1 Analisis Kearifan Lokal Dalam Pantun Aceh 30-8-2015
1 Analisis Kearifan Lokal Dalam Pantun Aceh 30-8-2015
1 Analisis Kearifan Lokal Dalam Pantun Aceh 30-8-2015
kepercayaan/mitos.
Sibarani
(2013)
menggunakan
pendekatan
Kajian kearifan lokal dalam pantun sangat penting untuk diteliti. Hal ini
dikarenakan pantun telah berkembang dan bertahan lama serta bermanfaat
sepanjang masa. Di samping itu, fungsi kearifan lokal dalam masyarakat untuk
pelestarian sumber daya alam dan manusia; revitalisasi adat dan budaya; dan
untuk kehidupan bersama (Permana, dkk. 2011:68).
Pantun karya Abdullah Arif kaya akan kearifan lokal. Pantun itu juga tidak
terlepas dari status Beliau sebagai seorang ulama dan sastrawan Aceh. Disebut
sastrawan karena banyak mengarang pantun, hikayat-hikayat, dan syair. Ia
mengekspresikan kedalaman pengetahuan dan kecintaannya yang tinggi tentang
kearifan lokal kepada Islam lewat karyanya. Selain itu, keulamaannya muncul
melalui tulisan-tulisannya, baik dalam buku ilmiah ataupun pantun serta hikayat
juga dalam bentuk artikel lepas yang dimuat pada media terbitan Banda Aceh,
Medan, dan Jakarta. Sebab itulah, setiap karya yang dilahirkannya, misalnya
pantun kaya akan kearifan lokal. Perhatikan contoh di bawah ini.
Bambang kunng djipo meuhriggang
manusia, mustahil orang lain akan perhatian padanya. Dalam pantun Abdullah
Arif, masih banyak kearifan lokal yang harus diteliti dan dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Kearifan lokal adalah bagian dari budaya. Kearifan lokal Jawa tentu
bagian dari budaya Jawa, begitu juga kearifan lokal Aceh tentu bagian dari budaya
Aceh, yang memiliki pandangan hidup tertentu. Berbagai hal tentang hidup
manusia akan memancarkan ratusan dan bahkan ribuan kearifan lokal. Banyak hal
yang diwariskan oleh nenek moyang, seperti nilai moral, edukatif, dan lain-lain
diselipkan dalam produk kebudayaan, yaitu pantun.
Pantun sebagai sastra lisan memiliki fungsi yang sama dengan
kearifan lokal. Menurut Tinambunan (1996:7), sastra lisan berfungsi mendidik,
bimbingan hidup, dan memberi nasihat serta pengetahuan tentang asal-usul
masyarakat lama. Menurut Rahyono (2009:3-4), kearifan dapat menjadi sarana
pembelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan
bijaksana. Hal ini memperkuat bahwa kajian kearifan lokal dalam pantun
sangat penting untuk dikaji dan sudah seharusnya diteliti karena mengingat
fungsinya sama-sama mengarah ke arah positif dan berdampak baik bagi
moral dan karakter bangsa. Perhatikan contoh pantun di bawah ini!
Idang kamo bot hana meulapeh
Lam cupe puteh siseue bak tika
Bu kamo boh lam pingan lipeh
Meuah hai wareh keurikai hana. (Arief, 1965)
(hidang kami taruh tiada lapisan
Dalam piring putih di atas tikar
Nasi kami taruh dalam piring tipis
Maaf hai wareh keurikai tiada)
lantai yang dilapisi dengan tikar yang dianggap paling baru oleh tuan rumah.
Kebiasaan ini tergambar pada frasa bak tika. Ternyata kebiasaan itu mempunyai
manfaat bagi kesehatan. Menurut Health India (dalam http://fori.web.id,
22/4/2014), makan di lesehan bermanfaat untuk meningkatkan pencernaan,
menurunkan berat badan, lebih fleksibel, membuat ikatan kekeluargaan lebih erat,
meningkatkan postur tubuh, dan melumasi dan menjaga lutut serta sendi pinggul.
Hasil penelitian kearifan lokal dalam pantun diharapkan dapat memperluas
ruang apresiasi atas praktek kehidupan berbasis kearifan lokal. Secara substansial,
kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilainilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku
sehari-hari dalam masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan jika
dikatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat
dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di
dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit
dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban
masyarakatnya.
1) Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa sajakah kearifan lokal
dalam pantun karya Abdullah Arif dan bagaimanakah kearifan lokal itu
disampaikan?
2)Tujuan Penelitian
3)Manfaat Penelitian
(1) Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan,
terutama bidang bahasa dan sastra Indonesia, khususnya sastra Aceh
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai bahan
pembelajaran khususnya bahasa dan sastra Indonesia yang bertujuan
untuk memperbaiki moral peserta didik melalui kearifan lokal.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman
peneliti tentang kearifan lokal.
(2) Manfaat Praktis
a. Bagi guru hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
tambahan referensi tentang kearifan lokal.
b. Bagi dunia pendidikansekolah/universitashasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai masukan teori tentang sastra lisan
Aceh, yaitu pantun dan kearifan di dalam pantun tersebut.
c. Bagi siswa hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
siswa dalam mengapresiasi pantun berbahasa Aceh khususnya
memahami dan mengamalkannya guna memperoleh kearifan lokal
yang telah lama tersimpan di dalamnya.
5) Definisi Operasional
(1) Pantun adalah puisi lama yang terdiri atas empat larik dalam sebait dan
pola persajakannya ab-ab.
(2) Pantun aceh adalah pantun yang berbahasa Acehdan memiliki struktur,
fungsi, dan tujuan yang sama seperti pantun melayu pada umumnya.
(3) Kearfian lokal adalah kebijaksanaan setempat (local wisdom),
pengetahuan setempat (local knowledge), atau kecerdasan setempat (local
genious).
2. Landasan Teori
1) Pantun
Pantun merupakan karya sastra lama yang masih digunakan dan
dilestarikan sampai sekarang. Hal ini dikarenakan pantun memiliki nilai estetika
yang dapat dijadikan sebagai penopang hidup manusia. Dewasa ini, pantun juga
sudah banyak digunakan sebagai bahan penelitian. Bagi peneliti, pantun memiliki
daya tarik yang sifatnya tidak lazim karena sesudah dua baris yang pertama, ada
perubahan yang tiba-tiba pada arti maupun kata-kata dan inti keseluruhannya
terdapat dalam dua baris terakhir itu (Djajadininggrat, 1993).
Pantun merupakan sesuatu yang luas di dalam dunia yang sempit. Ia
biasanya mengandung makna yang lebih luas dalam keringkasan kata-katanya
(Rene dalam Husein, dkk, 1989: 559). Sebuah pantun boleh diumpamakan seperti
pulau yang terdapat di dalam kumpulan pulau-pulau, walaupun pulau-pulau itu
kelihatan dari atas seperti titik hitam yang jaraknya terpisah oleh permukaan laut,
sebenarnya ia bersambungan antara satu sama lainnya dalam sebuah benua yang
tertinggi dan menonjol keluar (Agni, 2009:4).
2) Ciri-Ciri Pantun
10
4) Jenis-Jenis Pantun
Menurut Ahmad (1984:29) pantun tidak hanya digemari oleh anak muda,
tetapi orang tua pun memakainya untuk media pembelajaran. Di Aceh, pantun
memiliki fungsi yang sama dengan pantun Melayu karena orang tua mengunakan
pantun sebagai salah satu media pembelajaran untuk anak-anaknya. Pantun pada
mulanya adalah senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan. Pantun lahir
akibat dari kesenangan orang-orang Melayu memakai kata-kata yang sebunyi.
Untuk mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu, biasanya dibuat dalam
bentuk ungkapan pantun.
Pantun dibagi atas tiga macam yaitu, pantun anak-anak, orang tua, dan
muda-mudi. Pantun anak-anak berupa pantun jenaka, kedukaan, dan pantun tekateki. Pantun orang tua berupa pantun adat, nasihat, kiasan dan pantun agama.
Sedangkan pantun muda-mudi terdiri atas pantun dagang, percintaan, berkasihkasihan, dan pantun ejekan (Djamaris, 2001: 18).
11
lucu
dan
dibuat
menjadi
pantun
sebagai
perwujudan
dari
kegembiraannya.
Contoh:
Burung puyuh menangkap bagau
Patah sayap dengan kakinya
Rusuh hati si burung bagau
Melihat kodok berbedak muka (Irham: 2010)
Di Aceh, pantun anak-anak juga sudah berkembang sejak dulu. Pantunpantun ini digunakan orang tua ketika bersenda gurau dengan anak-anaknya atau
anak-anak sendiri yang mengunakannya saat bermain bersama kawan-kawannya.
Contoh:
12
Contoh:
13
14
15
a. Pantun Kejenakaan
Pantun kejenakaan adalah salah satu jenis pantun muda yang berisi tentang
kejenekaan, kelucuan, kegembiraan, atau keganjilan dalam pergaulannya.
Kejenekaan orang muda tentu berbeda dengan kejenakaan anak-anak. Hal ini
dikarenakan pola pikir orang muda berbeda jauh dengan pola pikir anak-anak.
Contoh:
Ya illahi Tuhanku Rabbi
Kaye nyang miyub jeuet keu manyang
Seulama mi hana meu igoe
Tikh hana sopan l (Abdullah Arif: 1958)
(Ya illahi Tuhanku Rabbi
Pohon yang rendah bisa panjang
Selama kucing tidak bergigi
Tikus tidak sopan lagi)
b. Pantun Dagang
Pantun dagang merupakan salah satu pantun milik orang muda. Hal ini
tentu sesuai dengan selera muda yang selalu merantau dan berdagang ke negeri
lain. Selera muda selalu ingin mencari pengalaman atau mengadu nasib di rantau
orang. Lagi pula mereka yakin bahwa dengan berdagang akan dapat menghidupi
diri dan keluarganya kelak. Adanya anggapan pentingnya berdagang bagi orangorang muda, sehingga tercipta pantun yang berkenaan dengan dagang.
Contoh:
Kalau tidak tahu di rumput padi
Lihatlah rumput di pematang
Kalau tidak tahu diuntung kami
Lihatlah laut diwaktu petang (Irham: 2010)
16
Dalam masyarakat Aceh, juga dijumpai pantun dagang. Hal ini sesuai
dengan kegemaran pemuda Aceh yang suka berdagang atau merantau ke negeri
orang.
Contoh:
Bak ie raya bek taboh empeh [emph]
Bak ie tireh bek taboh bubee [bube]
Bek tameungon ngen sipaleh [sipalh]
Hareuta habeh geutanyoe malee [male] (Abudullah Arif: 1958)
(Pada air besar jangan taruh empeh)
Pada air bocor jangan taruh bubee
Jangan berkawan dengan orang jahat
Harta habis kita malu)
c. Pantun Berkasih-kasih
Orang muda juga memiliki pantun yang berhubungan dengan gejolak
romantika mudanya, yaitu pantun yang berkasih-kasihan. Pantun jenis ini berisi
perasaan hati, gelora asmara, dan rasa rindu terhadap kekasihnya.
Contoh:
Berlayar masuk kuala kedah
Patah tiang timpa kemudi
Sekuntum bunga terlalu indah
Sekalipun kumbang asyik berahi (Irham: 2010)
Dalam masyrakat Aceh dijumpai juga pantun muda jenis ini, para pemuda
Aceh masa lalu mengunakan pantun untuk mengungkapkan perasaan hatinya,
gelora jiwa atau rasa simpati, dan pada lawan jenis.
17
Contoh:
Tajak u pasi tajak kawe[kaw] bieng [bing]
Sideh tapeusieng [tapeusing] di mieng[ming] kuala
Bak lon jak lon ngien, lon woe pih lon ngieng [nging]
Nyang ek [k] lalat boh [bh] mieng [ming] kalheueh lon tanda
(Abdullah Arif: 1958)
(Pergi ke pantai memancing kepiting
Di sana pesiang di bibir kuala
Saat pergi saya lihat, saat pulang pun saya lihat
Yang tahi lalat dipipi sudah saya tanda)
d. Pantun Ejekan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang muda juga mempunyai pantun yang
isinya tentang ejekan atau sindiran pada sesuatu yang menurut mereka tidak
pantas atau sesuai dengan kebiasaan. Ejekan melalui pantun tentunya lebih sopan
dibandingkan dengan sindiran atau ejekan langsung. Oleh karena itu, orang
mudah menggunakan pantun untuk mengkritik sesuatu atau seseorang.
Contoh:
Kecap asin tidak perlu diseduh
Jolok mangga dengan galah panjang
Silap sedikit langsung selingkuh
Itulah dia lelaki mata kerajang (Irham: 2010)
Pantun ejekan juga hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh,
terutama di kalangan muda dan orang tua. Mereka umumnya mengunakan pantun
Aceh sebagai media ejekan.
Contoh:
Limong-limong kapai jitamong
Dua go limong kapai jibungka
Dilee abang lon anggap carong
Jinoe kabingong peue kareuna (Abdullah Arif)
18
di
Aceh
yang
lebih
bertanggung
jawab
dalam
hal
sebagai
ungkapan
perbandingan,
perumpamaan,
atau
kiasan.
19
20
Contoh:
Melompat riang si anak kancil
Kancil terjerat helah sendiri
Sabar dan ikhlas membuah hasil
Hasil di kutip di akhirat nanti (Irham: 2010)
Tidak hanya di Melayu, Di Aceh pun sangat mudah mendapatkan pantun
nasehat. Pantun itu dipakai oleh orang tua-tua untuk menasehati anak-anaknya.
Contoh:
Taramah boh drin teumon bu leukat
Urung meupakat di laot raja
Atra ngon bangsa han lon ingat
Suara mangat dilon kumita (Irham: 2010)
(memeras durian untuk tumpeng
Orang bermusyarawah di laut raya
Harta dengan bangsa tidak saya ingat
Suara sopan yang saya cari)
c. Pantun Adat
Pantun adat adalah jenis pantun tua yang berisi hal ikhwal adat istiadat
atau kebiasaan hidup masyarakat. Pantun adat digunakan ketika berhelat,
musyawarah, mufakat, mencapai sepakat, dan menunjukkan adat. Secara
subtantif, isi pantun adat merupakan bagian dari pantun nasehat karena berisi
petunjuk adat dan resam. Pantun ini milik orang tua karena orang tualah yang
sangat memahami adat.
Adat merupakan kebiasaan hidup bermasyarakat yang diwariskan oleh
orang tua kepada generasi muda. Orang tua mewariskan adat-adat yang telah
berkembang itu, melalui pantun.
21
Contoh:
Menanam kelapa di pulau Bukum Tinggi
Sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah (Irham: 2010)
Pantun adat juga berkembang di dalam masyarakat Aceh. Adat dan agama
dalam masyarakat Aceh sukar dipisahkan, hal itu terlihat pantun-pantun yang
isinya adat istiadat selalu berkenaan dengan agama.
Contoh:
Asee lingka jerat
Mie jingkat dapu
Salah ma si ubat
Bek ta ukom ma si meulu (Irham: 2010)
(Anjing memutar kuburan
Kucing memutar dapur
Salah ibu si ubat
Jangan dihukum si meulu)
d. Pantun Agama
Pantun agama sama dengan pantun nasihat karena kontennya menasihati
atau mengingatkan semuanya untuk selalu sesuai dengan ajaran Al Quran dan
hadis. Akan tetapi, pantun agama lebih cenderung ke masalah agama, ketuhanan,
bahkan masalah akhirat. Pantun ini digunakan sebagai media untuk berdakwah
karena sesuai dengan isi yang terkandung di dalamnya.
22
Contoh:
Terang bulan terang bercahaya
Cahaya memancar ke Tanjung Jati
Jikalau hendak hidup bahagia
Beramal ibadat sebelum mati (Irham: 2010)
Perkembangan pantun agama sangat pesat di Aceh karena Aceh
didominasi penganut agama Islam. Pantun ini digunakan sebagai media untuk
menyampaikan petuah agama supaya ada variasi dalam menyebarkan ajaran
Islam.
Contoh:
Bukn sayang takalen buwh
Kaputh-puth lam laot raya
Bukn sayang lon kalon warh
Meu-ok kaputeh seumbahyang hana (Irham: 2010)
(Bukan sayang melihat buwh
Sudah putih-putih dalam laut raya
Bukan sayang melihat warh
Rambut beruban sembahyang tidak pernah)
5) Kearifan Lokal
(1) Sejarah Kearifan Lokal
Pendekatan teoritis tentang globalisasi ataupun modernisasi seperti Marxis
telah menciptakan kekosongan dan ketidaktahuan akan praktek dan kearifan yang
lahir dari perspektif lokal. Era Poskolonial merupakan era baru sejarah dimulainya
perspektif kearifan lokal (local wisdom) menjadi rujukan para pemerhati sosial
untuk melihat arah dan konteks disiplin keilmuannya. Era poskolonial merupakan
tahapan zaman yang melahirkan konstruksi-konstruksi kognitif tentang bagaimana
kebebasan
(freedom),
hilangnya
diskriminasi
(indiscriminate),
lahirnya
23
masyarakat toleran (tolerance society), adil (justice) dan menjaga hak-hak sipil
(civil right) menjadi kapital sosial bagi masyarakat di era itu (Abdullah, 2008:2).
Awal pembentukan kearifan lokal dalam masyarakat umumnya tidak
diketahui secara pasti kapan kearifan lokal tersebut muncul. Pada umumnya
terbentuknya kearifan lokal mulai sejak masyarakat belum mengenal tulisan
(praaksara). Tradisi praaksara ini yang kemudian melahirkan tradisi lisan. Secara
historiografi tradisi lisan banyak menjelaskan tentang masa lalu masyarakat atau
asal-usul komunitas atau adanya sesuatu. Dalam perkembangan berikut tradisi
lisan ini dapat menjadi kepercayaan atau keyakinan masyarakat seperti halnya
pantun di Aceh.
24
and connected to the global situation. Kearifan lokal berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Sartini, 2004:111). Dengan
demikian, kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir dalam
kebudayaan kelompok manusia yang merupakan hasil pengamatan selama kurun
waktu yang lama.
25
transformasional yang luar biasa dalam meraih kejayaan bangsa. Oleh karena itu,
menggali nilai-nilai kearifan lokal merupakan upaya strategis dalam membangun
karakter bangsa di era global.
Kearifan lokal, dalam bahasa asing sering juga dikonsepkan sebagai
kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local
knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Ketiganya merujuk pada
bentuk pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Konsepsi yang
disebutkan terakhir adalah bahasan yang paling sering dijumpai dan dikupas saat
ini.
Berdasarkan waktu pemunculan tersebut di atas, akan hadir kearifan dalam
kategori yang beragam. Dalam hal ini terdapat dua jenis kearifan lokal, yaitu: (1)
kearifan lokal klasik, lama, tradisional, dan; dan (2) kearifan lokal baru, masa kini,
kontemporer. Dari sisi filosofi dasarnya, kearifan dapat dikategorikan dalam dua
aspek, yaitu: (1) gagasan, pemikiran, akal budi yang bersifat abstrak; dan (2)
kearifan lokal yang berupa hal-hal konkret, dapat dilihat. Kearifan lokal kategori
gagasan mencakup: berbagai pengetahuan, pandangan, nilai serta praktik- praktik
dari sebuah komunitas baik yang diperoleh dari generasi sebelumnya dari
komunitas tersebut maupun yang didapat oleh komunitas tersebut di masa kini,
yang tidak berasal dari generasi sebelumnya, tetapi dari berbagai pengalaman
dimasa kini, termasuk juga dari kontaknya dengan masyarakat atau budaya lain.
26
Kearifan lokal kategori hal konkret biasanya berupa benda-benda artefak, yang
menghiasi hidup manusia, dan bermakna simbolik.
Di Indonesia, kearifan lokal jelas mempunyai makna positif karena
kearifan selalu dimaknai secara baik atau positif. Pemilihan kata kearifan lokal
disadari atau tidak merupakan sebuah strategi untuk membangun, menciptakan
citra yang lebih baik mengenai pengetahuan lokal yang memang tidak selalu
orang lantas bersedia menghargai pengetahuan tradisional, pengetahuan lokal
warisan nenek moyang dan kemudian bersedia bersusah payah memahaminya
untuk bisa memperoleh berbagai kearifan yang ada dalam suatu komunitas, yang
mungkin relevan untuk kehidupan manusia di masa kini dan di masa yang akan
datang.
Dalam setiap jengkal hidup manusia selalu ada kearifan lokal. Kearifan
lokal dapat muncul pada: (1) pemikiran, (2) sikap, dan (3) perilaku (Wagiran,
2012: 331). Ketiganya hampir tidak dapat dipisahkan. Jika ketiganya ada yang
timpang, maka kearifan lokal tersebut semakin pudar. Dalam pemikiran, sering
terdapat akhlak mulia, berbudi luhur, tetapi kalau mobah mosik, solah bawa, tidak
baik juga dianggap tidak arif, apalagi kalau tindakannya serba tidak terpuji. Apa
saja dapat tercakup dalam kearifan lokal.
Paling tidak cakupan luas kearifan lokal dapat meliputi: (1) pemikiran,
sikap, dan tindakan berbahasa, berolah seni, dan bersastra, misalnya karya-karya
sastra yang bernuansa filsafat dan niti (wulang); (2) pemikiran, sikap, dan
tindakan dalam berbagai artefak budaya, misalnya keris, candi, dekorasi,
lukisan,dan sebagainya; dan (3) pemikiran, sikap, dan tindakan sosial
27
bermasyarakat, seperti unggah- ungguh, sopan santun, dan uda negara. Secara
garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal-hal yang tidak kasat mata (intangible)
dan hal-hal yang kasat mata (tangible). Kearifan yang tidak kasat mata berupa
gagasan mulia untuk membangun diri, menyiapkan hidup lebih bijaksana, dan
berkarakter mulia. Sebaliknya, kearifan yang berupa hal-hal fisik dan simbolik
patut ditafsirkan kembali agar mudah diimplementasikan ke dalam kehidupan.
Dilihat dari jenisnya, local wisdom dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori,
yaitu makanan, pengobatan, teknik produksi, industri rumah tangga,dan pakaian.
Klasifikasi ini tentu saja tidak tepat sebab masih banyak hal lain yang
mungkin jauh lebih penting. Oleh sebab itu, kearifan lokal tidak dapat dibatasi
atau di kotak-kotak. Kategorisasi lebih kompleks dikemukakan Wagiran (2010)
yang meliputi pertanian, kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan, perdagangan, seni budaya, bahasa daerah, filosofi,
agama dan budaya serta makanan tradisional.
pemikiran
negatif.Namun,apa
yangdipikirkandan
kemudiandilakukanmanusiasampaimenghasilkansuatukarya
tentunyaditujukanuntukmemperolehkebaikanataupeningkatanhidupnya. Rahyono
menyatakan
bahwa kearifan dapat menjadi sarana pembelajaran bagisetiapmanusia
untukmenjadiorangyangcerdas,pandai,danbijaksana.Segala halyang tidak
membuat manusia menjadi cendikia danbijaksana berarti bukanlah
sesuatuyangarifatausesuatuyangmengandungkearifan(2009:3-4).
28
29
3. Metode Penelitian
1) Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data
tertulis atau lisan (Djajasudarma, 2006:11). Tujuan pendekatan penelitian
kualitatif untuk memberikan gambaran secara faktual mengenai hal-hal yang
diteliti. Prosedur pelaksanaannya pendekatan penelitian ini mengumpulkan data,
menganalisis data, dan kajian perpustakaan sehingga pada akhirnya dapat diambil
kesimpulan.
2) Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research).
Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau
uraian atas keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang
diteliti (Kountur, 2005:105). Dengan demikian, kearifan lokal dalam pantun
30
2) Data
Pantun Aceh adalah data dalam penelitian ini. Data itu bersumber dari 2
buku kumpulan pantun, yaitu buku Pantn Muda-Mudi danPanton Aneuk Miet
yang telah diuraikan di atas. Kedua sumber data itu banyak terdapat pantun
berkearifan lokal untuk data penelitian ini.
31
32
(1) Seleksi data; tahan ini bertujuan untuk menjaring data yang benar-benar
sahih. Data-data yang telah dicatat itu dibaca dengan saksama. Tahapan ini
harus dibaca berkali-kali karena di sinilah tahap penentuan data yang dipakai
atau tidak. Apabila data dapat dipakai sebagai bahan penelitian, data itu akan
dikumpulkan ke dalam kategori data yang sahih, tetapi apabila sebaliknya,
data akan disisihkan atau dieliminasi.
(2) Klasifikasi data; dilakukan untuk memilah dan mengelompokkan data
berdasarkan masalah yang diangkat oleh peneliti. Pantun yang dipakai
sebagai data penelitian harus berdasarkan ciri-ciri dan karakteristik pantun
Aceh.
(3) Penyajian data; dilakukan dalam bentuk deskripsi, yaitu mengaksarakan hasil
yang diperoleh dari kedua tahap di atas. Data-data itu dibuat menjadi kalimatkalimat yang utuh dan mewakili keseluruhan hasil yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global
(Ibnu Mujib, M. Iqbal, Ed). Pustaka Pelajar & Sekolah Pascasarjana UGM.
Yogyakarta.
Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan: Dari
David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta: Teraju.
Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Ahmad. 1984. Pantun Melayu. Jakarta: Balai Pustaka.
33
34