1 Analisis Kearifan Lokal Dalam Pantun Aceh 30-8-2015

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 34

1

ANALISIS KEARIFAN LOKAL DALAM PANTUN ACEH


KARYA ABDULLAH ARIF
1. Latar Belakang
Sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti kearifan lokal dalam
pantun Aceh. Padahal kajian ini sangat penting dilakukan karena menurut Geertz
(2007) kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan
martabat manusia dalam komunitasnya. Selain itu, kearifan lokal dapat
diinternalisasikan dalam pendidikan karena memiliki kelebihan. Kelebihan
tersebut menurut Mulyani (2011:631) kearifan lokal dapat menjadi sarana
pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan
bijaksana. Kelebihan lain, kearifan lokal juga memiliki nilai-nilai positif untuk
dapat ditransformasikan kepada peserta didik guna membentuk kepribadian
positif.
Penelitian tentang kearifan lokal telah banyak diteliti oleh peneliti lain.
Wildan (2013) meneliti kearifan lokal pada novel Seulesoh. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam novel Seulesoh berbentuk perayaan hari
suci, pewarisan nilai, keterampilan membuat dan menyajikan makanan tradisional,
dan

kepercayaan/mitos.

Sibarani

(2013)

menggunakan

pendekatan

antropolinguistik untuk menggali kearifan lokal sebagai identitas bangsa. Sama


halnya dengan Nashr (2010) menelaah pemikiran KH. Abdurrahman Wahid untuk
pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Permana, dkk (2011) meneliti
kearifan lokal pada masyarakat Baduy guna melihat cara mereka mencegah
bencana alam.

Kajian kearifan lokal dalam pantun sangat penting untuk diteliti. Hal ini
dikarenakan pantun telah berkembang dan bertahan lama serta bermanfaat
sepanjang masa. Di samping itu, fungsi kearifan lokal dalam masyarakat untuk
pelestarian sumber daya alam dan manusia; revitalisasi adat dan budaya; dan
untuk kehidupan bersama (Permana, dkk. 2011:68).
Pantun karya Abdullah Arif kaya akan kearifan lokal. Pantun itu juga tidak
terlepas dari status Beliau sebagai seorang ulama dan sastrawan Aceh. Disebut
sastrawan karena banyak mengarang pantun, hikayat-hikayat, dan syair. Ia
mengekspresikan kedalaman pengetahuan dan kecintaannya yang tinggi tentang
kearifan lokal kepada Islam lewat karyanya. Selain itu, keulamaannya muncul
melalui tulisan-tulisannya, baik dalam buku ilmiah ataupun pantun serta hikayat
juga dalam bentuk artikel lepas yang dimuat pada media terbitan Banda Aceh,
Medan, dan Jakarta. Sebab itulah, setiap karya yang dilahirkannya, misalnya
pantun kaya akan kearifan lokal. Perhatikan contoh di bawah ini.
Bambang kunng djipo meuhriggang

Daruet pisang djipo meugisa,


Neugash keuln bk wajang-wajang
Beuna neupandang singoh ngon lusa (Arif, 1958:16).
(Kupu-kupu kuning terbang melenggong
Belalang pisang terbang berputar
Kasihi saya jangan main-main
Harus dipandang esok dan lusa)
Terpancar kearifan lokal tentang sikap konsisten. Menurut Harun
(2009:36) konsisten adalah tetap pendirian, tidak berubah-ubah, taat asas, dan
istikamah. Pantun itu menekankan sikap konsisten supaya dihargai dan dihormati
orang lain. Sebaliknya, apabila sikap itu diabaikan atau tidak tertanam dalam batin

manusia, mustahil orang lain akan perhatian padanya. Dalam pantun Abdullah
Arif, masih banyak kearifan lokal yang harus diteliti dan dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu
bagian dari budaya Jawa, begitu juga kearifan lokal Aceh tentu bagian dari budaya
Aceh, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup
manusia akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Banyak hal
yang diwariskan oleh nenek moyang, seperti nilai moral, edukatif, dan lain-lain
diselipkan dalam produk kebudayaan, yaitu pantun.
Pantun sebagai sastra lisan memiliki fungsi yang sama dengan
kearifan lokal. Menurut Tinambunan (1996:7), sastra lisan berfungsi mendidik,
bimbingan hidup, dan memberi nasihat serta pengetahuan tentang asal-usul
masyarakat lama. Menurut Rahyono (2009:3-4), kearifan dapat menjadi sarana
pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan
bijaksana. Hal ini memperkuat bahwa kajian kearifan lokal dalam pantun
sangat penting untuk dikaji dan sudah seharusnya diteliti karena mengingat
fungsinya sama-sama mengarah ke arah positif dan berdampak baik bagi
moral dan karakter bangsa. Perhatikan contoh pantun di bawah ini!
Idang kamo bot hana meulapeh
Lam cupe puteh siseue bak tika
Bu kamo boh lam pingan lipeh
Meuah hai wareh keurikai hana. (Arief, 1965)
(hidang kami taruh tiada lapisan
Dalam piring putih di atas tikar
Nasi kami taruh dalam piring tipis
Maaf hai wareh keurikai tiada)

Kearifan orang Aceh yang tergambar dalam pantun di atas tentang


kebiasaan orang Aceh melayani tamu dan merendah diri. Rendah diri dan
melayani tamu adalah cerminan kebiasaan dalam budaya masyarakat Aceh yang
telah berkembang sejak dulu. Hal ini dibuktikan pada perwujudan kearifan lokal
tentang merendah diri pada baris 3 dan 4 dalam pantun di atas. Bu kamo boh lam
pingan lipeh, Meuah hai wareh keurikai hana. Kearifan lokal yang diimplisitkan
dalam isi pantun itu memperlihatkan tentang budaya minta maaf. Makanan yang
dihidangkan tentunya tidak semuanya sesuai dengan selera tamu, sebab itulah tuan
rumah terlebih dahulu meminta maaf sebelum mempersilakan tamu untuk
menikmati jamuan yang telah dihidangkan. Budaya minta maaf ini menjadi satu
kearifan lokal masyarakat Aceh yang sudah mendarah daging.
Selain itu, di sini terdapat sebuah tanda (semiotik), yaitu cupe puteh.
Kearifan lokalnya terletak pada tanda itu. Perhargaan orang Aceh dalam menjamu
tamu salah satunya dengan menghidangkan makanan dalam cupe puteh (piring
putih). Piring itu menjadi tanda penghargaan tuan rumah kepada tamu.
Menghidang makanan dalam cupe puteh sudah biasa dilakukan oleh masyarakat
Aceh sejak dulu. Ketika mereka menyiapkan jamuan, barang-barang jamuan itu,
seperti piring, sendok, tempat cuci tangan semuanya baru dan disiapkan secara
khusus jauh-jauh hari, bahkan tikar pun digunakan tikar baru yang khusus dibeli
untuk tamu pada acara-acara tertentu.
Sampiran ke 2 lam cupe puteh siseue bak tika juga mengandung sebuah
tanda yang berupa local wisdom. Tanda ini terlihat pada pemilihan tempat makan.
Makanan tidak dihidangkan di atas meja, melainkan dijejerkan pada lesehan atau

lantai yang dilapisi dengan tikar yang dianggap paling baru oleh tuan rumah.
Kebiasaan ini tergambar pada frasa bak tika. Ternyata kebiasaan itu mempunyai
manfaat bagi kesehatan. Menurut Health India (dalam http://fori.web.id,
22/4/2014), makan di lesehan bermanfaat untuk meningkatkan pencernaan,
menurunkan berat badan, lebih fleksibel, membuat ikatan kekeluargaan lebih erat,
meningkatkan postur tubuh, dan melumasi dan menjaga lutut serta sendi pinggul.
Hasil penelitian kearifan lokal dalam pantun diharapkan dapat memperluas
ruang apresiasi atas praktek kehidupan berbasis kearifan lokal. Secara substansial,
kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilainilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku
sehari-hari dalam masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika
dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat
dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di
dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit
dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban
masyarakatnya.

1) Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah kearifan lokal
dalam pantun karya Abdullah Arif dan bagaimanakah kearifan lokal itu
disampaikan?

2)Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan kearifan lokal dan cara


penyampaian kearifan lokal itu dalam pantun karya Abdullah Arif.

3)Manfaat Penelitian
(1) Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan,
terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya sastra Aceh
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai bahan
pembelajaran khususnya bahasa dan sastra Indonesia yang bertujuan
untuk memperbaiki moral peserta didik melalui kearifan lokal.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman
peneliti tentang kearifan lokal.
(2) Manfaat Praktis
a. Bagi guru hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi tentang kearifan lokal.
b. Bagi dunia pendidikansekolah/universitashasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai masukan teori tentang sastra lisan
Aceh, yaitu pantun dan kearifan di dalam pantun tersebut.
c. Bagi siswa hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
siswa dalam mengapresiasi pantun berbahasa Aceh khususnya
memahami dan mengamalkannya guna memperoleh kearifan lokal
yang telah lama tersimpan di dalamnya.

5) Definisi Operasional

(1) Pantun adalah puisi lama yang terdiri atas empat larik dalam sebait dan
pola persajakannya ab-ab.
(2) Pantun aceh adalah pantun yang berbahasa Acehdan memiliki struktur,
fungsi, dan tujuan yang sama seperti pantun melayu pada umumnya.
(3) Kearfian lokal adalah kebijaksanaan setempat (local wisdom),
pengetahuan setempat (local knowledge), atau kecerdasan setempat (local
genious).
2. Landasan Teori
1) Pantun
Pantun merupakan karya sastra lama yang masih digunakan dan
dilestarikan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan pantun memiliki nilai estetika
yang dapat dijadikan sebagai penopang hidup manusia. Dewasa ini, pantun juga
sudah banyak digunakan sebagai bahan penelitian. Bagi peneliti, pantun memiliki
daya tarik yang sifatnya tidak lazim karena sesudah dua baris yang pertama, ada
perubahan yang tiba-tiba pada arti maupun kata-kata dan inti keseluruhannya
terdapat dalam dua baris terakhir itu (Djajadininggrat, 1993).
Pantun merupakan sesuatu yang luas di dalam dunia yang sempit. Ia
biasanya mengandung makna yang lebih luas dalam keringkasan kata-katanya
(Rene dalam Husein, dkk, 1989: 559). Sebuah pantun boleh diumpamakan seperti
pulau yang terdapat di dalam kumpulan pulau-pulau, walaupun pulau-pulau itu
kelihatan dari atas seperti titik hitam yang jaraknya terpisah oleh permukaan laut,
sebenarnya ia bersambungan antara satu sama lainnya dalam sebuah benua yang
tertinggi dan menonjol keluar (Agni, 2009:4).

Salah satu produk sastra yang sangat dikenal dalam bahasa-bahasa


Nusantara adalah pantun. Pada umumnya, pantun terdiri atas empat larik atau
empat baris dan terdiri atas sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama
biasanya berkaitan dengan alam (mencirikan budaya masyarakat pendukungnya)
dan mempunyai hubungan semantik dengan bagian kedua (sampiran dan isi). Dua
baris terakhir merupakan isi yang merupakan tujuan dari pantun tersebut (Agni,
2009:6).
Pantun dikenal istilah hubungan semantik, yaitu hubungan antara sampiran
dan isi. Sampiran dan isi pantun bukan hanya dalam tataran makna saja, tetapi
juga menyangkut keindahan bunyi. Sampiran sebenarnya membayangkan isi
pantun. Hubungan tersebut terwujud karena adanya keterkaitan pada bagian
struktur bahasa dan persajakan dalam pantun. Berikut ini adalah salah satu pantun
Aceh mengandung persajakan dan hubungan antara sampiran dan isi.
Contoh
Tajak u pasi jak kaw ungkt
Tabh peurambt beubeung peunuta
Teungku jak di keue kamo dilikt
Cit meunan patt adat keureuja (Royani:11)
(Pergi ke pantai untuk memancing ikan
Taruh umpan beubeung peunuta
Tengku pergi di depan, kami di belakang
Memang begitu adat kerja)

2) Ciri-Ciri Pantun

Pada umumnya, pantun Melayu dan pantun Aceh memiliki kesamaan.


Rani, (1996:58) mengatakan bahwa dalam pantun Melayu terdapat satu bait yang
terdiri atas 4 baris, baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi.
Sampiran dan isi bersajak akhir vertikal dengan pola ab-ab. Sama halnya dengan
unsur-unsur yang tersirat di dalamnya, yaitu berupa pesan atau nilai-nilai seperti
nilai edukatif, nilai religius, nilai sosial dan lain-lain. Pada pantun Aceh, apabila
dilihat lebih spesifik memiliki keunikan pada pola zig-zag, yaitu rima baris
pertama sebunyi dengan pertengahan rima baris kedua dan rima baris ketiga
mempunyai kesamaan bunyi dengan pertengahan bunyi baris keempat.
Contoh:
'Oh trih surat njo bak gata intan
Wadjb tasimpan didalam dada,
Handjeuet na gob the malnkan Tuhan
Ln takt djeuet prang bak akh masa. (Abdullah Arif:1958)
(Waktu sampai surat ini kepada mu Intan
Wajib disimpan di dalam dada
Tidak boleh ada yang tahu kecuali Tuhan
Saya takut terjadi perang pada akhir masa)
3) Fungsi Pantun
Pantun berfungsi sebagai alat pemelihara bahasa dan media mengasah
pikiran untuk lebih kreatif. Di samping itu, berpantun biasanya lebih mengarah
kepada berpikir asosiatif secara spontanitas karena pantun merupakan arena
permainan kata-kata sekaligus sebagai penyampai pesan. Pantun juga memiliki
nilai sastra dan nilai sosial. Nilai sastra ditandai dengan adanya verifikasi bunyi
sedangkan nilai sosial ditandai pada sejumlah pesan/amanat yang ada dalam

10

pantun. Untuk mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu orang Melayu


biasanya menyampaikannya dalam bentuk ungkapan pantun. Misalnya, seorang
pemuda ingin berkenalan dengan seorang gadis, maka pemuda Melayu biasanya
menggunakan sebait pantun (Chaniago, 1997: 57).

4) Jenis-Jenis Pantun
Menurut Ahmad (1984:29) pantun tidak hanya digemari oleh anak muda,
tetapi orang tua pun memakainya untuk media pembelajaran. Di Aceh, pantun
memiliki fungsi yang sama dengan pantun Melayu karena orang tua mengunakan
pantun sebagai salah satu media pembelajaran untuk anak-anaknya. Pantun pada
mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Pantun lahir
akibat dari kesenangan orang-orang Melayu memakai kata-kata yang sebunyi.
Untuk mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu, biasanya dibuat dalam
bentuk ungkapan pantun.
Pantun dibagi atas tiga macam yaitu, pantun anak-anak, orang tua, dan
muda-mudi. Pantun anak-anak berupa pantun jenaka, kedukaan, dan pantun tekateki. Pantun orang tua berupa pantun adat, nasihat, kiasan dan pantun agama.
Sedangkan pantun muda-mudi terdiri atas pantun dagang, percintaan, berkasihkasihan, dan pantun ejekan (Djamaris, 2001: 18).

(1) Pantun Anak-Anak

11

Pantun anak-anak adalah pantun yang digunakan pada kalangan anak-anak


untuk mengungkapkan perasaannya. Pantun ini berisikan ikhwal yang berkaitan
dengan lingkungan, permainan, dan alam pikiran anak-anak. Jenis pantun ini
dapat saja digunakan oleh orang dewasa untuk mengajarkan anak-anak bermain
pantun atau hanya sebagai sarana berkomunikasi.
Menurut isinya pantun anak-anak dapat dibagi menjadi (a) pantun jenaka,
(b) pantun kedukaan, dan (c) pantun teka-teki.
a. Pantun Jenaka
Pantun jenaka adalah sejenis pantun anak-anak yang berisi hal tentang
kejenakaan, kelucuan, kegembiraan, atau kegirangan. Isi dari pantun ini berkaitan
dengan alam pikiran anak-anak dan lingkungan permainannya. Sesuatu yang
dianggap

lucu

dan

dibuat

menjadi

pantun

sebagai

perwujudan

dari

kegembiraannya.
Contoh:
Burung puyuh menangkap bagau
Patah sayap dengan kakinya
Rusuh hati si burung bagau
Melihat kodok berbedak muka (Irham: 2010)
Di Aceh, pantun anak-anak juga sudah berkembang sejak dulu. Pantunpantun ini digunakan orang tua ketika bersenda gurau dengan anak-anaknya atau
anak-anak sendiri yang mengunakannya saat bermain bersama kawan-kawannya.

Contoh:

12

Bukn sayang kaye sijaloh


Kaye hana boh si umu masa
Buet han geuyui boh han geukoh
Oh rayeuk teubh udep lam desya (Abdullah Arif:1958)
(Bukan sayang kayu sijaloh
Kayu tidak berbuah sepanjang masa
Pekerjaan tidak disuruh, zakar tidak disunat
Saat besar tubuh hidup dalam dosa)
b. Pantun Kedukaan atau Dukacita
Pantun kedukaan atau pantun dukacita adalah pantun anak-anak yang
berisi perasaan hati yang duka. Dalam masyarakat, pantun dukacita justru lebih
didominasi pada kisaran dunia anak-anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena
kisaran usia tersebut menentukan kepribadian anak-anak dan remaja yang
dianggap belum stabil dibandingkan yang terjadi pada usia dewasa dan orang tua.
Berbagai cara dilakukan untuk mengekspresikan keadaan berdukacita. Suasana
hati ini biasanya diekspresikan melalui tangisan, berdiam diri, atau bahkan
mengurung diri. Dalam kehidupan masyarakat biasanya pantun digunakan untuk
mengungkapkan suasana hati yang sedang dirundung masalah atau musibah.
Kemudian munculah pantun yang menggambarkan kedukaan yang mereka alami.
Suasana duka tersebut biasanya berhubungan dengan Ibu atau Bapak yang belum
pulang ke rumah, orang tua yang meninggal dunia, berkelahi dengan saudara atau
temannya, tidak mempunyai uang untuk membeli jajanan, dan berbagai kondisi
lainnya yang dapat membawa pada kesedihan.

Contoh:

13

Besar buahnya pisang batu


Jatuh melayang selaranya
Saya ini anak piatu
Sanak saudara tidak punya (Irham: 2010)
Anak-anak Aceh juga mengunakan pantun kedukaan dalam kehidupannya.
Pantun kedukaan ini dapat mengejawantahkan segala hal yang berkenaan dengan
dukacita atas kemalangan atau musibah yang diterima.
Contoh:
Peu k layang teungoh ct uroe
Puth taloe angn teuka
Seupo at han reugoe
Ayah geu moe, po ma geubungka (Abdullah Arif:1958)
(Main layangan di siang hari
Putus tali angin datang
Hati siapa yang tidak rugi
Ayah menangis, Ibu geubungka)
c. Pantun Teka-Teki
Pantun teka-teki adalah ungkapan teka-teki dalam bentuk pantun.
Dikatakan pantun teka-teki karena kalimatnya mengandung pertanyaan yang
dikemukakan secara samar-samar, biasanya digunakan untuk permainan atau
mengasah pikiran. Dunia anak-anak adalah permainan. Setiap anak dididik oleh
orang tuanya dengan berbagai pilihan permainan yang mengandung nilai edukatif.
Pantun teka-teki juga dapat melatih si anak untuk belajar karena berisi pertanyaan
agar permainannya menjadi indah dan menarik, maka dibuatlah dalam bentuk
pantun.

14

Pantun teka-teki biasanya dalam bentuk pertanyaan. Baris pertama, kedua,


dan ketiga berisi ciri-ciri tebakan yang ingin dimainkan dan baris terakhir adalah
pertanyaannya.
Contoh:
Ada sebiji roda pedati
Bentuknya bulat daripada besi
Bila bermain diikat sekuat hati
Dilempar hidup dipegang mati? (gasing) (Irham: 2010)

(2) Pantun Muda


Pantun muda adalah sejenis pantun yang dipakai oleh kalangan mudamudi. Orang muda telah kaya dengan perasaan dan imajinasi. Dewasa ini,
kalangan kaum muda tidak hanya disinari cahaya riang gembira atau mendung
duka nestapa, tetapi juga diliputi oleh rindu dendam dan rasa kasih sayang. Pantun
muda yang berisi sejuta perasaan riang gembira, duka nestapa, kasih sayang, dan
rindu itu menjadi satu media untuk mengungkapkan isi hatinya.
Contoh:
Jika bukan karena bulan
Takkan bintang meninggi hari
Jika tidak karena tuan
Takkan adik datang kemari. (Irham: 2010)
Menurut isinya, pantun muda dibagi atas (a) pantun jenaka, (b) pantun
dagang, (c) pantun berkasih-berkasihan, dan (d) pantun ejekan (Ahmad, 1984:30).

15

a. Pantun Kejenakaan
Pantun kejenakaan adalah salah satu jenis pantun muda yang berisi tentang
kejenekaan, kelucuan, kegembiraan, atau keganjilan dalam pergaulannya.
Kejenekaan orang muda tentu berbeda dengan kejenakaan anak-anak. Hal ini
dikarenakan pola pikir orang muda berbeda jauh dengan pola pikir anak-anak.
Contoh:
Ya illahi Tuhanku Rabbi
Kaye nyang miyub jeuet keu manyang
Seulama mi hana meu igoe
Tikh hana sopan l (Abdullah Arif: 1958)
(Ya illahi Tuhanku Rabbi
Pohon yang rendah bisa panjang
Selama kucing tidak bergigi
Tikus tidak sopan lagi)

b. Pantun Dagang
Pantun dagang merupakan salah satu pantun milik orang muda. Hal ini
tentu sesuai dengan selera muda yang selalu merantau dan berdagang ke negeri
lain. Selera muda selalu ingin mencari pengalaman atau mengadu nasib di rantau
orang. Lagi pula mereka yakin bahwa dengan berdagang akan dapat menghidupi
diri dan keluarganya kelak. Adanya anggapan pentingnya berdagang bagi orangorang muda, sehingga tercipta pantun yang berkenaan dengan dagang.
Contoh:
Kalau tidak tahu di rumput padi
Lihatlah rumput di pematang
Kalau tidak tahu diuntung kami
Lihatlah laut diwaktu petang (Irham: 2010)

16

Dalam masyarakat Aceh, juga dijumpai pantun dagang. Hal ini sesuai
dengan kegemaran pemuda Aceh yang suka berdagang atau merantau ke negeri
orang.
Contoh:
Bak ie raya bek taboh empeh [emph]
Bak ie tireh bek taboh bubee [bube]
Bek tameungon ngen sipaleh [sipalh]
Hareuta habeh geutanyoe malee [male] (Abudullah Arif: 1958)
(Pada air besar jangan taruh empeh)
Pada air bocor jangan taruh bubee
Jangan berkawan dengan orang jahat
Harta habis kita malu)

c. Pantun Berkasih-kasih
Orang muda juga memiliki pantun yang berhubungan dengan gejolak
romantika mudanya, yaitu pantun yang berkasih-kasihan. Pantun jenis ini berisi
perasaan hati, gelora asmara, dan rasa rindu terhadap kekasihnya.
Contoh:
Berlayar masuk kuala kedah
Patah tiang timpa kemudi
Sekuntum bunga terlalu indah
Sekalipun kumbang asyik berahi (Irham: 2010)
Dalam masyrakat Aceh dijumpai juga pantun muda jenis ini, para pemuda
Aceh masa lalu mengunakan pantun untuk mengungkapkan perasaan hatinya,
gelora jiwa atau rasa simpati, dan pada lawan jenis.

17

Contoh:
Tajak u pasi tajak kawe[kaw] bieng [bing]
Sideh tapeusieng [tapeusing] di mieng[ming] kuala
Bak lon jak lon ngien, lon woe pih lon ngieng [nging]
Nyang ek [k] lalat boh [bh] mieng [ming] kalheueh lon tanda
(Abdullah Arif: 1958)
(Pergi ke pantai memancing kepiting
Di sana pesiang di bibir kuala
Saat pergi saya lihat, saat pulang pun saya lihat
Yang tahi lalat dipipi sudah saya tanda)

d. Pantun Ejekan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang muda juga mempunyai pantun yang
isinya tentang ejekan atau sindiran pada sesuatu yang menurut mereka tidak
pantas atau sesuai dengan kebiasaan. Ejekan melalui pantun tentunya lebih sopan
dibandingkan dengan sindiran atau ejekan langsung. Oleh karena itu, orang
mudah menggunakan pantun untuk mengkritik sesuatu atau seseorang.
Contoh:
Kecap asin tidak perlu diseduh
Jolok mangga dengan galah panjang
Silap sedikit langsung selingkuh
Itulah dia lelaki mata kerajang (Irham: 2010)
Pantun ejekan juga hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh,
terutama di kalangan muda dan orang tua. Mereka umumnya mengunakan pantun
Aceh sebagai media ejekan.
Contoh:
Limong-limong kapai jitamong
Dua go limong kapai jibungka
Dilee abang lon anggap carong
Jinoe kabingong peue kareuna (Abdullah Arif)

18

(Lima-lima kapal masuk


Dua kali lima kapal jibungka
Dulu abang saya anggap pintar
Sekarang sudah bingung apa sebabnya)
(3) Pantun Orang Tua
Pantun orang tua adalah pantun yang digunakan orang tua untuk
menasehati anak-anaknya. Orang tua yang dimaksudkan di sini tidak terbatas pada
Ibu dan Bapak saja, melainkan sosok orang yang dituakan dalam masyarakat dan
dapat memberikan hal positif bagi generasi penerusnya. Menurut Hugronje
(1985:449)

di

Aceh

yang

lebih

bertanggung

jawab

dalam

hal

menasehati/mendidik anak di dalam keluarga adalah suami, karena suamilah yang


memegang saham sebesar-besarnya dalam mendidik dan membesarkan anakanaknya.
Orang tua memakai pantun sebagai media untuk berkomunikasi. mereka
yang telah lama hidup dan secara otomatis sudah banyak pengalaman yang
didapatkan. Pengalaman pahit, penglihatan yang ganjil dapat dijadikan pedoman
hidup dengan cara menasehati kaum muda agar tidak menyesal pada hari tua.
Sebab itulah, pantun orang tua umumnya berisi petuah dan nasehat (Ahmad,
1984:31).
Dilihat dari isinya, pantun orang tua terdiri atas: (a) pantun kiasan, (b)
pantun nasehat, (c) pantun adat, dan (d) pantun agama.
a. Pantun Kiasan
Pantun kiasan adalah pantun yang berisi fenomena sosial atau keadaan
kemasyarakatan. Keadaan semacam itu dituangkan oleh orang tua dalam bentuk
perilaku,

sebagai

ungkapan

perbandingan,

perumpamaan,

atau

kiasan.

19

Penggunaan kata-kata kiasan dalam pantun ini, membuat pendengar harus


mencari maksud yang diimplisitkan di dalam pantun. Pengunaan kata-kata
tersebut, selain untuk permainan juga untuk menghindari kata-kata yang bersifat
fulgar. Maka bukan hal yang aneh apabila orang tua menggunakan kiasan dalam
pantun.
Contoh:
Kemuning di tengah badai
Dituduh bertambah tinggi
Berunding dengan orang tak pandai
Bagai alu pecungkil diri (Irham: 2010)
Orang tua-tua di Aceh juga memiliki pantun kiasan yang dipakai sebagai
sarana kritik sosial kemasyarakatan.
Contoh:
Boh meunje tabloe ngn meueh
Boh aneueh tabloe ngn pad
Tajak beutrok tangieng beudeueh
Bk rugo meueh sakt at (Irham: 2010)
(Buah meunje beli dengan emas
Buah nenas beli dengan padi
Pergi sampai ke tujuan lihat dengan jelas
Jangan rugi emas sakit hati)
b. Pantun Nasihat
Pantun nasihat adalah jenis pantun penuntun, berisi pesan moral yang sarat
dengan nilai luhur agama, budaya, dan norma sosial masyarakat. Melalui pantun
nasihat nilai-nilai leluhur disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Orang tua
menggunakan pantun nasihat ini sebagai media untuk menasihati kaum muda
yang sudah menyimpang atau tidak sesuai dengan ajaran agama.

20

Contoh:
Melompat riang si anak kancil
Kancil terjerat helah sendiri
Sabar dan ikhlas membuah hasil
Hasil di kutip di akhirat nanti (Irham: 2010)
Tidak hanya di Melayu, Di Aceh pun sangat mudah mendapatkan pantun
nasehat. Pantun itu dipakai oleh orang tua-tua untuk menasehati anak-anaknya.
Contoh:
Taramah boh drin teumon bu leukat
Urung meupakat di laot raja
Atra ngon bangsa han lon ingat
Suara mangat dilon kumita (Irham: 2010)
(memeras durian untuk tumpeng
Orang bermusyarawah di laut raya
Harta dengan bangsa tidak saya ingat
Suara sopan yang saya cari)
c. Pantun Adat
Pantun adat adalah jenis pantun tua yang berisi hal ikhwal adat istiadat
atau kebiasaan hidup masyarakat. Pantun adat digunakan ketika berhelat,
musyawarah, mufakat, mencapai sepakat, dan menunjukkan adat. Secara
subtantif, isi pantun adat merupakan bagian dari pantun nasehat karena berisi
petunjuk adat dan resam. Pantun ini milik orang tua karena orang tualah yang
sangat memahami adat.
Adat merupakan kebiasaan hidup bermasyarakat yang diwariskan oleh
orang tua kepada generasi muda. Orang tua mewariskan adat-adat yang telah
berkembang itu, melalui pantun.

21

Contoh:
Menanam kelapa di pulau Bukum Tinggi
Sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah (Irham: 2010)
Pantun adat juga berkembang di dalam masyarakat Aceh. Adat dan agama
dalam masyarakat Aceh sukar dipisahkan, hal itu terlihat pantun-pantun yang
isinya adat istiadat selalu berkenaan dengan agama.
Contoh:
Asee lingka jerat
Mie jingkat dapu
Salah ma si ubat
Bek ta ukom ma si meulu (Irham: 2010)
(Anjing memutar kuburan
Kucing memutar dapur
Salah ibu si ubat
Jangan dihukum si meulu)

d. Pantun Agama
Pantun agama sama dengan pantun nasihat karena kontennya menasihati
atau mengingatkan semuanya untuk selalu sesuai dengan ajaran Al Quran dan
hadis. Akan tetapi, pantun agama lebih cenderung ke masalah agama, ketuhanan,
bahkan masalah akhirat. Pantun ini digunakan sebagai media untuk berdakwah
karena sesuai dengan isi yang terkandung di dalamnya.

22

Contoh:
Terang bulan terang bercahaya
Cahaya memancar ke Tanjung Jati
Jikalau hendak hidup bahagia
Beramal ibadat sebelum mati (Irham: 2010)
Perkembangan pantun agama sangat pesat di Aceh karena Aceh
didominasi penganut agama Islam. Pantun ini digunakan sebagai media untuk
menyampaikan petuah agama supaya ada variasi dalam menyebarkan ajaran
Islam.
Contoh:
Bukn sayang takalen buwh
Kaputh-puth lam laot raya
Bukn sayang lon kalon warh
Meu-ok kaputeh seumbahyang hana (Irham: 2010)
(Bukan sayang melihat buwh
Sudah putih-putih dalam laut raya
Bukan sayang melihat warh
Rambut beruban sembahyang tidak pernah)

5) Kearifan Lokal
(1) Sejarah Kearifan Lokal
Pendekatan teoritis tentang globalisasi ataupun modernisasi seperti Marxis
telah menciptakan kekosongan dan ketidaktahuan akan praktek dan kearifan yang
lahir dari perspektif lokal. Era Poskolonial merupakan era baru sejarah dimulainya
perspektif kearifan lokal (local wisdom) menjadi rujukan para pemerhati sosial
untuk melihat arah dan konteks disiplin keilmuannya. Era poskolonial merupakan
tahapan zaman yang melahirkan konstruksi-konstruksi kognitif tentang bagaimana
kebebasan

(freedom),

hilangnya

diskriminasi

(indiscriminate),

lahirnya

23

masyarakat toleran (tolerance society), adil (justice) dan menjaga hak-hak sipil
(civil right) menjadi kapital sosial bagi masyarakat di era itu (Abdullah, 2008:2).
Awal pembentukan kearifan lokal dalam masyarakat umumnya tidak
diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya
terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan
(praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara
historiografi tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu masyarakat atau
asal-usul komunitas atau adanya sesuatu. Dalam perkembangan berikut tradisi
lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat seperti halnya
pantun di Aceh.

(2) Pengertian Kearifan Lokal


Secara etimologi, wisdom adalah kemampuan seseorang menggunakan
akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap
sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering
diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan. Local secara spesifik menunjuk pada
ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Kearifan lokal
(local wisdom) dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur
yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatahpetitih, dan semboyan hidup. Menurut Wagiran (2010) local wisdom is the
knowledge that discovered or acquiredby lokal people through the accumulation
of experiences in trials and integrated with the understanding of surrounding
nature and culture. Local wisdom is dynamic by function of created local wisdom

24

and connected to the global situation. Kearifan lokal berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Sartini, 2004:111). Dengan
demikian, kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir dalam
kebudayaan kelompok manusia yang merupakan hasil pengamatan selama kurun
waktu yang lama.

(3) Ruang Lingkup Kearifan Lokal


Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif.
Cakupan kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh
ruang. Kearifan tradisional dan kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal.
Kearifan lokal lebih menekankan pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut.
Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu bersifat tradisional karena dia dapat
mencakup kearifan masa kini dan karena itu pula lebih luas maknanya daripada
kearifan tradisional. Untuk membedakan kearifan lokal yang baru saja muncul
dengan kearifan lokal yang sudah lama dikenal komunitas tersebut, dapat
digunakan istilah: kearifan kini, kearifan baru, atau kearifan kontemporer.
Kearifan tradisional dapat disebut kearifan dulu atau kearifan lama. Dilihat
dari keasliannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk aslinya maupun dalam bentuk
reka cipta ulang (institutional). Esensi kemajuan yang dicapai berbagai bangsa
tersebut menunjukkan bahwa pengembangan karakter suatu bangsa tidak dapat
dilepaskan dari aspek budaya yang selaras dengan karakteristik masyarakat
bangsa itu sendiri. Budaya yang digali dari kearifan lokal bukanlah penghambat
kemajuan dalam era global, namun justru menjadi penyaring budaya dan kekuatan

25

transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu,
menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun
karakter bangsa di era global.
Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepkan sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada
bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang
disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat
ini.
Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan hadir kearifan dalam
kategori yang beragam. Dalam hal ini terdapat dua jenis kearifan lokal, yaitu: (1)
kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan; dan (2) kearifan lokal baru, masa kini,
kontemporer. Dari sisi filosofi dasarnya, kearifan dapat dikategorikan dalam dua
aspek, yaitu: (1) gagasan, pemikiran, akal budi yang bersifat abstrak; dan (2)
kearifan lokal yang berupa hal-hal konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori
gagasan mencakup: berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik- praktik
dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari
komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini,
yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman
dimasa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain.

26

Kearifan lokal kategori hal konkret biasanya berupa benda-benda artefak, yang
menghiasi hidup manusia, dan bermakna simbolik.
Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena
kearifan selalu dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal
disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan
citra yang lebih baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu
orang lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal
warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya
untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang
mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan
datang.
Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Kearifan
lokal dapat muncul pada: (1) pemikiran, (2) sikap, dan (3) perilaku (Wagiran,
2012: 331). Ketiganya hampir tidak dapat dipisahkan. Jika ketiganya ada yang
timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar. Dalam pemikiran, sering
terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, tetapi kalau mobah mosik, solah bawa, tidak
baik juga dianggap tidak arif, apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji. Apa
saja dapat tercakup dalam kearifan lokal.
Paling tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: (1) pemikiran,
sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya
sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); (2) pemikiran, sikap, dan
tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi,
lukisan,dan sebagainya; dan (3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial

27

bermasyarakat, seperti unggah- ungguh, sopan santun, dan uda negara. Secara
garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible)
dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa
gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan
berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik
patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan.
Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga,dan pakaian.
Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang
mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat dibatasi
atau di kotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Wagiran (2010)
yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, filosofi,
agama dan budaya serta makanan tradisional.

(4) Fungsi Kearifan Lokal


Kearifanlokalitu berasaldari pemikiran manusia. Baikpemikiran positif
maupun

pemikiran

negatif.Namun,apa

yangdipikirkandan

kemudiandilakukanmanusiasampaimenghasilkansuatukarya
tentunyaditujukanuntukmemperolehkebaikanataupeningkatanhidupnya. Rahyono
menyatakan
bahwa kearifan dapat menjadi sarana pembelajaran bagisetiapmanusia
untukmenjadiorangyangcerdas,pandai,danbijaksana.Segala halyang tidak
membuat manusia menjadi cendikia danbijaksana berarti bukanlah
sesuatuyangarifatausesuatuyangmengandungkearifan(2009:3-4).

28

Keberadaan kearifan lokal dalam masyarakat memegang peran penting


karena kehadirannya dalam masyarakat sangat banyak fungsinya. Menurut Sartini
(2006) fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Bermakna etika dan moral.


Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia.
Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
Bermakna politik.

(5) Sumber Kearifan Lokal


Kearifan lokal dapat bersumber dari kebudayaan masyarakat dalam
lokalitas tertentu. Dalam perspektif historiografi, kearifan lokal dapat membentuk
sejarah lokal. Kajian sejarah lokal adalah studi tentang kehidupan masyarakat atau
khususnya komunitas dari lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam
dinamika perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan (James, 1991:15).
Lingkungan sekitar (neighborhood) merupakan batasan ruang dalam konteks yang
lebih luas, mulai dari ruang yang terkecil misalnya keluarga, komunitas tertentu
hingga masyarakat yang lebih luas.
(6) Ciri-Ciri Kearifan Lokal
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya
untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai
berikut.

29

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar.


2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli.
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan.
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

3. Metode Penelitian
1) Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis atau lisan (Djajasudarma, 2006:11). Tujuan pendekatan penelitian
kualitatif untuk memberikan gambaran secara faktual mengenai hal-hal yang
diteliti. Prosedur pelaksanaannya pendekatan penelitian ini mengumpulkan data,
menganalisis data, dan kajian perpustakaan sehingga pada akhirnya dapat diambil
kesimpulan.

2) Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research).
Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau
uraian atas keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang
diteliti (Kountur, 2005:105). Dengan demikian, kearifan lokal dalam pantun

30

ditelusuri dengan pendekatan kualitatif dan dideskripsikan dengan kalimat-kalimat


yang efektif.

3. Sumber Data dan Data


1) Sumber Data
Sumber data dalam penelitian Aceh adalah buku kumpulan pantun Aceh.
Buku kumpulan pantun yang berisi pantun Aceh itu adalah sebagai berikut.
(a)Buku Pantn Muda-Mudi karya Abdullah Arif pada tahun 1958. Buku ini
berisikan pantun-pantun Aceh yang tebalnya 64 halaman. Buku
(b)

diterbitkan oleh Abdullah Arif di Djakarta.


Buku Panton Aneuk Miet karya Abdullah Arif pada tahun 1958. Buku ini
berisikan pantun-pantun anak-anak dan pantun berupa permainan rakyat.
Tebalnya 35 halaman. Buku diterbitkan oleh Abdullah Arif di Djakarta.

2) Data
Pantun Aceh adalah data dalam penelitian ini. Data itu bersumber dari 2
buku kumpulan pantun, yaitu buku Pantn Muda-Mudi danPanton Aneuk Miet
yang telah diuraikan di atas. Kedua sumber data itu banyak terdapat pantun
berkearifan lokal untuk data penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data
dalam penelitian ini adalah teknik pustaka. Adapun langkah-langkah teknik
pustaka adalah sebagai berikut.

31

1) Mencari sumber data berupa buku kumpulan pantun Aceh, yaitubuku


Pantn Muda-Mudidan Panton Aneuk Mietkarya Abdullah Arif.
2) Mengidentifikasi pantun yang memenuhi kriteria pantun dan pantun
yang mengandung kearifan lokal.
3) Mengklasifikasi pantun berdasarkan jenisnya masing-masing.

3.1 Teknik Analisis Data


Penelitian kearifan lokal ini menggunakan teknik analisis isi (content
analyisis) dan analisis semiotik (semiotic analysis). Content Analysis adalah suatu
teknik penelitian yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap
isi karya sastra. Isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang disampaikan
pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa
karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan
positif kepada para pembacanya (Suwardi, 2008:160). Berbeda dengan analisis
semiotik, semiotika adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan
baik secara verbal maupun non-verbal sehingga miliki sifat komunikatif. Hal
tersebut kemudian memunculkan suatu proses pemaknaan yang dilakukan oleh
penerima tanda atas makna informasi atau pesan dari pengirim pesan (Sobur,
2003:41-44).
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi dan analisis
semiotik.Untuk mempermudah analisis data, ada beberapa tahap yang harus
digunakan oleh peneliti.

32

(1) Seleksi data; tahan ini bertujuan untuk menjaring data yang benar-benar
sahih. Data-data yang telah dicatat itu dibaca dengan saksama. Tahapan ini
harus dibaca berkali-kali karena di sinilah tahap penentuan data yang dipakai
atau tidak. Apabila data dapat dipakai sebagai bahan penelitian, data itu akan
dikumpulkan ke dalam kategori data yang sahih, tetapi apabila sebaliknya,
data akan disisihkan atau dieliminasi.
(2) Klasifikasi data; dilakukan untuk memilah dan mengelompokkan data
berdasarkan masalah yang diangkat oleh peneliti. Pantun yang dipakai
sebagai data penelitian harus berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik pantun
Aceh.
(3) Penyajian data; dilakukan dalam bentuk deskripsi, yaitu mengaksarakan hasil
yang diperoleh dari kedua tahap di atas. Data-data itu dibuat menjadi kalimatkalimat yang utuh dan mewakili keseluruhan hasil yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
(Ibnu Mujib, M. Iqbal, Ed). Pustaka Pelajar & Sekolah Pascasarjana UGM.
Yogyakarta.
Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju.
Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Ahmad. 1984. Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.

33

Arif Abdullah. 1958. Pantn Muda-Mudi. Djakarta: Abdullah Arif.


Bertens, K. 2004. Etika. Gramedia. Jakarta.
Chaniago, Arman, Y S. 1997. Pribahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar
Menengah dan Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Danandjaja, James. 1991. Folklore Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Djajadiningrat, Raden Hoesen. 1993. Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan
tentang Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-Bahan yang
Terdapat dalam Karya Melayu. Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Pengembangan Pemuseuman.
Djajasudarma, 2006:11
Endaswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Medpress.
Geertz, Cliffort. 2007. The Religion of Java.London: The Free Press of Glancoe.
Harun, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citapustaka Media
Perintis.
Hiroux, Jaques, P. 1995. Ethics, Theory and Practice. Prentice Hall. Englewood
Cliffs. New Jersey
Hurgronje, Snouck. 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Hussein, Ismail, dkk. 1989. Tamadun Melayu Jilid II. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
Irham, Muhammad. 2010. Analisis Pesan Moral dalam Pantun Aceh. Skripsi.
Universitas Syiah Kuala
Kountour, R. 2005, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta:
PPM Jakarta Press.
Nashr, M. Shofyan. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal; Telaah
Pemikiran KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Semarang: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Nazir, Moh., 1988. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Permana, E. Cecep, dkk. 2011. Kearifan Lokal tentang Mitigasi Bencana pada
Masyarakat Badui. Depok: Universitas Indonesia.

34

Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama


Widyasastra.
Rani. 1996. Ikhtisar Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Royani. 1994. Pantn Seumapa. Aceh: Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh.
Sartini, 2004. Menggali Karifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal
Filsafat. Jilid 37.
Sibarani, Robert 2013. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan.
Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet.
Suwardi, 2008:160
Syamsiyatun, Siti dan Nihayatul Wafiroh. 2013. Filsafat, Etika, dan Kearifan
Lokal untuk Konstruksi Moral Kebangsaan. Switzerland: Geneva.
Wagiran, dkk. 2012. Pengembangan Model Pendidikan Kearifan Lokal di
Wilayah Provinsi DIY dalam Mendukung Perwujudan Visi Pembangunan
DIY menuju Tahun 2025 (Tahun Pertama). Penelitian. Yogyakarta: Biro
Administrasi Pembangunan.
Wildan. 2013. Kearifan lokal Dalam Novel Seulusoh Karya D. Kemalawati.
Bahasa dan Seni, tahun 41, Nomor 1, Februari 2013.
Zainuddin. 1965. Bungong Rampoe. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

Anda mungkin juga menyukai