Keratokonjungtivitis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

Presentasi Kasus

SEORANG BAYI PEREMPUAN USIA 6 BULAN DENGAN


KERATOKONJUNGTIVITIS BACTERIALIS OCCULI DEXTRA DAN
SINISTRA

Oleh:

Yusiska Wahyu Indrayani G99142054


Fajar Shodiq Irsyad Fauzi G99142055
Dea Saufika Najmi G99142056
Atika Sugiarto G99142057
Alifa Rizka Apriliananda G99142058

Pembimbing :

Raharjo Kuntoyo, dr., Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Keratokonjungtivitis yang merupakan peradangan pada kornea dan


konjungtiva yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor dan seringkali mengalami
kekambuhan. Keratoconjungtivitis sicca digunakan ketika peradangan karena
kekeringan. Hal ini terjadi dengan 20% pasien RA. Vernal
keratokonjungtivitis "(VKC) digunakan untuk merujuk keratokonjungtivitis
terjadi di musim semi , dan biasanya dianggap karena alergen; Atopik
keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi dari atopi; Epidemi
keratokonjunctivitis disebabkan oleh infeksi adenovirus; Keratokonjungtivitis
limbus superior diduga disebabkan oleh trauma mekanik.1
Konjungtivitis sendiri yang merupakan peradangan pada konjungtiva
merupakan penyakit mata yang paling sering di dunia dan menyerang semua usia.
2% dari seluruh kunjungan ke dokter adalah untuk pemeriksaan mata dengan 54%
nya adalah antara konjungtivitis atau abrasi kornea. Untuk konjungtivitis yang
infeksius, 42% sampai 80% adalah bakterial, 3% chlamydial, dan 13% sampai
70% adalah viral. Konjungtivitis viral menggambarkan hingga 50% dari seluruh
konjungtivitis akut di poli umum. konjungtivitis dapat pula bertambah parah
menjadi infeksi akut yang mengganggu penglihatan apabila telah terjadi
komplikasi seperti adanya keterlibatan kornea.1
Insidensi keratokonjungtivitis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari
pasien dengan masalah mata yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang
diperiksa di klinik mata. Hal yang perlu mendapat perhatian ialah bagaimana cara
penatalaksanaan kasus ini agar dapat mengalami penyembuhan maksimal dan
mencegah terjadinya rekurensi ataupun komplikasi yang dapat mengurangi
kualitas hidup.2

BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : An. S
Umur : 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jaten, Karanganyar
Tanggal periksa : 26 September 2016
No. RM : 01333847

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama :
Kedua mata nrocos sejak 1 hari yang lalu

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Moewardi dengan keluhan
kedua mata nrocos sejak 1 hari yang lalu. Keluhan berawal pada mata kiri
merah kemudian diikuti mata kanan. Setelah itu diikuti dengan nrocos dan
blobok pada kedua mata. Saat bangun tidur kedua mata pasien lengket dan
tidak dapat dibuka. Pasien juga mengalami demam dan pilek sejak 2 hari
yang lalu. Mata merah (+/+), nrocos (+/+), blobok (+/+).

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat sakit jantung : (+) Patent Foramen Ovale
Riwayat trauma : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata : disangkal

D. Kesimpulan Anamnesis

OD OS

I. Proses Inflamasi Inflamasi P


Lokalisasi Kornea, konjungtiva Kornea, konjungtiva E

Sebab Bakterial Bakterial M


E
Perjalanan Akut Akut
R
Komplikasi Belum ditemukan Belum ditemukan
I
KSAAN FISIK
A. Kesan umum
Keadaan umum baik, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Vital Sign
RR : 20 x/menit HR :112x/menit T : 37.40C

C. Pemeriksaan subyektif
OD OS

A. Visus Sentralis

1. Visus sentralis jauh Sde Sde

a. pinhole Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

c. refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

B. Visus Perifer
1. Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

2. Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

3. Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Obyektif
1. Sekitar mata OD OS

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. luka Tidak ada Tidak ada

c. parut Tidak ada Tidak ada

d. kelainan warna Tidak ada Tidak ada

e. kelainan bentuk Tidak ada Tidak ada

2. Supercilia

a. warna Hitam Hitam

b. tumbuhnya Normal Normal

c. kulit Sawo matang Sawo matang

d. gerakan Dalam batas Dalam batas


normal normal

3. Pasangan bola mata


dalam orbita

a. heteroforia Sde sde

b. strabismus Sde sde

c. pseudostrabismus Sde sde

d. exophtalmus sde sde

e. enophtalmus sde sde

4. Ukuran bola mata

a. mikroftalmus sde sde

b. makroftalmus sde sde


c. ptisis bulbi sde sde

d. atrofi bulbi sde sde

5. Gerakan bola mata

a. temporal sde sde

b. temporal superior sde sde

c. temporal inferior sde sde

d. nasal sde sde

e. nasal superior sde sde

f. nasal inferior sde Sde

6. Kelopak mata

a. pasangannya

1.) edema Ada Ada

2.) hiperemi Tidak ada Tidak ada

3.) blefaroptosis Tidak ada Tidak ada

4.) blefarospasme Tidak ada Tidak ada

b. gerakannya

1.) membuka Tidak tertinggal Tidak tertinggal

2.) menutup Tidak tertinggal Tidak tertinggal

c. rima

1.) lebar sde Sde

2.) ankiloblefaron Tidak ada Tidak ada

3.) blefarofimosis Tidak ada Tidak ada

d. kulit

1.) tanda radang Tidak ada Tidak ada

2.) warna Sawo matang Sawo matang

3.) epiblepharon Tidak ada Tidak ada


4.) blepharochalasis Tidak ada Tidak ada

e. tepi kelopak mata

1.) enteropion Tidak ada Tidak ada

2.) ekteropion Tidak ada Tidak ada

3.) koloboma Tidak ada Tidak ada

4.) bulu mata Dalam batas Dalam batas


normal normal

7. sekitar glandula
lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

c. tulang margo tarsalis Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

8. Sekitar saccus
lakrimalis

a. tanda radang Tidak ada Tidak ada

b. benjolan Tidak ada Tidak ada

9. Tekanan intraocular

a. palpasi Kesan normal Kesan normal

b. tonometri schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan

10. Konjungtiva

a. konjungtiva
palpebra superior

1.) edema ada ada

2.) hiperemi sde sde

3.) sekret ada ada

4.) sikatrik sde sde

b. konjungtiva
palpebra inferior

1.) edema ada ada

2.) hiperemi sde sde

3.) sekret ada ada

4.) sikatrik sde sde

c. konjungtiva fornix

1.) edema sde sde

2.) hiperemi sde sde

3.) sekret ada ada

4.) benjolan Tidak ada Tidak ada

d. konjungtiva bulbi

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada

3.) sekret ada ada

4.)injeksi Tidak ada Tidak ada


konjungtiva

5.) injeksi siliar Tidak Ada Tidak Ada

e. caruncula dan plika


semilunaris

1.) edema Tidak ada Tidak ada

2.) hiperemis Tidak ada Tidak ada

3.) sikatrik Tidak ada Tidak ada

11. Sclera

a. warna Putih Putih

b. tanda radang Tidak ada Tidak ada

c. penonjolan Tidak ada Tidak ada


12. Kornea

a. ukuran sde sde

b. limbus Infiltrat (+) Infiltrat (+)

c. permukaan sde Sde

d. sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan

e. keratoskop ( placido Tidak dilakukan Tidak dilakukan


)

f. fluorecsin tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

g. arcus senilis Tidak ada Tidak ada

13. Kamera okuli


anterior

a. kejernihan sde sde

b. kedalaman sde sde

14. Iris

a. warna sde sde

b. bentuk sde sde

c. sinekia anterior sde sde

d. sinekia posterior sde sde

15. Pupil

a. ukuran sde sde

b. bentuk sde sde

c. letak sde sde

d. reaksi cahaya sde sde


langsung

e. tepi pupil sde sde

16. Lensa

a. ada/tidak sde sde


b. kejernihan sde sde

c. letak sde sde

e. shadow test sde sde

17. Corpus vitreum

a. Kejernihan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. Reflek fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

II. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS

A. Visus sentralis sde Sde


jauh
B. Visus perifer

Konfrontasi tes Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Proyeksi sinar Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Persepsi warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C. Sekitar mata Dalam batas normal Dalam batas normal

D. Supercilium Dalam batas normal Dalam batas normal

E. Pasangan bola Sde Sde


mata dalam orbita
F. Ukuran bola Sde Sde
mata
G. Gerakan bola Sde Sde
mata
H. Kelopak mata Tampak edema pada Tampak edema pada
palpebra palpebra

I. Sekitar saccus Sde Sde


lakrimalis
J. Sekitar glandula Sde Sde
lakrimalis
K. Tekanan Dalam batas normal Dalam batas normal
intarokular
L. Konjungtiva Edema, tampak sekret Edema, tampak sekret
palpebra
M. Konjungtiva Tampak sekret Tampak sekret
bulbi
N. Konjungtiva Tampak sekret Tampak sekret
fornix
O. Sklera Sde Sde

P. Kornea Infiltrat (+) Infiltrat (+)

Q. Camera okuli Sde Sde


anterior
R. Iris Sde Sde

S. Pupil Sde Sde

T. Lensa Sde Sde

U. Corpus vitreum Tidak dilakukan Tidak dilakukan


OD OS

III. DIAGNOSIS BANDING


1. ODS Keratokonjungtivitis bakterial
2. ODS Konjungtivitis bakterial
3. ODS Trachoma

IV. DIAGNOSIS
ODS Keratokonjungtivitis bakterial

V. TERAPI
Non Medikamentosa:

1. Menjaga kebersihan dan kelembaban mata


2. Kompres mata dengan air hangat

Medikamentosa:

1. LFX ED tiap 2 jam ODS


2. Cendomycetin ED ODS

VI. PLANNING
Kontrol 3 hari lagi untuk evaluasi pengobatan

VII. PROGNOSIS
OD OS

1. Ad vitam Bonam Bonam

2. Ad fungsionam Bonam Bonam

3. Ad sanam Bonam Bonam

4. Ad kosmetikum Bonam Bonam


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONJUNGTIVITIS
1. Definisi
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu
adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada
konjungtiva, selaput bening yang menutupi bagian
berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam
kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai
dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar
begitu cepat dan biasanya menyebabkan mata rusak.
Beberapa jenis Konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri,
tapi ada juga yang memerlukan pengobatan.

Konjungtivitis dapat mengenai pada usia bayi maupun


dewasa. Konjungtivitis pada bayi baru lahir, bisa
mendapatkan infeksi gonokokus pada konjungtiva dari
ibunya ketika melewati jalan lahir. Karena itu setiap bayi
baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat,
povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin)
untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkan
konjungtivitis gonokokal. Pada usia dewasa bisa
mendapatkan konjungtivitis melalui hubungan seksual
(misalnya jika cairan semen yang terinfeksi masuk ke
dalam mata). Biasanya konjungtivitis hanya menyerang
satu mata. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah infeksi
mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati
bisa terbentuk ulkus kornea, abses, perforasi mata bahkan
kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis gonokokal bisa
diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang
mengandung antibiotik3.

2. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang
membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan
melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari
bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata
(kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan
berubah merah saat terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri
dari tiga bagian:

1. Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan


posterior dari palpebra).

2. Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan


anterior bola mata).

3. Forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan


antara bagian posterior palpebra dan bola mata).

Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar


sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat dapat
digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan.
Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya.
Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang
mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air
mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi
bagi kornea.

3. Tanda Konjungtivitis3
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda
asing, yaitu tergores atau panas, sensasi penuh di sekitar
mata, gatal dan fotofobia. Tanda penting konjungtivitis
adalah hiperemia, epifora, eksudasi, pseudoptosis,
hipertrofi papiler, kemosis (edem stroma konjungtiva),
folikel (hipertrofi lapis limfoid stroma), pseudomembranosa
dan membran, granuloma, dan adenopati preaurikuler.

4. Klasifikasi konjuntivitis
a. Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis bakteri akut disebabkan oleh
streptococcus, Corynebacterium diphtherica,
pseudomonas, neisseria dan haemophilus.

Gambaran klinis berupa konjungtivitis mukopurulen


dan purulen. Pada kasus akut dapat juga menjadi
kronis. Konjungtivitis bakteri ditandai hiperemi
konjungtiva, edema kelopak, papil dan kornea yang
jernih.

Pada konjungtivitis yang disebabkan gonorrea, infeksi


yang terjadi lebih berat, radang konjungtiva lebih berat
dan disertai sekret purulen. Pada neonatus infeksi
terjadi saat berada pada jalan lahir, ditularkan oleh ibu
yang menderita penyakit GO. Pada orang dewasa
penularan melalui hubungan seksual.

Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bakteri


tergantung dari temuan agen mikrobiologisnya. Sambil
menunggu hasil laboratorium, dapat diberikan
antibiotik topikal. Setelah hasil laboratorium diperoleh,
dapat diberikan terapi sistemik2.
b. Konjungtivitis virus
i. Demam faringokonjungtival
Demam faringokonjungtival ditandai oleh
demam 38,3-400C, sakit tenggorokan dan
konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata.
Folikuler sering pada kedua konjungtiva dan mukosa
faring. Mata merah dan berair sering terjadi.
Limfadenopati preaurikuler yang tidak nyeri tekan
khas ditemukan pada demam faringokonjungtival1.

Penyakit ini berjalan akut dengan gejala


hiperemi konjungtiva, folikel konjungtiva, sekret
serous, fotofobia, kelopak bengkak dengan
pseudomembran5,6.

Pengobatan spesifik tidak diperlukan karena


dapat sembuh sendiri. Biasanya hanya diberi
antibiotik dan terapi simtomatik3.

ii. Keratokonjungtivitis epidemi


Penyakit ini disebabkan oleh adenovirus 8 dan
19. Menyerang pada kedua mata. Tahap awal infeksi
pasien merasa nyeri sedang dan mengeluarkan air
mata diikuti 5-14 hari kemudian merasa fotofobia,
keratitis epitel dan kekeruhan sub epitel. Pada
penyakit ini khas ditemukan nodus preaurikuler yang
nyeri tekan. Fase akut ditandai edema palpebra,
kemosis dan hiperemi konjungtiva. Dapat juga
terbentuk pseudomembran dan diikuti
simblefaron2,3.

Konjungtivitis epidemi berlangsung paling lama


3-4 minggu. Kekeruhan kornea ditemukan ditengah
kornea dan menetap berbulan-bulan namun dapat
sembuh sempurna. Pada orang dewasa terbatas di
luar mata. Namun pada anak-anak dapat ditemukan
gejala infeksi seperti demam, diare, otitis media7.

Terapi spesifik belum ada, namun dapat


dikompres untuk mengurangi gejala. Kortikosteroid
sebaiknya dihindari. Antibiotik diberikan hanya bila
terjadi infeksi sekunder8,9.

iii. Konjungtivitis virus herpes simpleks


Biasanya dijumpai pada anak-anak. Ditandai
hiperemi, iritasi, sekret mukoid, nyeri dan fotofobia
ringan. Pada kornea tampak lesi epitelial yang
membentuk ulkus yang bercabang banyak
(dendritik). Vesikel herpes muncul pada palpebra dan
disertai oedema yang berat. Nodus preaurikuler nyeri
bila ditekan. Diagnosis pasti dengan ditemukannya
sel raksasa pada pengecatan Giemsa, kultur virus
dan sel inklusi intranuklear10.

Pengobatan yang sesuai dengan kompres


dingin. Pengobatan saat ini yang biasa diberikan
adalah asiklovir 400 mg/hari selama 5 hari. Steroid
sebaiknya dihindari karena memperburuk infeksi
herpes1,2.

c. Konjungtivitis Chlamydia2
Konjungtivitis chlamydia juga disebut trakoma,
disebabkan oleh Chlamydia trakomatis. Dapat
menyerang segala umur tapi biasanya pada anak
muda dan anak-anak. Cara penularan melalui kontak
langsung dengan penderita. Inkubasinya berkisar
selama 5-14 hari.

Pada pewarnaan giemsa terlihat sel


polimorfonukleat, tetapi juga dapat ditemukan sel
plasma, sel leber dan sel folikel (limfoblas). Sel leber
dapat menyokong diagnosa trakoma, tetapi sel
limfoblas adalah tanda diagnosa yang penting bagi
trakoma.

Pasien biasanya mengeluhkan fotofobia, mata gatal


dan berair. Penyakit ini mempunyai 4 stadium1,5:

1. Stadium insipien
Terdapat hipertrofi dengan folikel kecil-kecil pada
konjungtiva palpebra superior, yang
memperlihatkan penebalan dan kongesti
pembuluh darah konjungtiva. Sekret jernih dan
sedikit bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan
kornea jarang didapatkan.

2. Stadium established
Terdapat hipertrofi papiler dan folikel yang matang
dan besar pada konjungtiva palpebra superior.
Dapat ditemukan pannus konjungtiva (pembuluh
darah yang terletak di daerah limbus atas dengan
infiltrat) yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang
berat seolah-olah mengalahkan gambaran folikel
pada konjungtiva superior.

3. Stadium parut
Terdapat parut pada konjungtiva palpebra superior
yang terlihat sebagai garis putih halus sejajar
margo palpebra. Parut pada limbus kornea disebut
lengkungan herbert. Gambaran papil mulai
berkurang.

4. Stadium sembuh
Pembentukan parut sempurna pada konjungtiva
palpebra superior sehingga menyebabkan
perubahan bentuk tarsus yang dapat
mengakibatkan enteropion dan trikiasis.

Pengobatan trakoma adalah dengan tetrasiklin salep


mata, 2-4 kali sehari selama 3-4 minggu. Pencegahan
dilakukan dengan vaksinasi dan menjaga higienie2.

d. Konjungtivitis Alergi
i. Konjungtivitis vernalis
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I
yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren.
Pada kedua mata ditemukan papil besar dengan
permukaan rata pada konjungtiva palpebra, rasa
gatal yang berat, sekret gelatin berisi eosinofil,
pada kornea terdapat keratitis, neovaskularisasi dan
tukak indolen. Pada tipe limbal terdapat benjolan
pada daerah limbus dan bercak Horner Trantas
berwarna keputihan yang terdapat di dalam
benjolan6.

Penyakit ini mengenai pada usia muda dan


insidensi pada laki-laki sama dengan perempuan.
Dua bentuk utama berupa:

Bentuk Palpebra
Terutama mengenai konjungtiva palpebra
superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar
(Cobble stone) yang diliputi sekret mukoid.
Konjungtiva palpebra inferior edema dan hiperemi,
kelainan kornea lebih berat dari bentuk limbal. Papil
tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan
permukaan yang rata dengan kapiler
ditengahnya7,8.

Bentuk Limbal

Hipertrofi papil pada limbus superior dapat


membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan
Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel
kornea atau oesinofil pada bagian epitel limbus
kornea, terbentuk pannus dengan sedikit eosinofil 9.

Penyakit ini biasanya sembuh sendiri tanpa


diobati. Dapat diberi kompres dingin, natrium
bikarbonat dan vasokonstriktor. Bila terdapat tukak
kornea dapat diberi antibiotik untuk mencegah
infeksi sdekunder disertai siklopegik2,10.

ii. Konjungtivitis flikten1


Merupakan konjungtivitis nodular yang
disebabkan reaksi alergi tipe IV terhadap
tuberkuloprotein, stafilokokus, limfogranuloma
venerea, leismaniasis, infeksi parasit. Terdapat
kumpulan sel leukosit netrofil dikelilingi sel limfosit,
makrofag, dan kadang sel datia berinti banyak.
Flikten merupakan infiltrasi seluler subepitel yang
terutama terdiri atas sel limfosit.
Biasanya terlihat unilateral dan kadang
mengenai kedua mata. Di konjungtiva terlihat
sebagai bintik putih dikelilingi daerah hiperemi.
Gejalanya adalah mata berair, iritasi dengan rasa
sakit, fotofobia ringan hingga berat. Bila kornea ikut
terkena akan terjadi silau dan blefarospasme.

Penyakit ini dapat sembuh dalam 2 minggu dan


dapat kambuh, dan bila terkena kornea keadaan
akan lebih berat. Pengobatannya adalah steroid
topikal dan midriatik bila ada penyulit.

e. Konjungtivitis kimia atau iritan


Asap, asam, alkali, angin dan hampir semua
substansi iritan yang masuk ke saccus konjungtiva
dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan
umum adalah pupuk, sabun, deodoran, spray rambut,
berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu, asap dan
kabut dapat menyebabkan konjungtivitis ringan2,3.

Pada luka karena asam, asam mengubah sifat protein


jaringan dan berefek langsung. Alkali tidak mengubah
sifat protein dan cenderung cepat menyusup dan
menetap dalam jaringan konjungtiva, merusak selama
berjam-jam atau berhari-hari. Perlekatan konjungtiva
bulbi dan palpebra dan leukoma kornea lebih besar
terjadi bila penyebabnya alkali. Gejala utamanya
adalah rasa sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia
dan blefarospasme4.

Pembilasan segera dan menyeluruh pada saccus


konjungtiva dengan air atau larutan fisiologis. Dapat
juga diberi kompres dingin selama 20 menit setiap jam,
atropin 2 kali sehari,bila perlu beri analgetik sistemik.
Parut kornea mungkin memerlukan transpalantasi
kornea, simblefaron memerlukan bedah plastik. Luka
bakar berat pada konjungtiva dan kornea prognosis
buruk meskipun di bedah. Namun bila ditangani segera
prognosisnya lebih baik5-7.

f. Konjungtivitis hemoragik akut


Merupakan penyakit konjungtivitis disertai dengan
perdarahan konjungtiva. Penyakit ini pertama kali
ditemukan di Ghana, Afrika pada tahun 1969 yang
menjadi pandemik. Disebabkan oleh golongan
enterovirus-70 dari golongan pikornavirus RNA.
Disebabkan oleh golongan enterovirus-70 dari golongan
pikornavirus RNA dan virus coxsackie A24.

Masa inkubasi 24-48 jam dan gejala klinis mulai


timbul setelah 5-7 hari terinfeksi, dengan tanda-tanda
kedua mata iritatif, seperti kelilipan, dan sakit
periorbita. Edema kelopak, kemosis konjungtiva, sekret
seromukous, fotofobia disertai lakrimasi. Biasanya
mengenai mata bilateral.

Terdapat gejala akut dimana ditemukan adanya


konjungtiva folikuler ringan, sakit periorbita, keratitis,
adenopati preurikel, dan yang terpenting adanya
perdarahan subkonjungtiva yang dimulai dengan
petekia. Pada tarsus konjungtiva terdapat hipertrofi
folikular dan keratitis epitelial yang berkurang spontan
dala 3-4 hari.

Tanda dan gejala pada penyakit ini yaitu adanya


nyeri pada mata, fotofobia, sensasi benda asing,
keluarnya air mata berlebih, hiperemia, edema
palpebra, dan perdarahan subkonjungtival. Perdarahan
subkonjungtival tersebut biasanya menyebar, namun
perlahan mulai terlihat dari konjungtiva bulbar atas dan
menyebar hingga ke bawah. Selain itu, demam,
malaise, myalgia, folikel konjungtiva, limfadenopati
preaurikular, dan keratitis epitelial dapat juga
ditemukan pada penyakit ini.

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan


menemukan gejala dan tanda pada pasien. Sedangkan,
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu:

1. PCR, untuk menemukan DNA atau RNA dari virus


patogen
2. Molecular serotyping, merupakan metode
identifikasi virus yang lebih cepat daripada kultur
3. Pemeriksaan sensitivitas terhadap antibiotik
4. Pemeriksaan histologis, dapat ditemukan adanya sel
mononuklear, eksudat interselular, dan adanya
perdarahan pada subkonjungtiva
5. Belum ada terapi spesifik untuk menangani penyakit
ini, karena penyembuhannya biasanya berlangsung
selama 5-7 hari. Perlu untuk menjaga kebersihan diri
dan edukasi terhadap penularan penyakit ini. Selain
itu, perlu untuk menghindari kontak langsung
dengan pasien.

Penyakit ini sembuh sendiri sehingga pengobatan


hanya simptomatik. Pengobatan antibiotik spektrum
luas, sulfametamid dapat dipergunakan untuk
mencegah infeksi sekunder. Pencegahan adalah
dengan mengatur kebersihan untuk mencegah
penularan.

Penularannya terjadi melalui kontak langsung, air,


dan peralatan yang terkontaminasi. Beberapa negara
yang menjadi endemi penyakit ini yaitu India, Ghana,
Thailand, Pakistan, Cina, Jepang, Taiwan, dan Brazil.
Penyakit ini lebih banyak terdapat pada negara-negara
berkembang. Usia anak-anak (10-14 tahun) merupakan
usia dengan prevalensi konjungtivitis hemoragik akut
terbanyak.

B. KERATOKONJUNGTIVITIS
1. DEFINISI
Keratokonjungtivitis adalah peradangan ("-itis") dari
kornea dan konjungtiva. Ketika hanya kornea yang
meradang, hal itu disebut keratitis, ketika
hanya konjungtiva yang meradang, hal itu
disebut konjungtivitis.1,2

2. KLASIFIKASI
Keratokonjunctivitis sicca digunakan ketika peradangan
karena kekeringan. ("Sicca" berarti "kering" dalam
konteks medis.) Hal ini terjadi dengan 20% pasien RA.
Istilah "Vernal keratokonjunctivitis" (VKC) digunakan
untuk merujuk keratokonjungtivitis terjadi di musim
semi, dan biasanya dianggap karena alergen.
Atopik keratokonjunctivitis adalah salah satu manifestasi
dari atopi.
Epidemi keratokonjunctivitis disebabkan
oleh adenovirus infeksi.
Keratokonjungtivitis limbus superior diduga disebabkan
oleh trauma mekanik
3. ETIOLOGI
Konjungtivitis dapat diakibatkan oleh virus, bakteri,
fungal, parasit, toksik, chlamydia, kimia dan agen alergik.
Konjungtivitis viral lebih sering terjadi daripada
konjungtivitis bakterial. Insidensi konjungtivitis meningkat
pada awal musim semi. Etiologi konjungtivitis dapat
diketahui berdasarkan klinis pasien. Pada tingkat seluler
terdapat infiltrat seluler dan eksudat pada konjungtiva.
Etiologi keratitis superfisial antara lain adalah infeksi
(bakteri, viral, dan fungal), degeneratif (dry eye, defek
neurotropik atau berhubungan dengan penyakit sistemik),
toksik dan alergi. Morfologi dan distribusi lesi pada kornea
dapat membantu mengetahui penyebab keratitis. Ada
beberapa penyebab potensial keratokonjungtivitis yaitu
kekeringan, infeksi virus, manifestasi dari atopi atau
allergen maupun trauma mekanik.

4. PATOFISIOLOGI
Konjungtivitis alergika disebabkan oleh respon imun
tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat dengan sel mast
dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan
degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi
bertingkat dari peradangan. Hal ini menyebabkan
pelepasan histamin dari sel mast, juga mediator lain
termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat,
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan
bradikinin dengan segera menstimulasi nosiseptor,
menyebabkan rasa gatal, peningkatan permeabilitas
vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi
konjungtiva.2,11

Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat


penurunan daya imun penjamu dan kontaminasi eksternal.
Patogen yang infeksius dapat menginvasi dari tempat yang
berdekatan atau dari jalur aliran darah dan bereplikasi di
dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan
viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit
atau limfositik meyebabkan penarikan sel darah merah
atau putih ke area tersebut. Sel darah putih ini mencapai
permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana dengan
berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang
berdilatasi dan tinggi permeabilitas.11

Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah


lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya
lapisan ini memudahkan untuk terjadinya infeksi.
Pertahanan sekunder adalah sistem imunologi (tear-film
immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang
lakrimasi.11

5. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


a. Keratokonjungtivitis Sicca
Keratokonjungtivitis sicca ditandai oleh hyperemia
konjungtiva bulbaris (terutama pada aperture
palpebral) dan gejala-gejala iritasi yang jauh lebih berat
daripada tanda-tanda peradangannya yang ringan.
Keadaan ini sering berawal sebagai konjungtivitis
ringan dengan secret mukoid. Lesi-lesi epitel bebercak
muncul di kornea, lebih banyak di belahan bawahnya,
dan mungkin tampak filament-filamen.2

Nyeri makin terasa menjelang malam hari, tetapi


hilang atau hanya ringan di pagi hari. Film air mata
berkurang dan sering mengandung berkas mucus. 2

b. Keratokonjungtivitis Vernal
Pasien umumnya mengeluh sangat gatal dengan
kotoran mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat
alergi di keluarganya (hay fever, asma, atau eksim),
dan terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri.
Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat
banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior.
Konjungtiva palpebralis superior sering menampilkan
papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papil raksasa
berbentuk polygonal, dengan atap rata dan
mengandung berkas kapiler. 2

Mungkin terdapat kotoran mata berserabut dan


pseudomembran fibranosa (tanda Maxwell-Lyons). Pada
beberapa kasus terutama pada orang negro turunan
Afrika, lesi paling mencolok terdapat di limbus, yaitu
pembengkakan gelatinosa (papillae). Sebuah
pseudogerontoxon (kabut serupa-busur) sering terlihat
pada kornea dekat papilla limbus. Bintik-bintik Tranta
adalah bintik-bintik putih yang terlihat di limbus pada
beberapa pasien dengan fase aktif keratokonjungtivitis
vernal. Mungkin terbentuk ulkus kornea superfisial
(perisai) (lonjong dan terletak di superior) yang dapat
berakibat parut ringan di kornea. Keratitis epithelial
difus yang khas sering kali terlihat. 2
c. Keratokonjungtivitis Atopik
Pasien dermatitis atopic (eksim) sering kali juga
menderita keratokonjungtivitis atopic. Tanda dan
gejalanya adalah sensasi terbakar, pemgeluaran secret
mukoid, merah dan fotofobia. Tepian palpebranya
eritematosa, dan konjungtiva tampak putih seperti
susu. Terdapat papilla-papila halus, tetapi papilla
raksasa kurang nyata dibandingkan pada
keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di
tarsus inferior berbeda dengan papilla raksasa
keratokonjungtivitis vernal yang berada di tarsus
superior. 2

Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada


perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi
konjungtivitis terjadi berulang kali. Timbul keratitis
perifer superfisial yang diikuti dengan vaskularisasi.
Pada kasus yang berat, seluruh kornea tampak kabur
dan mengalami vaskularisasi, ketajaman penglihatan
pun menurun. 2

Biasanya ada riwayat alergi (hay fever, asma, atau


eksim) pada pasien atau keluarganya. Seperti
dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung
berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan
remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini
cenderung kurang aktif pada pasien setelah berusia 50
tahun. 2

d. Keratokonjungtivitas Epidemi
Keratokonjungtivitas epidemika umumnya bilateral.
Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya
mata pertama lebih parah. Pada awalnya, terdapat
injeksi konjungtiva, nyeri sedang dan berair mata;
dalam 5-14 hari kan diikuti oleh fotofobia, keratitis
epithelial dan kekeruhan subepitel yang bulat. Sensasi
kornea normal dan terdapat nodus preaurikular dengan
nyeri tekan khas. Edema palpebral, kemosis dan
hyperemia konjungtiva menandai fase akut, dengan
folikel dan perdarahan konjungtiva yang sering muncul
dalam 48 jam. Dapat terbentuk pseudomembarn
(sesekali membrane sejati) dan mungkin disertai, atau
diikuti, parut datar atau pembentukan simblefaron. 2

Konjungtivitisnya berlangsung paling lama 3-4


minggu. kekeruhan subepitel terutama terfokus di
pusat kornea, biasanya tidak pernah ke tepian;
menetap berbulan-bulan, tetapi sembuh tanpa parut. 2

Keratokonjungtivitis epidemika pada orang dewasa


terbatas pada bagian luar mata, tetapi pada anak-anak
mungkin terdapat gejala-gejala sistemik infeksi virus,
seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan
diare. 2

e. Keratokonjungtivitas Limbus Superior


Keratkonjungtivitas limbus superior umumnya
bilateral dan terbatas pada tarsus superior dan limbus
superior. Keluhan utamanya adalah iritasi dan
hyperemia. Tanda-tandanya adalah hipertrofi papilar
tarsus superior, kemerahan pada konjungtiva bulbari
superior, penebalan dan kreatinisasi limbus superior,
keratitis epithelial, filament superior yang rekuren, dan
mikropannus superior.2
Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman
visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi.
Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini:2

Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler


Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan,
perubahan warna, malposisi, kelemahan, ulserasi,
nodul, ekimosis, keganasan
Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan
subkonjungtiva, kemosis, perubahan sikatrikal,
simblepharon, massa, secret
Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang
hati-hati terhadap: 2

Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau


vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi
Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe,
telur kutu
Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, secret
Konjungtiva tarsal dan forniks: Adanya papila, folikel
dan ukurannya; perubahan sikatrikal, termasuk
penonjolan ke dalam dan simblepharon; membran dan
psudomembran, ulserasi, perdarahan, benda asing,
massa, kelemahan palpebral
Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul,
kemosis, kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten,
perdarahan, benda asing, keratinisasi
Kornea: Defek epithelial, keratopati punctata dan
keratitis dendritik, filament, ulserasi, infiltrasi, termasuk
infiltrat subepitelial dan flikten, vaskularisasi, keratik
presipitat
Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek
transiluminasi
Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea

Keratokonjungtivitis epidemika
Keratokonjungtivitis alergi

Keratokonjungtivitis limbus superior Keratokonjungtivitis


vernalis
DIAGNOSIS BANDING

Gejala Glauko Uveit Kerati K.Bakt K.Viru K.Aler


subyektif ma is tis eri s gi
dan obyektif akut
akut

PenurunanVisu +++ +/++ +++ - - -


s

Nyeri ++/++ ++ ++ - - -
+

Fotofobia + +++ +++ - - -

Halo ++ - - - - -

Eksudat - - -/++ +++ ++ +

Gatal - - - - - ++

Demam - - - - -/++ -

Injeksi siliar + ++ +++ - - -

Injeksi ++ ++ ++ +++ ++ +
konjungtiva
Kekeruhan +++ - +/++ - -/+ -
kornea

Kelainan pupil Midriasis Miosis Norma N N N


nonreka iregul l/
tif ar
miosis

Kedalaman Dangkal N N N N N
COA

Tekanan Tinggi Renda N N N N


intraokular h

Sekret - + + ++/++ ++ +
+

Kelenjar - - - - + -
preaurikular

6. PENATALAKSANAAN
Masing-masing jenis konjungtiva memberikan gejala
klinis yang berbeda. Penatalaksanaan keratokonjungtivitis
tergantung pada berat ringannya gejala klinik. Pada kasus
ringan sampai sedang, cukup diberikan obat tetes mata
tergantung jenis penyebabnya seperti pada
keratokonjungtivitis akibat alergi dapat diberikan anti
histamin topikal dan dapat ditambahkan vasokontriktor,
kemudian dilanjutkan dengan stabilasator sel mast. Pada
kasus yang berat dapat dikombinasi dalam pengobatannya
ataupun dilakukan pembedahan.1,2

Pada konjungtivitis virus yang merupakan self


limiting disease penanganan yang diberikan bersifat
simtomatik serta dapat pula diberikan antibiotic tetes mata
(chloramfenikol) untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.
Steroid tetes mata dapat diberikan jika terdapat lesi
epithelial kornea, namun pemberian steroid hanya
berdasarkan pengawasan dokter spesialis mata karena
bahaya efek sampingnya cukup besar bila digunakan
berkepanjangan, antara lain infeksi fungal sekunder,
katarak maupun glaucoma.10

Penanganan primer keratokonjungtivitis epidemika


ialah dengan kompres dingin dan menggunakan tetes mata
astrigen. Agen antivirus tidak efektif. Antibiotic topical
bermanfaat untuk mencegah infeksi sekunder. Steroid
topical 3 kali sehari akan menghambat terjadinya infiltrate
kornea subepitel atau jika terdapat kekeruhan pada kornea
yang mengakibatkan penurunan visus yang berat, namun
pemakaian berkepanjangan akan mengakibatkan sakit
mata yang berkelanjutan. Pemakaian steroid harus di
tapering off setelah pemakaian lebih dari 1 minggu.1,12

Penanganan konjungtivitis bakteri ialah dengan


antibiotika topical tetes mata (misalnya kloramfenikol)
yang harus diberikan setiap 2 jam dalam 24 jam pertama
untuk mempercepat proses penyembuhan, kemudian
dikurangi menjadi setiap empat jam pada hari berikutnya.
Penggunaan salep mata pada malam hari akan mengurangi
kekakuan pada kelopak mata di pagi hari. Antibiotik lainnya
yang dapat dipilih untuk gram negative ialah tobramisin,
gentamisin dan polimiksin; sedangkan untuk gram positif
icefazolin, vancomysin dan basitrasin.2

Penanganan infeksi jamur ialah dengan natamisin 5


% setiap 1-2 jam saat bangun, atau dapat pula diberikan
pilihan antijamur lainnya yaitu mikonazol, amfoterisin,
nistatin dan lain-lain.1

Penanganan keratokonjungtivitis sicca tergantung


pada penyebabnya. Pemberian air mata buatan bila kurang
adalah komponen air, pemberian lensa kontak apabila
komponen mucus yang berkurang, dan penutupan
punctum lakrima bila terjadi penguapan yang berlebihan.1

7. KOMPLIKASI
Kebanyakan konjungtivitis dapat sembuh sendiri, namun
apabila konjungtivitis tidak memperoleh penanganan yang
adekuat maka dapat menyebabkan komplikasi:1

a. Blefaritis marginal hingga krusta akibat konjungtivitis


akibat staphilococcus
b. Jaringan parut pada konjungtiva akibat konjungtivitis
chlamidia pada orang dewasa yang tidak diobati
adekuat
c. Keratitis punctata akibat konjungtivitis viral
d. Keratokonus (perubahan bentuk kornea berupa
penipisan kornea sehingga bentuknya menyerupai
kerucut) akibat konjungtivitis alergi.
e. Ulserasi kornea marginal, perforasi kornea hingga
endoftalmitis dapat terjadi pada infeksi N.
gonorrhoeae, N. kochii, N. meningitidis, H.
aegypticus, S. aureus dan M. catarrhalis.
f. Pneumonia terjadi 10-20 % pada bayi yang
mengalami konjungtivitis chlamydia
g. Meningitis dan septikemia akibat konjungtivitis yang
diakibatkan meningococcus.
8. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus keratokonjungtivitis tergantung
pada berat ringannya gejala klinis yang dirasakan pasien,
namun umumnya baik terutama pada kasus yang tidak
terjadi parut atau vaskularisasi pada kornea.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S, Mailangkay HHB, Taim H, Saman R, Simarwata M.,


Widodo PS (eds). 2010. Ilmu penyakit mata untuk dokter
umum dan mahasiswa kedokteran. Jakarta: Sagung Seto
2. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika.
Jakarta. 2000.
3. Ventocilla M. 2012. Allergic conjunctivitis.
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview
4. Ilyas S, Sukardi I, Harmani B, Sudiro SH, Gondowiardjo TD.
2000. Prosedur Diagnostik dan Penatalaksanaan Pengobatan
di Sub Bagian Kornea, Lensa, dan Bedah Refraktif. Jakarta:
Bagian Ilmu Penyakit Mata FKUI. p23-31
5. Kanski JJ. Clinical Ophtalmology. 4th ed. Oxford: Butterworth-
Heinemann; 1999. Halaman 657-9
6. Subconjungtiva Bleeding. Diunduh dari www.emedicine.com.
Diakses Maret 2014
7. Al-Ghozi M. 2002. Konjungtivitis, dalam Buku ajar oftalmologi.
Yogyakarta: FKUMY; pp: 54-9
8. Mc Kinley Health Center. 2006. Conjunctivitis.
http://www.mckinley.vive.edu
9. Hall A, Shilio B. 2005. Vernal keratoconjunctivitis. Community
Eye Health; pp: 18(53): 76-78
10. Scott IU. 2013. Viral conjunctivitis.
http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview
11. American Academy of Ophthalmology. Preferred practice
pattern: conjunctivitis, 2nd ed. San Francisco, CA: American
Academy of Ophthalmology; 2003.
12. Bawazeer A and Hodge WG. Keratoconjunctivitis Epidemic.
http://emedicine.medscape.com/article/1192751-print. [Online]
Emedicine. Diakses tanggal 3 Oktober 2016.
13. Yanoff, Myron, Duker JS and Augsburger JJ. Opthalmology
2nd edition: Mosby, 2003.

Anda mungkin juga menyukai