Teori + Lapkas Edit

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009).
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam jiwa
bila tidak ditangani secara tepat. lnsiden kondisi ini bisa terus meningkat, dan
tingkat mortalitas 1-2 persen telah dibuktikan sejak tahun 1970-an.
Data komunitas di Amerika Serikat menunjukkan bahwa insiden
ketoasidosis diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua
kelompok umur. Di Indonesia insiden ketoasidosis diabetik tidak sebanyak di
negara barat, mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden
ketoasidosis diabetik di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan
terutama pada pasien DM tipe 2 (Soewondo, 2009).
Ketoasidosis diabetik paling sering terjadi pada pasien penderita diabetes
tipe 1 (yang pada mulanya disebut insulin-dependent diabetes mellitus), akan tetapi
kejadiannya pada pasien penderita diabetes tipe 2 (yang pada mulanya disebut noninsulin dependent diabetes mellitus), tidak sejarang yang diduga.
Penanganan

pasien

penderita

ketoasidosis

diabetik

adalah

dengan

memperoleh riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik


sebagai upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor-faktor pemicu.
Kematian pada pasien ketoasidosis diabetik usia muda umumnya dapat dihindari
dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
1.2 Tujuan
Mengetahui dan menambah wawasan tentang ketoasidosis diabetik dan
dapat

membantu

menegakkan

diagnosis

ketoasidosis

diabetik

serta

penatalaksanaannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2.1 Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah kondisi dekompensasi metabolik akibat
defisiensi insulin absolut atau relatif yang merupakan komplikasi akut diabetes.
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama
disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Soewondo, 2009).
2.2 Epidemiologi
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden
ketoasidosis diabetik sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua
kelompok umur, sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar
13,4 per 1000 pasien DM per tahun (Soewondo, 2009).
Sumber lain menyebutkan insiden ketoasidosis diabetik sebesar 4,6-8/1000
pasien DM per tahun (Chiasson, 2003).
Ketoasidosis diabetik dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari
100.000 pasien yang dirawat per tahun di Amerika Serikat (Umpierrez, 2002).
Walaupun data komunitas di Indonesia belum ada, agaknya insiden
ketoasidosis diabetik di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat
prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden ketoasidosis diabetik di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM
tipe 2 (Soewondo, 2009).
Angka kematian pasien dengan ketoasidosis diabetik di negara maju kurang
dari 5% pada banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5-10%, 2-10%,
atau 9-10% (Soewondo, 2009).
2.3 Etiologi
Semua kelainan pada ketoasidosis diabetik disebabkan oleh kekurangan
insulin baik absolut maupun relatif yang berkembang dalam beberapa jam atau
hari. Pada pasien DM yang telah diketahui sebelumnya disebabkan oleh
kekurangan pemberian kebutuhan insulin eksogen atau karena peningkatan
kebutuhan insulin akibat keadaan atau stres tertentu.
Stress tersebut dapat berupa :
a. Infeksi
b. Kelainan vaskuler (infark miokard akut)
c. Kelainan endokrin (hipertyroidisme, sindroma chusing)
d. Trauma

e. Kehamilan
f. Stres emosional
g. Peningkatan hormone kontrainsulin (epinefrin, kortisol, glukagon)
(Guntur, 2010).
2.4 Patofisiologi
Ketoasidosis diabetik merupakan suatu keadaan dimana terdapat defisiensi
insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormon); keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton (Soewondo, 2009).
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya ketoasidosis diabetik
substrat nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada
ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase). Peningkatan
produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis utama yang bertanggung jawab
terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan ketoasidosis diabetik (Gotara
& Budiyasa, 2010).
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan ketoasidosis diabetik keton yang
tinggi menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton
telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontra regulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang
sensitive pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa
gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan
pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor
utama dari ketoasidosis. (Gotara & Budiyasa, 2010).
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan ketoasidosis diabetic malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara
menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A
carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas.
Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase I (CPT I), enzim untuk

transesterifikasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang


mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk
perpindahan asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak
teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl CoA dan CPT I pada ketoasidosis
diabetik mengakibatkan peningkatan ketongenesis (Gotara & Budiyasa, 2010).

Gambar 1. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetik

2.5 Manifestasi Klinis


Sekitar 80% pasien ketoasidosis diabetik adalah pasien DM yang sudah
dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali ketoasidosis
diabetik sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan
patofisiologi ketoasidosis diabetik, maka pada pasien ketoasidosis diabetik
dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi
(turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), ketoasidosis diabetik yang disertai
hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium
(Soewondo, 2009).
Areateus menjelaskan gambaran klinis ketoasidosis diabetik sebagai
keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului ketoasidosis diabetik serta
didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-

muntah merupakan gejala yang sering dijumpai pada ketoasidosis diabetik anak.
Dapat pula dijumpai nyeri perut dan berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi
lambung (Soewondo, 2009).
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai compos mentis, delirium,
depresi sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol).
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering
ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor
pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila
dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistitis,
iskemia usus, appendicitis, diverticulitis, atau perforasi usus. Bila pasien tidak
menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan ketoasidosis diabetik, maka
perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses
perirectal) (Soewondo, 2009).
2.6 Diagnosis
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien ketoasidosis diabetik
terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular,
dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
dimulai tanpa adanya penundaan (Gotara & Budiyasa, 2010).
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam
beberapa hari, perubahan metabolik yang khas untuk ketoasidosis diabetik
biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan
seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak
menjadi ketoasidosis diabetik tanpa gejala atau tanda ketoasidosis diabetik
sebelumnya (Soewondo, 2009).
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan
polifagia, penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding
of sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang
menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok,
dan koma. Lebih dari 25% pasien ketoasidosis diabetik menjadi muntah-muntah
yang tampak seperti kopi. Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan

hipotermia karena menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien
dengan abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah
indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut
diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis
metabolic (Gotara & Budiyasa, 2010).
Kriteria Ketoasidosis
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketoasidosis diabetik bersifat multifaktorial sehingga
memerlukan pendekatan terstruktur oleh dokter dan paramedis yang bertugas.
Prinsip-prinsip pengelolaan ketoasidosis diabetik ialah :
1. Penggantian cairan dan garam yang hilang
2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan
pemberian insulin

3. Mengatasi stres sebagai pencetus ketoasidosis diabetik


4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya
pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Terapi ketoasidosis diabetik yaitu:
1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan ketoasidosis diabetik adalah
terapi cairan (Alberti, 2004). Terapi insulin hanya efektif jika cairan diberikan
pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan membuat
ketoasidosis diabetik gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan

bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan ketoasidosis
diabetik gula darah disebabkan oleh rehidrasi (Trachtenbarg, 2005).
Oleh karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah
penentuan difisit cairan yang terjadi.
Ada dua keuntungan rehidrasi pada ketoasidosis diabetik: memperbaiki
perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila
konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan
mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).
2. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis ketoasidosis
diabetik dan rehidrasi yang memadai (Soewondo, 2009). Sumber lain
menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis ketoasidosis diabetik
ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. Pemakaian insulin akan
menurunkan ketoasidosis diabetik hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasanasam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa
oleh jaringan (Soewondo, 2009).
Sampai tahun1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an
protokol pengelolaan ketoasidosis diabetik dengan drip insulin intravena dosis
rendah mulai digunakan dan menjadi popular.Cara ini dianjurkan karena lebih
mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan ketoasidosis diabetikar glukosa
darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke
intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit
(Gotara & Budiyasa, 2010).
Jika tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3mEq/l), dapat diberikan insulin
regular 0,15 u/kg BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5-7
u/jam). Jika kadar kalium < 3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk
mencegah perburukan hipokalemia yang akan dapat mengakibatkan aritmia
jantung (Umpierrez, 2002).
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan
kecepatan 50-75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi.
Jika gula darah tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam
pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus
insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula

darah konstan antara 50-75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05-0,1 u/kgBB/jam (3-6 u/jam), dan
tambahkan infus dextrose 5-10% (ADA, 2004).
Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus
disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik.
Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka
insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4-0,6 iu)/kgBB yang terbagi menjadi
setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau
intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau
subkutan 0,1 iu/kgBB/jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama
seperti pemberian drip intravena (Soewondo, 2009).
3. Natrium
Penderita dengan ketoasidosis diabetik kadang-kadang mempunyai kadar
natrium serum yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk
tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium
diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur. Hiponatremia
memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah. Kadar natrium dapat
meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan normal saline oleh karena
normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar natrium
ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah
ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium. Serum natrium
yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%
(Gotara & Budiyasa, 2010).
4. Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar
kalium serum kurang dari 5, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l.
Umumnya, 20-30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan
infus cukup untuk memelihara kadar kalium serum dalam range normal 45mEq. Kadang-kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signfikan.
Pada kasus tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40
mEq/l, dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk
menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan
(Umpierrez, 2002).
5. Bikarbonat

Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Mengetahui


bahwa asidosis berat menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak
diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan bahwa pada pasien
dewasa dengan pH < 6,9, 100 mmol natrium bikarbonat ditambahkan ke dalam
400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada
pasien dengan pH 6,9-7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur dalam 200
ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Natrium
bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat,
insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium
harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu
pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0, dan terapi harus
diulangi setiap 2 jam jika perlu (ADA, 2004).

Bagan Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik


2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia

sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria ekstrem (Gotara & Budiyasa, 2010).
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa.
Tidak didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema
serebri pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran,
letargi, penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi
cepat, dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi. Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini
merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme
osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD. Oleh
karena terbatasnya informasi tentang edema serebri pada orang dewasa, beberapa
rekomendasi diberikan pada penanganannya, antara lain penilaian klinis yang tepat
dibandingkan dengan bukti klinis. Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko
edema serebri pada pasien risiko tinggi, diantaranya penggantian cairan dan
natrium secara bertahap pada pasien yang hiperosmolar dan penambahan dextrose
untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl (ADA, 2004).
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan koloid
osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan
penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient
oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru (ADA, 2004).

10

Komplikasi Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik

11

Anda mungkin juga menyukai