Pull Dan Push Strategi
Pull Dan Push Strategi
Pull Dan Push Strategi
Pull Strategi
Pull marketing mengambil pendekatan yang berlawanan. Tujuan pull marketing
adalah membuat pelanggan mendatangi merek. Taktik penjualan umum yang
biasa digunakan meliputi promosi melalui media massa, word-of-mouth terarah,
dan penjualan melalui iklan. Dari perspektif bisnis, pull marketing merupakan
upaya menciptakan loyalitas merek dan membuat pelanggan datang kembali,
sedangkan push marketing lebih ditujukan untuk penjualan jangka pendek
Contoh pull marketing sering Anda jumpai. Merek atau produk dipromosikan
melalui kampanye pemasaran dengan iklan. Tarik pemasaran ini membutuhkan
biaya yang besar untuk periklanan. Salah satu contoh adalah pemasaran mainan
anak-anak. Pada tahap pertama, perusahaan mengiklankan produk tersebut.
Selanjutnya, anak-anak dan orang tua melihat iklan dan ingin membeli mainan.
Begitu permintaan meningkat, pengecer mulai berusaha merebut pangsa pasar
produk di toko . Sementara itu, perusahaan telah berhasil menarik pelanggan
mereka
Merupakan strategi promosi yang menggunakan banyak biaya untuk periklanan
dan promosi konsumen demi memupuk permintaan konsumen. Apabila strategi
tarik berhasil konsumen akan mencari produk dari pengecer, pengecer akan
mencari dari pedagang besar dan pedagang besar akan mencari dari produsen.
Meliputi kegiatan pemasaran (terutama iklan dan promosi untuk konsumen) yang
diarahkan pada end users untuk membujuk mereka agar meminta produk
tersebut pada perantara sehingga perantara kemudian memesan produk
tersebut ke perusahaan
Pengalaman merek batu baterai lokal, ABC Alkaline membuktikan bahwa merek lokal
follower sekalipun mampu menjadi pemimpin pasar. Ketika baterai ini diluncurkan, sejatinya
di pasar sudah ada baterai yang sama-sama alkaline, yakni Duracell dan Energizer. Namun,
kepiwaiannya dalam dalam menemukan celah pasar baru dan membaca tren pasar, ABC
Alkaline berhasil menuai penjualan tinggi dan menjungkalkan pendahulunya.
Ceritanya, ketika diluncurkan pada 1980-an, pengelola merek ABC Alkaline sudah
memperkirakan bahwa pasar baterai jenis alkaline akan menjadi produk yang demand-nya
meningkat pesat. Ini karena di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang,
market baterai alkaline sudah mencapai 80%.
Dengan kata lain,saat itu, baterai jenis biasa sudah hampir tidak digunakan lagi. Sedangkan di
Indonesia, sampai saat itu pasar baterai jenis alkaline baru mencapai sekitar 4% dari
konsumsi semua jenis baterai.
Itu sebabnya, pengelola ABC Alkaline yakin bahwa seiring dengan perkembangan teknologi,
masyarakat Indonesia akan berpindah ke baterai jenis alkaline. Maklum, baterai alkaline
memiliki kekuatan empat sampai lima kali lebih besar dibandingkan baterai biasa.
Memang perusahaan yang melihat celah pasar ini di Indonesia memang tidak hanya ABC.
Ada Duracell dan Energizer. Namun kedua merek yang belakangan disebut ini adalah pemain
global yang produknya masih diproduksi di luar negeri. Kedua, komunikasi yang dilakukan
Duracell maupun Energizer hampir identik. Dua-duanya mengklaim sebagai baterai tahan
lama. Bahkan keduanya juga menggunakan kelinci sebagai maskot pemasaran mereka.
Ketika pertama kali diluncurkan, ABC Alkaline pun sebetulnya masih diimpor dari negara
lain. Jadi waktu itu, ABC Alkaline hanya menjual merek saja. Namun melihat pasarnya yang
terus tumbuh, pada tahun 1990-an ABC kemudian memutuskan unuk memproduksi sendiri
produk baterai alkaline itu. ABC Alkaline masuk dengan harga yang lebih murah. Sebab
dalam situasi konsumen menagnggap sama kualitas beberapa produk, faktor harga menjadi
penentu.
Seperti yang diramalkan sebelumnya, pertumbuhan pasar baterai alkaline setiap tahunnya
ternyata memang sangat tinggi, yaitu rata-rata mencapai 30% sampai 40%. Dengan edukasi
pasar, pertumbuhannya terus membesar. Untuk ABC Alkaline sendiri, pertumbuhan
penjualannya tahun itu melebih targetsemula target dipatok pada level 25%. Faktanya,
target itu sudah tercapai pada pertengahan tahun itu.
Meskipun bukan pioneer di kategori produk ini, ABC berhasil menjadi market leader. Data
AC Nielsen saat itu menunjukkan bahwa ABC Alkaline menguasai 60,1% pangsa pasar
baterai alkaline. Sisanya diambil merek lain seperti Duracell dan Energizer. Sukses ABC
Alkaline menjadi pemimpin pasan ini adalah berkat jaringan distribusi yang luas dan
kekuatan strategi komunikasi.
Distribusi ABC Alkaline mencakup skala nasional, meskipun hanya sampai tingkat
kotamadya. Sebarannya hanya sampai daerah tingkat dua karena ABC Alkaline saat itu
ditujukan untuk segmen premium. Jadi tentunya tidak cocok kalau didistribusikan sampai ke
kampung-kampung.
Sebagai satu-satunya produk alkaline produksi dalam negeri, sebetulnya ABC bisa terus
bersaing dari sisi harga. Namun, ABC Alkaline tidak terlalu lama memanfaatkan pricing
untuk bersaing dengan kompetitor. Pengelola merek ABC Alkaline yakin bahwa barang
berkualitas tidak boleh dijual murah. Karena itu ABC Alkaline tidak mau berlama-lama
menjual dengan harga lebih rendah dari produk competitor. Pada akhirnya, harga jual ABC
Alkaline tidak berbeda jauh dengan Energizer dan Duracell.
Kisah keberhaslan es krim Magnum lain lagi. Sampai 2010, nama es krim Magnum belum
terdengar. Namun, setahun kemudian, Magnum berhasil mendorong pertumbuhan bisnis es
krim PT Unilever Indonesia, bahkan sukses meningkatkan growth pasar es krim Indonesia
secara keseluruhan.
Setahun setelah relaunching Magnum, pasar es krim Indonesia tumbuh hingga 40% (2011).
Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhannya tidak pernah sebesar itu. Dan pada
semester I 2014 lalu, Magnum berhasil mendorong pertumbuhan bisnis es krim Unilever
Indonesia hingga 15%-20%.
Inovasi produk dan komunikasi pemasaran merupakan kunci keberhasilan Magnum. Pada
awalnya, Magnum memulai perjalanan barunya dengan mengaitkan brand ini dengan imaji
kualitas cokelat Belgia. Unilever juga menciptakan kampanye dengan muatan brand
excitement yang tinggi di level konsumen, yakni kampanye City Challenge untuk
peluncuran produk Magnum Infinity dan kampanye Elevating the Beauty of Indonesiauntuk
peluncuran produk Magnum Pink and Black.
Clutter di media konvensional menuntut para pemasar untuk bertindak kreatif dalam mencari
channel komunikasi maupun distribusi . Pengelola merek juga dituntut inovatif dalam
menciptakan channel baru. Berjejer channel anyar seperti blog, interaktif bilboard, rest area,
komunitas, games viral, dan yang lainnya, kini banyak dimanfaatkan oleh beberapa brand di
tanah air, termasuk Magnum.
Beberapa tahun lalu, Pantene dikabarkan berhasil menjadi market leader pasar shampo di
Indonesia. Keberhasilan P&G mengalahkan dominasi brand shampo dari Unilever ini antara
lain lantaran ketepatannya memilih kontak poin untuk komunikasi Pantene. P&G memilih
membuat activation untuk para professional rambut ketimbang untuk end-user. P&G juga
memutuskan menggunakan PR sebagai vehicle untuk komunikasi.
Public Relations (PR) Beauty Networking, Pantene Cari Media, PR Media Maximization
adalah program-program komunikasi pemasaran Pantene yang dipercaya menimbulkan
competitive advantage yang tidak bisa ditiru dalam sekejap. Pantene Cari Bintang dengan
pesan tunggal shine dikonsep bersama oleh tim PR dan Marketing sebagai strategic program
yang terintegrasi dalam periode tahunan.
PR Commercialization ditujukan agar PR bisa berefek langsung terhadap sales dan consumer.
Media maximization diwujudkan dalam bentuk aktivitas merek non iklan yang kemudian
dimasukkan dalam program televisi. Di luar itu, tim Pantene juga aktif melakukan kegiatankegiatan below the line (BTL) di toko-toko pengecer.
Fenomena ini makin mengukuhkan pentingnya keseimbangan antara strategi push dan pull
marketing, selain pemanfaatkan media sosial. Dalam marketing, dikenal adanya teori
mengenai push marketing yang pada intinya ialah menggunakan jalur distribusi untuk
melakukan push produk ke outlet-outlet dimana konsumen bisa membelinya.
Kemudian ada pull strategy yang pada intinya ialah membangun daya tarik terhadap produk
dan jasa melalui berbagai media sehingga konsumen atau customer datang sendiri ke tempat
kita atau datang ke toko untuk membeli barang kita. Dengan kata lain agar bisa menjadi
merek hebat, komunikasi melalui media termasuk media sosial mesti dibarengi dengan
distribusi yang mumpuni untuk menjamin visibilitas produk
Apa sih ATL, BTL dan TTL ?
Dari hari ke hari semakin banyak jargon-jargon yang digunakan oleh para
marketer yang kadang kala membuat orang awam atau pemula marketer
semakin bingung akan arti dari jargon-jargon tersebut.Hal tersebut mengelitik
saya untuk mencoba menolong anda dengan menulis artikel ini. Semoga artikel
ini memberikan pemahaman awal tentang jargon jargon yang digunakan di
dunia marketing.
Ok saya mulai saja penjelasan tentang istilah ATL, BTL dan TTL itu sendiri.
Sebelum saya menulis lebih detail tentang apa sih yang dimaksud dengan ATL,
BTL dan TTL itu sendiri, saya akan memulai dari singkatan apa kata-kata
tersebut. Langsung to the point, ATL merupakan singkatan dari Above The Line,
BTL sudah pasti bisa anda tebak kira-kira apa singkatannya ? Yup tebakan anda
semua benar, bagi yang salah BTL merupakan singkatan dari Below The Line.
Sedangkan untuk TTL merupakan singkatan dari Through The Line.
Untuk istilah komunikasi ATL dan BTL, kedua-nya sudah umum digunakan di
dunia pemasaran dan periklanan. Akan tetapi TTL (Through The Line) memang
merupakan istilah baru. Sebenarnya istilah LINE (yang berarti garis) dalam ATL
dan BTL itu berawal dari kategorisasi dalam neraca keuangan. Kategori pertama
berlaku bagi kegiatan pemasaran yang kena komisi biro iklan. Ini dimasukkan
dalam cost of sales dan dikurangi sebelum ditentukan gross profit. Kategori
kedua untuk kegiatan pemasaran non iklan yang tidak kena komisi. Biayanya
dimasukkan dalam biaya operasional dan dikurangi sebelum ditentukan net
profit.
Kedua jenis budget tersebut dipisahkan dengan sebuah garis (LINE). Yang
mengandung unsur komisi, ditulis di bagian atas neraca, disebut sebagai Above
the line (ATL). Sisanya, dijadikan satu di bawah garis tadi, disebut kelompok
Below the line (BTL). Sudah banyak yang melupakan definisi awal komunikasi
ATL vs BTL tersebut.
Dalam berbagai tulisan, ATL dan BTL dijelaskan perbedaannya sebagi berikut:
Above the line (ATL)
Target audiens yang luas.
Lebih untuk menjelaskan sebuah konsep atau ide. Tidak ada interaksi langsung
dengan audiens.
Media yang digunakan TV, Radio, Majalah, koran, billboard.
Below the line (BTL)
Target audiens terbatas
Media atau kegiatannya memberikan audiens kesempatan untuk merasakan,
menyentuh atau berinteraksi, bahkan
langsung action membeli.
Media yang digunakan Event, Sponsorship, Sampling, Point-of-Sale (POS)
materials, Consumer promotion, Trade promotion, dll.
Akan tetapi saat ini, dimana landscape media sudah bergeser secara dramatis
dengan munculnya media-media baru, terutama yang berbasis teknologi tinggi
(Internet dan mobile phone), beda ATL vs BTL semakin kabur. Persoalannya,
karakteristik media baru tidak eksklusif lagi. Internet media, karena fiturnya yang
sangat kaya (disebut dengan rich multimedia), yang dapat mencakup target
audiens yang sangat luas, spesifik dan mempunyai fasilitas interaksi secara
langsung. Dalam situasi pemasaran modern ini mengharuskan Strategic Brand
Planner berpikir tentang bagaimana meng-integrasi semua hal diatas dalam
desain pesan dan alokasi medianya. Karena hal ini maka kegiatan Integrasi
komunikasi ini dikenal dengan sebutan Integrated Marketing Communication
(IMC).
Jika kita perhatikan di sekitar kita, memang banyak kegiatan yang tidak bisa
dikatakan eksklusif lagi. Ada kegiatan ATL yang mengandung unsur BTL. Atau
sebaliknya, BTL yang mengandung unsur ATL. Contoh ATL dengan BTL adalah
iklan sebuah brand di majalah yang sekaligus ditempeli sample produknya.
Sedangkan contoh BTL dengan ATL adalah kegiatan event di outlet tertentu yang
disebarluaskan lewat iklan radio dan sms.
Wilayah abu-abu atau grey area itulah yang mendorong timbulnya istilah baru,
yaitu Through the Line atau TTL. Istilah ini secara harafiah berarti cakupan dari
ujung satu ke ujung lainnya. Istilah TTL diperkenalkan untuk menjembatani
pihak perusahaan jasa komunikasi periklanan yang ingin membuat gambaran
kongkrit terhadap segmen jasa kreatif komunikasi yang ditawarkannya.
Above The Line (ATL) adalah aktifitas marketing/promosi yang biasanya dilakukan oleh
manajemen pusat sebagai upaya membentuk brand image yang diinginkan, contohnya : iklan
di Televisi dengan berbagai versi.
Sifat ATL merupakan media tak langsung yang mengenai audience, karena sifatnya yang
terbatas pada penerimaan audience.
Below The Line (Media Lini Bawah) adalah segala aktifitas marketing atau promosi yang
dilakukan di tingkat retail/konsumen dengan salah satu tujuannya adalah merangkul
konsumen supaya aware dengan produk kita, contohnya : program bonus/hadiah, event,
pembinaan konsumen dll.
Semua aktifitas ini biasanya dilakukan oleh kantor perwakilan di daerah yang menjadi area
pemasarannya. Pada intinya aktifitas BTL selalu bertujuan untuk mendukung dan memfollow
up aktifitas ATL.
Sifat BTL merupakan media yang langsung mengena pada audience karena sifatnya yang
memudahkan audience langsung menyerap satu produk/pesan saja.