4638309-Anemia-Aplastik 3

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 58

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT : PANCYTOPENIA ec ANEMIA APLASTIK


LAPORAN KASUS : PANCYTOPENIA ec ANEMIA APLASTIK

DISUSUN OLEH:
Ruzanna binti
Hassim
C 111 09 870
PEMBIMBING :
dr. Titien Buniyanti
PEMBIMBING
BACA:
dr. Ayu

DIBAWAKAN
DALAM
RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahawa:
Nama

: Ruzanna binti Hassim

NIM

: C 111 09 858

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Hasanuddin

Judul Kasus

: Pancytopenia ec Anemia aplastik

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepanitraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, 4 Agustus 2014
Mengetahui,
Pembimbing

Co-ass

dr. Titien Buniyanti

Ruzanna binti Hassim


Pembimbing Pembacaan

dr. Ayu

LAPORAN KASUS
PANCYTOPENIA ec. ANEMIA APLASTIK
IDENTITAS PASIEN
Nama

Tn. F

Umur

31tahun

Jenis Kelamin

Laki-laki

Alamat

Jl. Udang No. 87

Pekerjaan

Tidak bekerja

Masuk

28 Juni 2014

Bangsal/Ruang

RPK Bawah RSWS

No. Rekam Medik

658070

SUBJEKTIF

Keluhan Utama: Bengkak pada kelopak mata

Anamnesis Terpimpin: Bengkak pada kelopak mata dialami sejak 3 bulan


yang lalu, bengkak dialami secara perlahan-lahan sampai sekarang dan sempat
dirawat di RSWS pada Maret 2014. Dirawat selama 1 bulan dengan diagnosis
selulitis orbita dari dokter spesialis mata. 1 bulan setelah keluar dari rumah
sakit, pasien mengeluh mata bengkak lagi tetapi bengkak tidak seperti waktu
bulan Maret 2014. Pasien juga mengeluh bengkak di bagian pipi dialami sejak 3
hari yang lalu, muncul secara tiba-tiba.

Demam ada sejak 1 minggu yang lalu, tidak terus menerus, membaik apabila
diberi obat penurun panas dan lebih sering pada malam hari. Pasien tidak
mengeluhkan batuk dan lendir. Pasien tidak mengeluhkan sakit kepala dan
pusing. Pasien tidak sesak napas. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada dan
nyeri ulu hati. Pasien mual terutama bila ada intake oral. Tidak ada muntah.
Nafsu makan berkurang selama pasien sakit, berat badan berkurang tetapi tidak
ketahui sejak kapan. Ada gusi berdarah sejak dirawat di rumah sakit.

BAK: Kesan Lancar, warna seperti teh. BAB: kesan lancar warna hitam
kecoklatan.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:


-

Tidak ada riwayat hipertensi

Tidak ada riwayat DM

Riwayat diopname dengan keluhan bengkak pada kelopak mata

Riwayat pengobatan: Riwayat konsumsi obat OAT tidak pernah . Riwayat


transfusi darah tidak pernah.

Riwayat Psikososial: Riwayat minum alkohol ada. Riwayat merokok ada.


Riwayat seks bebas tidak pernah. Riwayat konsumsi narkoba tidak pernah.

Riwayat keluarga: Riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama (-).

OBJEKTIF
a)

Keadaan Umum: Kesadaran kompos mentis, keadaan sakit sedang, keadaan


gizi cukup. (Status Presens: SS/GC/CM)

b)

Tanda Vital dan Antropometri


Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi

: 80 kali/menit

Pernafasan

: 20 kali/menit

Suhu

: 36.9 oC (pengukuran suhu axilla)

BB

: 53 kg

TB

: 165 cm

IMT

: 22.49 kg/m2

c) Pemeriksaan Fisis
Kepala : Ekspresi: normal Deformitas: tiada Simetris muka: kiri kanan sama
Rambut: hitam
Mata: Konjungtiva: anemis (+), Sklera: ikterus (+), sianosis (-).
Telinga: Nyeri tekan di processus mastoideus (+)

Mulut : lidah : kecoklatan , sariawan (+),


Leher
Thorax

: MT (-), NT(-), DVS R-2 cmH20, deviasi trakhea (-)


I

: simetris kiri = kanan, spider nevi (-)


Ginekomasti (-)

: MT (-), NT (-) VF kiri sama dengan kanan

: pekak setinggi V Th VIII Hemithorax Dextra


Pekak setiggi V Th IX Hemithorax Sinistra
BPH = ICS V Kanan Depan

: BP : vesikuler
BT: Rh

Jantung

----

Wh - ---

: ictus cordis tidak tampak

: ictus cordis tidak teraba

: pekak, batas jantung kanan pada linea parasternalis (D)


Batas jantung kiri pada linea midclavicularis (S)
Kesan normal

: BJ I/II murni reguler


bising (-)

Abdomen

: Cembung, ikut gerak nafas. Vena Kolateral (-)


A

: peristaltik (+) kesan normal


P

: NT (-), MT (-) Hepar: hepatomegali (+) 3, 1 cm dari arcus


costa, Lien: tidak teraba

: Undulasi (-) Timpani (+)

Anus dan rektum : Ampulla kosong, mukosa licin, feces tidak berdarah
Ekstremitas

: Edema pretibial -/- . Eritema palmaris (+) flapping tremor(-)


Eritema pada seluruh tubuh

Lain-Lain

:-

d) Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (9-6-2014)
HEMATOLOG

HASIL

I
WBC
RBC
HGB
HCT
PLT
MCV
MCH
MCHC
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
Na
K
Cl
GDS
Protein Total
Albumin
Globulin
Bil. Total
Bil. Direk
PT
aPTT

RUJUKAN
1,29
4.00 10.0
2,48
4.00 6.00
7,6
12.0 16.0
21,9
37.0 48.0
41
150 400
92,0
80.0 97.0
30,1
26.5 33.5
32,7
31.5 35.0
10-50
<1,3
1218
<38
670
<41
127
136-145
3,8
3,5-5,1
102
97-111
140
5,0
6,6-8,7
2,3
3,5-5
1,5-5
10,85
<1,1
9,02
<0,30
20,5
10,6-14,4
Tidak terbentuk 22,1-28,1

INR
Kolestrol Total
HDL
LDL

NILAI

koagulasi
1,65

<200
>65
<130

UNIT
[103/uL]
[106/uL]
[g/dL]
[%]
[103/uL]
[fL]
9[pg]
[g/dL]
mg/dl
mg/dl
u/L
u/L
Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L
mg/dl
gr/dl
gr/dl
gr/dl
mg/dl
mg/dl
Detik
Detik
Detik
mg/dl
mg/dl
mg/dl

Trigliserida
HBsAg (Rapid)
Anti-HCV

<200
Negatif
Negatif

(Rapid)
Anti HAV
D-Dimer
Fibrinogen

Tidak ada reagen


2,70
No coagulation

mg/dl

- Radiologi
USG Abdomen
-

Hepatomegaly

Foto Thorax AP
- Aspek bronchitis
- Efusi pleura dextra minimal
MSCT Whole Abdomen
- soft tissue mass sugestif benign dinding internal anterior abdomen suspek
-

desmoid tumor
Hepatosplenomegaly dengan fatty liver
Ascites dan efusi pleura bilateral
Meteorismus

e) Diagnosis Kerja
- Pansitopenia e.c susp. Anemia aplastik
- Febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
- Acute liver failure belum dapat disingkirkan
- Dispepsia fungsional

- Hiponatremia
f) Penatalaksanaan
1.

Diet Hepar

2.

IVFD Asering 20 tpm

3.

Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

4.

Maxiliv tab 2x1

5.

Metilprednisolone 125mg/24j/iv

6.

Ceftazidine 1gr/8j/iv

7.

Domperidone 10mg 3x1

8.

Leucogen 2x/minggu (1vial/sc)

9.

Novalgin 1amp/8j/iv

10. Sucralfat 8mg 3x1c


11. Vit K 1 amp/24j/iv
12. Kenalog in orobase
g) Rencana Pemeriksaan
Fe, TIBC, kultur darah dan sensitivitas AB , aspirasi sumsum tulang
h) Rencana Monitoring
Bil.total, Bil.direk,GOT,GPT, darah rutin
i) Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit pasien
- Komplikasi penyakit yang dialami oleh pasien
- Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan
- Diet makanan yang dianjurkan

LEMBAR FOLLOW UP PASIEN

Tanggal

Perjalanan Penyakit

09/6/2014

S: Mual (+), muntah (-), demam (+) - Diet Hepar


tidak

terus

Instruksi

menerus.

Nafsu - IVFD Asering 20 tpm

T : 110/70

makan berkurang. Riw. Minum - Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

N : 114 x/i

alcohol (+) riwayat merokok (+) - Maxiliv tab 2x1

P : 24 x/i

BAB : belum pagi ini

- Sistenol 3x1 (bila suhu diatas

S : 36.7 oC

BAK : lancar, warna seperti teh


O: SS/GC/CM

37 C)
- Metilprednisolone

BB : 53 kg

Kepala: anemis (+), ikterus (+),

125mg/24j/iv

TB : 165 cm

sianosis (-)

- Ceftazidine 1gr/8j/iv

Lidah: merah kecoklatan

- Lactulosa 8mg 3x1c

Mulut: sariawan (+) perdarahan - Domperidone 10mg 3x1


gusi (+)

- Clinimix + evelip 1 bag/hari

Telinga: Nyeri tekan di processus


mastoideus (+)

-IgM

anti

Thorax: BP: bronkovesikuler

Fibrinogen

HAV,

BT: Rh -/- Wh -/-

- USG abdomen, VCT

Abdomen : cembung,MT (-) NT (-)

- GOT,GPT,PT,APTT

Ascites (-) hepar: hepatomegali (+) -ADT,

kultur

D-Dimer,

darah

pembesaran 3,1 cm dari arkus sensitivitas AB


costa, konsistensi : keras, sudut - sputum BTA 3x gram jamur
tumpul

-balance cairan

Lien: tidak teraba


Anus

dan

rektum:

Spinkter

mencekik, ampulla kurang, mukosa


licin, handschoen tidak ada darah.
Extremitas : Edema Pretibial -/Eritema palmaris (+)

dan

Eritema diseluruh badan


A:
-Pansitopenia e.c susp. Anemia
aplastik + febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
-Acute liver failure belum dapat
disingkirkan
- Dispepsia fungsional
- Hiponatremia
10/6/2014

S: Mual (+), muntah (-), demam (+) - Diet Hepar


tidak

terus

menerus.

Nafsu - IVFD Asering 20 tpm

T : 110/70

makan berkurang. Riw. Minum - Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

N : 84

alcohol (+) riwayat merokok (+) - Maxiliv tab 2x1

P : 20

BAB : belum pagi ini

- Sistenol 3x1 (bila suhu diatas

S : 36,6

BAK : lancar, warna seperti teh


O: SS/GC/CM

37 C)
- Metilprednisolone

BB : 53 kg

Kepala: anemis (+), ikterus (+),

125mg/24j/iv

TB : 165 cm

sianosis (-)

- Ceftazidine 1gr/8j/iv

Lidah: merah kecoklatan

- Lactulosa 8mg 3x1c

Mulut: sariawan (+) perdarahan - Domperidone 10mg 3x1


gusi (+)

- Leucogen 2x/minggu

Telinga: Nyeri tekan di processus - Novalgin 1amp/8j/iv


mastoideus (+)
Thorax: BP: bronkovesikuler
BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : cembung,MT (-) NT (-)

10

Usul:
Vit K
Transfusi FFP

Ascites (-) hepar: hepatomegali (+) Transfusi trombosit


pembesaran 3,1 cm dari arkus
costa, konsistensi : keras, sudut
tumpul
Lien: tidak teraba
Anus

dan

rektum:

Spinkter

mencekik, ampulla kosong, mukosa


licin,handschoen tidak ada darah.
Extremitas : Edema Pretibial -/Eritema palmaris (+)
Eritema diseluruh badan
Balance cairan:
I: 1500
O: 600+500=1100
-400
A:
-Pansitopenia e.c susp. Anemia
aplastik + febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
- Acute liver failure belum dapat
disingkirkan
- Dispepsia fungsional
- Hiponatremia

11/06/2014

S: Mual (+), muntah (-), demam (+) - Diet Hepar


tidak

terus

menerus.

11

Nafsu - IVFD Asering 20 tpm

T : 100/70

makan berkurang. Riw. Minum - Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

N : 84 x/i

alcohol (+) riwayat merokok (+) - Maxiliv tab 2x1

P : 21x/i

BAB : berwarna merah

- Metilprednisolone

S : 36.5 oC

BAK : lancar, warna seperti teh


O: SS/GC/CM

125mg/24j/iv
- Ceftazidine 1gr/8j/iv

BB : 53 kg

Kepala: anemis (+), ikterus (+), - Domperidone 10mg 3x1

TB : 165 cm

sianosis (-)

- Leucogen

Lidah: merah kecoklatan

2x/minggu

(1vial/sc)

Mulut: sariawan (+) perdarahan - Novalgin 1amp/8j/iv


gusi (+)

- Sucralfat 8mg 3x1c

Telinga: Nyeri tekan di processus - Vit K 1 amp/24j/iv


mastoideus (+)

- Kenalog in orobase

Thorax: BP: bronkovesikuler


BT: Rh -/- Wh -/-

- Bil.total, Bil.direk,GOT,GPT.Fe,

Abdomen : cembung,MT (-) NT (-)

TIBC

Ascites (-) hepar: hepatomegali (+) -IgM anti HAV, VCT


pembesaran 3,1 cm dari arkus - Kultur darah dan sensitivitas AB
costa, konsistensi : keras, sudut - Balance cairan
tumpul

-Cek

Lien: tidak teraba

Dimer, Fibrinogen (Post transfuse

Anus

dan

rektum:

control

DR,PT,APTT,D-

Spinkter FFP)

mencekik, ampulla kurang, mukosa Usul: konsul infeksi tropis


licin, handschoen tidak ada darah.
Extremitas : Edema Pretibial -/Eritema palmaris (+)
Eritema diseluruh badan
Balance cairan:
I: 600+3000+500+400=4500

12

O: 1600
+2900
A:
-Pansitopenia e.c susp. Anemia
aplastik + febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
- Acute liver failure belum dapat
disingkirkan
- Dispepsia fungsional
- Hiponatremia
12/06/2014

S: Mual (+), muntah (-), demam (+) - Diet Hepar


1 kali tadi malam. Nafsu makan - IVFD Asering 20 tpm

T : 120/80

berkurang. Riw. Minum alcohol - Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

N : 84 x/i

(+) riwayat merokok (+)

P : 24x/i

BAB : belum 1 hari terakhir

S : 36.7 oC

BAK : lancar, warna seperti teh


O: SS/GC/CM

- Maxiliv tab 2x1


- Metilprednisolone
125mg/24j/iv
- Ceftazidine 1gr/8j/iv

BB : 53 kg

Kepala: anemis (+), ikterus (+), - Domperidone 10mg 3x1

TB : 165 cm

sianosis (-)

- Leucogen

Lidah: merah kecoklatan

2x/minggu

(1vial/sc)

Mulut: sariawan (+) perdarahan - Novalgin 1amp/8j/iv


gusi (+)

- Sucralfat 8mg 3x1c

Telinga: Nyeri tekan di processus - Vit K 1 amp/24j/iv


mastoideus (+)

- Kenalog in orobase

Thorax: BP: bronkovesikuler


BT: Rh -/- Wh -/-

13

Abdomen : cembung,MT (-) NT (-)


Ascites (-) hepar: hepatomegali (+)
pembesaran 3,1 cm dari arkus
costa, konsistensi : keras, sudut
tumpul
Lien: tidak teraba
Anus dan rektum: ampulla kurang,
mukosa licin,handschoen tidak ada
darah
Extremitas : Edema Pretibial -/Eritema palmaris (+)
Eritema diseluruh badan
Hasil Lab :
D-Dimer : 2,70
INR : 1,25
PT : 15,2 ctrl 13,3
Fibrinogen: 52,7
DR :
WBC : 11,1 x 103/l
RBC : 3,59 x 106/ l
Hb : 10,8 g/dL (L)
HCT : 30,6 % (L)
PLT : 532 x 103/ l
IgM anti HAV: tidak ada reagen
Skor DIC: 4
ADT: pancytopenia
Balance cairan:
I: 1700

14

O: 200+500
+1000
A:
-Pansitopenia e.c susp. Anemia
aplastik + febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
- Acute liver failure belum dapat
disingkirkan
- Dispepsia fungsional
- Hiponatremia
13/06/2014

S: Mual (+), muntah (-), demam (-) - Diet Hepar


Nafsu makan berkurang. Riw. - IVFD Asering 20 tpm

T : 120/70

Minum alcohol (+) riwayat - Lansoprazole tab 30mg 1-0-1

N : 84 x/i

merokok (+)

- Maxiliv tab 2x1

P : 24x/i

BAB : belum 1 hari terakhir

S : 36.7 oC

BAK : lancar, warna seperti teh


O: SS/GC/CM

- Metilprednisolone
125mg/24j/iv
- Ceftazidine 1gr/8j/iv

Kepala: anemis (+), ikterus (+), - Domperidone 10mg 3x1


BB : 53 kg

sianosis (-)

TB : 165 cm

Lidah: merah kecoklatan

- Leucogen

2x/minggu

(1vial/sc)

Mulut: sariawan (+) perdarahan - Novalgin 1amp/8j/iv


gusi (+)

- Sucralfat 8mg 3x1c

Telinga: Nyeri tekan di processus - Vit K 1 amp/24j/iv


mastoideus (+)

- Kenalog in orobase

Thorax: BP: bronkovesikuler

15

BT: Rh -/- Wh -/Abdomen : cembung,MT (-) NT (-)


Ascites (-) hepar: hepatomegali (+)
pembesaran 3,1 cm dari arkus
costa, konsistensi : keras, sudut
tumpul
Lien: tidak teraba
Anus

dan

rektum:

Spinkter

mencekik, ampulla kurang, mukosa


licin,handschoen tidak ada darah
Extremitas : Edema Pretibial -/Eritema palmaris (+)
Eritema diseluruh badan
Balance cairan:
I: 1800
O: 200+500
+1100
A:
-Pansitopenia e.c susp. Anemia
aplastik + febril neutropenia
- DIC
- Selulitis orbita
- Peningkatan enzim transaminase
- Acute liver failure belum dapat
disingkirkan
- Dispepsia fungsional
- Hiponatremia

16

RESUME
Seorang pria berumur 31 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan bengkak pada
kelopak mata dialami sejak 3 bulan, bengkak dialami secara perlahan-lahan sampai
sekarang dan sempat dirawat di RSWS pada Maret 2014. Dirawat selama 1 bulan
dengan diagnosis selulitis orbita dari dokter spesialis mata. 1 bulan setelah keluar dari
rumah sakit, pasien mengeluh mata bengkak lagi tetapi bengkak tidak seperti waktu
bulan Maret 2014. Pasien juga mengeluh bengkak di bagian pipi dialami sejak 3 hari
yang lalu, muncul secara tiba-tiba.
Demam ada sejak 1 minggu yang lalu, tidak terus menerus, membaik apabila diberi
obat penurun panas dan lebih sering pada malam hari. Pasien tidak mengeluhkan
batuk dan lendir. Pasien tidak mengeluhkan sakit kepala dan pusing.Pasien tidak
sesak napas. Pasien tidak mengeluhkan nyeri dada dan nyeri ulu hati. Pasien mual
terutama bila ada intake oral. Tidak ada muntah. Nafsu makan berkurang selama
pasien sakit, berat badan berkurang tetapi tidak ketahui sejak kapan. Ada gusi
berdarah sejak dirawat di rumah sakit. BAK: Kesan Lancar, warna seperti teh. BAB:
kesan lancar warna hitam kecoklatan. Tidak ada riwayat hipertensi.Tidak ada riwayat
DM. Riwayat diopname dengan keluhan bengkak pada kelopak mata. Riwayat
konsumsi obat OAT tidak pernah . Riwayat transfusi darah tidak pernah. Riwayat
minum alkohol ada. Riwayat merokok ada. Riwayat seks bebas tidak pernah. Riwayat
konsumsi narkoba tidak pernah. Riwayat Keluarga yang menderita penyakit yang
sama disangkal.
Tanda-tanda vital pada pasien adalah tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84 kali
per menit, pernapasan 24 kali per menit, dan suhu 36.6 C. Pada pemeriksaan kepala
didapatkan anemis dan ikterus . Pada pemeriksaan mulut didapatkan lidah merah
kecoklatan, sariawan ada dan perdarahan gusi. Pada pemeriksaan telinga didapatkan
nyeri tekan pada processus mastoideus. Pada

pemeriksaan abdomen didapatkan

bentuk cembung, hepatomegali dengan pembesaran 3,1 cm dari arkus costa,


konsistensi keras, sudut tumpul.

Pada pemeriksaan anus dan rektum: spinkter

17

mencekik, ampulla kurang, mukosa licin, handschoen tidak ada darah. Pada
ekstremitas didapatkan eritema palmaris dan eritema pada seluruh badan. Hasil USG
Abdomen : kesan hepatomegaly. Pada pemeriksaan MSCT Whole Abdomen kesan
soft tissue mass sugestif benign dinding internal anterior abdomen suspek desmoid
tumor, hepatosplenomegaly dengan fatty liver, ascites dan efusi pleura bilateral,
meteorismus. Pada pemeriksaan foto thoraks kesan : aspek bronchitis, efusi pleura
dextra minimal. Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan peningkatan enzim hati,
serta pancytopenia. Dari anamnesis, pemeriksaan fisis, dan laboratorium serta USG
Abdomen. Maka pasien ini sesuai dengan diagnosis Pancytopenia ec Anemia
Aplastik.

18

BAB I
PENDAHULUAN
Anemia aplastik adalah ditandai dengan pansitopenia darah tepi, dengan
hiposellularitas sumsum tulang dan tidak adanya proses hematologi klonal.
Kegagalan sumsum tulang untuk memproduksi komponen sel darah. Keunggulan dari
penyakit ini adalah pansitopenia dan hiposellularitas sumsum tulang.1,2,3
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun
1988 oleh Paul Ehrlich pada wanita hamil. Istilah ini adalah sebuah ironi karena
semua tiga baris sel hematopoietic menghilang secara bertahap dari sumsum tulang
tanpa penggantian dari baris sel lain.4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai
6 kasus baru persejuta penduduk pertahun. Penyakit ini jauh lebih umum di bagian
tertentu di dunia misalnya Asia Timur.5 Di Thailand dan China, insidensi 5 sampai 7
perjuta kasus telah ditemukan. Pada umumnya pria dan wanita memiliki frekwensi
yang sama, tapi ada distribusi usia yang biphasic dengan puncak kejadiannya pada
remaja dan dua puluhan dan kenaikan kedua pada orang tua. 1 Variasi geografis ini
lebih disebabkan oleh lingkungan daripada unsure genetic meskipun kerentanan
individu merupakan factor penting.3
Penyakit ini mungkin bawaan atau diperoleh. Anemia aplastik congenital
dapat diwariskan sebagai resesif autosomal ( tipe Fanconi) ; jarang berhubungan
dengan dyskeratosis congenital. Anemia aplastik yang diperoleh memiliki penyebab
yang dapat diidentifikasikan (infeksi virus, radiasi atau paparan obat) pada sekitar
50% kasus. Obat-obatan yang menyebabkan penekanan sumsum tulang seperti
busulfan dan kloramfenikol, radiasi pengion, bahan kimia seperti benzene,
insektisida, dan infeksi seperti hepatitis. 7 Penyebabnya tidak diketahui, tetapi
mungkin melibatkan kekebalan terhadap sumsum tulang. 6

19

Diagnosis anemia aplastik bisa sulit karena tumpang tindih dengan penyakit
lain khusunya kegagalan sumsum tulang. Langkah- langkah diagnostic aplastik
anemia termasuk mengkonfirmasikan kecurigaan diagnosis dan membedakan
penyakit kegagalan sumsum tulang lainnya, menentukan beratnya penyakit dan
mengkarakterisasikan anemia aplastik. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah
berdasarkan pemeriksaan darah tepi, biopsy trephine dan aspirasi sumsum tulang. 8
Sebelum

munculnya

transplantasi

sumsumtulang,

terapi

intensif

imunosupresif prognosis untuk pasien dengan anemia aplastik berat lebih dari 25 %
berkembang ke kematian dalam waktu 4 bulan dari diagnosis dan 50% meninggal
dalam waktu 1 tahun. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup dapat
mencapai 75% sampai 85 %.3

20

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang
ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. 4 Pada anemia
aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga
menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia, monositopenia dan
trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan
anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang
sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia
hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
2.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia,
berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. 2 Analisis retrospektif
di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5
kasus persejuta penduduk pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and
Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang
pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai
25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik
lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada
di negara Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan
dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik,

21

dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan
peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika.5
2.3 Klasifikasi Anemia Aplastik
Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Klasifikasi menurut kausa2 :
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya
anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Anemia aplastik berat

- Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%


dengan <30% sel hematopoietik residu, dan
- Dua dari tiga kriteria berikut :
netrofil < 0,5x109/l
trombosit <20x109 /l
retikulosit < 20x109 /l

Anemia aplastik sangat berat

Sama seperti anemia aplastik berat kecuali


netrofil <0,2x109/l

Anemia aplastik bukan berat

Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia


aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum
tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari
tiga kriteria berikut :
- netrofil < 1,5x109/l
- trombosit < 100x109/l
- hemoglobin <10 g/dl

22

2.4 Etiologi Anemia Aplastik


Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.
Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti
penyebabnya tidak diketahui.4,11 Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi
virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12
Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia)
Anemia aplastik sekunder
Radiasi
Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis

23

Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)
2.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana
jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat
sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik.
Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan
fibrosis.2
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan
luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat
digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum
tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang.
Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv

24

(ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat
berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi.
Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang.
Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan
anemia aplastik.13
2.4.2 Bahan-bahan Kimia
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan
anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang
lain seperti insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang
berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia.13
2.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat
berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang
dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah
kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon,
senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran
atau nitrosourea.2
Tabel 3. Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik9
Kategori

Resiko Tinggi

Resiko
Menengah

Resiko Rendah

Analgesik

Fenasetin,
salisilamide

Anti aritmia

Kuinidin, tokainid

Anti artritis

Garam Emas

25

Kolkisin

aspirin,

Kategori

Resiko Tinggi

Anti konvulsan

Resiko
Menengah

Resiko Rendah

Karbamazepin,
hidantoin,
felbamat

Etosuksimid, Fenasemid,
primidon, trimethadion,
sodium valproate

Anti histamin

Klorfeniramin,
pirilamin, tripelennamin

Anti hipertensi

Captopril, methyldopa

Anti inflamasi

Penisillamin,
fenilbutazon,
oksifenbutazon

Diklofenak, ibuprofen,
indometasin, naproxen,
sulindac

Kloramfenikol

Dapsone,
metisillin,
penisilin, streptomisin,
-lactam antibiotik

Anti mikroba
Anti bakteri

Anti fungal

Amfoterisin, flusitosin

Anti protozoa

Kuinakrine

Klorokuin,
pirimetamin

mepakrin,

Obat Anti neoplasma


Alkylating
agen

Busulfan,
cyclophosphamide,
melphalan,
nitrogen
mustard

Anti metabolit Fluorourasil,


mercaptopurine,
methotrexate
Antibiotik
Sitotoksik

Daunorubisin,
doxorubisin,
mitoxantrone

Anti platelet

Tiklopidin

Anti tiroid

Karbimazol, metimazol,
metiltiourasil, potassium
perklorat, propiltiourasil,
sodium thiosianat

Sedative dan
tranquilizer

Klordiazepoxide,
Klorpromazine
(dan
fenothiazin yang lain),

26

Kategori

Resiko Tinggi

Resiko
Menengah

Resiko Rendah
lithium, meprobamate,
metiprilon

Sulfonamid dan turunannya


Anti bakteri
Diuretik

Numerous sulfonamides
Acetazolamide

Hipoglikemik

Klorothiazide,
furosemide
Klorpropamide,
tolbutamide

Lain-lain

Allopurinol, interferon,
pentoxifylline
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang
disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik
merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko
rendah.
2.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis,
virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling
sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi
hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat
hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus
B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik
kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang
imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum
tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat
menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan
sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder,

27

inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel
atau destruksi jaringan stroma penunjang.4
2.4.5 Faktor Genetik
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian
dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia
Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia
sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius,
mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
2.4.7 Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain
1. Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan
hipoplasia sumsum tulang.2
2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH).
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai
pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH.2
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi
hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan
mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan
membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama
kehamilan

dengan

kejadian

yang

berulang

pada

kehamilan-kehamilan

berikutnya.9
2.5 Patogenesis2
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik
yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan
oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan
(acquired aplastic anemia)

disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen

28

toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang


didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang
paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka.
Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami
perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia
Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan
akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan
perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan
gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen
dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat
disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini
dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA
dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan

mekanisme

utama

patofisiologi

anemia

aplastik.

Walaupun

mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan


dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi
antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,
yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
2.6 Gejala dan Pemeriksaan Fisis Anemia Aplastik
Perdarahan adalah gejala awal yang palig umum; keluhan mudah memar, gusi
berdarah,mimisan, aliran menstruasi berat dan kadang-kadang petechiae. Dengan
trombositopenia, perdarahan massif tidak biasa, tetapisejumlah kecil perdarahan apda

29

system pusat dapat menyebabkan perdarahan intracranial atau retina. Gejala anemia
juga sering terjadi termasuk mudah lelah, lemas, sesak napas, dan rasa berdebar di
telinga. Infeksi merupakan gejala awal yang jarang terjadi pada anemia aplastik (tidak
seperti pada agranulositosis, dimana pharingitis, infeksi anorektal, atau sepsis sering
terjadi pada awal). Sebuah fitur mencolok dari anemia aplastik adalah keterbatasan
gejala pada sistem hematologi dan pasien sering merasa dan terlihat sehat walaupun
terjadi penurunan drastis pada hitung darah. Riwayat keluarga penyakit atau kelainan
hematologi darah dapat mengindikasikan penyebab konstitusional pada kegagalan
sumsum. Pemeriksaan panggul dan dubur harus dilakukan dengan hati-hati dan
menghindari trauma; ini akan sering menunjukkan perdarahan dari servikal atau
darah dari tinja. Pucat pada kulit dan selaput lendir adalah umum kecuali dalam kasus
yang sangat akut atau yang telah menjalani transfusi. Limfadenopati dan
splenomegali sangat atipikal anemia aplastik. Spot Cafe au Lait dan perawakan
pendek menunjukkan anemia, kuku aneh Fanconi dan leukoplakia menandakan
dyskeratosis congenita.1
Anemia aplastik dapat muncul dengan mendadak atau memiliki onset yang
lebih berbahaya. Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan
gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Anemia sedang hingga
berat bermanifestasi dengan kelelahan dan dypsnoe saat beraktivitas. Neutropenia
dikaitkan dengan perkembangan infeksi bakteri atau jamur. Perdarahan atau memar
akibat trombositopenia juga sering terjadi. Pemeriksaan fisik pucat, perdarahan
mukosa, ekimosis atau petechiae.2
Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan
keluhan yang paling sering dikemukakan.
Tabel 4. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70)2
Jenis Keluhan
Pendarahan

%
83

Lemah badan

80

30

Pusing

69

Jantung berdebar

36

Demam

33

Nafsu makan berkurang 29


Pucat

26

Sesak nafas

23

Penglihatan kabur

19

Telinga berdengung

13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada
tabel 5 terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan
pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang
sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan
splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan
limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Tabel 5. Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik2
Jenis Pemeriksaan Fisik
Pucat

%
100

Pendarahan

63

Kulit

34

Gusi

26

Retina

20

Hidung

Saluran cerna

Vagina

Demam

16

Hepatomegali

Splenomegali

31

2.7 Pemeriksaan Penunjang


2.7.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan
bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis.2
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm 3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang
dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang
berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik
trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan
berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia
aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya
memanjang

dan

begitu

juga

dengan

waktu

pembekuan

akibat

adanya

trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin


ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk
erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe

32

serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi


Fe ke eritrosit yang bersirkulasi.9
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan
daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,
sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran
hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis
(misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area
fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi
dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30%
sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada
individu yang berumur lebih dari 60 tahun.8
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari
30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
2.7.2 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom
kegagalan

sumsum

tulang

yang

diturunkan,

karena

banyak

diantaranya

memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance

33

Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu ketidakhadiran elemen seluler dan
digantikan oleh jaringan lemak.
2.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan
pemeriksaan sumsum tulang. Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai
sumsum tulang yang miskin selularitas dan kaya akan sel lemak sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan hiposelularitas sumsum tulang tersebut
dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia aplastik (lihat tabel 1).
2.9 Diagnosa Banding
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.
Table 6 Penyebab Pansitopenia14
Kelainan
sumsum
Anemia

tulang
aplastik

Myelodisplasia
Leukemia

akut

Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia

megaloblastik

Kelainan bukan sumsum tulang


Hipersplenisme
Sistemik

lupus

eritematosus

Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis


Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma

34

myelodisplasia tampak hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan


anemia aplastik dengan sindrom myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat
morfologi film darah yang abnormal (misalnya poikilositosis, granulosit dengan
anomali pseudo-Pelger- Het), prekursor eritroid sumsum tulang pada myelodisplasia
menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang patologis lebih sering
ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu, prekursor
granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu
dengan adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan
adanya sitogenetik abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya
disertai limfadenopati, hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell
leukemia dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan
sel limfoid abnormal pada biopsi sumsum tulang.14
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
sistemik lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum
tulang yang normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
2.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat
granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan
kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien
(lihat tabel 7).9

Tabel 7. Manajemen Awal Anemia Aplastik9

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga


menjadi penyebab anemia aplastik.

35

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.

Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang


dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.

Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik


tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan
kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi GCSF.

Assessment

untuk

transplantasi

stem

sel

allogenik

pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.


Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid. 9 Terapi standar
untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang.
Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling
donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus
dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya
mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD
(Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai
komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat
dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik.15

36

Gambar 1. Algoritme penatalaksanaan pasien anemia aplastik berat.15


a. Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok
HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup
leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan

yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG
atau ALG diindikasikan pada15 :
-

Anemia aplastik bukan berat

Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin

melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi
langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.15

37

Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi
alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.15 Sebuah protokol
pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
Tabel 8. Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik11
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau
lebih mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan
bila terdapat kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada

38

anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.15
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki
kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid.
Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif
daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas
sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan
siklosporin.9 Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk
imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi. Sampai
kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun.
Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps
dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.15
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian
faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.15
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon
terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang
refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik

seperti Granulocyte-

Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan


tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan
neutrofil oleh stimulating faktor

ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor

pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi


anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan
untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.11,15

39

Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin


dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen
digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.9,15
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA).
Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan,
namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi
imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan
beratnya

reaksi

penolakan

sumsum

tulang

donor

(Graft

Versus

Host

Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.9,10

40

Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum


tulang dari donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival
yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien
dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG)
maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. 15 Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan
transfusi selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin
diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut15 :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm 3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
2.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah
absolut netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang
dari 500/l (0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah
netrofil kurang dari 200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap
imunoterapi dan prognosis yang jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik

41

tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang lebih baik daripada orang dewasa.
Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap androgen dan
glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang
berusia kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan
sekitar 50% pada pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien
yang bertahan karena mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita
gangguan akibat GVHD kronik dan resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada
pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi siklosporin sebelum transplantasi
stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang belum mendapatkan terapi
imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum tersensitisasi
dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi
kombinasi imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien
setelah terapi memiliki jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian
mendapatkan anemia sedang atau trombositopenia. Penyakit ini juga akan
berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal nokturnal hemoglobinuria, sindrom
myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40% pasien yang pada
mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama
15 tahun dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38%
yang bertahan dalam 15 tahun.
Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang
sama dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki
toksisitas yang lebih besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun
memiliki remisi yang lebih bertahan lama.

42

DISKUSI STATUS
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari sumsum tulang
yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau tidak adanya unsur pembentuk darah
dalam sumsum. Penyakit ini ditandai dengan adanya pansitopenia, di mana terjadi
kondisi defisit sel darah pada jaringan tubuh. Biasanya hal ini juga dikaitkan dengan
kurangnya jumlah sel induk pluripoten, defek pada limfosit T helper, defisiensi
regulator humoral atau selular, atau faktor-faktor lainnya. Umumnya pasien anemia
aplastik yang mendapat terapi transplantasi sumsum tulang dari saudara kembar
identik dapat sembuh dari penyakit tersebut. Di samping itu, anemia aplastik dapat
disebabkan oleh induksi obat atau induksi toksin yang menyebabkan kerusakan sel
induk. Penyebab kasus lainnya adalah infeksi virus. Angka kejadian anemia aplastik
sangat rendah, pertahunnya kira-kira 2 5 kasus/juta penduduk/tahun.
Secara umum, anemia aplastik diklasifikasikan menjadi:
Eritroblastopenia (anemia hipoblastik) yaitu aplasia yang hanya mengenai
sistem eritopoetik.
Agranulositosis (anemia hipoplastik) yaitu aplasia yang mengenai sistem

43

agranulopoetik.
Amegakaryositik (Penyakit Schultz) yaitu aplasia yang mengenai sistem
trombopoetik.
Panmieloptisis (anemia aplastik) yaitu aplasia yang mengenai ketiga
sistem diatas (eritropoetik, agranulopoetik, trombopoetik)
Anemia aplastik disebabkan oleh:
1. Faktor kongenital
Sindrom fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
2. Faktor didapat (acquired):
a. Zat kimia, benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb.
b. Obat : Obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pada sumsum tulang dapat
dibagi dua:
i. Sering atau selalu menyebabkan depresi sumsum tulang
a) Sitostatika
ii. Kadang-kadang menyebabkan depresi sumsum tulang
a) Antikonvulsan, misalnya: metilhidantoin
b) Antibiotik, misalnya: kloramfenikol, sulfonamide, penicillin dan lain-lain
c) Analgesik, misalnya: fenilbutazon
d) Relaksan otot, misalnya: meprobamat

44

3. Radiasi : dapat mengakibatkan kerusakan pada sel induk atau lingkungannya.


Contoh radiasi yang dimaksud antara lain pajanan sinar X yang berlebihan ataupun
jatuhan radioaktif (misalnya dari ledakan bom nuklir).
4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan sebagainya. Zat-zat kimia
yang sering menjadi penyebab anemia aplastik misalnya benzen, arsen, insektisida,
dan lain-lain. Zat-zat kimia tersebut biasanya masuk melalui kontak kulit pada
individu sehingga terjadi akumulasi bahan-bahan myelotoksik yang diabsorbsi
melalui kulit dalam jangka waktu yang lama.
5. Infeksi (misalnya Hepatitis C, EBV, CMV, parvovirus, HIV, dengue), keganasan,
gangguan endokrin.
6. Idiopatik : merupakan penyebab terbanyak.
Ada 3 hal yang menjadi patofisiologi pada anemia aplastik:
1. Kerusakan pada sel induk pluripoten
Gangguan pada sel induk pluripoten merupakan penyebab utama terjadinya anemia
aplastik. Sel induk pluripoten yang mengalami gangguan gagal membentuk atau
berkembang menjadi sel darah yang baru. Umumnya hal ini disebabkan kurangnya
jumlah atau menurunnya fungsi sel induk pluripoten. Penanganan yang tepat untuk
individu anemia aplastik yang disebabkan oleh gangguan pada sel induk adalah
transplantasi sumsum tulang.
2. Kerusakan pada microenvironment
Gangguan pada mikrovaskuler, faktor humoral (misal eritropoetin) atau bahan
penghambat pertumbuhan sel mengakibatkan gagalnya jaringan sumsum tulang
berkembang. Gangguan pada microenvironmentmenyebabkan hilangnya kemampuan
sel tersebut menjadi sel-sel darah. Selain itu, pada beberapa penderita anemia aplastik
ditemukan hambatan pertumbuhan sel. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
limfosit T yang menghambat pertumbuhan sel-sel sumsum tulang.

45

3. Proses autoimun
Adanya reaksi autoimunitas pada anemia aplastik dibuktikan oleh percobaan in vitro
yang memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan koloni
hemopoetik alogenik dan autologous. Setelah itu, diketahui bahwa limfosit T
sitotoksik memerantarai destruksi sel-sel asal hemopoetik pada kelainan ini. Sel-sel T
efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang dibandingkan dengan darah tepi pasien
anemia aplastik. Sel-sel tersebut menghasilkan IFN- dan TNF- yang merupakan
inhibitor langsung hemopoesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34+.
Klon sel-sel T immortal yang positif CD4 dan CD8 dari pasien anemia aplastik juga
mensekresi sitokin Th1 yang bersifat toksik langsung ke sel CD34 positif autologous.
Pada penderita anemia aplastik dapat ditemukan tiga tanda utama yaitu, anemia,
trombositopenia, dan leucopenia (pansitopenia). Ketiga tanda ini disertai dengan
gejala sebagai berikut:
Anemia ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin dan hematokrit.
Penurunan Hemoglobin menyebabkan penurunan jumlah oksigen yang
dikirimkan ke jaringan, biasanya ditandai dengan kelemahan, kelelahan, dispnea,
takikardia, ekstremitas dingin dan pucat. Anemia ini berlangsung kronis sehingga
pada tubuh telah terjadi proses adaptasi dan kompensasi agar pasien dapat
bertahan hidup dalam kondisi anemia berat.
Leukopenia atau menurunnya jumlah leukosit kurang dari 4500/mm3
menyebabkan agranulositosis yang dapat menekan respon inflamasi. Respon
inflamasi yang tertekan akan menyebabkan penurunan sistem imun sehingga
mudah terjadi infeksi pada selaput lendir, kulit, silia saluran nafas.
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit di bawah 100.000/mm3
yang ditandai dengan ekimosis, ptekie, epistaksis, perdarahan saluran kemih,
perdarahan susunan saraf dan perdarahan saluran cerna. Gejala dari perdarahan
saluran cerna adalah anoreksia, nausea, konstipasi, diare, stomatitis, atau
hematemesis melena.
Selain itu, hepatosplenomegali dan limfadenopati juga dapat ditemukan pada
penderita anemia aplasti kini meski sangat jarang terjadi.

46

DIAGNOSIS
Ada dua jenis pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis anemia
aplastik, yaitu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Pada pemeriksaan fisis penderita anemia aplastik diperoleh:
- Pucat
- Perdarahan pada gusi, retina, hidung, dan kulit.
- Tanda-tanda infeksi, misalnya demam.
- Pembesaran hati (hepatomegali)
- Tanda anemia Fanconi, yaitu bintik Caf au lait dan postur tubuh yang pendek.
- Tanda dyskeratosis congenita, yaitu jari-jari yang aneh serta leukoplakia
Pemeriksaan laboratorium pada anemia aplastik adalah:
1) Darah Tepi
Granulosit < 500 /mm3
Trombosit < 20.000 /mm3
Retikulosit < 1.0 % (atau bahkan hampir tidak ada)
Pada penderita anemia aplastik ditemukan kadar retikulosit yang sedikit atau bahkan
tidak ditemukan, sedangkan jumlah limfosit dapat normal atau sedikit menurun. Dari
ketiga kriteria darah tepi di atas, dapat ditentukan berat tidaknya suatu anemia
aplastik yang diderita oleh pasien. Cukup dua dari tiga kriteria di atas terpenuhi, maka
pasien sudah dapat digolongkan sebagai penderita anemia aplastik berat.

47

2) Sumsum Tulang
Hiposeluler < 25%. Pemeriksaan sumsum tulang ini dilakukan pemeriksaan biopsi
dan aspirasi. Hasil-hasil yang biasanya didapati:
Hitung darah lengkap disertai diferensial anemia makrositik, penurunan
granulosit, monosit dan limfosit.
Jumlah trombosit menurun.
Jumlah retikulosit menurun.

Aspirasi dan biopsy sumsum tulang hiposeluler.


Elektroforesis hemoglobin-kadar hemoglobin janin meningkat.
Titer antigen sel darah merah naik.
Kadar folat dan B12 serum normal atau meningkat

Uji kerusakan kromosom positif untuk anemia fanconi


PENATALAKSANAAN
Dasar terapi anemia aplastik adalah suportif dan definitif dengan transplantasi
sumsum tulang. Anemia aplastik memiliki tingkat mortalitas lebih dari 70% pada
penatalaksanaan yang bersifat suportif saja. Pengobatan spesifik bergantung kepada
pemilihan terapi, apakah bersifat suportif saja, terapi imunosupresan, atau
transplantasi sumsum tulang. Rawat inap bagi pasien dengan anemia aplastik
kemungkinan diperlukan saat periode infeksi serta saat pemberian terapi spesifik
seperti antithymocyte globulin (ATG) atau BMT (bone marrow transplant). Dengan
imunosupresan, sepertiga dari jumlah pasien tidak memberikan respon.
Anemia aplastik parah yang didapat mampu disembuhkan dengan penggantian
ketiadaan sel hematopoetik (dan sistem imun) oleh transplan stem cell,atau dapat
dijinakkan dengan penekanan sistem imun sehingga pasien dapat pulih dengan sisa
fungsi sumsum tulang. Faktor tumbuh hematopoetik memiliki kegunaan yang
terbatas, dan glucocorticoid tidak bernilai. Seseorang dengan dugaan terpapar bahan
kimia atau obat-obatan harus segera dihentikan, meskipun sangat jarang terjadi
pemulihan spontan dari depresi hitung darah.

48

Transplantasi Stem Sel Hematopoetic merupakan pilihan yang terbaik bagi pasien
yang lebih muda dengan donor saudara kandung yang memiliki kecocokan histologis
secara penuh.Human Leukocyte Antigen (HLA) typingharus segera dilakukan
secepatnya, segera saat diagnosa anemia aplastik telah tegak pada anak atau dewasa
muda. Bagi kandidat transplan, tranfusi darah dari anggota keluarga harus dihindari
untuk mencegah sensitisasi dari antigen histocompatibility, namun jumlah produk
darah yang terbatas mungkin tidak secara hebat mempengaruhi hasil terapi. Bagi
transplan allogenik dari saudara kandung yang cocok secara keseluruhan, angka
harapan hidup pada anak dapat mencapai kurang lebih 90%. Mortalitas dan
morbiditas meningkat pada dewasa, seringkali disebabkan oleh GVHD kronis dan
infeksi serius
Pasien berusia lebih dari 20 tahun dengan hitung neutrofil 200 500 /mm3
tampaknya lebih mendapat manfaat dari imunosupresi daripada transplantasi sumsum
tulang. Meskipun pada pasien yang hitungnya sangat rendah, secara umum terapi
yang lebih baik untuk diberikan adalah transplantasi karena dibutuhkan waktu yang
lebih pendek untuk resolusi neutropenia. Pasien neutropenia yang mendapat terapi
imunosupresif mungkin baru akan membaik setelah 6 bulan. Terapi imunosupresif
merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik.
Obat-obatannya mencakup antara lain antithymocyte globulin (ATG) atau
antilymphocyte Globulin (ALG) dan Cyclosporin (CSA). Mekanisme kerja ATG atau
ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui dan mungkin melalui koreksi
terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal, dan stimulasi langsung atau
tidak langsung terhadap hemopoeisis. Terapi ini terutama diberikan pada anemia
aplastik yang disebabkan oleh proses autoimun. Regimen standar ATG yang
dikombinasi dengan cyclosporine menginduksi pemulihan hematologis (lepas mandiri
dari tranfusi dan hitung leukosit yang adekuat untuk mencegah infeksi) pada 60
66% dari pasien. Anak-anak dapat berefek dengan baik sedangkan pada dewasa tua
seringkali menderita komplikasi yang diakibatkan munculnya komorbiditas. Relaps
(pansitopeni berulang) seringkali terjadi, terutama saat terputusnya cyclosporine;
kebanyakan pasien dapat merespon dengan pengulangan imunosupresan, namun
beberapa pasien menjadi tergantung kepada pemberian cyclosporine yang terus
menerus. Perkembangan MDS, dengan morfologis sumsum tulang khusus atau

49

gambaran abnormal sitogenetik, terjadi pada 15% pasien yang mendapatkan


penanganan. Pada beberapa pasien, dapat berkembang menjadi leukemia. Diagnosa
laboratorium PNH dapat secara umum dibuat pada waktu munculnya anemia aplastik
dengan alat ukur flow cytometry.
ATG atau ALG diindikasikan pada : 1) Anemia aplastik bukan berat, 2).Pasien tidak
memiliki donor sum-sum tulang yang cocok, 3) Anemia aplastik berat yang berusia
lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan
atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3.
ATG kuda (20 mg/kg/hari) atau antilymphocyte globulin (ALG) kelinci (3,5
mg/kg/hari) dimasukkan per infus intravena selama 4 atau 5 hari ditambah CsA (1215 mg/kg/hari) hingga 6 bulan. ATG berikatan dengan sel darah perifer, sehingga
hitung platelet dan granulosit dapat menurun lebih jauh saat terapi aktif. Serum
sickness, gejala yang menyerupai flu dengan karakteristik erupsi kutan serta
arthralgia, seringkali terjadi kira kira 10 hari sejak dimulainya terapi.
Methylprednisolone, 1 mg/kgBB/ hari selama 2 minggu, dapat menjinakkan akibat
imunologis dari infus protein heterolog. Terapi glucocorticoid yang berlebihan atau
berkepanjangan dapat berkaitan dengan nekrosis sendi avaskular. Cyclosporine
dimasukkan per oral pada dosis awal yang tinggi, dengan penyesuaian lebih lanjut
sesuai dengan tingkatnya dalam darah yang didapat setiap 2 minggunya, secara kasar
kadarnya harus berkisar antara 150 hingga 200 ng/ml. Efek sampingnya yang paling
penting adalah nefrotoksik, hipertensi, kejang, dan infeksi oportunistik, khususnya
Pneumocystis carinii (direkomendasikan untuk memberikan terapi profilaksis
bulanan pentamide per inhalasi).
Steroid anabolik digunakan secara luas untuk terapi anemia aplastik sebelum
penemuan terapi imunosupresif.Androgen merangsang terbentuknya eritropoetin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Hormon seksual dapat memberikan efek upregulasi
aktifitas gen telomerase secara in vitro, kemungkinan mekanisme aksinya dalam
memperbaiki fungsi sum-sum tulang. Saat ini, androgen hanya dipakai sebagai terapi
penyelamatan pada pasien dengan respon refrakter yang mendapat terapi
imunosupresif. Androgen yang tersedia saat ini antara lain oxymethylone dan

50

danazol. Komplikasi utama adalah virilisasi dan hepatotoksisitas. Pada pasien dengan
keparahan sedang atau dengan pansitopenia parah dimana imunosupresan telah gagal,
percobaan pengobatan selama 3 4 bulan adalah tindakan yang tepat. Hematopoetic
Growth Factors (HGFs) tidak direkomendasikan sebagai terapi awal untuk anemia
aplastik parah, bahkan perannya sebagai tambahan bagi imunosupresan masih
tidaklah jelas.
Kelompok European Bone Marrow Transplantation mendefinisikan respon terapi
sebagai berikut : 1). Remisi komplit,: bebas transfusi dan granulosit sekurangkurangnya 2000/mm3. 2). Remisi sebagian : tidak tergantung transfusi dan granulosit
dibawah 2000 /mm3. 3).
Pasien dengan anemia aplastik memerlukan dukungan tranfusi hingga diagnosis dapat
ditegakkan dan dapat diberikan terapi spesifik. Bila terdapat keluhan akibat anemia,
diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cell sampai kadar hemoglobin 7-8 g%
atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko
perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm3.Tranfusi trombosit
diberikan bila terdapat perdarahan atau bila trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai
profilaksis. Tranfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor . Pada anemia kronis, kelasi besi, deferoxamine dan
defeasirox, harus ditambahkan setiap kira-kira tranfusi kelima belas untuk
menghindari hemochromatosis sekunder .
Cara lain untuk meningkatkan jumlah sel darah pada anemia aplastik adalah dengan
terapi eritropoietin. Terapi ini dapat digunakan dengan syarat terdapat cadangan besi
yang cukup, tidak boleh terdapat hipertensi berat, dan kadar hemoglobinnya berkisar
8 mg/dl. Namun demikian, kemungkinan keberhasilan terapi ini kurang baik pada
anemia aplastik yang disebabkan oleh defek sumsum tulang, sedangkan untuk anemia
aplastik karena penyebab lainnya terapi ini masih dapat digunakan. Infeksi adalah
penyebab utama mortalitas. Faktor resiko mencakup neutropenia berkepanjangan dan
penggunaan kateter jangka panjang untuk terapi spesifik. Infeksi fungal, khususnya
yang disebabkan oleh spesiesAspergillus, sebagai resiko paling besar. Terapi

51

antibiotik spektrum luas empiris harus diberikan, di mana mencakup sensitif terhadap
gram-negatif dan positif.
Tranfusi granulosit menggunakan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF)memobilisasi darah perifer secara efektif pada terapi infeksi yang berlebihan atau
berulang. Penggunaan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF, Filgrastim
dosis 5 ig/kg/hari) atau GM-CSF (Sagramostim dosis 250 ig/kg/hari) bermanfaat
untuk meningkatkan neutrofil walaupun tidak bertahan lama. Jika dikombinasikan
dengan dengan regimen ATG/CsA, G-CsF dapat memperbaiki neutropenia dan respon
terapi ini merupakan faktor prognostik dini yang positif untuk respons di masa depan.
Peningkatan dosis G-CSF tampaknya tidak bermanfaat. Beberapa laporan
menyatakan bahwa terapi G-CSF yang lama dapat menyebabkan evolusi klonal,
khususnya monosomi-7.
Mencuci tangan, metode satu-satunya yang paling baik untuk mencegah tersebarnya
infeksi, tetap menjadi praktik yang seringkali dilupakan. Antibiotik yang tidak
diabsorbsi untuk dekontaminasi saluran cerna sangat rendah ditoleransi dan tidak
memiliki nilai yang terbukti. Isolasi total tidak mengurangi mortalitas dari infeksi.
Aspirin dan jenis NSAID yang menghambat fungsi dari platelet harus dihindari.
Gizi bagi pasien dengan anemia aplastik yang memiliki neutropenia atau yang sedang
mendapat terapi imunosupresif harus sangat diperhatikan untuk tidak mengkonsumsi
buah-buah mentah, produk peternakan, atau buah, dan sayur-sayuran yang tidak
higienis yang memungkinkan kolonisasi bakteri, fungus, atau pun molds.Lebih jauh
lagi, diet rendah garam direkomendasikan selama terapi dengan steroid atau CSA
(cyclosporin).
Pasien harus menghindari aktifitas yang meningkatkan resiko trauma selama periode
thrombocytopenia.Resiko CAI (Community Acquired Infection) meningkat selama
periode neutropenia.Kontrol pasien diperlukan untuk memantau hitung darah dan
kejadian yang tidak diinginkan dari efek berbagai obat.

52

Secara keseluruhan pemberian terapi pasien pada laporan kasus masih mencakup
penatalaksanaan simptomatis saja, karena mengutamakan perbaikan masalah anemia
serta perbaikan kondisi umum pasien. Sedangkan permasalahan yang belum manjadi
perhatian adalah terapi definitif dari anemia aplastik.
Dalam problem oriented medical record pasien ini, tercantum 3 masalah yang harus
diterapi antara lain : 1). General weakness weakness due to anemia, 2). Leukopenia
3) Thrombocytopenia 4) hiponatremia 5) peningkatan enzim transaminase
General Weakness due to anemia diterapi dengan pemberian cairan parenteral asering
dengan 20 tetes tiap menit. Pemberian asering ditujukan untuk memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dan asupan nutrisi tambahan.
Asering merupakan cairan isotonik dan memiliki tekanan osmotik yang mendekati
serum sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.
Transfusi Trombosit Concentrate diberikan terhadap pasien ini oleh karena kadar
trombosit dalam tubuh pasien 41x103 mikrolitre serta nampaknya gejala perdarahan.
Pemberian tranfusi trombosit konsentrat berulang dapat mengakibatkan terbentuknya
zat anti terhadap trombosit donor. Batasan dari literatur adalah trombosit yang kurang
dari 20.000 /mm3. Resiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari
20.000/mm3.
Transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan terhadap pasien ini oleh karena kadar
PT, aPTT dan INR yang memanjang. Indikasi transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP)
adalah untuk mengatasi defisiensi protein yang membantu dalam proses koagulasi
dimana ia mengandungi protein dengan dua faktor koagulasi yang utama iaitu factor
V dan VII.
Leucogen diberikan terhadap pasien ini oleh karena kadar leukosit yang rendah iaitu
1,29 x103 mikrolitre. Leucogen adalah human granulocyte macrophage colony
stimulating factor yang diproduksi oleh bakteri E.coli melalui teknology DNA
rekombinan. Leucogen mengandungi 127 protein amino acid, non-glycosylated dan
memiliki berat molekular 14,5 kd. Indikasi pemberian leucogen adalah sebagai

53

profilaksis dan pengobatan lekopeni yang disebabkan oleh kemoterapi atau


radioterapi tumor, pengobatan kerusakan fungsi hematopoietik susmsum tulang dan
sindrom myelodiplastik (MDS), profilaksis untuk komplikasi lekopeni yaitu infeksi
dan mempercepat pembaikan neutropeni disebabkan oleh infeksi.
Diet hepar diberikan terhadap pasien ini oleh karena meningkatnya enzim
transaminase yang merupakan indikasi kerusakan atau necrosis hati. Penurunan kadar
albumin juga merupakan indikasi fungsi hati yang semakin menurun. Diet yang
direncanakan terhadap pasien ini adalah 1000 kkal, via oral berupa makanan
lunak/biasa sesuai toleransi, hepatosol 6 x 172,5 kkal, jus buah 100 liter. Kebutuhan
cairan +/- 2000 cc/ 24 jam. Supplemen yang diberikan berupa zink 200 mg 1x1,
untuk mendukung produksi eritrosit 3-4 kali pada sumsum tulang nomal dan stimulus
eritropoietin yang cukup. Tujuan terapinya selain untuk memperbaiki anemia, juga
menyediakan cadangan besi 0,5-1 gram. Untuk itu diperlukan pemberian suplemen
besi selama 6-12 bulan. Efek samping pemberian preparat besi oral berupa nyeri
perut, mual, muntah, dan konstipasi sehingga menyebabkan kurangnya compliance.
Pemberian Bcomplex 3x1 berguna dalam pembentukan sel darah merah. Asam folat
memiliki mekanisme partisipasi dalam sintesa DNA dan eritropoesis, meskipun
penggunaan vitamin ini tidak efekif secara tunggal pada kondisi anemia pernisiosa,
aplastik atau anemia normositik. Suplemen ini banyak digunakan pada anemia
megaloblastik oleh karena kekurangan asam folat, anemia yang bersumber dari
nutrisi, kehamilan, dan peningkatan serum homocysteine. Pyridoxine (vitamin B6)
adalah suplemen lainnya yang juga bermanfaat dalam memperbaiki kondisi anemia.
Kekurangan zat ini terbukti dapat menyebabkan anemia,confusion, depresi,
kecemasan, inflamasi mulut, bibir, dan lidah, meski sangat jarang namun dapat
mengakibatkan kejang. Defisiensi cyanocobalamin (vitamin B12) dapat
mengakibatkan anemia makrositik, kerusakan saraf, dan demensia. Cyanocobalamin
memiliki fungsi dalam fungsi dan reaksi fisiologis dalam tubuh. Pemakaian
kombinasi antara asam folat / cyanocobalamin (B12) / pyridoxine (B6) sebagai
suplemen nutrisi pada gagal ginjal stadium akhir, dialisis, hiperhomosisteinemia,
homosistinemia, sindrom malabsorbsi, dan defisiensi diet. Pasien juga diberikan
Pujimin 3x 2mg untuk koreksi hipoalbuminea. Albumin pada kapsul Pujimin dapat
memiliki kemampuan memperbaiki jaringan pada hati dengan cara regenerasi sel hati

54

dan empedu. Karena albumin tersebut memiliki kansungan asam amino esensial
lengkap dan mineral. Selain itu, dengan konsumsi albumin pada kapsul Pujimin juga
akan terhindar dari penumpukan lemak pada organ hati.
PROGNOSIS
Prognosis penyakit aplastik anemia dapat berupa:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali bila iatrogenik
akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Membaik dan bertahan hidup lama
namun kebanyakan kasus mengalami remisi tidak sempurna.
Jadi pada anemia aplastik telah dibuat cara pengelompokan lain untuk membedakan
antara anemia aplastik berat dengan prognosis buruk dengan anemia aplastik lebih
ringan dengan prognosis yang lebih baik.
Perjalanan penyakit pada anemia aplastik yang berat akan berakhir dengan kerusakan
yang semakin memburuk dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Persediaan
pertama terhadap sel darah merah dan kemudian dilakukan transfusi platelet serta
pemberian antibiotik yang efektif merupakan antara langkah yang dapat memberikan
keuntungan, namun demikian hanya sedikit saja dari penderita yang menunjukan
perbaikan yang spontan.Prognosis dapat ditentukan terutama dengan melihat hitung
darah. Penyakit yang berat dibuktikan dengan adanya 2-3 parameter tersebut.
Antaranya adalah hitung neutrofil absolut 500/uL, hitung platelet 20,000/uL, dan
hitung retikulosit yang telah dikoreksi 1% (atau hitung retikulosit absolut 60,000/uL).
Nilai survival pada pasien yang memenuhi kriteria tersebut di atas adalah sebanyak
20% dalam jangka waktu 1 tahun setelah terdiagnosa dan dengan hanya mendapat
terapi suportif. Pada pasien dengan penyakit yang sangat berat yang ditandai dengan
nilai neutrofil absolut sebanyak 200/uL memberikan prognosis yang jauh lebih buruk.
Namun demikian, dengan terapi yang efektif angka harapan hidup menjadi lebih baik.

55

Pada pemeriksaan darah pasien ini ditemukan jumlah neutrofil absolut


950/uL,trombosit 72.000/mm3, dan retikulosit 4 promil. Hal ini menunjukkan pasien
belum memenuhi kriteria anemia aplastik derajat berat. Namun demikian respon
terapi pasien kurang baik (refrakter) dan memerlukan transfusi darah berulang
sehingga prognosisnya dubia.
RINGKASAN
Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang disebabkan oleh
kegagalan produksi di sumsum tulang sehingga mengakibatkan penurunan komponen
selular pada darah tepi yaitu berupa keadaan pansitopenia (kekurangan jumlah sel
darah merah, sel darah putih, dan trombosit).
Anemia aplastik merupakan penyakit yang jarang ditemukan. Insidensinya
bervariasi di seluruh dunia yaitu berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk
pertahun. Frekuensi tertinggi insidensi anemia aplastik adalah pada usia muda.
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh bahan kimia, obat-obatan, virus, dan
terkait dengan penyakit-penyakit yang lain. Anemia aplastik juga ada yang
ditururunkan seperti anemia Fanconi. Akan tetapi, kebanyakan kasus anemia aplastik
merupakan idiopatik.
Tanda dan gejala klinis anemia aplastik merupakan manifestasi dari
pansitopenia yang terjadi. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan gejala-gejala
anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lainlain. Pengurangan elemen lekopoisis (granulositopenia) menyebabkan penderita
menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi
baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia dapat mengakibatkan
pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Gejala yang
paling menonjol tergantung dari sel mana yang mengalami depresi paling berat.
Pansitopenia perifer adalah kelainan hematologis yang utama untuk anemia
aplastik. Anemia bersifat normokrom normositer dan tidak disertai tanda-tanda
regenerasi. Leukopenia berupa grnaulositopenia. Trombosit kuantitas berkurang

56

sedang secara kualitatif normal. Sumsum tulang akan mengandung banyak sel lemak
dan menganduk sedikit sekali sel-sel hemopoisis. Tidak terlihat penambahan sel
primitif.
Anemia aplastik bukan berat memiliki sumsum tulang yang hiposelular dan
dua dari tiga kriteria (netrofil < 1,5x109/l, trombosit < 100x109/l, hemoglobin <10
g/dl). Anemia aplastik berat memiliki seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50%
dengan <30% sel hematopoietik residu, dan dua dari tiga kriteria (netrofil <
0,5x109/l, trombosit <20x109 /l, retikulosit < 20x109 /l). Anemia aplastik sangat
berat sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l.
Pengobatan anemia aplastik dapat bersifat suportif yaitu dengan transfusi PRC
dan trombosit. Penggunaan obat-obat atau agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik harus dihentikan. Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi juga harus
dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Terapi standar untuk anemia
aplastik meliputi terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang
lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan
sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan
yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Prognosis dipengaruhi banyak hal, antara lain derajat anemia aplastik, usia
pasien, ada tidaknya donor dengan HLA yang cocok untuk transplantasi sumsum
tulang allogenik serta apakah pasien telah mendapatkan terapi imunosupresif sebelum
tranplantasi sumsum tulang.
Penatalaksanaan pada pasien ini, masih sejauh penatalaksanaan perbaikan
keadaan umum dan penatalaksanaan kegawatan anemia yang terjadi serta mencegah
terjadinya perdarahan, yaitu dengan pemberian tranfusi FFP

dan trombosit.

Kegawatan leukopeni juga dicegah dengan pemberian leucogen. Terapi spesifik


dengan imunosupresan dan terapi transplantasi sum sum tulang tidak dilakukan.
Prognosis pada pasien ini dubia karena anemia aplastik pada pasien ini belum
memenuhi kriteria derajat berat, dan respon terapi pasien baik setelah diberikan
transfusi berulang.

57

DAFTAR PUSTAKA
1. Bakshi

S.

Aplastic

Anemia.

Available

in

URL:

HYPERLINK

http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
2. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic
Principles and Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
3. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia.
Available in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
4. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
5. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
6. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow
failure disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds).
Post Graduate Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190206.
7. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds).
Modern Hematology Biology and Clinical Management 2 nd ed. New Jersey:
Humana Press, 2007 ;207-16.
8. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure
syndromes. In: Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrisons Principle of Internal
Medicine. 16th ed. New York: McGraw Hill, 2007:617-25.

58

Anda mungkin juga menyukai