Referat Tinea

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Referat

TINEA KRURIS

Oleh:
Mary Gisca Theressi, S.Ked
04054821517032

Pembimbing:
Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul
Tinea Kruris

Oleh
Mary Gisca Theressi, S.Ked
04054821517032

Pembimbing
Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya
Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 13 September 2016 17 Oktober
2016.

Palembang,

September 2016
Pembimbing,

Dr. Inda Astri Aryani, Sp.KK

TINEA KRURIS
Mary Gisca Theressi, S.Ked
Bagian/ Departemen Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/ RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang
2016

PENDAHULUAN
Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial pada jaringan yang mengandung
stratum korneum (banyak mengandung keratin) seperti kulit, rambut dan kuku.1,2
Sinonim tinea kruris adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of
the groin. Tinea kruris merupakan infeksi jamur golongan dermatofita, terutama kelas Fungi
imperfecti, yaitu Genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering
ditemukan pada inguinal, pubis, perineum, dan perianal.3,4,5
Tinea kruris dapat ditemukan di seluruh dunia, tetapi paling banyak di daerah tropis
dan subtropis. Tinea kruris 2 kali lebih banyak diderita laki-laki dari pada wanita, dan orang
dewasa (terutama rentang usia 51-60 tahun) lebih sering dibanding anak-anak. 4 Di Indonesia,
insiden tinea kruris dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Berdasarkan
urutan angka kejadian dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguium (20%), tinea kruris
(10%), tinea pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya.6
Standar kompetensi tinea kruris untuk dokter umum adalah 4A, yaitu lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara
mandiri dan tuntas.7 Karena itu, pemahaman terhadap penyebab, patogenesis serta
penanganan terhadap tinea kruris sangat penting. Tujuan penulisan referat ini untuk
memahami patogenesis, gambaran klinis, diagnosis dan diagnosis banding tinea kruris
sehingga pengobatan menjadi lebih efektif dan efisien.
EPIDEMIOLOGI
Demografi beberapa spesies dermatofita memiliki distribusi di seluruh dunia. T.
rubrum endemik di Asia Tenggara, Afrika Barat, dan Australia tetapi sekarang terjadi paling
sering di Amerika Utara dan Eropa.8
Infeksi jamur dermatofita dapat terjadi pada berbagai usia. Anak-anak lebih sering
mengalami infeksi kulit kepala yang disebabkan oleh Trichophyton dan Microsporum.
Dewasa muda dan tua lebih sering mengalami infeksi intertriginosa. Berdasarkan warna kulit,
orang dewasa kulit hitam memiliki insiden lebih rendah terkena dermatofitosis. Namun anakanak kulit hitam lebih sering mengalami tinea kapitis.8
1

ETIOLOGI
Tinea kruris dapat disebabkan oleh tiga genus dermatofita, yaitu Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Dari 40 spesies dermatofita, sekitar 10 spesies menjadi
penyebab umum dari infeksi pada manusia (Tabel 1). T.rubrum merupakan penyebab paling
umum dari dermatofitosis epidermal dan onikomikosis di negara industri. Saat ini, 70% dari
populasi AS setidaknya mengalami satu episode infeksi T.rubrum (biasanya tinea pedis).8
Tabel 1. Patogen Penyebab Tinea kruris9
Dermatofita
Trichophyton rubrum

Epidermophyton floccosum

T. mentagrophytes, sebagian var.


mentagrophytes

Patogen Penyebab Tinea Kruris


Manifestasi Klinis
Penyebab paling umum tinea kruris di US
Infeksi cenderung menjadi kronis
Jamur not viable in scale (pada furnitur, karpet, linen) untuk jangka
waktu yang panjang
Sering meluas ke pantat, pinggang dan paha
Umumnya terkait dengan tinea kruris epidermis seperti yang
terdapat pada ruang ganti atau asrama
Infeksi akut (jarang kronis)
Arthroconidia are viable in scale (pada furnitur, karpet, linen)
untuk jangka waktu yang lama
Infeksi jarang melampaui regio ingunale
Agen kausatif dari 'eksim marginatum' (tepi berbatas
tegas dengan beberapa vesikel kecil atau kadang-kadang
vesikulopustul)
Infeksi cenderung lebih berat dan akut, dengan
peradangan intens dan pembentukan pustul
Cepat menyebar ke trunkus dan ekstremitas inferior,
menyebabkan peradangan yang berat
Sering ditularkan dari bulu binatang

TRANSMISI
Infeksi dermatofita dapat diperoleh melalui tiga sumber yaitu kontak langsung antara
manusia dengan manusia yang terinfeksi, dari hewan seperti anjing atau kucing dan dari
tanah.8 Berdasarkan ekologi, dermatofita juga diklasifikasikan sebagai berikut:8
1) Antropofilik: transmisi dari manusia ke manusia melalui kontak langsung dan fomit.
Trichophyton spp .: T. rubrum, T. mentagrophytes (var. Interdigitale), T.schoenleinii, T.
tonsurans, T. violaceum. audouinii Microsporum. Epidermophyton floccosum.
2) Zoofilik: Hewan ke manusia melalui kontak langsung atau dengan fomit. Trichophyton
spp.: T.equinum, T.mentagrophytes (var. Mentagrophytes), T.verrucosum. M. canis.
3) Geofilik: Lingkungan. Microsporum spp .: M. gypseum, M. nanum.

Faktor predisposisi8
-

Diatesis atopik: Sel-dimediasi defisiensi imun oleh T. rubrum.

Imunosupresi topikal: dengan aplikasi lama glukokortikoid topikal, ada dapat ditandai
modifikasi dalam karakter dangkal yang biasa dermatofitosis (tinea penyamaran); ini
benar terutama wajah, pangkal paha, dan tangan.

Imunokompromais sistemik: Pasien memiliki insiden yang lebih tinggi dan


dermatofitosis yang lebih berat. Abses dan granuloma Majocchi mungkin terjadi

PATOGENESIS
Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola umum, dimulai dengan aderasi antara
arthroconidia dan keratinosit, diikuti oleh penetrasi melalui dan antara sel-sel dan
pengembangan respon pejamu.3
Dermatofita menyintesis keratin dan mempertahankan keberadaan jamur dalam
struktur keratin. Imunitas seluler dan aktivitas antimikroba leukosit polimorfonuklear
membatasi patogenitas dermatofita. Faktor pejamu yang memfasilitasi infeksi dermatofita
adalah glukokortikoid topikal dan sistemik, iktiosis, penyakit pembuluh darah kolagen. Faktor
lokal yang mendukung infeksi dermatofita seperti berkeringat, oklusi, pemaparan dalam
pekerjaan, lokasi geografis, kelembaban tinggi (iklim tropis atau semi tropis). Presentasi
klinis dermatofitosis tergantung pada beberapa faktor yaitu tempat infeksi, respon kekebalan
dari pejamu, spesies jamur. Dermatofita (misalnya, T. rubrum) yang memulai respon inflamasi
sedikit dapat menyebabkan infeksi kronis. Organisme seperti M. canis menyebabkan infeksi
akut yang terkait dengan respon inflamasi cepat dan resolusi spontan. Pada beberapa individu,
infeksi dapat melibatkan dermis, seperti di kerion dan granuloma Majocchi.8
Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan interaksi yang kompleks antara pejamu,
agen dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi adalah adanya penyakit yang
mendasari seperti diabetes melitus, limfoma, keadaan imun yang rendah, atau sindrom
Cushing, usia yang lebih tua, dapat menyebabkan dermatofitosis yang berat dan luas.
Beberapa daerah tubuh lebih rentan terhadap perkembangan infeksi dermatofit seperti daerah
intertriginosa di mana keringat berlebih, maserasi, dan pH basa mendukung pertumbuhan
jamur. Setelah inokulasi ke dalam kulit pejamu, kondisi yang cocok mendukung terjadinya
infeksi melalui aderasi diikuti oleh penetrasi yang dimediasi oleh protease, serin-Subtilisin,
dan fungolisin, yang menyebabkan pencernaan jaringan keratin ke dalam oligopeptida atau
asam amino dan juga bertindak sebagai rangsangan imunogenik kuat. Selain itu, mannans
3

yang diproduksi oleh T. rubrum menyebabkan penghambatan limfosit. Gangguan fungsi sel
Th17 menyebabkan penurunan produksi interleukin-17 (IL-17), IL-22 (kunci sitokin dalam
kliring infeksi jamur mukokutaneus) hasil infeksi persisten.10

Gambar 1. Patogenesis dermatofitosis11

MANIFESTASI KLINIS
Tanda awal infeksi biasanya adalah eritema anular dengan skuama dan gatal pada
lipatan intertriginosa antara skrotum dan lipat paha dalam (Gambar 2). Karakteristik lesi
adalah berbatas tegas dengan peninggian pada bagian tepi.9 Tepi lesi dapat dipenuhi oleh
pustul atau vesikel. Bagian yang tampak sehat di pusat lesi merupakan manifestasi dari respon
imun host untuk organisme penginfeksi. Gejala umum berupa pruritus dan nyeri pada daerah
dengan infeksi sekunder. Lesi tinea kruris memanjang dari pangkal paha ke bawah paha dan
pada perineum atau sekitar anus. Saat dermatofita zoofilik, seperti Trichophyton verrucosum
sebagai organisme penyebab, reaksi inflamasi yang intens dapat mengakibatkan timbulnya
lesi pustul besar atau kerion. Saat hifa tampak pada bagian bawah batang rambut dan ke
dalam dermis, mungkin karena trauma yang disebabkan oleh cukur, inflamasi dapat
berkembang dan menghasilkan papula dan pustul.5 Berbeda dengan infeksi yang disebabkan
oleh Candida tanda infeksi pada tinea kruris jarang terlihat pada skrotum atau penis.2 Penyakit
ini dapat unilateral dan asimetris (Gambar 3) atau menjadi bilateral dan simetris (Gambar
4).9

Gambar 2. Tinea kruris: eritema anular8

Gambar 3. Tinea kruris unilateral12

Gambar 4. Tinea kruris bilateral9,13


5

DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis tinea kruris dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan gejala subjektif berupa gatal
pada area yang terinfeksi. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan lesi kulit yang kemerahan,
makula hingga patch. Lesi terlokalisasi di daerah inguinal, pubis, perineum, dan perianal.7
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis tinea kruris adalah
pemeriksaan kerokan kulit, pemeriksaan kultur, pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan
dengan menggunakan lampu Wood.1
Pemeriksaan Kerokan Kulit
Spesimen untuk pemeriksaan jamur sebaiknya diambil dari bagian tepi lesi yang
meninggi atau aktif dengan cara mengerok. Khusus untuk lesi berbentuk vesikel, seluruh
atapnya harus diambil untuk bahan pemeriksaan. Pemeriksaan mikroskopik secara langsung
dengan KOH 10-20% menunjukkan hifa sebagai dua garis lurus sejajar transparan, bercabang
dua atau dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora (deretan spora di ujung hifa)
yang khas (Gambar 5).1

Gambar 5. Pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit: hifa bersekat dan bercabang1

Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur dengan agar Sabouraud dilakukan dengan menanamkan bahan
klinis pada medium Saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide
(mycobyotic-myosel untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.
Identifikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu. 4 Sebagai contoh, morfologi koloni
Tricosporum rubrum menunjukkan gundukan dengan pusat berwarna putih dan tepi berwarna
merah marun, ceri merah pada PDA dan urease negatif (Gambar 6). Sedangkan pada
6

tampilan mikroskopis didapatkan micronidia berbentuk tetesan air mata, macronidia


berbentuk pensil jarang ditemukan dan perforasi negatif pada rambut (Gambar 7).1

Gambar 6. Tricosporum rubrum:morfologi koloni1

Gambar 7. Tricosporum rubrum: tampilan mikroskopis1

Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis hanya dilakukan apabila
pemeriksaan kerokan kulit dan kultur mengalami kegagalan. Pada infeksi T.rubrum dermal,
pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan pengecatan PAS (periodic acid-Schiff)
didapatkan histiosit, limfosit dan neutrofil pada dermis yang sama dengan reaksi
granulomatosa.14 Pada stratum korneum tidak ditemukan hifa, namun pada dermis ditemukan
hifa dengan bentuk lebih pendek dan lebih tebal dibandingkan hifa pada infeksi superfisial
(dermatomikosis).4
Lampu Wood
Ultraviolet (UV) cahaya dengan panjang gelombang 365 nm diperoleh dengan
melewati balok melalui filter Wood terdiri dari nikel oxidecontaining kaca. Peralatan ini,
umumnya dikenal sebagai cahaya Wood, umumnya digunakan untuk menunjukkan
fluoresensi jamur. Fluoresensi positif disebabkan oleh infeksi M. audouinii, M. canis, M.
ferrugineum, M. distortum, dan T. schoenleinii. Pada ruangan gelap, kulit berwarna biru di
7

bawah cahaya lampu Wood, dan ketombe umumnya berwarna biru cerah hingga putih.
Rambut yang terinfeksi berfluoresensi hijau terang atau kuning-hijau.3
DIAGNOSIS BANDING
Tinea kruris pada umumnya dibedakan dengan penyakit lainnya berdasarkan
gambaran lesi. Tinea kruris memiliki gambaran yang mirip dengan eritrasma, kandidiasis
intertriginosa, intertrigo, dermatitis kontak, psoriasis, dermatitis seboroik, liken simplek
kronikus, dan folikulitis. Diagnosis banding dengan familial benign pemphigus, darier-white
disease, dan histiositosis juga perlu dipertimbangkan.1,5
1. Kandidiasis intertriginosa
Lebih banyak ditemukan pada perempuan dari pada laki-laki, dan pada laki-laki lesi
mengenai skrotum.13 Lesi tidak berbatas tegas seperti halnya tinea kruris, tanpa central
clearing, ditemukan sejumlah lesi satelit dan pustul yang berwarna merah atau putih di
sekitar lesi.4,5 Pengobatan kandidiasis tidak efektif dengan pemberian terbinafin.12
2. Dermatitis seboroik
Penyakit ini bisa mengenai area seboroik seperti sela paha, lipatan bokong, area
umbulikus, dan area seboroik lainnya. Lesi berupa makula eritematosa, berskuama, bisa
eksudatif, dan berbatas tegas. Lesi bisa menebal, semikonfluen, kadang-kadang berwarna
kuning atau keabu-abuan.
3. Eritema intertrigo
Biasanya ditemukan pada seseorang dengan obesitas baik perempuan maupun laki-laki.
Keadaan ini disebabkan oleh kolonisasi bakteri. Lesi berbatas tegas dan di bagian tengah
lesi terdapat maserasi. Selain pada sela paha, penyakit ini juga mengenai area tubuh lain
misalnya lipatan bawah payudara, sekitar umbilikus, aksila dan lipatan kulit akibat
kegemukan.
4. Eritrasma
Penyakit yang ringan dan kronis, berupa infeksi superfisial yang terbatas di area
intertriginosa. Lesi berbentuk plak ireguler berwarna coklat kemerahan disebabkan oleh
Corynebacterium minutissimum, tepi tidak aktif. 13 Pemeriksaan penunjang menggunakan
lampu Wood memberikan warna merah bata pada lesi.5,15
5. Dermatitis kontak alergi / dermatitis kontak iritan
Kemungkinan penyebabnya oleh bahan celana dalam atau baju atau bisa juga akibat
pemakaian deodorant atau obat oles misalnya balsam di daerah tersebut.
6. Neurodermatitis sirkumskripta (liken simpleks kronikus)
8

Penyakit yang bersifat kronis, sangat gatal, ditandai oleh satu atau lebih plak likenifikasi
yang bisa mengenai scalp, leher, ekstremitas bagian ekstensor, pergelangan kaki dan anogenital, biasanya unilateral.15
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris dapat berupa non farmakologis dan farmakologis.
Penatalaksanaan non farmakologis
Pengobatan non farmakologis dapat dengan memberikan penjelasan atau edukasi
kepada pasien. Menjaga daerah kulit yang terinfeksi agar tetap kering merupakan hal yang
sangat penting. Perubahan cara berpakaian dengan menghindari kontak antar kulit pada
daerah lipatan dan memberikan sirkulasi udara pada daerah lipatan sehingga dapat
mengurangi keringat, misalnya cara berpakaian dimana terdapat lapisan kain pada paha
seperti pada daerah genital. Penggunaan celana boxer yang terlalu longgar tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan terjadinya kontak kulit ke kulit.12
Penatalaksanaan farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis pada tinea kruris dapat berupa terapi topikal maupun
sistemik.
Terapi Topikal
Antijamur topikal adalah agen yang paling umum diresepkan untuk
dermatomikosis. Secara umum, infeksi dermatofita lebih baik diobati
dengan terbinafin, dan infeksi jamur dengan imidazol.12 Beberapa antijamur
topikal yang efektif, terutama untuk plak yang terisolasi pada glabrous skin adalah alylamin,
imidazol, tolnaftat, butenafin, siklopiroks, klotrimoksazol, naftifin, mikonazol, ketokonazol.
Obat topikal digunakan dua kali sehari selama 2-4 minggu.1,15
Terapi Sistemik
Saat menggunakan antijamur oral, perlu mempertimbangkan beberapa faktor sepperti
tipe infeksi, organisme penyebab, spectrum, profil farmakokinetik, keamanan dan harga obat.
Antijamur oral dapat diberikan pada infeksi kulit yang luas atau dengan erupsi inflamasi.1

Pada pasien dewasa dapat diberikan terbinafin 250 mg/hari selama 2-4 minggu,
itrakonazol 200 mg/hari selama 1 minggu, dan flukonazol 150-300 mg/minggu selama 4-6
minggu. Sedangkan regimen yang aman dan efektif untuk anak-anak adalah terbinafin 3-6
mg/kg/hari selama 2 minggu, itrakonazol 5mg/kg/hari selama 1 minggu dan griseofulvin
ultramicrosize 10-20 mg/kg/hari selama 2-4 minggu.1
PENCEGAHAN
Tinea kruris merupakan infeksi dermatofita terutama pada daerah tropis dan subtropis.
Lingkungan yang dingin dan kering dapat mengurangi terjadinya infeksi. Selain itu,
menghindari kontak dengan hewan ternak dan individu lain yang terinfeksi tinea kruris dapat
membantu mencegah penularan infeksi. Individu dengan onikomikosis memiliki prevalensi
yang lebih tinggi terjadinya tinea kruris, hal ini dapat terjadi karena autoinfeksi saat kuku kaki
yang terinfeksi kontak dengan pakaian yang akan digunakan.1
KESIMPULAN
Tinea kruris merupakan infeksi jamur dermatofita pada lapisan superfisial kulit dengan
manifestasi klinis berupa keluhan gatal, disertai makula atau papul eritem yang makin meluas.
Lesi terdapat pada daerah inguinal, perianal, perineum dan pubis. Kekambuhan penyakit ini
bergantung pada faktor predisposisi dan keparahan penyakit. Penatalaksanaan terpenting dari
tinea kruris adalah menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi yang dapat
memperparah keadaan penyakit. Antijamur topikal dan sistemik dapat diberikan pada pasien
tinea kruris dimana itrakonazol oral merupakan terapi pilihan utama.

DAFTAR PUSTAKA
10

1. Schieke, S.M and Garg Amit. Superficial Fungal Infection: Candidiasis, Tinea
(Pityriasis) Versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2012. p. 2277-297
2. Sarika G, Agrawal P, Rajawat R. Prevalence of Dermatophytic Infection and
Determining Sensitivity of Diagnostic Procedures. International Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Selences.2014.Vol.6(3),p.35-38
3. Hay, R.J and Ashbee, H.R. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editors. Rooks Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Blackwell Publishing Ltd;
2010. P. 36.1, 36.18-36.33
4. Ramali, Lies Marlysa. Kandidiasis Kutan dan Mukokutan. In: Bramono K, Suyoso S,
Indriatami W, Ramali L, Widaty S, Ervianti E, editors. Dermatomikosis Superfisialis.
2th ed. Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013. Hal. 58-69
5. Gupta, Aditya K., Maria C, and Boni E. Tinea corporis, tinea cruris, tinea nigra, and
piedra.

Dermatologic

clinics.

2003.

Vol.21.pp.395-400.

doi:10.1016/S0733-

8635(03)00031-7
6. Yossela, Tanti. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J Majority.2015.Vol.4(2),
pp.122-28
7. Konsil Kedokteran Indonesia, Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Penerbit: Konsil
Kedokteran Indonesia. 2012
8. Wolff K, Johnson RA. Fungal infections of the skin and hair. Fitzpatricks Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill.2009.p.693704
9. Sobera JO, Boni E. Fungal disease. In: Jean L Bolognia, Joseph L Jorizzo, Ronald P
Rapini, editors. Dermatology.2nd ed.:Mosby-Elsevier;2008.p.1138-141.
10. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A
comprehensive review. Indian Dermatology Online Journal.2016;7:p.77-86.
11. Deepika T. Lakshmipathy, Krishnan K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and
treatment.Natural science.2010.Vol.2(7),p.726-31
12. Thai Keng-Ee. Therapies for common cutaneous fungal infections. Medicine
today.2014.Vol.15(6),p.35-47
13. Ely JW, Sandra R, Mary SS. Diagnosis and Management of Tinea Infections.
American Family Physician. 2014. Vol.90(10),p.703-11
14. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea infection.
American Family Physician.2002.Vol.65(10).p.2095-102.
15. James WD, Berger TG, Elston DM. Diseases Resulting from Fungi and Yeast. In:
Gabbedy R, Princzewski S, editors. Andrews Disease of the Skin Clinical
Dermatology. 11th ed. : Saunders-Elsevier; 2006. p.287-320
11

Anda mungkin juga menyukai