Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

Makalah Pembuktian Hukum Acara Perdata

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu
sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang
menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian,
keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada
hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan
dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat
ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada
prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih
dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum
acara perdata.
2. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
2. Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana
dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini,
pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan
tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak.
Kebenaran yang diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan
keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu
diketahui oleh hakim, diantaranya :

a.

Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh
hakim.
b. Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih
lanjut.
c. Pengetahuan tentang pengalaman. [1]
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa
pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal
1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk
meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya
hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.[2]
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan diatas,
Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang
diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, membuktikan
berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian
ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah
untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak
meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga
tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata diatur
dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg adalah hokum
pembuktian yang materiil maupun formil.[3]
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus
dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan peristiwanya

1.

2.

3.

4.

5.

atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan
antara peristiwa dan hukum yang ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya dimana
kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang
diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi
kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim.
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang
dituntut.[4]
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib
membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau
sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.[5]
Sesuai pasal 283 HIR Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu
keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hak
atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163)[6]
Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat
maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib
membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan
kebenaran bantahannya. [7] Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang
dapat merupakan pedoman bagi hakim.
Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)[8]
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari
atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak
mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang
mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku
mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang
dikemukakan itu.
Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada
hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang
diajukan.
Teori Hukum Publik[9]
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan
kepentingan publik.
Teori Hukum Acara

Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para
pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan,
pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di poin kedua
ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli. [10]
2. Macam-macam Alat Bukti
Pada bagian ini akan dibicirakan mengenai alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan
perkembangannya.
2.1 Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang
memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang
diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim
melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat
dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti
tertentu.[11] Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia saat ini adalah masih berpegang pada
jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas
menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang telah
menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan
kata lain hukum pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara seperti Belanda[12], telah terjadi perpindahan pola
pembuktian yang sekarang telah berubah menjadi hukum pembuktian kea rah system terbuka.
Dalam hukum pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja dapat diperoleh melalui bukti-bukti tertentu saja melainkan
dapat pula diperoleh dari alat bukti apapun asal dapat diterima secara hukum kebenarannya dan
tidak mertentangan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan
sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh karena sampai sekarang hukum pembuktian di Indonesia ini
belum mengalami pembaharuan seperti yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang
berperkara maupun hakim masih berpegang pada system lama karena sampai sekarang
pengadilan belum berani melakukan terobosan menerima alat bukti baru, diluar yang disebutkan
Undang-Undang.[13]
2.2 Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti
yang sah, yang artinya hakim hanya boleh memutuskan perkara melalui alat bukti yang telah
ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undangundang adalah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan,
pengakuan dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a. Alat bukti tertulis

Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau halhal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya
sebagai berikut.
Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta
otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta ialah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang
memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.[14] Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah
ditandatangani.
Akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang
oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat (ps. 1868 KUH
Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang membuatnya
pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869
KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik;
namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.[15]
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para
pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.[16]
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana
menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
c. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua
pihak.
Akta pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam akta dibawah tangan
yang bersifat partai , tetapi merupakan surat pengakuan sepihak dari tergugat.[17] Oleh karena
bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka penilaian dan penerapannya tunduk pada
ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan demikian harus memenuhi syarat :
a. Seluruh isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
b. Atau paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis
tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun
membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan,
alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti
pelengkap tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[18]

c.

d.

e.

f.

g.

a.
b.
c.
h.

Alat bukti kesaksian


Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[19]
Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia
alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk
dalam suatu kesaksian.
Alat bukti persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik
dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum,
pasal 1915 KUH Perdata.
Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.
[20]
Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak diperlukan
persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diam-diam
tidaklah member kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti
dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa.[21]
Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka
Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka
hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan
setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya
memiliki maksud sebagai berikut :
Proses pemeriksaan persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang dapat dipindahkan
ke tempat objek yang diperkarakan.
Persidangan ditempat seperti itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat barang
itu terletak.
Dan yang melakukannya adalah dapat seorang atau dua orang anggota Majelis yang
bersangkutan dibantu oleh seorang panitera.[22]
Saksi ahli/Pendapat ahli

Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang
bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus
dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, specialized are as of knowledge. [23]
Jadi menurut hukum seseorang baru ahli apabila dia :
a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
b. Spesialisasi tersebut dapat berupa skill ataupun pengalaman
c. Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia mampu membantu menemukan fakta melebihi
kemampuan umum orang biasa (ordinary people).[24]
Dari pengertian diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika
dikaitkan dengan perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang
yang disengketakan.

BAB III
PENUTUP

a.

b.

c.

d.

e.

Kesimpulan
Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya
diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 Setiap orang yang
mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu
atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan
atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa,
berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) memiliki macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang memiliki
kemampuan untuk menjelaskan dan juga memberikan keterangan tentang masalah yang
diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan penjelasan dari alat bukti itulah hakim
melakukan penilaian, pihak mana yang paling sempurna pembuktiannya.
Macam-macam Alat Bukti
Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau halhal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya
sebagai berikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat
sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut dibagi menjadi akta
otentik dan akta dibawah tangan.
Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW.
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang
dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
Alat bukti persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik
dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum,
pasal 1915 KUH Perdata.
Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH
Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan merupakan sebuah keterangan sepihak, karenanya tidak
diperlukan persetujuan dari pihak lawan.
Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan
atas nama Tuhan, dengan tujuan agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka

Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka
hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat
bukti lain.
f. Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang erat kaitannya dengan hukum pembuktian adalah pemeriksaan
setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata.
Sumber formil dari pemeriksaan setempat ini adalah ada pada pasal 153 HIR
g. Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud pemeriksaan ahli tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu
dipahami dengan tepat arti dari kata ahli tersebut yang dikaitkan dengan perkara yang
bersangkutan. Secara umum pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan khusus
dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, specialized are as of knowledge. Dari
pengertian diaatas tidak semua orang dapat diangkat sebagai ahli. Apalagi jika dikaitkan dengan
perkara yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.

DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang Udang Hukum Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)
Mr. C. Assers Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van
Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 132- 133
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (RhedBook Publisher), 422
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 137
[4] Reglement Biusten Govesten (RBg), 18
[5] Opcit, 139
[6] Opcit, 47
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 142
[8] Asser Anema Verdam, 64
[9] Ibid, 72
[10] Kitab Undang Udang Hukum Perdata (RhedBook Publisher), 422
[11] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554
[12] Opcit, 555
[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 556
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 149
[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566
[16] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 158
[17] Opcit, 607
[18] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 616-622
[19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 166
[20] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 684
[21] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), 181
[22] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 781
[23] Ibid, 789
[24] Ibid, 790

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata


Home Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

Teori Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

A. Teori Pembuktian
1. Pendahuluan
Pokok

bahasan

mengenai

pembuktian

mengundang

perbedaan

pendapat

diantara

ahli

hukum

dalam

mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara perdata.
Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesiaberpendapat bahwa
sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan tidak
pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk
hukum materil.
Akan tetapi memang ada suatu pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan
hukum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hukum
acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitabundang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat
ini rupanya yang dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal
pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri.
Hukum positif tentang pembuktian (pokok bahasan makalah ini) yang berlaku saat ini di RI terserak dalam HIR dan
Rbg baik yang materiil maupun yang formil. Serta dalam BW buku IV yang isinya hanya hukum pembuktian materiil.

2. Pengertian Pembuktian/membuktikan
Membuktikan

menurut

Prof.

Dr.

Sudikno

Mertokusumo,

S.H., guru besar

FH-UGM

mengandung

beberapa pengertian:
a) Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan
adanya bukti lawan.

b) Membuktikan dalam arti konvensionil


Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c) Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis
Didalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi
setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian
dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak.
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka
hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian historis yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi
secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada hakekatnya berarti
mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang
memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah
melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan tentang
kesalahan terdakwa, dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan
hakim.
Yang penting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil
keputusan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata,
cukup dengan kebenaran formil saja.

3. Prinsip-Prinsip Pembuktian

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.
Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu
perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka
gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal,
apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.
Beberapa hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain :
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
- hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal
- hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang
secara kebetulan telah diketahui sendiri oleh hakim.
Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta
lebih mahal dari di desa.
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa
perkara itu yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan diwajibkan memberikan
bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri
yang menentukan pihak yang mana yang akan memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban
pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua peristiwa dan keadaan
yang konkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya.
Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:
" Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan membuktikan
peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain,
diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu"

4. Teori-Teori Tentang Penilaian Pembuktian

Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus
dinilai.
Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajibmempercayai
satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat
oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps.
165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)].
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau
para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :
a) Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian
seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan
kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306
Rbg, 1905 BW)
c) Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi
dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).

5. Teori-Teori Tentang Beban Pembuktian


Seperti telah diuraikan sekilas diatas (dalam sub judul prinsip-prinsip pembuktian), maka pembuktian dilakukan oleh
para pihak bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat
buktinya.
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim,
antara lain:

a) Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)


Menurut teori ini siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau yang
menyangkalnya. Teori ini telah ditinggalkan.
b) Teori hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif atau bertujuan
mempertahankan hukum subyektif, dan siapa yang mengemukakan atau mempunyai suatu hak harus
membuktikannya.
c) Teori hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan gugatan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum obyektif terhadap pristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus
membuktikan kebenaran daripada peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum obyektifnya untuk
diterapkan pada peristiwa itu.
d) Teori hukum publik
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu pristiwa dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh
karena itu hakim harus diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu para pihak ada
kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus
disertai sanksi pidana.
e) Teori hukum acara
Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukkan prosesuil yang sama daripada para pihak dimuka hakim
merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukkan para pihak, sehingga kemungkinan
menang antara para pihak adalah sama.

B. Alat-Alat Bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu
1. Surat-surat

2. Kesaksian
3. persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;
1. Surat-Surat
Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu
tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu
ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).
Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang
menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah
notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig
bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa
yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) ialah tiap akte yang tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang
pejabat umum. Misalnya, surat perjanjian jual-beli atau sewa menyewa yang dibuat sendiri dan ditandatangani
sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani surat perjanjian itu
mengakui atau tidak menyangkal tandatangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran apa
yang tertulis dalam surat perjanjian itu, maka akte dibawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian
yang sama dengan suatu akte resmi.
Akan tetapi jika tanda tangan itu disangkal, maka pihak yang mengajukan surat perjanjian tersebut diwajibkan untuk
membuktikan kebenaran penandatanganan atau isi akte tersebut. Ini adalah suatu hal yang sebaliknya dari apa yang
berlaku terhadap suatu akte resmi. Barang siapa menyangkal tanda tangannya pada suatu akte resmi, diwajibkan

membuktikan bahwa tanda tangan itu palsu, dengan kata lain, pejabat umum (notaris) yang membuat akte tersebut
telah melakukan pemalsuan surat.
Berbagai tulisan-tulisan lain, artinya tulisan yang bukan akte seperti surat, faktur, catatan yang dibuat oleh suatu
pihak, dsb. Yang kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, hakim leluasa untuk
mempercayai atau tidak mempercayai kebenarannya.

2. Kesaksian
Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting
dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.
Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh
seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa
yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.
Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk
menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang
saksi.
Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak
lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.
Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh
mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu
selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

3. Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa
yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri
(watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu
pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya,
adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan,
bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana
tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu
perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar
memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksisaksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut
hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu
persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu
lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

4. Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak
lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah
membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang
kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu
peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
Adakalanya, seorang tergugat dalam suatu perkara perdata mengakui suatu peristiwa yang diajukan oleh penggugat,
tetapi sebagai pembelaan mengajukan suatu peristiwa lain yang menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia
mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia
terima dari penggugat. Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga
merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan
yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare

bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan
terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli.
Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu
proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan
pemisahan kekayaan.

5. Sumpa
Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang menentukan (decissoire eed) dan tambahan
(supletoir eed).
Sumpah yang menentukan (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika
pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan
pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah
itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk mengembalikan
perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah
yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : Saya
bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang perumusan sumpah yang dikembalikan akan
berbunyi Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang. Jika sumpah dikembalikan,
maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia
mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim
harus mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim
memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan
yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh
pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan
itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa
sumpah itu sungguh-sungguh menentukan jalannya perkara.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang
beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu permulaan
pembuktian, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan

putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak
sumpah itu. Tetapi ia tak dapat mengembalikan sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap
sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan
sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang
beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi
atas kehendak hakim itu sendiri.

Daftar Pustaka

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Intermasa, 2005, Cet. XXXII

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: P.T. Pradnya Paramita,
2005, Cet. XXV

Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, Bandung: C.V . Mandar
Maju, 2005, Cet. X

R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1995

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, Yogyakarta: Liberty, 2006, Cet. I

Anda mungkin juga menyukai