Makalah Pengembangan Pribadi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PENGEMBANGAN PRIBADI

KONSELOR
MEMAHAMI BERBAGAI ISSUE ETIC DALAM PERSPEKTIF LINTAS
BUDAYA

OLEH :
KELOMPOK VII
PEBRIANSYAH
HUSLAN
AHMAD SALAM ALFI
SUNANDAR
SITTI ASRIANI

ERMA PRATIWI NUFI


HIKMA NUR FITRIA
WA ODE ASMILASARI
SUGIARTI
ZULKARNI

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memicu lajunya
perkembangan peradaban manusia, yang berdampak pada mobilitas penduduk,
modal, nilai dan ideologi dsb. dari suatu tempat ke tempat yang lain. Akibatnya,
tercipta suatu pemukiman dengan beragam budaya. Keragaman budaya ini pada
kondisi normal dapat menumbuhkan keharmonisan hidup, namun dalam kondisi
bermasalah dapat menimbulkan hambatan dalam berkomunikasi dan penyesuaian
antar budaya.
Adanya keragama budaya merupakan realitas hidup, yang tidak dapat
dipungkiri mempengaruhi perilaku individu dan seluruh aktivitas manusia, yang
termasuk di dalamnya adalah aktivitas konseling. Karena itu, dalam melakukan
konseling, sangat penting untuk mempertimbangkan budaya yang ada. Namun,
dalam kenyataannya, kesadaran budaya dalam praktek konseling masih sangat
kurang. Hal ini sangat berbahaya konseling yang tidak mempertimbangkan
budaya klien yang berbeda akan merugikan klien. Menurut Freire, pendidikan
yang tidak melihat budaya klien adalah pendidikan yang menindas. Kesadaran
budaya harus menjadi tujuan pendidikan, termasuk konseling yang lebih
mengena.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya
dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik,
behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah yang berkaitan

dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan


atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau
benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara
beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang
memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung untuk menekankan
pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi mutakhir cenderung
untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada variabel-variabelnya (Sue dan
Sue, 1990). Namun, argument - argumen yang lain menyatakan, bahwa lintas
budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari kelompok - kelompok yang
tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna, dikarenakan yang tertindas itu dapat
berupa gender, kelas, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia
(Trickett, Watts,

dan

Birman,

1994)

Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan
oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan
konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut
untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya,
mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilanketerampilan yang

responsive

secara kultural. Dengan demikian, maka

konseling dipandang sebagai perjumpaan budaya (cultural encounter) antara


konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pribadi konselor dan keterkaitanya dengan konseling sadar
budaya?
2. Bagaimana pemusatan pada faktor individu dan faktor lingkungan dalam
konseling?
3. Bagaimana menghindari sikap - sikap prasangka dan stereotip?
Prasangka dan streorotip budaya
Perspektif etik dan emik
Bias budaya usia,gender,ras,etnis yang menghambat konseling
4. Bagaimana peran asesment dan diagnostik dalam konseling sadar budaya?
5. Bagaimana dual dan multirelasi dalam praktek konseling?
C. Tujuan
adapun tujuan dari makalah in adalah :
1. Untuk mengetahui pribadi konselor dan keterkaitanya dengan konseling
2.
3.
4.
5.

sadar budaya
untuk mengatahui pemusatan pada faktor individu Dan faktor lingkungan
untuk mengetahui cara menghindari sikap sikap prasangka dan streotip
mengetahui peran assesment dan diagnostik dalam konseling sadar budaya
menegetahui dual dan multirelasi dalam praktek konseling

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pribadi Konselor Dan Keterkaitanya Dengan Konseling Sadar


Budaya
Untuk menunjang pelaksanaan konseling lintas budaya dibutuhkan
konselor yang mempunyai spesifikasi. tertentu. Pedersen (dalam Mcrae &

jhonson) menyatakan bahwa konselor lintas budaya harus mempunyai


kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan.
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui
adanya perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan
dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya
konflik jika konselor memberikan layanan konseling kepada klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya.
Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa konselor lintas budaya harus
mengerti dan memahami budaya di Indonesia, terutama nilai nilai budaya
yang dimilikinya. Sebab bukan tidak mungkin macetnya proses konseling
hanya karena konselor tidak mengetahui dengan pasti nilai nilai apa yang
dianutnya. Dengan demikian, kesadaran akan nilai nilai yang dimiliki oleh
konselor dan nilai nilai yang dimiliki oleh klien, akan dapat dijadikan landasan
untuk melaksanakan konseling.
Pengetahuan, konselor lintas budaya sebaiknya terus mengembangkan
pengetahuannya mengenai budaya yang ada di Indonesia. Pengetahuan yang
perlu dimiliki oleh konselor lintas budaya adalah sisi sosio politik dan susio
budaya dari kelompok etnis tertentu. Semakin banyak latar belakang etnis
yang dipelajari oleh konselor, maka semakin baragam pula masalah klien yang
dapat ditangani. Pengetahuan konselor terhadap nilai nilai budaya yang ada di
masyarakatt idak saja melalui membaca buku atau hasil penelitian saja, tetapi
dapat pula dilakukan dengan cara melakukan penelitian itu sendiri. Hal ini

akan semakin mempermudah konselar untuk menambah pengetahuan


mengenai suatu budaya tertentu.
Keterampilan, konselor lintas budaya harus selalu mengembangkan
keterampilan untuk berhubungan dengan individu yang berasal dari latar
belakang etnis yang berbeda. Dengan banyaknya berlatih untuk berhubungan
dengan masyarakat luas, maka konselor akan mendapatkan keterampilan
(perilaku) yang sesuai dengan kebutuhan. Misal konselor banyak berhubungan
dengan orang jawa, maka konselor akan belaiar bagaimana berperilaku
sebagaimana orang Jawa. jika konselor sering berhubungan dengan orang
Minangkabau, maka konselor akan belajar bagaimana orang Minangkabau
berperilaku.
Tiga kompetensi di atas wajib dimiliki oleh konselor lintas budaya.
Sebab

dengan

dimilikinya

ketiga

kamampuan

itu,

akan

semakin

mempermudah konselor untuk bisa berhubungan dengan klien yang berbeda


latar belakang budaya. Sementara itu menurut konseling indonesia

2012

Kompetensi Linyas budaya meliputi; a). Kesadaran nilai-nilai bias budaya, b).
Kesadaran konselor terhadap pandangan klien, c). Strategi intervensi yang
cocok berdasarkan kebudayaan

B. Pemusatan Pada Faktor Individu Dan Faktor Lingkungan Dalam


Konseling
Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988),
mengemukakan 3 unsue fokok dalam konseling lintas budaya.

a) Individu adalah penting dan khas


b) Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
c) Klien yang datang menenmui konselor juga membawa seperangkat nilai
dan sikaf yang mencerminkan budayanya
Selanjutnya

brown

mwnyatakan

bahwa

keberhasilan

bantuan

konseling sangat di penagaruhi oleh faktor-faktor bahasa, nilai, streotip, kelas


sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut sue,faktor-faktor budaya yang
berpengaruh dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat
manusia, orientasi waktu, dan hubungan dengan alam dan orientasi tindakan.
Dari paparan diatas dapat dianalisi bahwa unsur unsur pokok yang
perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah :
1. Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur unsur budaya
tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai nilai, pandangan
hidup, dsb.
2. Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh
unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
3. Dalam hubungan konseling, konselor harus menyadari unsur unsur
tersebut dan menyadari bahwa unsur unsur budaya itu akan
mempengaruhi keberhasilan proses konseling.
C. Menghindari Sikap - Sikap Prasangka Dan Stereotip
1. Prasangka dan streorotip budaya
Menilai dan menghargai perbedaan, konselor sadar bahwa latar belakang
kebudayaan yang dimilikinya, pengalaman sikap,
mempengaruhi proses psikologis

Nilai, dan bias

Konselor

mampu mengenali batas kemampuan dan keahliannya Konselor

merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien

dalam

bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan


Konselor memiliki pengetahuan tentang ras dan kebudayaannya sendiri
dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi secara personal dan
profesional pandangannya tentang normal dan abnormal dan proses

dalam konseling
Konselor mengetahui dan memahami bahwa tekanan, ras, diskriminasi,
dan stereotipe

mempengaruhi mereka secara personal dan dalam

pekerjaannya.
Konselor
mengetahui

dampak sosialnya terhadap orang lain.

Pengetahuan mereka tentang perbedaan komunikasi, bagaimana gaya


komunikasi ini mungkin akan menimbulkan perselisihan atau
membantu perkembangan dalam proses konseling pada klien minoritas,
dan bagaimana cara mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi pada
orang lain.
2. Perspektif etik dan emik
Pendekatan etic melibatkan penelitian yang berasal dari budaya tertentu.
Pendekatan emic mengacu pada pandangan bahwa data penelitian konseling
lintas budaya harus dilihat dari sudut pandang budaya subjek yang diteliti, atau
budaya asli dan unik.
Dikotomio etic dan emic merupakan perbedaan cara mendeskripsikan
suatu kebudayaan, dipandang dari dalam budaya klien atau dari luar budaya
klien.

3. Bias budaya usia,gender,ras,etnis yang menghambat konseling


Konseling antar budaya akan berhasil apabila telah mengembangkan 3
dimensi kemampuan yaitu dimensi keyakinan, dan sikap pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan klien antar budaya yang akan dilayani.
Konselor tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien yang
latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok- Kelompk sosial ekonomi
tertentu, akan tetapi menangani klien yang bersifat antar budaya atau bahkan
multi budaya.
Kebutuhan akan konseling antar budaya di Indonesia makin terasa,
mengingat penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang
memilki beraneka corak sub-kultur yang berbeda-beda karakteristik sosial
budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam
perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan BK
yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu
kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya
bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan BK harus
dilandasi dan mempertimbangkan keanekaragaman sosial budaya yang hidup
dalam masyarakat, disamping kesadaran akan dinamika sosial budaya itu
menuju masyarakat yang lebih maju.(Adhiputra,2010.190)
Ketika koselor dan klien secara bersama dalam budaya yang sama,
konselor mempercayakan intuitively atas penerimaan secara bersama sama
untuk menyempurnakan diluar tujuan klien, Dan atas pemahaman pribadinya
untuk memenuhi jurang pemisah dalam lantar belakang diri klien.ketika
participant

budaya

konseling

dibedakan,

konselor

sering

kurang

menyimpulkan secara implicit untuk menciptakan image coherent pada diri

klien. Seperti aspek-aspek yang signipikan pada persepsi,ingatan, dan sisa


sejarah yang membisu.Waktu yang mengiris pada sesi konseling akan
memperluas horizontally yang meliputi sejarah dan masa depan klien, serta
ketegak lurusan ke penggabungan makna budaya itu.
Interaksi antar konselor dengan klien mungkin dapat dilihat sebagai
intervensi

disengaja

dalam

aktivitas

klien-

konstruk

wawasan

dan

pemahamanya, serta kebaikannya untuk memuaskan klien atas efektivitas


yang diperbaiki.para partisipan semestinya menciptakan setiap interface akan
menompang hubungan konseling dan menompang mampaat penerimaan
interface klien yang begitu luas adalah dibutuhkan dengan sungguh-sungguh
dan kehangatan, serta membangkitkan rasa empatinya. Konsep ahirnya adalah
mengkritisi komonikasi antar budaya, semenjak di sarankan empati ketentuan
pertalian dan hubungan berdasarkan atas kesamaan antar kedua partisipan
konseling antar budaya, mungkin tidak adanya definisi interaksi yang akurat
secara menyeluruh, semenyak empati, menjelaskan pemahaman orang lain
atas kesulitan bersama, tidak akan terjadi. Sebelum menjauhi kemungkinan
konseling antar budaya, kita selalu melihat kebutuhan yang serupa untuk
menompang empati.
Membangun suatu proses berbaris psikologi, budaya belajar ( cultural
learning ) mungkin menentukan seprangkat persepsi persamaan yang lebih
menemukan perbedaanya. Jika laboratory ditemukan akan bias memperluas
level persepsi social, kita dapat melakukan hipotesis yaitu sebagian
masyarakat Amerika, sebagai contoh, budaya belajar mendorong persepsi
yang sama dengan yang lainya, orang Perancis ( French ) mungkin

predisposition untuk menerima suatu perbedaan. Pengamatan secara umum


yang dibutuhkan adalah untuk memperkuat atau juga untuk menolaknya.
D. Peran Assesment Dan Diagnostik Dalam Konseling Sadar Budaya
Karakteristik sosial budaya masyarakat yang majemuk tidak dapat
diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan
kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia
terutama di Indonesia karea kita sebagai warga Negara Indonesia harus
berakar pada budaya bangsa sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan
bimbingan dan konseling harus dilandasi oleh dan mempertimbangkan
keanekaragaman sosial budaya yang hidup dalam masyarakat, di samping
kesadaran akan dinamika sosial budaya itu menuju masyarakat yang lebih
maju.
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi
kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu.
Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya
dimana ia hidup.
Konseli-konseli yang berasal dari latar belakang sosial budaya yang
berbhieneka itu tidak dapat disamaratakan penaganannya. Akar budaya asli
yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhya terhadap masyarakat budaya
asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama dalam

pelayanan bimbingan dan konseling. Hal itu semua menjadi tanggung jawab
para konselor dan lembaga pendidikan konselor di seluruh tanah air.
E. Dual Dan Multirelasi Dalam Praktek Konseling
1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus
memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994)
mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan
pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang
meliputi hal-hal sebagai berikut.

Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang


dihadapi

.Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara


tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap
kelompok tersebut.

Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang


karakteristik umum konseling dan terapi.

Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal

Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal

Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi


kepentingan klien

Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan


dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor
Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity
harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states
yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat
melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu
memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan
dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan
konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien,
dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh
karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai
agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan
bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan,
yaitu:

Dimensi keyakinan dan sikap

Dimensi pengetahuan

Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang


dimilki individu

Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien


memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh

masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh


memodifikasi

kepercayaan

tersebut

secara

halus,

tetapi

apabila

kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau


kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus
bersikap netral,yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi
membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai
kebudayaan tersebut.Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspekaspek yang mendasari sikap tersebuta dalah sebagai berikut.

Keyakinan
Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak)
dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di
samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki
kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.

Nilai-nilai
Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya.
Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilainilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilainilainyadan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.

Penerimaan

Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai


peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat
wajar tanpa dibuat-buat.

Pemahaman
Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan
pemahaman, yaitu (1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan
minat-minat

individu,

(2)

memahami

kemampuan

intelektual

dan

kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal


individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan
tersebut.

Rapport
Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang
hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan
efektif.

Empaty
Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran
dan perasaan klien.
3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya
adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang

efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan
persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:

Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik
akademik maupun pengalaman.

Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien


dan konselor,terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka
dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.

Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teoriterhadap situasi-situasi


khusus klien.

Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.

Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar
konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangkaprasangkanya.

Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesadaran, konselor lintas budaya harus benar benar mengetahui
adanya perbedaan yang mendasar antara konselor dengan klien yang akan
dibantunya. Selain itu, konselor harus menyadari benar akan timbulnya
konflik jika konselor memberikan layanan konseling kepada klien yang
berbeda latar belakang sosial budayanya.
Dalam pengkajian issue tentang budaya, locke dalam brown (1988),
mengemukakan 3 unsue fokok dalam konseling lintas budaya.

a. Individu adalah penting dan khas


b. Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan
budayanya
c. nilai dan sikaf yang mencerminkan budayanya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan
pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi
kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku
individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan
sosial-budaya dimana ia hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1986. Antropologi Budaya: mengenal kebudayaan dan suku-suku
bangsa di Indonesia. Surabaya: Pelangi.
BK | Bimbingan dan Konseling Indonesia | Pusat Referensi Konseling |
http://konselingindonesia.com Menggunakan Joomla! Generated: 7 May, 2012, 2
Carter, RT. 1991. Cultural Values: a review of empirical research and
implications for counseling. Journal of Counseling & Development. 70: 164-173.
Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan.
Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta:
Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai