Sejarah Hukum
Sejarah Hukum
Sejarah Hukum
HUKUM INDONESIA
Disusun Oleh:
Eko Budi Prasetyo
S321608008
Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Hukum
Dosen Pengampu:
Dr. Agus Riewanto, S.H.,S.Ag.,M.Ag.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan
hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan
tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai
perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki
berbagai aspek hukum pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan
kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada
dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita1.
Kemurnian pemikiran hukum yang dapat dikatakan lebih tahu dan memliliki
konsentrasi terhadap pengamatan hukum lebih konkret. Hukum ditempatkan sebagai objek
pengamatan merupakan eranya para ahli hukum modern. Era sebelumnya jika dinilai
secara ekstrem hanyalah pemikiran cabang utama dari filsafat umum yang mencoba untuk
menganalisis hukum sebagai landasan etik dan moral saja. Hal ini terbukti melalui para
pengikut Stoa dan filsafat Skolastik diantaranya: Aristoteles, Spinoza, Kant, Fichte, Hegel,
Hobbes, Locke dan Rousseau ketika ajaranya banyak digunakan dalam aliran pemikiran
hukum alam maupun aliran pemikiran hukum murni. Pemikiran-pemikiran hukum mereka
bersumber pada dalil-dalil umum tertentu, dan kalau sampai pada rincian seperti dalam
filsafat Hegel, filsafat hukumnya sering menyingkapkan kekurangan pengetahuannya
mengenai hukum positif dan problema-problemanya saja.Di lain pihak semua tokoh yang
terklasifikasi sebagai pemikir hukum modern, mereka adalah ahli hukum yang sistematis
atas pelaksanaan praktis dari tiap cabang istimewa ilmu hukum. Ada beberapa nama
seperti: Pound, Geny, Ehrlich, Kantrowicz, Heck, mereka adalah rata-rata Professor dalam
ilmu hukum perdata. Sedangkan nama seperti: Holmes, Cardozo, dan Gmelin adalah
hakim-hakim yang terkemuka di Amerika.
Dengan demikian bukan kesalahan jika hendak dibandingkan dengan pemikir hukum
di abad klasik sebelumnya, bahwa era pemikiran hukum modern merupakan pemikir yang
lebih tahu substansi hukum dan segala problematika yang terdapat di dalam cangkang
hukum tersebut. Mereka adalah partisipan hukum yang kemudian berbalik arah seolah-oleh
menjadi pengamat, meneliti gejala-gejala dan fakta sosial, sebagai penyebabnya hukum
tidak dapat dipertahankan hanya dalam imanensi Undang-Undang saja.
Berdasarkan arus pemikiran hukum demikian, asal teori-teori hukum tidak dapat
dilepaskan dari dua arus yang bergerak dalam dua mainstream yang berbeda. Ada yang
mengambil posisi meletakkan hukum sebagai objek pengamatan dan satunya lagi
meletakkan hukum sebagai satu kesatuan dengan person (manusianya). Lazim disebut cara
1 Dr. Khudzaifah Dimyati, SH,M.Hum. Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 19451990. Muhammadiyah University Press. Surakarta, 2005 Hal 1
berpikir yang kedua ini adalah sebagai partisipan hukum2.Lebih konkret lagi, hukum yang
dianggap sebagai objek pengamatan terhadap orang yang menaruh konsentrasi dalam sudut
pandang itu mereka disebut pengamat (observer). Sedangkan orang-orang yang terlibat
dalam telaah hukum saja seperti Pengacara, Notaris, Hakim, Polisi merupakan profesi yang
tergolong sebagai partisipan hukum. Ada lagi satu, sebenarnya tambahan pembagian bagi
yang selalu melahirkan aliran-aliran pemikiran baru sebagai pengembangan hukum yang
disebut sebagai teoritisi hukum3.
Pengaruh sociological jurisprudence juga terjadi di Indonesia tidak hanya dari Pound
maupun Erlich. Walaupun sebenarnya sudah bertebaran jumlah pemikir hukum yang
didominasi sebagai pengamat (bukan partisipan) dengan berbagai karya mereka dalam
bentuk skripsi, tesis, disertasi yang menjadi syarat penyelesaian studi. Diantaranya tokohtokoh yang menjadikan sociological jurisprudencesebagai sandaran keberlakuan hukum,
dimulai oleh Mochtar Kusumaatmadja, Satjipto Rahardjo, hingga Romli Atmasasmita.
Meskipun ketiga tokoh tersebut tidak secara nyata mengakui teorinya diturunkan
dari sociological jurisprudence tetapi teori-teori mereka yang ditawarkan merupakan
mekanisme dan metode kerja hukum yang ditawarkan identik dalam melihat hubungan
timbal balik anatara hukum dan pranata-pranata sosial menuju terciptanya hukum dinamik.
Sesuai dengan kondisi masyarakat dan hukum diharapkan akan tetap menciptakan
ketertiban dengan mengikuti segala perubahan-perubahan sosial bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, tidak hanya fokus pada sociological jurisprudence.
Melainkan akan membahas juga perkembangan sociological jurisprudence beserta dengan
dampaknya di Indonesia. Maka dari itu akan muncul pertanyaan , yaitu :
1. Apa makna dari pemikiran sociological jurisprudence?
2. Apakah sociology jurisprudence berpengaruh terhadap hukum dalam menghadapi isuisu hukum di Indonesia ?
2 Philiphus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati. 2009. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada university. Hlm. 9.
3 Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm 34.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Dari Pemikiran Sociology Jurisprudence
Sociological jurisprudence menjadi corak baharu pemikiran hukum dalam setiap
literatur filsafat hukum dan teori hukum, namun ia tetap ditempatkan sebagai bahagian dari
aliaran pemikiran realisme hukum. Sebab mau tidak mau sociological jurisprudence juga
pengembangan lebih lanjut yang berani untuk menerima kritik dari segala pengkajian ilmu
- ilmu sosial terhadap ilmu hukum. Bahkan sociological jurisprudence begitu kuat utang
budinya pada aliran pemikiran positivisme hukumnya Kelsen dan mazhab sejarah
hukumnya Carl Von Savigni; hukum sebagai perkembangan jiwa (volkgeist) oleh sebuah
bangsa.4
Dalam idealisme hukum baru ada banyak perhatian yang menempatkan hukum
bukan sebagai objek mati, dengan serta merta tidak dapat mengalami perubahanperubahan. Adalah Francois Geny yang seringkali diklasifikasikan sebagai penganut
mazhab hukum alam, tetapi jauh hari sebelumnya telah menyadari sepenuhnya kelemahankelemahan dari hukum tertulis. Geny mengajukan tiga sumber tambahan dalam hukum
tertulis itu, diantaranya: adat kebiasaan; kekuasaan dan tradisi sebagaimana dikembangkan
melalui keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran; dan penelitian ilmiah yang bebas.
Adapun peran dan sumbangsi yang bisa dimainkan oleh penelitian yang bebas adalah
memberi tuntunan kepada hakim untuk memecahkan sistuasi-situasi yuridis, atas persoalan
kepentingan-kepentingan yang betentangan.
Selanjutnya, di Jerman terdapat juga pengkritik hukum, tat kala hukum dipandang
sebagai media tertulis saja (analytical jurisprudence) yakni Eugen Ehrlich menganjurkan
agar mempelajari ilmu hukum tidaklah melepaskannya dalam mata rantai ilmu sosial pula.
Dalam penelahaan ilmu hukum melalui ilmu-ilmu sosial, Ehrlich 5 mengemukakan link
between jurisprudence and the social science were valued by Erlich. The jurist can and
must learn from and the economist and sicail scientisc. All knowledge must be taken as the
province of jurisprudence because the viatl fact of the living law are the fact of social life
4 Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung. Hlm 274.
5 Curzon. 1979. Juriprudence. USA: M & E Handbook. Hlm. 167.
law;
the
binding
force
of
jurisprudence memang
precedent.
diikuti
Bahkan
dengan
frasa American sociological jurisprudence. Frasa American tersebut menjadi tanda dan
corak genuine berdasarkan pemikiran Roscoe Pound, yang cukup bangga dengan sistem
hukum versi Amerika Serikat.
Umumnya profesi hukum paling sering memperhatikan sudut pandang sociological
jurisprudence, sebaliknya para ahli-ahli ilmu sosial, lebih cenderung memperhatikan atau
menggunakan pendekatan/sudut pandang sosiologi hukum. Beberapa materi kajian dari
sosiologi hukum dan sociological jurisprudence juga terdapat beberapa perbedaan.
Sosiologi hukum menitikberatkan pada:
(1) Evolusi, stabilitasi, fungsi dan pembenaran bentuk-bentuk kontrol sosial;
(2) Bentuk-bentuk pemikiran dan pemahaman hukum jika dihubungkan dengan aturan/
tatanan ekonomi politik tertentu;
6 Achmad Ali. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone. Hlm. 10
tersebut
jika
dikerucutkan
akan
tergambarkan
bahwa Sociological jurisprudence adalah aliran dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat. Sedangkan sosiologi hukum adalah
cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum tersebut secara
timbal balik, yakni pendekatan yang digunakan bermula dari masyarakat ke hukum.
Sociological jurisprudence kental dipengaruhi oleh gerakan interessenjurisprudenz Jerman
seperti Stamler, Erlich, dan Kantorowicz. Gerakan ini tertuju pada kritik dan kecaman yang
7 Anton F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum Eksplorasi Teks dan Model Pembacaan. Yogyakarta: Gentha Publishing. Hlm
133
tajam atas penafsiran hukum analitic. Sehingga pada akhirnya gerakan ini meninggalkan
kerangkeng filsafat dan memusatkan perhatiannya pada penafsiran hukum.
Hakim dianggap tidak selamanya dapat memuaskan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan hidup hanya dengan penguraian secara logis. Pembuat Undang-Undang juga
menghendaki agar berbagai kepentingan dilindungi. Harus ada keseimbangan antara
kepentingan dalam hidup yang bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu menjadi
pekerjaan selanjutnya dalam menemukan hukum untuk menjaga keseimbangan diantara
pelbagai kepentingan, setiap pemecahan masalah hukum harus secara terbuka diketahui
metodenya untuk menemukan norma yang tidak tepat dan tidak menyelubunginya dengan
fiksi-fiksi mengenai deduksi hukum. Keutamaan pada logika diganti dengan keutamaan
pengujian dan penilaian hidup (lebensforschung und lebenswetung).
Tak pelak kemudian gerakan interessenjurisprudenz pun memiliki kesamaan di
Amerika sebagaimana yang dikuatkan oleh Roscoe Pound. Bisa dikatakan hampir semua
sarjana hukum sudah menghapal mati jargon besar Roscoe Pound a tool of social
engineering. Namun kurang yang dapat menjabarkan lebih lanjut apa yang dimaksud
engineering sehingga menimbulkan asumsi mengenai bentuk yang perlu direkayasa oleh
hukum. Sederhananya berbagai kepentingan dalam sebuah komunitas yang harus
terakomodasi dalam gubahan teks-teks hukum, baik berupa perundang-undangan maupun
berupa putusan pengadilan. Itulah sebabnya Pound berusaha merumuskan dan
menggolongkan kepentingan-kepsntingan sosial yang keseimbangannya menyebabkan
hukum berkembang. Daftar kepentingan yang secara sah dilindungi versi Pound terbagi
dalam tiga golongan: kepentingan-kepentingan umum, kepentingan-kepentingan sosial dan
kepentingan-kepentingan pribadi.9
Terhadap ketiga golongan kepentingan tersebut harus menjadi aspek pengubah
hukum. Sebab hukum dalam sebuah tata aturan bukan hanya studi tentang doktrin-doktrin
yang telah dibuat dan dikembangkan tetapi termasuk pula efek-efek sosial dari doktrin
yang telah menjadi produk masa silam dan kemudian bagaimana memproduk hukum yang
baru bagi mereka yang terkena efek itu. A means toward the end last considered is legal
history, that is study not merely of how doctrines have avolved and developed, considered
solely as jural materials, but of social effect the doctrines of the law have produced the
9
W. Friedman. 1990. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. Hlm. 141.
(instead) it is to show us how the law of the past out of social, economis, and psycholocal
condition, how it accorded with accomadated it self to them, and how far we can procces
upon that law as basis or in disregard of it, with well-grounded expectation of producing
he result desired.10
Satjipto Rahardjo juga memberikan gambaran cukup lengkap terhadap apa yang
diinginkan dan apa yang tidak diinginkan oleh penggunaan hukum sebagai alat rekayasa
sosial dari ajaran Pound sebagai berikut:11
1. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum;
2. Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan.
Membuat Undang-Undang dengan cara membandingkan selama ini dianggap sebagai
cara bijaksana. Namun demikianlah tidak cukup jika kita hanya membandingkan suatu
peraturan dengan peraturan yang lain. Hal yang lebih penting lagi adalah untuk
mempelajari bagaimana ia beroperasi di masyarakat serta efek yang ditimbulkannya,
apabila ada, untuk kemudian dijalankan;
3. Melakukan studi tentang bagaimana membuat peraturan-peraturan hukum menjadi
efektif. Selama ini tampaknya orang menganggap bahwa apabilia peraturan sudah
dibuat, maka ia akan bekerja dengan sendirinya. Suatu studi yang serius tentang
bagaimana membuat Peraturan Perundang-Undangan serta keputusan pengadilan yang
begitu banyak menjadi efektif, merupakan suatu keharusan;
4. Memperhatikan sejarah hukum yaitu bahwa studi ini tidak hanya mengenai bagaimana
ajaran itu terbentuk dan mengenai bagaimana ajaran-ajaran itu berkembang yang
kesemuanya dipandang sebagai bahan kajian hukum, melainkan tentang efek sosial apa
yang ditumbulkan oleh ajaran-ajaran hukum itu pada masa lalu dan bagaimana cara
timbulnya. Studi ini adalah bagaimana untuk menunjukan hukum pada masa lalu,
hukum itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi dan psikologis, bagaimana ia dapat
10 Roscoe Pound. Jurnal Harvard Law Review. Vol 25 Desember 1912. Page 32. Bandingkan dengan Roscoe Pound.
1972. Pengantar Filsafat Hukum. Jakarta: Bharata.
11 Satjipto Rahardjo. 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni. Hlm 148 sd. 149
menyesuaikan diri kepada semuanya itu, dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau
mengabaikan hukum itu guna mencapai hasil yang kita inginkan.
5. Pentingnya melakukan penyelesaian indvidu secara ketemu nalar selama ini masih sering
dikorbankan demi mencapai satu tingkat kepastian yang sebetulnya tak mungkin. Aliran
ini menerima kehadiran peraturan-peraturan hukum sebagai pedoman yang bagi para
hakim akan menuntunnya ke arah hasil yang adil, tetapi mendesak agar dalam batasbatas yang cukup luas bagi hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus yang
dihadapinya, sehingga dengan demikian bisa memenuhi tuntutan keadilan diantara
pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai dengan nalar umm dari orang awam.
6. Pada akhirnya semua tuntutan di atas hanyalah sarana-sarana untuk mencapai tujuan,
yaitu tentang bagaimana mengusahakannya secara lebih efektif agar tercapai tujuantujuan hukum itu.
Atas pemikiran di atas, menunjukan bahwa tidak hanya sosiologi yang menjadi
disiplin nonhukum yang dekat dengan sociological jurisprudence ini, melainkan juga
politik. Dari sana kemudian muncul pula aliran baru dalam pemikiran hukum yang
disebut political jurisprudence, Martin Sapiro12 memperkenalkan aliran ini dengan
menulis I believe that . a new movement is afoot in legal theory and I proporse to call it
political jurisprudence. This new movement is essentially an extension of certain element
of sociological jurisprudence and judicial realism, combined with substantive knowledge
and methodology of political science. In foundation is the sociological jurist premise that
law mut be understood not as an independent organs but an integral part of the social
system. Political jurisprudence is in one sense an attempt to advance socilological
jurisprudence by greater specialization.
Terlepas dari segala kerumitan jalan untuk membentuk hukum sebagai sarana
pembaharu dalam sociological jurisprudence. Terdapat beberapa kejanggalan dari teori a
tool of social engineering, yaitu :
Pertama, saat sociological jurisprudence menempatkan bahwa positivisme hukum adalah
sintesisnya sedangkan mazhab sejarah sebagai antitesisnya. Padahal kalau mau dicermati
sisi ontologis hukum Amerika yang bepatokan pada putusan pengadilan, berarti sintesisnya
harusnya mazhab sejarah, dan antitesinya adalah positivisme hukum. Bahwa bagaimana
12 Mark R. Mac Guigan.1966. Jurisprudence Reading and Cases. Toronto: University of Toronto Pers. Page 369.
harus diakomodasi hanya melalui satu instrument hukum negara. Bukanlah pekerjaan
yang cepat selesai, dan boleh jadi aturan yang sudah tersistematisasi masih ada partisipan
hukum member respon penolakan.
B. Pengaruh Sociology Jurisprudence Terhadap Perkembangan Hukum Indonesia Dalam
Menghadapi Isu-Isu Hukum Terbaru
Dampak pemikiran sociological
jurisprudence di
Indonesia
nampak
melalui
perkembangan sistem hukum Indonesia, yang dalam setiap fasenya menggunakan beberapa
teori hukum. Teori hukum yang menjadi saksi atas perkembangan hukum di Indonesia,
dintaranya teori hukum pembangunan (1970), teori hukum progresif (1990-an) dan teori
hukum integratif (masa sekarang). Masing-masing teori hukum tersebut merupakan reduksi
dari pemikiran sociological jurisprudence-nya Roscoe Pound. Teori hukum pembangunan
tokohnya adalah Mochtar Kusumaatmadja. Teori hukum progresif adalah Begawan
sosiologi hukum alm. Sadjipto Rahardjo. Sedangkan teori hukum integratif yang
melengkapi kekurangan ke dua teori hukum sebelumnya, dicetuskan oleh Romli
Atmasasmita. Berikut ini uraian singkat, ketiga generasi sociological jurisprudence tersebut
dalam perkembangannya di Indonesia.
Teori hukum pembangunan mulai diperkenalkan oleh Mochtar Kusumaatmadja;
pakar hukum internasional yang terkenal teorinya dengan mazhab hukum Unpad.
Pandangan Kusumaatmadja tentang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan
nasional diletakkan dalam inti ajarannya sebagai berikut13:
1. Semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirkan oleh perubahan dan dan
hukum berfungsi agar dapat menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang
teratur, perubahan yang teratur menurut Kusumaatmadja, dapat dibantu oleh perundangUndangan atau keputusan pengadilan dan kombinasi keduanya,. Beliau menolak
perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata;
2. Baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan awal dari
masyarakt yang sedang membangun, maka hukum menjadi suatu sarana (bukan alat)
yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan;
13 Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni. Hlm 3 sd. 10.
dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang
dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.
Pandangan Satjipto Rahardjo memilik makna yang sangat dalam dan kuat pengaruh
filsafati kemanusiaan. Pandangan ini hanya mendapat tempatnya di dalam bekerjanya
hukum (Undang-Undang) yang dijalankan oleh penegakan hukum yang mumpuni, bak dari
sudut filsafat, substansi hukum dan memang struktur kekuasaan kehakiman yang dianut
mendukung ke arah adagium hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk
hukum.
Pandangan teori hukum progresif merupakan suatu penjelajahan atas gagasan yang
berintikan 9 (Sembilan) pokok pikiran sebagai berikut15:
1. Hukum menolak taradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek dan berabagai
paham dengan aliran legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence,
interrresenjurisprudence di Jerman, teori hukum alam dan ciritical legal studies;
2. Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusiinstitusi kenegaraan;
3. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum;
4. Hukum menolak status quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai tekhnologi yang
tidak bernurani, melainkan suau institusi yang bermoral;
5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia pada kehidupan
yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia;
6. Hukum proregresif adalah hukum yang prorakyat dan hukum yang prokeadilan;
7. Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan
sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri,
melainkan sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dengan
hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk
dimasukkan ke dalam sistem hukum;
8. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat
bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang
merupakan penentu;
15 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif. Sebuah sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Hlm 1 sd. 3.
menurut
Rahardjo16 hukum
merupakan
sistem
perilaku (system
of
behavior), maka Romli Atmasasmita menambahkan satu lagi; sebagaimana apa yang
disebut sistem nilai (system of value),
Ketiga sistem hukum tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan yang cocok
dalam menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terburuk abad globalisasi saat ini,
dengan tidak melepaskan diri dari sifat tradisional masyarakat Indonesia yang masih
mengutamakan nilai (value) moral dan sosial. Jika diperhatikan secara cermat pada
hakikatnya konsentrasi Romli Atmasasmita yakni ketidakpercayaan terhadap birokrasi
yang banyak menggunakan jalan pintas dalam menggunakan hukum hanya untuk
16 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perilaku. Jakarta: Kompas. Hlm. 19
kepentingan dirinya semata. Oleh sebab itu Ia menganjurkan perubahan atau rekayasa tidak
hanya terjadi pada ruang-ruang sosial tetapi juga harus terjadi perubahan terhadap
lemabaga
birokrasi
kita.
Itulah
yang
disebutnya
sebagai Bureaucratic
Social
Engineering (BSE). Rekyasa birokrasi dan rekyasa masyarakat yang dilandaskan pada
sistem norma, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai
ideologi bangsa17. BSE seyogianya memiliki kinerja dalam setiap langkah pemerintahan,
seperti pembentukan hukum dan pengambilan kebijakan belandaskan sistem norma dan
logika berupa asas, kaidah, dan kekuatan normatif dari hukum terwujudkan dalam
perubahan perilaku masyarakat dan birokrasi ke arah cita-cita membangun negara hukum
yang demokratis.
Ada kemiripan model pendekatan dalam pembaharuan hukum yang dianjurkan oleh
Romli Atmasasmita dengan pengembangan sistem aturan oleh Hart yang membagi fase
pembentukan sistem norma dalam hukum primer dan hukum sekunder. Kesebandingannya
sebagai perekat dari pada hukum sekunder oleh Hart mengutamakan pada aspek
pengakuan, sementara menurut Romli Atmsasmita menitikbertakan pada nilai yang hidup
dalam akar filosofis bangsa. Maka dengan mengacu pada penganut hukum positivistik,
Romli Atmasasmita18 mendeskripsikan teori hukum integratif hukum sebagai sistem
norma yang mengutamakan norm and logic (Austin dan Kelsen) kehilangan arti dan
makna dalam kenyataan kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam
sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum
yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja dan digunakan
ebagai mesin birokrasi akan kehilang rohnya jika mengabaikan sistem nilai yang
bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dan kehidupn berbangsa dan
bernegara.
17 Romli Atmasasmita. 2012. Teori Hukum Integratif. Yogyakarta; Genta Publishing. Hlm. 97
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Walaupun dalam literatur filsafat hukum dan teori hukum sociologal jurisprudence
merupakan corak pemikiran yang baru tetapi tetap dimasukkan dalam aliran pemikiran
realism, karena makna pemikiran dari sociological jurisprudence adalah aliran pemikiran
yang melakukan kritik terhadap tatanan hukum tertulis, agar menyesuaikan dengan segala
kepentingan yang selalu mengalami perubahan. Segala kepentingan tersebut yang terdiri
dari kepentingan negara, kepentingan sosial dan kepentingan pribadi menjadi alat yang
diharapkan sebagai aspek pengubah (rekayasa) hukum.
Pengaruh sociological jurisprudence di Indonesia mampu bertahan dalam setiap fase
pemerintahan yang terus mengalami pergantian. Berawal dari teori hukum pembangunan,
teori hukum progresif, sampai dengan teori hukum integratif. Dua dari tiga teori hukum
tersebut, hampir semua perguruan tinggi hukum di Indonesia mengenalnya, dan banyak
mengisi literatur sosiologi hukum dan filsafat hukum di Indonesia, sehingga sangat terlihat
bahwa sociological jurisprudence merupakan aliran pemikiran hukum baru yang
memberikan dampak atau pengaruh yang besar dalam tatanan hukum Indonesia.
B. Saran
Perlunya
penegasan
yang
sebagai
sifat pembeda
antara sociological jurisprudence dan legal sociology dalam setiap pengajaran mata kuliah
teori hukum dan filsafat hukum. Seyogyanya pengajaran dan pengenalan semua aliran
pemikiran hukum dibiasakan kepada mahasiswa menelaah kasus yang relevan dengan
corak
dan
metode
berpikir
dari
setiap
aliran
tersebut.
Khusus sociological
jurisprudence harusnya dijelaskan dalam bentuk sederhana, sebagai praktik dalam putusan
pengadilan di Indonesia yang mengakui penggunaan asas ius contra legem, judge made
law. Kemudian juga perlu ada pengenalan studi ilmu sosial (sosiologi hukum) bukan
bagian yang berdiri sendiri, hanya dengan melalui teori saja (pengertian sosiologi,
pengertian perubahan sosial, masyarakat sebagai objek sosiologi). Tetapi jauh lebih penting
untuk menelaah materi sosial sebagai gejala-gejala yang dapat mempengaruhi berlakunya
hukum (Undang-Undang) dalam sistem hukumnnya.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2002. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: Toko Gunung Agung.
__________. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta: Yarsif Watampone.
__________. 2001. Keterpurukan Hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Anton F. Susanto. 2010. Dekonstruksi Hukum Eksplorasi: Teks dan Model Pembacaan.
Yogyakarta: Gentha Publishing.
Bernard Arief Sidharta. 1999. Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.
__________________. 2007. Mewissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama.
__________________. 2013. Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Curzon. 1979. Juriprudence. USA: M & E Handbook.
Damang. 2012. Aplikasi Psikologi Hukum dalam Putusan hak Asuh Anak. Jurnal Amanna
Gappa. Volume 20 Nomor 1, Maret 2012.
__________________. 2012. Memaknai Perilaku Hukum Pidato SBY. Harian Tribun Timur:
Makassar. 19 Oktober 2012
Dimyati , Khudzaifah, 2005, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Fajar Sugianto. 2013. Economic Approach to Law. Jakarta: Kencana.
Friedman, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali Pers
Gerald Turkel. 1996. Law and Society. USA: Universsity of Delaware.
Hadjon, Philiphus M. dan Tatik Sri Djatmiati. 2009. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gadjah
Mada university.
Hans Kelsen. 1982. Hukum dan logika. Bandung: Refika Aditama.
Hart. 2009. Konsep Hukum. Bandung: Nusa Media
Ian Ward. 2014. Pengantar Teori Hukum Kritis. Bandung: Nusa Media
Lawrence Meir Friedman. 1975. The Legal System: Social Science Perspective. New Jersey:
Princeton University Press.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat Hukum dan Teori Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi. 2002. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju. Hlm,
65.
Mac Guigan, Mark R. 1966. Jurisprudence Reading and Cases. Toronto: University of Toronto
Pers.
Mochtar Kusumaatmadja. 2006. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung:
Alumni.
Munir Fuady. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Postmodern. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Peter Mahmud Marzuki. 2004. Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.