Pinguecula Case
Pinguecula Case
Pinguecula Case
IDENTITAS PASIEN
Umur
: 66 tahun 4 bulan
Agama
: Islam
Alamat
Pekerjaan
:-
Pernikahan
: Menikah
Pendidikan
: SMP
Suku
: Jawa
No. RM
: 499964
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis langsung dengan pasien pada tanggal 19 Oktober 2016
Keluhan Utama :
Mata kanan dan kiri terasa kemeng, pandangan sedikit berkabut, dan ngganjel
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan mata kanan dan kiri kemeng, nrocos, gatal, pedih, mata merah,
terasa mengganjal, apabila melihat cahaya silau. Keluhan ini sudah dirasakan pasien 2
tahun ini. Terdapat pula benjolan pada bola mata kiri. Pasien mengaku benjolan
tersebut berwarna putih kekuningan di kedua bola mata. Benjolan ini muncul tibatiba, awalnya berukuran kecil kemudian menjadi sedikit lebih besar sejak 2 bulan
yang lalu. Saat melihat kurang jelas dan ada sedikit berkabut.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat DM disangkal
Riwayat HT (+)
Page 1
PEMERIKSAAN FISIK
A. Vital Sign
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah
:
140/100 mmHg
Nadi
:
80 kali/ menit
Suhu
:
36,50C
Respiration Rate (RR)
:
20 x / menit
Status Gizi
: Cukup
B. STATUS OFTALMOLOGI
Gambar: OD
OS
OCULI DEXTRA(OD)
PEMERIKSAAN
OCULI SINISTRA(OS)
6/12
Visus
6/9
Tidak dikoreksi
Koreksi
Tidak dikoreksi
Page 2
Bulbus okuli
Palpebra
blefarospasme (-),
entropion (-)
(-),
entropion (-)
Edema (-), injeksi silier (-),
Konjungtiva
(-),
hiperemis (+)
Sklera
samping limbus
Kornea
sikatriks (-)
Jernih, kedalaman cukup,
Camera Oculi
Anterior
Page 3
(COA)
Edema (-), synekia (-),
Iris
Pupil
Kripta (-)
Bulat, Diameter 3mm,
refleks pupil L/TL: +/+
Sedikit keruh
Lensa
Sedikit keruh
Jernih
Vitreus
Jernih
Retina
(+) cemerlang
Fundus Refleks
(+) cemerlang
N0
TIO
N0
IV.RESUME
Subjektif:
mata kanan dan kiri kemeng, nrocos, gatal, pedih, mata merah, terasa
mengganjal, apabila melihat cahaya silau.
Benjolan berwarna putih kekuningan pada bola mata kiri dan kanan yang
muncul tiba-tiba, awalnya berukuran kecil kemudian menjadi sedikit lebih
besar
Pandangan sedikit berkabut
A. Obyektif
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
RSUD Kudus
18 Oktober - 12 November 2016
Page 4
6/12
Visus
6/9
Konjungtiva
(-),
hiperemis (+)
Sklera
samping limbus
Sedikit keruh
Lensa
Sedikit keruh
DIAGNOSA DIFFERENSIAL
ODS
Pseudopterigium
Pterigium
Pannus
Glaucoma
DIAGNOSA KERJA
ODS Pinguekulata + Dry Eye Syndrome + Katarak insipien
DASAR DIAGNOSIS
ODS Pinguekulata
Subjektif :
Benjolan berwarna putih kekuningan pada bola mata kiri dan kanan yang
muncul tiba-tiba, awalnya berukuran kecil kemudian menjadi sedikit lebih
besar
Page 5
Subjektif :
Mata kanan dan kiri kemeng, nrocos, gatal, pedih, mata merah, terasa
mengganjal, apabila melihat cahaya silau.
Visus
6/9
Konjungtiva
(-),
hiperemis (+)
Sklera
samping limbus
Sedikit berkabut
Lensa
Sedikit berkabut
VIII. TERAPI
ODS Pinguekulata
Tatalaksana Non-operatif
Terapi lubrikasi untuk mencegah iritasi sering digunakan secara klinis.
Penggunaan dari steroid topical dapat juga dipertimbangkan pada pasien
dengan inflamasi kronis.
Page 6
Tatalaksana Operatif
Eksisi
jaringan
pinguekula
hanya
diindikasikan
ketika
pinguekula
Konservatif
IX. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam
Quo Ad functionam
Quo Ad Kosmetikam
Quo Ad Sanam
OKULI DEKSTRA
OKULISINISTRA(OS)
(OD)
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
ad Bonam
Page 7
TINJAUAN PUSTAKA
Pinguecula
DEFINISI
Page 8
Page 9
GEJALA KLINIK
Pinguecula biasanya tanpa disertai gejala khas, timbul nodul kecil
kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih kekuningan dan stasioner.
Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea dan
menggantikan epitel, juga membran Bowman, dengan jaringan elastis dan hialin.
Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang yang
banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani. Kelainan
ini merupakan kelainan degenerasi yang berlangsung lama. Bila mengenai kornea,
dapat menurunkan visus karena menimbulkan astigmat dan juga dapat menutupi
pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya. pinguecula juga dapat meradang
dan berwarna merah, terasa mengganjal disertai mata yang berair.
DIAGNOSIS BANDING
a. Pseudopterygium
Apabila terjadi ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, dapat
terjadi bahwa dalam proses penyembuhan, konjungtiva menutupi luka
kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke
kornea.
Pada pseudopterygium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, dan tidak
bersifat progresif.
Pseudopterygium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan
kecuali sangat mengganggu visus atau alasan kosmetik.
b. Pannus
Merupakan pertumbuhan pembuluh darah ke dalam sekeliling kornea.
Pada individu normal, kornea seharusnya avaskuler, hipoksia lokal kronis
(seperti pada penggunaan contact lens berlebihan) atau inflamasi dapat
menyebabkan vaskularisasi di sekeliling kornea. Pannus juga dapat terjadi
pada penyakit stem cell kornea seperti aniridia.
c. Pterygium
Pterygium dapat berupa berbagai macam perubahan fibrovaskular pada
permukaan konjungtiva dan pada kornea. Penyakit ini lebih sering
menyerang konjungtiva nasal dan akan meluas ke kornea bagian nasal.
Page 10
PENCEGAHAN
Secara teoritis adalah dengan memperkecil terpaparnya radiasi UV untuk
mengurangi risiko berkembangnya pinguecula pada individu yang mempunyai
risiko lebih tinggi. Pasien disarankan untuk menggunakan kacamata atau topi
pelindung dari cahaya matahari.
Pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah
tropis dan subtropik atau pada pasien yang memiliki aktivitas di luar dengan suatu
risiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet, misalnya memancing, berkebun, atau
pekerja bangunan. Jadi sebaiknya untuk para pekerja lapangan dianjurkan untuk
menggunakan kacamata dan topi pelindung
Page 11
tidak stabil sehingga berpotensi untuk menimbulkan kerusakan pada permukaan okuler. Dry
eye sering disertai dengan peningkatan osmolaritas dari air mata dan peradangan dari
permukaan okuler.
Patofisiologi
Keratokonjuntivitis (KCS) pada sindroma Sjogren (SS) dipredisposisi oleh kelainan
genetik yang terlihat adanya prevalensi dari HLA-B8 yang meningkat. Kondisi tersebut dapat
memicu terjadinya prose inflamasi kronis dengan akibatnya terjadi produksi autoantibodi
yang meliputi produksi antibodi antinuklear, faktor reumatoid, fodrin (protein sitoskeletal),
reseptor muskarinik M3, antibodi spesifik SS ( seperti anti RO, anti-LA, pelepasan sitokin
peradangan dan infiltrasi limfositik fokal terutama sel limfosit T CD4+ namun terkadang juga
sel B) dari kelenjar lakrimalis dan salivatorius dengan degenerasi glandular dan induksi
apoptosis pada kelenjar lakrimalis dan konjuncita. Keadaan ini dapat menimbulkan disfungsi
kelenjar lakrimalis, penurunan produksi air mata, penurunan respon terhadap stimulasi saraf
dan berkurangnya refleks menangis. Infiltrasi sel limfosit T aktif pada konjuntiva juga sering
dilaporkan pada KCS non SS.
Reseptor androgen dan estrogen terdapat di dalam kelenjar lakrimalis dan meibomian.
SS sering ditemukan pada wanita post menopause. Pada wanita menopause, terjadi
penurunan hormon seks yang beredar ( seperti estrogen, androgen) dan juga mempengaruhi
fungsi dari sekresi kelenjar lakrimalis. 40 tahun yang lalu, penelitian mengenai defisiensi
estrogen dan atau progesteron sering berkaitan dengan insidensi KCS dan menopause.
Disfungsi kelenjar meibomian, defisiensi hormon androgen akan berakibat kehilangan
lapisan lipid terutama trigliserida, kolesterol, asam lemak esensia monosaturasi (MUFA
seperti asam oleat), dan lipid polar ( seperti phosphatidiletanolamin, sfingomielin).
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
RSUD Kudus
18 Oktober - 12 November 2016
Page 12
Kehilangan polaritas lemak (pada hubungan antara lapisan aqueous-air mata) akan
mencetuskan terjadinya kehilangan air mata atau evaporasi dan penurunan asam lemak tidak
jenuh yang akan meningkatkan produksi meibum, memicu penebalan serta sekresi air mata
yang bersifat viskos sehingga dapat mengobstruksi duktus dan menyebabkan stagnasi dari
sekresi. Pasien dengan terapi antiandrogenik pada penyakit prostat juga dapat meningkatkan
viskositas sekret kelenjar meibom, menurunkan waktu kecepatan penyerapan air mata dan
meningkatkan jumlah debris.
Sitokin proinflamasi juga dapat menimbulkan destruksi seluler, meliputi interleukin 1
(IL-1), interleukin 6 (IL-6), interleukin 8 (IL-8), TGF beta, TNF alpha. IL-1 beta dan TNFalfa juga ditemukan pada air mata dari KCS dimana dapat menimbulkan pelepasan opioid
yang akan mengikat reseptor opioid pada membran neural dan menghambat pelepasan
neurotransmiter melalui NF-K beta. IL-2 juga dapat mengikat reseptor opioid delta dan
menghambat produksi cAMP dan fungsi neuronal. Kehilangan fungsi neuronal akan
menurunkan tegangan neuronal normal, yang dapat memicu isolasi sensoris dari kelenjar
lakrimalis dan atrofi kelenjar lakrimalis secara bertahap.
Neurotransmiter proinflamasi seperti substansi P dan kalsitonin gen related peptide
(CGRP) dilepaskan dan dapat mengaktivasi sel limfosit lokal. Substansi P juga berperan
melalui pelepasan sinyal lewat jalur NF-AT dan NFKb yang memicu ekspresi ICAM-1 dan
VCAM-1, adesi molekul yang mempromosi munculnya limfosit dan kemotaksis limfosit ke
daerah inflamasi. Siklosporin A merupakan reseptor sel natural killer (NK)-1 dan NK-2 yang
dapat menurunkan regulasi molekul sinyal yang dapat digunakan untuk mengatasi defisiensi
lapisan aqueous air mata dan disfungsi kelenjar meibomian. Proses tersebut juga dapat
meningkatkan jumlah sel goblet dan menurunkan jumlah sel inflamasi dan sitokin di dalam
konjuntiva.
Sitokin-sitokin tersebut dapat menghambat fungsi neural yang dapat mengkonversi
hormon androgen menjadi estrogen yang merupakan hasil dari disfungsi kelenjar meibomian.
Peningkatan rata-rata apoptosis juga terlihat pada sel konjunktiva dan sel lakrimalis asiner
yang mungkin disebabkan karena kaskade sitokin. Elevasi enzim pemecah jaringan yaitu
matriks metalloproteinase (MMPs) juga ditemukan pada sel epitel.
Gen yang berperan dalam produksi musin yaitu MUC1-MUC 17 akan
memperlihatkan fungsi sekresi dari sel goblet, musin yang soluble dan tampak adanya hidrasi
dan stabilitas dari lapisan air mata yang terganggu pada penderita sindroma dry eyes.
Kebanyakan MUC 5AC berperan dominan dalam lapisan mukus air mata. Adanya defek gen
musin makan akan memicu perkembangan sindroma dry eyes. Sindroma Steven-Johnson,
defisiensi vitamin A akan memicu kekeringan pada mata atau keratinisasi dari epitel okuler
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
RSUD Kudus
18 Oktober - 12 November 2016
Page 13
dan bahkan dapat menimbulkan kehilangan sel goblet. Musin juga menurun pada penyakit
tersebut dan terjadi penurunan ekspresi gen musin, translasi dan terjadi perubahan proses
post-translasi.
Produksi protein air mata normal seperti lisosim, laktoferin, lipocalin, fosfolipase A2
juga menurun pada KCS.
Mortalitas dan Morbiditas
Dry eyes juga dapat menimbulkan kornea yang steril atau terjadi ulserasi kornea
terinfeksi terutama pada pasien Sindroma Sjogren. Sifat ulkus kornea pada dry eyes cukup
khas yaitu berbentuk oval atau sirkular dengan diameter kurang dari 3 mm dan berlokasi pada
kornea sentral atau parasentral. Terkadang dapat terjadi perforasi kornea. Pada kasus tertentu
dapat menimbulkan kebutaan akibat ulkus kornea terinfeksi. Komplikasi lainnya berupa
defek epitel puntata (PED), neovaskularisasi kornea dan jaringan parut kornea.
Mortalitas dan morbiditas juga dipengaruhi oleh jenis kelamin dan suku bangsa.
Kebanyakan sindroma dry eyes terjadi pada wanita. KCS dengan SS ditemukan pada 1-2%
populasi dan mengenai hampir 90% wanita. Sedangkan diagnosis dry eyes sering ditemukan
pada penderita ras hispanik dan asia kaukasia.
Pemeriksaan klinis
a. anamnesis
perlu dilakukan pemeriksan riwayat penyakit untuk menegakkan diagnosis sindroma
dry-eyes seperti ada tidaknya:
Iritasi okuler dengan gejala klinis seperti rasa kering , rasa terbakar, gatal, nyeri , rasa adanya
benda asing pada mata, fotofobia, pandangan berkabut. Biasanya gejala tersebut dicetuskan
pada lingkungan berasap atau kering, aktivitas panas indoor, membaca lama, pemakaian
komputer jangka panjang.
Pada KCS, gejala-gejala akan semakin memburuk setiap harinya dengan penggunaan mata
yang lebih memanjang dan paparan lingkungan. Pasien dengan disfungsi kelenjar meibomian
kadang mengeluh mata merah pada kelopak mata dan konjuntiva tetapi pasien-pasien tersebut
memperlihatkan perburukan gejala terutama pada pagi hari.
Terkadang, pasien mengeluh sekret air mata yang berlebihan, hal ini disebabkan karena reflek
menangis mata yang meningkat karena permukaan kornea yang mengering
Pemakaian obat-obatan sistemik, karena dapat menurunkan produksi air mata seperti
antihistamin, beta bloker dan kontrasepsi oral.
Riwayat penyakit dahulu berupa kelainan jaringan ikat, artritis reumatoid, atau abnormalitas
Page 14
Page 15
Page 16
dalam lapis fluorescein kornea adalah break-up time. Biasanya lebih dari 15 detik. Selang
waktu akan memendek pada mata dengan defisiensi lipid pada airmata.
Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti komponen musin air mata ; dilakukan
dengan mengeringkan kerokan lapisan air mata di atas kaca obyek bersih.
Sitologi
Impresi Adalah cara menghitung densitas sel Goblet pada permukaan konjungtiva. Pada
orang normal, populasi sel Goblet paling tinggi di kuadran infra nasal.
Pemulasan Fluorescein
Dilakukan dengan secarik kertas kering fluorescein untuk melihat derajat basahnya air mata
dan melihat meniskus air mata. Fluorescein akan memulas daerah yang tidak tertutup oleh
epitel selain defek mikroskopik pada epitel
kornea.
Pemulasan Rose Bengal
Rose Bengal lebih sensitif daripada fluorescein. Pewarna ini akan memulas semua sel epitel
yang tidak tertutup oleh lapisan musin yang mengering dari kornea dan konjungtiva.
Pengujian kadar lisozim air mata
Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya dengan cara
spektrofotometri.
Osmolalitas air mata
Hiperosmolalitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sicca dan
pemakai lensa kontak; diduga sebagai akibat berkurangnya sensitifitas kornea. Laporanlaporan penelitian menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes yang paling spesifik bagi
keratokonjungtivitis sicca, karena dapat ditemukan pada pasien dengan tes Schirmer normal
dan pemulasan Rose Bengal normal.
Laktoferin
Laktoferin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar
lakrimalis
Penyebab
Internasional Dry Eye Workshop (DEWS) mengembangkan 3 bagian klasifikasi dari dry eye,
berdasarkan etiologi, mekanisme dan derajat keparahan penyakit.
Sistem klasifikasi dibuat berdasarkan etiopatogenesis menurut DEWS:
a. Defisiensi produksi aqueous
Dry eyes dengan Sindroma sjogren (primer, sekunder)
Page 17
o
o
o
o
Page 18
Tujuan utama dari pengobatan sindrom dry eye adalah penggantian cairan mata.
Terapi yang saat ini dianut adalah air mata buatan sebagai pelumas air mata sedangkan salep
berguna sebagai pelumas jangka panjang terutama saat tidur. Terapi tambahan dapat
dilakukan dengan memakai pelembab, kacamata pelembab atau kacamata
berenang.
Untuk menjaga agar air mata tidak terdrainase dengan cepat dapat digunakan punctal
plug, dengan demikian mata akan lebih terasa lembab, tidak kering, tidak gatal, tidak seperti
terbakar.
Katarak
Katarak senilis adalah katarak yang berkaitan dengan usia, penuruna penglihatan,
dengan karakteristik penebalan lensa yang terjadi secara terusmenerus dan progresif (Victor
et al., 2006). Katarak senile umumnya dibagi menjadi 4 stadium yaitu: 1. Stadium insipien 2.
Stadium imatur 3. Stadium matur 4. Stadium hipermatur Pada katarak insipien kekeruhan
lensa ringan, cairan lensa, iris, bilik mata, sudut bilik mata normal, shadow test negatif. Pada
katarak Imatur kekeruhan hanya pada sebagian lensa, cairan lensa bertambah, iris terdorong
ke depan, bilik mata depan dangkal, sudut bilik mata sempit, shadow test positif. Pada
katarak matur telah terjadi kekeruhan pada seluruh lensa, cairan lensa, iris, bilik mata, sudut
bilik mata normal, shadow test negatif. Pada katarak imatur kekeruhan lensa masif, cairan
lensa berkurang, iris termulans, bilik mata depan dalam, sudut bilik mata terbuka, shadow test
pseudops (Ilyas, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, H.S., 2009,Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.
2. PERDAMI, 2009, Ilmu Penyakit Mata, Edisi 2, Sagung Seto: Jakarta.
3. Vaughan, D.G., 2009, Oftalmologi Umum, Widya Medika: Jakarta
4. Wijana, N., 1993, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta
Page 19