Analisis Sistem Restorative Justice Sebagai Upaya Penyelesaian Tindak Pidana Anak Jalanan Di Kota Surakarta
Analisis Sistem Restorative Justice Sebagai Upaya Penyelesaian Tindak Pidana Anak Jalanan Di Kota Surakarta
Analisis Sistem Restorative Justice Sebagai Upaya Penyelesaian Tindak Pidana Anak Jalanan Di Kota Surakarta
Disusun oleh :
1. Astrid Selvidie Virginia E0012063
2. Alan Adityanta E0013031
3. Nur Ghenasyarifa A T E0013307
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
RINGKASAN ...................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan .................................................................... 3
D. Manfaat Penulisan .................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Anak ............................................... 5
B. Tinjauan tentang Sistem Peradilan Anak dan Sistem
Kebijakan yang Mendukung Peradilan Anak ......................... 6
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ....................................................................... 11
B. Metode Penelitian ................................................................... 11
C. Jenis Data ............................................................................... 12
D. Teknik Analisis Data .............................................................. 13
E. Teknik Penglahan Data .......................................................... 13
F. Kerangka Berpikir .................................................................. 14
BAB IV PEMBAHASAN
A. Efektivitas Sistem Restorative Justice .................................... 16
B. Penyelesaian Tindak Pidana Anak di Kota Surakarta ............ 18
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 22
B. Saran ....................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
RINGKASAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.1
Tetapi pada kenyataannya sering kali kita melihat kejadian yang bertolak
belakang dengan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, contoh nyatanya
adalah pada anak jalanan. Anak jalanan ini merupakan suatu realita sosial
yang miris tapi benar adanya mengenai ketidaksejahteraan kelangsungan
hidup anak.
Per definisi, anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada
anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, tetapi masih
memiliki hubungan dengan keluarganya. Sementara Kementerian Sosial RI
mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang sebagian besar menghabiskan
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-
tempat umum lain. Ada dua hipotesis kontradiktif tentang hal ihwal
1
Anjar, Konsep Diversi dan Restorative Justice, www.anjarsblog.blogspot.com diakses tanggal 5
November 2013 pukul 19.15 WIB
keberadaan anak jalanan di jalanan: mereka berada di jalan karena memang
menikmati berada di jalan atau karena mereka tidak punya pilihan lain.2
Dari kedua hipotesis kontradiktif tersebut, realitanya keberadaan anak
jalanan di jalanan diakibatkan faktor keadaan yang menuntut mereka tidak
punya pilihan lain selain menghabiskan waktunya di jalanan untuk dapat
memenuhi kebutuhan ekonominya. Keinginan anak jalanan untuk
mengenyam pendidikan dan bermain bersama teman-teman sebayanya
terkadang disisihkan demi dapat bertahan hidup di era globalisasi ini. Dengan
kondisi yang demikian membuat anak jalanan mau tak mau harus menerima
sikap diskriminasi baik dari keluarganya maupun pihak-pihak lain yang
sengaja ataupun tidak memperlakukan anak jalanan sebagai sapi perah untuk
mereka. Kondisi realita ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi Hak
anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
Dengan kondisi perekonomian dan psikis yang sedemikian rupa
mengakibatkan anak jalanan rentan untuk menerima berbagai sikap yang
mendekati kasus tindak pidana. Karena keterbatasan ekonomi tak jarang anak
jalanan memeberanikan diri untuk mencoba mencuri ataupun melakukan
tindak kriminalitas lainnya yang mengakibatkan mereka harus berhadapan
dengan hukum. Meskipun terkadang anak jalanan memiliki pemikiran yang
lebih dewasa daripada usianya yang diakibatkan kondisi yang ada, dalam
artian mereka sudah harus mencari nafkah pada umunya, tetapi tetap saja
mereka adalah anak yang mempunyai hak sendiri untuk mendapatkan
perlindungan hukum seperti yang dituliskan di Undang Undang Nomor 23
Tahun 2002. Tetapi diakibatkan keterbatasan materiil untuk menyewa pihak
pengacara yang pastinya lebih mengetahui mengenai hukum peradilan anak,
pihak keluarga atau wali anak jalanan seakan-akan mempasrahkan begitu saja
dengan sistem yang berlaku mengenai penyelesaian tindak pidana pada anak.
2
dr Nova Riyanti Yusuf, SpK, Melirik Kondisi Kejiwaan Anak Jalanan, www.okexone.com diakses
tanggal 5 November 2013 pukul 19.00 WIB
Pengadilan anak merupakan penyelesaian tindak pidana yang harus mereka
lewati, padahal ada cara lain untuk menyelesaikan tindak pidana anak tanpa
melalui jalur pengadilan anak. Jalur tersebut biasa dikenal dengan divesi
melalui sistem restorative justice.
Penulis ingin mengetahui bagaimanakah keefektivitasan sistem ini terkait
penyelesaian tindak pidana. Apakah segala tindak pidana yang dilakukan pleh
anak dapat diselesaikan melalui sistem ini? Kemudian bagaimana
penyelesaian tindak pidana yang biasa dilakukan terkait kasus tindak pidana
anak jalanan di Kota Surakarta. Kami mengambil objek anak jalanan di Kota
Surakata karena kami ingin lebih mengetahui penyelesaian kasus yang terjadi
di lingkungan tempat kami berkuliah. Berdasarkan segala kondisi yang ada,
menuntun penulis dalam membedah penelitian dengan judul Analisis
Sistem Restorative Justice Sebagai Upaya Penyelesaian Tindak Pidana
Anak Jalanan di Kota Surakarta.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam penyampaian aspirasi
melalui analisis terhadap sistem restorative justice sebagai upaya
penyelesaian tindak pidana pada anak
b. Memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kesesuaian sistem
restorative justice sebagai upaya penyelesaian tindak pidana anak
jalanan di Kota Surakarta
2. Manfaat Praktis
a. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir
dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh
b. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti
c. Hasil dari penulisan diharapkan dapat membantu dan memberikan
masukan serta tambahan pengetahuan mengenai masalah yang sedang
diteliti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Erlin Airidawati, 2008, Pelaksanaan penanganan perkara pidana dengan Pelaku Anak-anak oleh
unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) Poltabes Surakarta, skripsi sarjana, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm.37
ditempatkan di LAPAS wajib didaftar (pasal 25 UU No.12 Tahun 1995). Tidak
berhak mendapatkan upah atau premi dan tidak berhak juga mendapat
pengurangan masa pidana (remisi), karena dia bukan dipidanakan.Anak negara
dapat dipindahkan lapas satu ke lapas yang lain demi kepentingan tumbuh,
kembang dan pendidikannya. 4
Anak Sipil, adalah anak yang tidak mampu dididik oleh Orang Tua/Wali,
atau Orang Tua Asuhnya dan karenanya atas penetapan pengadilan ditetapkan di
Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk dididik dan dibina sebagaiman mestinya.
Pasal 384 BW mengatakan dasar permintaan menempatkan si anak menjadi anak
sipil haruslah berdasarkan alasan yang sungguh-sungguh merasa tak puas atas
kelakuan ia (anak), sedangkan yang berhak itu adalah:
a. Orang Tua
b. Wali
c. Orang Tua Asuh
d. Dewan Perwalian
Menurut Pasal 32 UU No.35 Tahun 1995 mengatakan bahwa Anak Sipil
ditempatkan di LAPAS paling lama 6 (enam) bulan bagi mereka yang belum
berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang
pada saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.5
Perlindungan Anak
4
Ibid.,
5
Ibid.,hal.38
mengutamakan kesejahteraan anak. Karena itu mereka diberikan kebebasan
membuat keputusan pada seluruh tahap proses peradilan dan pada tahap-tahap
berbeda dari administrasi peradilan bagi anak, termasuk pengusutan,
penuntutan, pengambilan keputusan dan pengaturan-pengaturan lanjutamya
Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani perkara-perkara
anak akan diberi kuasauntuk memutuskan perkara menurut kebijaksanaan
mereka, tanpa menggunakan pemeriksaan-pemeriksaan awal yang formal.
Asas praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutan-tuntutan
terhadapnya, hak untuk tetap diam, hak mendapat pengacara, hak akan
kehadiran orang tua wali, hak untuk menghadapi dan memeriksa silang saksi-
saksi dan hak untuk naik banding ke pihak berwenang yang lebih tinggi akan
dijamin pada seluruh tahap proses peradilan. Pada saat penangkapan seorang
anak, orangtuanya harus segera diberitahu. Penahanan sebelum pengadilan
hanya digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu
sesingkat mungkin.
2. Sistem Peradilan Anak
Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh
pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science di Amerika
Serikat sejalan dengan ketidak puasan terhadap mekanisme kerja aparatur
penegak hukum dan institusi penegakan hukum. Ketidak puasan ini terbukti
dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an.6
Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the Child) menandaskan
bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana yang
dipisahkan secara khusus bagi anak sehingga anak dapat menikmati
perlindungan hukum (due process) dan hak asasi yang melekat padanya.
Pemisahan ini menjadi conditio sine quanon karena mereka masih di bawah
umur. 7 Lebih jauh Komite mengintepretasikan bahwa sistem peradilan pidana
6
Okky Chahyo Nugroho, 2009, PerlindunganAnak, skripsi sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, Depok, hlm.46
7
Yayasan Pemantau Hak Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum
Perlindungan Hak Asasi Manusia Internasional, http://www.ypha.or.id/web/?p=1026 diakses 05
November 2013
yang bersifat khusus ini merupakan upaya perlindungan khusus karena anak
yang berhadapan dengan hukum dikategorikan sebagai kelompok rentan
(vulnerable groups). Kerentanan anak yang berhadapan dengan hukum
menjadi rasionalitas dan justifikasi bagi Komite Hak Anak untuk menekan
negara mengupayakan suatu konstruksi sistem peradilan pidana yang
memberikan perlindungan khusus.8
Ciri Sistem Pendekatan Peradilan Pidana adalah :
1) Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)
2) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana
3) Efektifitas sistem penanggulanan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara
4) Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the
administration of justice . 9
Mengacu pada keempat komponen tersebut dan mengkaitkannya dengan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak, maka kekhususan sistem peradilan
pidana anak harus mencakup keempat komponen sistem peradilan pidana.
Kekhususan ini untuk menegaskan bahwa hukum yang mengatur anak yang
berhadapan dengan hukum merupakan rezim hukum tersendiri (sui generis).
Oleh karena substansi hukum yang medasarinya harus bersifat lex spesialis.
Dalam upaya membangun rezim hukum anak yang berhadapan hukum,
terdapat 4 (empat) fondasi KHA yang relevan untuk mengimplementasikan
praktik peradilan pidana anak, yakni:
1) Kepentingan terbaik bagi anak, sebagai pertimbangan utama dalam setiap
permasalahan yang berdampak pada anak (Pasal 3)
2) Prinsip non diskriminasi, terlepas dari ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan,
8
Ibid.
9
Okky Chahyo Nugroho, Loc .Cit., hal.47
etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status
yang lain dari anak atau orang tua anak (Pasal 2)
3) Hak anak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang (Pasal 6)
4) Hak anak atas partisipasi dalam setiap keputusan yang berdampak pada
anak, khususnya kesempatan untuk didengar pendapatnya dalam
persidangan-persidangan pengadilan dan administratif yang
mempengaruhi anak (Pasal 12)
3. Penyelesaian Tindak Pidana Anak dengan Restorative Justice
Perlidungan anak dalam sistem peradilan pidana berkaitan erat/ tidak
dapatdilepaskan dengan keadilan, karena dalam peradilan pidana anak, selain
peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukumnya harus adil
dan berpihak pada hak-hak anak, juga harus didukung oleh rasa keadilan para
penegak hukum terutama hakim yang dalam konteks implementasi sistem
sanksi bagi anak, maka hakimlah yang paling menentukan, sebab dia yang
memeriksa, mengadili, dan akhirnya memutuskan jenis sanksi apa yang
diterapkan kepada anak yang terbukti melakukan tindak pidana.10
Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penangananperkara tindak
pidana anak adalah pendekatan restorative juctice, yang dilaks ankn dengan
cara pengalihkan (diversi). Restorative justice merupakan proses penyelesaian
yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal justice System)
dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku,masyarakat
serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidanayang terjadi
untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian.11
Restorative justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang
melibatkanpelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam
suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap
tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan
bukan pembalasan. Restorative justice merupakan upaya untuk mendukung dan
10
Munawara, Pendekatan Restorative Justice dalam penyelesaian tindak pidana oleh anak di
makassar, http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/b5d0f0e2106026442bd5b1d86d3b24cb.pdf
diakses tanggal 05 November 2013 pukul 10.00 WIB
11
Ibid.
melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 23Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan
bahwa Penangkapan penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.12
12
Ibid.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
B. Metode Penelitian
13
Rianto Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Graniti: Jakarta, hlm. 58
14
Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Bisnis, CV. Alfabeta: Bandung, hlm. 7
data dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada Kepala
Unit IDIK VI Polresta Surakarta IPTU Petra CK Tumengkul, SH
2. Metode Studi Kepustakaan
Studi Pustaka adalah cara pengumpulan data melalui buku-buku yang
relevan dengan permasalahan yang diteliti, melalui peninggalan tertulis
berupa arsip-arsip dan termasuk juga bahan tentang pendapat, teori,
dalil dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah yang
diselidiki.15
C. Jenis Data
15
Nawawi, 1989, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta. Hlm. 21
16
KSP Principium 2012, Modul-Model Sebuah Panduan Kepenulisan. Hlm. 22
D. Teknik Analisis Data
17
Winjani Prita Dewi, Intan Permata Putri, Diyah Ayu Hardiyani, 2010, Analisis Penerapan Pola
Trias Politica dalam Badan Perpajakan (Sebuah Solusi Guna Menekan Laju Praktik Korupsi
Direktorat Jendral Pajak),karya tulis mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, hlm.9
berdasarkan media massa dan tulisan yang juga perilakunya nyata,
teliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh.18
Apabila tahapan analisis data telah selesai, makanya ahsilnya disajikan
secra deskriptif, yakni dengan menuturkan dan menggambarkan apa
adanya sesuai permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.
c. Penarikan Kesimpulan
Setelah melaksanakan tahapan-tahapan tersebut diatas yang meliputi
reduksi data dan penyajian data, maka hal yang dilakukan selanjutnya
adalah menarik kesimpulan. Kesimpulan menyajikan informasi yang
ditujukan untuk mencapai suatu hal yang lebih baik dan bermanfaat
bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
d. Pemberian Saran
Pemberian saran tersebut penulis lakukan dengan tujuan untuk
pengapliaksian dari penarikan kesimpulan yang telah penulis lakukan
tersebut diatas. Saran biasanya berisi solusi apa dan bagaimana
kesimpulan tersebut dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan baik
dan sesuai di masyarakat.
F. Kerangka Berpikir
Pidana Anak
18
Soejono Soekanto, 1984, Metode Pene;itian Hukum, Hlm. 250
untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana
yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.19
Penegak
Hukum
Pelaku Korban
BAB IV
19
Rocky Marbun, S.H, M.H, Membangun Restoratif Justice dan Penal Meditation dalam sistem
peradilan pidana di indonesia, http://forumduniahukumblogku.wordpress.com diakses tanggal 6
November 2013 pukul 10.00 WIB
PEMBAHASAN
Kasus tindak pidana anak yang biasa ditangani oleh Unit PPA
(Perlindungan Perempuan dan Anak) Polresta Surakarta menggunakan sitem
Restorative Justice masih minoritas. Dimana artinya, pihak Polresta Surakarta
dalam menyelesaikan kasus tindak pidana anak mayoritas menggunakan
sistem yang berlaku saat ini yaitu sistem peradilan anak seperti tertuang
didalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997. Namun, ada juga beberapa
kasus yang diselesaikan menggunakan sistem Restorative Justice. Menurut
keterangan Kepala Unit IDIK VI Polresta Surakarta IPTU Petra CK
Tumengkul, SH penyelesaian tindak pidana anak dengan menggunakan
Restorative Justice masih sangat sulit diterapkan, dikarenakan hal tersebut
dikembalikan lagi kepada kedua belah pihak, bersediakah mereka untuk
dilakukan penyelesaian tindak pidana tersebut menggunakan sitem
Restorative Justice. Dimana disini pihak aparat penegak hukum hanya
menjadi penengah atau mediator.
Dari penjelasan Kepala Unit IDIK VI Polresta Surakarta IPTU Petra CK
Tumengkul, SH dan juga beberapa penjelasan diatas dapat kita simpulkan
bahwa keefektivan penerapan sistem Restorative Justice dalam penyelesaian
suatu kasus tindak pidana anak tergantung pada subjek dan objeknya. Subjek
yang dimaksudkan disini ialah para pihak yang terlibat yaitu antara pelaku
dan korban, dan objek yang dimaksud disini ialah kasus yang terjadi tersebut
tergolong kasus tindak pidana anak yang berat atau ringan.
Tindak pidana anak yang terjadi pada anak jalanan di Kota Surakarta
menurut data yang ada di Polresta kota Surakarta memiliki jumlah yang
minoritas. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden Kepala Unit IDIK
VI Polresta Surakarta IPTU Petra CK Tumengkul, SH mekanisme
penyelesaian tindak pidana anak jalanan di Kota Surakarta mayoritas
menggunakan sisten peradilan anak. Hal tersebut dikarenakan sebagai
penegak hukum polisi harus menggunakan asas Ius Constitutum (hukum
positif) sebagai acuan dalam melaksanakan penyelesaian kasus tindak pidana.
Adapun dasar hukum positif bagi penyelesaian tindak pidana anak masih
menggunakan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Dimana di dalam Undang-Undang tersebut pasal 3 dinyatakan bahwa
Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak
sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini.. inilah dasar hukum
mengapa kepolisian menggunakan pengadilan anak dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak jalanan.
Disamping karena dasar hukum positif yang berlaku, kepolisian
mempertimbangkan sisi positif dan negatif memberlakukan pengadilan anak
sebagai penyelesaian tindak pidana anak. Kondidi psikis anak jalanan yang
sudah terbiasa hidup keras di jalanan, di tempa dengan berbagai tekanan yang
ada di jalanan baik berupa kekerasan fisik maupun mental, membuat
kepolisian mengambil tindakan bahwa pengadilan anak merupakan jalan
terbaik untuk anak jalanan tersebut. Kondisi ini pun merupakan salah satu
alasan mengapa kepolisian lebih memilih menggunakan sistem pengadilan
anak daripada restorative justice disebabkan disini pihak kepolisian merasa
memiliki tanggung jawab sendiri terkait masa depan anak tersebut apabila
memilih menggunakan sistem restorative justice. Dikhawatirkan setelah
mengalami penyelesaian dengan sistem restorative justice terpidana anak
tidak merasa jera akan perbuatan yang dilakukannya.
Disebabkan keterbatasan Lembaga Permasyarakatan yang ada di Kota
Surakarta, yang tidak adanya Lembaga Permasyarakatan khusus untuk anak
membuat terpidana anak tetap harus ditahan bersama terpidana dewasa.
Tetapi dalam mekanismenya di lapangan, kepolisisan tetap memberi
pemantauan dalam artian mengingatkan kepada pihak Lembaga
Permasyarakat bahwa yang bersangkutana dalah terpidana anak karenanya
diharapkan tetap mendapatkan perlakuan khusus. Adapun bentuk perlakuan
khusus yang dilakukan berupa penempatan yang bersangkutan bersama
terpidana yang tidak akan lebih menjerumuskan yang bersangkutan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Unit IDIK VI Polresta Surakarta
IPTU Petra CK Tumengkul, SH anak yang bersangkutan ditempatkan
bersama orang-orang yang tidak akan mencetak anak tersebut nantinya
menjadi lebih buruk, karenanya kami menempatkan yang bersangkutan
dengan orang yang sudah lanjut usia dengan harapan mereka akan dapat lebih
saling menjaga satu sama lainnya
Tetapi pada akhirnya penanganan terpidana anak yang ada di PPA
Polresta Kota Surakarta disesuaikan pula dengan kasus anak tersebut dan
individu yang bersangkutan. Karena setiap anak mempunyai karakteristik
yang berbeda-beda pula dalam menghadapi kasus yang ia lakukan.
Contohnya pada salah satu kasus yang ditangani di PPA mengenai lima anak
laki-laki dibawah umur yang meniru adegan orang dewasa di film kepada
teman perempuanya. Karena diangap keenam anak tersebut belum mengerti
dan tidak adanya rasa trauma mendalam yang dialami anak perempuan
tersebut, maka PPA menyelesaikan kasus ini dengan restorative justice
dengan berbagai pertimbangannya. Lain halnya dengan kasus anak jalanan
yang membawa lari seorang anak perempuan di bawah umur beberapa hari,
berdasarkan banyaknya pertimbangan anak tersebut dilakukan penyelesaian
hukumnya dengan peradilan anak.
Pada kenyataannya banyak anak jalanan yang menjadi terpidana menjalani
penyelesaian tindak pidananya dengan sistem peradilan anak. Karena ketika
pertama kali anak tersebut diduga melakukan tindak pidana, anak tersebut
menjalani proses penyelesaiannya di Reskrim pusat yang notabene lex
generalis terhadap segala bentuk tindak pidana, sedikit kasus yang dialihkan
penyelesainnya ke lex specialist yang ditangani PPA.
Adapun sedikitnya kasus tindak pidana yang dilakukan anak jalanan,
menurut Kepala Unit IDIK VI Polresta Surakarta IPTU Petra CK Tumengkul,
SH dikarenakan Kota Surakarta memilik salah satu program pemerintahan
kota yaitu Kota Layak Anak dengan dibantu suatu badan yang disebut PT
PAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta) dimana badan
tersebut merupakan suatu wadah yang memberikan pelayanan baik dari segi
kesehatan, perlindungan hukum, serta bentuk-bentuk pelayanan lainnya yang
dikhususkan untuk perempuan dan anak. Termasuk didalamnya terdapat
berbagai LSM yang aktif mempedulikan perempuan dan anak, salah satunya
ada LSM Seroja yang aktif peduli terhadap anak jalanan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan,
penulis mengemukakan saran sebagai berikut :
1. Hendaknya penegak hukum dalam mengambil keputusn
mempertimbangkan setiap dampak yang akan diterima oleh pelaku
khususnya untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Sebab ada
kalanya penyelesaian yang dilakukan dengan tergesa-gesa, dalam hal
ini langsung menetapkan sistem peradilan anak kepada pelaku tindak
pidana anak dikhawatirkan akan menyebabkan terganggunya kondisi
psikis anak yang bersangkutan
2. Dalam menyelesaikan tindak pidana anak hendaknya mengambil
keputusan yang dapat menciptakan ketertiban, kedamaian,
ketentraman dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.
Pendekatan yang humanis yang lebih adil harus didorong dan
diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang
tidak menciptakan keadilan di masyarakat. Karena sejatinya tujuan
hukum pidana adalah tegaknya ketertiban dan perdamaian, maka
apabila cara-cara yang ditempuh telah menciptakan ketertiban dan
perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak
perlu proses pemidanaan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Internet :
Rujukan :
1. Ketua Kelompok
2. Anggota Kelompok
Foto bersama Ibu Endang, SH. Salah satu anggota dari Unit PPA Polresta
Surakarta, ketika proses wawancara di Kantor Unit PPA Polresta Surakarta, hari
Kamis 7 November 2013 pukul 12.00 s.d 12.45 WIB