Fraktur Gawat Darurat

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin meningkat
selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern manusia tidak akan
lepas dari fungsi normal system musculoskeletal. Salah satunya tulang yang merupakan
alat gerak utama pada manusia, namun dari kelainan ataupun ketidaksiplinan dari
manusia itu sendiri (patah tulang) fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang,
tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun partial . fraktur
biasanya terjadi pada cruris, karena cruris sangat kurang di lindungi oleh jaringan lunak,
sehingga mudah sekali mengalami kerusakan (Rasjad, 1998).
Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa
resiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang
melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan kerapuhan fisik (frailty) dan
meningkatkannya resiko untuk jatuh. (Sudoyo: 2010).
Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan
oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya. Beberapa
diantara komplikasi tersebut adalah timbulnya dikubitus akibat tirah baring
berkepanjangan, perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia
atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi dan sebagainya.
(Sudoyo: 2010).
Walaupun dalam kasus yang jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani
secara tepat atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan
penderita. Sehingga perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus
diperhatikan dalam menangani pasien dengan kasus kegawat daruratan fraktur.
B. Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan :
Umum : Mahasiswa mampu menerapkan konsep asuhan keperawatan kegawat
daruratan pada pasien dengan fraktur
Khusus:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep fraktur

2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep metodologi asuhan keperawatan


kegawat daruratan pada pasien fraktur

BAB II
KONSEP TEORI

A. Anatomi Fisiologi Tulang


Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang
tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk sel darah. Tulang juga
merupakan tempat primer untuk meyimpan dan mengatur kalsium dan pospat.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan
jaringan organik (kolagen, proteoglikan). Kalsium dan phospat membenuk suatu kristal
garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks
organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70 % dari osteoid adalah
kolagen tipe 1 yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang. Materi organik
lain yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan seperti asam hialuronat.
Hampir semua tulang berongga dibagian tengahnya. Struktur demikian
memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan.
Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen danmineral dalam jaringan tulang.
Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau lameral. Tulang yang berbentuk anyaman
terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah
terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih
dewasa yang berbentuk lameral. Pada orang dewasa tulang anyaman ditemukan pada
insersi ligamentum atau tendon. Tumor sarkoma osteogenik terdiri dari tulang anyaman .
tulang lameral terdapat seluruh tubuh orang dewasa.tulang lameral tersusun dari
lempengan-lempengan yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal. Pola
susunan semacam ini melengkapi tulang dengan kekuatan yang besar.
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari 3 jenis sel: osteoblas,
osteosid dan osteoklas. Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe 1
dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang
disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas
mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam
mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang.
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.Osteoklas adalah sel-sel besar berinti
banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi.Vitamin D
mempengaruhi deposisi dan absorbsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat

menyebabkan absorbsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang
tinggi. Bila tidak ada vitamin D hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorbsi
tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu kalsifikasi tulang, antara lain
dengan meningkatlan absorbsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.(Price dan Wilson:
1995)
B. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner&Suddarth: 2002). Fraktur
adalah pemisahan atau patahnya tulang (Doenges, 1999).
Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang,

umumnya

akibat

trauma

(Tambayong: 2000). Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik ( Price, 1995). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan
menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi.
C. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (1995) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi
lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan teradi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktifitas mereka, seperti baru diterima dalam angkatan
bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
D. Manifestasi Klinis
Adapun tanda dan gejala dari fraktur, sebagai berikut :
1. Nyeri
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bidai alamiah yang
dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Hilangnya fungsi dan deformitas

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Cruris tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
berrgantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pemendekan ekstremitas
Terjadinya pemendekan tulang yang sebenarnya karena konstraksi otot yang
melengket di atas dan bawah tempat fraktur.
4. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
5. Pembengkakan lokal dan Perubahan warna
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
E. Klasifikasi Fraktur
1. Menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi
menjadi 2 antara lain:
a) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan
lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur terbuka (opened)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat
masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
1) Derajat I
Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
2) Derajat II

Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmen


jelas.
3) Derajat III
Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Menurut derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.
Menurut Price dan Wilson ( 2006) kekuatan dan sudut dari tenaga fisik,keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh
tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Menurut bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan oleh
trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
4. Menurut jumlah garis patahan ada 3 antara lain:
a) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
(Mansjoer: 2000)

F. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka
bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf
yang berkaitan dengan pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan
darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur
tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan
pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah
tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan,
hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri.
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan
lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson: 1995).
G. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) antara lain:
1.
Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.

a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis
dan vertebra.
b) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien
akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula
lemak pada aliran darah.
c) Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf
dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan
pada pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan
dan dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah
tersebut. Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat
menggerakkan jari tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya
terjadi pada ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat,
seperti lengan.resiko terjadinya sinrome kompartemen paling besar
apabila terjadi trauma otot dengan patah tulang karena pembengkakan
yang terjadi akan hebat. Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur
yang terlalu dini atau terlalu ketat dapat menyebabkan peningkatan di
kompartemen ekstremitas, dan hilangnya fungsi secara permanen atau
hilangnya ekstremitas dapat terjadi. (Corwin: 2009)
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi

splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan


pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali
2.

dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).


Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union,
delayed union, dan non union.
a) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau
miring. Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan
traksi, dan kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan
gerakan rotasi dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang
diperhatikan. Akibatnya sesudah gibs dibung ternyata anggota tubuh
bagian distal memutar ke dalam atau ke luar, dan penderita tidak dapat
mempertahankan tubuhnya untuk berada dalam posisi netral. Komplikasi
seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat sewaktu
melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin
terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmenfragmen tulang yang patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui
sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial.
Keadaan ini harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan
imobilisasi, atau mungkin juga dengan tindakan operasi.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang

dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan


suplai darah ke tulang.
c) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada
sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak
keadaan yang merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya
adalah reduksi yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang
yang patah tetap tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik
dengan cara terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak
(biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan
lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana
tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih
fragmen tulang.
H. Penyembuhan Fraktur
Akibat terjadinya keretakan atau patah tulang, tulang akan mengadakan adaptasi
terhadap kondisi tersebut, diantaranya mengalami proses penyembuhan dan perbaikan
tulang. Faktor tersebut dapat diperbaiki terapi prosesnya agak lambat karena melibatkan
pembentukan tulang baru. Ada lima stadium penyembuhan tulang (Brunner & suddarth :
2002-2266), yaitu:
1. Inflamasi
Terjadui perdarahan dalam jaringan yang cedrea dan terjadi pembentukan
hematom pada tempat patah tulang . ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
2. Proliferasi Sel
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum,dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan

terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru


yang menggabungkan kedua fragmen tulang patah.
3. Pembentukan Kallus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh
mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang
digabungkan dengan jaringan fibrus dan tulang rawan. Perlu waktu 3 sampai 4
minggu agar tulang tergabung dalam tulang rawan dan jaringan fibrus
4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis patah tulang, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati
dan reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Reomodeling
memerlukan waktu berbulan bulan sampai bertahun-tahun.
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada
masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu
tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi
semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara cepat, singkat dan
lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada
jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila dicurigai
adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien

dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas dan dibawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen
patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan
lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen
tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi tulang
panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai
bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera harus dikaji
untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian dilepaskan
dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari sisi cedera.
Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin
jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis,
gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur
pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna
atau disingkat ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis
pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim dilakukan :

a) Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang


patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah
b) Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plat, paku dan pin logam
c) Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang
yang berpenyakit.
d) Amputasi : penghilangan bagian tubuh
e) Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
f) Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
g) Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis
h) Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
i) Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
j) Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.
(Ramadhan: 2008)
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
4. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a) Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri
sekali dan bengkak.

b) Reduksi (manipulasi/ reposisi)


Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit
bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
c) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
d) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal

mungkin

untuk

menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus


segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma .

2. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Hitung Darah Lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
5. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel,
atau cedera hati.
(Dongoes: 1999)
2.2 Konsep ASKEP GAWAT DARURAT FRAKTUR
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret
akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/

melindungi

jalan

napas,

timbulnya

pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi
/aspirasi
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut,
takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran
mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Pengumpulan data
1. Anamnesa
2. Identitas Klien
3. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.

c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah


rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan

seberapa

jauh

rasa

sakit

mempengaruhi

kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini
bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakitpenyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas/istirahat
a) kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
b) Keterbatasan mobilitas
2. Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
b) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardi
d) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
e) Cailary refil melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
g) Masa hematoma pada sisi cedera
3. Neurosensori
a) Kesemutan
b) Deformitas, krepitasi, pemendekan
c) kelemahan
4. Kenyamanan
a) nyeri tiba-tiba saat cidera
b) spasme/ kram otot
5. Keamanan
a) laserasi kulit
b) perdarahan
c) perubahan warna
d) pembengkakan local
B. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
N

Diagnosa

Keperawatan

Tujuan Dan Kriteria Hasil

Nyeri berhubungan
dengan spasme otot

Intervensi
1.

Rasional
1.

dan kerusakan
sekunder terhadap
fraktur.
BAB

IV

PENUTUP
A.

Simpulan

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan trauma atau tenaga fisik dan
menimbulkan nyeri serta gangguan fungsi. Fraktur disebabkan oleh cidera, fraktur patologi, dan

fraktur beban. Secara umum fraktur dibedakan menjadi 2 yaitu terbuka dan tertutup. Manifestasi
klinis dari fraktur itu sendiri yaitu nyeri, hilangnya fungsi dan deformitas, pemendekan
ekstremitas,

krepitus,

Pembengkakan

lokal

dan

Perubahan

warna.

Penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
Sementara diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien fraktur adalah:
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan gerak sekunder terhadap fraktur.
4.

Resiko

5.

Resiko

tinggi
tinggi

kerusakan
infeksi

integritas

berhubungan

jaringan
dengan

berhubungan

kerusakan

dengan

kulit,

trauma

fraktur.
jaringan.

B.

Saran

Walaupun dalam kasus fraktur jarang terjadi kematian, namun bila tidak ditangani secara tepat
atau cepat dapat menimbulkan komplikasi yang akan memperburuk keadaan penderita. Sehingga
perawat perlu memperhatikan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menangani pasien
dengan kasus kegawat daruratan fraktur. Pasien harus mendapatkan pertolongan sesegera
mungkin. Untuk itu dibutuhkan perawat yang tanggap dalam menangani pasien gawat darurat,
terutama dalam hal ini adalah pasien dengan kegawat daruratan sistem muskuloskeletal, fraktur.

DAFTAR

PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah. Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC
Corwin,

Elizabeth

J.

2009.

Buku

Saku

Patofisiologi

Ed,

3.

Jakarta:

EGC

Editor, Aru W Sudoyo dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi V. Jakarta: Interna
Publishing
Dongoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC
Editor,

R.

Mansjoer,

Sjamsuhidajat.
Arif.

2000.

2004.

Kapita

Buku
Selekta

Ajar

Ilmu

Kedokteran.

Bedah,
Jakarta:

Ed.2.

Jakarta:

Media

EGC

Aesculapius

Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4

Vol.1.

Jakarta:

EGC

Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit

Edisi

Vol.

2.

Jakarta:

EGC

Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta:
Ramadhan.

EGC
2008.

Konsep

Fraktur

(Patah

Tulang.

http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-patah-tulang/ diakses tanggal 30


maret

2013

Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2001. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta: EGC
Tambayong,

Jan.

2000

Patofisiologi.

Jakarta:

EGC

Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Ktriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai