Laporan Patologi Sistemik Dan Nekropsi Rodensia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PATOLOGI SISTEMIK DAN NEKROPSI

NEKROPSI PADA KARNIVORA

Oleh :

Nama : Anisa Fitria Nur R.


NIM : 145130107111006
Kelas : 2014 A
Kelompok : A8
Asisten : Tim Asisten Praktikum Patologi
Sistemik dan Nekropsi

LABORATORIUM PATOLOGI SISTEMIK DAN NEKROPSI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nekropsi atau bedah bangkai adalah tindakan mengeluarkan organ-organ yang


dianggap sebagai sumber dari penyakit atau yang dicurigai bermasalah. Nekropsi atau bedah
bangkai merupakan teknik lanjutan dari diagnosa klinik yang ditujukan untuk meyakinkan hasil
dari diagnosa yang telah berikan. Nekropsi seringkali dilakukan untuk mengindentifikasi proses
penyakit infeksius, defisiensi nutrisi, penyakit parasit dan adanya tumor tetapi tidak dapat
mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit atau penyebab kejadian suatu penyakit.
Hendaknya nekropsi dilakukan secepat mungkin setelah hewan mati hal ini dilakukan untuk
mencegah terjadinya perubahan yang dikarenakan pembusukan alami. Apabila kegiatan nekropsi
tidak dilakukan hari itu juga, bangkai dapat disimpan didalam refrigrator agar tidak membusuk.
Peran hewan coba sebagai hewan model dalam penelitian-penelitian ilmiah telah
menjadi sejarah panjang dalam upaya para peneliti menyelamatkan manusia dan lingkungannya.
Salah satu hewan coba yang banyak digunakan dalam penelitian adalah tikus putih, mencit,
kelinci dan marmut yang termasuk dalam ordo rodentia. Rodentia banyak digunakan pada
penelitian-penelitian toksikologi, metabolisme lemak, obat-obatan maupun mekanisme penyakit
infeksius. Rodentia merupakan hewan pengerat yang memiliki gigi pemotong seperti pahat dan
berguna untuk memotong dan mengerat. Hewan pengerat memiliki gigi depan yang selalu
tumbuh dan harus diasah dengan menggerigiti sesuatu. Rodentia seperti tikus tidak memiliki gigi
taring (canina) dan geraham depan (premolar) sehingga diantara gigi seri dan geraham belakang
(molar) terdapat celah yang disebut "diastema". Diastema ini berfungsi untuk membuang kotoran
yang ikut terbawa bersama dengan pakan yang masuk ke dalam mulut. Langkah-langkah untuk
nekropsi rodentia yaitu sebelum dilakukan nekropsi, hewan dieuthanasia dengan menggunakan
ether di dalam kotak plastik. Nekropsi dilakukan sesuai prosedur nekropsi pada mamalia,
kemudian seluruh organ dalam diperiksa secara patologi anatomi (makroskopik). Organ-organ
dalam seperti hati, ginjal, paru-paru dan intestinal diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya
abnormalitas.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui perubahan-perubahan
patologi anatomi pada organ dalam hewan rodentia melalui cara nekropsi dan mengetahui tata
cara nekropsi pada rodentia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nekropsi dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan deskripsi


lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan ataupun organ. Pada umumnya terdapat dua
macam cara nekropsi yaitu seksi lengkap dan seksi tidak lengkap. Seksi lengkap dilakukan pada
setiap organ atau jaringan dengan membukanya dan kemudian diperiksa, sedangkan seksi tidak
lengkap apabila kematian atau sakitnya hewan diperkirakan menderita penyakit yang sangat
menular atau zoonosis (Setiawan, 2007). Nekropsi harus dilakukan sebelum bangkai mengalami
autolisis, jadi sekurang-kurangnya 6-8 jam setelah kematian (Capello, 2002). Pada prinsipnya
bedah bangkai atau nekropsi adalah mengeluarkan organ-organ yang dihinggapi penyakit
tertentu. Pada bedah bangkai, jika menggunakan hewan mati (bangkai hewan) sebaiknya tidak
menggunakan hewan yang mati lebih dari 6 jam, karena terdapat mikroorganisme yang
mendeposisi tubuh dan adanya proses autolisis yaitu penghancuran sendiri organ-organ tubuh
dan terjadi perubahan patologi anatomi. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian agar hasil
pemeriksaan lebih akurat, antara lain jenis penyakit, kondisi pasien, umur bangkai, jumlah
sampel, dan tempat pelaksanaan. Selain itu, penilaian bedah bangkai berdasarkan perubahan-
perubahan pada organ atau jaringan yang diperiksa, yaitu ukuran organ pada hewan penderita,
warna pada organ yang diperiksa, tepi organ, bidang sayatan, dan konsistensi (Capello, 2002).

Rodentia berasal dari kata rodere yang berarti mengerat. Ciri paling utama semua
rodentia adalah kemampuannya mengerat benda-benda dengan sepasang gigi seri yang besar,
tidak memiliki gigi taring dan gigi geraham depan, sehingga terdapat bagian yang kosong antara
gigi seri dan geraham belakang. Pada lapisan luar gigi seri terdapat email yang amat keras,
sedangkan bagian dalamnya tanpa lapisan email sehingga mudah aus. Selisih kecepatan ausnya
ini membuat gigi itu selalu tajam. Gigi seri tersebut tumbuh terus menerus dan untuk mengurangi
pertumbuhan gigi seri yang dapat membahayakan dirinya sendiri, maka tikus selalu mengerat
benda apapun yang ia jumpai. Kekhasan lain pada mulut rodentia adalah cara penyaringan
makanan yang tidak layak dimakan. Tikus dan kerabatnya tidak memiliki gigi taring (canina) dan
geraham depan (premolar) sehingga diantara gigi seri dan geraham belakang (molar) terdapat
celah yang disebut "diastema". Adanya diastema ini berfungsi untuk membuang kotoran yang
ikut terbawa bersama dengan pakan yang masuk ke dalam mulut. Misalnya benda asing atau
serpihan kayu yang terlampau besar yang mampu membuatnya tersedak akan keluar melalui
rongga yang terdapat antara gigi seri dan gigi gerahamnya (Girling, 2003).

Marmut (Cavia porcellus) merupakam anggota mamalia yang berordo rodentia, yaitu
ordo hewan pengerat seperti tikus dan kelinci yang mempunyai gigi pemotong seperti pahat dan
berguna untuk memotong dan mengerat, tetapi makananya adalah tumbuhan. Marmut
mempunyai suhu tubuh tetap, tidak terpengaruh terhadap lingkungan luar (homoitermis) dimana
mereka dapat mempertahankan suhu tubuhnya apabila suhu lingkungan tidak kurang dari 18 0 C
dan tidak lebih dari 400 C karena didukung oleh rambut yang tumbuh diseluruh tubuhnya. Hewan
pengerat ini tidak berekor (rudimenter) dan berjari-jari cakar (pentadactyl). Menurut Hawkins
(2012) yang menyatakan bahwa tubuh marmut dapat dibedakan menjadi caput, truncus, dan
cauda. Penggunaan marmut sebagai hewan percobaan laboratorium dikarenakan marmut
termasuk dalam ordo rodentia yang tidak berbahaya dan memiliki tubuh yang relatif besar
sehingga mudah untuk diamati.
Penyakit bakteri yang sering didapati pada tubuh rodensia terutama marmut dan
guinea pig adalah pneumonia bakteri yang disebabkan oleh Bordetella bronchiseptica,
Diplococcus pneumoniae, atau group C Hemolytic streptococci. Pneumonia streptococcus yang
dikarenakan D. pneumoniae lebih sering terlihat sebagai kondisi kronis dan ditemani oleh tanda
klinis seperti pleurits, perikarditis, peritonitis, otitis media dan meningitis. Gambaran patologi
yang dapat teramati adalah kemerahan pada pulmo, penebalan dan permukaan menjadi keabu-
abuan pada pleura, perikardium dan peritonium (Manning, 1984).

Slobbers atau Schmorls disease adalah penyakit yang disebabkan adanya infeksi
sekunder dari bakteri. Kondisi seperti ini disebabkan oleh Fusobacterium necrophorum yang
merupakan bakteri gram negatif. Pada umumnya terjadi pada kelinci, namun hewan marmut
dapat juga terinfeksi. Patologi anatomi yng dapat diamati ialah adanya lesi superfisial yang
terdiri dari penebalan, nekrosis, dan ulserasi pada kulit dan jaringan subkutan, dengan
kemungkinan menyebar hingga ke cervical limfanodus (lymphadenitis) (Capello, 2003).

Pseudotuberculosis yang menginfeksi guinea pig memiliki persamaan kondisi seperti


salmoneloosis yang ditandai dengan area nekrosis kaseosa pada jaringan kelenjar getah bening
mesenterika, hati dan limpa. Organisme penyebab penyakit ini ialah Yersinia pseudotuberculosis
yang dapat bermanifestasi sebagai penyakit kronis, diare dan pembesaran limfonodus (Girling,
2003).

Lymphocytic choriomeningitis (LCM) disebabkan oleh arenovirus yang ditandai


dengan gejala klinis yang jarang terlihat, kemerahan, konjungtivitis, dehidrasi dan tremor. Pada
gambaran patologi yang dapat ditemukan adalah pembesaran limpa yang umumnya tidak diikuti
dengan adanya lesi. Dan secara mikroskopis terdapat infiltrasi limfosit pada subarachnoid
(Manning, 1984).
BAB III
METODOLOGI

3.1. Alat dan Bahan

1. Dissecting set
2. Hewan karnivora
3. Alas koran/kresek
4. Tiga pot organ sedang/besar
5. Gloves
6. Kanebo
7. Sabun
8. Trash bag
9. Masker
10. Wadah datar

3.2. Cara Kerja

Karnivora

dikeluarkan dari refrigerator

dilakukan proses thawing untuk beberapa saat agar tidak beku

dilakukan nekropsi dengan terlebih dahulu fiksasi alat gerak

diletakkan hewan diatas wadah datar yang sudah diberi alas koran/kresek

dilakukan insisi pada bagian abdomen hewan dengan menggunakan gunting


bedah

dilakukan pengamatan pada masing-masing organ hewan yang meliputi ukuran,

bentuk, letak dan ada tidaknya abnormalitas

diletakkan organ ke dalam pot organ yang telah disiapkan untuk dikoleksi

dibersihkan kembali meja praktikum yang digunakan dan alat-alat dikembalikan


pada tempatnya
HASIL
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Berdasarkan praktikum nekropsi rodensia yang telah dilakukan didapatkan hasil
adalah sebagai berikut:

Organ Keterangan

Esophagus Normal

Trakea Normal

Pulmo Normal

Cor Normal

Hepar Ada bercak putih kekuningan


dan massa padat

Limpa Normal

Lambung Normal

Ren Normal

Duodenum Normal

Pankreas Normal

Jejunum Normal

Ileum Normal

Colon Normal

Keterangan:

Pada daerah dermal (subkutan daerah thorax) terdapat


benjolan berupa nekrosis kaseosa.
Dilakukan pengamatan pada tubuh Rodensia direbahkan secara
bagian luar rodensia yang diduga dorso-ventral untuk diamati
sakit. bagian ventral tubuh.

Dilakukan eutanasi melalui emboli Keadaan roden yang telah di


jantung menggunakan spuit. eutanasi dan siap untuk dilakukan
pembedahan.

Dilakukan fiksasi alat gerak Keadaan abdomen yang telah


sebelum diinsisi. Insisi dimulai dari diinsisi dan diamati organ dalam dari
abdomen bagian bawah keatas tubuh rodensia.
hingga ke cavum thorax.
Diambil organ hepar yang dicurigai Pada subkutan daerah thorax
abnormal. Adanya bercak putih terdapat benjolan berupa nekrosis
kekuningan dan massa padat pada kaseosa.
salah satu hepar.

Dikoleksi organ yang diduga


abnormal ke dalam pot organ berisi
cairan formalin.
4.2. Pembahasan

Pada praktikum nekropsi rodensia yang telah dilaksanakan pada 13 Maret 2017 kali
ini metode yang digunakan dalam mengeutanasi rodensia adalah dengan melakukan emboli
jantung. Pemilihan eutanasi menggunakan emboli jantung bertujuan untuk mengurangi rasa sakit
yang akan diderita pada hewan coba, mengingat hewan yang kelompok kami pakai adalah
rodensia berukuran sedang (marmut), sehingga apabila menggunakan metode dislokasi oksipital
akan lebih sulit dan hewan akan merasakan sakit berkali-kali. Pada saat praktikum didapatkan
hasil nekropsi pada rodensia adalah organ-organ seperti trakea, esofagus, pulmo, lambung,
limpa, pankreas, ren dan organ pencernaan (duodenum, ileum, jejunum, colon) dalam kondisi
yang normal, tetapi pada hepar ditemukan adanya bercak putih kekuningan dan adanya massa
padat pada salah satu bagian hepar.

Sebelum dilakukan eutanasi, rodensia tersebut ternyata memiliki benjolan pada daerah dermal
(subkutan daerah thorax) yang ketika ditekan terasa padat kenyal. Setelah benjolan tersebut
diinsisi, benjolan tersebut berupa nekrosis kaseosa.

Berdasarkan hasil nekropsi tersebut diketahui bahwa hepar marmut dalam keadaan
kurang baik atau abnormal dimana terdapat penambahan jaringan fibrosis dengan terbentuknya
nodul kecil. Bercak-bercak putih kekuningan tersebut ketika dibelah menunjukkan jaringan yang
menuju fibrosis. Dengan kata lain bercak tersebut apabila dibiarkan terus menerus akan
menimbulkan nodul-nodul kecil. Sirosis hepatik adalah fase lanjutan penyakit hepar kronis yang
ditandai dengan proses inflamasi, nekrosis sel hepar, usaha regenerasi dan penambahan jaringan
fibrosis dengan terbentuknya nodul yang menganggu susunan lobulus hepar (Setiawan, 2007).
Hepar merupakan sistem penyaringan darah dari vena portal dan arteri hepatik. Darah masuk ke
dalam hepar melalui triad portal mengalir melewati lobus hepar yang merupakan unit terkecil
dalam sistem ini dan juga ke vena sentral. Lobus hepar berbentuk heksagonal dan terdiri dari
cabang-cabang terkecil vena portal dan arteri hepatik. Di lobus hepatik, hepatosit terangkai pada
plate dari perifer sampai vena sentral. Arteri hepatik mensuplai oksigen ke triad portal.
Hepatosit perifer yang lebih banyak menerima oksigen dibandingkan dengan sel didekat vena
sentral. Darah arteri dan vena dari portal triad melewati lobus hepatik menuju vena sentral
melalui sinusoid hepatik. Setelah melewati lobus hepatik, darah berkumpul di vena sentral,
bersatu di vena hepatik kemudian memasuki vena cava inferior.

Pada kelainan hepatoselular, sel stellate yang normalnya menyimpan retinoid seperti
vitamin A, menjadi teraktivasi dan melepas retinoidnya serta memacu pembentukan fibroblast.
Zat ini kemudian menjadi sumber utama kolagen dan matriks protein lain yang berproliferasi
selama fibrosis. Adanya materi fibrosa diantara sinusoid akan mengganggu aliran darah yang
melewati lobus hepatik. Apabila kemudian terjadi penumpukan jaringan fibrosa maka tahanan
aliran darah portal meningkat. Hasilnya yaitu terjadi pengerasan dan peningkatan tekanan darah
portal. Sirosis juga dapat terjadi karena adanya perubahan pada mediator vasodilatasi dan
vasokonstriksi yang mengatur aliran darah pada sinusoid hepar. Kombinasi antara penurunan
produksi NO (Nitric Oxide) sebagai vasodilator dan meningkatnya endotelin sebagai
vasokonstriktor yang akan menyebabkan peningkatan tahanan aliran darah dan peningkatan
aliran darah pada vaskularisasi limfa (Sease et al, 2008).

Selain sirosis hati, dapat juga dicurigai marmut tersebut terinfeksi oleh bakteri
Yersinia pseudotuberculosis. Yersiniosis dapat ditularkan melalui kontak dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi, alas tidur, secara inhalasi dan goresan kulit. Infeksi yersinia dapat
cepat menyebar dan diagnosis cukup sulit dilakukan karena marmut tidak menunjukkan tanda
spesifik awal terjadinya penyakit dan diperlukan tes lanjutan seperti tes darah untuk memastikan
hewan terinfeksi yersinia atau tidak. Pada beberapa kasus pada marmut yang terinfeksi
menunjukkan gejala seperti bengkak pada limfanodus di leher atau bahu, diare, kehilangan berat
badan dan adanya bakteri pada pembuluh darah (bakterimia) (Hawkins, 2012).

Selain pada hepar, ditemukan adanya benjolan yang berupa nekrosis kaseosa pada
daerah dermal di cranial cavum thorax. Adanya abnormalitas yang ditemukan seperti nekrosis
tersebut dapat diketahui dari ciri-ciri sel yang mengalami nekrosis antara lain kromatin
menggumpal, pembengkakan organel, kerusakan membran sel, dan keluarnya isi sel. Proses
nekrosis sel dapat muncul sebagai respon terhadap rangsangan spesifik misalnya stres oksidatif.
Stres oksidatif ialah suatu gangguan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang
menyebabkan rusaknya sel potensial (Manning, 1984). Nekrosis merupakan kematian sel sebagai
akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma misalnya kekurangan oksigen, perubahan suhu
yang ekstrem, dan cedera mekanis. Dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol
yang dapat menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi
menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Perubahan morfologis sel yang mati tergantung
dari aktivitas enzim lisis pada jaringan yang nekrotik. Jaringan sel-sel nekrotik yang hancur
tetapi pecahannya tetap berada pada tempatnya selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun dan tidak bisa dicerna dan jaringan nekrotik ini tampak seperti keju yang hancur. Jenis
nekrosis ini disebut dengan nekrosis kaseosa (Girling, 2003).
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum nekropsi pada rodentia yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa ketika marmut yang telah di nekropsi didapatkan adanya bercak putih
kekuningan dan terdapat massa padat pada hepar serta adanya benjolan berupa nekrosis
kaseosa di bagian dermal daerah cranial cavum thorax. Sedangkan organ dalam lain berupa
trakea, esofagus, lambung, limpa, pulmo, ginjal, dan organ pencernaan (duodenum, ileum,
jejunum, colon) dalam kondisi yang normal. Ditemukannya hepar yang terdapat bercak putih
kekuningan dan adanya massa padat dapat dikarenakan infeksi dari bakteri seperti sirosis hati
atau terinfeksi oleh bakteri Yersinia pseudotuberculosis.
DAFTAR PUSTAKA

Capello, V. 2002. Common Dermatologic Disorders of Pet Rodents. Exotic DVM 4,


3337.
Girling, S. 2003. Common Diseases of Small Mammals. In Veterinary Nursing of
Exotic Pets. Ed Girling, S. Oxford, UK: Blackwell Publishing, pp 257284.

Hawkins, M. G. & Bishop, C. R. 2012. Disease Problems of Guinea Pigs. In:


Ferrets, Rabbits, and Rodents. Clinical Medicine and Surgery. 3rd edn. Eds K. E.
Quesenberry, J. W. Carpenter. St. Louis: W. B. Saunders. pp 295310.

Manning, P. J, Wagner, J. E. & Harkness, J. E. 1984. Biology And Diseases of


Guinea Pigs. In Laboratory Animal Medicine. Eds Fox, J. G., Cohen, B. J., Loew, F. M.
Orlando: Academic Press, pp 14917

Sease, J.M., Timm, E.G., and Stragand, J.J. 2008. Portal Hypertension and
Cirrhosis. In : DiPiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M.,
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Ed. 7th, New York : McGrawhill Co.

Setiawan, Poernomo Budi. 2007. Sirosis Hati. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai