisi
berfungsi menolak debu dari lapangan pacuan, tapi karena cahaya datang dari arah tersebut,
ruangan itu jadi kelihatan lebih kecil dan lebih gelap dari yang sebenarnya. Sebilah papan
terletak mendatar di sebuah sudut. Di atasnya tergantung potret tanpa nama dari seorang
pendeta Zen. Muka menegakkan potongan bambunya di atas papan, dan melontarkan bunga
jalar ke dalam lubangnya.

"Boleh juga," pikirnya sambil mundur, memeriksa karyanya. Ia duduk di depan meja, mengambil
kuas, dan mulai berlatih. Sebagai model, dipergunakannya pedoman huruf-huruf resmi berbentuk
persegi dari Ch'u Sui-liang, dan sapuan kaligrafi dari pendeta Kobo Daishi. Jelas kelihatan, ia
memperoleh kemajuan mantap selama setahun tinggal di situ, karena huruf-huruf yang ditulisnya
sekarang jauh lebih unggul daripada huruf-huruf yang tertulis di papan nama.

"Boleh saya mengganggu?" tanya wanita dari sebelah rumah, istri orang yang biasa menjual
kuas tulis.

"Silakan," kata Muka.

"Saya hanya sebentar. Saya heran.... Beberapa menit yang lalu, saya mendengar bunyi keras.
Kedengarannya seperti ada barang yang patah. Apa Anda mendengarnya?"

Muka tertawa. "Itu tadi saya memotong bambu."

"Oh. Saya begitu kuatir. Saya pikir ada yang terjadi dengan Anda. Suami saya mengatakan
samurai yang berkeliaran di sekitar sini mau membunuh Anda."

"Sekiranya betul begitu, tidak apa. Toh harga saya tidak sampai tiga keping uang tembaga."

"Lho, Anda tak boleh menyepelekan. Banyak orang terbunuh akibat hal-hal yang menurut ingatan
mereka tidak mereka lakukan. Coba Anda pikirkan, alangkah sedih semua gadis itu kalau ada
sesuatu menimpa Anda."

Wanita itu mengundurkan diri, tanpa mengajukan pertanyaan yang sering diajukannya, "Kenapa
tidak beristri? Bukan karena Anda tak suka perempuan, kan?" Muka tidak pernah memberikan
jawaban yang jelas, sekalipun secara sembrono ucapannya sempat menyiratkan bahwa ia bisa
dengan mudah mendapatkan jodoh yang baik. Para tetangga tahu bahwa ia ronin dari Mimasaka,
yang suka belajar dan pernah tinggal di Kyoto, di Edo, dan sekitar Edo. Kata orang, ia ingin
menetap di Okazaki dan membuka perguruan yang baik. Berhubung ia masih muda, rajin, dan
jujur, tidak mengherankan bahwa sejumlah gadis berminat kawin dengannya, juga beberapa
orang yang anak-anak gadisnya memenuhi syarat.

Lingkungan kecil itu memang memikat hati Muka. Penjual kuas dan istrinya memperlakukannya
dengan baik. Sang istri mengajarinya memasak, dan kadang-kadang mencuci dan menjahit
untuknya. Secara keseluruhan, Muka senang tinggal di lingkungan itu. Semua orang saling
mengenal, dan semua orang berusaha membuat hidup mereka menarik. Selalu ada peristiwa
yang terjadi, kalau bukan pesta tari-tarian di jalan atau perayaan keagamaan, tentu penguburan
atau ada orang sakit yang mesti diurus.

Malam itu ia melewati rumah penjual kuas, ketika suami-istri itu sedang makan malam. Sambil
mendecap, sang istri berkata, "Ke mana dia pergi? Pagi hari dia mengajar anak-anak, sore hari
tidur atau belajar. Lalu malam hari pergi. Macam kelelawar saja."

Di jalan-jalan Okazaki, bunyi seruling bambu bercampur dengan dengung serangga tangkapan
yang dikurung dalam sangkar-sangkar kayu, dengan ratapan berirama dari para penyanyi di jalan
buntu, dengan teriakan para penjual semangka dan sushi. Di sini tak ada hiruk-pikuk yang
menjadi ciri di Edo. Lentera-lentera berkedap-kedip, dan orang-orang bercengkerama di sana-
sini, dengan mengenakan kimono musim panas. Dalam udara musim panas itu, segala sesuatu
kelihatan santai dan pada tempatnya.

Ketika Muka lewat, gadis-gadis berbisik.

"Nah, dia jalan lagi."

"Huh, dan selalu tidak memperhatikan siapa pun."

Sebagian gadis-gadis itu membungkuk kepadanya, kemudian menoleh pada sesama teman-
teman mereka, dan menduga-duga ke mana arah pergi Muka.

Muka berjalan lurus, melewati jalan-jalan samping di mana ia bisa membeli jasa para pelacur
Okazaki, yang oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu daya tank utama di sepanjang
jalan raya Tokaido itu. Di ujung barat kota ia berhenti dan meregangkan badan, hingga panas
badan keluar dari lengan bajunya. Di hadapannya menderas air Sungai Yahagi dan membentang
Jembatan Yahagi yang berelung 208, jembatan terpanjang di Tokaido. Ia berjalan mendekati
sosok kurus yang menantinya di tiang pertama.

"Musashi?"

Musashi tersenyum pada Matahachi yang mengenakan jubah pendeta. "Apa Guru sudah
kembali?" tanyanya.

"Belum."

Mereka berjalan berdampingan, menyeberangi jembatan. Di atas bukit yang ditumbuhi pohon
pinus, di seberangnya berdiri kuil Zen tua. Karena bukit itu dikenal sebagai Hachijo, kuil itu pun
disebut Hachijoji. Mereka mendaki lereng yang gelap, di depan pintu gerbang.

"Apa kabar?" tanya Musashi. "Melaksanakan Zen mestinya sukar."

"Betul," jawab Matahachi kesal, sambil menundukkan kepalanya yang bercukur kebiruan. "Aku
sudah sering ingin melarikan diri. Kalau mesti mengalami siksaan mental untuk menjadi manusia
baik-baik, lebih baik aku menjerat leherku, habis perkara."
"Oh, jangan mundur karena itu. Kau baru mulai. Pendidikanmu yang sebenarnya belum terjadi,
sebelum kau dapat mengimbau Guru dan meyakinkannya untuk menerimamu sebagai murid."

"Itu memang tidak selamanya mustahil. Aku sudah belajar mendisiplinkan diriku sedikit. Dan tiap
kali aku kendur, aku ingat kau. Kalau kau dapat mengatasi kesulitan-kesulitanmu, aku pun
dapat."

"Memang begitu mestinya. Apa pun yang dapat kulakukan, pasti kau juga bisa."

"Aku teringat Takuan. Kalau bukan karena dia, aku sudah dihukum mati."

"Kalau kau tahan menghadapi kesulitan, kau akan memperoleh kesenangan yang lebih besar
daripada derita," kata Musashi khidmat. "Siang dan malam, jam demi jam, orang dipermainkan
oleh ombak derita dan kesenangan berganti-ganti. Kalau mereka mencoba untuk hanya
menikmati kesenangan, berarti mereka tidak benar-benar hidup. Dan kesenangan akan lenyap."

"Aku mulai mengerti."

"Ingat saja cara orang menguap. Kuap orang yang habis kerja, lain dengan kuap orang malas.
Banyak orang mati tanpa mengetahui nikmat yang diberikan oleh menguap."

"Ya. Aku mendengar pembicaraan seperti itu di kuil."

"Kuharap tak lama lagi aku bisa membawamu pada Guru. Aku sendiri ingin minta petunjuk
darinya. Aku perlu tahu lebih banyak tentang Jalan itu."

"Menurutmu, kapan dia datang?"

"Sukar dikatakan. Guru Zen kadang-kadang berkeliaran di seluruh negeri, seperti awan, selama
dua atau tiga tahun sekali jalan. Mumpung sudah dating di sini, kau mesti mau menunggu dia,
sampai empat-lima tahun, kalau perlu."

"Kau juga?"

"Ya. Hidup di lorong belakang, di antara orang-orang miskin dan tulus itu, merupakan latihan baik
bagiku. Itu bagian dari pendidikanku. Waktu tidak terbuang sia-sia."

Musashi meninggalkan Edo, melewati Atsugi. Kemudian, dengan jiwa dilanda kesangsian akan
masa depannya, ia menghilang ke tengah Pegunungan Tanzawa, dan dua bulan kemudian
muncul kembali dalam keadaan lebih gelisah dan kuyu. Selesai memecahkan satu masalah, ia
tercebur ke dalam masalah lain. Kadang-kadang ia demikian tersiksa, hingga seolah-olah
pedangnya terarah kepada dirinya.

Di antara kemungkinan yang dipertimbangkannya adalah memilih jalan yang mudah. Sekiranya
ia dapat memaksa dirinya menempuh hidup enak dan biasa saja dengan Otsu, hidupnya akan
sederhana. Hampir setiap perdikan akan rela membayarnya dengan gaji cukup untuk hidup,
barangkali lima ratus sampai seribu gantang. Tapi kalau ia ajukan hal itu pada dirinya dalam
bentuk pertanyaan, jawabannya selamanya tidak. Hidup yang mudah itu penuh dengan batasan.
Ia tak dapat tunduk kepada batasan-batasan itu.

Pada waktu lain, ia merasa seolah tersesat dalam khayal pengecut, khayal hina, seperti setan
lapar dalam neraka; kemudian, untuk sesaat, pikirannya menjadi tenang, dan ia mengumbar diri
dalam kenikmatan hidup menyendiri yang penuh kebanggaan itu. Di dalam hatinya terus
berlangsung perjuangan antara terang dan gelap. Siang-malam ia terhuyung-huyung antara
kegembiraan besar dan kesenduan. Ia memikirkan dirinya sebagai pemain pedang, dan ia
merasa kecewa. Kalau dipikirkan betapa panjang jalan yang dipelajarinya, dan betapa jauh ia
dari kematangan, hatinya pun pedih. Tapi, di lain waktu, hidup di pegunungan itu
menggembirakan hatinya, dan pikirannya melayang pada Otsu.

Turun dari gunung, ia pergi ke Yugyoji di Fujisawa untuk beberapa hari, kemudian ke Kamakura.
Di situlah ia berjumpa dengan Matahachi. Matahachi sudah memutuskan untuk tidak kembali
menjalani hidup malas, dan ia berada di Kamakura karena banyak kuil Zen di tempat itu, namun
ia menanggung rasa hancur yang lebih parah lagi daripada Musashi.

Musashi mencoba meyakinkannya, "Sekarang ini belum terlalu terlambat. Kalau kau belajar
berdisiplin, kau bisa mulai dari awal lagi. Sungguh fatal kalau kau mengatakan pada dirimu
bahwa semuanya sudah lewat, dan bahwa dirimu tak berguna."

Kemudian ia merasa perlu menambahkan, "Terus terang, aku sendiri berhadapan dengan
tembok. Ada masanya aku bertanya-tanya, apakah aku punya masa depan. Aku merasa sama
sekali kosong. Rasanya seperti terkurung dalam rumah kerang. Aku benci pada diriku. Kukatakan
pada diri sendiri, diriku ini sia-sia. Tapi dengan mendera diri sendiri, dan memaksa diri untuk jalan
terus, aku berhasil menerobos rumah kerang itu. Lalu jalan baru terbuka di hadapanku.

"Percayalah, kali ini sedang berlangsung perjuangan yang sesungguhnya dalam diriku. Aku
menggelepar-gelepar di dalam rumah kerang, dan tak dapat melakukan sesuatu. Aku turun dari
pegunungan karena teringat orang yang menurutku dapat menolongku."

"Orang itu Pendeta Gudo. "

Kata Matahachi, "Dia yang menolongmu waktu engkau pertama kali mencari Jalan itu, kan? Apa
kau tak bisa mengenalkan aku, dan minta dia menerimaku sebagai murid?"

Semula Musashi sangsi tentang ketulusan hati Matahachi, tapi sesudah mendengar tentang
kesulitan di Edo, ia pun yakin bahwa Matahachi betul-betul bermaksud demikian. Kedua orang itu
kemudian mencari keterangan tentang Gudo di sejumlah kuil Zen, tapi hanya sedikit yang dapat
mereka ketahui. Musashi tahu bahwa pendeta itu tidak lagi berada di Kuil Myoshinji, Kyoto.
Beberapa tahun sebelumnya, ia pergi melakukan perjalanan selama beberapa waktu lamanya di
timur dan timur laut. Ia juga tahu bahwa pendeta itu orang yang paling tak menentu tinggalnya.
Satu hari ia bisa berada di Kyoto, memberikan kuliah tentang Zen pada Kaisar, dan hari
berikutnya mengembara di pedesaan. Gudo diketahui beberapa kali berhenti di Kuil Hachijoji di
Okazaki. Seorang pendeta mengatakan mungkin di kuil itulah tempat terbaik untuk
menantikannya.

Musashi dan Matahachi duduk di dalam pondok kecil tempat Matahachi biasa tidur. Musashi
sering mengunjunginya di sini, dan mereka bercakapcakap sampai jauh malam. Matahachi tidak
diizinkan tidur dalam asrama yang, seperti halnya bangunan-bangunan Kuil Hachijoji lainnya,
berupa bangunan kasar, beratap lalang, sebab ia belum resmi diterima sebagai pendeta.

"Oh, nyamuk-nyamuk ini!" kata Matahachi sambil menyebar-menyebarkan asap dari obat
penghalau serangga, kemudian menggosok matanya yang pedih. "Mari kita keluar." Mereka
berjalan ke ruang utama dan duduk di serambi. Pekarangan sepi, dan angin sejuk bertiup.

"Ini mengingatkan aku pada Kuil Shippoji," kata Matahachi dengan suara hampir tidak
kedengaran.

"Ya, kukira begitu," kata Musashi.

Mereka terdiam. Mereka selalu berbuat demikian pada saat-saat seperti itu. Pikiran tentang
rumah selalu menimbulkan kenangan tentang Otsu dan Osugi, atau peristiwa-peristiwa yang tak
hendak mereka bicarakan, karena takut mengganggu hubungan mereka sekarang.
Tapi, beberapa menit kemudian, Matahachi berkata, "Bukit tempat berdirinya Shippoji itu lebih
tinggi, ya? Tapi di tempat ini tak ada pohon kriptomeria tua." Di situ ia berhenti, memandang rant
muka Musashi sejenak, kemudian katanya malu-malu. "Ada satu permintaan yang sudah lama
ingin kuajukan, tapi..."

"Permintaan apa itu?"

"Otsu...," Matahachi memulai, tapi seketika itu juga ia terharu, tak bisa berbicara lagi. Ketika
merasa sudah dapat mengatasi perasaannya, ia berkata, "Rasanya aku ingin tahu, apa yang
sedang dilakukan Otsu sekarang ini, dan apa yang terjadi dengannya. Aku sering memikirkannya
hari-hari ini dan dalam hati aku minta maaf atas segala yang pernah kulakukan. Aku malu mesti
mengakuinya, tapi di Edo aku memaksanya hidup denganku. Tapi tidak terjadi apa-apa. Dia
menolak kusentuh. Kukira, sesudah aku pergi ke Sekigahara, Otsu tentunya seperti kembang
yang jatuh. Sekarang dia menjadi bunga yang berkembang di pohon lain, di tanah yang lain
juga." Wajah Matahachi memperlihatkan kesungguhan, dan suaranya serius.

"Takezo... ah, bukan... Musashi. Aku minta, kawinilah Otsu. Kau satu-satunya yang dapat
menyelamatkannya. Aku tak pernah dapat memaksa diri mengatakan hal ini, tapi sekarang,
sesudah aku mengambil keputusan menjadi murid Gudo, mesti kuakui kenyataan bahwa Otsu
bukan milikku. Biarpun begitu, aku menguatirkan dirinya. Tak inginkah engkau mencari dia, dan
memberinya kebahagiaan yang memang dia inginkan?"

Kira-kira pukul tiga pagi waktu itu, ketika Musashi mulai menuruni jalan glinting yang gelap.
Tangannya terlipat, kepalanya tertunduk. Katakata Matahachi terngiang di telinganya. Kesedihan
mendalam seakan menarik-narik kakinya. Ia dapat membayangkan, betapa Matahachi tersiksa
bermalam-malam lamanya, hanya untuk membangkitkan keberanian berbicara seperti itu.
Namun bagi Musashi, dilema yang dihadapinya sendiri lebih berat dan menyakitkan.

Menurut pendapatnya, Matahachi berharap dapat melarikan diri dari nyala panas masa lalu, dan
mencari keselamatan yang sejuk dalam pencerahan. Seperti bayi yang baru dilahirkan, ia
mencoba menemukan hidup bermakna dalam derita gaib kesedihan dan kebahagiaan.

Musashi tidak dapat mengatakan, "Tak dapat itu kulakukan." Lebih tak dapat lagi ia mengatakan,
"Tak ingin aku mengawini Otsu. Dia tunanganmu. Menyesallah, murnikan hatimu, dan rebut
kembali hatinya." Akhirnya ia tidak mengatakan apa pun, karena apa pun yang akan
dikatakannya, akan merupakan kebohongan.

Dan Matahachi memohon dengan sangat, "Hanya kalau aku yakin bahwa Otsu akan terurus, ada
gunanya bagiku menjadi murid. Kau yang mendesakku melatih dan mendisiplinkan diri. Kalau
kau memang temanku, selamatkan Otsu. Itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diriku."

Musashi terheran-heran melihat Matahachi menangis tersedu-sedu. Tak diduganya bahwa


perasaan Matahachi bisa sedalam itu. Bahkan ketika ia sudah berdiri untuk berangkat, Matahachi
mencengkeram lengan bajunya, minta diberi jawaban. "Biar kupikirkan dulu," itulah satu-satunya
yang dapat dikatakan Musashi. Sekarang ia mengutuk dirinya karena bersikap pengecut, dan ia
sesali ketidakmampuannya.

Dengan sedih terpikir oleh Musashi, bahwa orang yang tidak menanggung penyakit ini tak
mungkin mengenal nyerinya. Soalnya bukan semata-mata menyangkut sikap malas, tapi
menyangkut keinginan besar untuk melakukan sesuatu, namun tak bisa. Pikiran dan mata
Musashi kini seolah tumpul dan kosong. Sesudah menempuh jalan sejauh mungkin ke satu arah
saja, ia merasa dirinya tak berdaya untuk mundur atau mulai menempuh jalan yang baru. Ia
seperti terpenjara di suatu tempat yang tak ada jalan keluarnya. Kekecewaan yang dialaminya
menimbulkan rasa sangsi, menyalahkan diri, dan air mata.
Sia-sia ia marah pada diri sendiri, mengingat segala kesalahannya. Justru karena menemukan
gejala-gejala awal penyakit itulah, ia berpisah dengan Iori dan Gonnosuke, serta memutuskan
ikatan dengan teman-temannya di Edo. Tapi maksudnya untuk menerobos rumah kerang selagi
kulit kerang belum terbentuk dengan baik ternyata gagal. Kulit kerang itu masih saja ada,
membelenggu dirinya yang kosong, seperti selongsong kulit jangkrik.

Ia berjalan tanpa kemantapan. Keluasan Sungai Yahagi mulai tampak. dan angin yang bertiup
dari sungai terasa sejuk di wajahnya.

Tiba-tiba ia meloncat ke samping, karena mendengar bunyi desing tajam. Tembakan itu melintas
pada jarak dua meter dari dirinya, dan bunyi bedil berkumandang di seberang sungai. Jarak
antara peluru dan bunyi itu sejauh dua tarikan napas, dan Musashi menyimpulkan bahwa
senapan itu ditembakkan dari jarak jauh. Ia melompat ke bawah jembatan dan bergayut ke tiang,
seperti kelelawar.

Beberapa menit berlalu, kemudian tiga lelaki berlarian menuruni Bukit Hachijo, seperti buah
pohon pinus ditiup angin. Di dekat ujung jembatan, mereka berhenti dan mulai mencari mayat.
Karena yakin tembakannya mengena, si penembak membuang sumbunya. Pakaiannya lebih
gelap dibanding kedua orang yang lain, dan ia mengenakan topeng, hanya matanya yang
tampak.

Langit menjadi cerah sedikit, dan hiasan kuningan pda gagang senapan memantulkan cahaya
lembut.

Tak dapat Musashi membayangkan, siapa gerangan orang di Okazaki yang menghendaki
kematiannya. Memang tidak kurang musuhnya. Dalam pertempuran-pertempuran yang pernah
dialaminya, ia telah mengalahkan banyak orang, yang kemungkinan masih punya keinginan
menggelegak untuk membalas dendam. Dan banyak lagi orang yang telah dibunuhnya, hingga
keluarga atau kawan-kawan mereka barangkali berharap akan menuntut balas.

Siapa pun yang menempuh Jalan Pedang, selamanya berada dalam bahaya dibunuh. Kalau ia
lolos dari satu bencana maut, akan menyusul kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan
perbuatan itu, ia menciptakan musuh-musuh baru atau bencana baru. Bahaya merupakan batu
gerinda yang dipakai pemain pedang untuk mengasah semangatnya. Musuh adalah guru yang
menyamar.

Belajar waspada terhadap bahaya, biarpun sedang tidur, belajar dari musuh sepanjang waktu,
menggunakan pedang sebagai alat untuk membiarkan orang lain hidup, menguasai alam,
mencapai pencerahan, berbagi kegembiraan hidup dengan orang lain-semua itu tak terpisahkan
dari Jalan Pedang.

Sementara meringkuk di bawah jembatan itu, situasi nyata memacu Musashi, dan kelesuannya
pun lenyap. Ia bernapas pendek-pendek sekali, tanpa bunyi, dan membiarkan para
penyerangnya mendekat. Gagal menemukan mayat, orang-orang itu memeriksa jalan yang sunyi
dan ruang di bawah ujung jembatan.

Mata Musashi terbuka lebar. Orang-orang itu mengenakan pakaian hitam seperti bandit, tapi
mereka membawa pedang samurai, dan bersepatu rapi. Samurai di daerah itu hanyalah mereka
yang mengabdi pada Keluarga Honda di Okazaki, dan Keluarga Tokugawa Owari di Nagoya. Ia
tidak merasa mempunyai musuh di kedua perdikan itu.

Satu orang menembus kegelapan dan mengambil kembali sumbu, kemudian menyalakan dan
melambaikannya. Musashi jadi menduga bahwa di seberang jembatan terdapat lebih banyak
orang. Ia tidak dapat bergerak, setidak-tidaknya sekarang. Kalau ia memperlihatkan diri,
kemungkinan akan mengundang lebih banyak tembakan. Sekalipun ia dapat mencapai tepi
seberang, bahaya yang menanti di sana barangkali lebih besar lagi. Tapi ia pun tak dapat tinggal
lebih lama di situ. Karena orang-orang itu tahu ia belum menyeberang jembatan, mereka akan
mengepungnya, dan barangkali akan berhasil menemukan tempat persembunyiannya.

Mendadak ia mendapat akal. Akal itu tidak didasarkan pada teori-teori Seni Perang yang
merupakan serabut intuisi seorang prajurit. Merancang cara menyerang merupakan proses yang
lambat, yang sering mengakibatkan kekalahan dalam situasi yang menuntut kecepatan. Naluri
seorang prajurit tidak boleh dikacaukan dengan naluri binatang. Seperti halnya reaksi anggota
tubuh bagian dalam, naluri itu datang dari gabungan kebijaksanaan dan disiplin. Ia merupakan
penalaran terakhir yang melebihi akal, ia adalah kemampuan untuk melakukan gerakan yang
benar dalam sekejap mata, tanpa mesti melewati proses berpikir biasa.

"Sia-sia kalian coba sembunyi!" pekiknya. "Kalau kalian mencariku, aku di sini!" Angin agak
kencang waktu itu; ia tak yakin suaranya terdengar atau tidak.

Pertanyaan itu dijawab oleh tembakan lain. Musashi tentu saja sudah tidak ada di sana lagi.
Ketika peluru masih berada di udara, ia sudah melompat tiga meter ke arah ujung jembatan.

Ia menyerbu ke tengah mereka. Mereka pun menyebar sedikit, dan menghadapinya dari tiga
jurusan, namun sama sekali tanpa koordinasi. Ia tebas orang yang ada di tengah dengan pedang
panjang, dan serentak dengan itu ia menyayat ke samping, dengan pedang pendek, ke arah
orang di sebelah kirinya. Orang ketiga melarikan diri ke seberang jembatan, berlari, terjatuh, dan
terlontar ke luar jembatan.

Musashi mengikuti dengan langkah biasa di satu sisi saja, sekali-sekali berhenti untuk
mendengarkan. Ketika tidak terjadi apa-apa lagi, ia pun pulang dan tidur.

Paginya dua samurai datang ke rumahnya. Melihat jalan masuk penuh dengan sandal anak-
anak, mereka menikung ke samping.

"Anda Sensei Muka?" tanya salah seorang. "Kami dari Keluarga Honda." Musashi menengadah
dari tulisannya, katanya "Ya, saya Muka."

"Apa nama Anda sebenarnya Miyamoto Musashi? Kalau benar demikian, jangan Anda
menyembunyikannya."

"Saya Musashi."

"Saya percaya Anda kenal Watari Shima."

"Saya tidak merasa mengenalnya."

"Dia bilang pernah hadir dalan dua-tiga pesta haiku, di mana Anda hadir juga."

"Ya, sesudah Anda sebutkan itu, saya ingat dia sekarang. Kami bertemu di rumah teman kami
berdua."

"Nah, dia bertanya apakah Anda mau datang dan bermalam di rumahnya."

"Kalau dia mencari orang yang akan diajaknya mengarang haiku, bukan saya orangnya. Memang
benar, beberapa kali saya diundang ke pesta seperti itu, tapi saya orang sederhana yang hanya
punya sedikit pengalaman dalam hal itu."

"Saya pikir dia ingin membicarakan seni bela diri dengan Anda." Musashi membelalak gelisah ke
arah kedua samurai itu. Beberapa waktu lamanya ia menatap mereka, kemudian katanya, "Kalau
demikian, dengan senang hati saya akan datang ke rumahnya. Kapan?"
"Apa Anda bisa datang malam ini?"

"Baik."

"Dia akan mengirimkan joli untuk Anda."

"Bagus. Saya tunggu."

Setelah mereka pergi, Musashi kembali menghadapi murid-muridnya. "Ayo," katanya. "Kalian tak
boleh membiarkan diri kalian terlengah. Ayo kerja lagi. Lihat aku. Aku berlatih juga. Kalian mesti
belajar memusatkan perhatian sepenuhnya, sampai kalian tidak mendengar orang berbicara atau
jangkrik mengerik. Kalau kalian malas selagi muda, kalian akan jadi orang macam aku, dart mesti
berlatih sesudah kalian dewasa." Ia tertawa dan menoleh ke sekeliling, ke arah wajah-wajah dan
tangan-tangan yang berlepotan tinta itu.

Senja hari ia sudah mengenakan hakama dan siap pergi. Ketika ia sedang meyakinkan istri
penjual kuas yang hampir menangis, bahwa ia akan selamat tak kurang suatu apa, joli pun tiba—
bukan joli anyaman sederhana seperti yang biasa kelihatan di seluruh kota itu, melainkan joli
berpernis yang dikawal dua samurai dan tiga orang abdi.

Para tetangga terpesona melihatnya, berkerumun dan berbisik-bisik. Anak-anak memanggil


teman-temannya dan berceloteh dengan riuhnya.

"Cuma orang besar naik joli macam itu."

"Mestinya guru ini orang besar juga."

"Ke mana dia pergi?"

"Dia kembali atau tidak?"

Kedua samurai menutup pintu joli, menyingkirkan orang banyak dari jalanan, dan berangkat.

Musashi tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi ia menduga ada hubungan antara undangan itu
dengan peristiwa di Jembatan Yahagi. Mungkin Shima akan menegurnya karena telah
membunuh dua orang samurai Honda. Mungkin juga Shima orang yang berdiri di belakang usaha
memata-matai dan melakukan serangan mendadak, dan sekarang siap menghadapi Musashi
secara terbuka. Musashi tidak yakin pertemuan malam itu akan mendatangkan kebaikan, dan ia
bertekad untuk menghadapi keadaan sulit. Berspekulasi tidak akan membawanya ke mana-
mana. Seni Perang menuntutnya untuk menetapkan di mana ia berdiri, dan bertindak sesuai
dengan itu.

Joli berayun-ayun lembut, seperti perahu di laut. Mendengar angin yang mendesir di antara
pohon pinus, ia menduga mereka berada di hutan dekat dinding benteng sebelah utara. Ia tidak
kelihatan seperti orang yang sedang meneguhkan diri menghadapi serangan tak terduga.
Dengan mata setengah tertutup, ia tampak seperti sedang tertidur.

Sesudah gerbang benteng berkeriut membuka, langkah para pemikul menjadi lambat, sedangkan
suara para samurai lebih ditekan. Mereka melewati lentera-lentera yang mengedip-ngedip, dan
sampai di bangunan benteng. Musashi turun, dan para pembantu mempersilakannya masuk ke
sebuah paviliun terbuka dengan pelan, tapi sopan. Karena kerai tergulung di keempat sisi
ruangan, angin bertiup dalam gelombang yang menyenangkan. Lampu-lampu memudar dan
menyala liar. Malam itu tidak mirip malam musim panas yang terik.

"Saya Watari Shima," kata tuan rumah. Ia seorang samurai Mikawa yang khas—tegap, kuat,
waspada, tapi tidak berpura-pura, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda kelemahan.

"Saya Miyatomo Musashi." Jawaban yang sama sederhananya itu diiringi bungkukan badan.

Shima membalas bungkukan itu, katanya, "Anggaplah ini rumah sendiri," lalu langsung menuju
persoalan, tanpa basa-basi lagi. "Saya mendapat laporan, Anda membunuh dua samurai kami
tadi malam. Apa itu benar?"

"Ya, benar," Musashi menatap mata Shima.

"Saya mesti minta maaf," kata Shima murung. "Saya mendengar tentang peristiwa itu hari ini,
ketika kematian dilaporkan. Tentu saja dilakukan penyelidikan. Sudah lama saya mengenal nama
Anda, tapi baru sekarang saya tahu bahwa Anda tinggal di Okazaki.

"Tentang serangan itu, saya mendapat laporan bahwa Anda ditembak oleh sekelompok orang
kami, seorang di antaranya murid Miyake Gumbei, ahli bela diri Gaya Togun."

Karena tidak merasakan ada dalih, Musashi menerima kata-kata Shima itu begitu saja, dan cerita
pun berkembang selangkah demi selangkah. Murid Gumbei adalah salah seorang samurai
Honda yang belajar pada Perguruan Yoshioka. Beberapa penghasut yang ada di tengah mereka
sebelumnya telah berkumpul, dan memutuskan untuk membunuh orang yang telah mengakhiri
kebesaran Perguruan Yoshioka itu.

Musashi tahu, nama Yoshioka Kempo masih dipuja-puja di seluruh negeri. Di Jepang barat,
terutama, sukar kiranya menemukan perdikan yang tidak menyimpan samurai yang pernah
belajar di bawah pimpinannya. Musahi menyampaikan pada Shima bahwa ia dapat memahami
dendam mereka terhadapnya, tapi ia menganggap hal itu sebagai dendam perseorangan, dan
bukan sebagai alasan sah untuk melakukan balas dendam sesuai Seni Perang.

Shima rupanya sependapat. "Saya sudah memanggil orang-orang yang selamat, dan memarahi
mereka. Saya harap Anda memaafkan kami dan melupakan soal itu. Gumbei pun sangat tidak
senang. Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin memperkenalkannya pada Anda. Dia ingin
menyampaikan permintaan maaf."

"Ah, tak perlu. Apa yang telah terjadi itu adalah kejadian umum bagi siapa saja yang menempuh
jalan seni bela diri."

"Biar begitu..."

"Nah, baiklah kita buang kata-kata permintaan maaf itu. Tapi kalau dia ingin bicara tentang Jalan,
dengan senang hati saya akan menjumpainya. Nama itu saya kenal betul."

Satu orang dikirim untuk mengundang Gumbei, dan ketika kata-kata perkenalan sudah lewat,
pembicaraan pun beralih kepada pedang dan permainan pedang.

Kata Musashi, "Saya ingin mendengar tentang Gaya Togun. Anda menciptakan gaya itu?"

"Tidak," jawab Gumbei. "Saya mempelajarinya dari guru saya, Kawasaki Kaginosuke, dari
Provinsi Echizen. Menurut kitab pegangan yang beliau berikan pada saya, beliau
mengembangkannya semasa menjadi pertapa di Gunung Hakuun di Kozuke. Rupanya dia
mengambil banyak teknik dari biarawan Tendai bernama Togumbo.... Tapi coba Anda ceritakan
sedikit tentang diri Anda. Saya sudah mendengar nama Anda berkali-kali disebutkan orang.
Tadinya saya mendapatkan kesan bahwa Anda lebih tua. Dan karena Anda ada di sini, saya
ingin agar Anda sudi memberikan satu pelajaran pada saya." Nada kata-kata itu bersahabat,
namun itu adalah ajakan bertarung.
"Lain kali saja," jawab Musashi ringan. "Saya mesti pergi sekarang. Saya pun belum tahu jalan
pulang."

"Kalau Anda pulang nanti," kata Shima, "akan saya minta seseorang menemani Anda."

"Waktu saya mendengar dua orang roboh," Gumbei melanjutkan, "saya datang menjenguk.
Ternyata saya tak bisa memahami posisi tubuh dengan lukanya, karena itu saya tanya orang
yang berhasil lolos. Menurut kesannya, Anda menggunakan dua pedang sekaligus. Apa itu
benar?"

Sambil tersenyum, Musashi mengatakan bahwa ia tidak pernah menggunakan cara itu secara
sadar. Ia beranggapan, apa yang diperbuatnya hanyalah berkelahi dengan satu tubuh dan satu
pedang.

"Anda tak usah merendahkan diri," kata Gumbei. "Anda ceritakanlah tentang itu. Bagaimana
Anda berlatih? Bagimana kita mesti meletakkan tekanan, agar kita dapat menggunakan dua
pedang sekaligus dengan bebas?"

Karena melihat bahwa ia takkan dapat meninggalkan tempat itu sebelum memberikan
penjelasan, Musashi melayangkan pandang ke sekitar ruangan. Pandangan itu berhenti pada
dua pucuk bedil di dalam ceruk kamar, dan ia minta dipinjami. Shima setuju, lalu Musashi pergi
ke tengah ruangan, memegang kedua pucuk senjata itu pada larasnya, masing-masing tangan
memegang satu bedil.

Musashi mengangkat sebelah lututnya, dan katanya, "Dua pedang sama dengan satu pedang.
Satu pedang seperti dua pedang. Kedua tangan kita ini terpisah satu dari yang lain, tapi
keduanya milik tubuh yang sama. Dalam segala hal, penalaran terakhir bukan bersifat ganda,
tapi bersifat tunggal. Demikian pula pada semua gaya dan percabangannya. Akan saya
tunjukkan pada Anda."

Kata-kata itu keluar dengan spontan, dan ketika selesai diucapkan, ia mengangkat satu tangan,
katanya, "Maafkan." Kemudian ia mulai memutar kedua bedil itu. Kedua bedil berpilin seperti
gulungan, menimbulkan angin pusaran kecil. Orang-orang yang hadir menjadi pucat.

Musashi berhenti, dan menarik sikunya ke sisi. Ia berjalan ke ceruk kamar, dan mengembalikan
kedua bedil. Sambil tertawa kecil, katanya, "Barangkali itu tadi dapat membantu Anda
memahami." Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, ia membungkuk pada tuan rumah dan
pergi. Karena terheran-heran, Shima lupa sama sekali meminta seseorang untuk menemaninya.

Di luar gerbang, Musashi menoleh untuk terakhir kali, dan merasa lega telah lepas dart
cengkeraman Watari Shima. Ia masih belum tahu maksud-maksud sebenarnya orang itu, tapi
satu hal sudah jelas. Tidak hanya identitasnya sudah diketahui orang, tapi ia sudah terlibat dalam
satu kejadian. Maka yang paling bijaksana baginya adalah meninggalkan Okazaki malam ini
juga.

Ia baru ingat akan janjinya kepada Matahachi untuk menantikan kembalinya Gudo, ketika cahaya
Okazaki mulai terlihat, dan satu suara terdengar memanggilnya dari tempat suci kecil di pinggir
jalan.

"Musashi, ini aku, Matahachi. Kami kuatir dengan dirimu, karena itu kami pergi ke sini menanti."

"Kuatir?" tanya Musashi.

"Kami tadi pergi ke rumahmu. Perempuan tetanggamu bilang orang memata-mataimu belum
lama ini."
"Kami, katamu?"

"Guru sudah kembali hari ini."

Gudo duduk di beranda tempat suci itu. Ia orang yang berwajah luar biasa, kulitnya sehitam kulit
jangkrik raksasa, dan matanya bersinar cemerlang di bawah alisnya yang tinggi. Ia tampak
seperti orang yang berumur antara empat puluh dan lima puluh tahun, namun tak mungkin orang
menebak orang seperti itu. Tubuhnya kurus kekar, dan suaranya mendentum.

Musashi mendekat, berlutut dan bersujud ke tanah. Gudo memandangnya tanpa berkata-kata
semenit-dua menit. "Lama sudah waktu berlalu," katanya.

Sambil mengangkat kepala, kata Musashi tenang, "Ya, lama sekali." Gudo atau Takuan—
Musashi sudah lama yakin bahwa hanya salah satu dari mereka dapat melepaskannya dari
kebuntuan sekarang. Sesudah menanti setahun penuh, akhirnya kini Gudo ada di hadapannya.
Ia pandang wajah pendeta itu, seolah memandang bulan di malam gelap.

Secara tiba-tiba dan dengan penuh tenaga, serunya "Sensei."

"Ada apa?" Gudo tak perlu lagi bertanya. Ia sudah tahu apa yang dikehendaki Musashi, dan ia
sudah menduganya, seperti seorang ibu meramalkan kebutuhan anak-anaknya.

Sambil bersujud ke tanah lagi, Musashi berkata, "Sudah hampir sepuluh tahun sejak saya belajar
pada Bapak."

"Apa sudah selama itu?"

"Ya. Tapi biarpun sudah belajar selama itu, saya sangsi apakah kemajuan saya menempuh Jalan
itu dapat diukur."

"Bicaramu masih seperti kanak-kanak, ya? Kalau begitu, tak mungkin jauh jalanmu."

"Banyak sekali yang saya sesali."

"Betul?"

"Latihan dasar dan disiplin diri saya begitu sedikit terlaksana."

"Kau selalu bicara tentang hal-hal semacam itu. Selama kau masih berbuat begitu, itu sia-sia."

"Apa yang akan terjadi, kalau saya tinggalkan ini?"

"Kau akan terjerat simpul lain lagi. Kau akan menjadi sampah manusia yang lebih buruk daripada
sebelumnya, ketika kau masih bodoh, tidak tahu apa-apa,"

"Kalau saya tinggalkan Jalan ini, saya akan jatuh ke dalam jurang. Tapi, untuk mencoba
mengejarnya sampai ke puncak, saya tak sanggup menghadapi tugas itu. Saya jadi berputar-
putar dalam angin tanggung menuju ke atas. Saya tak ingin jadi pemain pedang atau manusia."

"Ya, agaknya begitulah kesimpulannya."

"Bapak tidak tahu, betapa putus asa saya selama ini. Apa yang mesti saya lakukan? Bapak,
katakanlah! Bagaimana saya dapat membebaskan diri dari kemandekan dan kekacauan?"

"Kenapa tanya padaku? Kau hanya dapat mengandalkan dirimu."


"Izinkan saya duduk di kaki Bapak. Saya dan Matahachi. Atau hantam saya dengan tongkat
Bapak itu, untuk membangunkan saya dari kekosongan gelap ini. Saya mohon, Sensei, tolonglah
saya." Musashi tidak mengangkat kepalanya. Ia tidak meneteskan air mata, tapi suaranya
tercekik.

Tanpa tergerak oleh kata-kata Musashi sedikit pun, kata Gudo, "Ayo, Matahachi!" Kemudian
bersama-sama mereka pergi meninggalkan tempat suci itu.

Musashi berlari mengejar pendeta itu, mencengkeram lengan bajunya, meminta dan memohon.

Pendeta itu menggelengkan kepala, tidak mengatakan sesuatu. Ketika Musashi berkeras juga,
katanya, "Sama sekali tak ada!" Kemudian dengan marah, "Apa yang mesti kukatakan? Apa lagi
yang mesti kuberikan? Hanya tinggal menghantam kepala itu." Ia mengayunkan tinjunya ke
udara, tapi tidak memukul.

Musashi melepaskan lengan baju si pendeta, dan hendak mengatakan yang lain lagi, tapi
pendeta itu berjalan cepat menjauh, tanpa berhenti lagi untuk menoleh.

Matahachi yang berada di sampingnya berkata, "Waktu kujumpai beliau di kuil, dan kusampaikan
perasaan kita dan alasan kita ingin menjadi muridnya, beliau hampir tak mendengarkan. Dan
waktu aku selesai bicara, beliau berkata, 'Oh?' dan mengatakan aku dapat mengikutinya dan
melayaninya. Barangkali kalau kau mengikuti kami terus, nanti kalau suasana hati beliau sedang
baik, kau dapat minta apa yang kauinginkan."

Gudo menoleh dan memanggil Matahachi.

"Baik, Pak!" kata Matahachi. "Lakukan anjuranku ini," nasihatnya pada Musashi, sambil berlari
mengejar si pendeta.

Karena menurut pendapatnya membiarkan Gudo lenyap lagi dari pandangan akan fatal baginya,
Musashi memutuskan menuruti nasihat Matahachi. Di tengah aliran waktu alam semesta, hidup
manusia yang enam atau tujuh puluh tahun itu hanya merupakan kilat. Kalau dalam jangka waktu
singkat itu ia mendapat hak istimewa untuk menjumpai seorang Gudo, sungguh bodoh
melepaskan kesempatan itu.

"Ini kesempatan yang suci," pikir Musashi. Air mata panas mengambang di sudu't-sudut matanya.
Ia harus mengikuti Gudo, sampai ujung dunia kalau perlu, dan mengejarnya sampai ia
mendengar kata yang ingin didengarnya.

Gudo pergi meninggalkan Bukit Hachijo. Agaknya ia tidak lagi tertarik akan kuil di sana. Hatinya
sudah mulai mengalir bersama air dan awan. Sampai Tokaido, ia membelok ke barat, ke arah
Kyoto.

101. Lingkaran
RENCANA perjalanan guru Zen itu eksentrik tak keruan. Suatu kali, di waktu hujan turun
sepanjang hari, ia tinggal di penginapan dan minta Matahachi memberikan kepadanya
pengobatan moxa. Di Provinsi Mino ia tinggal selama tujuh hari di Daisenji, kemudian singgah
beberapa hari di kuil Zen di Hikone. Jadi, perjalanan keKyoto itu ditempuh lambat sekali.

Musashi tidur di tempat apa saja yang dapat ditemukannya. Kalau Gudo tinggal di penginapan, ia
bermalam di luar, atau di penginapan lain. Kalau pendeta itu dan Matahachi menginap di kuil, ia
berteduh di bawah gerbang. Kemelaratan bukan apa-apa baginya dibandingkan kebutuhannya
akan perkataan Gudo.

Pada suatu malam, di luar sebuah kuil di tepi Danau Biwa, tiba-tiba ia tersadar akan datangnya
musim gugur. Ia pandangi dirinya, dan dilihatnya dirinya sudah mirip peminta-minta. Rambutnya
sudah seperti sarang tikus, karena ia memang sudah berketetapan untuk tidak bersisir sebelum
pendeta itu melunak sikapnya. Berminggu-minggu ia tidak mandi dan bercukur. Pakaiannya
dengan cepat berubah menjadi rombengan, dan terasa seperti kulit pohon pinus di kulitnya.

Bintang-bintang seperti akan jatuh dari langit. Ia pandangi tikar buluhnya, dan pikirnya, "Sungguh
bodoh aku!" Seketika sadarlah ia, betapa sinting sikapnya selama itu. Ia tertawa pahit. Selama
itu, dengan teguh dan diam ia berpegang pada tujuannya, tapi apa yang ia harapkan dari guru
Zen itu? Apa tak mungkin ia menjalani hidup tanpa mesti menyiksa diri sedemikian rupa? Ia
bahkan merasa kasihan pada kutu-kutu yang hidup di tubuhnya.

Gudo dengan tegas mengatakan bahwa ia tak punya "apa pun" untuk diberikan. Sungguh tidak
beralasan mendesaknya memberikan sesuatu yang tak dimilikinya. Salahkah membencinya,
sekalipun ia kurang menunjukkan perhatian dibanding perhatian yang diberikannya pada seekor
anjing sesat di jalan?

Musashi memandang ke langit, lewat rambut yang meneduhi matanya. Tak sangsi lagi-itulah
bulan musim gugur. Tapi nyamuk-nyamuk itu... Kulitnya yang sudah penuh bilur-bilur merah tidak
lagi peka terhadap gigitannya.

Ia sudah siap untuk mengaku pada dirinya sendiri, bahwa ada hal yang tidak ia mengerti, tapi
apakah itu? Kalau sekiranya ia dapat memahami apa gerangan hal itu, pedangnya akan terbebas
dari ikatannya, dan segala yang lain pun akan terpecahkan dalam sesaat. Namun, begitu ia
merasa akan dapat meraihnya, selalu saja hal itu lolos.

Kalau usahanya menempuh Jalan itu berakhir di sini, ia lebih suka mati, sebab untuk apa lagi
hidup ini? Selagi berbaring di bawah atap gerbang, dan kantuk tidak juga datang, ia bertanya apa
gerangan yang belum dipahaminya selama ini. Teknik pedangkah? Tidak, lebih dari itu.
Pemecahan masalah Otsu? Tidak, tak seorang lelaki pun dapat begini sengsara hanya karena
cinta kepada seorang perempuan. Jawaban yang dicarinya pasti meliputi segalanya, namun
dengan segala kebesarannya, jawaban itu bisa saja hanya sesuatu yang kecil, yang tak lebih dari
biji madat.

Ia terbungkus dalam tikar, seperti ulat. Terpikir olehnya, apakah Matahachi tidur enak.
Membandingkan dirinya dengan temannya, ia merasa iri. Masalah-masalah Matahachi agaknya
tidak melumpuhkan. Musashi kelihatan selalu mencari masalah-masalah baru, dan dengan itu la
menyiksa dirinya.

Matanya kini tertumpu pada sebuah piagam yang tergantung di tiang gerbang. Ia bangkit dan
mendekatinya, agar dapat melihat lebih dekat. Dalam cahaya bulan ia membaca:

Saya mohon, cobalah temukan sumber asasi.

Pai yun tergerak oleh jasa Pai-ch'ang,


Hu-ch'iu kecewa atas ajaran peninggalan Pai yun.

Seperti para pendahulu kita yang agung, janganlah hanya memetiki dedaunan,

Atau menyibukkan diri dengan rerantingan.

Agaknya tulisan itu cuplikan dari Wasiat Daito Kokushi, pendiri Daitokuji.

Musashi membaca kembali dua baris terakhir. Dedaunan dan rerantingan.... Berapa banyak
orang terlontar dari jalur hidupnya oleh hal-hal yang tak ada kaitannya? Apakah ia sendiri bukan
contoh hal itu? Pikiran itu serasa meringankan bebannya, namun keraguannya tak juga hilang.
Kenapa pedangnya tidak tunduk kepadanya? Kenapa matanya berpaling dari tujuannya? Apakah
yang mencegahnya mencapai ketenteraman?

Bagaimanapun, semua ini terasa demikian sia-sia. Ia tahu apabila orang telah menempuh Jalan
itu sejauh-jauhnya, maka ia mulai terombangambing dan terserang keresahan-dedaunan dan
rerantingan. Bagaimana mungkin orang membebaskan diri dari lingkaran itu? Bagaimana orang
dapat sampai kepada intinya dan menghancurkannya?

Kutertawakan ziarahku yang sepuluh tahun ini

Jubah yang lusuh, topi yang rombeng, ketukan di pintu Zen.

Sesungguhnya Hukum Budha itu sederhana:

Makan nasimu, minum tehmu, kenakan pakaianmu.

Musashi terkenang kembali akan sajak tulisan Gudo ini, yang dipakainya untuk mengejek diri
sendiri. Gudo kira-kira sebaya Musashi ketika mengarang sajak itu.

Pada kunjungan Musashi yang pertama ke Kuil Myoshinji, pendeta itu hampir menendangnya
dari pintu. "Jalan pikiran aneh apa pula yang mendorongmu datang ke rumahku?" begitu
teriaknya. Tapi Musashi bersikeras, dan kemudian, sesudah ia memperoleh izin masuk, Gudo
menyuguhinya sajak ironis itu. Dan ia menertawakan Musashi, seraya mengucapkan katakata
yang telah diucapkannya beberapa minggu lalu, "Kau selalu bicara... Itu sia-sia!"

Dalam keadaan benar-benar putus asa, Musashi membuang sama sekali keinginan untuk tidur,
dan la berjalan mengitari pintu gerbang. Justru pada waktu itu ia melihat dua orang muncul dari
kuil.

Gudo dan Matahachi berjalan dengan langkah cepat luar biasa. Barangkali panggilan mendesak
telah datang dari Kuil Myoshinji, kuil kepala sekte Gudo. Apa pun halnya, ia melewati begitu saja
para biarawan yang telah berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan kepadanya, dan
langsung menuju Jembatan Kara di Seta.

Musashi mengikutinya melewati kota Sakamoto yang tertidur, melintasi toko-toko cetak kayu,
toko-toko sayur dan buah, bahkan juga penginapanpenginapan ramai yang semuanya sudah
terkunci rapat. Satu-satunya yang hadir adalah bulan yang pucat.

Mereka meninggalkan kota itu, mendekati Gunung Hiei, melewati Miidera dan Sekiji yang
terselimut tirai kabut. Mereka hampir tak menjumpai siapa pun. Ketika mereka sampai di celah,
Gudo berhenti dan mengatakan sesuatu pada Matahachi. Di bawah mereka terletak Kyoto, di
arah lain keluasan Danau Biwa yang tenang. DI luar bulan, segala sesuatu tampak seperti mika,
lautan kabut lunak keperakan.

Ketika beberapa waktu kemudian mereka sampai di celah itu, terkejutlah Musashi bahwa dirinya
hanya beberapa kaki jaraknya dan sang guru. Dalam beberapa minggu ini, itulah pertama kali
mereka bertemu pandang. Gudo tak mengatakan apa pun. Musashi pun tak mengatakan
sesuatu.

"Sekarang... inilah waktunya!" pikir Musashi. Kalau pendeta itu nanti sampai sejauh Myoshinji, ia
terpaksa menanti beberapa minggu sebelum sempat bertemu lagi dengannya.

"Saya mohon, Pak," katanya. Dadanya menggembung dan lehernya melipat. Suaranya seperti
suara seorang anak yang dengan ketakutan mencoba menyampaikan sesuatu yang tak hendak
dikatakannya. Ia beringsut maju dengan takut-takut.

Pendeta itu tidak berkenan menanyakan apa yang dikehendakinya. Wajahnya mirip wajah patung
berpernis kering. Hanya matanya yang menonjol putih, menatap marah pada Musashi.

"Saya mohon, Pak," katanya. Tanpa menghiraukan apa pun, kecuali hasrat menyala-nyala yang
mendesaknya maju, Musashi menjatuhkan diri berlutut dan menundukkan kepala. "Sepatah kata
kebijaksanaan! Satu patah kata saja...!"

Ia merasa seperti sudah berjam-jam menanti. Ketika akhirnya ia tak dapat lagi mengendalikan
diri, ia memperbarui permohonannya.

"Aku sudah dengar semuanya itu!" sela Gudo. "Matahachi bicara tentangmu tiap malam. Aku
sudah tahu semua yang perlu kuketahui, bahkan juga tentang perempuan itu."

Kata-kata itu seperti kerat es. Andaikata pun Musashi ingin mengangkat kepalanya, ia tak dapat
berbuat demikian.

"Matahachi, tongkat!"

Musashi menutup mata, menguatkan diri menanti pukulan. Namun Gudo bukannya memukul,
melainkan menggambar lingkaran di sekitar dirinya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, ia
lontarkan tongkat itu, dan katanya, "Ayo pergi, Matahachi!" Dan mereka pergi cepat-cepat.

Musashi jadi naik pitam. Sesudah berminggu-minggu menderita aib yang kejam, dalam usaha
yang tulus untuk menerima ajaran, penolakan Gudo jauh lebih buruk daripada sekadar tiadanya
rasa iba. Penolakan itu kejam, brutal! Pendeta itu mempermainkan manusia!

"Pendeta babi!"

Musashi menatap garang ke arah dua orang yang melangkah pergi itu. Bibirnya mengatup erat,
membentuk berengut marah.

"Tak ada apa-apa." Mengenang kata-kata Gudo itu, ia menyimpulkan bahwa kata-kata itu hanya
dusta, seolah-olah hendak menyatakan bahwa orang itu punya sesuatu yang bisa ditawarkan,
padahal kenyataannya "tak ada apa-apa" dalam kepalanya yang tolol itu.

"Awas!" pikir Musashi. "Aku tidak butuh kau!" la takkan mengandalkan diri pada siapa pun.
Analisis terakhirnya menyatakan tak seorang pun dapat diandalkan, kecuali diri sendiri. Ia
seorang lelaki, seperti halnya Gudo dan guru-guru sebelumnya.

Ia berdiri, setengahnya digerakkan oleh kemarahan sendiri. Beberapa menit lamanya ia menatap
bulan, tapi ketika kemarahannya mendingin, terpandang olehnya lingkaran itu. la masih berdiri di
dalamnya, dan ia menoleh ke sekitar. Baru berbuat demikian, teringat olehnya tongkat yang tidak
jadi memukulnya.

"Lingkaran? Apa pula artinya?" Dan ia biarkan pikirannya berkembang. Satu garis penuh, tanpa
awal, tanpa akhir, tanpa penyimpangan. Kalau lingkaran itu diluaskan tanpa batas, akan menjadi
alam semesta. Kalau dikerutkan, akan sama dengan titik kecil tempat jiwanya bersemayam. Jiwa
itu bulat. Alam semesta ini bulat. Bukan dua. Satu! Satu ujud-dirinya dan alam semesta.

Dengan bunyi berdetak ia cabut pedangnya, dan ia acungkan dengan arah diagonal. Bayangan
dirinya menyerupai lambang huruf "o". Lingkaran alam semesta ini tetap sama. Dengan tanda
yang sama itu, ia sendiri tidak berubah. Hanya bayangannya yang berubah.

"Hanya bayangan," pikirnya. "Bayangan itu bukan diriku yang sebenarnya." Dinding tempat ia
membenturkan kepalanya selama ini hanyalah bayangan, bayangan pikiran yang kacau.

Ia mengangkat kepalanya, dan pekik ganas pun meledak dari bibirnya.

Dengan tangan kiri ia acungkan pedang pendeknya. Bayangan itu berubah lagi, tapi citra alam
semesta secuil pun tidak. Kedua pedang itu hanyalah satu pedang. Dan keduanya adalah bagian
dari lingkaran itu.

Ia mengeluh dalam, matanya terbuka. Ketika ia memandang bulan lagi, terlihat olehnya lingkaran
besar yang dapat dianggap serupa dengan pedang, atau dengan jiwa orang yang menginjak
bumi.

"Sensei!" pekiknya sambil berlari mengejar Gudo. Memang tak ada lagi yang diharapkannya dari
pendeta itu, tapi ia harus minta maaf karena telah demikian hebat membencinya.

Selusin langkah kemudian, ia berhenti. "Cuma dedaunan dan rerantingan," pikirnya.

102. Biru Shikama

"APA Otsu ada di sini?"

"Ya, saya di sini."

Sebuah wajah muncul di atas pagar.

"Bapak ini Mambei,kan? Pedagang rami?" tanya Otsu.

"Betul. Maaf saya mengganggu Anda selagi sibuk, tapi saya mendengar kabar yang
kemungkinan menarik minat Anda."

"Silakan masuk," Otsu mengisyaratkan untuk menuju pintu kayu di pagar itu.
Seperti kelihatan dari kain yang bergantungan pada cabang-cabang pohon dan tiang-tiang,
rumah itu milik salah seorang tukang celup pembuat kain kuat, yang dikenal di seluruh negeri
dengan nama "Biru Shikama". Pekerjaan itu terdiri atas mencelup kain dalam celupan biru tua
keunguan beberapa kali, dan menumbuknya dalam lumpang besar, setiap kali habis dicelup.
Dengan demikian, benangnya jadi sangat usang oleh celupan, hingga lama sesudah benang
usang, baru celupan itu luntur.

Otsu belum terbiasa menggunakan pemukul, tapi ia bekerja keras juga, dan jari-jarinya biru-biru.
Di Edo, sesudah diketahuinya Musashi telah pergi, ia singgah di kediaman Hojo dan Yagyu,
kemudian segera berangkat untuk mencari lagi. Musim panas lalu, dari Sakai ia naik salah satu
kapal Kobayashi Tarozaemon dan pergi ke Shikama, sebuah kampung nelayan yang terletak di
muara segi tiga, tempat terjunnya Sungai Shikama ke Laut Pedalaman.

Ingat bahwa pengasuhnya ketika bayi telah kawin dengan seorang pencelup dari Shikama, Otsu
mencarinya, dan kemudian tinggal bersamanya. Karena keluarga itu miskin, Otsu merasa wajib
membantu mencelup, dan memang itu pekerjaan gadis-gadis muda. Sering mereka bekerja
sambil menyanyi. Orang-orang kampung berkata, dari suara seorang gadis mereka dapat
menetapkan apakah ia sedang jatuh cinta pada salah seorang nelayan muda.

Otsu membasuh tangannya dan menghapus keringat dari dahinya, kemudian mempersilakan
Mambei duduk dan beristirahat di beranda.

Orang itu menolak dengan kibasan tangan, katanya, "Anda datang dari Kampung Miyamoto,
kan?"

"Ya."

"Saya kadang datang ke kampung itu, membeli rami. Belum lama ini saya mendengar desas-
desus..."

"Ya?"

"Tentang Anda."

"Tentang saya?"

"Saya juga mendengar tentang orang yang namanya Musashi."

"Musashi?" Hati Otsu serasa melompat kegirangan, dan pipinya memerah.

Mambei tertawa kecil. Waktu itu musim gugur, tapi matahari masih cukup panas. la melipat
saputangan, mengusapkannya ke dahi, kemudian berjongkok. "Apa Anda kenal dengan wanita
bernama Ogin?" tanyanya.

"Maksud Bapak, kakak perempuan Musashi?"

Mambei mengangguk kuat-kuat. "Saya jumpa dengan dia di Kampung Mikazuki di Sayo.
Kebetulan saya menyebutkan nama Anda, dan dia kelihatan terkejut sekali."

"Apa Bapak sebutkan padanya alamat saya?"

"Ya. Saya merasa tak ada jeleknya menyebutkan itu."

"Di mana dia tinggal sekarang?"


"Dia tinggal dengan samurai bernama Hirata—saya pikir salah seorang keluarganya. Dia bilang
ingin sekali ketemu Anda. Beberapa kali dia menyatakan merasa kehilangan Anda, dan banyak
sekali yang hendak diceritakannya pada Anda. Sebagiannya rahasia, menurutnya. Saya rasa
waktu itu dia sudah hampir menangis."

Mata Otsu memerah.

"Di tengah jalan waktu itu tak ada tempat buat menulis surat, karena itu dia minta saya
menyampaikan pada Anda supaya datang ke Mikazuki. Dia bilang ingin datang Iceman, tapi
belum bisa sekarang." Mambei berhenti. "Tak banyak yang dia katakan, tapi menurutnya dia
sudah dengar kabar dari Musashi." Ia menambahkan bahwa ia akan pergi ke Mikazuki hari
berikutnya, dan menyarankan pada Otsu untuk pergi bersamanya.

Pikiran Otsu seketika itu juga sudah bulat, tapi ia merasa harus berbicara dahulu dengan istri
pencelup. "Petang ini saya akan memberi kabar," katanya.

"Bagus. Kalau nanti Anda putuskan pergi, kita mesti berangkat pagi-pagi." Walaupun di latar
belakang terdengar debur ombak laut, suara orang itu keras sekali, sedangkan jawaban Otsu
yang pelan terdengar agak gemetar.

Ketika Mambei keluar dari pintu gerbang, seorang samurai muda yang selama itu duduk di pantai
sambil menggosok-gosok segenggam pasir, berdiri dan memperhatikannya dengan tajam,
seakan-akan hendak membenarkan apa yang terkandung dalam pikirannya tentang laki-laki itu.
Samurai itu berpakaian bagus, dan mengenakan topi anyaman jerami yang bentuknya seperti
daun gingko, dan tampaknya berumur delapan belas atau sembilan belas tahun. Ketika
pedagang rami itu sudah lenyap dari pandangan, ia berbalik dan memperhatikan rumah tukang
celup.

Walaupun merasa sangat gembira mendengar kabar dari Mambei, Otsu mengambil juga palunya
dan melanjutkan pekerjaannya. Bunyi palu-palu lain yang diiringi nyanyian, mengambang di
udara. Tak ada suara keluar dari bibir Otsu ketika ia bekerja, tapi dalam hatinya ia menyanyikan
lagu cinta kepada Musashi. Kini diam-diam ia membisikkan sajak koleksi kuno:

Sejak pertemuan pertama kita,

Cintaku lebih dalam

Dari cinta orang-orang lain,

Walau tak sebanding dengan warna-warna

Kain dari Shikama.

Ia yakin bahwa kalau ia mengunjungi Ogin, ia akan tahu di mana Musashi tinggal. Dan Ogin
seorang wanita juga. Akan lebih mudah menyampaikan perasaannya.

Pukulan palunya makin lama makin lemah, sampai hampir menjarang jaraknya. Ia merasa lebih
bahagia sesudah sekian lama. Kini ia paham perasaan penyair itu. Sering laut tampak sendu dan
asing, tapi hari itu laut tampak memesona, dan ombak tampak menyemburkan harapan,
walaupun lemah.

Ia gantungkan kain itu pada tiang pengering yang tinggi, dengan hati masih menyanyi, kemudian
ia berjalan ke luar, lewat pintu gerbang yang tinggal terbuka. Dengan sudut matanya ia dapat
melihat samurai muda yang berjalan tenang di sepanjang tepi air. Ia tidak tahu siapa samurai itu,
namun samurai itu memikat perhatiannya. Di luar itu, ia tidak melihat apa pun yang lain, tidak
juga seekor burung yang melaju bersama angin laut.

Tujuan mereka tidak terlalu jauh; seorang perempuan dapat menempuhnya tanpa susah payah,
dengan satu kali singgah. Sekarang hampir tengah hari.

"Saya minta maaf telah menyusahkan Bapak," kata Otsu.

"Tidak susah. Kaki Anda rupanya kuat berjalan," kata Mambei.

"Saya biasa jalan."

"Saya dengar Anda telah pergi ke Edo. Untuk seorang wanita, itu tempat yang cukup jauh juga,
kalau ditempuh sendirian."

"Apa istri tukang celup mengatakannya pada Bapak?"

"Ya. Saya sudah dengar semuanya. Orang Miyamoto membicarakannya juga."

"Oh, mereka juga!" kata Otsu, sedikit mengerutkan kening. "Sungguh bikin malu."

"Anda tak perlu merasa malu. Kalau Anda begitu cinta pada seseorang, siapa yang bisa bilang
Anda mesti dikasihani atau diberi ucapan selamat? Tapi rupanya Musashi ini sedikit dingin
hatinya."

"Ah, tidak... sama sekali tidak."

"Anda tidak benci pada kelakuannya?"

"Sayalah yang mestinya disalahkan. Latihan dan disiplin, itu minatnya yang tunggal dalam hidup
ini, tapi saya ini tak juga mau mengerti."

"Oh, menurut saya tak ada salahnya sikap itu."

"Tapi rasanya sudah banyak saya menimbulkan kesulitan padanya."

"Hm. Istri saya mestinya mendengar ini. Begitu mestinya sikap wanita."

"Apa Ogin sudah kawin?" tanya Otsu.

"Ogin? Ah, saya kurang tahu," kata Mambei, kemudian mengubah pokok pembicaraan. "Oh, itu
ada warung teh. Mari kita istirahat sebentar."

Mereka masuk dan memesan teh untuk teman makan slang. Ketika mereka sedang
menyelesaikan makan siang, beberapa tukang kuda dan kuh menegur Mambei dengan nada
sudah kenal lama.

"Hei, kenapa kau tidak singgah main di Handa hari ini? Semua orang mengeluh—seluruh uang
kami sudah kaubawa kemarin itu."

Di tengah suasana ribut itu, ia membalas dengan teriakan, seakan-akan tak mengerti maksud
mereka. "Aku tak perlu kudamu hari ini." Kemudian katanya cepat pada Otsu, "Kita terus?"

Ketika mereka meninggalkan warung itu dengan tergesa-gesa, salah seorang tukang kuda
berkata, "Tak heran dia menolak kita. Coba lihat gadis itu!"
"Kulaporkan istrimu, Mambei!"

Mereka mendengar lebih banyak lagi komentar senada, tapi mereka berjalan terus cepat-cepat.
Toko Asaya Mambei di Shikama tentulah tidak tergolong rumah usaha yang penting di sana.
Mambei membeli rami di kampung-kampung yang berdekatan, lalu mengirimkannya kepada para
istri dan anak gadis nelayan untuk membuat layar, jaring, dan barang-barang lain. Tapi ia pemilik
usahanya sendiri, karena itu hubungannya yang demikian akrab dengan para kuli biasa sangat
aneh bagi Otsu.

Seakan-akan untuk menghilangkan keraguan Otsu yang tak terucapkan itu, Mambei berkata,
"Apa yang dapat kita lakukan dengan orang-orang urakan macam itu? Hanya karena saya
menolong mereka dengan menyuruh mengangkut bahan dari gunung, lalu mereka bersikap
akrab macam itu!"

Mereka menginap di Tatsuno, dan ketika berangkat lagi pagi berikutnya, Mambei tetap bersikap
baik dan siap menolong, seperti biasa. Sampai di Mikazuki, hari mulai gelap di perbukitan kaki
glinting.

"Mambei," tanya Otsu kuatir, "apa ini bukan Mikazuki? Kalau kita melintasi gunung ini, kita akan
sampai di Miyamoto." Otsu sudah mendengar bahwa Osugi sudah kembali ke Miyamoto lagi.

Mambei berhenti. "Ya, itu di seberang sana. Apa kau rindu pulang?"

Otsu mengangkat mata, memandang punggung pegunungan yang hitam berombak-ombak itu,
juga langit petang. Daerah itu terasa sangat sepi, seolah-olah orang-orang yang mestinya ada di
sana menghilang semua.

"Sedikit lagi," kata Mambei sambil berjalan terus. "Apa kau lelah?"

"Oh, tidak. Bapak?"

"Tidak. Saya terbiasa dengan jalan ini. Saya selalu lewat jalan sini."

"Lalu di mana rumah Ogin?"

"Di sana," jawab Mambei sambil menunjuk. "Dia pasti sedang menanti kita."

Mereka berjalan sedikit lebih cepat. Ketika mereka sampai di tempat yang semakin terjal
lerengnya, tampak di situ bertebaran rumah-rumah. Itu daerah persinggahan di jalan raya
Tatsuno. Tempat itu boleh dikatakan cukup besar untuk dapat disebut kota, tapi di situ ada
sebuah tempat makan murah "satu baki" yang dibanggakan, tempat para tukang kuda
berkeluyuran, dan ada sejumlah penginapan murah berderet di kedua tepi jalan.

Begitu mereka meninggalkan kampung, Mambei berkata, "Kita mesti sedikit mendaki sekarang."
Ia membelok meninggalkan jalan, dan mulai mendaki tangga batu terjal, menuju kuil setempat.

Seperti seekor burung kecil yang mencicit karena tiba-tiba suhu udara turun tajam, Otsu
merasakan sesuatu yang tidak biasa. "Apa Bapak yakin kita tidak salah jalan? Tak ada rumah-
rumah di sekitar sini," katanya.

"Jangan kuatir. Ini tempat sepi, tapi duduklah dan istirahatlah di serambi tempat suci. Aku akan
pergi memanggil Ogin."

"Kenapa begitu?"

"Apa kau lupa? Aku yakin sudah menyebutkannya. Ogin mengatakan kemungkinan ada tamu-
tamu, hingga kurang enak kalau kau masuk. Rumahnya di sebelah rumpun ini. Aku akan segera
kembali." Mambei bergegas menyusuri jalan setapak yang sempit, melintasi rumpun kriptomeria
yang gelap.

Ketika langit petang semakin gelap, Otsu mulai gelisah. Daun-daun kering yang diruntuhkan
angin berjatuhan ke pangkuannya. Ia iseng mengambil satu, dan menggulungnya membungkus
jari-jarinya. Entah ketololan, entah kemurnian yang menjadikannya gambaran sempurna seorang
gadis yang masih suci.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dari belakang kuil. Otsu melompat ke tanah.

"Jangan bergerak, Otsu!" perintah sebuah suara serak, menakutkan.

Otsu terengah-engah dan menutupkan tangan ke telinga.

Beberapa sosok bayangan muncul dari belakang kuil, mengepung tubuhnya yang menggeletar.
Walaupun matanya tertutup, dengan jelas ia dapat melihat satu di antaranya, yang lebih
mengerikan dan lebih besar dari yang lain, kuntilanak berambut putih yang sudah sering
dilihatnya dalam mimpi-mimpi buruknya.

"Terima kasih, Mambei," kata Osugi. "Sekarang sumbat mulutnya, sebelum dia mulai menjerit,
dan bawa dia ke Shimonosho. Cepat!" Bicaranya disertai wibawa menakutkan seorang Raja
Neraka yang sedang mengutuk seorang pendosa untuk masuk api neraka.

Empat-lima lelaki itu agaknya perusuh-perusuh kampung yang masih ada hubungan dengan klan
Osugi. Sambil berteriak setuju, mereka menghampiri Otsu seperti serigala memperebutkan
korban, dan mengikatnya hingga tinggal kakinya yang bebas.

"Potong kompas!"

"Jalan!"

Osugi tinggal di belakang untuk mengatur segala sesuatunya bersama Mambei. Ia mengambil
uang dari dalam obi-nya, dan katanya, "Baguslah kau sudah membawa dia. Aku takut kau tak
bisa melakukannya." Kemudian tambahnya, "Jangan bilang apa-apa pada siapa pun."

Dengan pandangan puas, Mambei menyelipkan uang itu ke dalam lengan bajunya. "Ah, itu tidak
begitu sulit," katanya. "Rencana Ibu bagus sekali jalannya."

"Ah, bagus juga tadi itu kelihatannya. Dia ketakutan, ya?"

"Lari pun dia tak bisa. Cuma berdiri! Ha, ha. Tapi barangkali... sedikit kejam juga kita."

"Apanya yang kejam? Oh, kalau kau tahu apa yang sudah kualami..."

"Ya, ya, Ibu sudah menceritakannya."

"Nah, aku tak dapat membuang-buang waktu di sini. Aku mesti ketemu lagi denganmu hari-hari
ini. Kunjungi kami di Shimonosho."

"Hati-hati, Bu, jalan itu tak mudah ditempuh," seru Mambei sambil menoleh, ketika la mulai
menuruni tangga yang panjang gelap itu. Mendengar bunyi terengah, Osugi memutar tubuh, dan
serunya, "Mambei! Kaukah itu? Ada apa?"

Tak ada jawaban.


Osugi berlari sampai puncak tangga. Di situ ia memekik kecil, kemudian menahan napas ketika
melihat bayangan orang berdiri di samping tubuh yang sudah roboh, dengan pedang terjulur ke
bawah, bercucuran darah.

"Si... siapa di situ?"

Tak ada jawaban.

"Siapa kau?" Suara Osugi kering dan tegang. Umur tua tidak menghapuskan kepongahan penuh
gertakan itu.

Bahu orang itu bergetar sedikit karena tertawa. "Ini aku, kuntilanak tua!"

"Siapa kau?"

"Kau tak kenal aku?"

"Belum pernah aku mendengar suaramu. Perampok, mestinya."

"Tak ada perampok yang mau mengurusi perempuan semiskin kau."

"Jadi, kau sudah mengawasi aku, ya?"

"Betul."

"Aku?"

"Kenapa tanya dua kali? Tidak bakal aku jauh-jauh datang ke Mikazuki, kalau cuma buat
membunuh Mambei. Aku datang buat memberimu pelajaran."

"Eh?" Tenggorokan Osugi seperti mau meletus. "Kau salah sasaran. Tapi siapa kau? Namaku
Osugi. Aku janda Keluarga Hon'iden."

"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Ini menghidupkan kembali semua dendamku. Tukang
sihir! Apa kau lupa pada Jotaro?"

"Jo-jo-taro?"

"Dalam tiga tahun, bayi yang baru lahir sudah menjadi anak umur tiga tahun. Kau sekarang
sudah menjadi sebatang potion tua, sedangkan aku pohon muda. Maaf kalau kukatakan, kau tak
bisa lagi memperlakukan aku macam anak ingusan."

"Betul-betul tak bisa dipercaya. Apa betul kau ini Jotaro?"

"Kau terpaksa membayar atas segala kesusahan yang sudah kautimpakan pada guruku
bertahun-tahun lamanya. Dia menghindarimu, cuma karena kau sudah tua, dan dia tak ingin
menyakitimu. Kau memanfaatkan hal itu dengan ngeluyur ke mana-mana, bahkan sampai ke
Edo, menyebarkan desas-desus jahat tentang dia, dan berbuat seolah kau punya alasan sah
membalas dendam kepadanya. Kau malahan bertindak begitu jauh, sampai menghalangi
pengangkatannya untuk kedudukan yang baik."

Osugi terdiam.

"Tapi kejahatanmu bukan cuma sampai di situ. Kau membikin sengsara Otsu dan mencoba
melukai dia. Kupikir kau sudah meninggalkan semua itu, dan menetap di Miyamoto. Tapi ternyata
kau masih juga sibuk, menggunakan Mambei buat melaksanakan rencana terhadap Otsu."
Osugi masih juga diam.

"Apa kau tak pernah capek membenci? Oh, aku bisa dengan mudah sekali memotongmu jadi
dua, tapi untung aku bukan lagi anak samurai yang suka nyeleweng. Ayahku, Aoki Tanzaemon,
sudah kembali ke Himeji, dan sejak musim semi lalu mengabdi pada Keluarga Ikeda. Supaya
tidak bikin dia malu, aku menahan diri untuk membunuhmu."

Jotaro mendekat beberapa langkah. Karena tak tahu harus mempercayainya atau tidak, Osugi
mundur dan mencari-cari cara meloloskan diri.

Karena dikiranya ia dapat lolos, ia lari kencang ke jalan yang ditempuh orang-orang tadi. Jotaro
mengejarnya dengan satu lompatan saja, lalu mencekal lehernya.

Osugi membuka mulut lebar-lebar, berteriak, "Apa ini?" Ia memutar badan dan menarik pedang
dengan gerak memutar juga, lalu memukul Jotaro, tapi meleset.

Jotaro mengelak dan mendorongnya keras ke depan. Kepala Osugi membentur keras ke tanah.

"Ya, ya, jadi kau sudah mendapat sedikit ilmu ya?" rintihnya dengan wajah setengah terbenam di
rumput. Agaknya ia belum dapat mengubah pikirannya bahwa Jotaro masih anak-anak.

Sambil menggeram, Jotaro menginjakkan satu kakinya ke punggung Osugi yang sangat rapuh
itu, dan tanpa kenal kasihan ia pilin satu tangan Osugi ke punggung.

Ia seret perempuan itu ke depan kuil, kemudian ia injak dengan satu kakinya, tapi ia tak dapat
memutuskan apa yang akan diperbuatnya.

Ia masih harus memikirkan Otsu. Di mana Otsu sekarang? Ia mengetahui Otsu ada di Shikama
secara kebetulan. Sekalipun mungkin itu karena karma mereka saling terkait. Sejalan dengan
penerimaan kembali ayahnya, Jotaro memperoleh juga kedudukan. Ketika ia sedang
melaksanakan suruhan, terlihat olehnya seorang perempuan mirip Otsu lewat celah pagar. Dua
hari lalu ia kembali ke pantai itu, untuk membuktikan kesannya.

Ia berterima kasih kepada dewa-dewa yang telah mempertemukannya dengan Otsu, tapi
sementara itu dendamnya terhadap Osugi yang sudah lama terpendam, tersulut kembali, gara-
gara cara Osugi mengejar-ngejar Otsu. Kalau perempuan tua itu tidak disingkirkan, takkan
mungkin Otsu bisa hidup tenang. Jotaro merasa tergoda untuk bertindak. Tapi membunuh
perempuan itu berarti melibatkan ayahnya dalam perselisihan dengan keluarga samurai desa.
Mereka itu orang-orang yang paling banyak membuat kesulitan. Kalau tersinggung oleh pengikut
langsung seorang daimyo, pasti mereka menimbulkan kesulitan.

Akhirnya ia putuskan bahwa yang terbaik adalah menghukum Osugi dengan cepat, kemudian
memfokuskan diri untuk menyelamatkan Otsu.

"Aku tahu tempat yang cocok buatmu," katanya. "Ayo ikut!"

Osugi bergayut sekuat-kuatnya ke tanah, biarpun Jotaro berusaha menyentakkannya. Jotaro lalu
menangkap pinggangnya, mengempitnya, dan membawanya ke belakang kuil. Sisi bukit sudah
digunduli orang waktu kuil itu dibangun, dan di sana terdapat gua kecil dengan jalan masuk
hanya cukup dirangkaki satu orang.

Otsu dapat melihat cahaya satu-satunya di kejauhan. Kalau tidak, segalanya pasti gelap gulita-
gunung-gunung, ladang-ladang, sungai-sungai, dan Celah Mikazuki yang baru saja mereka
seberangi lewat jalan karang setapak. Kedua orang yang ada di depan menuntunnya dengan tali,
seperti biasa dilakukan terhadap seorang penjahat.

Mendekati Sungai Sayo, orang yang di belakang berkata, "Berhenti sebentar. Apa yang terjadi
dengan perempuan tua itu? Dia bilang tadi segera menyusul."

"Ya, mestinya dia sudah sampai sini sekarang."

"Kita bisa saja berhenti di sini beberapa menit. Atau terus sampai Sayo dan menunggu di warung
teh. Orang-orang barangkali sudah tidur semua, tapi kita dapat membangunkan mereka."

"Mari kita menanti di sana. Kita bisa minum secangkir-dua cangkir sake."

Mereka mencari tempat dangkal di sepanjang sungai, dan mulai menyeberang, tapi tiba-tiba
mereka mendengar suara orang memanggil dari kejauhan. Semenit-dua menit kemudian, suara
itu terdengar lagi dari tempat yang jauh lebih dekat.

"Apa perempuan tua itu, ya?"

"Tidak, kedengarannya suara lelaki."

"Tak mungkin dia ada hubungannya dengan kita."

Air sungai itu sama dinginnya dengan pedang, terutama bagi Otsu. Pada saat mereka
mendengar suara kaki berlari, si pengejar sudah sampai.

Disertai percikan air yang riuh, ia berhasil mendahului mereka sampai di seberang sungai, dan
langsung menghadang. "Otsu?" panggil Jotaro.

Menggigil karena percikan air yang mengenainya, ketiga orang itu merapat di sekeliling Otsu dan
berdiri di tempat.

"Jangan bergerak!" teriak Jotaro dengan tangan direntangkan.

"Siapa kau?"

"Tak perlu tanya. Lepaskan Otsu!"

"Gila, ya? Apa kau tidak pakai otak? Kau bisa mati ikut-ikutan urusan orang lain."

"Osugi bilang, kalian mesti menyerahkan Otsu padaku."

"Enak saja bohong." Ketiga orang itu tertawa.

"Aku tidak bohong. Lihat ini!" Jotaro mengulurkan secarik kertas tisu berisi tulisan Osugi. Isinya
singkat, "Keadaan jadi rusak. Kalian tak bias berbuat apa-apa. Serahkan pada Jotaro, lalu
kembali jemput aku."

Dengan kening berkerut, orang-orang itu menatap Jotaro, lalu naik ke darat.

"Apa kalian tak bisa baca?" cela Jotaro.

"Tutup mulut! Kukira kau ini Jotaro."

"Betul. Namaku Aoki Jotaro."

Otsu menatap tajam-tajam ke arah Jotaro. Ia gemetar sedikit, karena takut dan sangsi. Tapi
karena bingung apa yang hendak diperbuatnya, ia menjerit, terengah-engah, dan terhuyung-
huyung.

Orang yang terdekat dengan Jotaro berteriak, "Sumbatannya kendur! Betulkan!" Kemudian
katanya mengancam pada Jotaro, "Tak ragu lagi, ini tulisan perempuan tua itu. Tapi kenapa dia?
Apa maksudnya 'kembali jemput aku'?"

"Dia kusandera," kata Jotaro angkuh. "Berikan Otsu padaku, nanti kusebutkan di mana dia."

Ketiga orang itu saling pandang. "Oh, kau mencoba melucu, ya?" tanya seseorang. "Apa kau
tahu siapa kami ini? Setiap samurai di Himeji mesti kenal Keluarga Hon'iden di Shimonosho, itu
kalau kau memang datang dari Himeji."

"Ya atau tidak—jawab! Kalau Otsu tidak kalian serahkan, kutinggalkan perempuan tua itu di
tempatnya, sampai dia mati kelaparan!"

"Bajingan kecil!"

Satu orang mencengkeram Jotaro, yang lain menghunus pedangnya dan memasang jurus.
Orang yang pertama menggeram, "Kalau kau terus omong kosong macam itu, kupatahkan
lehermu. Di mana Osugi?"

"Kalian berikan Otsu, tidak?"

"Tidak!"

"Kalau begitu, kalian takkan temukan dia. Serahkan Otsu, supaya dapat kita akhiri semua ini
tanpa mesti ada yang terluka."

Orang yang mencengkeram lengan Jotaro menariknya ke depan dan mencoba menjegalnya.

Dengan menggunakan kekuatan lawan, Jotaro melontarkannya lewat bahunya. Tapi sesaat
kemudian ia terduduk sambil menggenggam paha kanannya. Orang itu berhasil melecutkan
pedangnya, dan memukul dengan gerak menyilang. Untunglah lukanya tidak dalam. Jotaro
melompat bangkit bersama penyerangnya. Dua orang lainnya ikut menyerang.

"Jangan bunuh dia. Mesti kita tangkap dia hidup-hidup, kalau kita mau mendapatkan Osugi
kembali."

Segera kemudian, Jotaro tidak lagi ragu terlibat dalam pertumpahan darah. Dalam perkelahian
yang kemudian menyusul, ketiga orang itu berhasil menjatuhkannya. Jotaro meraung,
menggunakan taktik yang beberapa saat sebelumnya digunakan orang-orang itu terhadapnya. Ia
tarik pedang pendeknya, lalu menusuk langsung ke arah perut orang yang akan menerkamnya.
Separuh lengan Jotaro jadi merah, seakan habis dicelup dalam tong cuka prem. Waktu itu yang
terpikir olehnya hanyalah naluri untuk menjaga diri.

Ia berdiri lagi, memekik, dan menebas orang di hadapannya. Pedangnya mengenai tulang bahu,
dan belokannya menghasilkan seiris daging sebesar ikan. Orang itu menjerit dan mencekal
pedangnya, tapi terlambat.

"Bajingan! Bajingan!" Sambil memekik setiap memukulkan pedangnya, Jotaro mengusir kedua
orang yang lain, dan berhasil membuat luka besar pada seorang di antaranya.

Mereka menganggap sudah semestinya mereka lebih unggul daripada Jotaro, tapi sekarang
mereka kehilangan kendali diri, dan hanya bisa mengayun-ayunkan senjata secara
serampangan.
Otsu hilang akal dan berlari berputar-putar, sambil dengan kalut mencoba melepaskan ikatan
tangannya. "Hei, tolong! Selamatkan dia!" Tapi kata-katanya segera lenyap, tenggelam dalam
bunyi sungai dan suara angin.

Tiba-tiba ia sadar bahwa seharusnya ia tidak berteriak minta tolong, melainkan mengandalkan
kekuatannya sendiri. Sambil memekik-mekik kecil berputus asa, ia merebahkan diri ke tanah dan
mulai menggosok-gosokkan tali itu ke sisi batu yang tajam. Berhubung tali itu hanya tali jerami
yang longgar pintalannya dan dipungut dari pinggir jalan, segera kemudian ia dapat
membebaskan diri.

Ia pungut sejumlah barn, lalu lari langsung ke tempat perkelahian. "Jotaro!" panggilnya, ketika ia
melemparkan sebuah batu ke wajah satu orang. "Aku di sini juga. Pasti beres!" Satu batu lagi.
"Tahan dulu!" Dan satu batu lagi. Tapi, seperti dua barn sebelumnya, batu itu tidak mengenai
sasaran. Ia lari kembali, mengambil batu yang lain.

"Anjing!" Dengan dua lompatan saja, satu orang berhasil melepaskan diri dari Jotaro dan
memburu Otsu. Baru saja ia akan memukulkan punggung pedangnya ke punggung Otsu, Jotaro
sudah tiba di dekatnya. Jotaro menghunjamkan pedang demikian dalam ke belakang pinggang
orang itu, hingga hulu pedang menyembul dan pusarnya.

Orang yang lain, dalam keadaan luka dan linglung, mulai menyelinap dan lari sempoyongan.

Jotaro berdiri mengangkangi mayat itu, menarik pedangnya, dan berteriak, "Berhenti!"

Ia mulai mengejar, tapi Otsu menubruknya keras-keras, dan menjerit, "Jangan kejar! Tak boleh
menyerang orang luka parah yang sedang lari."

Hebatnya permohonan Otsu itu mengagetkan Jotaro. Ia tak dapat membayangkan, alasan
psikologis apa yang menggerakkan gadis itu untuk bersimpati kepada orang yang baru saja
menyiksanya.

Kata Otsu, "Aku ingin tahu, apa yang kaulakukan bertahun-tahun ini. Aku pun punya banyak
cerita buatmu. Dan kita mesti keluar dari sini selekas mungkin."

Jotaro segera menyetujui, karena ia tahu bahwa kalau berita tentang peristiwa itu sampai di
Shimonosho, orang-orang Hon'iden akan mengerahkan seluruh kampung untuk mengepung
mereka.

"Kakak bisa lari?"

"Ya. Jangan kuatir tentang aku."

Dan mereka pun berlari, terus lari melintasi kegelapan, sampai kehabisan napas. Bagi keduanya,
keadaan itu terasa seperti masa lalu, ketika mereka masih seorang gadis remaja dan seorang
anak, bepergian bersama.

DI Mikazuki, lampu yang tampak hanyalah yang ada di penginapan. Satu menyala dalam
bangunan utama, di mana sekelompok musafir tadi duduk melingkar, bercakap-cakap dan
tertawa-tawa. Mereka terdiri atas seorang pedagang logam yang, untuk kepentingan usahanya,
datang ke tambang-tambang setempat, seorang pedagang benang dari Tajima, dan seorang
pendeta pengembara. Kini mereka bertiga sudah berlayar di alam mimpi.

Jotaro dan Otsu duduk bercakap-cakap dekat lampu lain, di sebuah ruangan kecil yang terpisah,
di mana ibu pemilik penginapan tinggal bersama mesin pintal dan kuali-kuali perebus ulat sutra.
Pemilik penginapan sudah menduga pasangan yang diterimanya itu sedang lari, tapi ia menyuruh
juga orang menyiapkan ruangan untuk mereka.

Kata Otsu, "Jadi, kau juga tidak melihat Musashi di Edo." Dan ia menyampaikan cerita selama
beberapa tahun terakhir itu pada Jotaro.

Jotaro jadi susah bicara, karena sedih mendengar Otsu belum bertemu dengan Musashi sejak
peristiwa di jalan raya Kiso itu. Namun menurutnya ia dapat memberikan cahaya harapan pada
Otsu.

"Memang tak bisa dijadikan pegangan," katanya, "tapi kudengar desas-desus di Himeji, Musashi
akan segera datang."

"Ke Himeji? Apa mungkin?" tanya Otsu, yang ingin sekali menangkap harapan sekecil apa pun.

"Itu cuma kata orang, tapi orang-orang di perdikan kami bilang sepertinya sudah diputuskan. Kata
mereka, dia akan lewat dalam perjalanan ke Kokura. Di situ dia berjanji akan melayani tantangan
Sasaki Kojiro, salah seorang abdi Yang Dipertuan Hosokawa."

"Pernah aku mendengar berita macam itu juga, tapi tak dapat aku menemukan orang yang
mendengar berita itu dari Musashi sendiri, atau tahu di mana dia berada."

"Nah, kabar yang beredar sekitar Benteng Himeji itu barangkali dapat dipercaya. Rupanya
Hanazono Myoshinji di Kyoto, yang mempunyai hubungan akrab dengan Keluarga Hosokawa itu,
menyampaikan pada Yang Dipertuan Hosokawa tentang tempat Musashi, dan Nagaoka Sado
yang menjadi abdi senior menyampaikan surat tantangan pada Musashi."

"Apa kira-kira pertarungan akan segera berlangsung?"

"Aku tidak tahu. Rupanya tak ada orang yang tahu pasti, tapi kalau tempatnya di Kokura, dan
kalau Musashi ada di Kyoto, dia pasti lewat Himeji."

"Tapi dia bisa naik perahu."

Jotaro menggeleng. "Kukira tidak. Daimyo di Himeji dan Okayama, dan lain-lain perdikan
sepanjang Laut Pedalaman, akan minta dia singgah semalam-dua malam. Mereka ingin melihat,
orang macam apa dia itu, dan mencoba mengetahui pendapatnya, apa dia tertarik pada suatu
kedudukan. Yang Dipertuan Ikeda menulis surat pada Takuan. Kemudian dia mencari
keterangan di Myoshinji, dan memerintahkan pada para pedagang besar di daerahnya untuk
lapor, kalau mereka melihat orang yang cocok dengan gambaran Musashi."

"Semakin kuat alasan untuk menduga Musashi takkan pergi lewat jalan darat. Dia paling benci
keributan. Kalau dia tahu itu, dia akan berusaha keras menghindarinya." Otsu tampak tertekan,
seolah-olah tiba-tiba ia kehilangan harapan. "Bagaimana menurutmu, Jotaro?" tanyanya
memohon. "Kalau aku pergi ke Myoshinji, apa menurutmu aku akan mendapat keterangan?"

"Yah, barangkali, tapi Kakak mesti ingat, itu cuma kata orang."

"Tapi tentunya ada alasannya orang berkata begitu. Ya, tidak?"

"Apa Kakak mau ke Kyoto?"

"Oh, ya. Aku mau pergi sekarang juga.... Nah, besoklah."

"Jangan buru-buru begitu. Itu sebabnya Kakak selalu gagal bertemu Musashi. Begitu mendengar
desas-desus, Kakak terima itu sebagai kenyataan, dan langsung terbang. Kalau Kakak mau tahu
letak burung bulbul, Kakak mesti lihat tempat di depan sumber suaranya. Kelihatannya Kakak ini
selalu membuntuti Musashi, bukan mencegat tempat yang akan didatanginya."

"Yah, mungkin saja, tapi cinta memang tidak logis." Karena sebelumnya Otsu tidak memikirkan
kata-katanya, ia terkejut melihat wajah Jotaro yang memerah mendengar kata "cinta" itu. Tapi
dengan segera ia dapat memulihkan perasaannya, dan katanya, "Terima kasih atas nasihat itu.
Akan kupikirkan."

"Ya, pikirkanlah, tapi sementara itu ayo kembali ke Himeji denganku."

"Baiklah."

"Kuminta Kakak datang ke rumah kami." Otsu terdiam.

"Kalau ditilik kata-kata ayahku, kukira dia kenal Kakak cukup baik sebelum Kakak meninggalkan
Shippoji.... Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi dia bilang ingin ketemu Kakak sekali lagi,
dan bicara dengan Kakak."

Lilin hampir habis. Otsu menoleh dan memandang langit dari bawah tepian atap yang sudah
compang-camping. "Hujan," katanya.

"Hujan? Padahal kita mesti jalan ke Himeji besok."

"Ah, cuma hujan musim gugur. Kita pakai topi hujan." "Tapi aku lebih suka kalau langit cerah."

Mereka menutup tirai hujan dari kayu, dan segera kemudian kamar pun menjadi sangat hangat
dan lembap. Jotaro sadar benar akan semerbak wangi wanita dari tubuh Otsu.

"Tidurlah," katanya. "Aku akan tidur di sini." Ia letakkan bantal kayu di bawah jendela, kemudian
ia berbaring miring menghadap dinding.

"Kakak belum tidur?" gumam Jotaro. "Kakak mesti tidur." Ia tarik seprai tipis itu ke atas
kepalanya, tapi masih juga ia berguling dan bergolek beberapa waktu, sebelum akhirnya tidur
lelap.

103. Belas Kasihan Kannon

OTSU duduk mendengarkan tetesan air yang turun dari atap yang bocor. Karena terpaan angin,
hujan itu melecut masuk dari bawah ujung atap, dan berkecipak mengenai tirai. Tapi kini musim
gugur, karenanya tak dapat diramalkan apakah pagi akan merekah cerah dan jernih.

Kemudian Otsu berpikir akan Osugi. "Apakah dia ada di luar, dalam badai ini, basah dan
kedinginan? Dia sudah tua. Mungkin dia takkan hidup sampai pagi. Biarpun tetap hidup, bisa
berhari-hari lagi sebelum akhirnya dia ditemukan orang. Dia bisa mati kelaparan."

"Jotaro," panggilnya pelan. "Bangun." Ia kuatir Jotaro melakukan sesuatu yang kejam. Ia
mendengar sendiri Jotaro mengatakan kepada para kakitangan perempuan tua itu, bahwa ia
sedang menghukum perempuan itu, dan sambil lalu anak itu juga menyatakan hal serupa dalam
perjalanan ke penginapan.

"Hatinya sebetulnya tidak begitu jahat," pikir Otsu. "Kalau aku mau terus terang padanya, dia
pasti dapat memahami diriku.... Aku mesti menemui dia."

Ia buka daun pintu, sambil pikirnya, "Kalau Jotaro marah, apa boleh buat." Hujan tampak putih
pada latar belakang langit yang hitam. Ia singsingkan kimononya, lalu dari dinding ia ambil topi
anyaman dari kulit bambu, dan ia ikatkan pada kepalanya. Kemudian ia tutupkan mantel besar
dari jerami ke bahunya, ia kenakan sandal jerami, dan berangkat menerobos cucuran hujan yang
turun dari atap.

Dekat kuil tempat ia ditangkap Mambei, ia lihat tangga barn yang menuju kuil itu telah menjadi air
terjun bertingkat banyak. Di puncak tangga, angin jauh lebih kuat, melolong, melintasi rumpun
pohon kriptomeria, seperti kawanan anjing marah.

"Di mana dia kira-kira?" pikirnya sambil mencoba menatap ke dalam tempat suci. Ia berseru ke
dalam ruang gelap di bawahnya, tapi tak ada jawaban. Ia menikung ke belakang bangunan, dan
berdiri di sana beberapa menit lamanya. Angin yang melolong menerpanya seperti ombak di laut
yang menggila. Berangsur-angsur sadarlah ia akan adanya bunyi lain, yang hampir-hampir tak
dapat dibedakan dari bunyi badai. Bunyi itu berhenti, lalu mulai lagi.

"Oh-h-h! Dengarkan aku...! Ada orang di situ?... Oh-h-h!"

"Nenek!" seru Otsu. "Nek, di mana Nenek?" Karena boleh dikatakan ia hanya berteriak ke dalam
angin, suaranya tidak bisa terdengar jauh.

Tapi, entah bagaimana, perasaan itu membentuk hubungan sendiri. "Oh! Ada orang di sana. Ya,
aku tahu... Tolong aku! Aku di sini! Tolong!"

Potongan-potongan bunyi itu sampai ke telinga Otsu, dan ia mendengar nada putus asa di
dalamnya.

"Nenek di mana?" jeritnya parau. "Nenek, di mana Nenek?" Ia berlari mengelilingi kuil, berhenti
sebentar, kemudian berlari lagi keliling. Secara kebetulan ia melihat semacam gua beruang,
sekitar dua puluh langkah jauhnya, dekat dasar jalan terjal yang menanjak ke tempat suci bagian
dalam.

Ketika ia semakin mendekat, ia tahu pasti bahwa suara perempuan tua itu datang dari dalam.
Sampai di pintu masuk. Ia berhenti dan menatap batu-batu besar yang menghalanginya.

"Siapa itu? Siapa di situ? Jelmaan Kannon, ya? Kupuja dia tiap hari. Kasihanilah aku.
Selamatkan perempuan tua malang yang sudah diperangkap musuh!" Permohonan Osugi
bernada histeris. Setengah menangis setengah memohon, di celah gelap antara hidup dan mati,
ia membayangkan Kannon yang menaruh belas kasihan, dan memanjatkan kepadanya doa
berapi-api demi kelangsungan hidupnya.

"Oh, bahagiaku!" teriaknya lupa daratan. "Kannon yang maha pengasih sudah melihat kebaikan
hatiku dan kasihan kepadaku. Dia datang menyelamatkan diriku! Belas kasihan yang agung!
Hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah..."
Suara itu terhenti seketika. Barangkali ia merasa sudah cukup, karena sudah sewajarnya bahwa
pada waktu ia sangat membutuhkan, Kannon akan datang dalam bentuk tertentu untuk
menolongnya. Ia kepala keluarga yang baik, ibu yang baik, dan ia merasa dirinya adalah manusia
lurus tanpa cacat. Karena itu, apa pun yang ia lakukan tentu benar menurut akhlak.

Tapi kemudian, karena merasa bahwa orang yang ada di luar gua bukan hantu, melainkan
manusia yang nyata dan hidup, ia pun tenang, dan ketika sudah tenang, ia pun pingsan.

Karena tak mengerti kenapa tiba-tiba teriakan Osugi berhenti, Otsu jadi hilang kesabaran.
Bagaimanapun, pintu gua itu harus dibersihkan. Ia melipatgandakan usahanya, hingga tali yang
mengikat topi anyamannya lepas, dan topi serta jalinan rambutnya yang hitam jadi berkibar-kibar
ditiup angin.

Heran juga ia, bagaimana Jotaro bisa meletakkan batu-batuan itu sendirian. Ia dorong dan ia
tarik batu-batuan itu dengan seluruh kekuatannya, namun tak satu pun bergerak. Karena
kehabisan tenaga, ia merasa jengkel pada Jotaro. Perasaan lega yang semula meliputinya
karena menemukan tempat Osugi, kini berubah menjadi rasa gelisah yang pedih. "Tahan dulu,
Nek! Sebentar lagi. Akan kukeluarkan Nenek!" teriaknya. Biarpun sudah menekankan bibirnya ke
dalam celah di antara bebatuan itu, ia tak berhasil memperoleh balasan.

Segera kemudian ia perdengarkan nyanyian lirih dan sayup:

"Pada waktu berjumpa setan-setan pemakan manusia,

Naga berbisa atau iblis,

Jika ia masih ingat akan kekuasaan Kannon,

Maka tak suatu pun berani mencederainya.

Jika pada waktu dikepung binatang jahat,

Dengan taring tajam dan cakar mengerikan,

ia masih ingat akan kekuasaan Kannon..."

Sementara itu, Osugi menyanyikan kitab Sutra tentang Kannon. Hanya suara bodhisatwa yang
dapat dipahaminya. Dengan tangan terkatup, kini ia berserah diri dengan air mata menuruni pipi
dan bibir bergetar, sementara kata-kata suci meluncur dari mulutnya.

Tiba-tiba merasa ganjil, Osugi berhenti menyanyi dan mengintip dari celah antara bebatuan.
"Siapa di sana?" teriaknya. "Aku tanya, siapa kamu?"

Angin sudah menerbangkan mantel Otsu. Dalam keadaan bingung, kehabisan tenaga, dan
berlumur lumpur, ia membungkuk dan berseru, "Nenek baik-baik saja? Ini Otsu!"

"Siapa, katamu?" terdengar pertanyaan curiga.

"Otsu!"

"Begitu." Menyusul kediaman panjang, tapi akhirnya terdengar pertanyaan bernada tak percaya.
"Apa maksudmu, Otsu?"

Justru pada waktu itulah gelombang guncangan pertama menimpa Osugi, dan dengan kasar
memorakporandakan pikiran-pikiran keagamaannya. "Kkenapa kau datang kemari? Oh, aku
tahu. Kau mencari si setan Jotaro itu!"

"Tidak, saya datang buat menyelamatkan Nenek! Saya minta Nenek melupakan masa lalu. Saya
ingat, Nenek baik sekali pada saya, waktu saya masih gadis kecil. Tapi kemudian Nenek
memusuhi saya dan mencoba melukai saya. Saya tidak dendam pada Nenek. Saya akui, saya
memang keras kepala."

"Oh, jadi matamu terbuka sekarang, dan kau bisa melihat buruknya perbuatan-perbuatanmu.
Begitu, ya? Maksudmu, apa kau mau kembali pada Keluarga Hon'iden, sebagai istri Matahachi?"

"Oh, tidak, bukan itu," kata Otsu cepat.

"Nah, kalau begitu, kenapa kau di sini?"

"Saya kasihan pada Nenek, dan saya tidak tahan."

"Dan sekarang kau ingin aku berutang budi padamu. Itu yang kaucoba lakukan, ya?"

Otsu terlalu terguncang untuk mengatakan sesuatu.

"Siapa yang menyuruhmu datang menyelamatkan aku? Aku tak perlu bantuanmu sekarang.
Kalau kau menyangka dengan menolongku kau dapat membuatku tidak membencimu lagi, kau
keliru. Aku tak peduli betapa buruknya keadaanku, lebih baik aku mati daripada kehilangan
kebanggaan."

"Tapi, Nek, bagaimana bisa Nenek menyuruhku meninggalkan orang seumur Nenek di tempat
mengerikan semacam ini?"

"Begitulah bicaramu, enak dan manis. Kaukira aku tidak tahu, apa yang hendak dilakukan
olehmu dan Jotaro? Kalian berdua bersekongkol memasukkan aku ke dalam gua ini, buat
mempermainkan diriku. Kalau nanti aku keluar, aku mesti membalas dendam. Kalian boleh yakin
itu."

"Saya yakin Nenek akan mengerti, bagaimana sesungguhnya perasaan saya. Biar bagaimana,
Nenek tak bisa tinggal di sini. Nenek akan sakit."

"Huh, aku bosan dengan omong kosong ini!"

Otsu berdiri. Tiba-tiba penghalang yang tak dapat digesernya dengan tenaga fisik itu bergerak
sendiri, seakan-akan digerakkan oleh air matanya. Sesudah batu teratas berguling ke tanah,
mengherankan bahwa ia tidak mengalami kesulitan lagi menggulingkan batu di bawahnya ke
samping.

Namun bukan air mata Otsu sendiri yang membuka gua itu, karena Osugi mendorongnya juga
dari dalam. Ia pun menyeruduk ke luar, wajahnya merah manyala.

Otsu memperdengarkan teriakan gembira, dan ia masih terhuyung-huyung karena mengerahkan


tenaga, tapi begitu Osugi berada di luar, ia langsung menangkap kerah Otsu. Dari ganasnya
serangan itu, seakan-akan tujuan Osugi bertahan hidup adalah untuk menyerang
penyelamatnya.

"Oh! Apa yang Nenek lakukan? Ow!"

"Tutup mulut!"
"Ken-napa!"

"Apa maumu?" teriak Osugi sambil menjatuhkan Otsu ke tanah, dengan kemarahan seorang
perempuan liar. Otsu terkejut luar biasa.

"Ayo, sekarang kita pergi!" dengus Osugi sambil menyeret gadis itu di tanah basah.

Sambil mengatupkan tangan, kata Otsu, "Saya mohon, Nek. Hukumlah saya, kalau Nenek mau,
tapi jangan Nenek tinggal dalam hujan."

"Pandir! Tak kenal malu, ya? Apa pikirmu kau bisa bikin aku kasihan padamu?"

"Saya takkan lari. Tak akan... Oh! Sakit!"

"Tentu saja sakit."

"Biarkan saya...!" Tiba-tiba Otsu mengerahkan tenaga untuk meloloskan diri, dan melompat
berdiri.

"Tak bakalan!" Seketika itu Osugi memperbarui serangannya dan mencengkeram segenggam
rambut Otsu . Wajah Otsu yang putih tertengadah ke langit, air hujan membasahinya. Ia menutup
mata.

"Perempuan sial! Berapa banyak aku menderita bertahun-tahun ini karena kau!"

Setiap kali Otsu membuka mulut untuk berbicara atau berusaha meloloskan diri, perempuan tua
itu menyentakkan rambutnya dengan kejam. Tanpa melepaskan rambut itu, ia banting Otsu ke
tanah, ia injak, dan ia tendang.

Kemudian, tiba-tiba pada wajah Osugi muncul sebersit rasa terkejut, dan ia melepaskan rambut
itu.

"Oh, apa yang kulakukan?" gagapnya ketakutan. "Otsu?" panggilnya kuatir, memandang sosok
lemas yang tergeletak di kakinya.

"Otsu!" Sambil membungkuk ia tatap baik-baik wajah yang basah oleh hujan dan sedingin ikan
mati itu. Gadis itu sepertinya sudah tidak bernapas.

"Dia... dia mati!"

Osugi terperanjat. Walaupun ia tak rela memaafkan Otsu, tak ada maksudnya membunuh gadis
itu. Maka ia meluruskan badan, merintih sambil mundur.

Berangsur-angsur baru ia tenang, dan tak lama kemudian katanya, "Kukira tak ada yang bisa
dilakukan, kecuali pergi mencari pertolongan." Ia pun berangkat, tapi kemudian ragu-ragu,
menoleh, dan kembali. Ia gendong tubuh Otsu yang dingin itu dan ia bawa masuk gua.

Pintu masuk gua itu memang kecil, tapi bagian dalamnya luas. Di dekat dinding terdapat tempat
yang dulu dipakai para peziarah yang sedang mencari jalan untuk bersemadi berlama-lama.

Ketika hujan reda, ia pergi ke pintu dan mulai merangkak ke luar, tapi justru waktu itu hujan mulai
turun lagi. Air yang membanjiri mulut gua gemerecik hampir sampai ke bagian terdalam gua.

"Tak lama lagi pagi," pikirnya. Ia berjongkok acuh tak acuh, dan menanti badai reda kembali.

Keadaan gelap gulita. Tubuh Otsu pelan-pelan mulai mempengaruhi pikirannya. Ia merasa wajah
yang kelabu dingin itu menatap dirinya dengan nada menuduh. Mula-mula ia menenteramkan
dirinya dengan mengatakan, "Segalanya sudah ditakdirkan untuk terjadi. Ambillah tempatmu di
surga, sebagai Budha yang baru lahir. Jangan simpan dendam terhadapku." Tapi, tak lama
kemudian, rasa takut dan tanggung jawab yang hebat mendorongnya untuk mencari
perlindungan dalam kesalehan. Sambil memejamkan mata, ia mulai menyanyikan sutra.
Beberapa jam berlalu.

Ketika akhirnya bibirnya berhenti bergerak dan ia membuka mata, ia dengar burung-burung
mencicit. Udara tenang, hujan sudah berhenti. Lewat mulut gua, matahari keemasan menjenguk
kepadanya, mencurahkan cahayanya yang putih ke tanah kasar di dalam.

"Apa pula itu?" tanyanya keras, ketika la bangkit; matanya menatap sebuah prasasti ukiran
tangan tak dikenal pada dinding gua.

Ia berdiri di dekat prasasti itu, dan membaca, "Pada tahun 1544, saya kirimkan anak saya yang
berumur enam belas tahun, bernama Mori Kinsaku, untuk ikut pertempuran Benteng Tenjinzan di
pihak Yang Dipertuan Uragami. Sejak itu saya tak pernah melihatnya. Karena sedih, saya
mengembara ke berbagai tempat suci bagi sang Budha. Sekarang saya tempatkan di gua ini
patung Bodhisatwa Kannon. Saya doakan agar perbuatan ini, disertai air mata seorang ibu, akan
melindungi hidupnya di masa depan. Kalau di kemudian hari ada orang lewat tempat ini, saya
mohon dia menyerukan nama sang Budha. Inilah tahun kedua puluh satu, sejak kematian
Kinsaku. Penyumbang: Ibu Kinsaku, Kampung Aita."

Huruf-huruf yang sudah mengalami pengikisan di beberapa tempat itu sukar dibaca. Hampir tujuh
puluh tahun sudah kampung-kampung yang berdekatan, seperti Sanumo, Aita, dan Katsuta,
diserang oleh Keluarga Amako, dan Yang Dipertuan Uragami diusir dari bentengnya. Kenangan
masa kecil yang takkan terhapus dari pikiran Osugi adalah pembakaran benteng itu. Ia sempat
melihat asap hitam melayang ke langit, mayat-mayat manusia dan kuda menyeraki perladangan
dan jalan-jalan kecil, berhari-hari sesudahnya. Pertempuran itu hampir mencapai rumah-rumah
petani.

Memikirkan ibu-anak itu, termasuk kesedihannya, pengembaraannya, doanya, dan


persembahannya, Osugi merasa seperti ditikam. "Tentunya dia sedih sekali," katanya. Ia berlutut
dan mengatupkan tangannya.

"Hiduplah sang Budha Amida. Hiduplah sang Budha Amida..."

Ia tersedu-sedu, air mata jatuh ke tangannya, tapi belum lagi ia puas menangis, pikirannya sudah
tersadar kembali akan wajah Otsu yang dingin, tak peka terhadap sinar pagi, di samping lututnya.

"Maafkan aku, Otsu. Sungguh aku kejam! Aku mohon, maafkanlah aku!" Dengan wajah
mengungkapkan sesal yang sangat, ia angkat tubuh Otsu disertai pelukan lembut. "Mengerikan...
mengerikan. Buta oleh cinta ibu. Gara-gara bakti kepada anak, aku menjadi setan buat
perempuan lain. Kau punya ibu juga. Kalau ibu itu mengenalku, pasti dia memandangku
sebagai... iblis yang kotor...! Aku yakin diriku benar, tapi buat orang lain aku monster yang jahat."

Kata-kata itu seperti memenuhi gua, lalu meloncat kembali ke telinganya. Tak ada orang di situ,
tak ada mata mengawasi, tak ada telinga mendengar. Gelap malam telah berubah menjadi sinar
kebijaksanaan sang Budha.

"Kau sungguh baik selama ini, Otsu. Bertahun-tahun lamanya kau disiksa orang tua bodoh yang
mengerikan ini, tapi tak pernah kau mengembalikan dendamku. Kau datang mencoba
menyelamatkan diriku, menantang segalanya... Aku menyadarinya sekarang. Semula aku salah
mengerti. Semua kebaikan hatimu kupandang jahat. Kebaikanmu kubalas dengan dendam.
Pikiranku kacau, menyeleweng. Oh, maafkan aku, Otsu."
Ia tekankan wajahnya yang basah ke wajah Otsu. "Alangkah baiknya kalau anakku semanis dan
sebaik dirimu... Buka matamu, dan lihat aku memohon maaf padamu. Buka mulutmu, caci diriku.
Aku pantas diperlakukan begitu. Otsu... maafkan aku."

Sementara ia memandang wajah itu sambil mencucurkan air mata kesedihan, di depan matanya
melintas gambaran dirinya sendiri. Gambaran itulah yang kelihatan pada pertemuan-
pertemuannya yang lalu dengan Otsu. Kesadaran akan betapa kejam dirinya kini mencekam
hatinya. Berkalikali ia berbisik, "Maafkan aku... maafkan aku!" Bahkan terpikir olehnya, apakah
tidak lebih baik ia duduk di sana, sampai ia mati bersama gadis itu.

"Tidak!" serunya mantap. "Tak perlu lagi menangis dan merintih! Barangkali... barangkali dia tidak
mati. Kalau kucoba, barangkali aku dapat berusaha supaya dia kembali hidup. Dia masih muda.
Hidupnya masih terbentang di depannya."

Pelan-pelan ia letakkan kembali Otsu ke tanah, lalu ia merangkak keluar dari gua, ke tengah
sinar matahari yang menyilaukan. Ia tutup matanya, dan ia corongkan kedua tangannya ke mulut.
"Di mana orang-orang? Hei, orang-orang kampung! Sini! Tolong!" Ia berlari ke depan beberapa
langkah, sambil terus berseru-seru.

Terlihat gerakan di tengah semak kriptomeria, kemudian terdengar teriakan, "Dia di sini! Ternyata
selamat!"

Sekitar sepuluh orang anggota klan Hon'iden keluar dari semak. Mereka mendengar berita dari
orang yang masih selamat dan berlumuran darah akibat perkelahian dengan Jotaro malam
sebelumnya, lalu mereka menyusun kelompok pencari yang segera berangkat, walaupun hujan
turun membutakan mata. Mereka masih mengenakan mantel hujan, dan tampak basah kuyup.

"Jadi, ibu selamat!" seru orang pertama yang sampai pada Osugi, dengan gembira. Mereka
mengerumuni Osugi, wajah mereka mengungkapkan rasa lega luar biasa.

"Jangan kuatirkan diriku," perintah Osugi. "Cepat lihat sana, apa gadis dalam gua itu masih bisa
ditolong. Sudah berjam-jam tak sadar. Kalau tidak kita berikan obat sekarang juga... " Suaranya
pekat.

Seperti hampir kesurupan, ia menunjuk ke arah gua. Barangkali itu air mata kesedihan yang
pertama dicurahkannya sesudah kematian Paman Gon.

104. Pasang-Surut Kehidupan

MUSIM gugur telah lewat. Juga musim dingin.

Pagi-pagi, pada suatu hari di bulan keempat tahun 1612, para penumpang menyiapkan diri di
atas dek kapal biasa yang berlayar dari Sakai di Provinsi Izumi ke Shimonoseki di Nagato.

Sesudah mendapat pemberitahuan bahwa kapal siap berangkat, Musashi bangkit dari bangku
toko Kobayashi Tarozaemon, dan membungkuk kepada orang-orang yang datang melepas
kepergiannya.
"Pertahankan semangat," dorong mereka, sambil ikut bersamanya menuju dermaga.

Wajah Hon'ami Koetsu terdapat di antara orang-orang yang hadir. Teman karibnya, Haiya Shoyu,
tidak bisa datang karena sakit, tapi ia diwakili anaknya, Shoeki. Bersama Shoeki ikut juga
istrinya, seorang wanita yang kecantikannya menyilaukan, hingga ke mana saja ia pergi, kepala
orang menoleh.

"Itu Yoshino, kan?" seorang laki-laki berbisik sambil menarik lengan baju temannya.

"Dari Yanagimachi?"

"Umm. Yoshino Dayu dari Ogiya."

Shoeki memperkenalkan wanita itu pada Musashi, tanpa menyebutkan namanya. Wajahnya
tentu saja tak dikenal Musashi, karena ia adalah Yoshino Dayu yang kedua. Tak seorang pun
tahu apa yang terjadi dengan Yoshino yang pertama, di mana tinggalnya sekarang, dan apakah
sudah menikah atau masih sendiri. Orang banyak sudah lama tak lagi membicarakan
kecantikannya yang luar biasa. Bunga berkembang, dan kemudian gugur. Dan di dunia lokalisasi
yang serba tak tetap itu, waktu berlalu dengan cepat.

Yoshino Dayu. Nama itu pasti membangkitkan kenangan tentang malammalam bersaiju, tentang
api kayu peoni, dan tentang kecapi yang rusak. "Sudah delapan tahun berlalu, sejak kita pertama
bertemu," kata Koetsu.

"Ya, delapan tahun," sahut Musashi, yang juga heran, ke mana saja perginya tahun-tahun itu. Ia
merasa acara naik kapal hari ini menandai akhir satu tahap hidup baginya.

Matahachi termasuk salah seorang yang ikut mengantar, demikian juga beberapa samurai dari
tempat kediaman Hosokawa di Kyoto. Samurai-samurai lain menyampaikan ucapan selamat dari
Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro, dan ada pula satu rombongan, dua sampai tiga puluh
pemain pedang, yang karena pergaulan dengan Musashi di Kyoto, menganggap diri mereka
pengikut Musashi, sekalipun Musashi memprotes.

Musashi akan pergi ke Kokura di Provinsi Buzen. Di sana ia akan berhadapan dengan Sasaki
Kojiro, untuk menguji keterampilan dan kematangannya. Atas usaha Nagaoka Sado, konfrontasi
yang menentukan dan lama prosesnya itu akhirnya akan berlangsung juga. Perundingan-
perundingannya panjang dan sukar, memerlukan pengiriman banyak kurir dan surat. Bahkan
sesudah Sado pada musim gugur lalu memastikan bahwa Musashi ada di rumah Hon'ami
Koetsu, penyempurnaan persiapan masih membutuhkan waktu setengah tahun lagi.

Walaupun Musashi tahu pertarungan akan terjadi, tak pernah terbayang olehnya ia akan
berangkat sebagai bintang yang dipuja-puja sejumlah besar pengikut dan pengagum. Besarnya
jumlah pengantarnya itu membuatnya malu, juga tidak memungkinkan ia berbicara dengan
orang-orang tertentu, seperti yang diinginkannya.

Yang paling memukau dari acara pemberangkatan yang hebat ini adalah absurditasnya. Tak ada
keinginannya untuk menjadi idola siapa pun. Namun mereka datang untuk mengungkapkan niat
baik. Karena itu, tak kuasa ia menghentikan mereka.

Ia merasa sebagian dari mereka dapat memahami dirinya. Ia berterima kasih atas ucapan
selamat mereka. Kekaguman mereka menyuntikkan ke dalam dirinya rasa takzim. Bersamaan
dengan itu, ia tersapu juga oleh gelombang sentimen dangkal yang namanya popularitas.
Reaksinya terhadap hal ini hampir-hampir berupa rasa takut, kalau-kalau pujian berlebihan itu
akan membuatnya lupa daratan. Bagaimanapun, ia hanya manusia biasa.
Hal lain yang mengesalkannya adalah proses pendahuluan yang berteletele itu. Dapat dikatakan
bahwa baik dirinya maupun Kojiro sudah tahu ke mana arah hubungan mereka, tapi sementara
itu dapat juga dikatakan bahwa orang banyak telah memaksa mereka berdua untuk saling
berhadapan, dan menetapkan bahwa mereka harus mengadakan penentuan akhir, siapa yang
lebih baik.

Dimulai dengan omongan orang, "Saya dengar mereka merundingkan itu." Kemudian, kata
mereka, "Ya, mereka sudah pasti akan berhadapan." Dan kemudian lagi, "Kapan pertarungan
itu?"

Akhirnya, hari dan jamnya sekalian disebarkan orang, sebelum mereka sendiri secara resmi
memutuskannya.

Musashi tak suka menjadi pujaan khalayak. Dilihat dari perbuatan besarnya, memang tak dapat
dihindari lagi, ia akan dijadikan pahlawan. Tapi ia sendiri tidak mengejar hal itu. Yang
diinginkannya adalah kesempatan lebih banyak untuk bersemadi. Ia perlu mengembangkan
keselarasan, untuk menjamin agar gagasan-gagasannya tidak melampaui kemampuannya
bertindak. Melalui pengalamannya yang baru dengan Gudo, ia telah maju selangkah lagi di jalan
menuju pencerahan. Dan ia mulai merasakan sukarnya mengikuti Jalan itu dengan lebih peka
Jalan panjang dalam menempuh hidup.

"Namun...," pikirnya. Di mana ia akan berada, kalau semua itu bukan demi kebaikan orang-orang
Zang mendukungnya? Apakah ia akan tetap hidup? Apakah ia akan mengenakan pakaian?
Kimono berlengan pendek hitam yang dikenakannya saat itu khusus dijahit untuknya oleh ibu
Koetsu. Sandal barunya, topi anyaman baru yang dipegangnya, dan semua yang dibawanya
sekarang, adalah pemberian orang yang menaruh penghargaan kepadanya. Nasi yang ia makan
ditanam orang lain. Ia hidup dari karunia kerja orang lain. Bagaimana ia dapat membalas segala
yang telah mereka perbuat baginya?

Apabila pikirannya menjurus ke arah ini, kebencian terhadap tuntutan para pendukungnya jadi
berkurang. Namun demikian, rasa kuatir akan mengecewakan mereka akan terus terasa.

Tibalah waktunya untuk berlayar. Terdengar doa-doa untuk keselamatan perjalanan, kata-kata
terakhir sebagai ucapan selamat jalan. Sementara itu, waktu yang tak kelihatan mulai
memisahkan lelaki dan perempuan yang ada di atas dermaga dengan pahlawan mereka yang
berangkat.

Tali penambat sudah dilontarkan, kapal bergerak ke taut terbuka, dan layar besar mengembang
seperti sayap, berlatar belakang langit biru.

Seorang lelaki berlari ke ujung dermaga, berhenti, dan mengentakkan kaki dengan jengkel.
"Terlambat!" geramnya. "Mestinya tadi aku tidak tidur siang.

Koetsu mendekatinya, bertanya, "Apa Anda bukan Muso Gonnosuke?"

"Ya," jawab yang ditanya sambil mengempit tongkatnya. "Saya pernah ketemu Anda di Kuil
Kongoji di Kawachi."

"Ya, tentu. Anda Hon'ami Koetsu."

"Saya senang sekali melihat Anda sehat walafiat. Dari apa yang saya dengar, sebetulnya saya
tak percaya Anda masih hidup."

"Dengar dari siapa itu?"

"Musashi."
"Musashi?"

"Ya, dia tinggal di rumah saya sampai kemarin. Dia menerima beberapa surat dari Kokura. Dalam
salah satu surat, Nagaoka Sado mengatakan Anda tertawan di Gunung Kudo. Menurut
dugaannya, Anda tentu terluka atau terbunuh."

"Semua itu salah."

"Kami mendengar juga bahwa Iori masih hidup di rumah Sado."

"Oh, jadi dia selamat!" seru Gonnosuke, dan perasaan lega membanjiri wajahnya.

"Ya. Mari kita duduk bercakap-cakap."

Ia ajak ahli tongkat yang tegap itu ke sebuah warung. Sambil minum teh, Gonnosuke
menyampaikan ceritanya. Ia beruntung, karena sesudah melihat sendiri, Sanada Yukimura
berkesimpulan bahwa Gonnosuke bukan mata-mata. Ia pun dilepaskan, dan kedua orang itu jadi
bersahabat. Yukimura tidak hanya minta maaf atas kekeliruan para anak buahnya, tapi juga
mengirimkan sejumlah anak buahnya untuk mencari Iori.

Karena mereka tak berhasil menemukan tubuh anak itu, Gonnosuke menyimpulkan anak itu
masih hidup. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk melakukan pencarian di provinsi-
provinsi berdekatan. Ketika mendengar bahwa Musashi berada di Kyoto dan pertarungan antara
dia dan Kojiro akan berlangsung, Gonnosuke melipatgandakan usahanya. Kemudian,
sekembalinya ke Gunung Kudo kemarin, ia mendengar dari Yukimura bahwa Musashi akan
berlayar menuju Kokura hari ini. Ia takut bertemu dengan Musashi tanpa Iori di sampingnya, atau
tanpa berita apa pun tentang anak itu. Tapi, karena ia tak tahu apakah akan pernah melihat
gurunya lagi dalam keadaan hidup, ia memberanikan diri datang. Ia minta maaf pada Koetsu,
seakan-akan Koetsu itu korban keteledorannya.

"Tak usah kuatir," kata Koetsu. "Dalam beberapa hari akan ada kapal lain."

"Saya betul-betul ingin melakukan perjalanan dengan Musashi." Ia berhenti di situ, kemudian
lanjutnya sungguh-sungguh, "Saya pikir perjalanan ini bisa menjadi titik menentukan dalam hidup
Musashi. Dia hidup sangat disiplin. Kemungkinannya dia tak akan kalah dengan Kojiro. Namun
dalam pertempuran macam itu, siapa tahu? Di sini ada unsur supramanusia yang ikut terlibat.
Semua petarung harus menghadapinya; menang atau kalah, sebagian merupakan soal
keberuntungan."

"Saya pikir Anda tak perlu kuatir. Ketenangan Musashi sungguh sempurna. Dia kelihatan betul-
betul yakin."

"Saya yakin memang demikian, tapi Kojiro punya reputasi tinggi juga. Dan orang bilang, sejak
bertugas pada Yang Dipertuan Tadatoshi, dia berlatih dan tetap menjaga kesiapan dirinya."

"Tapi ini akan menjadi ujian kekuatan antara seorang jenius yang betul-betul angkuh, dengan
seorang biasa yang sudah menggosok bakat-bakatnya sebaik-baiknya, kan?"

"Saya sendiri takkan menyebut Musashi orang biasa."

"Tapi dia memang orang biasa. Itulah yang luar biasa padanya. Dia tak puas dengan hanya
mengandalkan diri pada pemberian alam. Karena tahu dirinya orang biasa, maka dia selalu
mencoba meningkatkan diri. Tak seorang pun menghargai usaha mati-matian yang harus dia
lakukan. Tapi sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun sudah memberikan hasil
demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa dia memiliki 'bakat pemberian dewa'. Begitulah cara
orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri."

"Terima kasih atas ucapan itu," kata Gonnosuke. Ia merasa kata-kata Koetsu ini mungkin
ditujukan pada dirinya juga, selain Musashi. Sambil memandang tampang orang tua yang lebar
dan menyenangkan itu, pikirnya, "Dia pun begitu."

Koetsu waktu itu tampak sebagaimana biasanya, sebagai orang yang suka bersenang-senang
dan dengan sengaja memisahkan dirinya dari bagian dunia lain. Pada waktu itu matanya tidak
memancarkan cahaya yang biasa diperlihatkannya apabila ia sedang memusatkan diri pada cipta
seni. Kim mata itu seperti lautan yang lembut, tenang, dan tak terusik, di bawah langit yang jernih
terang.

Seorang pemuda menjenguk ke pintu dan berkata pada Koetsu, "Kita kembali sekarang?"

"Ah, Matahachi!" jawab Koetsu bersahabat. Sambil menoleh pada Gonnosuke, katanya,
"Rasanya saya terpaksa meninggalkan Anda. Teman-teman saya rupanya menanti."

"Apa Anda kembali lewat Osaka?"

"Ya. Kalau kami bisa sampai di sana pada waktunya, saya ingin naik kapal malam ke Kyoto."

"Oh, kalau begitu saya berjalan bersama Anda saja sampai tempat itu." Demikianlah Gonnosuke
memutuskan melakukan perjalanan darat, bukannya menanti kapal berikutnya.

Ketiga orang itu berjalan berdampingan. Pembicaraan mereka jarang menyimpang dari Musashi,
tentang statusnya sekarang, dan perbuatan-perbuatan besarnya di masa lalu. Pada suatu saat,
Matahachi mengungkapkan keprihatinannya, katanya, "Saya berharap Musashi menang, tapi
Kojiro itu cerdik. Tekniknya bagus sekali." Namun dalam suaranya tidak terasa kegairahan.
Kenangannya tentang pertemuannya dengan Kojiro begitu gamblang!

Senja hari mereka sampai di jalan Osaka yang ramai. Secara bersamaan, Koetsu dan
Gonnosuke tiba-tiba sadar bahwa Matahachi tidak lagi bersama mereka.

"Ke mana perginya dia?" tanya Koetsu.

Ketika mereka menempuh kembali jalan itu, mereka lihat Matahachi sedang berdiri di ujung
jembatan, dengan asyik melihat ke arah tepi sungai. Di sana ibu-ibu dari perkampungan gubuk-
gubuk reyot yang atapnya hanva selembar itu sedang mencuci alat-alat masak, gabah, dan
sayuran.

"Aneh pancaran wajahnya," kata Gonnosuke. Ia dan Koetsu berdiri di tempat yang agak jauh,
dan memperhatikan.

"Dia!" teriak Matahachi. "Akemi!"

Detik pertama Matahachi mengenalinya, ia dikagetkan oleh nasib yang tak terduga-duga. Tapi,
beberapa saat kemudian, nasib malah mulai tampak sebaliknya. Takdir tidak memperdayakan
dirinya—melainkan sekadar menghadapkannya pada masa lalunya. Akemi telah menjadi istrinya
tanpa menikah. Karma mereka berdua memang terjalin. Selama mendiami bumi yang sama,
mereka ditakdirkan untuk bersatu kembali, cepat atau lambat.

Tadi ia sukar mengenali Akemi. Pesona dan kegenitannya dua tahun lalu sudah hilang.
Wajahnya kurus luar biasa, rambutnya tidak dicuci, dan hanya disanggul asal saja di bawah
tengkuk. Ia mengenakan kimono katun berlengan bentuk pipa, yang panjangnya sedikit di bawah
lutut, pakaian kerja istri kelas rendahan yang tinggal di kota. Beda sekali dengan sutra warna-
warni yang dikenakannya ketika menjadi pelacur.
Ia berjongkok dalam posisi yang biasa dilakukan para penjaja, dan ia memegang keranjang yang
tampaknya berat. Di dalam keranjang itu ia menjual remis besar, tiram laut, dan lumut laut.
Dagangannya masih banyak, menunjukkan bahwa jualannya tidak begitu lancar.

Di punggungnya, ia menggendong bayi berumur sekitar setahun dengan selembar kain kotor.

Yang paling membuat jantung Matahachi berdentam lebih keras adalah anak itu. Ia hitung jumlah
bulan, sambil menekankan kedua telapak tangannya ke pipi. Kalau anak itu umurnya jalan dua
tahun, pasti terjadinya ketika mereka berdua tinggal di Edo... dan Akemi sedang mengandung
ketika mereka dicambuk di depan umum dulu.

Sinar matahari petang yang terpantul dari sungai menari-nari di wajah Matahachi, hingga wajah
itu seperti bermandikan air mata. Ia sudah tuli terhadap kesibukan lalu lintas di jalan. Akemi
berjalan pelan sepanjang sungai. Matahachi menghampirinya sambil melambai-lambaikan
tangan dan berteriak-teriak. Koetsu dan Gonnosuke mengikuti.

"Matahachi, mau ke mana?"

Matahachi sudah lupa sama sekali akan dua orang itu. la berhenti, dan menanti mereka
menyusulnya. "Maaf," gumamnya. "Terus terang..." Terus terang? Bagaimana mungkin ia
menjelaskan pada mereka, apa yang akan dilakukannya sementara dirinya pun tak dapat
menjelaskannya pada diri sendiri? Pada waktu itu ia tidak dapat memilah-milah perasaannya,
namun akhirnya terlontar dari mulutnya, "Saya sudah memutuskan untuk tidak menjadi pendeta...
dan akan kembali menjalani hidup biasa. Saya belum ditakdirkan untuk itu."

"Kembali kepada hidup biasa?" seru Koetsu. "Begitu tiba-tiba? Hmm. Kau tampak aneh,
Matahachi."

"Saya tidak bisa menjelaskan sekarang. Kalau saya jelaskan, barangkali akan kedengaran gila.
Baru saja saya lihat perempuan yang pernah hidup bersama saya. Dan dia menggendong bayi.
Saya pikir, itu pasti anak saya."

"Kau yakin itu?"

"Ya, yah...."

"Nah, tenangkan hatimu, dan pikirkan. Apa itu betul-betul anakmu?"

"Ya! Saya sudah jadi ayah... Maaf. Saya tidak tahu.... Saya malu. Tak dapat saya membiarkan
dia menempuh hidup semacam itu—menjual dagangan dengan keranjang, macam gelandangan
biasa. Saya mesti kerja dan menolong anak saya."

Koetsu dan Gonnosuke saling pandang dengan cemas. Walau tidak yakin benar apakah
Matahachi masih lurus otaknya, kata Koetsu, "Kuharap kau sadar, apa yang sedang kauperbuat."

Matahachi melepaskan jubah pendeta yang menutup kimononya yang biasa, dan
menyerahkannya kepada Koetsu, bersama tasbihnya. "Saya minta maaf karena menyusahkan
Bapak, tapi apa boleh saya minta tolong menyampaikan ini kepada Gudo di Kuil Myoshinji? Saya
akan berterima kasih kalau Bapak sudi menyampaikan kepadanya bahwa saya akan tinggal di
Osaka ini, mencari pekerjaan dan menjadi ayah yang baik."

"Kau betul-betul mau melakukan ini? Meninggalkan kependetaan begitu saj a?"

"Ya. Biar bagaimana, Guru mengatakan pada saya, saya dapat kembali pada kehidupan biasa,
kapan saja saya mau."
"Hmm."

"Beliau mengatakan kita tidak mesti berada dalam kuil untuk mempraktekkan ajaran keagamaan.
Itu lebih sukar, tapi beliau mengatakan, yang lebih terpuji adalah mampu mengendalikan diri dan
menjaga iman di tengah kebohongan, kemesuman, dan pertentangan-segala yang buruk di dunia
luar itu-daripada di lingkungan kuil yang bersih dan murni."

"Saya yakin dia benar."

"Sampai sekarang ini, sudah setahun saya tinggal bersama beliau, tapi beliau belum memberikan
nama pendeta pada saya. Beliau selalu menyebut saya Matahachi. Barangkali ada sesuatu yang
bakal terjadi di masa depan, yang tidak saya mengerti. Waktu itulah saya akan pergi
menemuinya. Boleh saya minta tolong menyampaikan hal itu kepada beliau?"

Dan dengan kata-kata itu, Matahachi pergi.

105. Kapal Perang

SEGUMPAL awan merah yang tampak seperti pita besar menggantung rendah di atas kaki
langit. Di dekat dasar laut yang seperti kaca tak berombak itu ada seekor ikan gurita.

Sekitar tengah hari, sebuah perahu kecil menambatkan diri di muara Sungai Shikama, jauh dari
pandangan orang. Kini, ketika senja melarut, asap tipis naik dari anglo tanah liar di atas
geladaknya. Seorang perempuan tua mematah-matahkan kayu dan mengumpankannya ke api.

"Kau kedinginan?" tanyanya.

"Tidak," jawab gadis yang terbaring di dasar perahu, di balik sejenis tikar merah. Ia menggeleng
lemah, kemudian mengangkat kepalanya dan memandang perempuan itu. "Jangan repot-repot
buat saya, Nek. Nenek sendiri mesti hati-hati. Suara Nenek kedengaran parau."

Osugi meletakkan kuali nasi di atas anglo, untuk membuat bubur. "Tak apa," katanya. "Tapi kau
sakit. Kau mesti makan baik-baik, supaya merasa sehat waktu kapal datang."

Otsu menahan air matanya dan memandang ke tengah laut. Di sana ada beberapa perahu yang
sedang menangkap gurita, dan beberapa kapal muatan. Kapal dari Sakai tidak kelihatan.

"Sudah sore sekarang," kata Osugi. "Orang bilang, kapal datang sebelum petang." Dalam
suaranya terasa keluhan.

Berita keberangkatan kapal Musashi itu tersebar cepat. Ketika berita itu terdengar oleh Jotaro di
Himeji, ia mengirim pembawa surat untuk menyampaikannya kepada Osugi. Pada gilirannya,
Osugi bergegas pergi ke Shippoji, di mana Otsu terbaring sakit akibat pukulan-pukulan
perempuan tua itu.

Sejak malam itu, begitu seringnya Osugi memohon maaf sambil menangis, hingga Otsu yang
mendengarnya merasa terbeban. Otsu tidak menganggap Osugi sebagai penyebab sakitnya.
Menurutnya, penyakitnya ini penyakit lama yang kambuh lagi, yang dulu menyebabkan ia
terkurung beberapa bulan lamanya di rumah Yang Dipertuan Karasumaru di Kyoto. Pagi hari dan
malam hari ia banyak batuk, disertai demam sedikit. Berat badannya turun, membuat wajahnya
tampak lebih cantik daripada biasanya, tapi kecantikan itu kecantikan yang sangat lembut, yang
membuat sedih orang-orang yang bertemu dan berbicara dengannya.

Namun matanya masih bersinar. Satu hal, ia merasa senang dengan perubahan yang terjadi
pada Osugi. Janda Hon'iden itu akhirnya mengerti bahwa penilaiannya terhadap Otsu dan
Musashi tidak benar, dan kini ia seperti orang yang dilahirkan kembali. Sementara itu, Otsu
mendapat harapan baru, karena yakin tak lama lagi ia akan bertemu kembali dengan Musashi.

Osugi mengatakan, "Untuk menebus semua kesengsaraan yang telah kutimbulkan bagimu, aku
akan menyembah dan memohon pada Musashi untuk meluruskan semuanya. Aku akan
membungkuk. Aku akan minta maaf. Aku akan membujuknya." Ia sampaikan pada seluruh
keluarga dan seluruh kampung bahwa pertunangan Matahachi dengan Otsu dibatalkan, lalu ia
hancurkan dokumen yang mencatat janji kawin itu. Semenjak itu, ia merasa berkewajiban
menyampaikan pada semua orang, bahwa satu-satunya orang yang akan menjadi suami yang
baik dan cocok buat Otsu adalah Musashi.

Karena keadaan di kampung sudah berubah, orang yang paling dikenal Otsu di Miyamoto adalah
Osugi. Osugi mewajibkan dirinya melayani gadis itu sampai sehat kembali, dan mendatangi Kuil
Shippoji pagi dan petang. Pertanyaan keprihatinan yang selalu diajukannya adalah, "Kau sudah
makan? Kau sudah makan obat? Bagaimana perasaanmu?"

Suatu hari, ia berkata sambil mencucurkan air mata, "Kalau malam itu kau tidak hidup kembali,
aku barangkali mau mati di sana juga."

Sebelumnya perempuan tua itu tak pernah ragu membengkokkan atau menyampaikan
kebohongan besar. Salah satu yang terakhir adalah tentang Ogin di Sayo. Sebetulnya tak
seorang pun pernah melihat atau mendengar tentang Ogin bertahun-tahun lamanya. Satu-
satunya yang diketahui orang adalah bahwa ia sudah kawin dan pindah ke provinsi lain.

Karena itu, semula Otsu merasa segala pernyataan Osugi itu tak dapat dipercaya. Kendati pun
sikap yang ditunjukkannya itu tulus, ada kemungkinan sesudah beberapa waktu penyesalan itu
akan pudar. Tapi hari berganti hari dan minggu berganti minggu, ternyata ia semakin baik dan
semakin banyak mencurahkan perhatian pada Otsu

"Tak pernah aku bermimpi, bahwa di dalam hatinya dia orang yang demikian baik," pikir Otsu
akhirnya. Dan karena sikap hangat dan kebaikan yang baru ditemukan Osugi itu diteruskan pada
semua orang di sekitarnya, perasaan itu secara luas dirasakan juga oleh keluarga dan orang
kampung, sekalipun banyak di antara mereka menyatakan keheranan secara kurang halus,
dengan kata-kata seperti, "Menurutmu apa yang sudah masuk dalam kepala perempuan tua jelek
itu?"

Osugi sendiri kagum, betapa baik semua orang terhadapnya sekarang. Biasanya, bahkan orang-
orang yang terdekat dengannya pun cenderung mengerut apabila melihat dirinya. Kini mereka
tersenyum dan bicara hangat. Demikianlah, akhirnya pada umur setua ini, untuk pertama kalinya
ia tahu apa arti dicintai dan dihormati orang lain.

Seorang kenalan bertanya terus terang, "Apa yang terjadi denganmu? Wajahmu tampak lebih
menarik, tiap kali aku melihatmu."

"Mungkin demikian," pikir Osugi pada hari itu juga, ketika ia melihat dirinya di dalam cermin.
Masa lalu telah meninggalkan jejaknya. Ketika ia meninggalkan kampung dulu, rambutnya masih
campuran hitam dan putih. Sekarang semuanya sudah putih. Tapi la tak peduli, karena ia
percaya bahwa setidaknya, di dalam hatinya sekarang ia sudah bebas dari warna hitam.

Kapal yang dinaiki Musashi seperti biasa berhenti untuk bermalam di Shikama, untuk
menurunkan dan menaikkan muatan.

Kemarin, sesudah menyampaikan pada Otsu tentang hal ini, Osugi bertanya, "Apa yang akan
kaulakukan?"

"Tentu saya akan ke sana."

"Kalau begitu, aku juga."

Otsu bangkit dari tempat tidurnya, dan sejam kemudian mereka sudah dalam perjalanan. Sampai
larut petang, mereka berjalan ke Himeji. Selama itu Osugi terus mengurusi Otsu, seakan-akan ia
anak kecil.

Malam itu, di rumah Aoki Tanzaemon disusun rencana untuk menghidangkan makan malam di
Benteng Himeji, sebagai tanda ucapan selamat bagi Musashi. Diperkirakan, karena pengalaman
masa lalunya di benteng itu, ia akan menganggap suatu kehormatan dipestakan dengan cara itu.
Bahkan Jotaro pun berpendapat demikian.

Diputuskan juga sesudah berunding dengan para samurai seangkatan Tanzaemon, bahwa Otsu
tak boleh terlihat terang-terangan di depan umum bersama Musashi. Tanzaemon menyampaikan
pada Otsu dan Osugi inti persoalan ini, dan menyarankan agar mereka menggunakan perahu
saja. Dengan demikian, Otsu dapat hadir tanpa menjadi korban gosip yang memalukan.

Laut menggelap, dan warna langit memudar. Bintang-bintang mulai berkelip-kelip. Dekat rumah
tukang celup tempat Otsu dulu tinggal, sejak selewat sore tadi sudah menanti sekitar dua puluh
samurai Himeji, untuk menyambut Musashi.

"Barangkali bukan ini harinya," ujar seorang dari mereka.

"Tidak, jangan kuatir," kata yang lain. "Saya sudah kirim satu orang

kepada agen Kobayashi, untuk memastikan."

"Hei, apa bukan itu?"

"Kelihatannya begitu, jenis layarnya benar."

Mereka ribut bergerak lebih dekat ke tepi air.

Jotaro meninggalkan mereka, dan berlari ke perahu kecil di muara. "Otsu! Nek! Kapal sudah
kelihatan-kapal Musashi!" teriaknya pada kedua perempuan yang bergembira itu.

"Betul kau melihatnya? Di mana?" tanya Otsu. Ia sampai hampir jatuh ke laut, ketika berdiri.

"Hati-hati!" Osugi mengingatkan, sambil mencekalnya dari belakang. Mereka berdiri


berdampingan. Mata mereka mencari-cari dalam kegelapan. Berangsur-angsur sebuah titik kecil
nun jauh di sana berubah menjadi sebuah layar besar, hitam warnanya dalam cahaya bintang,
dan seolah-olah meluncur langsung ke dalam mata mereka.

"Itu dia!" teriak Jotaro.

"Cepat ambil dayung buritan" kata Otsu. "Bawa kami ke kapal itu."
"Tak perlu buru-buru. Seorang samurai dari pantai akan berdayung ke tengah, mengambil
Musashi."

"Kalau begitu, kita mesti pergi sekarang! Kalau nanti dia bersama orangorang itu, tak ada
kesempatan Otsu bicara dengannya."

"Tak bisa kita berbuat begitu. Mereka semua akan melihat Otsu."

"Kalian ini terlalu banyak kuatir dengan pendapat para samurai. Itu sebabnya kita tersingkir di
perahu kecil ini. Kalau kalian mau tahu, mestinya kita menanti di rumah tukang celup itu."

"Tidak. Nenek keliru. Nenek tidak tahu bagaimana omongan orang. Tenang saja. Bapak saya
dan saya akan mencari jalan membawa dia kemari." Di situ la berhenti untuk berpikir. "Kalau
nanti dia mendarat, dia akan pergi ke rumah tukang celup untuk istirahat sebentar. Saya akan
menemuinya, dan mengatur supaya dia datang kemari menemui kalian. Kalian tunggu saja di
sini. Sebentar saya kembali." Ia bergegas ke pantai.

"Usahakan istirahat sedikit," kata Osugi.

Otsu dengan patuh membaringkan diri, tapi sukar baginya untuk bernapas.

"Terganggu batuk lagi, ya?" tanya Osugi lembut. Ia berlutut dan menggosok punggung gadis itu.
"Jangan kuatir. Tak lama lagi Musashi sampai di situ.

"Terima kasih, saya baik-baik saja sekarang." Begitu batuknya reda, Otsu membereskan
rambutnya, dan mencoba membuat penampilannya tampak lebih baik.

Tapi ketika waktu terus berlalu dan Musashi tidak juga muncul, Osugi mulai gelisah. Ia tinggalkan
Otsu di perahu, dan pergi ke tepi air.

Begitu Osugi hilang dari pandangan, Otsu menyurukkan kasur dan bantalnya ke balik tikar,
kemudian mengikatkan kembali obi-nya dan merapikan kimononya. Detak jantungnya sama
sekali tak berbeda dengan yang pernah ia alami ketika ia masih berusia tujuh belas atau delapan
belas tahun. Cahaya merah rambu laut yang digantungkan di dekat haluan perahu menembus
hatinya dengan kehangatan. Ia menjulurkan lengannya yang putih halus ke atas bibir perahu, ia
basahi sisirnya, dan ia sisir rambutnya sekali lagi. Kemudian ia kenakan pupur pada pipinya
demikian tipis, sehingga hampir tak terlihat. Pikirnya, samurai pun kadang-kadang masuk kamar
rias dan memulas wajahnya yang pucat dengan sedikit pemerah, kalau tiba-tiba ia dipanggil
menghadap tuannya, di tengah tidur nyenyak.

Yang paling meresahkan dirinya adalah apa yang akan ia katakan nanti kepada Musashi. Ia
kuatir akan susah bicara, seperti dialaminya ketika dulu bertemu Musashi. Ia tak ingin
mengucapkan sesuatu yang akan menyinggung perasaan Musashi, karena itu ia mesti berhati-
hati betul. Musashi sedang dalam perjalanan menghadapi pertarungan. Seluruh negeri
membicarakannya.

Pada saat penting dalam hidupnya ini, Otsu tidak yakin Musashi akan kalah dengan Kojiro.
Namun juga belum pasti benar bahwa Musashi akan menang. Hal-hal lain bisa saja terjadi. Kalau
hari ini ia melakukan sesuatu yang keliru, dan kemudian Musashi terbunuh, ia akan
menyesalinya sepanjang hidup. Tak ada lagi yang tersisa baginya kecuali menangis sampai mati,
dan seperti kaisar Cina kuno itu, ia berharap dipersatukan dengan kekasihnya di dunia lain.

Ia harus mengucapkan apa yang mesti diucapkannya, tak peduli apa yang akan dikatakan atau
dilakukan Musashi. la mengerahkan kekuatannya untuk sampai pada kesimpulan ini. Sekarang
pertemuan itu sudah dekat, maka detak nadinya berlomba hebat. Karena demikian banyak yang
terpikir olehnya, maka kata-kata yang ingin diucapkannya juga tidak terbentuk.
Osugi tak punya masalah seperti itu. Ia sedang memilih kata-kata yang akan dipergunakannya
untuk meminta maaf atas salah pengertian dan dendamnya, untuk menghilangkan beban
hatinya, dan untuk mohon pengampunan. Sebagai bukti ketulusan hatinya, ia akan
mengusahakan agar hidup Otsu dipercayakan pada Musashi.

Kegelapan hanya sekali-sekali terusik oleh pantulan air. Keadaan sunyi, sampai akhirnya
terdengar derap lari Jotaro.

"Oh, akhirnya kau datang, ya?" kata Osugi yang waktu itu masih berdiri di tepian. "Di mana
Musashi?"

"Maaf, Nek."

"Maaf? Apa artinya?"

"Coba dengarkan. Akan saya terangkan semuanya."

"Aku tak butuh penjelasan. Musashi datang atau tidak?"

"Tidak datang."

"Tidak datang?" Suara itu kosong penuh kekecewaan.

Dengan sangat kikuk, Jotaro menceritakan apa yang telah terjadi. Seorang samurai telah
berdayung ke kapal, dan mendapat pemberitahuan bahwa kapal tidak berhenti di sana . Tidak
ada penumpang yang hendak turun di Shikama, muatan sudah diangkut sebuah tongkang.
Samurai itu minta bertemu dengan Musashi, dan Musashi datang ke sisi kapal dan bicara
dengannya, tapi ia mengatakan tak ada rencana turun. Ia maupun kapten kapal ingin sampai di
Kokura selekas-lekasnya.

Ketika samurai itu tiba kembali di pantai dengan membawa berita tersebut, kapal sudah menuju
laut lepas.

"Kalian bahkan tak dapat melihatnya lagi," kata Jotaro kesal. "Sudah memutar hutan pinus di
ujung lain pantai ini. Maaf. Tak ada yang mesti disalahkan."

"Kenapa kau tidak pergi dengan perahu bersama-sama samurai itu?"

"Saya tak menduga.... Yah, tapi tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Tak ada gunanya
membicarakan itu."

"Kau benar, tapi ini sungguh sayang! Kita mesti bilang apa pada Otsu nanti? Kau yang mesti
mengatakannya, Jotaro, aku sendiri tak sampai hati. Kau bisa sampaikan padanya apa yang
terjadi... tapi mula-mula kau mesti bikin dia tenang. Kalau tidak, penyakitnya bisa makin parah."

Ternyata tak perlu lagi Jotaro menjelaskan. Otsu, yang duduk di belakang tirai itu, sudah
mendengar segalanya. Pukulan ombak ke lambung perahu agaknya sudah membuatnya pasrah
pada penderitaan.

"Kalau malam ini aku gagal bertemu dengannya," pikirnya, "akan kutemui dia hari lain, di pantai
lain."

Ia merasa dapat memahami, kenapa Musashi memutuskan untuk tidak meninggalkan kapal. Di
seluruh Honshu barat dan Kyushu, Sasaki Kojiro diakui sebagai pemain pedang terbesar.
Menantang keunggulannya berarti Musashi bertekad bulat untuk menang. Pikirannya pasti cuma
tertuju pada soal itu-soal itu saja. "Tapi alangkah dekatnya dia tadi," keluhnya. Dengan air mata
meleleh di pipi, ia tatap layar yang sudah tak kelihatan itu, yang pelan-pelan bergerak berat.
Dengan hati sedih ia bersandar pada sandaran perahu.

Kemudian ia sadar akan kekuatan besar yang berkembang bersama air matanya. Walaupun
dirinya rapuh, di dalam dirinya bersemayam himpunan tenaga supramanusia. Memang ia tidak
menyadarinya, tapi sesungguhnya ia memiliki kemauan gigih yang membuatnya sanggup
bertahan terus menempuh tahun-tahun penuh penyakit dan penderitaan. Darah segar mewarnai
pipinya, memberikan kepadanya hidup baru.

"Nek! Jotaro!"

Mereka berdua menuruni tepi pantai itu pelan-pelan. Tanya Jotaro, "Ada apa, Otsu?"

"Aku sudah dengar pembicaraan kalian."

"Oh?"

"Ya. Tapi aku takkan menangisinya lagi. Aku akan pergi ke Kokura. Akan kulihat sendiri
pertarungan itu ... kita tak dapat begitu saja menganggap Musashi pasti menang. Kalau dia
kalah, aku ingin mengambil abunya dan membawanya pulang."

"Tapi kau sedang sakit."

"Sakit?" Otsu sudah menyingkirkan jauh-jauh pikiran tentang sakit dari kepalanya. Dirinya seolah
sudah dipenuhi vitalitas yang mengatasi kelemahan tubuhnya. "Jangan pikirkan soal itu. Aku
betul-betul tak apa-apa. Yah, barangkali aku masih sedikit sakit, tapi sebelum aku melihat
kesudahan pertarungan itu..."

"Aku sudah bertekad untuk tidak mati." Itulah kata-kata yang hampir keluar dari bibirnya. Ia tak
jadi mengucapkan kata-kata itu, tapi menyibukkan diri membuat persiapan untuk perjalanannya.
Setelah siap, ia keluar sendiri dari perahu, walaupun mesti bergayut kuat pada sandaran.

106. Elang Pemburu dan Perempuan

KETIKA berlangsungnya Pertempuran Sekigahara, Kokura menjadi benteng yang dipimpin oleh
Yang Dipertuan Mori Katsunobu dari Iki. Sejak itu benteng dibangun kembali dan diperbesar, dan
memperoleh tuan yang baru. Menara-menara dan dinding-dindingnya yang putih berkilau
mengungkapkan keperkasaan dan martabat Keluarga Hosokawa yang kini dikepalai Tadatoshi,
pengganti ayahnya, Tadaoki.

Dalam waktu singkat sesudah kedatangan Kojiro, Gaya Ganryu yang dikembangkan atas dasar
yang ia pelajari dari Toda Seigen dan Kanemaki Jisai telah melanda seluruhKyushu. Orang
bahkan datang dari Shikoku untuk belajar di bawah pimpinannya, dengan harapan bahwa
sesudah setahun-dua tahun berlatih, mereka akan mendapat sertifikat dan memperoleh
persetujuan pulang sebagai guru gaya baru itu.

Kojiro memperoleh penghormatan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Tadatoshi yang


kabarnya menyatakan dengan rasa puas, "Saya melihat sendiri, dia pemain pedang yang sangat
baik." Di seluruh penjuru rumah tangga Hosokawa yang luas itu, orang sependapat bahwa Kojiro
adalah orang yang "berwatak menonjol". Apabila berjalan antara rumahnya dan benteng, ia
lakukan itu dengan penuh gaya, diiringi tujuh pemain lembing. Orang banyak pun mendekat dan
menyatakan hormat.

Sebelum ia datang, Ujiie Magoshiro, pelatih Gaya Shinkage, merupakan instruktur pedang utama
bagi klan itu. Bintangnya meredup cepat, bersamaan dengan semakin cemerlangnya bintang
Kojiro. Kojiro bicara tentangnya dengan kata-kata muluk. Kepada Yang Dipertuan Tadatoshi ia
mengatakan, "Bapak tak perlu melepaskan Ujiie. Gayanya memang tidak mencolok, tapi dia
memiliki kematangan tertentu, yang tidak dimiliki orang-orang muda semacam kami." Ia
menyarankan agar dirinya dan Magoshiro memberikan pelajaran di dojo benteng berselang-
seling hari, dan usul ini dilaksanakan.

Suatu ketika Tadatoshi berkata, "Kojiro berkata metode Magoshiro tidak menonjol, tapi matang.
Magoshiro berkata Kojiro seorang jenius, dan dengannya dia tak dapat beradu pedang. Siapa
yang benar? Aku ingin melihat demonstrasinya."

Kedua orang itu setuju untuk saling berhadapan dengan pedang kayu, yang dihadiri Yang
Dipertuan. Pada kesempatan pertama, Kojiro membuang senjatanya. Sambil duduk di kaki
lawannya ia menyatakan, "Saya bukan lawan Bapak. Maafkan kelancangan saya."

"Jangan terlalu merendahkan diri," jawab Magoshiro, "sayalah yang bukan lawan yang pantas."

Para saksi mata terbagi dua apakah Kojiro berbuat demikian atas dasar iba, atau atas dasar
kepentingan sendiri. Tapi, bagaimanapun, dengan sikapnya itu reputasinya menjadi lebih tinggi
lagi.

Sikap Kojiro terhadap Magoshiro tetap toleran, tapi manakala orang menyinggung tentang makin
masyhurnya Musashi di Edo dan Kyoto, ia lekas mengoreksinya.

"Musashi?" katanya meremehkan. "Memang dia cukup pintar mencari nama untuk diri sendiri.
Saya dengar dia bicara tentang Gaya Dua Pedang. Dia memang punya kecakapan alamiah
tertentu. Saya sangsi ada orang di Kyoto atau Osaka yang dapat mengalahkannya." Kojiro
sengaja menampakkan bahwa ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi.

Seorang petarung berpengalaman yang bertamu ke rumah Kojiro pada suatu hari mengatakan,
"Saya belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi orang bilang Miyamoto Musashi itu pemain
pedang terbesar sejak Koizumi dan Tsukahara, tentu saja dengan perkecualian Yagyu
Sekishusai. Setiap orang rupanya berpendapat, kalau dia bukan pemain pedang terbesar,
setidak-tidaknya sudah mencapai taraf ahli."

Kojiro tertawa, wajahnya memerah. "Yah, orang-orang itu buta," katanya dengan tajam. "Saya
kira sebagian orang menganggapnya orang besar atau pemain pedang ahli. Ini menjadi bukti
bagi Anda, betapa merosotnya sudah Seni Perang dalam hal gaya maupun tingkah laku
perorangan. Jadi, pada zaman ini seorang pencari publisitas yang pintar bisa saja menjadi tenar,
setidaknya di hadapan orang-orang awam.

"Tak perlu saya nyatakan bahwa saya punya pandangan berbeda dalam hal ini. Saya melihat
bagaimana Musashi mencoba menjual diri di Kyoto beberapa tahun lalu. Dia memamerkan
kebrutalan dan kepengecutannya dalam pertarungan melawan Perguruan Yoshioka di Ichijoji.
Sifat pengecut bukan kata yang cukup hina untuknya. Memang waktu itu dia kalah dalam jumlah,
tapi apa yang dilakukannya? Dia angkat kaki seribu, begitu melihat kesempatan. Mengingat
masa lalunya dan ambisinya yang luar biasa, saya memandangnya sebagai orang yang diludahi
pun cak pantas.... Ha, ha…..kalau orang yang menghabiskan hidupnya dengan mencoba belajar
Seni Perang adalah seorang ahli, saya kira Musashi memang seorang ahli. Tapi ahli pedang?
Oh, bukan!"

Jelas Kojiro menganggap pujian kepada Musashi sebagai penghinaan terhadap dirinya.
Usahanya untuk mencoba menggiring setiap orang untuk menerima pandangannya itu demikian
hebat, hingga para pengagumnya yang paling setia pun mulai bertanya-tanya. Akhirnya beredar
cerita bahwa antara Musashi dan Kojiro memang sudah lama berlangsung permusuhan. Dan tak
lama kemudian, desas-desus tentang pertarungan pun menyebar.

Atas perintah Yang Dipertuan Tadatoshi, Kojiro akhirnya mengeluarkan tantangan. Beberapa
bulan kemudian, seluruh perdikan Hosokawa disibukkan oleh spekulasi tentang kapan
perkelahian akan diadakan dan bagaimana kira-kira hasilnya.

Iwama Kakubei yang kini sudah lanjut usia, datang mengunjungi Kojiro pagi dan petang, kapan
saja ia dapat menemukan alasan sekecil apa pun. Pada suatu sore di bulan keempat, ketika
bunga sakura bermahkota ganda warna merah muda sudah gugur, Kakubei berjalan melintasi
halaman depan Kojiro, lewat bunga-bunga azalea merah cemerlang yang berkembang dalam
bayangan batu-batu hias. Ia dipersilakan ke kamar dalam, yang hanya diterangi cahaya redup
matahari petang.

"Ah, Bapak Guru Iwama, saya senang berjumpa dengan Bapak," kata Kojiro yang waktu itu
berdiri agak di luar, memberi makan elang pemburu yang bertengger di atas tinjunya.

"Aku punya berita buatmu," kata Kakubei yang masih berdiri. "Dewan klan sudah membicarakan
tempat pertarungan hari ini, dihadiri oleh Yang Dipertuan, dan sudah mencapai keputusan."

"Kami persilakan duduk," kata seorang abdi dari kamar sebelah.

Dengan gumam terima kasih, Kakubei duduk, dan melanjutkan, "Sejumlah tempat sudah
disarankan, di antaranya Kikunonagahama dan tepi Sungai Murasaki, tapi semuanya ditolak,
karena tempat-tempat itu terlalu kecil atau terlalu mudah dicapai orang banyak. Memang kita
dapat membuat pagar bambu, tapi itu pun takkan mencegah tepi sungai itu dikerumuni orang-
orang yang mencari hiburan menggetarkan."

"Saya paham," jawab Kojiro. Ia masih memperhatikan mata dan paruh elang pemburu itu.

Kakubei semula berharap beritanya akan diterima dengan napas tertahan, dan kini ia kecewa.
Seorang tamu biasanya tidak melakukan hal ini, tapi Kakubei melakukannya, katanya, "Mari
masuk. Ini bukan soal yang bisa dibicarakan sambil berdiri di sini."

"Sebentar," kata Kojiro sambil lalu. "Mau saya selesaikan dulu memberi makan burung ini."

"Apa ini elang yang diberikan Yang Dipertuan Tadatoshi sesudah kalian pergi berburu bersama-
sama musim gugur lalu?"

"Ya. Namanya Amayumi. Makin saya terbiasa, makin saya suka padanya." Kojiro membuang
sisa makanan, dan sambil memutar tali berumbai merah yang dikenakan pada leher burung itu,
ia berkata pada pembantu muda di belakangnya, "Ini, Tatsunosuke... kembalikan ke
sangkarnya."

Burung pun beralih tempat dari kepalan Kojiro ke kepalan si pembantu, dan Tatsunosuke mulai
menyeberangi halaman luas. Di sebelah bukit kecil buatan manusia itu terdapat rumpun pinus. Di
sisi rumpun dibatasi pagar. Pekarangan itu terletak sepanjang Sungai Itatsu. Banyak pengikut
Hosokawa lain tinggal di sekitar tempat itu.

"Maaf, Bapak harus menunggu," kata Kojiro.

"Sudahlah! Aku ini kan bukan orang luar? Kalau aku datang kemari, itu hampir seperti datang ke
rumah anakku sendiri."

Seorang pelayan berumur sekitar dua puluh tahun masuk, dan dengan anggun menuangkan teh.
Sambil melontarkan pandang kepada tamu, ia mempersilakannya minum.

Kakubei menggeleng dengan nada kagum. "Senang sekali melihatmu lagi, Omitsu. Kau masih
tetap cantik."

Omitsu memerah sampai ke bagian leher kimononya. "Dan Bapak selalu membuat saya
gembira," jawabnya sebelum menyelinap cepat keluar ruangan.

Kata Kakubei, "Kaubilang, makin terbiasa dengan elang itu, makin kau suka kepadanya.
Bagaimana dengan Omitsu? Apa tidak lebih baik kau didampingi dia, daripada burung pemburu?
Sudah lama aku ingin bertanya tentang niatmu terhadap gadis itu."

"Apa diam-diam dia mengunjungi rumah Bapak?"

"Kuakui, dia memang datang untuk berbicara denganku."

"Perempuan bodoh! Dia sama sekali tidak bilang soal itu pada saya." Dan Kojiro melontarkan
pandangan marah ke shoji putih itu.

"Tak usah hal itu menjengkelkanmu. Dan tak ada alasan kenapa dia tak boleh datang kepadaku."
Kakubei menanti, sampai menurutnya mata Kojiro melunak sedikit, lalu lanjutnya, "Wajar kalau
seorang perempuan merasa kuatir. Menurutku, bukannya dia sangsi akan rasa sayangmu
terhadapnya, tapi siapa pun yang berada pada kedudukan macam dia itu akan menguatirkan
masa depannya. Maksudku, apa yang bakal terjadi dengan dirinya?"

"Kalau begitu, dia sudah menceritakan segalanya pada Bapak?"

"Kenapa tidak? Itu hal yang biasa sekali terjadi di dunia ini, antara seorang lelaki dan seorang
perempuan. Tak lama lagi kau perlu menikah. Kau punya rumah besar dan banyak pembantu.
Kenapa tidak?"

"Apa Bapak tak dapat membayangkan apa kata orang, kalau saya mengawini gadis yang
sebelumnya bekerja sebagai pelayan di rumah saya?"

"Apa pula bedanya? Kau tentu takkan dapat menyingkirkan dia sekarang. Sekiranya dia bukan
calon istri yang cocok buatmu, memang janggal, tapi dia dari keluarga yang baik, bukan? Orang
bilang, dia kemenakan Ono Tadaaki."

"Betul."

"Dan kau bertemu dengannya waktu kau masuk dojo Tadaaki dan membuka matanya bahwa
perguruan pedangnya berada dalam keadaan menyedihkan."

"Ya. Saya tidak bangga atas hal itu, dan saya tak dapat merahasiakannya dari orang sedekat
Bapak. Cepat atau lambat, sudah saya rencanakan untuk menyampaikan seluruh ceritanya pada
Bapak... Seperti Bapak katakan, hal itu terjadi sesudah pertarungan saya dengan Tadaaki. Hari
sudah gelap waktu saya berangkat pulang, dan Omitsu—dia tinggal dengan pamannya waktu itu
—membawa lentera kecil dan menyertai saya turun Lereng Saikachi. Tanpa pikir panjang, saya
goda dia sedikit, tapi dia menanggapi dengan serius. Sesudah Tadaaki menghilang, dia datang
menemui saya, dan..."

Sekarang giliran Kakubei yang menjadi malu. Ia mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa ia
sudah cukup mendengar tentang itu. Padahal baru belakangan ini saja ia tahu bahwa Kojiro
sudah memasukkan gadis itu sebelum ia meninggalkan Edo menuju ke Kokura. Ia terkejut, tidak
hanya karena kenaifannya sendiri, tapi juga karena menyaksikan kemampuan Kojiro memikat
perempuan, bercintaan, dan merahasiakan segalanya.

"Serahkan semua itu padaku," katanya. "Saartini kurang sesuai buatmu mengumumkan
perkawinan. Dahulukan yang penting. Itu bisa dilakukan sesudah pertarungan." Seperti banyak
orang lain, ia merasa yakin bahwa pemantapan terakhir bagi kemasyhuran dan kedudukan Kojiro
akan terjadi dalam beberapa hari lagi.

Teringat kembali maksud kedatangannya, ia melanjutkan, "Seperti kukatakan tadi, dewan sudah
memutuskan tempat buat pertarungan. Karena salah satu syaratnya adalah tempat itu harus
dalam wilayah Yang Dipertuan Tadatoshi, dan tak dapat dengan mudah didatangi orang banyak,
maka disetujui sebuah pulau merupakan tempat ideal. Yang terpilih adalah pulau kecil bernama
Funashima, antara Shimonoseki dan Moji."

Ia tampak merenung sebentar, kemudian katanya, "Terpikir olehku, apa tidak bijaksana kalau kita
melihat medan itu sebelum Musashi datang. Itu dapat memberikan keuntungan tertentu padamu."
Alasannya, kalau mengetahui letak tanahnya, seorang pemain pedang bisa mendapat gambaran
tentang bagaimana ia memanfaatkan medan dan kedudukan matahari. Ia bisa memperoleh
gambaran tentang jalannya pertarungan nanti, dan seberapa erat ia harus mengikat tali
sandalnya. Setidaknya, Kojiro akan memiliki rasa aman, yang tidak mungkin diperolehnya apabila
ia mendatangi tempat itu untuk pertama kali.

Ia sarankan agar mereka menyewa perahu nelayan dan pergi melihat Funashima hari berikutnya.

Kojiro tidak setuju. "Yang terpenting dalam Seni Perang adalah cepat memanfaatkan peluang.
Biarpun orang sudah mengambil tindakan berjagajaga, sering terjadi lawan sudah bisa menebak
lebih dulu, dan mendapat cara untuk mengimbangi. Jauh lebih baik melakukan pendekatan
dengan pikiran terbuka, dan bergerak dengan kebebasan sempurna."

Karena merasa argumentasi Kojiro memang logis, Kakubei tidak menyebutnyebut lagi soal pergi
ke Funashima.

Atas panggilan Kojiro, Omitsu menghidangkan sake untuk mereka, dan kedua orang itu minum-
minum dan mengobrol sampai larut malam. Dari cara santai Kakubei dalam menghirup sake,
jelas kelihatan ia senang dengan hidupnya, dan bahwa ia merasa usahanya membantu Kojiro
telah membawa hasil.

Seperti seorang ayah yang besar hati, Kakubei berkata, "Kupikir ini bisa disampaikan pada
Omitsu. Kalau semua ini sudah lewat, kita dapat mengundang sanak keluarga dan teman-
temannya kemari untuk merayakan perkawinan. Memang bagus kalau kau setia kepada
pedangmu, tapi kau juga harus punya keluarga, kalau namamu hendak kaulanjutkan. Kalau kau
sudah menikah, aku merasa kewajibanku terhadapmu sudah terlaksana."

Tidak seperti si abdi tua yang bahagia dan sudah bertahun-tahun mengabdi itu, Kojiro tidak
memperlihatkan tanda-tanda mabuk. Namun akhir-akhir ini ia memang cenderung berdiam diri.
Begitu pertarungan diputuskan, Kakubei menyarankan, dan Tadacoshi menyetujui, untuk
membebaskan Kojiro dari kewajiban-kewajibannya. Semula ia dapat menikmati waktu senggang
yang tidak biasa itu, tapi ketika harinya semakin dekat dan makin banyak orang datang
berkunjung, ia merasa dirinya terpaksa melayani mereka. Belakangan ini waktu istirahatnya
semakin sedikit. Namun ia enggan mengurung diri atau menyuruh menolak orang di pintu
gerbang. Kalau ia melakukan hal itu, orang banyak akan mengira ia sudah kehilangan
kemantapan.

Yang ia inginkan adalah pergi ke pedesaan tiap hari, dengan elang pemburu di tangan. Dalam
cuaca bagus, berjalan-jalan di ladang dan gunung bertemankan burung itu bisa meningkatkan
semangatnya

Manakala mata elang yang biru waspada itu melihat korban di langit, Kojiro melepaskannya.
Kemudian matanya sendiri, yang sama waspadanya, mengikuti burung itu, sampai akhirnya
burung itu membubung, dan kemudian menukik menerkam buruannya. Sebelum bulu korban
bertaburan ke bumi, ia tetap tak bernapas, terpaku, seakan-akan ia sendirilah elang itu.

"Bagus! Begitu mestinya!" serunya apabila elang itu berhasil membunuh. la banyak belajar dari
burung pemburu ini, dan sebagai akibat dari acara berburu itu, hari demi hari wajahnya makin
menampakkan keyakinan.

Pulang petang hari, ia disambut mata Omitsu yang bengkak karena menangis. Pedih hatinya,
melihat Omitsu berusaha menyembunyikan hal itu. Baginya kalah oleh Musashi sungguh tak
terpikirkan. Namun terpikir juga olehnya, apa yang akan terjadi dengan gadis itu, sekiranya ia
terbunuh.

Ia juga teringat wajah almarhumah ibunya, yang selama bertahun-tahun hampir tak diingatnya.
Dan setiap malam, saat ia jatuh tertidur, bayangan mata elang yang biru dan mata Omitsu yang
bengkak itu datang mengunjunginva, bercampur aduk dengan kenangan selintas tentang wajah
ibunya.

107. Sebelum Tanggal Tiga Belas

SHIMONOSEKI, Moji, kota benteng Kokura-selama beberapa hari terakhir, banyak musafir
datang ke situ, dan sedikit saja yang kembali. Penginapan-penginapan semuanya penuh, dan
kuda berderet-deret pada tiang tambatan di luar.

Perintah yang dikeluarkan oleh benteng berbunyi:

Pada tanggal tiga belas bulan ini, pada pukul delapan pagi, di Pulau Funashima di Selat Nagato
di Buzen, Sasaki Kojiro Ganryu, seorang samurai dari perdikan ini, atas perintah Yang Dipertuan
akan melakukan pertarungan dengan Miyamoto Musashi, seorang ronin dari Provinsi Mimasaka.

Para pendukung kedua pemain pedang dilarang keras membantu atau mengurangi perairan
antara daratan dan Pulau Funashima. Sampai pukul sepuluh pagi tanggal empat belas, kapal
pesiar, kapal penumpang, atau perahu nelayan tidak diizinkan memasuki selat. Bulan empat
(1612).

Pengumuman itu dipasang secara mencolok pada papan-papan pengumuman di semua


persimpangan besar, dermaga-dermaga, dan tempat-tempat berkumpul.

"Tanggal tiga belas? Lusa, ya?"

"Orang dari mana-mana pasti ingin melihat pertarungan itu, supaya mereka dapat pulang dan
bercerita."

"Tentu saja ingin, tapi bagaimana orang bisa melihat perkelahian yang berlangsung di pulau yang
jauhnya tiga kilometer dari pantai?"

"Yah, kalau kau pergi ke puncak Gunung Kazashi, akan kaulihat pohon-pohon pinus di
Funashima. Tap, biar bagaimana, orang akan datang walau sekadar menganga melihat perahu-
perahu dan orang banyak di Buzen dan Nagato."

"Saya harap cuaca tetap baik."

Akibat pembatasan kegiatan pelayaran, orang-orang perahu yang mestinya mendapat


keuntungan lumayan jadi merugi. Tapi para musafir dan orang kota menerima suasana itu
dengan tenang saja. Mereka sibuk mencari tempat-tempat yang menguntungkan, supaya dapat
melihat selintas kesibukan di Funashima itu.

Sekitar tengah hari tanggal sebelas, seorang perempuan yang sedang menyusui bayinya
berjalan ke sana kemari di depan kedai makan "satu baki", tempat masuknya jalan dari Moji ke
Kokura.

Bayi yang sudah lelah karena perjalanan itu tak mau berhenti menangis. "Ngantuk? Tidur
sebentar sekarang. Nah, nah. Tidur, Nak, tidur." Akemi mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah
dengan berirama. Ia tak berhias. Karena ada bayi yang mesti disusuinya, hidupnya berubah
sekali, tapi ia sama sekali tak menyesali keadaannya sekarang.

Matahachi keluar dari warung, mengenakan kimono tak berlengan warna redup. Satu-satunya
pengingat masa ia berkeinginan menjadi pendeta adalah bandana yang ia kenakan di kepalanya
yang tadinya dicukur.

"Ya ampun, apa pula ini?" katanya. "Masih nangis? Kau mesti tidur sekarang. Sana, Akemi. Biar
kubawa dia, sementara kau makan. Makan yang banyak, biar banyak susu." Sambil
menggendong anak itu, ia mulai mendendangkan lagu nina bobo yang lembut.

"Oh, ini kejutan!" terdengar suara dari belakangnya.

"Hah?" Matahachi menatap orang itu, tapi tak dapat mengenalinya.

"Saya Ichinomiya Gempachi. Kita bertemu beberapa tahun lalu, di hutan pinus dekat Jalan Gojo
di Kyoto. Saya kira Anda tak ingat saya."

Matahachi terus juga menatap kosong kepadanya, lalu Gempachi berkata, "Waktu itu ke mana-
mana Anda bilang nama Anda Sasaki Kojiro."

"Oh!" gagap Matahachi keras. "Pendeta dengan tongkat itu...!"

"Betul. Saya senang ketemu Anda lagi."


Matahachi bergegas membungkuk, tapi bayinya justru jadi terbangun. "Nah, jangan nangis lagi,"
mohonnya.

"Apa Anda bisa tunjukkan, di mana Kojiro tinggal? Saya tahu dia tinggal di sini, di Kokura," kata
Gempachi.

"Maaf, saya tidak tahu sama sekali, saya sendiri baru datang kemari."

Dua pembantu samurai muncul dari toko, seorang di antaranya berkata kepada Gempachi,
"Kalau Bapak mencari rumah Kojiro, itu di dekat Sungai Itatsu. Kalau Bapak mau, kami antar ke
sana."

"Terima kasih. Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Samurai itu berangkat, dan
Gempachi mengikuti.

Melihat kotoran dan debu yang melekat pada pakaian orang itu, Matahachi berpikir, "Apa dia
datang dari Kozuke yang jauh itu?" Sungguh terkesan ia, bahwa berita tentang pertarungan
tersebut telah menyebar ke tempat-tempat yang demikian jauh. Kemudian kenangan tentang
perjumpaannya dengan Gempachi tergambar kembali dalam pikirannya. Ia bergidik. Sungguh
waktu itu ia sampah, dangkal, tak kenal malu! Bayangkan, waktu itu ia demikian tak kenal malu,
berani mencoba mempergunakan sertifikat Perguruan Chujo sebagai sertifikatnya sendiri, untuk
kedok sebagai... Biarpun begitu, untunglah bahwa kini ia dapat melihat, betapa kasar dirinya
waktu itu. Setidak-tidaknya, sejak itu ia berubah. "Kukira," demikian pikirnya, "orang bodoh
macam aku pun dapat menjadi baik, asal sadar dan berusaha."

Mendengar bayinya menangis lagi, Akemi melahap makanannya dan berlari ke luar. "Maaf,"
katanya. "Aku bawa dia sekarang."

Matahachi meletakkan bayi itu ke punggung Akemi, lalu menggantungkan kotak penjaja gula-
gula ke bahunya, dan bersiap jalan lagi. Sejumlah orang lewat memandang dengan iri ke arah
pasangan yang miskin namun jelas bahagia itu.

Seorang perempuan tua yang tampak sopan datang mendekat, katanya, "Lucu sekali anak ini!
Berapa umurnya? Oh, lihat, dia tertawa."

Seolah-olah diperintah, pembantu pria yang menyertainya pun melongok dan menatap wajah si
bayi.

Mereka berjalan bersama sebentar. Kemudian, ketika Matahachi dan Akemi membelok ke jalan
kecil untuk mencari penginapan, perempuan itu berkata, "Oh, jadi kalian ke situ?" Ia
mengucapkan selamat berpisah, tapi lalu tanyanya, "Kalian rupanya musafir juga, tapi apa
barangkali kalian tahu di mana rumah Sasaki Kojiro?"

Matahachi menyampaikan keterangan yang barusan didengarnya dari kedua pembantu samurai
tadi. Seraya memandang perempuan itu pergi, gumamnya muram, "Apa kiranya yang sedang
dilakukan ibuku hari-hari ini?"

Ya, kini, sesudah ia sendiri memiliki anak, baru ia dapat menghargai perasaan ibunya.

"Ayo kita jalan terus," kata Akemi.

Matahachi berdiri dan menatap kosong ke arah perempuan tua itu. Orang itu kira-kira seumur
Osugi.

Rumah Kojiro penuh dengan tamu.


"Ini kesempatan besar buat dia."

"Ya, ini akan menentukan reputasinya untuk selamanya."

"Dia akan dikenal di mana-mana."

"Benar sekali, tapi kita tak boleh lupa, siapa lawannya. Ganryu harus sangat hati-hati."

Banyak yang sudah datang malam sebelumnya, dan para pendatang melimpah ke pendopo
besar, ke pintu-pintu masuk samping dan gang-gang luar. Sebagian datang dari Kyoto atau
Osaka, sebagian lagi dari Honshu barat, dan satu orang dari Kampung Jokyoji di Echizen yang
jauh. Karena pembantu rumah tangga Kojiro tidak cukup, Kakubei memanggil sebagian
pembantunya untuk membantu. Para samurai yang belajar di bawah pimpinan Kojiro datang dan
pergi. Wajah mereka penuh hasrat, menanti pertarungan.

Semua kawan dan semua murid sama dalam satu hal: kenal Musashi atau tidak, ia adalah
musuh. Yang paling hebat dendamnya adalah para samurai daerah yang dahulu pernah
mempelajari metode-metode Perguruan Yoshioka. Rasa terhina karena kekalahan di Ichijoji
masih menggerogoti pikiran dan had mereka. Kecuali itu, tekad tunggal Musashi untuk mengejar
karier itu demikian rupa, hingga ia menciptakan banyak musuh. Murid Kojiro sudah dengan
sendirinya membencinya pula.

Seorang samurai muda mengantar satu orang yang baru datang dari pendopo ke kamar tamu
yang penuh sesak, dan menyatakan, "Orang ini datang dari Kozuke."

Orang itu berkata, "Nama saya Ichinomiya Gempachi," lalu dengan rendah hati duduk di antara
mereka.

Bisik-bisik menyatakan kagum dan hormat terdengar di seluruh ruangan, karena Kozuke terletak
seribu lima ratus kilometer di sebelah timur laut. Gempachi minta agar jimat yang ia bawa dari
Gunung Hakuun ditempatkan di altar rumah. Orang pun berbisik-bisik menyatakan setuju.

"Cuaca akan baik pada tanggal tiga belas," ujar satu orang sambil memandang ke luar, ke bawah
tepian atap, ke arah matahari petang yang menyala-nyala. "Hari ini tanggal sebelas, besok dua
belas, dan berikutnya..."

Kepada Gempachi, seorang tamu berkata, "Saya kira, kedatangan Anda dari tempat yang begitu
jauh untuk menyampaikan doa buat kemenangan Kojiro ini sungguh hebat. Apa Anda ada
hubungan dengannya?"

"Saya abdi Keluarga Kusanagi di Shimonida. Almarhumah tuan saya, Kusanagi Tenki, adalah
kemenakan Kanemaki Jisai. Tenki mengenal Kojiro ketika Kojiro masih kanak-kanak."

"Ya, saya sudah dengar Kojiro belajar pada Jisai."

"Itu benar. Kojiro berasal dari perguruan yang sama dengan Ito Ittosai. Saya dengar Ittosai sering
mengatakan bahwa Kojiro petarung cemerlang." Lalu ia menceritakan bagaimana Kojiro memilih
menolak sertifikat dari Jisai, dan menciptakan gayanya sendiri. Ia bercerita juga betapa ulet
Kojiro waktu itu, biarpun masih kanak-kanak. Gempachi bercerita terus, melayani pertanyaan-
pertanyaan penuh semangat itu dengan memberikan keterangan terperinci.

"Apa Sensei Ganryu tak ada di sini?" tanya seorang pembantu muda, seraya berjalan di antara
orang banyak. Karena tidak melihat Kojiro, ia terus berjalan dari ruangan yang satu ke ruangan
lain. la menggerutu, tapi akhirnya ia berjumpa dengan Omitsu yang waktu itu sedang
membersihkan kamar Kojiro. "Kalau Anda mencari Guru," kata Omitsu, "dia ada di sangkar
elang."
Kojiro ada di dalam sangkar, memperhatikan mata Amayumi dengan penuh minat. Ia memberi
makan burung itu, melepaskan bulu-bulunya yang longgar dengan sikat, membiarkan burung itu
bertengger sebentar di atas tinjunya, dan kini menepuk-nepuknya penuh sayang. "Sensei."

"Ya?"

"Ada seorang wanita yang menyatakan datang dari Iwakuni, ingin menemui Guru. Dia
mengatakan Guru akan mengenalnya kalau Guru melihatnya."

"Hmm. Kemungkinan adik ibuku."

"Ke ruangan mana mesti saya persilakan?"

"Aku tak ingin ketemu dia. Aku tak ingin ketemu siapa-siapa... Ah, tapi barangkali aku mesti
menjumpainya. Dia bibiku. Antar dia ke kamarku." Orang itu pergi, lalu Kojiro berseru kepadanya
dari pintu, "Tatsunosuke."

"Ya, Pak." Tatsunosuke masuk sangkar dan berlutut dengan satu kaki di belakang Kojiro.
Sebagai murid yang tinggal di rumah Kojiro, ia jarang jauh dari sisi gurunya.

"Tinggal menunggu sebentar lagi, ya?" kata Kojiro.

"Ya, Pak."

"Besok aku pergi ke benteng, menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Tadatoshi. Akhir-akhir
ini aku belum bertemu beliau. Sudah itu, aku ingin malam yang tenang."

"Tamu begini banyak. Bagaimana kalau Bapak menolak berjumpa dengan mereka, supaya dapat
istirahat dengan baik?"

"Itu yang ingin kulakukan."

"Begini banyak orang di tempat ini. Bisa-bisa Bapak dikalahkan pendukung-pendukung sendiri."

"Jangan bicara begitu. Mereka sudah datang dari tempat-tempat jauh dan dekat... Aku menang
atau tidak, itu tergantung apa yang bakal terjadi nanti, pada waktu yang sudah ditentukan. Ini
tidak sepenuhnya soal nasib, tapi juga... begitulah selalu yang terjadi dengan petarung-kadang
menang, kadang kalah. Kalau Ganryu mati, akan kautemukan dua wasiat terakhir di kamar kerja.
Berikan yang satu pada Kakubei, dan yang lain pada Omitsu."

"Bapak sudah menulis wasiat?"

"Ya. Sudah sewajarnya seorang samurai mengambil tindakan berjaga-jaga. Satu soal lagi. Pada
hari pertarungan, aku boleh mendapat seorang pembantu. Aku ingin kau ikut denganku. Kau
mau?"

"Itu kehormatan yang tak pantas saya terima."

"Amayumi juga." Kojiro memandangi burung elang itu. "Dia akan menjadi hiburan buatku, dalam
perjalanan dengan perahu."

"Saya mengerti sepenuhnya."

"Baik. Aku temui bibiku sekarang."


Kojiro mendapati wanita itu duduk di kamarnya. Di luar, awan petang menghitam, seperti baja
yang sudah mendingin sehabis ditempa. Cahaya putih sebatang lilin menerangi kamar.

"Terima kasih atas kedatangan Bibi," kata Kojiro sambil duduk dengan sikap penuh takzim.
Sesudah ibunya meninggal, bibinya itulah yang membesarkannya. Berbeda dengan ibunya,
bibinya sama sekali tidak memanjakannya. Sadar akan kewajiban terhadap kakaknya, ia
berusaha dengan tulus ikhlas menempa Kojiro menjadi pengganti yang pantas bagi nama
Sasaki, dan menjadi orang terkemuka. Dari semua kerabat Kojiro, wanita itulah satu-satunya
yang mencurahkan perhatian terbesar kepada karier dan masa depan Kojiro.

"Kojiro," kata wanita itu khidmat, "aku mengerti, kau akan menghadapi salah satu dari saat-saat
menentukan dalam hidupmu. Setiap orang di daerah kita bicara tentang itu, karena itu aku
merasa mesti bertemu denganmu, setidak-tidaknya sekali lagi. Aku senang melihatmu sudah
mencapai kedudukan sejauh ini." Diam-diam wanita itu membandingkan samurai yang mulia dan
berada di hadapannya itu dengan pemuda yang dahulu meninggalkan rumah hanya dengan
pedangnya.

Dengan kepala masih menunduk, jawab Kojiro, "Sepuluh tahun sudah berlalu. Saya harap Bibi
memaafkan saya karena saya tidak selalu menghubungi Bibi. Saya tidak tahu apakah orang lain
memandang saya berhasil atau belum, tapi saya sama sekali belum mencapai semua yang ingin
saya capai. Itu sebabnya saya tidak menulis surat."

"Itu tidak apa-apa. Berita tentang dirimu sering kudengar."

"Juga di Iwakuni?"

"Tentu. Semua orang di sana memihakmu. Kalau kau kalah dari Musashi, seluruh Keluarga
Sasaki—seluruh provinsi—akan merasa terhina. Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari Hoki,
yang tinggal sebagai tamu di perdikan Kikkawa, merencanakan membawa serombongan besar
samurai Iwakuni untuk melihat pertarungan ini."

"Betul?"

"Ya. Kukira mereka akan sangat kecewa, karena ternyata perahu-perahu tidak diizinkan keluar...
Oh, ya, aku lupa. Ini, kubawa ini buatmu." Ia membuka sebuah bungkusan kecil, dan ia keluarkan
jubah dalam yang dilipat. Jubah itu terbuat dari katun. Di situ tertulis nama-nama dewa perang
dan dewi pelindung yang dipuja para prajurit. Satu kalimat nasib baik dalam bahasa Sansekerta
disulamkan pada kedua lengannya oleh seratus perempuan pendukung Kojiro.

Kojiro mengucapkan terima kasih pada bibinya, dan dengan takzim meletakkan pakaian itu di
depan dahinya. Kemudian katanya, "Bibi bisa tinggal di kamar ini, dan tidur kapan saja Bibi suka.
Sekarang, maafkan saya harus pergi."

Ia meninggalkan bibinya, dan pergi duduk di kamar lain. Tak lama kemudian, para tamu datang
ke kamar itu untuk menghaturkan berbagai hadiah kepadanya-kalimat suci dari Tempat Suci
Hachiman di Gunung Otoko, baju rantai, ikan laut yang sangat besar, juga satu tong sake. Tak
lama kemudian, sudah hampir tak ada tempat untuk duduk.

Orang-orang yang mengucapkan selamat itu memang mendoakan kemenangan Kojiro dengan
tulus, namun delapan dari sepuluh sesungguhnya sedang menjilat. Mereka berharap dapat
memenuhi ambisi-ambisinya sendiri di kemudian hari.

"Apa yang terjadi sekiranya aku hanya seorang ronin?" pikir Kojiro. Sifat menjilat itu menekan
dirinya, tapi ia puas juga, bahwa justru dirinya dan bukan orang lain yang menyebabkan para
pendukungnya percaya dan menaruh keyakinan kepadanya.
"Aku harus menang. Harus, harus."

Pemikiran tentang kemenangan itu memberikan beban psikologis kepadanya. Ia sadar akan hal
itu, tapi ia sendiri tak bisa berbuat lain. "Menang, menang, menang." Seperti ombak yang dihalau
angin, perkataan itu terus mendengung-dengung dalam benaknya. Kojiro tak dapat memahami,
kenapa dorongan primitif untuk menaklukkan itu demikian hebat memukul-mukul otaknya.

Malam terus berlalu, tapi sejumlah tamu masih terus tinggal, minum, dan bercakap-cakap. Malam
sudah larut ketika berita itu datang.

"Musashi sudah datang hari ini. Dia kelihatan turun dari perahu di Moji, kemudian berjalan kaki
menyusuri sebuah jalan di Kokura."

Reaksi atas berita itu seperti arus listrik, walaupun diucapkan dengan sembunyi-sembunyi, engan
bisik-bisik bersemangat.

"Sudah tentu."

"Apa sebagian dari kita tak perlu ke sana untuk melihat keadaan?"

108. Di Waktu Fajar

MUSASHI tiba diShimonoseki beberapa hari sebelumnya. Karena ia tak kenal siapa pun di sana
dan tak seorang pun mengenalnya pula, maka ia dapat melewatkan waktunya dengan tenang,
tidak terganggu oleh para penjilat dan tukang campur tangan.

Pagi hari tanggal sebelas, ia menyeberangi Selat Kammon ke Moji untuk mengunjungi Nagaoka
Sado, dan menegaskan kesepakatannya atas waktu dan tempat pertarungan yang telah
ditetapkan.

Seorang samurai menerimanya di pendopo sambil menatapnya tanpa malu-malu, sementara


dalam kepalanya terlintas pemikiran, "Jadi, inilah Miyamoto Musashi yang terkenal itu!" Namun
yang diucapkan pemuda itu hanyalah, "Tuan saya masih di benteng, tapi sebentar lagi akan
datang. Silakan masuk dan menanti."

"Terima kasih, tapi saya tak punya urusan lain dengan beliau. Kalau Anda tidak keberatan
menyampaikan pesan saya..."

"Ah, tapi Anda sudah datang begitu jauh. Beliau akan kecewa sekali, tidak berjumpa dengan
Anda. Kalau Anda memang mesti pergi, setidaknya biarkan saya menyampaikan pada yang lain-
lain bahwa Anda ada di sini."

Belum lagi ia menghilang masuk rumah, Iori sudah datang berlari-lari, dan langsung masuk
pelukan Musashi.
"Senseil'

Musashi menepuk-nepuk kepalanya. "Apa kau sudah belajar, seperti anak yang baik!"

"Ya, Pak."

"Sudah jangkung sekali kau!"

"Apa Bapak tahu, saya ada di sini?"

"Ya, Sado mengatakan padaku dalam surat. Aku juga mendengar tentang kau di tempat
Kobayashi Tarozaemon di Sakai. Aku senang kau ada di sini. Tinggal di rumah macam ini baik
buatmu." Iori tampak kecewa, tapi tak tapi tak mengatakan apa-apa.

"Ada apa?" tanya Musashi. "Kau tak boleh lupa, Sado sudah bersikap baik sekali padamu."

"Ya, Pak."

"Kau mesti belajar lebih banyak selain berlatih seni bela diri. Kau mesti belajar dari buku-buku.
Dan biarpun kau mesti jadi orang pertama yang menolong orang jika diperlukan, kau mesti
mencoba lebih rendah hati dari anak-anak lain."

"Ya, Pak."

"Dan jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri. Banyak anak macam kau,
yang kehilangan ayah dan ibu, berbuat begitu. Kau tak dapat membayar kebaikan hati orang lain,
kecuali jika kau juga hangat dan baik hati."

"Ya, Pak."

"Kau memang pandai sekali, Iori, tapi hati-hati. Jangan sampai pendidikan kasar inilah yang
menguasaimu. Kendalikan dirimu baik-baik. Kau masih kanak-kanak, di hadapanmu terbentang
hidup yang panjang. Jagalah hidup itu baik-baik. Selamatkan dia, sebelum kau dapat
mengarahkannya kepada hal yang sungguh-sungguh baik—kepada negerimu, kehormatanmu,
kepada Jalan Samurai! Berpeganglah pada hidupmu, dan jadikan hidupmu itu tulus dan berani."

Iori mendapat kesan berat bahwa ini saat perpisahan, perpisahan terakhir. Gerak hatinya
barangkali menyatakan demikian juga kepadanya, bahkan seandainya Musashi tidak bicara
tentang hal-hal serius macam itu. Diucapkannya kata "hidup" itulah yang menimbulkan kesan
tersebut. Begitu Musashi mengatakannya, kepala Iori langsung terbenam dalam dada Musashi.
Anak itu tersedu-sedan tanpa dapat dikendalikan lagi.

Musashi kini menyesali khotbahnya, karena dilihatnya Iori terawat baik sekali-rambutnya tersisir
dan terikat baik, dan kaus kakinya yang putih tampak bersih sekali. "Jangan menangis," katanya.

"Tapi bagaimana kalau Bapak..."

"Hentikan tangis itu. Dilihat orang banyak nanti."

"Pak, Bapak pergi ke Funashima lusa?"

"Ya, mesti."

"Saya minta Bapak menang. Saya tak mau kalau sampai tidak melihat Bapak lagi."

"Ha, ha. Kau menangis karena itu, ya?"


"Sebagian orang bilang, Bapak tak bisa mengalahkan Kojiro. Kalau begitu, mestinya Bapak
jangan bersedia melawan dia."

"Aku tidak heran. Orang banyak selalu omong macam itu."

"Padahal Bapak bisa menang, kan, Sensei?"

"Aku tak mau membuang waktu memikirkan soal itu."

"Maksudnya, Bapak yakin takkan kalah?"

"Sekalipun kalah, aku berjanji akan bersikap berani."

"Tapi kalau menurut Bapak akan kalah, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain buat sementara
waktu?"

"Selalu ada benih kebenaran dalam desas-desus yang seburuk-buruknya, Iori. Aku bisa saja
berbuat kekeliruan, tapi sekarang... sesudah perkembangan sekian jauh, lari berarti
meninggalkan Jalan Samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku, tapi juga bagi
orang-orang lain."

"Tapi Bapak sudah mengatakan, saya mesti berpegang pada hidup saya dan menjaganya baik-
baik, kan?"

"Memang betul, dan kalau nanti orang menguburkan aku di Funashima, biarlah itu menjadi
pelajaran buatmu. Hindari terlibat perkelahian yang akan berakhir dengan membuang nyawa."
Karena merasa telah berlebihan, Musashi mengubah pokok pembicaraan. "Aku sudah minta
salam hormatku disampaikan kepada Nagaoka Sado. Kuminta kau menyampaikannya juga, dan
sampaikan pada beliau, aku akan bertemu dengannya di Funashima."

Pelan-pelan Musashi melepaskan diri dari anak itu. Ia menuju pintu gerbang, dan Iori bergayut
pada topi anyaman yang dipegangnya. "Jangan... Tunggu..." Hanya itu yang dapat dikatakannya.
Satu tangan lagi ia tutupkan ke wajahnya, dan bahunya berguncang.

Nuinosuke datang lewat pintu di samping pintu gerbang, dan memperkenalkan diri pada Musashi.

"Iori rupanya enggan melepaskan Anda, dan saya cenderung bersimpati padanya. Saya yakin
Anda punya urusan-urusan lain yang mesti diselesaikan, tapi apa tak bisa Anda menginap
semalam saja di sini?"

Musashi membalas bungkukan badan Nuinosuke, katanya. "Terima kasih saya ucapkan atas
undangan ini, tapi saya kira saya tak bisa menerimanya. Dalam beberapa hari ini, barangkali
saya akan tidur buat selamanya. Saya pikir tidak benar, kalau sekarang saya membebani orang
lain. Itu bisa menjadi hal memalukan di belakang hari."

"Anda sungguh baik budi, tapi saya kuatir tuan saya akan marah sekali pada kami, karena
membiarkan Anda pergi."

"Akan saya kirimkan surat kepada beliau, untuk menjelaskan segalanya. Saya datang hari ini
hanya untuk menyatakan hormat. Saya pikir, saya harus pergi sekarang."

Di luar pintu gerbang, ia membelok ke arah pantai, tapi belum sampai separuh jalan, ia
mendengar suara-suara yang memanggilnya dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya
sejumlah samurai Keluarga Hosokawa yang tampak sudah tua, dua di antaranya berambut putih.
Karena tak mengenal orang-orang itu, ia simpulkan mereka menegur orang lain, dan ia berjalan
terus.

Sampai di pantai, ia berdiri memandang ke arah laut. Sejumlah perahu nelayan membuang
jangkar tidak jauh dari sana, layarnya tampak kelabu dalam cahaya berkabut di awal petang itu.
Jauh di sana tampak sosok Pulau Hikojima yang lebih besar. Garis pantai Pulau Funashima
hampir tak terlihat.

"Musashi!"

"Anda Miyamoto Musashi, kan?"

Musashi membalik menghadapi mereka. Ia heran, ada urusan apa kiranya antara para prajurit
berumur lanjut ini dengannya.

"Anda tak ingat kami, ya? Saya pikir memang tak ingat, karena sudah terlalu lama. Nama saya
Utsumi Magobeinojo. Kami berenam ini semua dari Mimasaka. Kami dulu bekerja pada Keluarga
Shimmen di Benteng Takeyama."

"Dan saya Koyama Handayu. Magobeinojo dan saya adalah sahabat dekat ayah Anda."

Musashi tersenyum lebar. "Wah, kalau begitu, ini kejutan besar!" Cara bicara mereka yang
dipanjangkan bunyi-bunyinya itu tidak salah lagi adalah cara bicara kampung halamannya, dan
itu membangkitkan kenangannya akan masa kecilnya. Sesudah membungkuk pada masing-
masing dari mereka, kata Musashi, "Saya senang bertemu dengan Anda sekalian. Tapi saya
ingin tahu, bagaimana kejadiannya maka Anda sekalian sampai di tempat ini, tempat yang begini
jauh dari rumah?"

"Seperti Anda ketahui, Keluarga Shimmen bubar sesudah Pertempuran Sekigahara. Kami
menjadi ronin, melarikan diri ke Kyushu, dan sampai di Provinsi Buzen ini. Untuk sementara,
demi penghidupan, kami menganyam sepatu kuda dari jerami. Kemudian kami mendapat nasib
baik."

"Betul? Terus terang, saya tidak pernah menduga akan bertemu dengan teman-teman ayah saya
di Kokura."

"Dan bagi kami sendiri pun, ini merupakan kegembiraan yang tak terduga. Anda sungguh
samurai yang tampan, Musashi. Sayang sekali, ayah Anda tak ada di sini untuk melihat Anda."

Beberapa menit lamanya mereka saling berkomentar tentang ketampanan Musashi. Kemudian
Magobeinojo berkata, "Ah, bodoh juga saya ini. Saya lupa tujuan kami mengikuti Anda. Baru saja
tadi kami kehilangan jejak Anda di rumah Sado. Rencana kami menemani Anda satu malam saja.
Semua ini sudah dipersiapkan bersama Sado."

Handayu menimpali, "Betul. Sungguh kasar sekali, Anda hanya sampai di pintu depan, dan pergi
lagi tanpa bertemu Sado. Anda putra Shimmen Munisai. Soal itu Anda mesti lebih tahu dari kami.
Sekarang mari kembali bersama kami." Agaknya ia merasa, karena ia teman ayah Musashi, ia
berkuasa memberi perintah-perintah kepada sang anak. Tanpa menanti jawaban, ia mulai
berjalan, dengan harapan Musashi akan mengikuti.

Musashi sebetulnya sudah hampir mengikuti mereka, tapi tidak jadi.

"Maaf," katanya. "Saya tak bisa pergi. Saya minta maaf telah berlaku demikian kasar, tapi salah
kalau saya ikut dengan Anda sekalian."

Semua orang terkejut. Magobeinojo berkata, "Salah? Apa salahnya? Kami ingin memberikan
sambutan layak pada Anda... karena persamaan kampung dan semua yang lain itu."

"Sado juga mengharapkan bertemu dengan Anda. Anda tak ingin menyinggung perasaannya,
bukan?"

Magobeinojo menambahkan dengan suara kesal, "Ada apa memangnya? Apa Anda marah
karena suatu hal?"

"Saya ingin ke sana," kata Musashi sopan, "tapi ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan.
Barangkali ini cuma desas-desus, tapi saya mendengar bahwa pertarungan saya dengan Kojiro
ini menjadi sumber perpecahan antara dua abdi tertua dalam Keluarga Hosokawa, Nagaoka
Sado dan Iwama Kakubei. Orang bilang, pihak Iwama mendapat dukungan Yang Dipertuan
Tadatoshi, dan Nagaoka mencoba memperkuat pihaknya sendiri dengan menentang Kojiro."

Kata-kata ini disambut dengan bisik-bisik terkejut.

"Saya yakin," sambung Musashi, "bahwa ini tak lebih dari spekulasi iseng, namun pembicaraan
umum itu berbahaya. Apa pun yang terjadi dengan seorang ronin seperti saya ini sebetulnya
tidak banyak artinya, tapi saya takkan melakukan sesuatu untuk mengipasi desas-desus itu dan
menimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap Sado ataupun Kakubei. Mereka berdua adalah
orang-orang yang berharga di dalam perdikan."

"Begitu," kata Magobeinojo.

Musashi tersenyum. "Nah, setidak-tidaknya, itulah alasan saya. Terus terang, karena saya anak
kampung, sukar bagi saya mesti duduk dan berlaku sopan sepanjang petang. Lebih baik saya
bersantai."

Mereka terkesan sekali oleh pertimbangan Musashi yang mementingkan orang lain itu, namun
enggan berpisah dengannya, karena itu mereka berkumpul membicarakan keadaan tersebut.

"Hari ini tanggal sebelas bulan empat," kata Handayu. "Selama sebelas tahun terakhir, kami
berenam selalu berkumpul pada tanggal ini. Kami punya aturan keras untuk tidak mengundang
orang luar, tapi Anda datang dari kampung yang sama dengan kami, dan Anda anak Munisai,
karena itu kami ingin meminta Anda bergabung dengan kami. Bukan sebangsa hiburan yang
hendak kami hidangkan, tapi Anda tak perlu kuatir mesti bersikap sopan, dilihat orang, atau
dibicarakan orang."

"Kalau demikian," kata Musashi, "tak bisa lagi saya menolak."

Jawaban tersebut sangat menyenangkan samurai tua itu. Mereka berembuk lagi sebentar, lalu
diputuskan bahwa Musashi akan menemui seorang dari mereka, yang bernama Kinami
Kagashiro, beberapa jam kemudian, di depan warung teh. Lalu mereka berpisah.

Musashi menjumpai Kagashiro pada jam yang telah ditetapkan, dan mereka berjalan sekitar dua
kilometer dari pusat kota, ke suatu tempat dekat Jembatan Itatsu. Musashi tidak melihat rumah
samurai ataupun restoran. Tak satu pun yang kelihatan, kecuali lampu sebuah warung minum,
dan sebuah penginapan murah yang terletak beberapa jauh dari sana.

Sebagai orang yang selalu waspada, ia mulai menimbang-nimbang kemungkinan. Sebetulnya


tidak ada yang mencurigakan pada cerita mereka; mereka tampak sesuai dengan umurnya, dan
dialek mereka cocok dengan yang mereka ceritakan. Tapi kenapa pula pergi ke tempat terpencil
begini?

Kagashiro meninggalkannya, pergi ke arah tepi sungai. Kemudian ia panggil Musashi, katanya,
"Semua sudah datang. Mari turun sini," dan mendahului menyusuri jalan sempit di atas tanggul.
"Barangkali pesta di perahu," pikir Musashi sambil tersenyum memikirkan betapa berlebihan ia
berjaga-jaga. Namun tidak kelihatan ada perahu. Sebaliknya, ia dapati mereka duduk di tikar-tikar
buluh, dengan gaya resmi.

"Maafkan kami, membawa Anda ke tempat seperti ini," kata Magobeinojo. "Di sinilah kami biasa
mengadakan pertemuan. Kami rasa, nasib baik khususlah yang telah menyatukan Anda dengan
kami. Silakan duduk dan istirahat sebentar." Dengan gaya cukup resmi, yang lebih tepat untuk
mempersilakan seorang tamu terhormat memasuki kamar tamu yang elok, dengan shoji berlapis
perak, ia menyorongkan selembar tikar pada Musashi.

Musashi bertanya-tanya dalam hati, inikah gagasan mereka tentang cara mengekang diri yang
elegan, atau ada alasan khusus untuk tidak bertemu di tempat yang lebih terbuka? Tapi, sebagai
tamu, ia terpaksa berlaku sebagai tamu. Setelah membungkuk, ia duduk rapi di tikar.

"Silakan duduk yang enak," desak Magobeinojo. "Nanti kita adakan pesta kecil, tapi mula-mula
kita mesti melakukan upacara. Takkan makan waktu lama."

Keenam orang itu mengatur kembali letak duduk mereka secara lebih leluasa, masing-masing
mengeluarkan berkas jerami yang mereka bawa, dan mulai menganyam sepatu kuda dari jerami
itu. Dengan mulut tertutup rapat, dan mata yang tak pernah berhenti memandang pekerjaan di
tangan, mereka tampak khidmat, bahkan saleh. Musashi memperhatikan dengan sikap hormat.
Ia merasakan kekuatan dan kegairahan di dalam gerak mereka ketika meludah ke tangan,
menjalin, dan menganyamnya di antara kedua telapak tangan.

"Saya kira ini cukup," kata Handayu sambil meletakkan sepasang sepatu kuda yang telah
diselesaikannya, dan memandang kepada yang lain-lain. "Saya juga sudah selesai."

Mereka semua meletakkan sepatu kuda di hadapan Handayu, mengipasngipas dan merapikan
pakaian. Handayu menimbun seluruh sepatu kuda di meja kecil di tengah rombongan samurai
itu, kemudian Magobeinojo yang tertua berdiri.

"Sekarang ini tahun kedua belas sejak Pertempuran Sekigahara. Hari kekalahan yang tak pernah
terhapus dari kenangan kita. Kita semua hidup lebih lama daripada yang dapat kita harapkan. Ini
berkat perlindungan dan karunia Yang Dipertuan Hosokawa. Kita harus berusaha, agar anak-
anak dan cucu kita ingat akan kebaikan Yang Dipertuan kepada kita ini."

Bisik-bisik tanda setuju terdengar di antara orang-orang itu. Mereka duduk dengan sikap takzim
dan mata tertunduk.

"Kita juga harus senantiasa ingat kemurahan hati kepala-kepala Keluarga Shimmen, sekalipun
keluarga besar itu tak ada lagi. Kita pun tak boleh melupakan kesengsaraan dan keputusasaan
yang pernah kita alami ketika datang kemari. Untuk mengingatkan diri akan ketiga hal itulah kita
mengadakan pertemuan ini tiap tahun. Sekarang marilah kita saling mendoakan kesehatan dan
kesejahteraan masing-masing."

Secara bersamaan orang-orang itu menjawab, "Kebaikan Yang dipertuan Hosokawa, kemurahan
hati Keluarga Shimmen, dan karunia surga yang membebaskan kita dari kesengsaraan... sehari
pun tak akan kita lupakan."

"Sekarang bungkukkan badan," kata Magobeinojo.

Mereka membalikkan badan ke arah dinding putih Benteng Kokura yang kelihatan samar-samar
di bentangan langit gelap, dan membungkuk sampai ke tanah. Kemudian mereka menghadap ke
Provinsi Mimasaka dan membungkuk lagi. Akhirnya mereka menghadap ke sepatu-sepatu kuda
dan membungkuk untuk ketiga kalinya. Setiap gerakan dilakukan dengan kesungguhan dan
ketulusan yang luar biasa.

Kepada Musashi, Magobeinojo berkata, "Sekarang kami pergi ke tempat suci di atas, untuk
memberikan persembahan sepatu kuda. Sesudah itu, pesta dapat kita mulai. Saya persilakan
Anda menanti di sini."

Pemimpin upacara mengangkat meja berisi sepatu-sepatu kuda itu setinggi dahi, dan yang lain
mengikuti satu-satu. Mereka ikatkan hasil kerajinan tangan mereka itu ke cabang-cabang sebuah
pohon di samping pintu masuk tempat suci. Kemudian, sesudah mengatupkan tangan satu kali
ke hadapan para dewa, mereka menggabungkan diri kembali dengan Musashi.

Hidangan yang disajikan itu sangat sederhana—keladi rebus, rebung dengan empleng buncis,
dan ikan kering—jenis makanan yang biasa dimakan di rumah-rumah petani setempat. Tapi sake
tersedia dalam jumlah banyak, ditambah banyak tawa dan percakapan.

Ketika suasana sudah berubah menjadi ramah-tamah, Musashi berkata, "Sungguh suatu
kehormatan mendapat undangan bergabung dengan Anda sekalian, tapi yang menjadi
pertanyaan saya adalah upacara Anda sekalian yang sederhana itu. Tentunya upacara itu
khusus sekali artinya bagi Anda sekalian."

"Memang," kata Magobeinojo. "Ketika kami datang kemari sebagai prajurit-prajurit yang kalah
perang, tak ada orang yang dapat kami mintai pertolongan. Lebih baik kami mati daripada
mencuri, tapi kami mesti makan. Akhirnya kami mendapat gagasan untuk mendirikan warung di
dekat jembatan itu, dan membuat sepatu kuda. Tangan kami sudah mati rasa oleh berlatih
lembing, dan karenanya dibutuhkan usaha untuk belajar menganyam jerami. Kami lakukan
pekerjaan itu tiga tahun lamanya, dan kami jual basil kerja kami kepada tukang-tukang kuda yang
sedang lewat, sekadar untuk dapat tetap hidup.

"Tukang-tukang kuda mulai curiga bahwa menganyam jerami bukan pekerjaan kami yang
sebenarnya, dan akhirnya ada yang menyampaikan kepada Yang Dipertuan Hosokawa Sansai
tentang kami. Ketika mengetahui bahwa kami bekas pengikut Yang Dipertuan Shimmen, beliau
mengirim orang untuk menawarkan kedudukan pada kami."

Ia berkata, Yang Dipertuan Sansai menawarkan penghasilan kolektif sebesar lima ribu gantang,
tapi mereka menolak. Mereka bersedia mengabdi pada beliau secara jujur, tapi mereka merasa
hubungan tuan-dengan-pengikut itu mesti ditegakkan atas dasar pribadi-dengan-pribadi. Sansai
dapat memahami perasaan mereka, dan mengajukan tawaran lain berupa penghasilan
perorangan. Beliau dapat memahami ketika para abdinya menyatakan mungkin keenam ronin itu
tidak dapat berpakaian pantas untuk dihadapkan kepada Yang Dipertuan. Namun ketika
disarankan pengeluaran khusus untuk pakaian, Sansai menolak, karena hal itu akan
menimbulkan rasa malu mereka.

Sesungguhnya kekuatiran itu tidak beralasan, karena berapa pun dalamnya mereka tenggelam,
ternyata mereka masih dapat mengenakan pakaian berkanji lengkap dengan dua bilah pedang,
ketika mereka menerima pengangkatan.

"Takkan sukar melupakan, betapa berat hidup kami selama melakukan pekerjaan kasar itu.
Kalau kami tidak bersatu padu, tak bakal kami sempat hidup, untuk akhirnya dipekerjakan oleh
Yang Dipertuan Sansai. Kami tak boleh lupa, bahwa nasib baik telah menyelamatkan kami pada
tahun-tahun itu."

Sambil mengakhiri ceritanya, ia mengangkat mangkuk, dan katanya, "Maafkan saya sudah bicara
demikian panjang tentang diri kami. Saya hanya ingin Anda mengetahui bahwa kami adalah
orang-orang yang berkemauan baik, sekalipun sake kami bukan kualitas kelas satu dan makanan
kami tidak terlalu banyak. Kami harap Anda memperlihatkan perjuangan berani besok lusa. Dan
jangan kuatir, kalau Anda kalah, kami akan menguburkan tulang-tulang Anda."
Sambil menerima mangkuk, jawab Musashi, "Saya merasa mendapat kehormatan berada di
tengah Anda sekalian. Ini lebih baik daripada minum sake yang paling baik di rumah gedung
terindah. Saya hanya berharap, saya semujur Anda sekalian."

"Jangan berharap demikian! Anda akan terpaksa belajar menganyam sepatu kuda seperti kami."

Tiba-tiba bunyi tanah yang merosot menghentikan tawa mereka. Mata mereka mengarah ke
tanggul. Di sana mereka melihat sosok tubuh orang yang meringkuk seperti kelelawar.

"Siapa di sana?" teriak Kagashiro yang seketika berdiri. Seorang lagi bangkit sambil menghunus
pedang, lalu kedua orang itu mendaki tanggul dan menatap kabut.

Sambil tertawa, Kagashiro berseru ke bawah, "Rupanya salah seorang pengikut Kojiro.
Barangkali kita dikira pendukung Musashi yang sedang mengadakan sidang strategi rahasia. Dia
sudah lari sebelum kita melihatnya baik-baik."

"Saya bisa mengerti, kalau para pendukung Kojiro melakukan itu," ujar seorang dari mereka.

Suasana tetap gembira, tapi Musashi kini memutuskan untuk tidak berlama-lama tinggal di situ.
Hal yang paling tidak diinginkannya adalah menimbulkan kerugian pada orang-orang ini di
kemudian hari. la mengucapkan terima kasih banyak-banyak atas kebaikan hati mereka, dan
meninggalkan mereka dalam pesta itu, serta berjalan santai ke dalam kegelapan.

Setidak-tidaknya, ia kelihatan santai.

Kemarahan terpendam Nagaoka karena orang membiarkan saja Musashi meninggalkan


rumahnya itu menimpa beberapa orang, tapi ia menanti sampai pagi hari tanggal dua belas untuk
mengirim orang-orangnya mencari Musashi.

Ketika orang-orang itu melaporkan bahwa mereka tak dapat menemukan Musashi—dan tidak
tahu di mana kira-kira ia berada—alis Sado yang putih melonjak cemas. "Apa pula yang sudah
terjadi dengannya? Mungkinkah..." Sampai di situ, ia tak lagi melanjutkan jalan pikirannya.

Pada tanggal dua belas itu juga, Kojiro berkunjung ke benteng dan diterima dengan hangat oleh
Yang Dipertuan Tadatoshi. Mereka minum sake bersama, kemudian Kojiro pulang dengan
semangat tinggi, mengendarai kuda muda kesayangannya.

Petang hari, seluruh kota berdengung oleh desas-desus.

"Musashi barangkali ketakutan dan lari."

"Tak sangsi lagi. Dia menghilang."

Malam itu Sado tak dapat tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu tak mungkin terjadi—
Musashi bukan jenis orang yang akan lari.... Namun bukan tidak pernah terjadi, bahwa orang
yang tampaknya dapat diandalkan, tiba-tiba patah semangat karena tekanan batin. Kuatir akan
terjadi hal terburuk, Sado sudah membayangkan ia mesti melakukan bunuh diri, satu-satunya
pemecahan terhormat kalau Musashi yang telah direkomendasikannya itu gagal memperlihatkan
diri.

Fajar yang terang cemerlang pada tanggal tiga belas menyaksikannya berjalan di kebun bersama
Iori, seraya berulang-ulang bertanya pada diri sendiri, "Apa aku keliru? Apa aku salah menilai
orang itu?"
"Selamat pagi, Pak." Wajah Nuinosuke yang lelah muncul di pintu samping.

"Kau menemukan dia?"

"Tidak, Pak. Tak seorang pun pemilik penginapan melihat orang yang mirip dia."

"Apa kau sudah tanya di kuil-kuil?"

"Kuil, dojo-semua tempat lain yang biasa dikunjungi murid seni bela diri telah kami datangi.
Magobeinojo dan rombongannya keluar sepanjang malam dan..."

"Mereka belum datang." Sado mengernyitkan alis. Lewat dedaunan pohon prem yang segar,
kelihatan olehnya laut. Ombak laut seolah mengempas ke dadanya sendiri. "Sungguh aku tak
mengerti!"

"Tak dapat ditemukan di mana pun, Pak?"

Satu demi satu para pencari kembali, lelah dan kecewa. Mereka berkumpul di dekat beranda dan
membicarakan hal itu dengan nada marah dan putus asa.

Menurut Kinami Kagashiro yang telah melewati rumah Sasaki Kojiro, beberapa ratus pendukung
telah berkumpul di luar pintu gerbang. Pintu masuk dihiasi bendera dengan mahkota bunga
gentian khusus untuk pesta, dan tirai emas dipasang langsung di depan pintu yang akan dilewati
Kojiro pada waktu keluar. Pada waktu fajar, berkelompok-kelompok pengikut pergi ke tempat suci
utama, untuk berdoa bagi kemenangannya.

Kemuraman berat menimpa semua orang di rumah Sado, tapi beban itu terutama dirasakan oleh
orang-orang yang mengenal ayah Musashi. Mereka merasa dikhianati. Kalau Musashi
berkhianat, mereka akan kehilangan muka di depan para rekan samurai atau dunia pada
umumnya.

Ketika Sado menyuruh mereka bubar, Kagashiro bersumpah, "Akan kami temukan bajingan itu.
Kalau tidak hari ini, tentu hari lain. Dan kalau kami temukan, kami bunuh dia."

Sado kembali ke kamarnya sendiri, dan menyalakan setanggi di tempat pembakaran, seperti
dilakukannya tiap hari. Nuinosuke melihat kemurungan dalam ketenangan gerak-geriknya. "Dia
sedang menyiapkan diri," pikirnya. Ia sendiri sedih memikirkan perkembangan peristiwa ini.

Justru pada waktu itu Iori yang berdiri di ujung halaman, sedang memandangi laut, menoleh dan
bertanya, "Apa sudah Bapak coba rumah Kobayashi Tarozaemon?"

Secara naluriah Nuinosuke sadar bahwa kata-kata Iori itu menunjukkan jalan. Tak seorang pun
pergi ke tempat perantara kapal itu, padahal itu tempat yang memang mungkin dipilih Musashi
untuk menyembunyikan diri dari penglihatan orang.

"Anak itu betul!" ujar Sado, wajahnya menjadi cerah. "Kita semua sungguh bodoh! Pergi ke sana
sekarang juga!"

"Saya ikut," kata Iori.

"Apa boleh dia ikut, Pak?"

"Ya, dia boleh pergi. Cepat sekarang... oh, tunggu sebentar."

Ia menulis surat dengan cepat, dan menjelaskan pada Nuinosuke tentang isinya: "Sasaki Kojiro
akan menyeberang ke Funashima dengan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan
Tadatoshi. Ia akan sampai pukul delapan. Anda masih bisa sampai pada waktu itu. Saya
sarankan Anda datang kemari untuk membuat persiapan. Akan saya sediakan perahu yang akan
membawa Anda mencapai kemenangan mulia."

Atas nama Sado, Nuinosuke dan Iori memperoleh perahu cepat dari kepala perahu perdikan.
Mereka menjalankan perahu itu ke Shimonoseki secepat-cepatnya, kemudian langsung menuju
perusahaan Tarozaemon.

Menjawab pertanyaan mereka, seorang pengawal berkata, "Saya tak tahu seluk-beluknya, tapi
kelihatannya ada satu samurai muda yang tinggal di rumah majikan saya itu."

"Itu dia! Kita temukan." Nuinosuke dan Iori saling menyeringai, dan cepat-cepat menempuh jarak
pendek yang memisahkan perusahaan dengan rumah.

Nuinosuke langsung menghadap Tarozaemon, katanya, "Ini urusan perdikan, dan ini mendesak
sekali. Apa Miyamoto Musashi tinggal di sini?"

"Ya."

"Syukurlah. Majikan saya begitu gelisah. Sekarang cepat sampaikan pada Mushashi, saya ada di
sini."

Tarozaemon masuk rumah, dan muncul kembali sebentar kemudian, sambil berkata, "Dia masih
di kamarnya. Masih tidur."

"Tidur?" Nuinosuke terkejut.

"Dia jaga sampai larut malam tadi, bicara dengan saya sambil minum sake. "

"Ini bukan waktunya tidur. Bangunkan dia. Sekarang juga!"

Pedagang itu tidak mau ditekan, dan mempersilakan Nuinosuke dan Iori masuk kamar tamu.
Sebelum pergi, ia membangunkan Musashi. Ketika kemudian Musashi menemui mereka, ia
tampak tenang sekali, matanya sejernih mata bayi.

"Selamat pagi," katanya riang, sambil duduk. "Apa yang bisa saya bantu?"

Nuinosuke menjadi kendur semangat mendengar sapaan acuh tak acuh itu, dan tanpa
mengatakan sesuatu, ia menyerahkan surat Sado.

"Sungguh baik hati beliau menulis ini," kata Musashi sambil mengangkat surat itu ke dagu,
sebelum melepas materainya dan membukanya. Iori menghunjamkan pandangan pada Musashi,
yang waktu itu menunjukkan sikap seolah ia tidak ada di sana. Sesudah membaca surat, ia
gulung surat itu, katanya, "Saya mengucapkan terima kasih atas perhatian beliau." Baru pada
waktu itulah ia memandang Iori, hingga anak itu menundukkan kepala untuk menyembunykan air
matanya.

Musashi menulis jawaban, dan menyerahkannya pada Nuinosuke. "Sudah saya jelaskan
segalanya dalam surat ini," katanya, "tapi sungguh-sungguh sampaikan terima kasih saya dan
ucapan selamat baginya." Ia menambahkan bahwa mereka tak usah kuatir. Ia akan pergi ke
Funashima pada waktu yang tepat baginya.

Tak ada yang dapat mereka perbuat, kecuali meninggalkan tempat itu. Iori tak mengucapkan
sepatah kata pun kepada Musashi, demikian pula sebaliknya. Namun keduanya saling bertukar
kesetiaan sebagai guru dan murid.
Ketika Sado membaca jawaban Musashi, rasa lega menghiasi wajahnya. Surat itu menyatakan:

Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas tawaran Bapak, berupa perahu untuk
membawa saya ke Funashima. Saya merasa tidak pantas menerima kehormatan itu. Selain itu,
saya merasa tidak bisa menerimanya. Saya harap Bapak mempertimbangkan sendiri. Kojiro dan
saya saling berhadapan sebagai lawan, dan ia menggunakan perahu yang disediakan oleh Yang
Dipertuan Tadatoshi. Kalau saya pergi ke sana dengan perahu Bapak, akan kelihatan Bapak
melawan Yang Dipertuan. Saya pikir tidak pada tempatnya kalau Bapak melakukan sesuatu atas
nama saya.

Mestinya saya sampaikan hal ini sebelumnya, tapi saya memang menahan diri, karena tahu
Bapak akan berkeras membantu saya. Daripada melibatkan Bapak, lebih baik saya tinggal di
rumah Tarozaemon. Saya akan menggunakan salah satu perahunya untuk pergi ke Funashima,
pada waktu yang menurut saya tepat. Tentang itu Bapak boleh merasa yakin.

Sado begitu terkesan, hingga ia pandangi tulisan itu beberapa waktu lamanya, tanpa berkata-
kata. Surat itu nadanya baik, rendah hati, penuh pertimbangan, penuh tenggang rasa, dan kini ia
merasa malu, karena pada hari sebelumnya ia demikian gelisah.

"Nuinosuke."

"Ya, Pak."

"Bawa surat ini, tunjukkan pada Magobeinojo dan teman-temannya, juga pada orang-orang lain
yang berkepentingan."

Ketika Nuinosuke baru saja berangkat, seorang pembantu datang dan mengatakan, "Kalau
urusan Bapak sudah selesai, sebaiknya Bapak bersiap berangkat sekarang."

"Tentu, tapi masih banyak waktu sekarang," jawab Sado tenang.

"Sekarang ini tidak terlalu pagi lagi. Kakubei sudah berangkat."

"Itu urusan dia. Iori, coba kemari sebentar."

"Ya Pak?"

"Apa kau ini lelaki, Iori?"

"Saya kira begitu."

"Apa menurutmu kau bisa menahan tangis, apa pun yang terjadi?"

"Ya, Pak."

"Bagus. Kalau begitu, kau boleh pergi ke Funashima denganku, sebagai pembantuku. Tapi ingat
satu hal: ada kemungkinan kita mesti mengambil mayat Musashi dan membawanya pulang. Apa
kau tetap bisa menahan tangis?"

"Bisa, Pak. Akan saya tahan, sumpah, akan saya tahan."

Baru saja Nuinosuke bergegas lewat pintu gerbang, seorang perempuan berpakaian lusuh
memanggilnya, "Maaf, Pak, apa Bapak abdi rumah ini?"
Nuinosuke berhenti dan memandangnya curiga. "Apa maumu?"

"Maafkan saya. Dengan tampang macam ini, mestinya saya tidak berdiri di depan pintu gerbang
Bapak."

"Nah, kalau begitu kenapa kaulakukan?"

"Saya ingin bertanya... tentang pertarungan hari ini. Orang bilang, Musashi lari. Apa itu betul?"

"Perempuan bodoh! Beraninya bicara begitu tentang Miyamoto Musashi! Apa menurutmu dia
akan melakukan hal macam itu? Tunggu saja sampai jam delapan, dan kau akan lihat. Aku baru
saja bertemu Musashi."

"Bapak bertemu dia?"

"Kau siapa?"

Perempuan itu menundukkan matanya. "Saya kenalan Musashi."

"Hm. Dan masih juga kau kuatir dengan desas-desus tak berdasar itu? Baiklah-aku tergesa-gesa,
tapi akan kutunjukkan padamu surat dari Musashi." la bacakan keras-keras surat Musashi pada
perempuan itu, tanpa memperhatikan seorang lelaki yang ikut melongok dari belakang dengan
mata basah. Begitu sadar akan lelaki itu, ia tarik bahunya, dan katanya, "Kau siapa? Apa
maksudmu datang kemari?"

Sambil menghapus air mata, orang itu membungkuk takut-takut. "Maaf. Saya bersama
perempuan ini."

"Suaminya?"

"Ya, Pak. Terima kasih sudah ditunjuki surat itu. Saya merasa seperti betul-betul melihat
Musashi. Betul tidak, Akemi?"

"Ya, saya merasa jauh lebih tenang sekarang. Mari kita cari tempat buat melihat."

Kemarahan Nuinosuke menguap. "Kalau kalian pergi ke puncak bukit di dekat pantai sana itu,
akan kalian lihat Funashima. Dalam cuaca seterang ini, kalian malahan bisa melihat beting
karang."

"Kami minta maaf sudah merepotkan, padahal Bapak sedang terburu-buru. Maafkan kami."

Nuinosuke pun berangkat, tapi katanya, "Tunggu sebentar—siapa nama kalian? Kalau tidak
keberatan, aku ingin tahu."

Mereka berbalik dan membungkuk. "Nama saya Matahachi. Saya lahir di kampung yang sama
dengan Musashi."

"Nama saya Akemi."

Nuinosuke mengangguk, dan berangkat cepat-cepat.

Beberapa waktu lamanya mereka berdua memperhatikannya, saling pandang, kemudian


bergegas menuju bukit. Dari sana mereka dapat melihat Funashima menyembul di antara
sejumlah pulau lain, juga gunung-gunung di Nagato di kejauhan sana. Mereka tebarkan tikar
buluh di tanah, dan duduk. Ombak bergemuruh di bawah mereka, dan satu-dua daun pinus
berguguran. Akemi mengambil bayinya dari punggungnya dan mulai menyusuinya. Matahachi
memandang mantap ke tengah laut, sambil memeluk lutut.

09. Perkawinan

NUINOSUKE semula pergi ke rumah Magobeinojo, memperlihatkansurat itu dan memberikan


penjelasan. Segera kemudian ia berangkat lagi, tanpa minum secangkir teh, lalu berhenti
sebentar-sebentar di lima rumah lain.

Dari kantor komisioner di tepi laut ia naik ke darat, mengambil tempat di belakang sebuah pohon,
dan mengamati orang-orang yang sejak pagipagi sekali sudah sibuk. Tujuh rombongan samurai
sudah berangkat ke Funashima-juru-juru bersih medan, para saksi, dan pengawal-masingmasing
rombongan dalam perahu terpisah. Di pantai ada satu perahu kecil lagi yang sudah siap
membawa Kojiro. Tadatoshi memerintahkan membuatnya khusus untuk peristiwa itu, dari balok
baru, lengkap dengan beberapa sapu air baru dan temali rami yang baru pula.

Orang-orang yang melepas keberangkatan Kojiro berjumlah sekitar seratus orang. Nuinosuke
dapat mengenali sebagian dari mereka sebagai teman-teman pemain pedang itu. Banyak lagi
yang lain, yang tidak dikenalnya.

Kojiro menghabiskan tehnya, dan keluar dari kantor komisioner dengan disertai para pejabat.
Sesudah mempercayakan kuda kesayangannya kepada teman-temannya, ia berjalan melintasi
pasir, menuju perahu. Tatsunosuke mengikutinya rapat di belakang. Orang banyak diam-diam
menyusun diri dalam dua barisan, dan menyiapkan jalan bagi jagoan mereka. Melihat cara Kojiro
berpakaian, banyak di antara mereka membayangkan mereka sendiri yang berangkat menuju
pertempuran. Ia mengenakan kimono sutra berlengan sempit warna putih mantap, dengan pola
bergambar timbul. Kimono itu ditutupi jubah tanpa lengan, warna merah cemerlang. Hakama-nya
terbuat dari kulit warna ungu, dari jenis yang disimpul di bawah lutist, ketat di bagian betis, seperti
pembalut kain. Sandal jeraminya tampak dibasahi sedikit, agar tidak licin. Disamping pedang
pendek yang selalu dibawanya, ia membawa Galah Pengering yang tidak dipergunakan sejak ia
menjadi pejabat pada Keluarga Hosokawa. Wajahnya yang putih dan berpipi penuh tampak
tenang dibanding jubahnya yang merah manyala. Hari itu Kojiro tampak megah, hampir-hampir
indah.

Nuinosuke bisa melihat bahwa senyum Kojiro tenang dan yakin. Ia menyeringai sekilas-sekilas
ke segala jurusan. Ia tampak bahagia dan betul-betul tenteram.

Kojiro melangkah masuk perahu. Tatsunosuke mengikuti. Ada dua awak perahu, seorang di
haluan, dan seorang lagi memainkan dayung buritan. Amayumi bertengger di tinju Tatsunosuke.

Begitu meninggalkan pantai, pendayung menggerakkan kedua tangannya dengan tarikan-tarikan


sangat pelan, dan perahu kecil itu meluncur pelan ke depan.

Elang pemburu mengepak-ngepakkan sayapnya, terkejut oleh teriakan-teriakan orang-orang


yang mengucapkan selamat.
Orang banyak menyebar dalam kelompok-kelmpok kecil, dan pelanpelan bubar sambil
mengagumi sikap tenang Kojiro. Mereka berdoa semoga ia memenangkan pertempuran hebat
itu.

"Aku harus kembali," pikir Nuinosuke, ketika teringat tanggung jawab untuk mengatur agar Sado
berangkat pada waktunya. Ketika ia meninggalkan tempat itu, terlihat olehnya seorang gadis.
Tubuh Omitsu tertempel erat ke sebatang pohon, dan ia sedang menangis.

Karena merasa kurang sopan melihatnya, Nuinosuke menghindari pemandangan itu, dan
menyelinap diam-diam. Setelah berada di jalan kembali, ia lontarkan pandangan terakhir pada
perahu Kojiro, kemudian pada Omitsu. "Tiap orang memiliki kehidupan umum dan kehidupan
pribadi," pikirnya. "Di balik segala ingar-bingar itu, seorang perempuan berdiri menangis sehabis-
habisnya."

Di perahu, Kojiro meminta elangnya dari Tatsunosuke dan mengulurkan tangan kirinya.
Tatsunosuke memindahkan Amayumi ke tinju Kojiro, dan dengan sikap hormat mengundurkan
diri.

Pasang air mengalun deras. Hari sungguh sempurna—langit cerah, air jernih—tapi ombak agak
tinggi. Setiap kali air berkecipak di atas tepian perahu, elang menggeleparkan bulunya dalam
semangat tempur.

Ketika mereka sudah sekitar setengah jalan ke pulau, Kojiro melepaskan ikatan kaki burung dan
melontarkannya ke udara, katanya, "Kembali ke benteng."

Seakan sedang berburu seperti biasa, Amayumi menyerang seekor burung laut yang sedang
melarikan diri, dan hujan bulu putih pun turun. Tapi, ketika tuannya tidak memanggilnya kembali,
burung itu menukik turun ke atas kepulauan, kemudian mengangkasa dan menghilang.

Sesudah melepaskan elang itu, Kojiro mulai melepaskan dirinya dari segala jimat dan tulisan
keberuntungan Budha maupun Shinto yang ditaburkan kepadanya oleh para pendukungnya, dan
membuang semua itu satu per satu ke luar perahu—bahkan juga jubah dalam dari katun
bersulam pepatah Sansekerta yang diberikan oleh bibinya.

"Sekarang aku bisa santai," katanya pelan. Menghadapi situasi hidup atau mati itu, ia tak ingin
diganggu oleh kenangan ataupun pribadi-pribadi. Ingatan akan semua orang yang berdoa untuk
kemenangannya itu merupakan beban. Harapan-harapan baik mereka kini lebih merupakan
penghalang daripada bantuan, betapapun tulusnya harapan itu. Yang penting sekarang adalah
dirinya sendiri.

Angin asin membelai wajahnya yang diam. Matanya tertuju pada pohonpohon pinus hijau di
Funashima.

Di Shimonoseki, Tarozaemon berjalan melewati barisan gubuk tepi pantai, dan masuk ke dalam
tokonya. "Sasuke," panggilnya. "Apa tak ada yang melihat Sasuke?" Sasuke adalah salah
seorang pegawai termuda di antara banyak pegawainya, tapi juga yang paling cerdas. Disamping
dihargai sebagai pembantu rumah tangga, ia sekali-sekali membantu di toko.

"Selamat pagi," kata manajer Tarozaemon yang muncul dari posnya di kantor pembukuan.
"Beberapa menit lalu, Sasuke ada di sini." Dan sambil menoleh pada seorang pembantu muda,
katanya, "Cari Sasuke. Cepat!"

Manajer itu mulai melaporkan perkembangan soal-soal usaha pada Tarozaemon, tapi pedagang
itu menghentikannya seketika sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan-akan seekor
nyamuk sedang mengejarnya. "Yang ingin kuketahui adalah apa ada orang datang kemari
mencari Musashi."

"Memang benar, ada orang datang kemari tadi pagi."

"Suruhan dari Nagaoka Sado? Yang itu aku tahu. Ada lagi yang lain?"

Manajer itu menggosok dagunya. "Saya tidak melihatnya sendiri, tapi katanya tadi malam datang
satu orang yang tampak kotor dan tajam matanya. Dia pakai tongkat kayu ek panjang, dan minta
bertemu 'Sensei Musashi'. Orang-orang mengalami kesulitan mengusir orang itu."

"Ada yang banyak omong! Padahal sudah kukatakan pada mereka, mesti tutup mulut tentang
adanya Musashi di sini."

"Saya tahu, dan saya pun mengatakan pada mereka dengan cukup jelas. Tapi memang kita tak
bisa berbuat sesuatu dengan anak-anak muda itu. Adanya Musashi di tempat ini membuat
mereka merasa penting."

"Bagaimana kalian mengusir orang itu?"

"Sobei mengatakan padanya, dia keliru, karena Musashi tak pernah ada di sini. Akhirnya orang
itu pergi, entah percaya atau tidak. Sobei melihat ada dua atau tiga orang menantikan orang itu di
luar, seorang di antaranya perempuan."

Sasuke datang berlari-lari dari dermaga. "Bapak memanggil saya?"

"Ya. Aku ingin tahu, apa kau sudah siap. Kau tahu, ini penting sekali."

"Saya tahu, Pak. Saya sudah bangun sejak sebelum matahari terbit. Saya sudah mandi dengan
air dingin, dan pakai cawat putih yang baru."

"Bagus. Apa perahu sudah siap, seperti kusebutkan tadi malam?"

"Ya, tak banyak lagi yang mesti dilakukan. Sudah saya pilih yang tercepat dan paling bersih di
antara perahu-perahu itu, sudah saya taburkan garam di bagian luar-dalam. Saya siap
berangkat, kapan saja Musashi siap."

"Di mana perahu itu?"

"Di pantai, bersama yang lain-lain."

Tarozaemon berpikir, "Lebih baik kita jalankan sekarang. Terlalu banyak orang akan melihat saat
Musashi berangkat. Dia tak suka itu. Bawa perahu ke pohon besar pinus Heike itu. Hampir tak
ada orang lewat sana."

"Baik, Pak."

Toko yang biasanya amat sibuk itu hampir-hampir sepi. Bingung dan cemas, Tarozaemon keluar
ke jalan. Baik di situ maupun di Moji, di pantai seberang, orang-orang libur-mereka yang
tampaknya samurai dari beberapa perdikan berdekatan, para ronin, sarjana Kong-Hu-Cu, pandai
besi, pandai senjata, pembuat lak, pendeta, macam-macam penduduk kota, dan sejumlah petani
dari pedesaan sekitar. Para wanita berbau wangi, mengenakan kerudung dan topi perjalanan
lebar. Istri-istri para nelayan menggendong atau menggandeng anak-anaknya. Mereka semua
bergerak ke arah yang sama, sia-sia mencoba lebih mendekati pulau itu, sekalipun tak ada
tempat yang menguntungkan. Benda paling kecil yang bisa terlihat tak lebih dari sebatang pohon.
"Aku tahu maksud Musashi," pikir Tarozaemon. Tentunya ia tidak tahan ditonton gerombolan
pelancong yang hanya menganggap perkelahian itu sebagai tontonan.

Sampai di rumah kembali, ia dapati seluruh tempat itu sudah bersih sekali. Dalam kamar yang
menghadap ke pantai, pola-pola ombak berkelap-kelip di langit-langit.

"Ayah dari mana? Sudah lama kucari-cari." Otsuru datang membawa teh.

"Tidak dari mana-mana." Tarozaemon mengangkat cangkir tehnya, dan memandang ke


dalamnya sambil merenung.

Otsuru datang kemari untuk tinggal bersama ayah yang dicintainya. Kebetulan, dalam perjalanan
dari Sakai, ia berada satu kapal dengan Musashi. Lalu ia tahu mereka berdua sama-sama punya
hubungan dengan Iori. Ketika Musashi datang untuk menyatakan hormat kepada Tarozaemon
dan mengucapkan terima kasih atas perawatan anak itu, pedagang itu mendesak Musashi
tinggal di rumahnya dan memerintahkan Otsuru melayaninya.

Malam sebelum itu, ketika Musashi bercakap-cakap dengan tuan rumah, Otsuru duduk di kamar
sebelah, menjahit cawat baru dan kain perut yang menurut Musashi dibutuhkannya pada hari
pertarungan. Otsuru sudah menyiapkan pula kimono baru warna hitam. Begitu diperlukan,
jelujuran yang dipergunakan melipat lengan dan rok kimono itu dapat segera dilepas.

Terlintas dalam pikiran Tarozaemon, bisa jadi Otsuru jatuh cinta pada Musashi. Tampak
pandangan mata anak itu gelisah. Dalam pikirannya tentu ada sesuatu yang serius.

"Otsuru, di mana Musashi? Apa sudah kausediakan makan pagi?"

"Ya. Sudah lama. Tapi, sesudah itu, dia menutup pintu kamarnya."

"Bersiap-siap kukira."

"Tidak, belum."

"Apa yang dia lakukan?"

"Rupanya sedang melukis."

"Sekarang ini?"

"Ya."

"Hmm. Memang kami membicarakan lukisan, dan aku tanya, apa dia mau membuatkan lukisan
buatku. Mestinya tak usah aku minta."

"Dia bilang, akan dia siapkan lukisan itu sebelum pergi. Dia juga bikin satu lukisan buat Sasuke."

"Sasuke?" ulang Tarozaemon tak percaya. Ia jadi semakin gelisah. "Apa dia tidak tahu, sekarang
sudah terlambat? Kaulihat sendiri itu, semua orang berduyun-duyun di jalan-jalan."

"Kalau melihat wajahnya, kita bisa menduga dia sudah lupa pertarungan itu."

"Sekarang ini bukan waktunya melukis. Katakan sana padanya. Kau mesti tetap sopan, tapi
sampaikan padanya, melukis itu dapat dilakukan nanti."

"Tapi kenapa saya? Saya tak bisa..."


"Kenapa tidak?" Dan, kecurigaannya bahwa anaknya telah jatuh cinta jadi lebih kuat. Ayah dan
anak berkomunikasi secara diam, namun sempurna. Sambil mengomel dengan nada sayang,
"Anak konyol. Kenapa menangis?" ia berdiri, lalu pergi ke kamar Musashi.

Musashi berlutut diam, seakan bersemadi. Di sampingnya terletak kuas, kotak tinta, dan tabung
kuas. Satu lukisan sudah diselesaikannya-seekor burung bangau di bawah pohon dedalu. Kertas
di hadapannya kini masih kosong. Ia sedang menimbang-nimbang, apa yang akan dilukiskannya.
Atau lebih tepat, diam-diam ia sedang mencoba menempatkan diri dalam kerangka pikiran yang
benar. Ini penting, sebelum ia dapat membayangkan lukisan itu, atau mengetahui teknik yang
akan dipergunakan.

Ia pandang kertas putih itu sebagai alam semesta kehampaan. Satu guratan saja akan
menampilkan kehadiran di dalamnya. Sebetulnya ia dapat membangkitkan hujan atau angin
sekehendaknya, tapi apa pun yang digambarnya, hatinya akan tertinggal dalam lukisan itu. Jika
hatinya ternoda, lukisan akan ternoda pula; kalau hatinya lesu, demikian jugalah jadinya lukisan
itu. Kalau ia mencoba memamerkan keterampilan semata, maka niatnya itu takkan dapat
disembunyikan. Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus. Gambaran hatinya akan terus
bernapas, sesudah ia sendiri tiada. Ia sadar bahwa pikirannya menghambat. la hampir memasuki
dunia kehampaan, membiarkan hatinya berbicara sendiri, bebas dari egonya, merdeka dari
sentuhan pribadi tangannya. Ia mencoba membuat dirinya kosong, dan menanti suasana mulia,
saat hatinya dapat berbicara dalam kesatuan dengan alam semesta, tidak mementingkan diri
sendiri dan tidak pula terhalangi.

Bunyi-bunyian dari jalan tidak sampai ke kamarnya. Pertarungan hari itu agaknya terpisah sama
sekali dari dirinya. Yang ia rasakan hanyalah gerak getar pohon bambu di kebun dalam.

"Boleh saya mengganggu?" Shoji di belakang dirinya terbuka tanpa bunyi, dan Tarozaemon
melongok ke dalam. Menyerobot masuk itu terasa salah, hampir-hampir jahat, tapi ia
memberanikan diri, katanya, "Saya minta maaf telah mengganggu, padahal kelihatannya Anda
demikian menikmati kerja Anda."

"Ah, silakan masuk."

"Sekarang sudah hampir waktunya berangkat."

"Saya tahu."

"Segalanya sudah siap. Semua barang yang Anda butuhkan ada di kamar sebelah."

"Oh, terima kasih banyak."

"Saya minta Anda tidak terlalu mementingkan lukisan itu. Anda dapat menyelesaikannya, bila
nanti kembali dari Funashima."

"Ah, tak apa. Saya merasa segar sekali pagi ini. Ini waktu yang baik buat melukis."

"Tapi Anda mesti memikirkan waktu."

"Ya, saya tahu."

"Kapan Anda mau melakukan persiapan, panggil saja. Kami menanti buat membantu."

"Terima kasih banyak."

Tarozaemon hendak meninggalkan tempat itu, tapi Musashi bertanya,


"Jam berapa pasang naik?"

"Pada musim ini, paling rendah antara jam enam dan jam delapan pagi. Mestinya kira-kira
sekarang ini naik lagi."

"Terima kasih," kata Musashi sambil lalu, lalu kembali memusatkan perhatian pada kertas putih
itu.

Tanpa suara, Tarozaemon menutup shoji dan kembali ke kamar tamu. Ia bermaksud duduk dan
menunggu dengan tenang, tapi belum lama ia mulai gelisah lagi. Ia bangkit dan pergi ke beranda.
Dari sana kelihatan olehnya arus mengalir melewati selat. Air mulai naik ke darat.

"Ayah."

"Ada apa?"

"Sudah waktunya pergi. Saya taruh sandalnya di pintu masuk halaman."

"Dia belum siap."

"Masih melukis?

"Ya."

"Saya kira tadi Ayah menyuruhnya berhenti dan bersiap-siap."

"Dia tahu jam berapa sekarang."

Sebuah perahu kecil berhenti di pantai, tak jauh dari tempat itu, dan Tarozaemon mendengar
namanya dipanggil orang. Nuinosuke yang bertanya, "Apa Musashi belum berangkat?" Ketika
Tarozaemon menjawab belum, Nuinosuke cepat mengatakan, "Tolong sampaikan padanya
supaya siap dan berangkat secepat-cepatnya. Kojiro sudah berangkat, juga Yang Dipertuan
Hosokawa. Majikan saya berangkat dari Kokura sekarang inn."

"Akan saya usahakan."

"Tolonglah! Barangkali kedengarannya seperti kata-kata perempuan, tapi kami ingin kepastian
bahwa dia tidak terlambat. Memalukan sekali kalau sampai mendatangkan aib pada diri sendiri
sekarang ini." Ia lekas-lekas berdayung pergi, meninggalkan perantara kapal dan anak
perempuannya itu marah-marah sendiri di beranda. Mereka menghitung detik demi detik, sambil
terus-menerus melayangkan pandang ke arah kamar kecil di belakang, yang tidak
memperdengarkan bunyi sedikit pun.

Segera kemudian, perahu lain datang membawa seorang utusan dari Funashima, untuk meminta
Musashi lekas datang.

Musashi membuka mata ketika mendengar bunyi shoji dibuka. Tak perlu lagi Otsuru minta izin
masuk. Ketika ia sampaikan pada Musashi kedatangan perahu dari Funashima itu, Musashi
mengangguk dan tersenyum ramah. "Begitu," katanya, lalu meninggalkan kamar.

Otsuru memandang lantai yang tadi diduduki Musashi. Lembar kertas itu sekarang sudah penuh
noda tinta. Semula gambar itu tampak seperti awan yang tidak jelas bentuknya, tapi segera
kemudian ia lihat lukisan itu merupakan pemandangan jenis "Tinta patah". Lukisan itu masih
basah.

"Tolong berikan lukisan itu pada ayahmu," seru Musashi, mengatasi bunyi kecipak air. "Dan yang
lain buat Sasuke."

"Terima kasih. Mestinya tak usah Anda lakukan itu."

"Saya minta maaf, tak ada barang yang lebih baik yang dapat saya sampaikan, sesudah Anda
sekalian begitu repot, tapi saya harap ayahmu menerimanya sebagai wasiat."

Otsuru menjawab penuh arti, "Malam nanti, bagaimanapun juga pulanglah, dan duduk dekat api
dengan Ayah, seperti tadi malam."

Mendengar gemeresik pakaian di kamar sebelah, Otsuru merasa senang. Akhirnya Musashi
berpakaian! Kemudian tidak terdengar apa-apa, dan hal berikut yang ia ketahui adalah Musashi
sedang bicara dengan ayahnya. Percakapan itu singkat sekali, hanya beberapa patah kata
pendek. Ketika melewati kamar sebelah, ia lihat Musashi sudah melipat rapi pakaian lamanya
dan menyimpannya di kotak sudut. Suatu kesepian tak terlukiskan mencekamnya. Ia
membungkuk dan membenamkan wajahnya ke kimono yang masih hangat itu.

"Otsuru!" panggil ayahnya. "Apa kerjamu? Dia berangkat!"

"Ya, Ayah." Ia menghapuskan jari-jarinya ke pipi dan kelopak mata, dan berlari ikut ayahnya.

Musashi sudah berada di gerbang halaman yang sengaja ia pilih untuk menghindari pandangan
orang. Ayah, anak perempuannya, dan empat atau lima orang lain dari rumah dan toko
mengantar hanya sampai gerbang. Otsuru terlalu gugup, hingga tak dapat mengucapkan kata-
kata. Ketika mata Musashi tertuju kepadanya, ia membungkuk seperti yang lain-lain.

"Selamat berpisah," kata Musashi. Ia lewati gerbang rendah dari rumput anyam itu, ia tutup, dan
katanya, "Jaga diri Anda sekalian." Ketika mereka mengangkat kepala, tampak Musashi sedang
berjalan cepat menjauh.

Mereka mengikutinya dengan pandangan mata, tapi Musashi tidak menoleh.

"Saya kira memang begitu mestinya sikap samurai," gumam seseorang. "Dia berangkat begitu
saja; tanpa pidato, tanpa ucapan selamat berpisah yang rumit, tanpa apa-apa."

Otsuru segera menghilang. Beberapa detik kemudian, ayahnya mengundurkan diri juga masuk
rumah.

Pinus Heike berdiri kokoh pada jarak sekitar dua ratus meter dari pantai. Musashi berjalan ke
sana dengan pikiran tenang sepenuhnya. Seluruh pikirannya telah ia tumpahkan ke tinta hitam
dalam lukisan pemandangan itu. Ia merasa senang telah melukis tadi, dan ia anggap usahanya
berhasil.

Sekarang ke Funashima. Ia berangkat dengan tenang, seakan-akan perjalanan ini sama dengan
perjalanan lain. Ia tidak tahu apakah akan pernah kembali, tapi ia sudah tak lagi memikirkan hal
itu. Bertahun-tahun lalu, ketika pada umur dua puluh dua ia menghampiri pinus lebar di Ichijoji, ia
merasa sangat bersemangat, karena dibayangi perasaan akan terjadinya tragedi. Waktu itu ia
mencengkeram pedangnya dengan penuh tekad. Sekarang ini ia tidak merasakan apa-apa.

Bukannya musuh hari ini tidak begitu menakutkan dibanding seratus orang yang ia hadapi waktu
itu. Jauh dari itu. Kojiro, yang berkelahi sendirian, merupakan lawan yang lebih hebat daripada
pasukan apa pun yang dapat disusun Perguruan Yoshioka untuk melawannya. Tak ada keraguan
sedikit pun dalam pikiran Musashi, bahwa ia sedang menghadapi perkelahian demi hidupnya.

"Sensei."
"Musashi!"

Pikiran Musashi jadi terlengah oleh suara-suara itu, dan oleh dua orang yang berlari-lari ke
arahnya. Sekejap ia terperangah.

"Gonnosuke!" serunya. "Dan Nenek! Bagaimana kalian berdua bisa ada di sini?"

Kedua orang yang sangat kotor badannya karena perjalanan itu, berlutut di pasir di depannya.

"Kami mesti datang," kata Gonnosuke.

"Kami datang buat melepas kepergianmu," kata Osugi. "Dan aku datang untuk minta maaf
padamu."

"Maaf? Pada saya?"

"Ya. Atas segalanya. Aku harus minta kau memaafkan diriku."

Musashi memandang wajah Osugi, penuh tanda tanya. Kata-kata itu terdengar mustahil olehnya.
"Kenapa begitu, Nek? Apa yang terjadi?"

Osugi berdiri dengan tangan terkatup, memohon, "Apa yang dapat kukatakan? Aku sudah
melakukan begitu banyak hal yang jahat, sampai aku tak bisa berharap minta maaf atas
semuanya itu. Semua itu... semua itu kekeliruanku yang mengerikan. Aku dibikin buta oleh cinta
kepada anakku, tapi sekarang aku tahu mana yang benar. Maafkan aku."

Musashi memandang Osugi sebentar, kemudian berlutut dan memegang tangan Osugi. Ia tak
berani mengangkat mata, takut air mata menggenangi matanya. Melihat perempuan tua itu
demikian menyesal, ia pun merasa bersalah. Tapi ia merasa berterima kasih juga. Tangan Osugi
gemetar, bahkan tangan Musashi sendiri bergetar sedikit.

Musashi butuh waktu sejenak untuk memulihkan dirinya kembali. "Saya percaya, Nek. Saya
mengucapkan terima kasih atas kedatangan Nenek. Sekarang saya dapat menghadapi maut
tanpa penyesalan, dan terjun dalam pertarungan dengan semangat yang bebas dan hati tak
terusik."

"Jadi, kau memaafkan aku?"

"Tentu saya memaafkan, kalau Nenek mau memaafkan saya atas semua kesulitan yang pernah
saya perbuat ketika kecil."

"Tentu, tapi cukuplah denganku. Ada orang lain yang membutuhkan pertolonganmu. Orang yang
amat sedih." Ia menoleh, mengajak Musashi melihat.

Di bawah pinus Heike berdiri Otsu yang memandang malu ke arah mereka, wajahnya pucat dan
basah karena menantikan perjumpaan.

"Otsu!" pekik Musashi. Dalam sedetik ia sudah langsung berada di depan Otsu. Ia sendiri tak
tahu bagaimana kakinya telah membawanya ke sana. Gonnosuke dan Osugi berdiri di tempat.
Mereka ingin sekali menghilang tak tahu rimbanya, dan meninggalkan pantai pada kedua
pasangan itu saja.

"Otsu, kau datang."

Tidak ada kata-kata yang dapat menjembatani jurang pemisah yang bertahun-tahun lamanya itu,
untuk mengungkapkan dunia perasaan yang membludak di dalam diri Musashi.
"Kau kelihatan tidak sehat. Apa kau sakit?" Musashi menggumamkan kata-kata itu, seperti satu
baris terpisah dalam sajak yang panjang.

"Sedikit." Dengan mata ditundukkan, Otsu berjuang untuk tetap tenang, agar tidak kehilangan
akal. Saar yang barangkali merupakan saat terakhir ini tidak boleh ternoda ataupun tersia-sia.

"Apa cuma masuk angin?" tanya Musashi. "Atau penyakitmu parah? Apa yang sakit? Di mana
kau berada beberapa bulan terakhir ini?"

"Aku kembali ke Shippoji musim gugur lalu."

"Pulang?"

"Ya." Otsu langsung memandang Musashi. Matanya jadi sejernih kedalaman samudra, mata
yang berjuang menahan air mata. "Tapi sebetulnya tak ada rumah sejati buat seorang yatim-piatu
macam aku. Yang ada cuma rumah dalam diriku."

"Jangan bicara macam itu. Lihat itu, Osugi pun kelihatan sudah membuka hatinya untukmu. Aku
jadi sangat bahagia. Kau mesti sembuh dari sakitmu dan belajar merasa bahagia. Untukku."

"Aku bahagia sekarang."

"Kau bahagia? Kalau betul, aku juga bahagia... Otsu..." Musashi membungkuk ke arah Otsu.
Otsu berdiri kaku, karena sadar akan hadirnya Osugi dan Gonnosuke. Tapi Musashi sudah
melupakan mereka. Dipeluknya Otsu dan digosokkannya pipinya ke pipi Otsu.

"Kau begini kurus... begini kurus." Musashi sadar benar bahwa napas Otsu bercampur demam.
"Otsu, maafkan aku. Barangkali aku kelihatan tak berhati, tapi sebetulnya tidak, terutama yang
menyangkut dirimu."

"Aku... aku tahu."

"Betul? Sungguh?"

"Ya, tapi kumohon ucapkan satu patah kata padaku. Satu patah saja. Katakan, aku istrimu."

"Akan merusak segalanya kalau aku mengatakan apa yang sudah kauketahui."

"Tapi... tapi..." Otsu tersedu-sedu dengan sekujur tubuhnya, tapi dengan ledakan kekuatannya ia
tangkap tangan Musashi, dan teriaknya, "Katakan! Katakan aku istrimu sepanjang hidup ini!"

Musashi mengangguk, pelan-pelan, tanpa kata-kata. Kemudian satu-satu ia melepaskan jemari


Otsu yang lembut dari tangannya, dan berdiri tegak. "Istri samurai tak boleh menangis dan lemah
ketika suaminya pergi berperang. Tertawalah untukku, Otsu. Lepaskan aku dengan senyum. Ini
barangkali keberangkatan terakhir suamimu."

Keduanya tahu bahwa saatnya sudah tiba. Untuk sesaat Musashi memandang Otsu dan
tersenyum. Kemudian katanya, "Sampai nanti."

"Ya. Sampai nanti." Otsu ingin membalas senyum Musashi, namun hanya berhasil menahan air
mata.

"Selamat tinggal." Musashi membalik, dan dengan langkah mantap berjalan menuju tepi air.
Sepatah kata perpisahan naik ke tenggorokan Otsu, tapi menolak diucapkan. Air mata
menggelegak tak tertahan. Ia tak dapat lagi melihat Musashi.
Angin kencang dan asin mempermainkan cambang Musashi. Kimononya mengepak-ngepak
ribut.

"Sasuke! Bawa lebih dekat perahu itu."

Walau sudah menanti lebih dari dua jam, dan tahu Musashi ada di pantai, namun Sasuke dengan
hati-hati terus memalingkan pandangan. Sekarang ia memandang Musashi, katanya, "Siap, Pak."

Dengan gerakan kuat dan cepat ia galahkan perahu untuk mendekat. Ketika perahu sudah
menyentuh pantai, Musashi melompat ringan ke haluan, dan berangkatlah mereka ke tengah
laut.

"Otsu! Berhenti!" Teriakan itu diserukan oleh Jotaro. Otsu berlari langsung ke arah laut, dan
Jotaro berlomba mengejarnya. Gonnosuke dan Osugi terkejut dan ikut mengejar.

"Otsu, berhenti! Apa yang kaulakukan?"

"Jangan bodoh begitu."

Mereka berhasil mengejarnya secara bersamaan. Mereka memeluk Otsu, dan menahannya.

"Tidak, tidak!" protes Otsu, menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. "Kalian tak mengerti."

"A-apa yang mau kaulakukan?"

"Biarkan aku duduk, sendiri." Suara Otsu tenang.

Mereka melepaskannya, dan dengan anggun Otsu berjalan ke suatu tempat, beberapa meter
jauhnya. Di situ ia berlutut ke pasir, kelihatannya kehabisan tenaga. Namun ia telah menemukan
kekuatannya. Ia tegakkan kerahnya. Ia luruskan rambut, lalu membungkuk ke arah perahu kecil
Musashi.

"Pergilah tanpa penyesalan."

Osugi berlutut dan membungkuk. Kemudian Gonnosuke. Dan Jotaro. Walau datang dari Himeji
yang begitu jauh, Jotaro tak berhasil sempat bicara dengan Musashi, padahal besar sekali
hasratnya untuk mengucapkan kata perpisahan. Tapi kekecewaannya terobati, karena ia tahu
telah memberikan jatah waktunya kepada Otsu.

110. Jiwa yang Sangat Dalam

PADA waktu pasang sedang setinggi-tingginya, air mengalir lewat selat, seperti sungai
pegunungan yang sedang banjir di lembah yang sempit. Angin buritan bertiup, dan perahu
bergerak cepat di atas ombak. Sasuke tampak bangga. Ia ingin dipuji atas dayungannya hari itu.

Musashi duduk di tengah perahu, lututnya terbuka lebar. "Apa makan waktu lama kesana?"
tanyanya.

"Tidak terlalu lama dengan air pasang ini, tapi kita terlambat."

"Mm."

"Sekarang jam delapan lebih."

"Ya, kukira begitu. Menurutmu, jam berapa sampai di sana?"

"Barangkali jam sepuluh atau lewat sedikit."

"Tepat sekali."

Langit yang dilihat Musashi hari itu—langit yang juga dilihat Ganryuberwarna biru dalam. Salju
yang menutup punggung Pegunungan Nagato tampak seperti pita yang berkibar-kibar di langit
tak berawan. Rumah-rumah di kota Mojigasaki dan lipatan-lipatan serta celah-celah Gunung
Kazashi kelihatan terang. Di lereng-lereng gunung itu, rombongan-rombongan orang
melayangkan pandang ke arah pulau-pulau.

"Sasuke, boleh aku ambil ini?"

"Apa itu?"

"Dayung rusak di dasar perahu ini."

"Saya tak butuh itu. Buat apa?"

"Hampir tepat ukurannya," kata Musashi tak jelas. Ia pegang dayung yang sudah sedikit tercelup
air itu dengan satu tangan, lalu ia picingkan matanya untuk melihat kelurusannya. Salah satu
ujungnya rompal.

Ia letakkan dayung itu di atas lutut, dan ia mulai asyik mengukirnya dengan pedang pendek.
Beberapa kali Sasuke melontarkan pandang ke belakang, ke arah Shimonoseki, tapi Musashi
kelihatan sudah lupa akan orang-orang yang ditinggalkannya. Beginikah cara samurai
menghadapi pertempuran mati-matian? Bagi orang kota seperti Sasuke, kelihatannya dingin dan
tawar.

Musashi selesai mengukir, lalu mengibaskan remah-remah kayu dari hakama-nya. "Ada sesuatu
yang bisa kupakai sebagai selimut?" tanyanya.

"Apa Bapak kedinginan?"

"Tidak, tapi air ini memercik."

"Mestinya ada jas lapis di bawah tempat duduk itu."

Musashi mengambil pakaian itu, dan menutupkannya ke bahunya. Kemudian ia mengambil


kertas dari dalam kimononya, ia gulung, dan ia pilin setiap lembarnya menjadi tali, ia pilin
semuanya sambung-menyambung menjadi dua utas tali, yang kemudian ia pintal menjadi tasuki,
pita yang biasa dipakai mengikat lengan baju waktu orang berkelahi. Sasuke sudah pernah
mendengar bahwa membuat tasuki dari kertas adalah seni rahasia yang diturunkan dari
angkatan satu ke angkatan yang lain, tapi Musashi kelihatan gampang saja membuatnya.
Dengan penuh kekaguman Sasuke memperhatikan kecekatan jari-jarinya, dan keanggunan cara
Musashi menggelincirkan tasuki itu di atas lengannya.

"Apa itu Funashima?" tanya Musashi sambil menuding.

"Bukan. Itu Hikojima, satu dari kelompok Hahajima. Funashima sekitar 1.000 meter ke timur laut.
Pulau itu mudah dikenal, karena datar dan tampak seperti gosong. Di antara Hikojima dan Izaki
ada Selat Ondo. Anda barangkali sudah pernah mendengarnya."

"Kalau begitu, di barat itu mestinya Dairinoura di Provinsi Buzen."

"Betul."

"Aku ingat sekarang. Ceruk-ceruk dan pulau-pulau sekitar daerah ini tempat menangnya
Yoshitsune dalam pertempuran terakhir melawan Heike."

Setiap kali mendayung, Sasuke bertambah gelisah. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan
jantungnya berdebar-debar. Rasanya ngeri bicara tentang hal-hal yang tak ada pertaliannya.
Bagaimana mungkin orang pergi bertempur demikian tenang?

Ini perkelahian sampai mati. Soal itu tak disangsikan lagi. Apakah nanti ia akan membawa pulang
penumpang ke daratan? Ataukah mayat yang sudah terpuntung-puntung dengan kejam? Tak
mungkin mengetahui hal itu sekarang. Musashi, menurut pendapat Sasuke, seperti awan putih
yang mengapung di langit.

Tapi itu bukanlah lagak yang dibuat-buat, karena sesungguhnya Musashi sendiri sama sekali
tidak sedang memikirkan sesuatu. Bahkan boleh dikatakan ia sudah sedikit bosan.

Ia memandang ke sisi perahu, ke air biru yang berkisaran. Tempat itu dalam, dalam tak terbatas,
dan penuh dengan kegiatan yang tampak seperti hidup abadi. Tapi air tidak memiliki bentuk
tertentu, bentuk yang pasti. Apakah karena manusia memiliki bentuk tertentu, yang pasti, maka ia
tidak dapat memiliki hidup kekal? Tidakkah hidup sebenarnya baru dimulai ketika bentuk nyata
hilang?

Di mata Musashi, hidup dan maut kelihatan mirip sekali dengan buih. Bulu romanya terasa tegak,
namun bukan karena air yang dingin, melainkan karena tubuhnya merasakan pertanda. Walau
pikirannya telah membubung di atas hidup dan mati, namun tubuh dan pikiran itu belum
bersesuaian. Apabila setiap pori dalam tubuh maupun pikirannya sudah lena, tak adalah yang
tertinggal di alam dirinya, kecuali air dan awan.

Mereka melewati Ceruk Teshimachi di Pulau Hikojima. Mereka tak melihat bahwa ada sekitar
empat puluh samurai yang berjaga di pantai. Semuanya pendukung Ganryu, dan kebanyakan
mengabdi pada Keluarga Hosokawa. Mereka melanggar perintah Tadatoshi dan menyeberang
ke Funashima dua hari lalu. Apabila Ganryu menderita kekalahan, mereka sudah siap membalas
dendam.

Pagi itu, ketika Nagaoka Sado, Iwama Kakubei, dan orang-orang lain yang ditugaskan berjaga
tiba di Funashima, mereka temukan rombongan samurai itu. Mereka kecam para samurai itu
habis-habisan, dan mereka perintahkan pergi ke Hikojima. Tapi karena kebanyakan pejabat
bersimpati pada mereka, maka mereka dapat pergi tanpa hukuman. Begitu mereka lepas dari
Funashima, apa yang mereka lakukan bukan tanggung jawab pejabat lagi.

"Kau yakin itu Musashi?" seorang dari mereka bertanya. "Mestinya."

"Dia sendirian."
"Kelihatannya. Dia pakai jubah, atau entah apa itu, buat menutup bahu."

"Barangkali pakai zirah ringan yang mau disembunyikannya."

"Ayo!"

Dengan keinginan yang amat sangat untuk bertempur, mereka berduyun-duyun masuk perahu
masing-masing, untuk berjaga-jaga. Semuanya bersenjatakan pedang, tapi di dasar masing-
masing perahu tersimpan sebilah lembing panjang.

"Musashi datang!"

Teriakan itu terdengar sekitar Funashima beberapa saat kemudian.

Bunyi ombak, suara pohon-pohon pinus, dan gemeresik rumpun bambu bercampur lembut
menjadi satu. Semenjak pagi, pulau kecil itu bersuasana sepi, walaupun sejumlah pejabat hadir
di sana. Segumpal awan putih naik dari arah Nagato, menyerempet matahari, menggelapkan
dedaunan pohon dan bambu. Sesudah awan lewat, suasana kembali terang.

Funashima pulau yang sangat kecil. Di ujung utara terdapat bukit rendah yang ditumbuhi pohon-
pohon pinus. Di selatan, tanahnya datar pada ketinggian sekitar setengah bukit, sampai akhirnya
pulau itu menurun menjadi beting.

Sebuah tirai digantungkan di antara beberapa pohon, tidak seberapa jauh dari pantai. Para
pejabat dan pembantu mereka menanti dengan tenang dan tidak mencolok, karena tak ingin
menimbulkan kesan pada Musashi bahwa mereka mencoba menaikkan martabat jagoan
setempat.

Sekarang, dua jam sesudah waktu yang ditentukan, mereka mulai memperlihatkan kekuatiran
dan kejengkelan. Dua kali mereka mengirimkan perahu cepat untuk meminta Musashi bergegas.

Pengintai dari batu karang berlari mendapatkan para pejabat, dan mengatakan, "Itu dia! Tak
salah lagi."

"Betul-betul dia datang?" tanya Kakubei sambil bangkit tanpa disengaja. Dengan perbuatan itu, ia
melakukan pelanggaran besar terhadap sopan santun. Sebagai saksi resmi, seharusnya ia tetap
bersikap tenang dan menahan diri. Namun kegembiraannya itu wajar sekali, dan orang-orang lain
di dalam rombongannya pun ikut berdiri.

Sadar akan kesalahannya, Kakubei mulai mengendalikan diri dan mendekati yang lain-lain untuk
duduk kembali. Penting sekali bagi mereka untuk tidak memperlihatkan sikap pribadi lebih
menyukai Ganryu untuk mewarnai tindakan atau keputusan mereka bersama. Kakubei
memandang daerah tunggu Ganryu. Tatsunosuke telah menggantungkan tirai dengan hiasan
bunga gentian di sebelah tirai terdapat ember kayu baru, dengan ciduk bergagang bambu.
Ganryu, yang sudah tak sabar karena lama menanti, minta minum air, dan sekarang beristirahat
dalam bayangan tirai.

Tempat Nagaoka Sado ada di sebelah Ganryu, sedikit lebih tinggi. la dikelilingi para pengawal
dan pembantu, sedangkan Iori ada di sampingnya. Ketika pengintai datang membawa berita
tersebut, wajah anak itu—bahkan juga bibirnya-berubah pucat. Sado duduk dalam sikap resmi,
tetap tanpa gerak. Ketopongnya bergeser sedikit ke kanan, seakan-akan ia sedang memandang
lengan kimononya. Dengan suara rendah ia panggil nama Iori.

"Ya, Pak." Iori membungkuk ke tanah, sebelum menengadah ke ketopong Sado. Karena tak
dapat mengendalikan kegembiraannya, sekujur tubuhnya menggeletar.
"Iori," kata Sado, memandang langsung anak itu. "Perhatikan semua yang terjadi. Jangan
lewatkan satu pun. Ingat-ingat, Musashi mempertaruhkan hidupnya buat mengajarkan padamu
apa yang akan kausaksikan sendiri."

Iori mengangguk. Matanya meletikkan nyala, ketika ia menetapkan pandangan ke batu karang.
Cipratan ombak putih yang mengempas ke batu karang itu menyilaukan matanya. Tempat itu
sekitar dua ratus meter jauhnya, karena itu tak mungkin la melihat gerak-gerak kecil dan napas
para petarung. Namun bukan segi-segi teknis yang diminta Sado untuk diperhatikannya,
melainkan saat dramatis ketika seorang samurai memasuki perjuangan hidup dan mati. Inilah
yang akan terus hidup di dalam pikirannya, dan mempengaruhinya sepanjang hidup.

Rumput bergoyang naik dan turun. Serangga-serangga kehijauan melejit ke sana kemari. Seekor
kupu-kupu kecil yang lembut bergerak dari lembar rumput yang satu ke lembar lain, kemudian tak
kelihatan lagi. "Dia hampir sampai," gagap Iori.

Perahu Musashi menghampiri batu karang pelan-pelan. Hampir tepat jam sepuluh waktu itu.

Ganryu berdiri dan berjalan tenang menuruni bukit kecil di belakang pos penantian. Ia
membungkuk kepada para pejabat di sebelah kanan dan kirinya, lalu berjalan diam melintasi
rumput, ke pantai.

Jalan masuk pulau itu mirip sebuah teluk kecil. Di situ gelombang berubah menjadi ombak-
ombak kecil, kemudian menjadi riak-riak air semata. Musashi dapat melihat dasarnya lewat air
yang biru jernih.

"Di mana mesti mendarat?" tanya Sasuke yang melembutkan gerak dayungnya, dan meninjau
pantai dengan matanya.

"Lurus saja." Musashi melontarkan mantel lapisnya.

Haluan perahu maju dengan sangat perlahan. Sasuke tak dapat memaksa diri mendayung
dengan kuat. Kedua tangannya hanya sedikit bergerak, dan ia hanya sedikit mengerahkan
tenaga. Bunyi burung bulbul terdengar di udara.

"Sasuke."

"Ya, Pak."

"Cukup dangkal di sini. Tak perlu terlalu masuk. Tak perlu merusakkan perahu. Dan lagi, sudah
waktunya pasang balik."

Diam-diam Sasuke memusatkan pandangan pada pohon pinus yang tinggi kurus dan tegak
sendirian. Di bawahnya angin memainkan sebuah jubah merah cemerlang.

Sasuke hendak menunjuk, tapi kemudian sadar bahwa Musashi sudah melihat lawannya. Sambil
terus menatap Ganryu, Musashi mengambil saputangan warna cokelat muda dari dalam obi-nya,
melipatnya dua kali membujur, kemudian mengikatkan ke rambutnya yang tertiup angin. Lalu ia
pindahkan pedang panjangnya, ia letakkan ke dasar perahu, dan ia tutupi dengan tikar buluh.
Dengan tangan kanan ia genggam pedang kayu yang ia buat dari dayung rusak tadi.

"Ini cukup jauh," katanya pada Sasuke.

Di hadapan mereka, air masih hampir enam puluh meter lebarnya. Sasuke membuat beberapa
tarikan panjang dayung buritan. Perahu mendompak dan mendarat ke beting, hingga lunasnya
bergetar.

Waktu itulah Musashi melompat ringan ke dalam laut, dengan hakama terkait tinggi di kedua
sisinya. Ia mendarat begitu ringan, hingga air hampir tidak berkecipak. Lalu ia melangkah cepat
ke garis air, sementara pedang kayunya memotong cipratan air.

Lima langkah. Sepuluh langkah. Sasuke sudah lupa akan dayungnya. Ia memperhatikan dengan
terpesona, tak sadar di mana ia berada, dan apa yang sedang ia lakukan.

Ganryu meluncur meninggalkan pohon pinus, seperti sehelai pita merah. Sarung pedangnya
yang disemir, berkilau oleh sinar matahari.

Sasuke teringat akan ekor rubah perak. "Cepat!" perkataan itu melintas dalam pikirannya, tapi
waktu itu juga Ganryu sudah sampai di tepian air. Yakin bahwa Musashi pasti tewas, ia tak tahan
melihat. Ia jatuh dengan wajah telungkup ke perahu, tubuhnya dingin gemetar. la sembunyikan
wajahnya, seakan-akan ia sendirilah yang setiap saat akan terbelah menjadi dua.

"Musashi!"

Ganryu menancapkan kaki dengan mantap di pasir, tak hendak mundur satu inci pun.

Musashi berhenti dan berdiri diam, menjadi permainan air dan angin. Wajahnya tampak
menyeringai.

"Kojiro," katanya tenang. Matanya memancarkan keganasan yang menakutkan, mata dengan
kekuatan yang dapat menyeret demikian dahsyat, hingga mengancam dan menghela Kojiro
tanpa dapat ditawar-tawar lagi ke dalam bencana dan kehancuran. Ombak membasahi pedang
kayunya.

Mata Ganryu menembakkan api. Nyala haus darah berkobar di dalam bola matanya, seperti
pelangi pekat padat yang menggertak dan melemaskan.

"Musashi!"

Tak ada jawaban.

"Musashi!"

Laut berdebur penuh pertanda di kejauhan; air pasang berdesir dan berbisik di kaki kedua orang
itu.

"Kau terlambat lagi, ya? Apa itu strategimu? Menurutku, itu cara pengecut! Sekarang ini dua jam
lewat waktu yang ditentukan. Aku datang jam delapan, tepat seperti kujanjikan. Aku menanti!"

Musashi tak menjawab.

"Kau pernah melakukan ini di Ichijoji, dan sebelum itu di Rengeoin. Rupanya kau sengaja ingin
menjatuhkan lawan dengan memaksanya menunggu. Akal macam itu takkan membawamu ke
mana-mana, kalau lawanmu Ganryu. Sekarang siapkan dirimu dan maju dengan berani, supaya
angkatan kemudian takkan menertawakanmu. Ayo maju dan bertempur, Musashi!" Ujung sarung
pedangnya mencuat tinggi di belakangnya, ketika ia menarik Galah Pengering yang besar itu.
Dengan tangan kiri ia loloskan sarung pedang itu, dan ia lemparkan ke air.

Sesudah menanti cukup lama, sampai ombak mengempas ke batu karang dan surut kembali ke
laut, Musashi tiba-tiba berkata dengan suara tenang, "Kau kalah, Kojiro!"
"Apa?" Ganryu kaget setengah mati.

"Pertarungan sudah selesai. Kau kalah, kataku."

"Kau bicara apa?"

"Kalau kau bakal menang, kau takkan membuang sarung pedangmu. Kau telah membuang masa
depanmu, hidupmu."

"Kata-kata saja! Omong kosong!"

"Sayang sekali, Kojiro. Sudah siap jatuh? Kau mau cepat?"

"Ayo... ayo maju, bajingan!"

"Ho-o-o!" Teriakan Musashi dan bunyi air bergabung membubung menjadi satu.

Ganryu melangkah ke dalam air, Galah Pengering diangkat tinggi-tinggi di atas kepala. Ia hadapi
Musashi langsung. Garis buih putih melintas di permukaan laut, ketika Musashi berlari naik pantai
ke sisi kiri Ganryu. Ganryu mengejar.

Begitu kaki Musashi meninggalkan air dan menyentuh pasir, hampir pada saat itu juga pedang
dan seluruh tubuh Ganryu melontar kepadanya, seperti ikan terbang. Musashi merasa Galah
Pengering mengarah kepadanya, padahal tubuhnya masih berada pada akhir gerak yang tadi
membawanya keluar dari air, dan sedang condong sedikit ke depan.

Ia pegang pedang kayunya dengan kedua tangan, terjulur ke kanan, ke arah belakang tubuh,
sedikit tersembunyi. Puas dengan kedudukannya, ia setengah bergumam dengan suara hampir
tak berbunyi, mengembus ke depan wajah Ganryu. Galah Pengering kelihatannya sudah hampir
turun menebas, namun pedang itu bergetar sedikit, kemudian berhenti. Tiga meter dari Musashi,
Ganryu mengubah arah dengan melompat cekatan ke kanan.

Kedua orang itu saling pandang. Musashi, yang berada dua-tiga langkah dari air, membelakangi
laut. Ganryu menghadapinya dengan pedang teracung tinggi dalam kedua tangan.

Hidup mereka berdua sama-sama terserap ke dalam pertarungan mematikan itu, dan keduanya
sama-sama kosong dari pikiran sadar.

Adegan pertempuran itu terhenti sempurna. Tapi di pos-pos penantian dan di atas bunyi ombak,
tak terhitung jumlahnya orang menahan napas. Di atas Ganryu melayang-layang doa dan
harapan orang-orang yang percaya kepadanya dan menginginkannya hidup terus, sedangkan di
atas

Musashi doa dan harapan dari orang-orang lain lagi. Dari Sado dan Iori yang ada di pulau itu.
Dari Otsu, Osugi, dan Gonnosuke di pantai Shimonoseki. Dari Akemi dan Matahachi di bukit
mereka di Kokura. Seluruh doa mereka tertuju ke surga.

Di sini harapan, doa, dan dewa-dewa tak mampu membantu, tidak juga kesempatan. Yang ada
hanya kekosongan tidak berpribadi dan sepenuhnya tidak memihak.

Apakah kekosongan ini, yang demikian sukar dicapai oleh orang hidup, merupakan ekspresi jiwa
yang sempurna, yang telah berhasil mengatasi pikiran dan gagasan-gagasan yang lebih mulia?

Kedua orang itu bicara tanpa membuka suara. Kemudian masing-masing, tanpa sadar,
menyadari kehadiran pihak lainnya. Pori-pori mereka menonjol seperti jarum-jarum yang terarah
pada lawan.
Otot, daging, kuku, rambut, bahkan alis-semua unsur tubuh yang mengambil bagian dalam hidup
ini-bergabung menjadi satu kekuatan tunggal melawan musuh, mempertahankan organisme
hidup yang menjadi induknya. Hanya jiwa itu sendiri yang bersatu dengan alam semesta, jernih
dan tenteram, seperti pantulan bulan di atas air kolam, di tengah topan yang mengamuk. Bisa
mencapai kediaman yang luhur lm merupakan pencapaian yang sungguh luar biasa.

Jeda itu serasa berlangsung beribu tahun, padahal sesungguhnya singkat saja, sepanjang waktu
yang dibutuhkan oleh ombak untuk datang dan menarik diri setengah lusin kali.

Kemudian satu pekik dahsyat—yang bukan sekadar suara, dan berasal dari dalam lubuk
makhluk hidup-memorakporandakan detik penuh ketegangan tersebut. Pekik itu datang dari
Ganryu, yang segera disusul pekikan Musashi.

Kedua orang itu berteriak seperti ombak yang marah melecut pantai karang, melambungkan
semangat mereka ke langit. Pedang si penantang terangkat sedemikian tinggi, hingga seakan
mengancam matahari dan membelah udara seperti pelangi.

Musashi mendorong bahu kirinya ke depan, menarik kaki kanannya ke belakang, dan mengubah
letak tubuh bagian atas pada kedudukan setengah menghadap lawan. Pedang kayu yang
dipegangnya dengan dua tangan, menyapu menembus udara, dan serentak dengan itu, ujung
Galah Pengering turun langsung di depan hidungnya.

Napas kedua orang yang sedang berlaga itu terdengar lebih keras dari bunyi ombak. Sekarang
pedang kayu dijulurkan pada ketinggian mata, sedangkan Galah Pengering jauh di atas
pembawanya. Ganryu meloncat sekitar sepuluh langkah, dan laut kini ada di sisinya. Walaupun
tak berhasil melukai Musashi dengan serangan pertama, ia berhasil meletakkan dirinya pada
kedudukan yang lebih baik. Sekiranya ia tinggal pada kedudukan semula, dengan pantulan sinar
matahari di air yang menerjang matanya, pandangannya pasti akan segera goyah, kemudian
juga semangatnya, dan ia akan jatuh dalam kekuasaan Musashi.

Dengan keyakinan yang sudah diperbarui, Ganryu mulai beringsut ke depan dan terus
menajamkan pandangan, mencari peluang dalam pertahanan Musashi. Ia membajakan
semangatnya sendiri, untuk melakukan gerakan yang menentukan.

Sementara itu, Musashi membuat gerakan tak terduga. Ia bukannya maju pelan-pelan dan hati-
hati, tapi melangkah tegap ke arah Ganryu, pedangnya terulur di depan, siap dihunjamkan ke
mata Ganryu. Kesederhanaan caranya itu membuat Ganryu tertegun. Ia hampir kehilangan
pandangan atas Musashi.

Pedang kayu Musashi terangkat lurus di udara. Dengan satu tolakan besar, Musashi melompat
tinggi, dan sambil melipat kaki ia mengecilkan tubuhnya yang tingginya 180 senti itu menjadi 120
senti atau kurang.

"Y a-a-ah!" Pedang Ganryu menjerit membelah ruang di atasnya. Pukulannya tak mengena, tapi
ujung Galah Pengering menetak ikat kepala Musashi, hingga ikat kepala itu terbang ke udara.

Ganryu mengira ikat kepala itu kepala lawan, dan seulas senyum meletik singkat di wajahnya.
Tapi detik berikutnya batok kepalanya pecah seperti kerikil, terkena pukulan pedang Musashi.

Ganryu terbaring di batas antara pasir dan rumput. Di wajahnya tak terlihat kesadaran akan
kekalahan. Darah mengalir dari mulutnya, tapi bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan.

"Oh, tidak!"
"Ganryu!"

Lupa akan dirinya, Iwama Kakubei meloncat dengan wajah terguncang, begitu pula semua
pengiringnya. Kemudian terlihat olehnya Nagaoka Sado dan Iori yang duduk tenang dan sabar di
bangku mereka. Merasa malu, mereka menahan diri untuk tidak lari ke depan. Sedapatnya
mereka mencoba memperoleh kembali ketenangan, namun kesedihan dan kekecewaan tak
dapat disembunyikan. Beberapa orang sukar menelan ludah, dan tak hendak mempercayai apa
yang mereka lihat. Otak mereka jadi kosong.

Dalam sesaat, pulau itu senyap dan diam, seperti sebelumnya.

Hanya gemeresik pohon pinus dan rumput yang berayun-ayun mengejek kerapuhan dan
kefanaan umat manusia.

Musashi memperhatikan segumpal awan kecil di langit. Ketika itulah jiwanya kembali ke
tubuhnya, dan baru waktu itulah ia melihat beda antara awan dan dirinya, antara tubuhnya dan
alam semesta.

Sasaki Kojiro Ganryu tidak kembali ke dunia orang hidup. Ia terbaring tertelungkup dengan
tangan masih mencengkeram pedang. Ketangguhan masih tampak pada sosoknya. Pada
wajahnya tak ada tanda-tanda penderitaan. Tiada lain kecuali kepuasan, karena telah menjalani
perkelahian yang baik, dan tak ada sedikit pun bayangan penyesalan.

Melihat ikat kepalanya sendiri tergeletak di tanah, Musashi jadi menggigil. Takkan pernah lagi
dalam hidupnya ia menjumpai lawan seperti ini, demikian pikirnya. Gelombang rasa kagum dan
hormat melandanya. Ia berterima kasih pada Kojiro atas apa yang telah diberikan kepadanya.
Dalam hal kekuatan, dalam hal tekad tempur, Kojiro setingkat lebih tinggi dari Musashi. Justru
karena itulah Musashi terpaksa mesti meningkatkan kemampuan dirinya sendiri, hingga bisa
lebih hebat lagi dari Kojiro.

Apa gerangan yang memungkinkan Musashi mengalahkan Kojiro? Keterampilannya? Bantuan


para dewa? Musashi tahu bahwa bukan itu jawabannya, namun ia tak pernah dapat
mengungkapkan alasan itu dalam kata-kata. Sudah pasti alasan itu sesuatu yang lebih penting
daripada kekuatan ataupun pertolongan dewa.

Kojiro meletakkan keyakinannya pada pedang kekuatan dan keterampilan. Musashi


mempercayakannya pada pedang semangat. Itulah satu-satunya beda di antara mereka.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Musashi berjalan menempuh sepuluh langkah yang
memisahkan dirinya dari Kojiro, dan berlutut di sampingnya. Ia letakkan tangan kirinya ke dekat
lubang hidung Kojiro, dan ia rasakan masih ada jejak napas. "Dengan perawatan yang tepat, dia
masih bisa pulih," kata Musashi pada diri sendiri. Ia ingin mempercayai kata-katanya itu, dan ia
ingin mempercayai juga, bahwa orang yang paling gagah berani di antara semua lawannya itu
akan diselamatkan.

Tapi pertempuran sudah usai. Sudah waktunya ia pergi.

"Selamat tinggal," katanya pada Kojiro, kemudian kepada para pejabat yang duduk di bangku.

la bersujud satu kali ke bumi, kemudian lari ke batu karang, dan melompat ke dalam perahu.
Tidak setetes darah pun menodai pedang kayunya.

Perahu kecil itu melaut. Siapa yang tahu, ke mana arahnya? Tak ada catatan, apakah para
pendukung Ganryu di Pulau Hikojima mencoba membalas dendam.

Manusia tak pernah meninggalkan rasa cinta dan benci selama hidupnya. Gelombang perasaan
datang dan pergi, bersama seiring dengan waktu. Sepanjang hidup Musashi, ada saja orang-
orang yang membenci kemenangannya dan mengecam tingkah lakunya pada hari itu. Dikatakan,
ia bergegas pergi karena takut akan pembalasan. Ia bingung. Ia bahkan lalai memberikan
pukulan untuk mengakhiri derita Kojiro.

Dunia ini selalu penuh dengan bunyi gelombang.

Ikan-ikan kecil menyerahkan diri mereka kepada gelombang, menari, menyanyi, dan bermain,
tapi siapa yang bisa mengenal hati laut tiga puluh meter di bawahnya? Siapa yang kenal akan
kedalamannya?

(TAMAT)

Created by [email protected]
for duniasex by yohukm

Anda mungkin juga menyukai