Referat Cor Pulmonal
Referat Cor Pulmonal
Referat Cor Pulmonal
PENDAHULUAN
Cor pulmonale sangat erat kaitannya dengan penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK). Sampai saat ini, PPOK merupakan penyebab utama terjadinya penyakit
cor pulmonale. Keadaan yang didahului hipertensi pulmonal dan berakibat pada
kelainan struktur lanjutan berupa dilatasi ventrikel jantung pada kondisi kronik
memberikan gambaran radiologi yang hampir menyerupai keadaan-keadaan pada
penyakit-penyakit jantung lainnya.
Dengan demikian, referat ini dibuat dengan tujuan untuk menambah ilmu
pengetahuan para dokter dalam memahami gambaran radiologi konvensional
penyakit cor pulmonal yang membantu dalam menegakkan diagnosis dengan lebih
tepat sehingga bermanfaat dalam melakukan penatalaksaan secara optimal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Jantung
Ruangan jantung bagian atas (atrium) dan pembuluh darah besar (arteri
pulmonalis dan aorta) membentuk dasar jantung. Atrium secara anatomi terpisah
dari ruangan jantung sebelah bawah (ventrikel) oleh suatu anulus fibrosus (tempat
terletaknya keempat katup jantung dan tempat melekatnya katup maupun otot).
Jantung mempunyai empat katup yang berfungsi untuk mempertahankan airan
darah searah melalui bilik-bilik jantung. Ada dua jenis katup, katup
atrioventrikularis (AV) yang memisahkan atrium dengan ventrikel, dan katup
semilunaris, yang memisahkan artera pulmonalis dan aorta dari ventrikel yang
bersangkutan. Katup-katup ini membuka dan menutup secara pasif, menanggapi
perubahan tekanan dan volume dalam bilik dan pembuluh darah jantung.2
2
Essentials of Radiology. 2nd ed. e-book. 2007.
Gambar 2.1 Gambaran Radioanatomi Jantung Proyeksi Posteroanterior
3
2.1.2 Paru-paru
Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan
bronkus utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir
vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan lebih sempit
dibandingkan dengan bronkus utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea
dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang
lagi menjadi bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya
menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung
alveoli (gambar 1). Pada penampakan foto polos thoraks cabang cabang bronkus
hanya akan terlihat seperti bayangan saluran-saluran berwarna gelap, dan biasanya
hanya dapat terlihat sebatas bronkus utama (gambar 3). Bronkiolus terminalis
memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin
tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru,
yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus respiratorius, yang
terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya, duktus
4
alveolaris yang seluruhnya dibatasi alveolus, dan sakus alveularis terminalis, yaitu
struktur terakhir paru.4
Terdapat dua unit parenkim paru yaitu lobulus paru dan asinus paru.
Lobulus paru ditunjukkan oleh struktur yang berasal dari bronkiolus kecil terdiri
atas 5-7 bronkiolus terminal dan struktur-struktur yang lebih distal. Sedangkan
asinus paru merupakan struktur yang muncul dari bronkiolus terminal tunggal dan
terdiri atas bronkiolus respiratorik dan alveolus (gambar 1). Bronkiolus respiratorik
dilapisi oleh epitel kuboid yang ikut berperan dalam pertukaran gas. Bronkiolus
respiratoris tersebut menuju ke dalam duktus alveolus. Sakus alveolus timbul
sebagai kantung-kantung luar sakular dari duktus alveolus dan bronkiolus
respiratorik. Dinding alveolus memiliki tebal 5-10 mikron dan dilapisi oleh sel
pneumosit tipe II yang merupakan penghasil surfaktan dan berproliferasi cepat bila
terjadi cedera alveolus (gambar 2). 4
5
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
PPOK adalah penyebab paling umum dari cor pulmonale kronis di Amerika
Utara. PPOK mengenai lebih dari 14 juta orang setiap tahunnya di Amerika serikat
dan merupakan penyebab utama kematian. Prevalensi sebenarnya pasien kor
pulmnal dengan PPOK sulit untuk didapat, namun diperkirakan antara 10-30%
daari seluruh pasien di rumah saki tuntuk gagal jantung di Amerika Serikat tiap
tahunnya adalah karena cor pulmonalee. Pasien dengan penyakit paru kronis
ditemukan lebih dari 40% memiliki faktor resiko cor pulmonalee. Prevalensi cor
pulmonale juga meningkat pada pasien hippoksemia, hiperkapnia, atau obstruksi
saluran nafas, dalam sebuah percobaan Administrasi Veteran 1966, pasien dengan
PPOK dan cor pulmonalee memiliki angka kematian 73% tiap 4 tahunnya.7
6
cor pulmonale, jumlah tenaga profesional dokter yang juga terbatas, sehingga angka
kejadian cor pulmonale di Indonesia sendiri saat ini masih belum dapat ditetapkan.
2.3 Etiologi
2.4 Patofisiologi
Pada PPOK akan terjadi penurunan vascular bed paru, hipoksia, dan
hiperkapnea/ asidosis respirtorik. Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan
pembuluh darah arteri paru, demikian juga asidosis respiratorik. Akan terjadi
hipoksia akan menimbulkan polisitemia sehingga visikositas darah akan
meningkat. Visikositas darah yang meningkat ini pada akhirnya juga akan
meningkatkan tekanan pembuluh darah arteri paru. Jadi, adanya penurunan
vaskuler bed, hipoksia dan hiperkapnea akan mengakibatkan tekanan darah (arteri
pulmonal), hal ini disebut dengan hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal
menyebabkan beban tekanan pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel kanan
melakukan kompensasi berupa hipretrofi dan dilatasi. Keadaan ini yang disebut
dengan Cor Pulmonal. Jika mekanisme kompensasi ini gagal maka terjadilah gagal
jantung kanan.1
7
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang obyektif dan teliti untuk bisa
menegakkan diagnosis cor pulmonal dengan tepat.
Anamnesis yang teliti akan didapatkannya ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas
waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan
akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul
bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas.
Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema
alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal
jantung kanan.2
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena
adanya peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas
paru-paru (fibrosis penyakit paru atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK).
Nyeri dada atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia
pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena
rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi
akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-
gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.2
Pemeriksaan fisik selanjutnya adalah dengan melihat keadaan umum pasien
bagaimana, apakah tampak sakit berat, sedang atau ringan. Lalu bagaimana
kesadaraan apakah kompos mentis, apatik, samnolen sopor, koma, derilium. Dan
pastinya juga dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital: suhu, memeriksa tekanan
darah, frekuensi pernafasan, frekuensi nadi.
a. Inspeksi
Diameter dinding dada yang membesar (barrel chest), sianosis, jari tabuh.2
b. Palpasi
Edema tungkai, peningkatan vena jugularis yang menandakan terjadinya
gagal jantung kanan dan ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan.
Hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan. 2
8
c. Perkusi
Pada paru bisa terdengar hipersonor pada PPOK, pada keadaan yang berat
bisa menyebabkan asites. 2
d. Auskultasi
Pada paru ditemukan wheezing dan rhonki, bisa juga ditemukan bising
sistolik di paru akibat turbulensi aliran pada rekanalisasi pembuluh darah
pada chronic thromboembolic pulmonary hypertension. Terdapatnya
murmur pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan
merupakan tanda yang lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi,
maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan
murmur akibat insufisiensi trikuspid. 2
Fase I
Pada fase ini belum ada gejala klinis yang jelas, selain ditemukannya gejala
awal penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), bronkitis kronis, tuberkulosis
paru, bronkiektasis dan sejenisnya. Pasien biasanya sudah berumur lebih
dari 50 tahun dan sering dalam anamnesis terdapat kebiasaan banyak
merokok. 8
Fase II
Pada fase ini mulai ditemukan tanda-tanda berkurangnya ventilasi paru.
Gejalanya antara lain, batuk lama yang berdahak terutama bronkiektasis,
sesak napas, mengi, sesak napas ketika berjalan menanjak atau setelah
banyak bicara. Sedangkan sianosis masih belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan kelainan berupa, hipersonor, suara napas berkurang, ekspirasi
memanjang, ronki basah dan kering, mengi. Letak diafragma rendah dan
denyut jantung lebih redup. Pemeriksaan radiologi menunjukkan
berkurangnya corakan bronkovaskular, letak diafragma rendah dan
mendatar, posisi jantung vertikal. 8
Fase III
9
Pada fase ini terjadi gejala hipoksemia yang lebih jelas. Didapatkan keluhan
berkurangnya nafsu makan, berat badan berkurang, dan merasa cepat lelah.
Pada pemeriksaan fisik nampak sianotik, disertai sesak dan tanda-tanda
emfisema paru yang lebih nyata. Pemeriksaan laboratorium menunjukan
adanya polisistemia. 8
Fase IV
Ditandai dengan hiperkapnia, gelisah, mudah tersinggung kadang
somnolen. Pada keadaan yang berat dapat terjadi koma dan kehilangan
kesadaran. 8
Fase V
Pada fase ini nampak kelainan jantung, dan tekanan arteri pulmonal
meningkat. Tanda-tanda peningkatan kerja ventrikel, namun fungsi
ventrikel kanan masih dapat kompensasi. Selanjutnya terjadi hipertrofi
ventrikel kanan kemudian terjadi gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik
nampak sianotik, bendungan vena jugularis, hepatomegali, edema tungkai
dan kadang asites. 8
Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan,
dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali yang
muncul pada gambaran radiografi sering tertutup oleh gambaran hiperinflasi paru
yang menekan diafragma sehingga jantung seakan normal karena proyeksi foto
memberikan gambaran jantung ke arah vertikal. Hal ini dikarenakan diafragma
yang rendah dan datar sebagai akibat meningkatnya volume paru yang berupa
hiperinflasi paru pada foto.2
10
Hipertrofi ventrikel kanan juga mempersempit ruang retrosternal. Namun, beberapa
keadaan ini tidak hanya terjadi karena pembesaran ventrikel kanan, bisa juga terjadi
penyempitan ruang retrosternal karena keadaan kyphoscoliosis, hiperinflasi paru-
paru dan penyakit intersisial paru lainnya. Untuk mendapatkan pembesaran
ventrikel kanan dengan lebih jelas, dilakukan foto dengan posisi oblik atau lateral.10
11
Textbook of Radiology and Imaging. Volume 1. e-book. 2003
Gambar 2.5 Hipertensi Arteri Pulmonal. Tampak gambaran pembesaran melebihi
aorta dan terkalsifikasi. Keadaan ini terjadi pada hipertensi pulmonal yang berat
dan kronik.
12
ventrikel kanan yang berada tepat dibelakang sternum (retrosternal) yang bila
terjadi pembesaran volume akan menunjukkan gambaran perluasan organ jantung
memenuhi rongga retrosternal.2
13
(B) Foto Proyeksi Lateral. RA (Right Atrium), RV (Right Ventricle), T
(Tricuspid), M (Mitral), LA (Left Atrium), LV (Left Ventricle).
14
arteriogram, pada pasien yang sama. Gambaran batas semakin jelas pada arteri
Pulmonalis kanan, menunjukkan obstruksi komplit. Batas jelas lain tampak pada
arteri yang memperdarahi lobus kiri atas. Corakan bronkovaskular paru menurun
pada lapangan paru kanan dan lapangan paru kiri atas.
15
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohormonal. Vasokontriksi dan retensi air untuk sementara
waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload
akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum starling. Apabila
keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload dan hipertensi disertai
dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal
jantung yang tidak terkompensasi.5
16
Essentials of Radiology. 2nd ed. e-book. 2007.
Gambar 2.12 Edema pulmoner pada Gagal Jantung Kongestif. (A) Tampak cairan
yang masif (overload), penebalan pembuluh disekitar hilus, dikenal sebagai bat-
wings appearence. Perburukan dari edema pulmoner adalah (B) air
bronchograms dimana cairan memenuhi alveoli.
3. Perikarditis
Perikarditis adalah peradangan perikard parietalis, viseralis atau
keduanya. Respon perikard terhadap peradangan bervariasi dari akumulasi
cairan atau darah (efusi perikard) deposisi fibrin, proliferasi jaringan
fibrosa, pembentukan granuloma atau klasifikasi. 6
Salah satu dari reaksi radang pada perikarditis akut adalah
penumpukan cairan (eksudasi) di dalam rongga perikard yang disebut
sebagai efusi perikard. Efek hemodinamik efusi perikard ditentukan oleh
jumlah dan kecepatan pembentukan cairan perikard. Efusi yang banyak atau
tiumbul cepat akan menghambat pengisian ventrikel, penurunan volume
akhir diastolik sehingga curah jantung sekuncup dan semenit kurang. 6
Kompensasinya adalah takikardia, tetapi pada tahap berat atau kritis
akan menyebabkan gangguan sirkulasi dengan penurunan tekanan darah
serta gangguan perfusi organ dengan segala akibatnya yang disebut sebagai
tamponad jantung. Bila reaksi radang ini berlanjut terus menerus, perikard
mengalami fibrosis, jaringan parut luas, penebalan, kalsifikasi, dan juga
terisi eksudat yang akan menghambat proses diastolik ventrikel,
17
mengurangi isi sekuncup dan semenit serta mengakibatkan kongesti
sistemik (perikarditis konstriktifa). 6
2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan
kelangsungan hidup belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi
oksigen mengurangi vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru
yang kemudian meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi
18
oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran
oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya. 1
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National
Institute of Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan
24 jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan
pasien tanpa terapi oksigen.1
2. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien cor pulmonale bila disertai
gagal jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel
kanan pada pasien cor pulmonale dengan fungsi ventrikel normal, hanya
pada pasien cor pulmonale dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun,
digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian
digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia. 1
3. Diuretik
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung
kanan. Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat
menimbulkan alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Disamping itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi
kekurangan cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah
jantung menurun. 1
4. Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis
alfa adrenergik, dan postaglandin. Bekerja langsung merelaksasikan otot
polos arteri menyebabkan vasodilatasi, namun pemakainnya belum
direkomendasikan secara rutin.1
5. Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat
disfungsi dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi
pada pasien. 1
19
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Harun S, Ika PW. Kor pulmonal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
V. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1842-4.
2. Fauci AS, Dennis LK, dkk. Heart failure and cor pulmonale. Dalam:
Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 13. United States of
America: The McGraw-Hill Companies Inc; 2008.p. 217-244
3. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2005.h. 173.
4. Kumar, Clark. Cardiovascular disease. Clinical medicine. 6th ed.
Philadelphia.: Elsevier Saunders; 2005.p. 725-7.
5. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan dan manajemen.
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2007.h. 53-4.
6. Panggabean MM. perikarditis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
K Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid
II. Jakarta: FKUI; 2009.h. 1725-6.
7. Marie MB, Alejandro C. Arroliga MD, Herbert P, and Richard A. cor
pulmonale. Diunduh dari www.medscape.com 06 september 2013.
8. Mubin AH. Kor pulmonale kronik. Dalam: Panduan praktis ilmu penyakit
dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: EGC; 2001.h. 125-6.
9. Mettler, FA. Jr. Mettler: Essentials of Radiology. 2nd edition. Elsevier.
Philadelphia, Pennsylvania. 2005.
10. Bhattacharya, A. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine: Cor
Pulmonale. Vol 5 no. 2. 2004. Diakses 10 Maret 2016.
21
REFERAT
Disusun oleh:
Anggita Patra Ali
H1AP09004
Pembimbing:
dr. Sulastri Chen Panjaitan, Sp. Rad
22