Bab Ii Laporan Akhir Studio Proses Perencanaan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 164

ASPEK GEOGRAFI, DAN SUMBER DAYA ALAM

BAB II
WILAYAH MAKRO
Kebijakan SDA Wilayah Makro
I. Kawasan rawan bencana kawasan rawan
alam : kekeringan
kawasan rawan banjir kawasan rawan abrasi
kawasan rawan tanah kawasan rawan angin
longsor topan
kawasan rawan letusan kawasan rawan gas
gunung berapi beracun
kawasan rawan gempa II. Kawasan lindung geologi
bumi kawasan lindung kars
kawasan rawan kawasan cagar alam
gelombang pasang geologi
kawasan rawan kawasan imbuhan air
tsunami
Topografi Wilayah Makro

Gambar 2. 1 Peta Topografi Wilayah Makro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 19


Secara Secara umum kondisi topografi wilayah studi makro

BAB II
Boyolali dan sekitarnya sangat beragam namun didominasi oleh
dataran rendah. Kabupaten boyolali sebagai wilayah perencanaan,
bagian barat merupakan daerah dataran tinggi yang terdiri dari
perbukitan, dan kaki pegunungan dengan ketinggian antara 700
1500 meter dpl, meliputi kecamatan Musuk, Ampel, Cepogo dan Selo.
Wilayah bagian timur hingga utara merupakan dataran rendah dan
perbukitan landai dengan ketinggian antara 75 400 meter dpl,
meliputi wilayah Kecamatan Mojosongo, Teras, Sawit, Banyudono,
Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Karanggede, Andong, Klego,
Kemusu, Wonosegoro, Juwangi dan Sebagian Boyolali.
Klimatologi Wilayah Makro

Gambar 2. 2 Peta Klimatologi Wilayah Makro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Secara umum iklim kabupaten boyolali dan sekitarnya termasuk


wilayah beriklim tropis dengan dua musim bergantian sepanjang tahun,
yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Bulan Juli sampai
dengan bulan Oktober merupakan musim kemarau, sedangkan musim
penghujan antara bulan Oktober hingga bulan Juni.
Kabupaten boyolali sebagai wilayah perencanaan memiliki rata-
rata curah hujan tahunan sebesar 2448 mm/tahun dengan jumlah hari

Studio Proses Perencanaan E | 20


hujan sebanyak 118 hari. Kecamatan musuk, ampel, cepogo, dan selo

BAB II
memilki intensitas hujan sedang hingga tinggi, antara 2500-4500
mm/tahun. Kecamatan Mojosongo, Teras, Sawit, Banyudono, Boyolali
Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Karanggede, Andong ,Klego,
Kemusu, Wonosegoro, Juwangi cenderung memiliki intensitas hujan
rendah hingga sedang, antara 1500-2500 mm/tahun. Temperatur
udara wilayah Kabupaten Boyolali, bervariasi antara 22 o 25oC.
Wilayah, dan kelembaban udara 60-80%.

Litologi Wilayah Makro

Gambar 2. 3 Peta Litologi Wilayah Makro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Persebaran jenis tanah di kabupaten boyolali dan sekitarnya


sangat bervariasi mulai dari litosol, andosol, regosol, grumosol, dan
alluvial. Persebaran jenis tanah dan batuan di kabupaten boyolali
sebagai wilayah perencanaan adalah sebagai berikut :
Tanah asosiasi lisotol dan grumosol terdapat di wilayah
Kecamatan Kemusu, Klego, Andong, Karanggede, Wonosegoro,
dan Juwangi.
Tanah lisotol cokelat terdapat di wilayah Kecamatan Cepogo,
Ampel, dan Selo.

Studio Proses Perencanaan E | 21


Tanah regosol kelabu terdapat di wilayah Kecamatan Cepogo,

BAB II
Ampel, Boyolali, Mojosongo, Banyudono, Teras dan Sawit.
Tanah litosol dan regosol kelabu terdapat di wilayah Kecamatan
Cepogo, Musuk, dan Selo.
Tanah regosol cokelat terdapat di wilayah Kecamatan Cepogo,
Musuk, Mojosongo, Teras, Sawit, dan Banyudono.
Tanah andosol cokelat terdapat di wilayah Kecamatan Cepogo,
Ampel, dan Selo.
Tanah kompleks regosol kelabu dan grumosol terdapat di wilayah
Kecamatan Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi.
Tanah grumosol kelabu tua terdapat di wilayah Kecamatan
Andong, Klego, dan Juwangi.
Tanah kompleks andosol kelabu tua dan litosol terdapat di
wilayah Kecamatan Cepogo, Ampel, dan Selo.
Tanah asosiasi grumosol kelabu tua dan litosol terdapat di
wilayah Kecamatan Simo, Sambi, Nogosari, dan Ngemplak.
Tanah mediteran cokelat tua terdapat di wilayah Kecamatan
Kemusu, Klego, Andong, Karanggede, Wonosegoro, Simo,
Nogosari, Ngemplak, Mojosongo, Sambi, Teras, dan Banyudono.
Dari persebaran jenis tanah diatas, didapatkan beberapa
karakteristik khusus kawasan yang dapat diidentifikasi berdasarkan
jenis tanah. Berikut adalah beberapa karakteristik jenis tanah yang
terdapat di wilayah studi:
1. Tanah litosol merupakan hasil pelapukan batuan letusan gunung
api, unsur organik pada tanah ini tidak terlalu banyak, dapat
dimanfaatkan utuk tanaman rumput bagi ternak, palawija seperti
jagung serta tanaman keras seperti jati.
2. Tanah andosol sangat kaya dengan mineral, unsur hara, air dan
mineral sehingga sangat baik untuk tanaman. Tanah ini sangat
cocok untuk segala jenis tanaman yang ada di dunia. persebaran
tanah andosol biasanya terdapat di daerah yang dekat dengan
gunung berapi. Tanah regosol tergolong tanah muda sehingga
miskin unsur hara. Cocok untuk tanaman yang tda memerlukan
banyak air.
3. Tanah grumusol terbentuk dari pelapukan batuan kapur dan tuffa
vulkanik. Kandungan organik di dalamnya rendah karena dari

Studio Proses Perencanaan E | 22


batuan kapur, sehingga tinggi kandungan kapur. Cocok untuk

BAB II
tanaman keras seperti kayu jati.
4. Tanah aluvial merupakan jenis tanah yang terjadi karena
endapan lumpur biasanya yang terbawa karena aliran sungai.
Tanah ini biasanya ditemukan dibagian hilir karena dibawa dari
hulu. Tanah ini sangat cocok untuk pertanian baik padi ataupun
palawija seperti jagung dan tembakau.

Studio Proses Perencanaan E | 23


WILAYAH MESO

BAB II
Kebijakan SDA Wilayah Meso
1. kawasan rawan bencana Daerah rawan
alam terdiri atas : kekeringan.
Daerah rawan banjir 2. kawasan lindung geologi
Daerah rawan banjir terdiri atas :
lahar dingin kawasan rawan
Daerah rawan tanah letusan gunung
longsor berapi;
Daerah rawan kawasan rawan
kebakaran hutan gempa bumi
Daerah rawan angin kawasan imbuhan air
topan; tanah.
Topografi Wilayah Meso

Gambar 2. 4 Peta Topografi Wilayah Meso


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Pada wilayah meso memiliki kelerengan 0-8% (datar), 8-15%


(landai), 15-25% (agak curam), 25-40% (curam), dan >40% (sangan

Studio Proses Perencanaan E | 24


curam). Untuk Kabupaten Boyolali memiliki kelerengan datar, landai,

BAB II
agak curam, curam, sangat curam. Untuk Kecamatan Kedungjati,
Gubug, Karangrayung, Pewangan, dan Geyer di Kabupaten Grobogan
memiliki kelerengan datar dan landai. Kecamatan Bringin dan suruh di
Kabupaten Semarang memiliki kelerengan datar, landai, curam dan
sangat curam. Hal ini menunjukan wilayah meso dari Kabupaten
Boyolali dan kecamatan disekitar wilayah mikro (Juwangi, Kemusu,
Wonosegoro) memiliki topografi yang tidak merata.

WILAYAH MIKRO DAN PERKOTAAN


Wilayah Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro (JKW)
memiliki luas wilayah sebesar 272,07 km2 yaitu 26.8% dari luas
Kabupaten Boyolali. Kecamatan JKW memiliki jumlah 41 desa dengan
batas wilayah dapat dilihat pada BAB I yaitu peta administrasi
Kecamatan JKW sebagai wilayah studi mikro. Adapun wilayah
perencanaan dari Kecamatan JKW memiliki 2 kawasan perkotaan,
pertama adalah kawasan perkotaan Juwangi Raya yang terdiri dari
Kelurahan Juwangi dan Kelurahan Pilangrejo. Kedua adalah kawasan
perkotaan Wonosegoro Raya yang terdiri dari Kelurahan Wonosegoro
dan Kelurahan Ketoyan.

Studio Proses Perencanaan E | 25


Topografi Wilayah Mikro

BAB II
Gambar 2. 5 Peta Topografi Wilayah Mikro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Berdasarkan klasifikasi kelas lereng dari Undang-Undang Tata


Ruang, Kecamatan JKW sebagai wilayah perencanaan mikro, memiliki
kelerengan yang beragam mulai dari kelerengan tergolong datar (0-
8%) hingga kelerengan yang tergolong curam (8-15%). Kelerengan
datar adalah kelerengan yang mendominasi Kecamatan JKW,
kelerengan landai ada di Kelurahan Cerme, Sambeng, Kalimati,
Krobokan, Ngaren, Gunungsari, Garangan, Jatilawang, dan Kendel
yakni 9 dari 41 desa di wilayah Kecamatan JKW. Kelerengan datar
cocok jika digunakan sebagai kawasan budidaya dan kawasan
konservasi yaitu pertanian, permukiman, dan juga pembangunan
infrastruktur. Semakin ke utara, kelerengan akan semakin landai
seperti di Kecamatan Juwangi menuju Kabupaten Grobogan.
Kelerengan landai cocok jika digunakan untuk perkebunan dan
pertanian dengan sistem irigasi terasering. Morfologi Kecamatan JKW
beragam mulai dataran rendah di bagian selatan dan perbukitan landai
menuju utara.

Studio Proses Perencanaan E | 26


Klimatologi Wilayah Mikro

BAB II
Gambar 2. 6 Peta Klimatologi Wilayah Mikro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Curah hujan di Weleri Raya termasuk ke dalam kategori rendah


hingga sedang dengan intensitas hujan 1500-2500 mm/tahun.
Intensitas hujan sangat mempengaruhi produktivitas komoditas padi di
wilayah Kecamatan JKW mengingat mayoritas sistem persawahan
yang digunakan adalah sawah tadah hujan yang sangat bergantung
pada besarnya intensitas hujan tiap tahunnya. Kecamatan JKW yang
juga memiliki topografi yang datar hingga landai dapat memperkecil
terjadinya aliran air permukaan tanah yang tinggi sehingga
memperkecil potensi longsor. Curah hujan juga berdampak pada
tingginya produktivitas air tanah di Kecamatan JKW. Dengan intensitas
hujan rendah hingga sedang, produktivitas air tanah Kecamatan JKW
tergolong langka, namun tetap dapat dimanfaatkan sebagai cadangan
air bersih

Studio Proses Perencanaan E | 27


Hidrologi Wilayah Mikro

BAB II
Gambar 2. 7 Peta Hidrologi Wilayah Mikro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Terdapat dua karakteristik hidrologi di JKW Raya karena terletak


pada dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS serang dan DAS
tuntang. Akan tetapi, DAS serang merupakan DAS yang mendominasi
di JKW raya, kecuali sebagian dari wilayah utara kecamatan Kemusu
dan sebagian dari wilayah barat kecamatan juwangi. Sungai serang
merupakan salah satu sungai terbesar di boyolali dimana salah satu
muaranya adalah waduk kedung ombo yang terletak di kecamatan
kemusu, sekaligus menjadi waduk terbesar di Jawa Tengah.

Studio Proses Perencanaan E | 28


Litologi Wilayah Mikro

BAB II
Gambar 2. 8 Peta Litologi Wilayah Mikro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Jenis tanah di JKW raya adalah asosiasi litosol dan grumosol,


grumosol kelabu tua, komplek regosol dan grumosol, serta mediteran
coklat tua. jenis tanah litosol memiliki tekstur lempung pasiran dan
lempung geluhan dengan laju infiltrasi lambat. Tanah Litosol
merupakan tanah yang memiliki solum tanah yang dangkal dan sangat
peka terhadap erosi, sehingga tanaman yang cocok ditanam pada
tanah-tanah jenis ini adalah tanaman keras, rumput, dan palawija.
Tanah regosol merupakan hasil erupsi gunung api yang baru
diendapkan disungai. Tanah regosol berbutir kasar, berwarna kelabu
hingga kuning, dengan bahan organic yang rendah shingga tidak dapat
menampung air dan mneral yang dibutuhkan tanaman dengan baik.
Regosol lebih banyak dimanfaatkan untuk tanaman palawija,
tembakau atau buah-buahan yg tidak banyak membutuhkan air.
Tanah grumosol merupakan tanah dengan kandungan lempung
yang tinggi, artinya tanah ini dapat menampung air dalam jumlah
besar, sangat lekat ketika basah, dan5 pecah-pecah ketika kering.
Merupakan tanah dengan warna kelabu hingga hitam serta ph netral

Studio Proses Perencanaan E | 29


higga alkalis. Grumosol banyak dimanfaatkan untuk pertanian jenis

BAB II
rumput-rumputan atau pohon jati.

Bahaya Geologi Wilayah Mikro

Gambar 2. 9 Peta Bahaya Geologi Wilayah Mikro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Rawan bencana merupakan aspek yang perlu diperhatikan


karena rawan bencana akan mengakibatkan kerugian jika bencana
Studio Proses Perencanaan E | 30
tersebut terjadi. Mitigasi bencana merupakan respon terhadap dari

BAB II
adanya rawan bencana. Berdaarkan RTRW Kabupaten Boyolali tahun
2011-2031, JKW raya memiliki daerah rawan bencana berupa rawan
banjir kekeringan, angin kencang, dan kebakaran sebanyak 19 desa.
Jumlah desa yang termasuk rawan banjir adalah yaitu 6 desa
(Kalinanas, Gosono, Bojong, Banyusri, Jerukan, dan Kayen). 8 desa
rawan kekeringan (Kalinanas, Jerukan, Ngaren, Krobokan, Bercak,
Bengle, Repaking, dan Ketoyan). 5 desa rawan angin kencang
(Repaking, Gunungsari, Jatilawang, Gosono, dan Wonosegoro), serta
29 desa rawan kebakaran hutan (Cerme, Juwangi, Sambeng,
Pilangrejo, Jerukan, Kayen, Kalimati, Krobokan, Ngaren,
Kedungmulyo, Wonoharjo, Ngleses, Kemusu, Guwo, Bercak, Bojong,
Bengle, Garangan, Gosono, Wonosegoro, Ketoyan, Bolo, Lemahireng,
Kauman, Bawu, Kendel, Klewor, Genengsari, Kedungrejo, dan
Watugede) dari 41 desa di seluruh JKW raya yang tersebar di tiga
kecamatan.

KAWASAN PERKOTAAN
Wilayah perencanaan dari Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan
Wonosegoro memiliki 2 kawasan perkotaan, pertama adalah kawasan
perkotaan Juwangi Raya yang terdiri dari Kelurahan Juwangi dan
Kelurahan Pilangrejo. Kedua adalah kawasan perkotaan Wonosegoro
Raya yang terdiri dari Kelurahan Wonosegoro dan Kelurahan Ketoyan.

Topografi Kawasan Perkotaan


Dilihat dari aspek topografi, kawasan perkotaan juwangi memilki
kelerengan datar dan landai. Kelerengan datar (0-8%) mendominasi
dan sebagian kecil kelerengan landai (8-15%) ditemukan di bagian
utara. Sedangkan kawasan perkotaan wonosegoro memiliki
kelerengan yang homogen yakni kelerengan datar (0-8%).

Klimatologi Kawasan Perkotaan


Dilihat dari aspek klimatologi, kawasan perkotaan juwangi
memiliki curah hujan yang homogen, sekitar 2000mm/tahun yang
tergolong rendah, begitu halnya dengan kawasan perkotaan

Studio Proses Perencanaan E | 31


wonosegoro dengan curah hujan homogen sekitar 2500 mm/tahun

BAB II
yang tergolong sedang.

Hidrologi Kawasan Perkotaan


Dilihat dari aspek hidrologi, kawasan perkotaan Juwangi dan
kawasan perkotaan wonosegoro berada dalam DAS yang sama yakni
DAS Serang.

Litologi Kawasan Perkotaan


Dilihat dari aspek litologi, kawasan perkotaan Juwangi
didominasi jenis tanah Kompleks Regosol Kelabu dan sebagian kecil
Grumusol Kelabu dan Kelabu Tua. Sedangkan kawasan perkotaan
Wonosegoro memiliki jenis tanah Kompleks Grumusol Kelabu dan
Litosol, dan komplek regosol kelabu dan grumosol kelabu tua.

Bahaya Geologi Kawasan Perkotaan


Kawasan perkotaan Wonosegoro, yaitu Kelurahan Ketoyan
merupakan salah satu dari 8 desa yang dikategorikan sebagai desa
rawan kekeringan. Sementara Kelurahan Wonosegoro termasuk
dalam 5 desa rawan angin kencang. Kawasan Perkotaan Juwangi
merupakan kawasan yang mayoritas tata guna lahan disana adalah
hutan produksi dari PERHUTANI. Sehingga, kawasan perkotaan
Juwangi, yakni Kelurahan Juwangi dan Kelurahan Pilangrejo
merupakan desa dengan kategori desa rawan terjadi kebakaran hutan.

ASPEK KEPENDUDUKAN
KEBIJAKAN TERKAIT KEPENDUDUKAN
- Kebijakan perluasan cakupan peserta program KB
- Kebijakan Pengurangan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA),
- Kebijakan Pencegahan dan penanggulangan penyakit menular
(Demam Berdarah, TB Paru dan HIV/AIDS),
- Kebijakan Peningkatan mutu dan standar pelayanan kesehatan
dasar dan pelayanan kesehatan rujukan yang dapat dijangkau
masyarakat tidak mampu melalui :

Studio Proses Perencanaan E | 32


Optimalisasi pelayanan RSUD dengan model BLUD.

BAB II
- Kebijakan implementasi penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar 9 (sembilan) tahun
- Kebijakan memperbesar akses warga miskin untuk
mendapatkan pendidikan tinggi.
- Kebijakan peningkatkan kualitas sumber daya manusia agar
memiliki kemampuan yang kompetitif untuk meningkatkan
peluang usaha dan pendapatan.
- Kebijakan Mengeliminasi diskriminasi terhadap perempuan
dalam kehidupan politik, ekonomi dan publik
- Kebijakan Peningkatan kualitas hidup anak dan perempuan
melalui :
Sistem perlindungan dan kesejahteraan sosial terpadu

WILAYAH MAKRO
Kondisi Kependudukan Komponen penting pada bagian ini
adalah penyajian dan mendeskripsikan tentang data kependudukan,
perkembangan dan kepadatan serta jenis pekerjaan penduduk juga
proyeksi pertumbuhan penduduk. Selanjutnya komponen ekonomi
yang berkaitan dengan pertumbuhan dan indikator ekonomi serta
keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan masing-masing
sektor di deskripsikan juga. Kemudian komponen keuangan daerah
disajikan juga untuk melihat sejauh mana penggunaan anggaran
pendapatan dan belanja daerah serta realisasinya. Pentingnya
masalah penduduk dikarenakan penduduk merupakan sumberdaya
manusia yang berperan dalam men yusun dan mensintesis
perencanaan. Peranan atau partisipasinya sangat diperlukan agar
hasil perencanaan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan
harapan.
Penduduk dapat berperan sebagai pelaku dan juga sebagai
sasaran dalam proses perencanaan pembangunan bahkan
berpeluang menjadi korban suatu perencanaan yang tidak baik.
Dinamika pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menjadi
persoalan bagi pemerintah dalam menata pembangunan yang
diarahkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarat, sehingga
faktor manusia tetap mengambil peran yang penting terutama dalam

Studio Proses Perencanaan E | 33


mengendalikan pertumbuhan penduduk tersebut, penyelenggaraan

BAB II
pemerintahan, pembangunan daerah dan kemasyarakatan.
Struktur dan Komposisi Penduduk
- Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel II. 1 Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan Total Berdasarkan Total Berdasarkan Total
Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Kabupaten/
Kota 2013 2014 2015
L P L P L P
Boyolali 468693 483124 471653 486204 471653 486204
Semarang 478695 495397 485278 502279 485278 502279
Grobogan 661109 675195 664853 679107 664853 679107
Klaten 563989 585005 566449 587591 566449 587591
Salatiga 87343 91251 88612 92581 88612 92581
Karanganyar 415578 424593 419566 428689 419566 428689
Sragen 427320 444669 429077 446523 429077 446523
Sukoharjo 420983 428523 424628 432309 424628 432309
Magelang 613112 608569 619125 614570 624973 620523
Surakarta 246982 260843 248066 262011 248066 262011
Sleman 581423 576962 582663 578713 588368 579113
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

- Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur


Klasifikasi penduduk berdasarkan struktur umur sangat
membantu pemerintah dan dunia usaha untuk menyusun program dan
strategi terkait dengan kesiapan umur produktif dan siap bekerja pada
suatu wilayah. Penggambaran penduduk menurut struktur umur juga
berguna untuk mengetahui jumlah penduduk produktif dan penduduk
non produktif. Hal ini akan berpengaruh pada angkatan kerja di suatu
wilayah serta tingkat ketergantungan penduduk non produktif pada
penduduk produktif. Penggambaran penduduk menurut struktur umur
juga diperlukan untuk perhitungan penyediaan fasilitas sosial dan
ekonomi. Dilihat dari struktur umur penduduk, suatu wilayah dapat
dikategorikan dalam 3 klasifikasi, yaitu: 1) Penduduk tua (old
population), jika penduduk yang berumur antara 0-14 tahun < 30
persen dan penduduk yang berumur +65 tahun > 10 persen; 2)

Studio Proses Perencanaan E | 34


Penduduk muda (young population), jika penduduk yang berumur

BAB II
antara 0-14 tahun > 40persen dan penduduk yang berumur +65 < 5
persen. 3) Penduduk produktif (productive population), jika penduduk
yang berumur antara 0-14 tahun berkisar 30 persen sampai 40 persen
dan penduduk yang berumur +65 tahun berkisar antara 5 persen
sampai 10 persen. Distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur di
Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada piramida dibawah ini,

Penduduk Kabupaten Boyolali berdasarkan


Kelompok umur 2015
>64
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
-15 -10 -5 0 5 10 15

Laki - laki Perempuan

Diagram 2. 1 Piramida Penduduk Kabupaten Boyolali Tahun 2015


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Berdasarkan data penduduk, struktur penduduk Kabupaten


Boyolali menurut kelompok umur memperlihatkan struktur umur
produktif. Pada tahun 2015 jumlah penduduk usia produktif relatif lebih
banyak dibanding kelompok usia lainnya. Diperkirakan laju
pertumbuhan tingkat angkatan kerja akan tumbuh pesat dimana
sebagai daerah yang berkembang, tentu lapangan kerja semakin
besar dan akan berdampak langsung terhadap kebutuhan jumlah
tenaga kerja yang besar pula.

Studio Proses Perencanaan E | 35


BAB II
Penduduk Wilayah Makro Menurut Kelompok
Umur Tahun 2015

60-64
50-54
40-44
30-34
20-24
10-14
0-4
-15 -10 -5 0 5 10

Perempuan Laki Laki

Diagram 2. 2 Piramida Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2015


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Berdasarkan data penduduk, struktur penduduk wilayah makro


menurut kelompok umur memperlihatkan struktur umur produktif. Pada
tahun 2015 jumlah penduduk usia produktif relatif lebih banyak
dibanding kelompok usia lainnya. Diperkirakan laju pertumbuhan
tingkat angkatan kerja akan tumbuh pesat dimana sebagai daerah
yang berkembang, tentu lapangan kerja semakin besar dan akan
berdampak langsung terhadap kebutuhan jumlah tenaga kerja yang
besar pula.
Pertumbuhan dan Perkembangan Penduduk
Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan yang
dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-
kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Secara terus-menerus
penduduk akan dipengaruhi oleh jumlah fertilitas yaitu bayi yang lahir
(menambah jumlah penduduk), tetapi secara bersamaan akan
dikurangi oleh mortalitas yaitu jumlah kematian yang terjadi pada
semua golongan umur. Sementara itu mobilitas atau migrasi juga
berperan imigran (pendatang) akan menambah dan emigran akan
mengurangi jumlah penduduk (Ida Bagus Mantra, 1981). Dibawah ini

Studio Proses Perencanaan E | 36


merupakan data dari fertilitas, mortalitas dan mobilitas pada wilayah

BAB II
makro dalam kurun waktu 2013-2015:
a. Fertilitas
Tabel II. 2 Tingkat Fertilitas di Kabupaten Boyolali

Lahir
Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015
Boyolali 11555 11575 11482
Semarang 11016 10780 10587
Grobogan 29266 43672 -
Klaten 12121 - -
Salatiga 9879 3396 3061
Karanganyar - 14862 12617
Sragen 865 813 766
Sukoharjo 18951 16435 -
Magelang - - -
Surakarta 7824 11361 8070
Sleman 9543 14844 9769
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Terlihat pada table diatas, bahwa jumlah fertilitas tiap


tahunnya tidak meningkat, tetapi menurun. Hal tersebut di
sebabkan oleh beberapa faktor. Tingginya angka fertilitas
dipengaruhi oleh bagaimana pandangan dan nilai-nilai budaya
dan sosial pada masyarakat, selain itu juga tingkat pendidikan
dan tingkat ekonomi pada masyarakat itu sendiri.

Studio Proses Perencanaan E | 37


b. Mortalitas

BAB II
Tabel II. 3 Tingkat Mortalitas Kabupaten Boyolali

Mati
Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015
Boyolali 6892 7152 7254
Semarang 5926 5883 5968
Grobogan
Klaten 8428
Salatiga 98 137 996
Karanganyar 183
Sragen 744 567 433
Sukoharjo 4918 6012
Magelang
Surakarta 5343 8958 4571
Sleman 5047 4985 5335
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Pada angka mortalitas di wilayah makro, pada tahun 2013


hingga 2015 memiliki nilai fluktuatif. Pada Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Salatiga, angka mortalitas cenderung meningkat
setiap tahunnya. Pada Kabupaten Semarang, Kabupaten
Sleman, Kota Surakarta dari tahun 2013 hingga 2015 nilainya
cenderung fluktuatif.

Studio Proses Perencanaan E | 38


c. Mobilitas

BAB II
Tabel II. 4 Tingkat Mobilitas Kabupaten Boyolali

Migrasi Masuk Migrasi Keluar


Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015 2013 2014 2015
Boyolali 7350 7883 9354 7678 8595 9063
Semarang 9475 97710 10541 9027 9001 9220
Grobogan
Klaten 10378 11158
Salatiga
Karanganyar
Sragen 968 832 715 896 971 1054
Sukoharjo 8825 10402 7127 9551
Magelang
Surakarta 11017 11261 12151 11228 10924 11096
Sleman 14464 12885 17212 11121 4985 11267
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Pada beberapa Kabupaten tiap tahunnya seperti Kabupaten


Sukoharjo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Semarang memiliki
jumlah migrasi masuk lebih banyak dari pada migrasi keluarnya.
Sedangkan pada Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten serta
Kota Surakarta memiliki jumlah migrasi keluar yang lebih banyak
dibandingkan migrasi masuk.

Studio Proses Perencanaan E | 39


d. Pertumbuhan Penduduk

BAB II
Tabel II. 5 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Boyolali

Tingkat Pertumbuhan
Kabupaten/ Kota
Penduduk (%)

Boyolali 0,66
Semarang 1,42
Grobogan 0,61
Klaten 0,47
Salatiga 1,47
Karanganyar 1,00
Sragen 0,44
Sukoharjo 0,91
Magelang 0,40
Surakarta 0,48
Sleman 1,21
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Dari tabel diatas terjadi variasi pertumbuhan penduduk antar


Kabupaten/ Kota dan terjadi penyebaran pertumbuhan penduduk
di wilayah makro pada tahun 2015. Prosentase pertumbuhan
penduduk terbesar terdapat pada Kebupaten Salatiga.
e. Proyeksi Penduduk
Untuk dapat merencanakan pembangunan di masa yang
akan datang, maka proyeksi jumlah penduduk sangat diperlukan
dalam menghitung besaran kebutuhan perencanaan
kawasan.Tujuannya adalah untuk menjadi informasi ilmiah bagi
para pihak untuk menentukan arah kebijakan pembangunan
daerah terutama kaitannya terhadap ketersediaan daya dukung
lahan dan kelembagaan masyarakat bila asumsi pertumbuhan
penduduk akan mencapai jumlah tertentu. Dalam menentukan
arahan pengembangan kawasan perencanaan wilayah makro,
dibuat proyeksi penduduk selama rentang waktu 2013-2035.
Adapun tahapan yang dilalui dalam penghitungan proyeksi
penduduk adalah dengan menghitung tingkat pertambahan
penduduk alamiah (sudah termasuk komponen migrasi neto).
Tingkat pertumbuhan penduduk diasumsikan bahwa kebijakan

Studio Proses Perencanaan E | 40


percepatan pengembangan perekonomian (melalui penggalian

BAB II
secara intensif potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah
perencanaan) serta kebijakan ketenagakerjaan (pemberian
berbagai bentuk insentif untuk membuka peluang usaha baru dan
sekaligus menyerap tenaga kerja) mempunyai dampak positif
kepada pertumbuhan penduduk di wilayah perencanaan.
11200000 y = 44548x + 10039358
11000000 R = 0.8935
10800000 10128453
10600000
10400000 10110547
10200000
10000000
9800000
10039358
9600000
9400000
Tahun Tahun Tahun
2013 2014 2015

Diagram 0.1 Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Wilayah Makro Tahun 2013-


2015
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Tabel II. 6 Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Wilayah Makro


Tahun 2020 2025 2030 2035
Proyeksi Penduduk 10.351.194 10.573.934 10.796.674 11.019.414
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Dari hasil perhitungan proyeksi penduduk menunjukkan


bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk wilayah makro
setiap 5 tahunnya adalah sekitar 200ribu penduduk.

Persebaran dan Kepadatan Penduduk


a. Distribusi penduduk
Memperhatikan data yang diperoleh, dapat di ketahui
konsentrasi jumlah penduduk yang paling tinggi terdapat di
Kabupaten Grobogan dengan jumlah penduduk pada tahun 2013
sebesar 1.336.304 jiwa, karena memang jika dilihat dari luas
wilayahnya, Kabupaten Grobogan memiliki wilyaha yang paling
luas diantara 11 Kabupaten/ Kota lainnya. Sedangkan jumlah
penduduk yang terkecil terdapat di Kota Salatiga dengan jumlah

Studio Proses Perencanaan E | 41


penduduk pada tahun yang sama hanya sebesar 178594 jiwa,

BAB II
dengan luas wilayah yang tidak besar. Kepadatan penduduk
dimasing-masing Kabupaten/ Kota terus meningkat seiring
adanya pertumbuhan penduduk sekaligus menjadi penentuan
peningkatan permintaan dan penawaran barang dan jasa atau
dalam istilah pemasaran sebagai konsumen. Sebaran penduduk
wilayah makro dapat dilihat pada tabel dibawah

Tabel II. 7 Jumlah Penduduk Wilayah Makro Tahun 2013-2015

Jumlah Penduduk
Kabupaten/ Kota
2013 2014 2015
Boyolali 951817 957857 957857
Semarang 974092 987557 987557
Grobogan 1336304 1343960 1343960
Klaten 1148994 1154040 1154040
Salatiga 178594 181193 181193
Karanganyar 840171 848255 848255
Sragen 871989 875600 875600
Sukoharjo 849506 856937 856937
Magelang 1221681 1233695 1245496
Surakarta 507825 510077 510077
Sleman 1158385 1161376 1167481
Sumber: Provinsi Dalam Angka, 2016

b. Kepadatan penduduk
Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk
menggambarkan tekanan penduduk terhadap luas wilayah.
Jumlah penduduk terus bertambah, sedangkan lahan yang ada
tetap, mengakibatkan kepadatan semakin bertambah tinggi.
Kepadatan penduduk dapat menjadi alat untuk mengukur kualitas
dan daya tampung lingkungan. Kepadatan penduduk per
kabupaten/kota di wilayah makro dilihat pada table berikut ini

Studio Proses Perencanaan E | 42


Tabel II. 8 Kepadatan Penduduk Wilayah Makro

BAB II
Tingkat Kepadatan
Kabupaten/ Kota
Penduduk (jiwa/km2)
Boyolali 545
Semarang 1 057
Grobogan 654
Klaten 1768
Salatiga 3471
Karanganyar 1109
Sragen 929
Sukoharjo 1852
Magelang 6666
Surakarta 11631
Sleman 2031
Sumber: Provinsi Dalam Angka, 2016

Kepadatan penduduk pada wilayah makro mengalami


perubahan setiap tahunnya, berdasarkan hasil perhitungan
kepadatan pendudu. Dilihat dari data kepadatan penduduk pada
tahun 2015, wilayah yang mengalami tingkat kepadatan paling
tinggi adalah Kota Surakarta dengan kepadatan penduduk tahun
2015 sebesar 11631 jiwa per km 2 , dan wilayah dengan tingkat
kepadatan paling rendah berada di Kabupaten Boyolali dengan
jumlah kepadatan penduduk pada tahun 2015 sebesar 545 jiwa
per km2 .

WILAYAH MESO
Struktur Penduduk
Pada wilayah meso Boyolali, kelompok usia penduduk
terbanyak adalah 64 tahun keatas. Sementara kelompok penduduk
dengan usia tersedikit adalah kelompok usia 60-64 tahun. Melihat
gambaran umum dari piramida penduduk yang ada, penduduk usia
non produktif akan lebih banyak menanggung penduduk usia non
produktif. Hal ini berdampak pada dependency ratio yang cenderung
tinggi untuk wilayah meso, yaitu 56,01. Diartikan bahwa disetiap 100
penduduk produktif menanggung 56 orang.

Studio Proses Perencanaan E | 43


BAB II
Penduduk Wilayah Meso
(Boyolali)
>64
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Laki - laki Perempuan

Diagram 2. 3 Piramida Penduduk Kabupaten Boyolali


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Kelahiran dan Kematian


Pada wilayah meso Boyolali, terjadi perbedaan tren untuk
kelahiran dan kematian. Jumlah kelahiran mengalami fluktuasi
perkembangan pada rentang waktu 2013-2015. Sementara itu, untuk
jumlah kematian mengalami tren peningkatan pada rentang waktu
tersebut. Kondisi yang berbeda terjadi di wilayah meso non Boyolali,
jumlah kelahiran dan kematian mengalami tren kenaikan selama 3
tahun terakhir.

Studio Proses Perencanaan E | 44


14000

BAB II
12000

10000

8000

6000

4000

2000

0
Kelahiran Kematian

2013 2014 2015

Diagram 2. 4 Jumlah Kelahiran dan Kematian Kabupaten Boyolali


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Migrasi
Pada wilayah meso Boyolali, migrasi masuk dan keluar
mengalami tren peningkatan pada 3 tahun terakhir. Dibandingkan
secara langsung, pada tahun 2013 dan 2014 jumlah migrasi keluar
lebih banyak dibanding migrasi masuk. Akan tetapi hal ini tidak terjadi
pada tahun 2015, penduduk masuk lebih banyak dibanding penduduk
keluar. Hal ini berbeda dengan kondisi dari wilayah meso non Boyolali,
terjadi fluktuasi perkembangan untuk jumlah migrasi masuk. Akan
tetapi untuk migrasi keluar mengalami tren kenaikan pada tiap
tahunnya.

Studio Proses Perencanaan E | 45


10000

BAB II
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Migrasi Masuk Migrasi Keluar

2013 2014 2015

Diagram 2. 5 Jumlah Migrasi Kabupaten Boyolali


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Pertumbuhan dan Kepadatan


Pada wilayah meso, pertumbuhan penduduk yang terjadi tidak
begitu signifikan. Untuk wilayah meso yang termasuk ke dalam
Kabupaten Boyolali hanya berkisar antara 0.66, sementara untuk
wilayah meso yang tidak termasuk ke dalam Kabupaten Boyolali hanya
berkisar 0.39%.
Sementara itu, berkaitan dengan kondisi kepadatan penduduk,
wilayah meso yang termasuk ke dalam Kabupaten Boyolali juga lebih
padat dibanding yang tidak termasuk ke dalam Kabupaten Boyolali.
Pada wilayah meso yang termasuk ke dalam Kabupaten Boyolali,
kepadatan penduduk berkisar 545 Jiwa/Km2. Lebih padat dibanding
kepadatan penduduk di wilayah meso non Boyolali.

Tabel II. 9 Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Wilayah Meso


Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan Penduduk
(jiwa /km2)
Wilayah Meso (Boyolali) 0.66% 545
Wilayah Meso (Non Boyolali) 0.39% 524
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kabupaten Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 46


WILAYAH MIKRO

BAB II
Struktur Penduduk
Pada wilayah mikro, kondisi struktur penduduk relative sama.
Penduduk usia produktif lebih banyak dibanding penduduk usia non
produktif. Kelompok umur dengan jumlah penduduk terbanyak adalah
10-20 tahun. Sementara itu, penduduk tersedikit berada pada
kelompok umur 60-64 tahun. Banyaknya usia non produktif kemudian
berimplikasi kepada tingginya angka dependency ratio di wilayah
terkait. Sementara itu, untuk usia produktif banyak yang bermigrasi ke
luar wilayah, untuk bekerja ataupun pindah dan menetap. Hal ini
diakibatkan oleh ketersediaan lapangan kerja dan fasilitas pelayanan
yang ada dirasa kurang mencukupi, sehingga harus bermigrasi keluar
wilayah.

Piramida Penduduk Juwangi


>64
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Perempuan Laki-Laki

Diagram 2. 6 Piramida Penduduk Kecamatan Juwangi


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 47


BAB II
Piramida Penduduk Kemusu
>64
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Perempuan Laki-Laki

Diagram 2. 7 Piramida Penduduk Kecamatan Kemusu


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Piramida Penduduk Wonosegoro


>64
60-64
55-59
50-54
45-49
40-44
35-39
30-34
25-29
20-24
15-19
10-14
5-9
0-4
15 10 5 0 5 10 15

Perempuan Laki-Laki

Diagram 2. 8 Piramida Penduduk Wonosegoro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 48


2.2.4.1 Kelahiran dan Kematian

BAB II
Kondisi kelahiran dan kematian di wilayah mikro mengalami
fluktuasi perkembangan pada 3 tahun akhir. Jumlah kelahiran dan
kematian mencapai jumlah terbanyak pada tahun 2014, untuk hampir
seluruh wilayah mikro. Sementara itu, perbandingan antara jumlah
kelahiran dan kematian relative ekstrim, dimana jumlah kelahiran 2 X
lebih banyak dibanding jumlah kematian, untuk di wilayah mikro
Kemusu dan Woosegoro. Pada wilayah Juwangi, jumlah kelahiran
justru lebih banyak 2 X dibanding jumlah kematian. Kondisi di wilayah
Juwangi tersebut kemudian berimplikasi pada tingkat pertumbuhan
yang tinggi di wilayah tersebut.
Tabel II. 10 Tingkat Kelahiran dan Kematian Wilayah Mikro
Kelahiran Kematian
2013 2014 2015 2013 2014 2015
Kemusu 252 456 273 196 318 194
Wonosegoro 507 635 556 323 361 372
Juwangi 266 496 642 108 230 213
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

Diagram Kelahiran dan Kematian


700
600
500
400
300
200
100
0
Kelahiran Kelahiran Kelahiran Kematian Kematian Kematian
Kemusu Wonosegoro Juwangi Kemusu Wonosegoro Juwangi

2013 2014 2015

Diagram 2. 9 Tingkat Kelahiran dan Kematian Wilayah Mikro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 49


2.2.4.2 Migrasi

BAB II
Pada rentang waktu 2013-2015, terjadi fluktuasi perkembangan
jumlah migrasi masuk dan keluar di wilayah mikro. Untuk wilayah
Kemusu dan Wonosegoro, jumlah migrasi keluar lebih banyak
dibanding jumlah migrasi masuk. Kondisi ini berbeda dari wilayah
Juwangi, dimana migrasi masuk lebih banyak dibanding migrasi kelaur.
Hal ini kemudian berimplikasi kepada kondisi pertumbuhan penduduk
di wilaya Juwangi, yang lebih tinggi dibanding 2 wilayah lainnya.
Kondisi ini disebabkan oleh banyaknya penduduk terutama ynga
berusia produktif yang bermigrasi keluar wilayah, untuk bekerja atau
pindah dan menetap di wilayah lain.
Tabel II. 11 Migrasi Masuk dan Keluar Wilayah Mikro
Migrasi Masuk Migrasi Keluar
2013 2014 2015 2013 2014 2015
Kemusu 107 153 73 102 289 166
Wonosegoro 197 195 243 260 251 354
Juwangi 37 44 12 19 15 19
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

Diagram Migrasi Wilayah Mikro


400
350
300
250
200
150
100
50
0
Migrasi MasukMigrasi MasukMigrasi Masuk Migrasi Keluar Migrasi Keluar Migrasi Keluar
Kemusu Wonsegoro Juwangi Kemusu Wonosegoro Juwangi

2013 2014 2015

Diagram 2. 10 Tingkat Migrasi Wilayah Mikro


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 50


Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk

BAB II
Pada wilyah mikro, pertumbuhan penduduk yang terjadi tidak
begitu signifikan. Untuk wilayah Kemusu dan Wonosegoro hanya
berkisar antara 0.1 hingga 0.2 %. Kondisi ini berbeda dengan kondisi
di wilayah Juwangi, dimana angka pertumbuhan penduduk 1.4% di
tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah kelahiran yang lebih
tinggi dibanding kematian, serta jumlah penduduk masuk yang lebih
banyak dibanding penduduk keluar di wilayah Juwangi.
Semenetara itu, berkaitan dengan kondisi kepadatan penduduk,
wilayah Wonosegoro merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan
tertinggi dibanding wilayah lainnya. Walaupun luas wilayah
Wonosegoro merupakan yang terluas, akan tetapi jumlah
penduduknya juga lebih banyak dibanding wilayah lainnya. Kepadatan
nantinya berpengrauh terhadap kemungkinan pembangunan
permukiman dan lainnya.

Tabel II. 12 Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Wilayah Mikro


Tingkat Pertumbuhan Kepadatan Penduduk
Penduduk (jiwa/km2)

Kemusu 0.11 471

Wonosegoro 0.16 596

Juwangi 1.4 449

Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

KAWASAN PERKOTAAN
Struktur dan Komposisi Penduduk
A. Jumlah Penduduk
Wilayah perkotaan di wilayah studi terdiri dari 2 daerah,
yaitu perkotaan Juwangi dan Wonosegoro. Adapun perkotaan
Juwangi berada di Kecamatan Juwangi, dan perkotaan
Wonosegoro berada di Kecamatan Wonosegoro. Perkotaan
Juwangi terdiri dari 2 kelurahan, yaitu Juwangi dan Pilangrejo,

Studio Proses Perencanaan E | 51


sementara perkotaan Wonosegoro terdiri dari 2 kelurahan juga,

BAB II
yaitu Wonosegoro dan Ketoyan. Rata-rata penduduk di daerah
tersebut 4011 jiwa. Sebanyak 13% penduduk di wilayah studi
(Kecamatan Juwangi, Wonosegoro dan Kemusu) menempati
wilayah perkotaan, dengan 87 % sisanya tinggal di wilayah non
perkotaan

Tabel II. 13 Jumlah Penduduk Kawasan Perkotaan


Kelurahan L P Jumlah Sex Ratio
Juwangi 2477 2795 5272 88.3
Pilangrejo 2112 2210 4322 95.61
Ketoyan 1653 1689 3342 97.86
Wonosegoro 1529 1578 3107 96.89
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Perbandingan Jumlah Penduduk Perkotaan dan


Non Perkotaan
Perkotaan
13%

Non-Perkotaan
87%
Perkotaan Non-Perkotaan

Diagram 2. 11 Perbandingan Jumlah Penduduk Perkotaan dan Non Perkotaan


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

B. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin


Pada wilayah perkotaan, perbandingan laki-laki dan
perempuan relative sama dengan wilayah non perkotaan, yaitu
penduduk didominasi oleh wanita dengan perbanidngan 52 %
perempuan di perkotaan, dan 51% perempuan di wilayah non
perkotaan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya
Studio Proses Perencanaan E | 52
adalah banyaknya laki-laki yang ber migrasi keluar wilayah

BAB II
perkotaan, untuk bekerja terutama.

Tabel II. 14 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin


Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
Juwangi 2477 2795 5272 88,3
Ketoyan 1653 1689 3342 97,8
Pilangrejo 2112 2210 4322 95.61
Wonosegoro 1529 1578 3107 96.89
Non-Perkotaan 53274 54668 107942 97,4
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Komposisi Penduduk Perkotaan Berdasarkan


Jenis Kelamin

Laki-Laki
48%
Perempuan
52%

Laki-Laki Perempuan

Diagram 2. 12 Komposisi Penduduk Perkotaan berdasarkan Jenis Kelamin


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 53


BAB II
Komposisi Penduduk Non-Perkotaan Berdasarkan
Jenis Kelamin

Laki-Laki
49%
Perempuan
51%

Laki-Laki Perempuan

Diagram 2. 13 Komposisi Penduduk Non Perkotaan berdasarkan Jenis


Kelamin
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

C. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur


Pada kawasan perkotaan, kelompok umur dengan jumlah
terbanyak adalah kelompok umur 64 tahun+, dan paling sedikit
di usia 60-64 tahun. Dengan jumlah penduduk usia non produktif
lebih banyak, menjadikan dependency ratio di wilayah studi
terkategorikan tinggi. Adapun hal ini disebabkan oleh beberapa
penyebab, diantaranya adalah banyak penduduk usia produktif
yang keluar wilayah perkotaan, baik yang pindah secara tetap,
ataupun temporal.

Tabel II. 15 Jumlah Penduduk Kawasan Perkotaan berdasarkan Kelompok


Umur
Perkotaan Non-Perkotaan
Kelompok Umur L P Jumlah Kelompok Umur L P Jumlah
0-5 485 441 926 0-5 4465 4457 9368
6-9 698 654 1352 6-9 5356 5396 10752
10-14 698 729 1427 10-14 6356 5916 12272
15-19 760 678 1438 14-19 6095 5425 11520
20-24 511 544 1055 20-24 3946 4292 8238
25-29 449 533 982 25-29 4014 4421 8435
30-34 566 446 1012 30-34 4385 4708 9093
35-39 534 558 1092 35-39 4188 4312 8500

Studio Proses Perencanaan E | 54


Perkotaan Non-Perkotaan

BAB II
Kelompok Umur L P Jumlah Kelompok Umur L P Jumlah
40-44 524 601 1125 40-44 4382 4528 8910
45-49 512 590 1102 45-49 4150 4582 8732
50-54 499 568 1067 50-54 4070 4198 8268
55-59 426 400 826 55-59 3226 3065 6291
60-64 311 358 669 60-64 2547 2720 5267
64+ 764 939 1703 64+ 6229 7616 13845
15776 121451
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

Piramida Penduduk Perkotaan


64+ 4,8% 5,9%
60-64 1,9% 2,2%
55-59 2,7% 2,5%
50-54 3,1% 3,6%
45-49 3,2% 3,7%
40-44 3,3% 3,8%
35-39 3,4% 3,5%
30-34 3,6% 2,8%
25-29 2,8% 3,3%
20-24 3,2% 3,4%
15-19 4,8% 4,2%
10 Sampai 14 4,4% 4,6%
5 Sampai 9 4,4% 4,1%
0-4 3,1% 2,8%
-6% -4% -2% 0% 2% 4% 6% 8%

Perempuan Laki-Laki

Diagram 2. 14 Piramida Penduduk Kawasan Perkotaan


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Pada kawasan perkotaan, kelompok umur dengan jumlah


terbanyak adalah kelompok umur 64 tahun+, dan paling sedikit
di usia 60-64 tahun. Dengan jumlah penduduk usia non
produktif lebih banyak, menjadikan dependency ratio di wilayah
studi terkategorikan tinggi. Adapun hal ini disebabkan oleh
beberapa penyebab, diantaranya adalah banyak penduduk usia
produktif yang keluar wilayah perkotaan, baik yang pindah
secara tetap, ataupun temporal.

Studio Proses Perencanaan E | 55


Pertumbuhan dan Perkembangan Penduduk

BAB II
A. Fertilitas dan Mortalitas
Fertilitas di kawasan perkotaan relative lebih tinggi
dibandingkan kawasan non perkotaan. Dibandingkan dengan
jumlah kematian juga kelahiran lebih tinggi. Tingkat kelahiran
kemudian diterjemahkan dengan angka kelahiran umum atau
General Fertility Ratio. Pada perkotaan Juwangi, nilai GFR nya
adalah 59, yang berarti terdapat 59 kelahiran pada 100 wanita
usai produktif. Sementara untuk perkotaan Wonosegoro nilai
GFR nya adalah 29.
Sementara itu, untuk angka keamtain, diterjemahkan
dengan angka kematian umum yaitu Crude Death Ratio. Pada
perkotaan Juwangi dan Wonosegoro masing-masing memiliki
nilai 4 dan 5, yang berarti terdapat 4 dan 5 kematian di tiap 1000
penduduk.

Tabel II. 16 Fertilitas dan Mortilitas Kawasan Perkotaan


Desa Lahir Mati
Juwangi 65 18
Pilangrejo 75 27
Ketoyan 24 7
Wonosegoro 24 24
188 76
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

B. Migrasi Masuk
Migrasi masuk dan keluar adalah instrument yang
digunakan untuk mengetahui mobilitas warga, dengan salah
satu indikatornya adalah mobilitas netto. Mobilitas netto adalah
perbandingan atau pengurangan antara jumlah penduduk
masuk dengan jumlah penduduk keluar. Perbedaan ekstrim
antara jumlah penduduk yang melakukan mobilitas masuk
dengan keluar akan mengidentifikasi sebuah masalah di suatu
wilayah. Jika jumlah penduduk masuk secara ekstrim lebih
banyak dibanding penduduk akan berimplikasi pada kepadatan
penduduk serta pertumbuhan penduduk yang akan meningkat.
Jika jumlah penduduk keluar secara ekstrim, dapat terindikasi
Studio Proses Perencanaan E | 56
bahwa terjadi suatu masalah di wilayah tersebut, sebagai

BAB II
contoh adalah bencana alam.
Pada wilayah perkotaan, migrasi keluar lebih banyak
dibanding migrasi masuk. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan dan
ketidakseusian kualifikasi pekerjaan, sehingga banyak
penduduk yang kemudian bermigrasi keluar wilayah perkotaan.
Adapun migrasi masuk perkotaan disebabkan oleh penduduk
yang inging mememnuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk
aktifitas pendidikan serta perdagangan dan jasa.
Tabel II. 17 Jumlah Migrasi Masuk Kawasan Perkotaan
Migrasi Masuk
Perkotaan
2013 2014 2015
Juwangi 0 8 0
Pilangrejo 16 0 0
Ketoyan 8 0 5
Wonosegoro 20 12 8
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

Migrasi Masuk Kawasan Perkotaan


30
28
25

20

16
15
13
12
10
8
5

0 0 0
2013 2014 2015

Juwangi Wonosegoro

Diagram 2. 15 Jumlah Migrasi Masuk Kawasan Perkotaan


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 57


C. Migrasi Keluar

BAB II
Tabel II. 18 Jumlah Migrasi Keluar Kawasan Perkotaan
Kawasan Migrasi Keluar
Perkotaan 2013 2014 2015
Juwangi 0 6 4
Pilangrejo 0 0 0
Ketoyan 11 0 22
Wonosegoro 39 30 10
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2016

Migrasi Keluar Kawasan Perkotaan


60

50

40

30

20

10

0
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

Juwangi Wonosegoro

Diagram 2. 16 Jumlah Migrasi Keluar Kawasan Perkotaan


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 58


BAB II
Total Migrasi Kawasan Perkotaan
60

50

40

30

20

10

0
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015

Migrasi Masuk Juwangi Migrasi Keluar Juwangi


Migrasi Masuk Wonosegoro Migrasi Keluar Wonosegoro

Diagram 2. 17 Total Migrasi Masuk dan Keluar Kawasan Perkotaan


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

D. Tingkat Urbanisasi
Tingkat urbanisasi adalah ukuran pertumbuhan penduduk di
kawasan perkotaan. Pada wilayah perkotaan, laju pertumbuhan
penduduknya lebih banyak dibanding wilayah non perkotaan.
Hal ini disebabkan oleh penduduk yang masuk serta angka
kelahiran dan kematian di wilayah perkotaan, yang berimplikasi
pada laju pertumbuhan penduduk sendiri.

Tabel II. 19 Tingkat Urbanisasi Kawasan Perkotaan


Laju Pertumbuhan Laju Pertumbuhan Laju
Tingkat
Tahun Penduduk Penduduk Peertumbuhan
Urbanisasi
Perkotaan Pedesaan Penduduk Total
2013 17,47% 1,12% 1,87% 1,74%
2014 17,37% 0,12% -0,74% -0,59%
2015 17,49%
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 59


2.50%

BAB II
2.00%
1.87%
1.74%
1.50%

1.12% Laju Pertumbuhan


1.00% Penduduk Perkotaan
Laju Pertumbuhan
0.50% Penduduk Pedesaan
0.12% Laju Pertumbuhan
0.00% Penduduk Keseluruhan

-0.50%
-0.59%
-0.74%
-1.00%
2013-2014 2014-2015

Diagram 2. 18 Laju Pertumbuhan Penduduk Kawasan Perkotaan


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E dari Kecamatan Dalam Angka, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 60


ASPEK EKONOMI

BAB II
WILAYAH MAKRO
Kebijakan Ekonomi Wilayah Makro
Pengembangan sektor perekonomian
kawasan pertanian lahan basah
kawasan pertanian lahan kering
kawasan peruntukan perkebunan
Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi Makro 2011-2015


7.0%
6.0%
5.0%
4.0%
3.0%
2.0%
1.0%
0.0%
2011-2012 2012-2013 2013-2014 2014-2015

Boyolali Semarang Grobogan Klaten


Salatiga Sragen Sukoharjo Magelang
Surakarta Sleman Karanganyar

Diagram 2. 19 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Makro Tahun 2011-2015


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Pertumbuhan Ekonomi dapat menggunakan data PDRB ADHK.


Produk Domestik Regional Bruto memiliki nilai yang beragam setiap
tahunnya, perubahannya tergantung pada masing-masing sektornya.
Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung menggunakan rumus Laju
Pertumbuhan Ekonomi.

Dari hasil perhitungan diatas, didapatkan nilai pertumbuhan dan


dideskripsikan dengan diagram bar. Diagram diatas menunjukan
bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah makro memiliki pertumbuhan

Studio Proses Perencanaan E | 61


ekonomi yang fluktuatif. Jika dibandingkan dengan antar wilayah

BAB II
makro. Nilai PDRB wilayah makro tergolong stabil. Hal ini menandakan
bahwa perekonomian tidak dalam masa kritis, nilai pertumbuhannya
pun masih mendekati nilai pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa
Tengah sebesar 5,4%

Struktur Ekonomi

STRUKTUR EKONOMI MAKRO 2015

12% 14% Pertanian


Pertambangan
6% 2%
Industri
Listrik
12% Bangunan

28% Perdagangan
Angkutan
15% Keuangan

0% Jasa
11%

Diagram 2. 20 Struktur Ekonomi Wilayah Makro Tahun 2015


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Tabel II. 20 Komposisi Struktur Ekonomi Wilayah Makro Tahun 2015


Komposisi
Struktur Ekonomi Sektor
Struktur
Sektor Primer Pertanian, Pertambangan 16%
Sektor Sekunder Industri, Listrik, Bangunan 39%
Sektor Tersier Perdagangan, Jasa, Angkutan, Keuangan 45%
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Struktur ekonomi diatas merupakan gabungan dari 9 sektor


ekonomi. Dari hasil interpretasi diagram pie diatas dapat dilihat bahwa
sektor yang paling mendominasi adalah sektor industri sebesar 28%.
Jika dilihat secara struktur ekonomi lingkup wilayah makro didominasi
oleh sektor tersier dengan komposisi 45% sektor perdagangan, sektor
angkutan, sektor jasa, dan sektor keuangan. Kontribusi kedua diduduki
Studio Proses Perencanaan E | 62
oleh sektor sekunder. Sektor sekunder ini mempunyai komposisi 39%

BAB II
dan terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan
konstruksi, dan sektor pengadaan listrik dan gas. Sektor terakhir
adalah sektor primer mempunyai komposisi sebesar 16% yang terdiri
dari sektor pertanian dan pertambangan. Dengan mendominasinya
sektor tersier, dapat disimpulkan bahwa wilayah studi makro
merupakan wilayah yang cukup maju dengan berkembanganya sektor
tersier dimana masyarakat berfokus pada kegiatan perdagangan dan
jasa. Jika dikaitkan dengan teori transisi perekonomian, masyarakat
wilayah makro sudah menduduki tahap komsumsi masal dengan
karakteristik industri yang stabil, pergeseran ke ekonomi tersier
(kwarter), tingkat pendapatan tinggi.
Analisis LQ
Location Qoutient (LQ) adalah sebuah analisis yang digunakan
untuk menganalisis dan mengetahui perkembangan tingkat
spesialisasi sector-sektor di suatu daerah serta mengetahui sector-
sektor perekonomian yang menjadi sector basis dan sektor non basis
di Kabupaten Boyolali. Dalam menganalisis perhitungan Location
Qoutient dibutuhkan data berupa PDRB 11 Kabupaten yang meliputi,
Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan,
Kabupaten Klaten, Kota Salatiga, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Sragen, Kabupaten SUkoharjo, Kabupaten Magelang, Kota Surakarta,
dan Kabupaten Sleman dengan periode tahun 2011 sampai tahun
2015 baik berdasarkan harga konstan maupun harga berlaku. Data
tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 9 sektor ekonomi untuk
mengetahui pendapatan dan produksi riil di Kabupaten Boyolali
terhadap 11 Kabupaten di wilayah Makro. Selanjutnya dilakukan
perhitungan LQ per tahun dari tahun 2011 sampai 2015 dan
selanjutnya dihitung rata-rata sehingga dapat diketahui sektor mana
yang merupakan sektor basis dan sektor non basis. Berikut adalah
hasil perhitungan LQ dari tahun 2011-2015 berdasarkan PDRB ADHB
yang selanjutnya dilakukan rata-rata untuk melihat gambaran
umumnya.

Studio Proses Perencanaan E | 63


Tabel II. 21 Perhitungan LQ Wilayah Makro berdasarkan PDRB ADHB

BAB II
LQ Rata-
No SEKTOR LQ 2011 LQ 2012 LQ 2013 LQ 2014 LQ 2015
rata
Pertanian, 1.6179 1.7429 1.5834 1.571 1.688 1.64
1 Kehutanan, dan Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Perikanan Saing Saing Saing Saing Saing Saing
2.6836 2.5974 2.6003 2.6596 2.65 2.63
Pertambangan
2 Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
dan Penggalian
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
1.0701 1.0546 1.0716 1.0766 0.96 1.05
Industri Tidak
3 Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Pengolahan Berdaya
Saing Saing Saing Saing Saing
Saing
0.2403 0.2218 0.2087 0.2004 0.4 0.25
Pengadaan
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
4 Listrik, Gas dan
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Air Bersih
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
0.5973 0.5905 0.5862 0.5954 0.59 0.59
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
5 Konstruksi
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
0.8824 0.8518 0.8581 0.85 0.86 0.86
Perdagangan,
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
6 Hotel dan
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Restoran
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
0.7832 0.7739 0.7985 0.82 0.81 0.79
Transportasi,
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
7 Angkutan dan
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Komunikasi
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
0.5197 0.5719 0.5724 0.56 0.58 0.56
Keuangan, Real
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
8 Estate dan
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Asuransi
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
0.8404 0.8531 0.8962 0.88 0.90 0.87
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
9 Jasa dan Sosial
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing Saing Saing Saing Saing Saing
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 64


Berdasarkan tabel perhitungan LQ berdasarkan PDRB ADHB

BAB II
diatas dapat dilihat sektor yang menjadi basis dan non basis. Sektor
yang masuk kedalam kelompok basis adalah sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; industri
pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran;
keuangan, real estate dan asuransi; pengadaan listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan komunikasi; jasa dan
sosial merupakan sektor yang masuk kelompok non basis.
Selain menggunakan PDRB ADHB, pada penelitian ini juga
menggunakan PDRB ADHK. Hal ini berguna sebagai perbandingan
apakah ada perbedaan yang signifikan antara kedua data. Berikut
adalah hasil perhitungan LQ dari tahun 20011-2015 berdasarkan
PDRB ADHK yang selanjutnya dilakukan rata-rata untuk melihat
gambaran umumnya.

Studio Proses Perencanaan E | 65


Tabel II. 22 Perhitungan LQ Wilayah Makro berdasarkan PDRB ADHK

BAB II
No SEKTOR LQ 2011 LQ 2012 LQ 2013 LQ 2014 LQ 2015 LQ Rata-rata
1 Pertanian, 2.08 1.65 1.64 1.64 1.35 1.67
Kehutanan, Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Berdaya Saing
dan Perikanan Saing Saing Saing Saing Saing
2 Pertambangan 2.88 2.61 2.60 2.62 2.11 2.56
dan Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Berdaya Saing
Penggalian Saing Saing Saing Saing Saing
3 Industri 1.19 1.11 1.13 1.14 0.81 1.07
Pengolahan Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Tidak
Saing Saing Saing Saing Berdaya Berdaya Saing
Saing
4 Pengadaan 0.31 0.31 0.30 0.3 0.30 0.3
Listrik, Gas Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
dan Air Bersih Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
5 Konstruksi 0.63 0.58 0.57 0.58 0.46 0.57
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
6 Perdagangan, 0.97 0.88 0.87 0.87 0.68 0.86
Hotel dan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
Restoran Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
7 Transportasi, 0.42 0.74 0.74 0.76 0.6 0.65
Angkutan dan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
Komunikasi Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
8 Keuangan, 0.62 0.56 0.55 0.54 0.42 0.54
Real Estate Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
dan Asuransi Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
9 Jasa dan 0.91 0.82 0.83 0.84 0.68 0.82
Sosial Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Tidak Berdaya
Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya Berdaya
Saing
Saing Saing Saing Saing Saing
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Berdasarkan tabel rata-rata LQ wilayah makro (PDRB ADHK)


diatas dapat dilihat sektor yang menjadi basis dan non basis. Sektor
yang masuk kedalam kelompok basis adalah sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; industri

Studio Proses Perencanaan E | 66


pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran;

BAB II
keuangan, real estate dan asuransi; pengadaan listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan komunikasi; jasa dan
sosial merupakan sektor yang masuk kelompok non basis.
Meskipun nilai LQ ADHK dan LQ ADHB tidak sama, namun tidak
terdapat perbedaan antara LQ ADHK dengan LQ ADHB. Keduanya
menunjukkan sektor basis dan sektor non basis yang sama. Sektor
yang masuk kedalam kelompok basis adalah sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; industri
pengolahan. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran;
keuangan, real estate dan asuransi; pengadaan listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan komunikasi; jasa dan
sosial merupakan sektor yang masuk kelompok non basis.
Analisis Shift-Share
Analisis shift-share merupakan analisis yang dapat digunakan
untuk menilai kinerja perekonomian daerah terhadap perekonomian
wilayah dengan cakupan administrasi diatas wilayah analisis, posisi
suatu sektor dalam ekonomi agregat dan identifikasi sektor unggulan
suatu wilayah. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan kinerja
atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan
membandingkan dengan agregat yang lebih besar secara regional.
Dalam perhitungan ini menggunakan data PDRB PDRB 11 Kabupaten
yang meliputi, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang, Kabupaten
Grobogan, Kabupaten Klaten, Kota Salatiga, Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Magelang, Kota
Surakarta, dan Kabupaten Sleman dengan periode tahun 2011 sampai
tahun 2015. Dalam Analisis ini dibandingkan 11 Kabupaten sebagai
wilayah Makro dengan Kabupaten Boyolali. Berikut hasil perhitungan
pertumbuhan ekonomi tiap sektor dan Interpretasinya.

Studio Proses Perencanaan E | 67


Tabel II. 23 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Makro berdasarkan PDRB

BAB II
ADHB
INTERPRETASI KOMPONEN M dan S
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)

SHIFT-SHARE = M (PS) KETERANGAN S (DS) KETERANGAN


Ri-Ra ri-Ri
Manual
- Berkembang Lebih Kurang
-0.86% 40.50% 40.50% -17.78% -0.86%
17.78% Lambat Kompetitif
Berkembang Lebih Kurang
16.13% -10.22% 65.05% 65.05% 16.13% -10.22%
Cepat Kompetitif
Berkembang Lebih Kurang
23.98% -20.64% 62.48% 62.48% 23.98% -20.64%
Cepat Kompetitif
- Berkembang Lebih
42.53% 12.68% 12.68% -88.98% 42.53% Lebih Kompetitif
88.98% Lambat
Berkembang Lebih Kurang
-1.30% -7.88% 49.96% 49.96% -1.30% -7.88%
Lambat Kompetitif
- Berkembang Lebih Kurang
-9.14% 29.51% 29.51% -20.50% -9.14%
20.50% Lambat Kompetitif
Berkembang Lebih Kurang
3.38% -1.95% 60.56% 60.56% 3.38% -1.95%
Cepat Kompetitif
Berkembang Lebih
-3.16% 9.95% 65.94% 65.94% -3.16% 9.95% Lebih Kompetitif
Lambat
Berkembang Lebih
3.81% 4.59% 67.53% 67.53% 3.81% 4.59% Lebih Kompetitif
Cepat
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Menurut hasil perhitungan Analisis Shift-Share berdasarkan


PDRB ADHB di Kabupaten Boyolali apabila dibandingkan wilayah
Makro maka sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan; Konstruksi;
serta Perdagangan, Hotel dan Restoran tergolong dalam sektor yang
berkembang lambat dan kurang kompetitif. Sedangkan Pertambangan
dan Penggalian; Industri Pengolahan; dan Transportasi, Angkutan dan
Komunikasi tergolong dalam sektor yang berkembang lebih cepat
namun kurang kompetitif. Pengadaan Listrik, Air, dan Gas; dan

Studio Proses Perencanaan E | 68


Keuangan, Real Estate dan Asuransi tergolong dalam sektor-sektor

BAB II
yang berkembang lambat namun memiliki sifat yang lebih kompetitif,
sedangkan jasa dan sosial tergolong dalam sektor yang berkembang
lebih cepat dan lebih kompetitif.
Tabel II. 24 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Makro berdasarkan PDRB
ADHK
INTERPRETASI KOMPONEN M dan S
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)
M (PS) KETERANGAN S (DS) KETERANGAN
Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE = Manual
7.43% -26.19% 10.69% 10.69% 7.43% Berkembang Lebih Cepat -26.19% Kurang Kompetitif
1.71% -11.35% 19.81% 19.81% 1.71% Berkembang Lebih Cepat -11.35% Kurang Kompetitif
34.70% -25.23% 38.92% 38.92% 34.70% Berkembang Lebih Cepat -25.23% Kurang Kompetitif
-29.00% 20.67% 21.13% 21.13% -29.00% Berkembang Lebih Lambat 20.67% Lebih Kompetitif
5.06% -11.96% 22.55% 22.55% 5.06% Berkembang Lebih Cepat -11.96% Kurang Kompetitif
1.88% -17.35% 13.99% 13.99% 1.88% Berkembang Lebih Cepat -17.35% Kurang Kompetitif
-51.15% 58.65% 36.95% 36.95% -51.15% Berkembang Lebih Lambat 58.65% Lebih Kompetitif
18.40% -24.55% 23.29% 23.29% 18.40% Berkembang Lebih Cepat -24.55% Kurang Kompetitif
12.51% -9.58% 32.38% 32.38% 12.51% Berkembang Lebih Cepat -9.58% Kurang Kompetitif
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Menurut hasil perhitungan Analisis Shift-Share berdasarkan


PDRB ADHK di Kabupaten Boyolali apabila dibandingkan wilayah
Makro sektor Pengadaan Listrik, Air, dan Gas; dan Transportasi,
Angkutan dan Komunikasi tergolong dalam sektor-sektor yang
berkembang lambat namun memiliki sifat yang lebih kompetitif,
sedangkan sektor-sektor lainnya tergolong dalam sektor yang
berkembang lebih cepat, namun kurang kompetitif.

Dari data diatas, diketahui bahwa antara hasil perhitungan


analisis Shhift-Share menurut PDRB ADHB dengan PDRB ADHK
memiliki perbedaan yang cukup besar, baik dari segi nilai maupun hasil
interpretasi, hal ini dikarenakan pada untuk melihat pertumbuhannya
PDRB ADHK dinilai lebih cocok karena tidak terpengaruh oleh inflasi
yang terjadi di tahun tersebut. Sehingga pertumbuhan naik turunnya
nilai akan terinterpretasikan dengan jelas.

Studio Proses Perencanaan E | 69


WILAYAH MESO

BAB II
Kebijakan Ekonomi Wilayah Meso
Pengembangan sektor perekonomian
o kawasan pertanian tanaman pangan :
pertanian lahan basah
pertanian lahan kering
pertanian pangan berkelanjutan
cadangan pertanian pangan berkelanjutan
o kawasan pertanian hortikultura

Pertumbuhan Ekonomi

Selo Ampel Cepogo Musuk Boyolali Mojosongo


Teras Sawit Banyudono Sambi Ngemplak Nogosari
Simo Karanggede Klego Andong Kemusu Wonosegoro
Juwangi Miri Geyer Suruh Bancak
14.00%

12.00%

10.00%

8.00%

6.00%

4.00%

2.00%

0.00%
2006-2007 2007-2008 2008-2009 2009-2010 2010-2011
-2.00%

-4.00%

-6.00%

Diagram 2. 21 Pertumbuhan Ekonomi WIlayah Meso Tahun 2006-2011


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Asumsi: Pertumbuhan ekonomi menggunakan data PDRB ADHK tahun


2006-2010 pada 19 kecamatan di Kabupaten Boyolali, dengan tambahan

Studio Proses Perencanaan E | 70


data PDRB tahun 2006-2008 Kecamatan Miri, Kecamatan Suruh, Kec

BAB II
Bancak, tahun 2009-2010 Kecamatan Miri

Pertumbuhan Ekonomi dapat menggunakan data PDRB ADHK.


Produk Domestik Regional Bruto memiliki nilai yang beragam setiap
tahunnya, perubahannya tergantung pada komposisi masing-masing
sektornya. Pertumbuhan ekonomi dapat dihitung menggunakan rumus
Laju Pertumbuhan Ekonomi. Hasil interpretasi data PDRB ADHK
wilayah meso, menunjukan bahwa setiap tahun menunjukan
pertumbuhan yang fluktuatif. Hal ini tentu dipengaruhi oleh PDRB
ADHK masing-masing wilayahnya. Terlihat pada tahun 2007-2008
terjadi peningkatan laju yang cukup tinggi dibandingkan sebelumnya
pada Kecamatan Wonosegoro, dan terjadi penurunan yang cukup
tinggi di Kecamatan Musuk, tetapi pada periode berikutnya
pertumbuhan kembali normal dan stabil.

Struktur Ekonomi

11%
Pertanian
7% Pertambangan

3% 36% Industri
Listrik
Bangunan
Perdagangan

24% Angkutan
Keuangan
1%
Jasa
3%1% 14%

Diagram 2. 22 Struktur Ekonomi Wilayah Meso Tahun 2011


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 71


Tabel II. 25 Komposisi Struktur Ekonomi Wilayah Meso Tahun 2011

BAB II
Struktur Ekonomi Sektor Komposisi Struktur
Sektor Primer Pertanian, Pertambangan 37%
Sektor Sekunder Industri, Listrik, Bangunan 18%
Perdagangan, Jasa, Angkutan,
Sektor Tersier 45%
Keuangan
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Jika dilihat dari setiap sektornya, sektor ekonomi yang paling


mendominasi adalah sektor pertanian dengan komposisi 36%. Tetapi
jika dilihat secara struktur ekonomi, sektor yang paling mendominasi
adalah sektor tersier dengan komposisi 45%. Sektor tersier ini terdiri
dari sektor pedagangan, sektor angkutan, sektor keuangan, dan sektor
jasa. Selanjutnya sektor yang mendominasi kedua adalah sektor
primer dengan komposisi 37%, sektor ini terdiri dari sektor pertanian
dan sektor pertambangan. Sektor yang memiliki komposisi terendah
adalah sektor sekunder dengan komposisi 18%, sektor ini terdiri dari
sektor industri, sektor bangunan, dan sektor perdagangan. Jika dilihat
secara agregatif sektor tersier adalah sektor yang paling mendominasi,
artinya wilayah studi meso sudah berkembang dengan memanfaatkan
aktivitas perdagangan dan jasa sebagai sektor pendorong
perekonomian wilaya meso. Sama halnya dengan masyarakat wilayah
makro, masyarakat wilayah meso ini sudah menduduki tahap
komsumsi masal dengan karakteristik industri yang stabil, pergeseran
ke ekonomi tersier (kwarter), tingkat pendapatan tinggi.

Analisis LQ
Location Qoutient (LQ) digunakan untuk menganalisis dan
mengetahui perkembangan tingkat spesialisasi sector-sektor di suatu
daerah serta mengetahui sector-sektor perekonomian yang menjadi
sector basis dan sektor non basis di Kecamatan JKW. Dalam
menganalisis perhitungan Location Qoutient dibutuhkan data berupa
PDRB Kabupaten Boyolali dan data PDRB Gabungan dari Kecamatan
JKW tahun 2005 sampai tahun 2011 baik berdasarkan harga konstan
maupun harga berlaku. Data tersebut kemudian dijabarkan ke dalam 9
sektor ekonomi untuk mengetahui pendapatan dan produksi riil di
Kecamatan JKW terhadap Kabupaten Boyolali. Selanjutnya dilakukan

Studio Proses Perencanaan E | 72


perhitungan LQ per tahun dari tahun 2005 sampai 2011 dan

BAB II
selanjutnya dihitung rata-rata sehingga dapat diketahui sektor mana
yang merupakan sektor basis dan sektor non basis. Berikut adalah
hasil perhitungan LQ dari tahun 2005-2011 berdasarkan PDRB ADHB
yang selanjutnya dilakukan rata-rata untuk melihat gambaran
umumnya.
Tabel II. 26 Perhitungan LQ Wilayah Meso berdasarkan PDRB ADHK
NO SEKTOR LQ TOTAL KETERANGAN
1 Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 1,305 Sektor Basis
2 Pertambangan dan Penggalian 1,344 Sektor Basis
3 Industri Pengolahan 0,277 Sektor non Basis
4 Pengadaan Listrik, Gas dan Air Bersih 0,957 Sektor non Basis
5 Konstruksi 0,985 Sektor non Basis
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,146 Sektor Basis
7 Transportasi, Angkutan dan Komunikasi 0,565 Sektor non Basis
8 Keuangan, Real Estate dan Asuransi 1,205 Sektor Basis
9 Jasa dan Sosial 0,749 Sektor non Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Berdasarkan tabel rata-rata LQ wilayah meso (PDRB ADHK)


diatas dapat dilihat sektor yang menjadi basis dan non basis. Sektor
yang masuk kedalam kelompok basis adalah sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian;
perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, real estate dan asuransi.
Sedangkan sektor industri pengolahan; pengadaan listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan komunikasi; jasa dan
sosial merupakan sektor yang masuk kelompok non basis.
Selain menggunakan PDRB ADHK, pada penelitian ini juga
menggunakan PDRB ADHB. Hal ini berguna sebagai perbandingan
apakah ada perbedaan yang signifikan antara kedua data. Berikut
adalah hasil perhitungan LQ dari tahun 2005-2011 berdasarkan PDRB
ADHB yang selanjutnya dilakukan rata-rata untuk melihat gambaran
umumnya.

Studio Proses Perencanaan E | 73


Tabel II. 27 Perhitungan LQ Wilayah Meso berdasarkan PDRB ADHB

BAB II
LQ
NO SEKTOR KETERANGAN
TOTAL
1 Pertanian, Kehutanan dan Perikanan 1,318 Sektor Basis
2 Pertambangan dan Penggalian 1,330 Sektor Basis
3 Industri Pengolahan 0,272 Sektor non Basis
4 Pengadaan Listrik, Gas dan Air Bersih 0,913 Sektor non Basis
5 Konstruksi 0,945 Sektor non Basis
6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,084 Sektor Basis
Transportasi, Angkutan dan
7 0,566 Sektor non Basis
Komunikasi
8 Keuangan, Real Estate dan Asuransi 1,233 Sektor Basis
9 Jasa dan Sosial 0,729 Sektor non Basis

Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat sektor yang menjadi basis


dan non basis. Sektor yang masuk kedalam kelompok basis adalah
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan
penggalian; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, real estate
dan asuransi. Sedangkan sektor industri pengolahan; pengadaan
listrik, gas dan air bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan
komunikasi; jasa dan sosial merupakan sektor yang masuk kelompok
non basis.

Meskipun nilai LQ ADHK dan LQ ADHB tidak sama, namun tidak


terdapat perbedaan antara LQ ADHK dengan LQ ADHB. Keduanya
menunjukkan sektor basis dan sektor non basis yang sama. Sektor
yang masuk kedalam kelompok basis adalah sektor pertanian,
kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian;
perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, real estate dan asuransi.
Sedangkan sektor industri pengolahan; pengadaan listrik, gas dan air
bersih; konstruksi; transportasi, angkutan dan komunikasi; jasa dan
sosial merupakan sektor yang masuk kelompok non basis.

Analisis Shift Share


Analisis shift-share merupakan analisis yang dapat digunakan
untuk menilai kinerja perekonomian daerah terhadap perekonomian
wilayah dengan cakupan administrasi diatas wilayah analisis, posisi

Studio Proses Perencanaan E | 74


suatu sektor dalam ekonomi agregat dan identifikasi sektor unggulan

BAB II
suatu wilayah. Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan kinerja
atau produktivitas kerja perekonomian daerah dengan
membandingkan dengan agregat yang lebih besar secara regional.
Dalam perhitungan ini menggunakan data PDRB Kabupaten Boyolali
dan PDRB Gabungan Kecamatan JKW tahun 2005 dan 2011. Berikut
hasil perhitungan pertumbuhan ekonomi tiap sektor Kecamatan JKW
dan Interpretasinya.
Tabel II. 28 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Meso berdasarkan PDRB
ADHB
INTERPRETASI KOMPONEN M dan S
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)
M (PS) KETERANGAN S (DS) KETERANGAN
Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE = Manual
10,03% 5,29% 108,67% 108,67% 10,03% Berkembang Lebih Cepat 5,29% Lebih Kompetitif
38,33% 3,42% 135,10% 135,10% 38,33% Berkembang Lebih Cepat 3,42% Lebih Kompetitif
-31,97% 76,85% 138,23% 138,23% -31,97% Berkembang Lebih Lambat 76,85% Lebih Kompetitif
23,54% -1,69% 115,20% 115,20% 23,54% Berkembang Lebih Cepat -1,69% Kurang Kompetitif
-0,64% 0,00% 92,70% 92,70% -0,64% Berkembang Lebih Lambat 0,00% Kurang Kompetitif
-18,54% 5,16% 79,97% 79,97% -18,54% Berkembang Lebih Lambat 5,16% Lebih Kompetitif
-25,39% 0,63% 68,59% 68,59% -25,39% Berkembang Lebih Lambat 0,63% Lebih Kompetitif
12,36% 0,00% 105,71% 105,71% 12,36% Berkembang Lebih Cepat 0,00% Kurang Kompetitif
83,98% 123,71% 301,03% 301,03% 83,98% Berkembang Lebih Cepat 123,71% Lebih Kompetitif
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Tabel diatas merupakan tabel hasil perhitungan pergeseran


bersih dengan menggunakan data PDRB ADHB. Dapat diketahui
bahwa terdapat sektor yang maju dan sektor yang mundur. Sektor
pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian;
industri pengolahan; pengadaan listrik, gas, dan air bersih; keuangan,
real estate, dan asuransi; serta jasa dan sosial tergolong dalam sektor
maju. Sedangkan sektor kontruksi; perdagangan, hotel, dan restoran;
dan sektor transportasi, angkutan dan komunikasi merupakan sektor
yang mundur. Data pergeseran bersih ini kemudian dioverlay dengan
data LQ sebelumnya untuk mendapatkan tipologi sektor ekonomi.

Studio Proses Perencanaan E | 75


Tabel II. 29 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Meso berdasarkan PDRB

BAB II
ADHK
INTERPRETASI KOMPONEN M dan S
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)
M (PS) KETERANGAN S (DS) KETERANGAN
Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE = Manual
-59,37% 6,45% 16,12% 16,12% -59,37% Berkembang Lebih Lambat 6,45% Lebih Kompetitif
18,84% 0,00% 87,88% 87,88% 18,84% Berkembang Lebih Cepat 0,00% Kurang Kompetitif
-60,23% 55,38% 64,19% 64,19% -60,23% Berkembang Lebih Lambat 55,38% Lebih Kompetitif
16,62% -5,48% 80,17% 80,17% 16,62% Berkembang Lebih Cepat -5,48% Kurang Kompetitif
-8,63% 0,00% 60,41% 60,41% -8,63% Berkembang Lebih Lambat 0,00% Kurang Kompetitif
146,88% 0,00% 215,92% 215,92% 146,88% Berkembang Lebih Cepat 0,00% Kurang Kompetitif
86,43% 0,02% 155,49% 155,49% 86,43% Berkembang Lebih Cepat 0,02% Lebih Kompetitif
229,70% -89,05% 209,70% 209,70% 229,70% Berkembang Lebih Cepat -89,05% Kurang Kompetitif
309,08% -0,05% 378,07% 378,07% 309,08% Berkembang Lebih Cepat -0,05% Kurang Kompetitif
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Melihat tabel hasil perhitungan pergeseran bersih dengan


menggunakan PDRB ADHK secara keseluruhan tidak semua sektor
yang ada pada Kecamatan JKW merupakan sektor yang maju.
Meskipun data PDRB Kecamatan JKW yang cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya, namun apabila dibandingkan dengan
pertumbuhan Kabupaten Boyolali, beberapa sektor di Kecamatan JKW
masih tergolong mundur.

WILAYAH MIKRO
Tujuan dari analisis mikro ini untuk melihat sektor basis dan
keterkaitannya dengan komoditas unggulan. Selain itu, dapat
diperkirakan hubungan intra wilayah di wilayah Kecamatan Juwangi,
Kecamatan Wonosegoro, dan Kecamatan Kemusu.

Analisis Agregat
Analisis Agregat merupakan analisis untuk melihat satu
kesatuan wilayah studi secara keseluruhan. Dalam analisis agregat
pembandingnya dalah wilayah makro, meso, dan mikro. Analisis
agregat digunakan untuk melihat sektor-sektor perekonomian yang
terspesialisi atau mampu Terspesialisasi dengan sektor lainnya dalam

Studio Proses Perencanaan E | 76


lingkup makro dan mikro. Sektor tersebut yang akan menjadi

BAB II
komponen ekspor untuk menambah perekonomian wilayah
.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi
perekonomian suatu wilayah secara berkesinambungan menuju
keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan
ekonomi merupakan sebuah indikator untuk mengetahui
perkembangan pembangunan wilayah. Metode perhitungan
pertumbuhan ekonomi menggunakan data PDRB ADHB pada tahun
tertentu. Pada pembahasan ini akan terlihat pertumbuhan ekonomi
wilayah mikro terhadap wilayah meso.
Tabel II. 30 Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Mikro 2006-2009
Wilaya 2005- 2006- 2007- 2008-
Kecamatan
h 2006 2007 2008 2009
Selo, Ampel, Cepogo, Musuk 1 32,12% 3,37% 0,75% 5,44%
Boyolali, Mojosongo, Teras, Sawit,
2 38,58% 4,81% 2,50% 5,45%
Banyudono
Sambi, Ngemplak, Nogosari, Simo 3 47,41% 4,25% 6,06% 5,37%

Karanggede, Klego, Andong 4 45,97% 3,58% 7,19% 24,11%

Kemusu, Wonosegoro, Juwangi 5 43,11% 3,43% 7,25% 4,79%

Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 77


50.00%

BAB II
45.00%
40.00%
35.00%
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
2005-2006 2006-2007 2007-2008 2008-2009

1 2 3 4 5

Diagram 2. 23 Pertumbuhan Ekonomi Kecamatan JKW dan sekitarnya


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Berdasarkan hasil analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa


pertumbuhan ekonomi wilayah JKW memiliki pertumbuhan ekonomi
yang fluktuatif. Jika dibandingkan dengan 4 wilayah studi
lainnya.Keempat wilayah studi tersebut antara lain : (1) Selo, Ampel,
Cepogo , Musuk; (2) Boyolali, Banyudono, Teras, Mojosongo; (3)Simo,
Sambi, Nogosari; (4) Karanggede, Klego, Andong; (5) Juwangi,
Kemusu Wonosegoro. Pertumbuhan ekonomi wilayah JKW tergolong
stabil walaupun sempat ada penurunan dari tahun 2005-2006.
Struktur Ekonomi
Struktur ekonomi wilayah JKW tediri dari sektor primer, sektor
sekunder, dan sektor tersier. Sektor primer terdiri dari sektor pertanian,
perikanan, perhutanan;dan sektor pertambangan dan penggalian.
Sektor sekunder terdiri dari sektor industri pengolahan; listrik dan gas;
dan bangunan dan konstruksi. Sektor tersier yang terdiri dari sektor
Perdagangan; Angkutan& Komunikasi; Keuangan, Persewaan; Jasa-
Jasa. Struktur ekonomi dihitung menggunakan PDRB ADHB 2005-
2009. Berdasarkan PDRB ADHB 2009 dapat diketahui bahwa struktur
ekonomi terbesar didominasi oleh Sektor Tersier dan Sektor Primer
terbesar yaitu 45,8%, sektor tersier 45,5% , dan sektor sekunder 8,6%.
Dalam hal ini sektor tersier dan primer hampir sebanding tetapi pada
Studio Proses Perencanaan E | 78
kondisi eksistingnya sebagian besar masyarakat masih bergantung

BAB II
pada aktivitas sektor primer. Jika dikaitkan dengan teori transisi
perekonomian, masyarakat wilayah mikro masih menduduki tahap
masyarakat konsumsi masal dengan karakteristik pendapatan rendah,
pertumbuhan rendah, sektor pertanian menjadi basis utama ekonomi

Sektor Primer
45.8% 45.5%
Sektor Sekunder
Sektor Tersier

8.6%

Diagram 2. 24 Struktur Ekonomi Kecamatan JKW


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Analisis LQ
Location Quotient (LQ) digunakan untuk menganalisis dan
mengetahui perkembangan tingkat spesialisasi sektor yang ada di
setiap desa wilayah studi dan sektor apa yang menjadi sektor basis
atau sektor leading. Sehingga dalam hal ini analisis location quotient
(LQ) digunakan untuk mengetahui sektor apa saja yang berpengaruh
dan menjadi sektor basis. Data yang digunakan yaitu tenaga kerja
Kecamatan Kemusu, Juwangi, dan Wonosegoro tahun 2005-2009.
Berikut adalah hasil perhitungan LQ gabungan dari Kecamatan
Kemusu, Juwangi, dan Wonosegoro tahun 2005-2009.

Studio Proses Perencanaan E | 79


Tabel II. 31 Nilai LQ Wilayah Mikro berdasarkan PDRB ADHK

BAB II
Sektor 2005 2006 2007 2008 2009
1,27 1,27 1,28 1,32 1,32

Pertanian Terspesialis Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa


asi/Basis si/Basis si/Basis si/Basis si/Basis

1,32 1,33 1,34 1,30 1,30


Industri
Pengolahan Terspesialis Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Basis si/Basis si/Basis si/Basis si/Basis

0,23 0,23 0,23 0,29 0,29


Kurang
Kurang Kurang Kurang Kurang
Perdagangan Terspesialis
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non-
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
0,96 0,96 0,97 0,94 0,96
Kurang
Kurang Kurang Kurang Kurang
Jasa-Jasa Terspesialis
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non-
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
0,98 0,98 0,99 0,96 0,96
Kurang
Kurang Kurang Kurang Kurang
Angkutan Terspesialis
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non-
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 80


Tabel II. 32 Nilai LQ Wilayah Mikro berdasarkan PDRB ADHB

BAB II
JKW 2005 2006 2007 2008 2009
1,26 1,33 1,33 1,30 1,30

Pertanian Terspesialis Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa


asi/Basis si/Basis si/Basis si/Basis si/Basis

1,27 1,37 1,36 1,99 1,31


Industri
Pengolahan Terspesialis Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Basis si/Basis si/Basis si/Basis si/Basis

0,20 0,21 0,21 0,29 0,29


Kurang
Kurang Kurang Kurang Kurang
Perdagangan Terspesialis
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non-
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
0,89 0,94 0,94 8,94 0,90
Kurang
Kurang Kurang Kurang
Jasa-Jasa Terspesialis Terspesialisa
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non- si/Basis
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
0,91 0,96 0,96 0,69 0,92
Kurang
Kurang Kurang Kurang Kurang
Angkutan Terspesialis
Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa Terspesialisa
asi/Non-
si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis si/Non-Basis
Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Berdasarkan kedua tabel diatas dapat disimpulkan bahwa


PDRB ADHK dan PDRB ADHB memiliki hasil kesimpulan yang sama.
Sektor basis menurut data PDRB ADHK dan PDRB ADHB adalah
sektor pertanian dan sektor industri pengolahan, sedangkan sektor non
basis adalah sektor perdagangan, sektor jasa-jasa dan sektor
angkutan. Jika dilihat nilai LQ tiap tahunnya, Status sektor basis/non-
basis tidak mengalami perubahan. Nilai LQ pun cenderung fluktuatif
tetapi tidak berubah secara signifikan sehingga status sektor
basis/non-basis tidak mengalami perubahan dalam waktu 5 tahun.

Studio Proses Perencanaan E | 81


Analisis Shiftshare

BAB II
Tabel II. 33 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Mikro berdasarkan PDRB
ADHK

N (Laju
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)
SEKTOR/LAPANGAN USAHA Nasional)
Ra-1 Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE
Pertanian, Kehutanan, dan
0,19 -0,10 0,06 0,15
Perikanan
Pertambangan dan Penggalian 0,19 0,33 0,00 0,52
Industri Pengolahan 0,19 0,00 0,31 0,49
Pengadaan Listrik, Gas dan Air
0,19 0,36 0,03 0,58
Bersih
Konstruksi 0,19 0,17 0,00 0,35
Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,19 -0,06 0,00 0,12
Transportasi, Angkutan dan
0,19 0,05 0,00 0,24
Komunikasi
Keuangan, Real Estate dan
0,19 0,00 0,00 0,19
Asuransi
Jasa dan Sosial 0,19 0,57 0,00 0,75

Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Tabel II. 34 Interpretasi Hasil Shifshare Wilayah Mikro berdasarkan PDRB


ADHB
N (Laju
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)
SEKTOR/LAPANGAN USAHA Nasional)
Ra-1 Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE
Pertanian, Kehutanan, dan
0,04 -1,04 1,61 0,62
Perikanan
Pertambangan dan Penggalian 0,04 0,71 0,03 0,77
Industri Pengolahan 0,04 0,30 0,64 0,98
Pengadaan Listrik, Gas dan Air
0,04 0,77 0,00 0,81
Bersih
Konstruksi 0,04 0,51 0,00 0,55
Perdagangan, Hotel dan Restoran 0,04 0,41 0,00 0,45
Transportasi, Angkutan dan
0,04 0,40 0,00 0,44
Komunikasi
Keuangan, Real Estate dan
0,04 2,21 -1,64 0,61
Asuransi

Studio Proses Perencanaan E | 82


N (Laju
M (PS) S (DS) R (Laju Aktual)

BAB II
SEKTOR/LAPANGAN USAHA Nasional)
Ra-1 Ri-Ra ri-Ri SHIFT-SHARE
Jasa dan Sosial 0,04 1,58 -0,61 1,02
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Keterangan
N : Laju Nasional
M : Menentukan perkembangan sebuah sektor
S : Menentukan sektor kompetitif
R : Laju Aktual (Perubahan di Wilayah)

Nilai Shift-Share didapatkan dari nilai R. Nilai R merupakah


penjumlahan dari nilai N, M, dan S . Jika Nilai M positif
mengindikasikan wilayah berkembang lebih cepat dibandingkan
wilayah yang lebih luas. Jika nilai S positif mengindikasikan wilayah
lebih kompetitif dibandingkan dengan wilayah yang lebih luas. Kedua
tabel diatas menunjukan hasil yang berbeda dengan kesimpulan yang
sama.
Walaupun pada nilai N,M, dan S menunjukan hasil yang jauh
berbeda tetapi Nilai Shift-Share (PDRB ADHK) dan Nilai Shift-Share
(PDRB ADHB) menunjukan sektor yang memiliki laju aktual terbesar
adalah Pengadaan Listrik dan Gas dan Jasa Sosial. Hal ini
menunjukan bahwa dalam waktu empat tahun pertumbuhan wilayah
dipengaruhi oleh laju aktual dari kedua sektor tersebut terindikasi
bahwa sektor tersebut dapat menjadi sebuah cadangan untuk
mendorong perekonomian dalam gabungan 41 desa di 3 kecamatan
ini selain dari sektor pertanian. Dimana sektor pertanian biasanya
menjadi sektor basis yang lebih kompetitif dibandingkan sektor lainnya,
tetapi kekurangan dalam sektor pertanian ini sangat bergantung pada
iklim.

Studio Proses Perencanaan E | 83


BAB II
Diagram 2. 25 Interpretasi Tipologi Sektor Wilayah Mikro berdasarkan ADHK
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 84


BAB II
Diagram 2. 26 Interpretasi Tipologi Sektor Wilayah Mikro berdasarkan ADHB
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHB, 2017

Analisis Intrawilayah
Analisis LQ
(Tabel Nilai LQ Intrawilayah Mikro terlampir)
Jika dilihat dari masing-masing kecamatan, dalam tiap tahun
selama periode 3 tahun, nilai LQ yang dihasilkan yang berbeda-beda
tetapi status sektor tersebut tidak berubah . Nilai LQ menunjukan
sektor basis pada Kecamatan Juwangi adalah sektor perdagangan,
sektor jasa-jasa, dan sektor angkutan, disisi lain sektor non basis
adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, sektor jasa-jasa, sektor angkutan. Pada Kecamatan
Wonosegoro, sektor basis adalah sektor pertanian dan sektor
industri pengolahan , sedangkan sektor non-basis adalah sektor

Studio Proses Perencanaan E | 85


industri pengolahan, sektor jasa-jasa, dan sektor angkutan . Pada

BAB II
Kecamatan Kemusu, sektor basis adalah sektor industri pengolahan,
dan sektor non-basis adalah sektor pertanian, sektor perdagangan,
sektor jasa-jasa, dan sektor angkutan.

Analisis Shiftshare
- Kecamatan Juwangi
Tabel II. 35 Interpretasi Shiftshare Intrawilayah Kecamatan Juwangi

Sektor/Lapangan Usaha M (Ps) Keterangan S (Ds) Keterangan LQ Keterangan

Pertanian -0,63% Berkembang Lebih Lambat -1,62% Kurang Kompetitif 0,96 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

Industri Pengolahan 11,76% Berkembang Lebih Cepat -14,46% Kurang Kompetitif 0,26 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

Perdagangan -2,49% Berkembang Lebih Lambat 1,76% Lebih Kompetitif 1,13 Terspesialisasi/Basis

Jasa-Jasa 4,99% Berkembang Lebih Cepat -5,65% Kurang Kompetitif 2,93 Terspesialisasi/Basis

Angkutan 2,46% Berkembang Lebih Cepat -3,41% Kurang Kompetitif 1,63 Terspesialisasi/Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017
- Kecamatan Kemusu
Tabel II. 36 Interpretasi Shiftshare Intrawilayah Kecamatan Kemusu

- Sektor/Lapangan Usaha M (Ps) Keterangan S (Ds) Keterangan LQ Keterangan

- Pertanian -0,63% Berkembang Lebih Lambat -1,62% Kurang Kompetitif 0,96 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

- Industri Pengolahan 11,76% Berkembang Lebih Cepat -14,46% Kurang Kompetitif 0,26 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

- Perdagangan -2,49% Berkembang Lebih Lambat 1,76% Lebih Kompetitif 1,13 Terspesialisasi/Basis

- Jasa-Jasa 4,99% Berkembang Lebih Cepat -5,65% Kurang Kompetitif 2,93 Terspesialisasi/Basis

- Angkutan 2,46% Berkembang Lebih Cepat -3,41% Kurang Kompetitif 1,63 Terspesialisasi/Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017
- Kecamatan Wonosegoro
Tabel II. 37 Interpretasi Shiftshare Intrawilayah Kecamatan Wonosegoro

Sektor/Lapangan Usaha M (Ps) Keterangan S (Ds) Keterangan LQ Keterangan

Pertanian -0,63% Berkembang Lebih Lambat -1,62% Kurang Kompetitif 0,96 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

Industri Pengolahan 11,76% Berkembang Lebih Cepat -14,46% Kurang Kompetitif 0,26 Kurang Terspesialisasi/Non-Basis

Perdagangan -2,49% Berkembang Lebih Lambat 1,76% Lebih Kompetitif 1,13 Terspesialisasi/Basis

Jasa-Jasa 4,99% Berkembang Lebih Cepat -5,65% Kurang Kompetitif 2,93 Terspesialisasi/Basis

Angkutan 2,46% Berkembang Lebih Cepat -3,41% Kurang Kompetitif 1,63 Terspesialisasi/Basis
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E berdasarkan PDRB ADHK, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 86


Komoditas Unggulan

BAB II
Komoditas unggulan sektor perternakan terletak di Desa
Kedungpilang, Kecamatan Wonosegoro yang merupakan kecamatan
dengan kontribusi hasil produksi kuantitas hasil produksi terbesar
senilai 24% terhadap jumlah total produksi kuantitas hasil produksi
perternakan di Kecamatan Kemusu, Juwangi, dan Wonosegoro
dengan jumlah sebesar 97128 ekor dalam satu tahun. Oleh karena itu,
di Kecamatan Kemusu, Juwangi, dan Wonosegoro yang menjadi
sektor komoditas unggulan dan prioritas utama adalah sektor kuantitas
hasil produksi Komoditas Peternakan. Kecamatan lainnya yang
mendominasi produksi Desa Ngablak, Kecamatan Wonosegoro
dengan nilai 15,9%. Sedangkan 39 desa lainnya memiliki rata-rata
dengan nilai yang hampir sama. Dari sepuluh sub sektor perternakan
yang menjadi kontributor utama dalam lingkup 41 desa adalah sub
sektor ayam pedaging dimana dihasilkan 146000 ekor tahun 2015
dengan persentase sebesar 36,2%.
Sektor pertanian, perkebunan, dan pertanian lainnya termasuk
dalam kualifikasi sektor unggulan. Dimana Desa Kendel, Kecamatan
Kemusu sebagai kontributor utama dalam lingkup 41 desa yang ada di
Kecamatan Kemusu, Juwangi, dan Wonosegoro yaitu sebesar 4.86%.
Walaupun sebagian memiliki persentase yang hampir sama tetapi
Desa Kendel tetap yang menjadi paling dominan dengan jumlah 93733
kwintal di tahun 2015. Untuk rincian sektornya, ubi kayu menjadi
kontributor utama pada lingkup 41 desa dengan persentase sebesar
32,35%.

(Tabel Hasil Komoditas Unggulan terlampir)

Studio Proses Perencanaan E | 87


ASPEK INFRASTRUKTUR

BAB II
WILAYAH MAKRO
Berikut ini adalah karakteristik infrastruktur dan fasilitas yang
terdapat dalam wilayah studi lingkup makro.

Kebijakan Infrastruktur Wilayah Makro


kawasan peruntukan industri meliputi;
- Wilayah Industri/Kawasan Peruntukan Industri
- Kawasan Industri
- Kawasan Berikat
Jaringan Jalan
Berdasarkan kondisi jalannya, jalan di Kabupaten Boyolali
dibagi menjadi 4 jenis, yaitu baik, sedang, sedang, rusak, dan sangat
rusak. Kecamatan Boyolali memiliki jalan dengan kondisi baik
terpanjang, 62,98 km, sedangkan Kecamatan Sawit memiliki jalan
dengan kondisi baik terpendek, 13,21 km. Kecamatan Mojosongo
memiliki jalan dengan kondisi sedang terpanjang, 12,18 km,
sedangkan Kecamatan Sawit memiliki jalan dengan kondisi sedang
terpendek, 1,86 km. Kecamatan Boyolali memiliki jalan dengan kondisi
rusak terpanjang, 6,15 km, sedangkan Kecamatan Sawit memiliki jalan
dengan kondisi rusak terpendek, 1,49 km. Kecamatan Nogosari
memiliki jalan dengan kondisi rusak berat terpanjang, 5,81 km,
sedangkan Kecamatan Musuk, Boyolali, dan Mojosongo tidak memiliki
jalan dengan kondisi rusak berat. Maka, dapat disimpulkan jika
pembangunan jalan di Kabupaten Boyolali belum merata.

Jaringan Air Bersih


Kabupaten Boyolali telah kemungkinan telah memenuhi
beberapa persyaratan yaitu tersedianya kran umum, meskipun belum
diketahui berapa jumlah hidran di Kabupaten Boyolali. Lalu, telah
tersedianya jaringan air bersih yaitu dari PDAM ataupun dari
Pamsimas. Namun, hal tersebut belum dapat dipastikan melihat
banyaknya aspek yang datanya belum lengkap.

Studio Proses Perencanaan E | 88


Drainase

BAB II
Berdasarkan data yang ada, drainase yang ada di Kabupaten
Boyolali belum memenuhi standar yang ditentukan, tidak hanya dari
segi kualitas, namun juga kuantitas. Dari segi kualitas adanya
genangan-genangan yang berasal dari saluran drainase menjadi salah
satu penyebab belum terpenuhinya standar kualitas drainase di
Kabupaten Boyolali. Dari segi kuantitas, jaringan drainase hanya
melayani kawasan perkotaan, sementara di daerah pedesaan hanya
mengandalkan drainase alami.

Sanitasi
Sarana dan prasarana pengelolaan air limbah belum tercukupi
utamanya pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
Sedangkan untuk sarana prasarana truk tinja disediakan oleh pihak
swasta yang bergerak dalam jasa sedot tinja/kakus, namun dilayani
oleh perusahaan dari luar Kabupaten Boyolali. Pengelolaan air limbah
di Kabupaten Boyolali belum optimal. Sarana dan prasarana
pengelolaan air limbah belum tercukupi utamanya pembangunan
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Belum terdapat
pengelolaan air limbah yang terpadu dalam mendukung pembangunan
sanitasi di Kabupaten Boyolali.

TPS dan TPA


Jumlah dari TPS yang ada di Kabupaten Boyolali menurut data
Boyolali dalam angka Kabupaten Boyolali di Tahun 2013, 2014 dan
2015 tidak memiliki TPS. Menurut analisis pada kecamatan tersebut
memiliki sedikitnya 1 TPS yang berada di pasar-pasar tradisional. Hal
ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan letak sarana perdagangan
seperti pasar dengan jumlah TPS di setiap kecamatan. Selain itu,
tempat pembuangan akhir atau TPA yang ada di Kabupaten Boyolali
menurut data Boyolali dalam angka terdapat 3 TPA. Tetapi, dalam
media massa ada satu TPA besar yang di Kabupaten Boyolali yaitu di
Winong. Padahal jumlah TPS yang ada di beberapa kabupaten dan
kota Jawa Tengah (Boyolali. Semarang, Grobogan, Klaten, Salatiga,
Surakarta, Karanganyar, Sragen dan Sukoharjo) ada 11 pada 3 tahun,
terhitung dari tahun 2013, 2014 dan 2015.

Studio Proses Perencanaan E | 89


Telepon dan Jaringan Listrik

BAB II
Masih terjadi ketidaksesuaian kondisi eksisting dengan standar
yang berlaku. Sehingga bisa dikatakan jaringan listrik masih belum
terpenuhi. Selain itu, dilihat dari SNI yang memiliki kriteria tentang
prasarana utilitas yaitu jaringan telepon dengan salah satu kriterianya
menyebutkan bahwa dibutuhkan sekurang-kurangnya 1 telepon umum
untuk setiap 250 jiwa penduduk unit RT. Sedangkan hampir sebagian
data mikro, meso dan makro kabupaten boyolali apabila di kaitkan
dengan SNI tersebut mengindikasikan masih banyak daerah yang
masih belum memenuhi kriteria atau persyaratan tentang jaringan
telepon. Akan tetapi ditemukan data banyaknya jumlah penggunaan
telepon genggam, sehingga kebutuhan beberapa masyarakat
terpenuhi.

Fasilitas Pemerintahan
Berdasarkan SNI 03-1733-2004 terdapat ketentuan bahwa
harus terdapat kantor kelurahan di setiap wilayah dengan standar
minimal tersedia 1 unit kantor kelurahan tiap 30.000 jiwa penduduk.
Serta kantor kecamatan dengan standar minimal tersedia 1 unit kantor
kelurahan tiap 120.000 jiwa penduduk. Berdasarkan standart yang ada
di Kabupaten Boyolali, Kecamatan Juwangi, Kecamatan Wonosegoro
dan Kecamatan Kemsusu serta di setiap kelurahan di masing-masing
wilayah tersebut telah memenuhi standart SNI 03-1733-2004.
Sebagaimana kondisi eksisting di masingmasing wilayah tersebut
telah tersedia 1 unit kantor pemerintahan.

Fasilitas Rekreasi dan Olahraga


Dalam skala nasional, Jawa Tengah menduduki posisi ketiga
sebagai provinsi yang dikunjungi oleh wsatawan domestik, ini
disebabkan dari banyaknya sarana rekreasi yang cukup baik dan
lengkap yang dapat mendukung untuk peningkatan wisatawan
sehingga akan berdampak pada peningkatan ekonomi Jawa Tengah
pula.

Studio Proses Perencanaan E | 90


Fasilitas Peribadatan

BAB II
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari data yang ada,
maka pada fasilitas peribadatan dapat disimpulkan keadaan dimana:
a. Pembangunan fasilitas peribadatan tiap tahun mengalami
kenaikan
b. Persebarannya sudah merata karena tiap kecamatan memiliki
fasilitas peribadatan mulai dari Mushola, Masjid, Gereja

WILAYAH MESO
Kebijakan Infrastruktur Wilayah Meso
a. Pengembangan kawasan industri
Kawasan peruntukan industri;
- Industri Besar
- Industri Menengah
- Industri Kecil
b. Pendanaan pembangunan
Rencana Program Kegiatan Prioritas Daerah
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten :
1) Urusan wajib
1. Urusan Wajib terkait pelayanan dasar meliputi bidang :
- Pendidikan
- Kesehatan
- Pekerjaan umum dan penataan ruang
- Perumahan dan Kawasan Permukiman
- Ketentraman dan ketertiban umum serta perlindungan
masyarakat
- Sosial
2. Urusan wajib tidak terkait pelayanan dasar meliputi bidang :
- Tenaga kerja
- Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
- Pangan
- Pertanahan
- Lingkungan hidup
- Administrasi kependudukan dan pencacatan sipil;
- Pemberdayaan masayarakat dan desa
Studio Proses Perencanaan E | 91
- Pengendalian penduduk dan keluarga berencana

BAB II
- Perhubungan
- Komunikasi dan informatika
- Koperasi dan UMKM
- Penanaman modal
- Kepemudaan dan Olahraga
- Statistik
- Persandian
- Kebudayaan
- Perpustakaan
- Kearsipan
2) Urusan pilihan
a. Kelautan dan perikanan
b. Pariwisata
c. Pertanan
d. Kehutanan
e. ESDM
f. Perdagangan
g. Perindustrian
h. Transmigrasi
Belanja daerah tahun 2017 membiayai :
1. Fungsi penunjang urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah
a. Perencanaan
b. Keuangan
c. Kepegawaian, pendidikan, dan pelatihan
d. Penelitian dan pengembangan
e. Fungsi lainnya :
i. Kesekretariatan DPRD
ii. Pembinaan dan pngawasan
iii. Penyusunan kebijakan, koordinasi administrasi
dan pelayanan
iv. Administrasi umum pada semua perangkat
daerah

Studio Proses Perencanaan E | 87


Jaringan Jalan

BAB II
Berdasarkan hasil data yang diperoleh setelah survey pada wilayah
meso. Dapat disimpulkan bahwa mayoritas prasarana jaringan jalan cukup
buruk, dimana pembangunan yang dilakukan masih belum merata. Banyak
ruas jalan yang masih buruk, dalam artian banyak jalan yang rusak dan
menghambat aksesibilitas. Terdapat 5 jalan penghubung dengan
karakteristinya sebagai berikut:
Kec. Juwangi Kec. Kemusu Kec. Wonosegoro
Sebagai jalan arteri utama, prasana jaringan jalan ini memiliki tingkat
kerusakan yang tinggi, dimana mayoritas jalan dari Kecamatan
Juwangi hingga Wonosegoro banyak terdapat kerusakan dan sedikit
penerangan. Namun untuk Kecamatan Kemusu dapat terbilang baik
diantara ruas jalan lain.
Kec. JKW dengan Kec. Karanggede
Kondisi kedua ruas jalan dapat dikatakan cukup baik, namun dengan
penerangan jalan yang masih minim. Ruas jalan Kemusu umumnya
digunakan sebagai jalur alternatif kendaraan bermuatan berat untuk
menjangkau Kabupaten Sragen dan sekitarnya.
Kec. JKW dengan Kab. Grobogan
Ruas jalan dari Kecamatan Juwangi menuju Kabupaten Grobogan
dapat dikatakan cukup dengan penerangan jalan yang masih minim
Kec. JKW dengan Kab. Semarang
Kondisi ruas jalan yang menghubungkan kedua wilayah ini terbilang
cukup baik, dikarenakan adanya proyek Jalan Tol Semarang-Solo yang
melewati ruas jalan penghubung Kec. JKW dengan Kab. Semarang ini.
Proyek Jalan Tol Semarang-Solo mengakibatkan banyaknya mobil-
mobil pribadi yang mulai menggunakan ruas jalan ini dengan beberapa
truk proyek yang sering berlalu lalang di sekitar Jalan Raya Suruh ini
Kec. JKW dengan Kab. Sragen
Kondisi jalanan baik, namun penerangan jalan masih sangat minim.
Ruas jalan ini merupakan ruas jalan yang sering dilalui oleh truk-truk
pasir yang biasanya berute dari Juwangi menuju Kabupaten Sragen.

Jaringan Air
Pada wilayah studi meso, banyak desa/kelurahan yang belum
memiliki jaringan PDAM ataupun pamsimas. Di Kecamatan Juwangi hanya
terdapat 3 Pamsimas, di Wonosegoro terdapat 5 Pamsimas, sedangkan di
Kecamatan Kemusu hanya terdapat 1 Pamsimas. Hal ini dikarenakan

Studio Proses Perencanaan E | 87


sebagian besar warganya masih memanfaatkan air sumur, baik sumur

BAB II
dangkal maupun sumur arthetis untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya.

Drainase
Berdasarkan data survey yang telah dianalisis, diketahui bahwa pada
Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro masih belum memiliki
jaringan drainase yang menyeluruh di setiap desa/kelurahan. Drainase yang
ditemukan hanya terdapat di kawasan perkotaan. Selain itu, drainase yang
ada pun tidak sepenuhnya terpakai dan sesuai dengan standar. Hal tersebut
dikarenakan ketiga kecamatan ini masih sering mengalami kekringan, jadi air
yang masuk dalam drainase ini tidak sampai meluber meskipun musim
penghujan tiba.

TPS dan TPA


Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada Kecamatan Juwangi,
Wonosegoro, dan Kemusu, diketahui bahwa mayoritas warga membakar
sampah di sekitar rumah atau di perkebunan, sehingga TPS tidak diperlukan
oleh warga. Selain itu faktor yang mempengaruhi minimnya keberadaan TPS
adalah program pemerintah dalam mengurangi jumlah tps.

Telepon dan Jaringan listrik


Fasilitas telepon yang ada di wilayah meso sudah terpenuhi, dimana
mayoritas masyarakat sudah menggunakan telepon untuk sarana
telekomunikasi dan juga didapati beberapa tower di beberapa
desa/kelurahan guna menunjang sarana ini.
Pada wilayah studi meso, terdapat perbandingan jumlah antara jumlah
rumah tangga dan jumlah pelanggan untuk jaringan listrik. Masing-
masing kecamatan mengalami fluktuasi tiap tahun. Hal tersebut
menunjukkan bahwa masih ada rumah tangga yang belum tersalur listrik.
Selain itu, ada beberapa masyarakat yang sudah menggunakan aliran
listrik dari PLN, namun mempararelkan dengan tetangganya untuk
mengurangi biaya tagihan.

Fasilitas Pemerintahan
Analisis Fasilitas Pemerintahan : Berdasarkan hasil analisis yang
diperoleh dari data yang ada, maka pada Fasilitas Pemerintahan dapat
disimpulkan keadaan dimana, keberadaan kantor pemerintahan sudah
terpenuhi karena terdapat satu unit kantor kecamatan di masing-masing
kecamatan.

Studio Proses Perencanaan E | 88


Fasilitas Pendidikan

BAB II
Pada wilayah meso, diketahui bahwa kemungkinan masyarakat tidak
mendapat jangkauan dari sarana pendidikan di desa/kelurahan untuk
memenuhi kebutuhannya, akibatnya masyarakat menuju daerah lain guna
memenuhi kebutuhannya. Hal ini memungkinkan tumbuhnya konstelasi antar
wilayah untuk saling memenuhi kebutuhan warganya akan sarana tertentu,
dimana warga dari ke Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, dan Kemusu,
kemungkinan memenuhi kebutuhan sarananya di kecamatan maupun
kabupaten lain,seperti menuju Kecamatan Klego, Karanggede dan Andong.
Selain itu, kurangnya pemenuhan kebutuhan sarana pendidikan di
kecamatan tersebut juga dimungkinkan karena rendahnya minat warga
dalam memenuhi kebutuhan pendidikan sehingga banyak saran pendidikan
yang ada justru kekurangan murid dan tidak dapat beroperasi secara
maksimal. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan masyarakat,
dimana warga tidak mampu untuk menempuh dunia pendidikan karena
adanya keterbatasan dana.

Fasilitas Perdagangan dan Jasa

Gambar 2. 10 Peta Jangkauan Pelayanan Fasilitas Perdagangan dan Jasa


Wilayah Meso
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 89


Kecamatan Juwangi, Kemusu dan Wonosegoro memiliki jumlah

BAB II
warung/toko dan pasar sebanding dengan jumlah rata-rata pada lingkup
wilayah meso. Hal ini terjadi karena pada wilayah studi mikro (Kec. Juwangi,
Kec. Kemusu, dan Kec. Wonosegoro) memang memiliki keunggulan pada
sektor pertanian sehingga jumlah fasilitas perdagangan dan jasa tidak lebih
dominan dibandingkan dengan wilayah meso yang lain.

Fasilitas Rekreasi dan Olahraga


Pada lingkup wilayah meso berdasarkan hasil analisis setelah survey,
diketahui bahwasanya terdapat beberapa sarana rekreasi, namun hal
tersebut masih belum mencukupi, dimana sarana yang dimiliki tidak cukup
besar sehingga belum mencukupi kebutuhan masyarakat yang ada di wilayah
meso sendiri. Kemudian untuk sarana olahraga hanya terdapat lapangan-
lapangan yang cukup untuk lingkup desa.

Fasilitas Peribadatan

Gambar 2. 11 Peta Jangkauan Pelayanan Fasilitas Peribadatan Wilayah Meso


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari data hasil survey,


diketahui bahwa fasilitas Peribadatan mengalami kenaikan di setiap tahunnya

Studio Proses Perencanaan E | 90


dan persebarannya sudah merata, dimana tiap kecamatan memiliki fasilitas

BAB II
peribadatan mulai dari musholla, masjid, gereja, pura dan klenteng.
1. Fasilitas Transportasi
Fasilitas transportasi yang ada di lingkup wilayah meso terdapat
beberapa macam, diantaranya angkutan umum berupa angkot, bis, dan
kereta api yang berada di Kecamatan Juwangi. Akan tetepi terminal
ynag terdapat di wilayah meso tidak dapat digunakan secara terus
menerus atau setiap 24 jam. Terminal yang terdapat di wilayah meso
hanya bekerja atau dapat digunakan di waktu- waktu tertentu seperti
pada saat jam berangkat sekolah dan berangkat kerja serta pada saat
jam pulang sekolah dan pulang kerja. Sedangkan untuk masyarakat
yang bermata pencarian sebagai petani menggunakan alat transportasi
berupa truk kol yang hanya beroperasi di jam-jam tertentu juga.
2. Fasilitas Kesehatan
Dilihat dari data yang ada di lapangan, fasilitas puskesmas dan balai
pengobatan terdapat 10 unit di wilayah meso, sedangkan untuk apotek
dan klinik terdapat 2 unit serta untuk klinik bersalin tidak ditemukan
klinik bersalin di wilayah studi meso. Kurangnya sarana kesehatan yang
terdapat di wilayah Kecamatan Juwangi, Kecamatan Wonosegoro dan
Kecamatan Kemusu tidak dapat memenuhi kebutuhan, maka perlu
adanya hubungan dengan kecamatan lain atau kecamatan tetangga,
sehingga kebutuhan akan sarana kesehatan bagi penduduk di wilayah
studi dapat tersebut dapat terpenuhi.
3. Sarana Sanitasi
Persentase tingkat kesehatan pengelolaan air limbah di Kecamatan
juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro tergolong rendah. Oleh karenanya,
diperlukan adanya peninjauan kembali dan perbaikan kualiltas
pengelolaan air limbah pada setiap kecamatan.

WILAYAH MIKRO DAN PERKOTAAN


Sarana Pendidikan
Kecamatan Juwangi memiliki fasilitas pendidikan berupa SD,
SMP dan SMA. Jumlah sekolah yang ada di Kecamatan Juwangi
belum tercukupi. Hal ini dikarenakan jumlah SMP dan SMA yang belum
memenuhi kebutuhan warga di Kecamatan Juwangi. Padahal, di
Kecamatan Juwangi telah memenuhi kebutuhan standart minimal
Sekolah Dasar.Kecamatan Wonosegoro memiliki fasilitas pendidikan
berupa SD, SMP dan SMA. Jumlah sekolah yang ada di Kecamatan

Studio Proses Perencanaan E | 91


Wonosegoro belum tercukupi. Hal ini dikarenakan jumlah SMP dan

BAB II
SMA yang belum memenuhi kebutuhan warga di Kecamatan
Wonosegoro dengan jumlah SD yang sudah melebihi standar jumlah
SD.

Telekomunikasi
Prasarana telekomunikasi merupakan prasarana yang memiliki
peran penting dalam perkembangan suatu kota dikarenakan dengan
adanya telekomunikasi dapat memudahkan masyarakat melakukan
pertukaran informasi baik dari dalam maupun luar wilayah. Prasarana
telekomunikasi sendiri dapat berupa seperti telepon kabel beserta
jaringan kabelnnya dan telelpon seluler berserta menara pemancar
sinyalnya (BTS). Profil prasarana telekomunikasi ini didasarkan dari
data yang didapat dari catatan potensi desa dikarenakan keterbatasan
data mengenai prasarana telekomunikasi ini.
Untuk kawasan perkotaan pertama yaitu Ketoyan dan
Wonosegoro, kawasan perkotaan wonosegoro memiliki BTS (Base
Transceiver Station) adalah sebuah infrastruktur telekomunikasi yang
memfasilitasi komunikasi nirkabel antara piranti komunikasi dan
jaringan operator. Seluruh kawasan perkotaan yaitu ketoyan,
wonosegoro, pilangrejo dan juwangi menurut data podes tidak ada
satu kawasan perkotaan yang telah terjamah oleh jaringan internet,
namun seluruh kawasan tersebut telah dialiri program saluran televisi
seluruhnya baik dari TVRI maupun tv swasta tanpa harus
menggunakan tv kabel/parabola.

Studio Proses Perencanaan E | 92


Listrik

BAB II
Gambar 2. 12 Peta Jaringan Listrik Kawasan Perkotaan Juwangi
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Gambar 2. 13 Peta Jaringan Listrik Kawasan Perkotaan Wonosegoro


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 93


Prasarana listrik juga merupakan infrastruktur penting

BAB II
pendukung aktivitas masyarakat dan mendukung perkembangan suatu
wilayah. Listrik menjadi kebutuhan pokok masyarakat karena aktivitas-
aktivitas yang dilakukan saat ini sangat membutuhkan ketersediaan
listrik. Masyarakat akan memilih lokasi yang memiliki akses terhadap
prasarana listrik. Untuk wilayah perkotaan sendiri terbagi menjadi dua
yaitu ketoyan-wonosegoro dan juwangi-pilangrejo. Hal ini dikarenakan
dalam penentuan kawasan perkotaan yang digunakan bukanlah batas
administrasi melainkan batas fisik wilayah yang menjadi kawasan
perkotaan tersebut.

Jumlah Pelanggan PLN Kecamatan Wonosegoro


700
600
500
400
300
200
100
0

2013 2014 2015

Diagram 2. 27 Grafik Jumlah Pelanggan PLN Kecamatan Wonosegoro


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Grafik diatas menggambarkan pertumbuhan pelanggan PLN di


Kecamatan Wonosegoro pada setiap kelurahannya, dapat dilihat pada
Kelurahan Ketoyan yang merupakan kawasan perkotaan dalam
wilayah studi kali ini dari tahun 2103 hingga 2015 tidak mengalami
peningkatan dari segi pengguna, hal yang sama terjadi pada
Kelurahan Wonosegoro yang menjadi kawasan perkotaan pula dan
terletak berdampingan dengan Ketoyan.

Studio Proses Perencanaan E | 94


BAB II
Wonosegoro 2013
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

Jumlah Rumah Tangga Jumlah Pelanggan

Diagram 2. 28 Grafik Jumlah RT dan Pelanggan Kecamatan Wonosegoro 2013


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2014

Wonosegoro 2014
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

Jumlah Rumah Tangga Jumlah Pelanggan

Diagram 2. 29 Grafik Jumlah RT dan Pelanggan Kecamatan Wonosegoro 2014


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2015

Studio Proses Perencanaan E | 95


BAB II
Wonosegoro 2015
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

Jumlah Rumah Tangga Jumlah Pelanggan

Diagram 2. 30 Grafik Jumlah RT dan Pelanggan Kecamatan Wonosegoro 2015


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan adanya perbandingan


jumlah antara jumlah rumah tangga dan jumlah pelanggan. Masing-
masing kecamatan mengalami fluktuasi tiap tahun. Pada tiap tahun
kecamatan Kemusu terjadi gap yang tinggi antara jumlah rumah
tangga dengan jumlah pelanggan. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masih ada rumah tangga yang belum tersalur listrik. Walaupun sekilas
ketiga grafik tersebut sama, tetapi pada dasar terdapat peningkatan di
salah satu kelurahan walaupun hanya sedikit.

Air Bersih
Tabel II. 38 Jumlah Jaringan Air Bersih Perkotaan JKW
Jumlah Jaringan Jumlah Jumlah Jumlah Kekuranga
Kota
Air Bersih Pelanggan Penduduk KK n
Ketoyan 784 3342 836 52
Wonosegoro 718 3017 755 37
Juwangi 1228 516 5272 1318 90
Pilangrejo 949 187 4322 1080 131

Studio Proses Perencanaan E | 96


Jaringan Jalan

BAB II
Jalan di kabupaten Boyolali dibagi menjadi 4 jenis, yaitu baik,
sedang, rusak, dan sangat rusak. kerusakan jalan terdapat di berbagai
titik di ruas jalan Kecamatan Wonosegoro-Juwangi sekaligus juga di
jalan Kecamatan Kemusu-Juwangi. Kerusakan di ruas Wonosegoro-
Juwangi di antaranya di Desa Banyusri. Meski di sepanjang ruas jalan
di Banyusri sebagian sudah dicor beton, namun kerusakan masih juga
ditemui. Namun, dari kedua desa perkotaan tersebut di lewati jalan
kolektor baik yang primer dan yang sekunder.

Drainase
Kondisi dan ketersediaan jaringan drainase pada daerah desa
perkotaan belum memadai, karena memang belum seluruh wilayah
perkotaan di Kabupaten Boyolali telah memiliki sistem drainase yang
mumpuni. Dengan belum terpenuhinya ketersediaan drainase
menyebabkan daerah tersebut menjadi daerah yang sering banjir
apabila terjaadi hujan dengan intensitas yang deras.

Studio Proses Perencanaan E | 97


Peribadatan

BAB II
Gambar 2. 14 Peta Jangkauan Pelayanan Fasilitas Peribadatan Kawasan
Perkotaan Juwangi
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Di Kecamatan Juwangi keberadaan fasilitas peribadatannya


sudah lengkap. Sudah adanya Mushola, Masjid dan juga Gereja.
Jumlahnya sesuai standar di setiap kelurahan di Kecamatan Juwangi.
Di Kecamatan Wonosegoro keberadaan fasilitas peribadatannya
sudah lengkap. Sudah adanya Mushola, Masjid dan juga Gereja.
Jumlahnya sesuai standar di setiap kelurahan di Kecamatan
Wonosegoro.

Sanitasi
Pada data podes tahun 2014, sebagian besar Kelurahan
Juwangi sudah menggunakan jamban sendiri, yang mana sanitasi ini
sudah ada di rumah warganya masing-masing. Hal ini baik, sebab jika
masih menggunakan jamban bersama sangat rawan akan tertularnya

Studio Proses Perencanaan E | 98


penyakit. Selain itu, penduduk kelurahan ini juga membuang air limbah

BAB II
keluarga kedalam lubang atau tanah terbuka.
Hasil dari data podes tahun 2014, sebagian besar Kelurahan
Pilangrejo sudah menggunakan sistem sanitasi berupa jamban sendiri,
yakni jamban atau sanitasi yang digunakan pada rumah masing-
masing penduduk. Oleh sebabnya, sudah jarang ditemukan WC
umum. Selain itu, limbah air hasil rumah tangga di Kelurahan
Pilangrejo dibuang ke dalam lubang atau tanah terbuka, hal tersebut
baik sebab tidak mencemari sungai atau drainase yang ada.
Kelurahan Ketoyan merupakan salah satu kelurahan yang ada
di Kecamatan Wonosegoro. Pada hal sanitasi yang ada di kelurahan
ini, menurut data podes tahun 2014 mayoritas masyarakat sudah
menggunakan jamban sendiri, dimana setiap perumahan penduduk
memiliki septitank sendiri. Namun, pada pembuangan air limbah
keluarga masih dibuang kedalam selokan, hal ini bisa memcemari air
yang ada dan rawan banjir jika debit air naik karena hujan.
Profil sanitasi Kelurahan Wonosegoro menurut data podes
tahun 2014. Mayoritas penduduk Kelurahan Wonosegoro sudah
menggunakan jamban sendiri yang ada di setiap rumah penduduk.
dimana setiap perumahan penduduk memiliki septitank sendiri.
Namun, pada pembuangan air limbah keluarga masih dibuang
kedalam selokan, hal ini bisa memcemari air yang ada dan rawan banjir
jika debit air naik karena hujan.
Persampahan
Berdasarkan data podes tahun 2014, Kelurahan Juwangi tidak
memiliki tempat penampungan sampah sementara. Meskipun
kelurahan ini merupakan salah satu perkotaan yang ada di Kecamatan
Juwangi, namun masyarakat masih memilih untuk membakar atau
memasukkan sampah rumah tangga kedalam lubang yang dibuat
sendiri. Hal ini masih terbiolang cukup jika dibandingkan dengan harus
dibuang ke sungai atau drainase.
Kelurahan Pilangrejo merupakan salah satu perkotaan yang
ada di Kecamatan Juwangi selain Kelurahan Juwangi sendiri. Pada hal
persampahan menurut data podes 2014, mayoritas masyarakat di
kelurahan ini tidak berbeda dengan Kelurahan Juwangi, dimana tidak

Studio Proses Perencanaan E | 99


adanya tempat penampungan sampah sementara dan sampah

BAB II
dibuang ke lubang yang dibuat sendiri atau dibakar.
Menurut data podes tahun 2014, Kelurahan Ketoyan tidak
memiliki tempat penampungan sampah sementara seperti halnya
kelurahan perkotaan yang ada di wilayah studi. Selain itu, masyarakat
Kelurahan Ketoyan biasa membuang sampah rumah tangganya
kedalam lubang atau dibakar sehingga lebih bisa diproses oleh tanah.
Kelurahan Wonosegoro merupakan salah satu perkotaan yang
ada di Kecamatan Wonosegoro selain Kelurahan Ketoyan. Dimana
kelurahan ini lebih menonjol jika dibandingkan dengan kelurahan-
kelurahan lain. Namun, menurut data podes tahun 2014, Kelurahan
Wonosegoro tidak memiliki tempat penampungan sampah sementara.
Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk lebih memilih
untuk membuang sampah pada lubang yang dibuat sendiri dan
dibakar.

Studio Proses Perencanaan E | 100


ASPEK TATA GUNA LAHAN

BAB II
WILAYAH MAKRO
Kebijakan TGL Wilayah Makro
Rencana Pola Ruang
a. Kawasan lindung terdiri atas:
1) Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan
bawahannya :
- kawasan hutan lindung yang dikelola oleh negara
- kawasan hutan lindung yang dikelola oleh masyarakat
- kawasan resapan air
2) kawasan perlindungan setempat :
- sempadan pantai
- sempadan sungai dan saluran irigasi
- kawasan sekitar danau/waduk/embung
- kawasan sekitar mata air
- ruang terbuka hijau kota
3) kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan
cagar budaya :
- cagar alam
- suaka margasatwa
- taman nasional
- taman hutan raya
- kebun raya
- taman wisata alam dan taman wisata alam laut
- kawasan pantai berhutan bakau/mangrove
4) kawasan rawan bencana alam :
- kawasan rawan banjir
- kawasan rawan tanah longsor
- kawasan rawan letusan gunung berapi
- kawasan rawan gempa bumi
- kawasan rawan gelombang pasang
- kawasan rawan tsunami
- kawasan rawan kekeringan
- kawasan rawan abrasi

Studio Proses Perencanaan E | 101


- kawasan rawan angin topan

BAB II
- Kawasan rawan gas beracun
5) kawasan lindung geologi
- kawasan lindung kars
- kawasan cagar alam geologi
- kawasan imbuhan air
6) kawasan lindung lainnya.
b) kawasan perlindungan plasma nutfah
Kawasan perlindungan plasma nutfah di daratan
Kawasan perlindungan plasma nutfah di perairan
2. kawasan pengungsian satwa.
kawasan hutan produksi
kawasan hutan rakyat
kawasan peruntukan pertanian
kawasan peruntukan perkebunan
kawasan peruntukan peternakan
kawasan peruntukan perikanan
kawasan peruntukan pertambangan
kawasan peruntukan industri
kawasan peruntukan pariwisata
kawasan peruntukan permukiman
kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
c. Kawasan Budidaya meliputi :
1) kawasan hutan produksi meliputi :
- kawasan hutan produksi tetap
- kawasan hutan produksi terbatas
2) kawasan hutan rakyat
3) kawasan peruntukan pertanian
- kawasan pertanian lahan basah
- kawasan pertanian lahan kering
4) kawasan peruntukan perkebunan meliputi :
- Perkebunan Rakyat;
- PTP Nusantara IX;
- Perkebunan Besar Swasta.
5) kawasan peruntukan peternakan meliputi;
- peternakan besar

Studio Proses Perencanaan E | 102


- peternakan kecil

BAB II
- peternakan unggas
6) kawasan peruntukan perikanan meliputi;
- perikanan tangkap;
- perikanan budidaya air payau
- perikanan budidaya air tawar;
- perikanan budidaya laut.
7) kawasan peruntukan pertambangan meliputi ;
- kawasan pertambangan mineral logam,
- kawasan pertambangan bukan logam, batuan dan batubara
- kawasan pertambangan panas bumi
- kawasan pertambangan minyak dan gas bumi
8) kawasan peruntukan industri meliputi;
- Wilayah Industri/Kawasan Peruntukan Industri
- Kawasan Industri
- Kawasan Berikat
9) kawasan peruntukan pariwisata meliputi :
- Kawasan pengembangan pariwisata A
- Kawasan pengembangan pariwisata B
- Kawasan pengembangan pariwisata C
- Kawasan pengembangan pariwisata D
10) kawasan peruntukan permukiman meliputi :
- Permukiman perdesaan;
- Permukiman perkotaan.
11) kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil

Studio Proses Perencanaan E | 103


Rencana Struktur Ruang

BAB II
Sistem Jaringan Energi
a. Pengembangan prasarana kelistrikan :
1. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB)
2. Pembangkit Listrik Tenaga Surya
3. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
4. Pembangkit Listrik Tenaga Uap
5. Pembangkit Listrik Tenaga Alternatif
6. jaringan transmisi listrik meliputi :
Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi dengan kapasitas
500 kV
Saluran Udara Tegangan Tinggi dengan kapasitas 150 kVA
b. Prasarana energi Bahan Bakar Minyak dan Gas meliputi :
1. Pembangunan pipa BBM
2. pembangunan Depo BBM
3. Pembangunan pipa gas
4. Pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji
c. Pengembangan energi alternatif

Sistem Jaringan Sumber Daya Air


a. pengembangan sungai
b. pengembangan waduk
c. pengembangan embung
d. pengembangan jaringan air bersih
e. pengembangan sumur resapan
f. pengembangan jaringan irigasi meliputi :
peningkatan jaringan irigasi teknis
pembangunan irigasi dari air tanah
Pembangunan waduk
Pembangunan dan/atau pengembangan waduk, embung serta
pompanisasi, tandon air, dan kolam penampungan.

Sistem Jaringan Transportasi


a. rencana pengembangan sistem prasarana transportasi jalan;
1. prasarana jalan umum;

Studio Proses Perencanaan E | 104


jalan arteri primer;

BAB II
jalan kolektor primer
jalan strategis nasional
jalan tol
2. prasarana terminal penumpang jalan
terminal tipe A
terminal tipe B
3. rencana pengembangan prasarana transportasi kereta api;
1) kereta api regional
2) kereta api komuter
3) prasarana penunjang meliputi:
pengembangan lintasan underpass/flyover
persimpangan kereta api
peningkatan stasiun utama
peningkatan stasiun-stasiun kelas I, kelas II dan
kelas III
4) revitalisasi stasiun lama
b. rencana pengembangan prasarana transportasi sungai, danau,
dan penyeberangan
c. rencana pengembangan prasarana transportasi laut;
pengembangan pelabuhan umum;
pengembangan terminal khusus.
d. rencana pengembangan prasarana transportasi udara.
Pengembangan bandar udara umum
Pengembangan bandar udara khusus
Penataan Kawasan Keselamatan Operasional
Penerbangan;
Penataan Batas Kawasan Kebisingan (BKK);
Penataan Daerah Lingkungan Kerja (DLKr);
Penataan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp).

Studio Proses Perencanaan E | 105


Tata Guna Lahan Wilayah Makro

BAB II
Aspek Tata Guna Lahan di Wilayah makro mencakup
penggunaan lahan yang ada di 11 Kabupaten / Kota yaitu pada Kab.
Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Sragen, Kab. Semarang, Kab. Klaten,
Kab. Karanganyar, Kab. Grobogan, Kota Surakarta, Kota Salatiga,
Kab. Magelang, Kab. Sleman. Pada wilayah makro dengan skala 1 :
400.000 maka dapat dilihat bahwa penggunaan lahannya masih
didominasi oleh lahan non terbangun seperti perkebunan,
persawahan, dan tegalan, sedangkan untuk permukiman sendiri hanya
seluas 154.225 hektar atau 17,2 % dari keseluruhan luas wilayah
makro.
Berikut merupakan tabel luasan serta peta yang
menggambarkan penggunaan lahan pada 11 Kabupaten / Kota di
wilayah perencanaan makro :

Tabel II. 39 Penggunaan Lahan Wilayah Makro


No Tata Guna Lahan Luasan (ha) Prosentase
1 Perkebunan 63.016,39 7 %
2 Persawahan 372.033,81 41,6 %
3 Tegalan 126.912,34 14,2 %
4 Permukiman 154.225,16 17,2 %
5 Hutan / Belukar 173.269,60 19,4 %
6 Waduk/ Tubuh Air 5.570,92 0,6 %
Total 895.028,22 100 %
Sumber : Bappeda Jawa Tengah, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 106


BAB II
Gambar 2. 15 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Makro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Pada peta diatas tergambar jelas bahwa area persawahan


sangat mendominasi pada wilayah makro ini dimana hampir di setiap
kabupaten / kota memiliki area persawahan yang luas sedangkan
untuk hutan / belukar banyak ditemukan di sebelah utara yaitu pada
Kabupaten Semarang dan Kabupaten Grobogan juga di area Gunung
Merapi pada perbatasan Kabupaten Sleman Kabupaten Boyolali -
Kabupaten Magelang serta di area Gunung Lawu di Kabupaten
Karanganyar sebelah tenggara. Di sisi lain untuk permukiman pada
wilayah makro mempunyai pola menyebar dan juga mengikuti pola
jalan namun hanya di Kota Surakarta dan Kota Salatiga yang
permukimannya mendominasi.
Secara umum dengan prosentase yang bervariasi dan
didominasi oleh lahan-non terbangun maka pada wilayah makro masih
terjadi disparitas atau ketimpangan dalam pembangunan khususnya di
kabupaten kabupaten pada wilayah makro namun juga menyimpan
potensi yang besar dengan keberadaan lahan kosong maupun
perkebunan dan persawahan persawahan khususnya sawah tadah
hujan siap dikonversi dan dimungkinkan bagi pembangunan
permukiman, pusat bisnis, dan sebagainya.

Studio Proses Perencanaan E | 107


WILAYAH MESO

BAB II
Kebijakan TGL Wilayah Meso
Rencana Pola Ruang
a. Kawasan lindung terdiri atas:
1. kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
kawasan lindung yang dikelola oleh masyarakat
kawasan resapan air.
2. kawasan perlindungan setempat terdiri atas :
Kawasan sempadan sungai
Kawasan sekitar waduk
Kawasan sekitar mata air
Kawasan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan.
3. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya
meliputi :
Taman Nasional
Cagar budaya dan ilmu pengetahuan
4. kawasan rawan bencana alam terdiri atas :
Daerah rawan banjir
Daerah rawan banjir lahar dingin
Daerah rawan tanah longsor
Daerah rawan kebakaran hutan
Daerah rawan angin topan;
Daerah rawan kekeringan.
5. kawasan lindung geologi terdiri atas :
kawasan rawan letusan gunung berapi;
kawasan rawan gempa bumi
kawasan imbuhan air tanah.
6. kawasan lindung lainnya berupa kawasan perlindungan plasma
nutfah
b. Kawasan budidaya terdiri atas:
1. Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas :
Hutan Produksi Tetap
Hutan Produksi Terbatas
2. Kawasan peruntukan hutan rakyat

Studio Proses Perencanaan E | 108


3. Kawasan peruntukan pertanian :

BAB II
i. kawasan pertanian tanaman pangan :
pertanian lahan basah
pertanian lahan kering
pertanian pangan berkelanjutan
cadangan pertanian pangan berkelanjutan
ii. kawasan pertanian hortikultura
iii. kawasan pertanian perkebunan
iv. kawasan peruntukan peternakan.
4) Kawasan peruntukan perikanan :
peruntukan perikanan budidaya perkolaman peruntukan
perikanan budidaya karamba
peruntukan perikanan tangkap di perairan umum
peruntukan Minapolitan terdiri atas :
- kawasan inti minapolitan
- kawasan penyangga minapolitan
5) Kawasan peruntukan pertambangan
6) Kawasan peruntukan industri
Industri Besar
Industri Menengah
Industri Kecil
7) Kawasan peruntukan pariwisata terdiri atas :
Kawasan wisata alam
Kawasan wisata religi
Kawasan wisata budaya
Kawasan wisata rekreasi
8) Kawasan peruntukan permukiman terdiri dari :
Permukiman Perkotaan
Permukiman Pedesaan
9) Kawasan peruntukan lainnya.
Kawasan pertahanan dan keamanan;
Kawasan perdagangan dan jasa; dan
Kawasan pemerintahan.

Studio Proses Perencanaan E | 109


Tata Guna Lahan Wilayah Meso

BAB II
Wilayah studi meso terdiri dari 25 kecamatan, yaitu 19
kecamatan dari Kabupaten Boyolali, 3 kecamatan dari Kabupaten
Grobogan, 2 kecamatan dari Kabupaten Semarang dan 1 kecamatan
dari Kabupaten Sragen. Representasi peta tata guna lahan dengan
skala 1:240.000, dapat dilihat jenis penggunaan lahan pada tingkat
meso yang lebih di dominasi non terbangun, dengan luas lahan
sebesar 621.747,03 ha dengan persentase sebesar 64,81%. Dari total
luas wilayah meso total yaitu 959.344,20 ha. Berikut ini merupakan
tabel jenis penggunaan lahan beserta luasan dan persentase pada
wilayah studi meso
Tabel II. 40 Penggunaan Lahan Wilayah Meso
No Tata Guna Lahan Luasan (ha) Prosentase
1 Perkebunan 270.402,65 28,2%
2 Sawah Irigasi 68.237,20 7,1%
3 Tegalan 85.069,75 8,9%
4 Permukiman 337.597,17 35,2%
5 Hutan / Belukar 194.602,33 20,3%
6 Waduk/ Tubuh Air 3435,094 0,4%
Total 959.344,20 100 %
Sumber : Bappeda Jawa Tengah, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 110


BAB II
Gambar 2. 16 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Meso
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Dari peta diatas penggunaan lahan lebih didominasi oleh sawah


irigasi, sawah irigasi lebih terpusat di bagian selatan dan tengah
wilayah meso, guna lahan sawah irigasi yang mendominasi ini juga
bertujuan untuk mendukung fungsi dari wilayah meso sendiri
khususnya kecamatan-kecamatan yang berada di Kabupaten Boyolali
yang fungsinya juga di jadikan sebagai pusat produksi, ditengah-
tengah sawah irigasi yang tersebar, terdapat permukiman-permukiman
warga setempat yang sifatnya juga tersebar, sedangkan di bagian
selatan guna lahan yang lebih mencolok adalah guna lahan tegalan
dan kebun yang benar-benar terfokus di beberapa kecamtan di
antaranya, Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan, Kecamatan
Karangrayung Kabupaten Grobogan dan Kecamatan Juwangi,
Kecamatan Wonosegoro Kabupaten Boyolali.
Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, berubah
terus menerus, sebagai hasil perubahan pola dan besarnya aktivitas
manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan
lahan merupakan masalah yang kompleks (Saeful hakim dan

Studio Proses Perencanaan E | 111


Nasoetion, 1995). Lahan non terbangun yang mendominasi dapat di

BAB II
ubah atau di alih fungsikan dengan kebijakan-kebijakan tertentu yang
bertujuan untuk meningkatkan produktifitas lahan yang lebih tinggi,
dengan mempertimbangkan dampak yang akan di timbulkan.

WILAYAH MIKRO
Kebijakan TGL Wilayah Mikro
Rencana Pola Ruang
a. kawasan perlindungan setempat terdiri atas :
Kawasan sekitar Waduk Kedungombo berada di Kecamatan
Kemusu.
b. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya :
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan di Kecamatan
Kemusu, Kecamatan Wonosegoro dan Kecamatan Juwangi.
c. kawasan rawan bencana alam :
Daerah rawan banjir di Kecamatan Wonosegoro dan
Kecamatan Juwangi.
Daerah rawan kebakaran hutan di Kecamatan Wonosegoro
dan Kecamatan Juwangi
Daerah rawan angin topan di Kecamatan Wonosegoro
Daerah rawan kekeringan di Kecamatan Wonosegoro dan
Kecamatan Juwangi
d. Kawasan peruntukan hutan produksi
Kawasan hutan produksi tetap di Kecamatan Kemusu,
Wonosegoro, dan Juwangi
Kawasan hutan produksi tetap di Kecamatan Kemusu dan
Juwangi
e. Kawasan peruntukan hutan rakyat di seluruh kecamatan
f. Kawasan peruntukan pertanian :
I. kawasan pertanian tanaman pangan
Kawasan pertanian lahan basah di Kecamatan
Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi
Kawasan pertanian lahan kering di Kecamatan
Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi

Studio Proses Perencanaan E | 112


Kawasan pertanian pangan berkelanjutan di

BAB II
Kecamatan Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi
Kawasan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di
Kecamatan Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi
II. Kawasan pertanian holtikultura di Kecamatan Kemusu dan
Wonosegoro
g. Kawasan peruntukan perikanan
Kawasan peruntukan perikanan budidaya keramba di
Kemusu dan Juwangi
Kawasan peruntukan perikanan tangkap keramba di Kemusu
dan Juwangi
Kawasan penyangga minapolitan di Kecamatn Kemusu,
Wonosegoro, dan Juwangi
h. Kawasan pertambangan
Kawasan peruntukan pertambangan di Kecamatan
Wonosegoro
i. Kawasan peruntukan industri
Kawasan peruntukan industri besar di Kecamatan
Wonosegoro, Kemusu, dan Juwangi
Kawasan peruntukan industri menengah di Kecamatan
Wonosegoro, Kemusu, dan Juwangi
Kawasan peruntukan industri kecil di Kecamatan
Wonosegoro, Kemusu, dan Juwangi
j. Kawasan peruntukan pariwisata :
Kawasan Wana Wisata Wonoharjo di Kecamatan Kemusu
Kawasan wisata makam margo pati di Kecamatan Juwangi
Kawasan wisata budaya yaitu :
- Sumur Jolotundo berada di Kecamatan Juwangi;
- Ringin Pengantin berada di Kecamatan Juwangi;
- Sendang Juwangi berada di Kecamatan Juwangi;
Kawasan wisata rekreasi waduk kedungombo di Kecamatan
Kemusu
k. Kawasan peruntukan permukiman :
Kawasan peruntukan permukiman perkotaan di Kecamatan
Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi

Studio Proses Perencanaan E | 113


Kawasan peruntukan permukiman pedesaan di Kecamatan

BAB II
Kemusu, Wonosegoro, dan Juwangi
l. Kawasan peruntukan lainnya :
Daerah latihan tembak di Kecamatan Wonosegoro
Tata Guna Lahan Wilayah Mikro
Wilayah studi mikro yang terdiri dari 3 kecamatan yang ada di
bagian utara Kabupaten Boyolali yaitu Kecamatan Juwangi,
Kecamatan Wonosegoro, dan Kecamatan Kemusu dengan luas lahan
total sebesar 5.813,20 ha. Pada lingkup mikro dengan representasi
peta tata guna lahan skala 1:240.00 dapa di lihat jenis guna lahan yang
terdiri tadi sawah irigasi, tegalan, kebun, tubuh air, hutan/belukar dan
permukiman. Dari lima jenis guna lahan yang di identifikasi, guna lahan
Hutan/belukar adalah guna lahan yang paling dominan pada wilayah
mikro dengan luas sebesar 11.114,21 persentase sebesar 43,06% dari
luas wilayah total. Hutan yang ada di wilayah mikro merupakan lebih di
dominasi oleh tanaman jati dengan kepemilikan lahan ini milik
perhutani. Berikut ini merupakan tabel persentase guna lahan wilayah
mikro dan juga peta guna lahan wilayah mikro.
Tabel II. 41 Penggunaan Lahan Wilayah Mikro
No Tata Guna Lahan Luasan (ha) Prosentase
1. Persawahan 2.915,97 11,30%
2. Tegalan 6.799,47 26,34%
3. Permukiman 4.208,29 16,30%
4. Hutan / Belukar 11.114,21 43,06%
5. Waduk/ Tubuh Air 775,25 3,00%
Total 5.813,20 100 %
Sumber : Bappeda Jawa Tengah, 2016

Studio Proses Perencanaan E | 114


BAB II
Gambar 2. 17 Peta Penggunaan Lahan Wilayah Mikro
Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Pada wilayah mikro, guna lahan yang mendominasi juga masih


mendominan dengan luas total lahan non terbangun sebesar
21.604,90 persentase sebesar 83.70%. persentase lahan non
terbangun bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kawasan sesuai
kebijakan RTRW yang ada. Guna lahan tubuh air yang ada di wilayah
studi mikro merupakan kawasan dari waduk kedung ombo.
Di Indonesia penggunaan lahan memiliki tujuan umum yaitu
untuk menjamin pengadaan pangan, sebagai sumber devisa bagi
pembangunan untuk pemukiman dan sarana atau prasarana fasilitas
umum dan konservasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pola dan
jenis penggunaan lahan di Indonesia adalah sifat fisik lahan (iklim,
topografi, drainase, sifat fisik dan kimia tanah), kondisi faktor budaya
dan ekonomi serta kebijakan pemerintah. Besarnya kontribusi faktor-
faktor tersebut akan sangat beragam menurut waktu dan ruang
(Lopulisa, 1995).

Studio Proses Perencanaan E | 115


Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut yaitu

BAB II
faktor politik dan faktor ekonomi. Faktor politik dapat mempengaruhi
pola perubahan terhadap suatu lahan karena adaya kebijakan yang
diambil oleh pengambil keputusan. Faktor ekonomi adalah perubahan
pendapatan serta pola konsumsi yang menyebabkan kebutuhan akan
ruang dan tempat rekreasi meningkat sehingga terjadilah perubahan
penggunaan lahan (Dirjen, 2008).

KAWASAN PERKOTAAN
Kawasan Perkotaan Wonosegoro Raya
Wilayah dengan karakteristik perkotaan umumnya memiliki tata
guna lahan yang lebih kompleks apabila dibandingkan dengan wilayah
non perkotaan sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap
kedalaman analisis yang nantinya digunakan. Pada wilayah perkotaan
Wonosegoro yang meliputi Desa Ketoyan dan Wonosegoro di
Kecamatan Wonosegoro yang menjadi satu kesatuan secara umum
justru memiliki karakteristik tata guna lahan yang hampir mirip dengan
wilayah wilayah di sekitarnya yaitu masih didominasi oleh lahan tidak
terbangun seperti hutan/belukar, sawah, dan tegalan untuk aktivitas
masyarakat di wilayah tersebut. Berikut peta serta prosentasenya
penggunaan lahannya:

Studio Proses Perencanaan E | 116


BAB II
Gambar 2. 18 Peta Tata Guna Lahan Kawasan Perkotaan Wonosegoro Raya
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Tabel II. 42 Luasan Penggunaan Lahan Perkotaan Wonosegoro


No Guna Lahan Ketoyan Wonosegoro Luas Total Prosentase
1 Hutan 73,81 Ha 79,00 Ha 152,81 Ha 24,8%
2 Persawahan 156,73 Ha 209,82 Ha 366,55 Ha 59,5%
3 Tegalan 1,33 Ha 0,86 Ha 2,19 Ha 0,4%
4 Permukiman layak 38,16 Ha 32,15 Ha 70,31 Ha 11,4%
Permukiman tidak
5 0,83 Ha 10,56 Ha 11,39 Ha 1,8%
layak
6 Perkantoran 0,80 Ha 1,04 Ha 1,84 Ha 0,3%
Perdagangan &
7 2,94 Ha 4,26 Ha 7,2 Ha 1,2%
Jasa
8 Pendidikan 0,90 Ha 2,93 Ha 3,83 Ha 0,6%
9 Kesehatan 0,15 Ha 0,24 Ha 0,39 Ha 0,1%
10 Embung 0,00 Ha 0,00 Ha 0 Ha 0,0%
11 Lahan Kosong 0,00 Ha 0,00 Ha 0 Ha 0,0%
Total 275,65 Ha 340,86 Ha 616,51 Ha
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dilihat dari perbandingan prosentase luas penggunaan lahan


maka dominansi lahan ada pada lahan tak terbangun yaitu sebesar

Studio Proses Perencanaan E | 117


521,55 Ha yang terdiri dari hutan negara, persawahan, serta tegalan.

BAB II
Keberadaan lahan non terbangun pada Perkotaan Wonosegoro
umumnya dekat dengan permukiman khususnya persawahan dan
tegalan karena juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
yang sebagaian besar bermata pencaharian di sektor agraris (primer).
Hutan negara sendiri mempunyai luas sebesar 152,81 Ha dan
kemungkiman luasannya akan tetap pada tahun tahun yang akan
datang karena pada hutan negara hanya pemanfaatan lahannya
sangat ketat dan diatur oleh undang undang terkait.
Penggunaan dari lahan terbangun di perkotaan sendiri seluas
94,96 Ha juga dibagi menjadi permukiman, perkantoran, perdagangan
& jasa, lahan untuk pendidikan, dan sebagainya. Permukiman di
Perkotaan Wonosegoro di sebagian besar merupakan rumah rumah
yang sudah layak yaitu seluas 70,31 Ha dan hanya sedikit yang masuk
kategori permukiman kumuh yaitu seluas 11,39 yang sebagian besar
terletak di sebelah utara. Pola dari permukiman di wilayah perkotaan
Wonosegoro yaitu berpola linier dengan mengikuti jaringan jalan yang
ada di kedua desa maupun sungai besar yang memang melintasi di
wilayah ini.
Berdasarkan penjelasan diatas maka secara umum konteks
luas wilayah total harus 30% nya dimanfaatkan sebagai RTH sudah
dicukupi. Namun dibalik itu perkotaan Wonosegoro mempunyai
potensi besar khusunya lahan yang masih bisa dikonversi atau
digunakan untuk pembangunan fisik permukiman maupun fasilitas
fasilitas sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan lahan
serta pelayanan bagi masyarakat.
Kawasan Perkotaan Juwangi Raya
Wilayah Perkotaan Juwangi yang meliputi Desa Juwangi dan
Desa Pilangrejo sebagai satu kesatuan merupakan salah satu dari 2
wilayah dengan sifat perkotaan di wilayah studi Mikro (Kecamatan
Juwangi, Kemusu, Wonosegoro) selain Wilayah Perkotaan
Wonosegoro. Secara umum tata guna lahan di wilayah dengan sifat
perkotaan berbeda klasifikasinya dengan tata guna lahan di wilayah
pedesaan untuk menunjukkan bahwa di wilayah perkotaan terdapat
kawasan kawasan yang lebih beragam seperti perkantoran, pasar,
kawasan pendidikan, dan sebagainya karena bisa jadi wilayah dengan
Studio Proses Perencanaan E | 118
sifat perkotaan ini menjadi pusat pelayanan dari wilayah wilayah

BAB II
disekitarnya sehingga lebih beragam. Berikut merupakan peta
prosentase dari penggunaan lahan yang ada :

Gambar 2. 19 Peta Tata Guna Lahan Kawasan Perkotaan Juwangi


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 119


Tabel II. 43 Luasan Penggunaan Lahan Perkotaan Juwangi

BAB II
No Guna Lahan Juwangi Pilangrejo Luas Total Prosentase
1 Hutan 264,92 Ha 426,04 Ha 690,96 Ha 66,8%
2 Persawahan 13,98 Ha 0,00 Ha 13,98 Ha 1,4%
3 Tegalan 18,70 Ha 70,45 Ha 89,15 Ha 8,6%

4 Permukiman layak 91,80 Ha 27,28 Ha 119,08 Ha 11,5%

Permukiman tidak
5 4,32 Ha 47,28 Ha 51,6 Ha 5,0%
layak
6 Perkantoran 0,52 Ha 0,00 Ha 0,52 Ha 0,1%

7 Perdagangan & Jasa 4,68 Ha 1,05 Ha 5,73 Ha 0,6%

8 Pendidikan 1,38 Ha 0,00 Ha 1,38 Ha 0,1%


9 Kesehatan 0,35 Ha 0,22 Ha 0,57 Ha 0,1%
10 Embung 0,00 Ha 0,00 Ha 0 Ha 0,0%
11 Lahan Kosong 0,00 Ha 62,15 Ha 62,15 Ha 6,0%
Total 400,65 Ha 634,47 Ha 1035,12 Ha
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dilihat dari perbandingan prosentase luas penggunaan lahan


maka dominansi lahan ada pada lahan tak terbangun yaitu sebesar
794,09 Ha yang terdiri dari hutan negara, persawahan, serta tegalan.
Keberadaan lahan non terbangun pada Perkotaan Juwangi umumnya
dekat dengan permukiman khususnya persawahan dan tegalan
(jagung) karena juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang sebagaian besar bermata pencaharian di sektor
agraris (primer). Hutan negara sendiri sangat luas yaitu sebesar
690,96 Ha yang juga milik Perhutani dan kemungkiman luasannya
akan tetap pada tahun tahun yang akan datang karena pada hutan
negara hanya pemanfaatan lahannya sangat ketat dan diatur oleh
undang undang terkait meskipun juga kadang dimanfaatkan
masyarakat untuk tegalan jagung dengan semacam perjanjian.
Penggunaan dari lahan terbangun di perkotaan sendiri seluas
241,03 Ha juga dibagi menjadi permukiman, perkantoran,
perdagangan & jasa, lahan untuk pendidikan, dan sebagainya.
Permukiman di Perkotaan Juwangi di sebagian besar sudah
merupakan permukiman layak yaitu seluas 119,08 Ha dan kategori
permukiman kumuh yaitu seluas 51,6 Ha yang sebagian besar di Desa

Studio Proses Perencanaan E | 120


Pilangrejo. Pola dari permukiman di wilayah Perkotaan Juwangi yaitu

BAB II
berpola linier dengan mengikuti jaringan jalan yang ada di kedua desa
serta ada yang menyebar dan dipisahkan oleh persawahan juga
perkebunan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka secara umum konteks
luas wilayah total harus 30% nya dimanfaatkan sebagai RTH sudah
dicukupi. Namun dibalik itu perkotaan Juwangi mempunyai potensi
besar khususnya lahan yang masih bisa dikonversi atau digunakan
untuk pembangunan fisik permukiman maupun fasilitas fasilitas
sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam pembangunan lahan
khususnya antara lahan yang dekat jalan dengan yang berjarak lebih
dari 1 kilometer dari jalan serta pelayanan fasilitasnya bagi
masyarakat.

ASPEK SISTEM AKTIVITAS


Sistem aktivitas adalah sebuah hubungan yang terbentuk dari
beberapa behavior setting yang sifat nya tetap/berulang (berupa
kegiatan rutin yang bersifat berlanjut). Sistem aktivitas sendiri dibagi
menjadi dua, yaitu aktivitas yang muncul untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan aktivitas yang muncul untuk memenuhi kebutuhan non
ekonomi. Aktivitas yang muncul untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
tidak lepas dari kegiatan produksi, distribusi serta konsumsi dari
masyarakat yang merupakan pelaku ekonomi itu sendiri. Sedangkan
aktivitas yang muncul untuk memenuhi kebutuhan non ekonomi adalah
aktivitas yang muncul untuk menyeimbangkan aktivitas ekonomi
seperti kebutuhan fisik berupa aktivitas yang mendukung kesehatan,
pendidikan serta peribadatan.

Studio Proses Perencanaan E | 121


KEBIJAKAN TERKAIT SISTEM AKTIVITAS

BAB II
Makro
Trayek Angkutan
Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana transportasi
meliputi :
a. Rencana pengembangan sistem prasarana transportasi jalan
a) prasarana jalan umum
jalan arteri primer
jalan kolektor primer
jalan strategis nasional
jalan tol
prasarana terminal penumpang jalan
b. rencana pengembangan prasarana transportasi kereta api;
kereta api regional
kereta api komuter
prasarana penunjang meliputi :
- pengembangan lintasan underpass/flyover
persimpangan kereta api
- peningkatan stasiun utama
- peningkatan stasiun-stasiun
- revitalisasi stasiun lama
c. rencana pengembangan prasarana transportasi sungai, danau,
dan penyeberangan; meliputi :
angkutan wisata waduk
angkutan wisata sungai
pelabuhan penyeberangan
d. rencana pengembangan prasarana transportasi laut
pengembangan pelabuhan umum
- pelabuhan utama
- pelabuhan pengumpul
- pelabuhan pengumpan
e. rencana pengembangan prasarana transportasi udara.
Pengembangan bandar udara umum
Bandar udara pengumpul sekunder skala internasional

Studio Proses Perencanaan E | 122


Bandar udara pengumpan

BAB II
Pengembangan bandar udara khusus

Meso
Trayek Angkutan
1. Rencana sistem jaringan transportasi darat terdiri atas:
jaringan lalu lintas dan angkutan jalan terdiri atas:
a. jaringan jalan dan jembatan timbang terdiri atas
pengembangan jalan tol (jalan bebas hambatan
pengembangan jalan arteri
pengembangan jalan kolektor
pengembangan jalan lokal
pembangunan jalan baru
pengembangan jembatan timbang
jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan terdiri dari :
- pengembangan terminal
terminal penumpang
penempatan alat pengawas dan pengaman jalan
penempatan unit pengujian kendaraan bermotor
jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
- Jaringan trayek angkutan penumpang
angkutan penumpang Antar Kota Antar Propinsi (AKAP)
angkutan penumpang Antar Kota Dalam Propinsi (AKDP)
angkutan perdesaan yang melayani pergerakan
penduduk
jaringan angkutan sungai dan penyeberangan
jaringan transportasi perkotaan
Rencana sistem jaringan terdiri atas:
pengembangan jalur perkeretaapian
pengembangan prasarana transportasi kereta api komuter
Rencana sistem jaringan transportasi udara terdiri atas :
pengembangan intermoda terminal
pemantapan Bandar Udara Internasional Adi Soemarmo
Boyolali sebagai bandara internasional dan embarkasi Haji

Studio Proses Perencanaan E | 123


Wilayah Kawasan Keselamatan Operasional Penerbangan

BAB II
(KKOP) dan Batas Kawasan Kebisingan (BKK)
2. Rencana sistem pusat kegiatan perkotaan :
a. PKW berada di Kecamatan Boyolali
b. PKL berada di Kecamatan Ampel
c. PKLp di Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Banyudono,
Kecamatan Simo dan Kecamatan Karanggede.
d. PPK di Kecamatan Teras, Kecamatan Sambi dan Kecamatan
Ngemplak.
3. Rencana pengembangan sistem perdesaan
a. Pengembangan PPL di Kabupaten meliputi:
Kecamatan Selo;
Kecamatan Cepogo;
Kecamatan Musuk;
Kecamatan Sawit;
Kecamatan Nogosari;
Kecamatan Klego;
Kecamatan Andong;
Kecamatan Kemusu;
Kecamatan Wonosegoro; dan
Kecamatan Juwangi.
SISTEM AKTIVITAS EKONOMI
Aktivitas Pertanian
Wilayah JKW memiliki guna lahan peruntukkan pertanian yang
cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase lahan
pertanian di wilayah studi, seperti wilayah Juwangi yang memiliki total
penggunaan lahan pertanian sebesar 57% dengan lahan sawah irigasi
sebesar 7%, sawah tadah hujan 9% dan Kebun 41%. Sedangkan
lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kemusu cenderung lebih kecil
dengan total lahan pertanian sebesar 41% dengan rincian lahan
sawah irigasi sebesar 17%, sawah tadah hujan sebesar 17% dan
kebun sebesar 7%. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Kecamatan
Wonosegoro yang memiliki total lahan pertanian sebesar 37% dengan
persentase lahan sawah irigasi sebesar 11%, sawah tadah hujan 9%
dan kebun sebesar 7%. Besarnya lahan pertanian yang ada di wilayah

Studio Proses Perencanaan E | 124


perencanaan menandakan bahwa mayoritas aktivitas ekonomi berupa

BAB II
produksi pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah ini.
Mayoritas masyarakat bermata pencaharian sebagai petani, hal
ini dibuktikan dengan banyaknya jumlah petani di Wilayah JKW yaitu
59.081 jiwa. Jumlah petani di Kecamatan Juwangi 11.484 jiwa,
sedangkan di Kecamatan Wonosegoro 26.894 jiwa dan Kecamatan
Kemusu sebesar 20.703 jiwa. Oleh karena itu wajar saja jika aktivitas
pertanian mendominasi di wilayah JKW ini.

Aliran Bahan Baku/ Bibit


1. Peta Aliran Bibit Kecamatan Juwangi

Gambar 2. 20 Peta Aliran Bibit Kecamatan Juwangi


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Berdasarkan peta diatas dapat diketahui bahwa peta aliran bibit


berasal dari Kecamatan Boyolali yang memasok bibit ke Kecamatan
Juwangi kemudian dialirkan ke desa sekitar nya seperti Desa cerme,
desa ngaren, desa krobokan, desa pilangrejo dan desa lainnya yang
berada di Kecamatan Juwangi.

Studio Proses Perencanaan E | 125


2. Peta Aliran Bibit Kecamatan Wonosegoro

BAB II
Gambar 2. 21 Peta Aliran Bibit Kecamatan Wonosegoro
Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Berdasarkan peta diatas dapat diketahui bahwa peta aliran bibit


di Kecamatan Wonosegoro berasal dari Kecamatan Kedungjati (
Kab.Grobogan) kemudian dilairkan ke Desa Bengle. Dsa Karanggede,
Teras, Mojosongo menjadi pemasok bibit ke Kecamatan Wonosegoro.
Tujuan desa nya adalah ke desa Gilirejo, Kalinans, Bolo, dan Ngablak.
Tak hanya dari kecamatan sekitar saja namun Klaten juga memasok
kebutuhan ke Desa Karangjati dan Ngablak.

Studio Proses Perencanaan E | 126


3. Peta Aliran Bibit Kecamatan Kemusu

BAB II
Gambar 2. 22 Peta Aliran Bibit Kecamatan Kemusu
Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Peta diatas merupakan peta aliran bibit di Kecamatan Kemusu


yang dibuat berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, peta diatas
menunjukkan Pemasok kebutuhan bibit berasal dari Desa Mojosongo,
Andong, Karanggede dan Kedungmulyo dimana Desa Mojosongo
memasok kebutuhan bibit ke desa Klewor, Kendel dan Desa Guwo.
Sedangkan Kecamatan Andong memasok kebutuhan bibit ke Desa
Karanggede.
Berdasarkan 3 peta diatas menunjukkan bahwa para petani di
wilayah JKW umumnya mendapatkan bahan baku (bibit) pertanian dari
bantuan subsidi pemerintah yg didapatkan 1 tahun sekali, namun tidak
sedikit pula petani lain yang mendapatkan bahan baku dari toko di
pasar tertentu secara langsung. Hal ini diakibatkan waktu pengiriman
bibit dari pemerintah yang tidak sesuai dengan waktu penanamanan
dan terlambat, sehingga memaksa para petani secara langsung untuk
membeli bibit di pasar yang harganya jauh lebih mahal. Pasokan
kebutuhan bibit juga banyak berasal dari Desa di sekitar wilayah JKW

Studio Proses Perencanaan E | 127


bahkan juga dari Klaten.Hal ini menunjukkan bahwa hubungan anatara

BAB II
wilayah JKW dan sekitarnya terkait supply dan demand juga cukup
baik. Namun aksesibiltas di Wilayah JKW juga masih buruk dan banyak
jalan yang rusak sehingga terkadang memperlambat pergerakan ke
desa yang akan dituju. Oleh karena itu terkait aksesibilitas harus benar-
benar dibenahi agar pergerakan bibit pun dapat lancar.
Aliran Penjualan Hasil Pertanian
Adapun hasil pertanian yang dijual ke luar yaitu Jagung, pisang,
ketela pohon, dan padi. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner,
hasil produksi pertanian pun telah banyak yang dijual ke luar wilayah,
walaupun masih terdapat beberapa desa yang hasil pertaniannya
hanya mencukupi untuk konsumsi penduduk di desanya sendiri, salah
satunya adalah Desa Kauman di Kecamatan Kemusu yang tidak
menjual hasil pertaniannya kemanapun selain Desa Kauman sendiri
dan daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan sedikitnya jumlah produksi
pertanian yang dapat dihasilkan oleh Desa Kauman.
1. Kecamatan Juwangi
Jagung

Gambar 2. 23 Peta Aliran Komoditas Jagung Kecamatan Juwangi


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 128


Berdasarkan peta diatas dapat diketahui bagaimana aliran

BAB II
komoditas jagung yang terdapat di Kecamatan Juwangi, jagung
merupakan salah satu komoditas yang dihasilkan oleh Wilayah JKW.
Desa penghasil jagung di Kecamatan Juwangi yaitu Desa Sambeng,
Desa Pilangrejo Desa Ngaren dan Desa Ngleses. Tujuan aliran
komoditas jagung berdasarkan peta diatas ke Kabupaten Grobogan,
Kab Sragen Kabupaten Semarang serta Desa Karanggede. Biasanya
jangung yang dijual merupakan jagung yang telah dikeringkan dan
digunakan untuk pakan ternak, sehingga ketahanan hasil pertanian
bisa agak lama dibanding dengan jagung segar.

Pisang

Gambar 2. 24 Peta Aliran Komoditas Pisang Kecamatan Juwangi


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Tujuan pemasaran hasil produksi pertanian berupa pisang


dianataranya adalah ke Desa Kecamatan Karangrayung, Solo,
Yogyakarta dan Bali. Dimana penghasil pisang di Kecamatan Juwangi
adalah Desa Jerukan dan Desa Ngaren. Aliran distribusi pisang Desa
Jerukan adalah ke Kecamatan Karangrayung Solo hingga Bali.

Studio Proses Perencanaan E | 129


Kemudian aliran distribusi Desa Ngaren adalah ke Soilo dan

BAB II
Yogyakarta. Namun distribusi penjualan pisang ini ditunjang oleh
adanya Pasar Juwangi . Di Juwangi terdapat pasar pisang dimana hasil
panen pisang dari 3 Kecamatan JKW banyak yang dijual ke pasar
tersebut. Pembeli kebanyakan berasal dari luar daerah dan membeli
dengn skala yang besar seperti dari Solo, Bandung hingga ke Bali.
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekrestaris desa, Bali membeli
pisang dari Juwangi dikarenakan harganya yang murah dan Bali
banyak membutuhkan pisang untuk kegiatan upacara adat nya.

Gambar 2. 25 Kegiatan Perdagangan Pisang di Kecamatan Juwangi


Sumber: Dokumentasi Kelompok Studio E, 2017

Berikut merupakan hasil dokumentasi studio E saat survey di


Kecamatan Juwangi. Terlihat pada gambar diatas bahwa banyak
sekali pisang yang dijual di Pasar Juwangi.

Studio Proses Perencanaan E | 130


2. Kecamatan Wonosegoro

BAB II
Jagung

Gambar 2. 26 Peta Aliran Komoditas Jagung Kecamatan Wonosegoro


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dari peta diatas dapat diketahui bahwa aliran distribusi


komoditas jagung adalah ke Kecamatan Karanggede , Salatiga,
Kecamatan Boyolali dan Kabupaten Grobogan. Namun daerah tujuan
yang paling dituju adalah Kota Salatiga dan Kecamatan Karanggede
hal ini dikarenakan jarak yang dekat dan kebutuhan jagung di
Kecamatan Karanggede dan Salatiga juga lumyan banyak.

Studio Proses Perencanaan E | 131


Kedelai

BAB II
Gambar 2. 27 Peta Aliran Komoditas Kedelai Kecamatan Wonosegoro
Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Desa penghasil ketela pohon di Kecamatan Wonosegoro adalah


Desa Bolo dimana daerah tujuan distribusi nya adalah ke desa sekitar
nya, Kabupaten Semarang, Kabupaten Sragen, Desa Karanggede,
KotaSolo dan Kabupaten Grobogan.

Studio Proses Perencanaan E | 132


Padi

BAB II
Gambar 2. 28 Peta Aliran Komoditas Padi Kecamatan Wonosegoro
Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Padi merupakan salah satu komoditas yang jumlah nya


melimpah di Kecamatan Wonosegoro. Dimana Desa penghasil padi
adalah Desa Bandung, Desa Kalinanas, dan Desa Karangjati dengan
tujuan distribusi komoditas adalah Kabupaten Semarang, Kota
Salatiga, Kecamatan Karangeede, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten
Grobogan. Banyaknya tingkat distribusi pertanian harusnya ditunjang
dengan aksesbilitas jalan yang baik karena hampir 50 % jalan di
Kecamatan Wonosegoro rusak sehingga akan menghambat
pendistribusian komoditas padi.

Studio Proses Perencanaan E | 133


3. Kecamatan Kemusu

BAB II
Ketela Pohon

Gambar 2. 29 Peta Aliran Komoditas Ketela Pohon Kecamatan Kemusu


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Peta diatas menunjukkan aliran distribusi komoditas ketela


pohon dimana desa penghasil ketela pohon adalah Desa Wonoharjo,
Desa Guwo, Desa Genengan, Desa Bawu, Desa Geengsari, Desa
Klewor dan daerah tujuan distribudi komoditas ketela pohin adalah
Kabupaten Sragen, Kecamatan Andong dan Kecamatan Boyolali.

Aliran Manusia (Buruh Tani/Petani)


Suatu aktivitas tidak akan berjalan tanpa adanya pelaku. Pelaku
yang dimaksud disini adalah petani dan buruh tani di Wilayah JKW.
Petani adalah orang yang memilki lahan dan menggarap lahan
pertanian nya sendiri, sedangkan buruh tani adalah orang yang tidak
memilki lahan dan bekerja menggarap lahan milik orang lain.
Asal daerah buruh tani terbanyak berasal dari dalam wilayah
JKW itu sendiri, karena memang sebagian besar pekerjaan utama
penduduk JKW adalah buruh tani. Beberapa diantaranya ada juga

Studio Proses Perencanaan E | 134


yang merupakan petani atau petani yang memiliki lahan, tetapi

BAB II
lahannya digarap oleh para buruh tani. Buruh tani tersebut paling
banyak berada pada Desa Repaking, Desa Kendel dan Desa
Ngeleses. Hal ini dikarenakan desa-desa tersebut berbatasan dengan
Kecamatan lain, sehingga banyak penduduk di desa sekitarnya yang
merupakan kecamatan lain ikut serta menjadi buruh tani di desa-desa
tersebut. Buruh tani yang berasal dari luar wilayah JKW berasal dari
Desa Karang Rayung, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten
Semarang yang memiliki persentase sebesar 2% dari seluruh petani
yang bekerja di wilayah JKW.
Beberapa buruh tani umumnya tidak tinggal menetap di Wilayah
JKW, beberapa buruh tani yang selesai menggarap taninya tersebut,
akan pergi merantau karena garapannya sudah selesai dan akan
kembali lagi nanti setelah akan panen. Penduduk yang pergi atau
merantau kebanyakan merupakan buruh tani yang sebagian besar
tujuan daerahnya adalah Jakarta, Medan dan Semarang untuk menjadi
buruh industri maupun buruh bangunan dengan maksud untuk
meningkatkan perekonomian keluarga. Berikut merupakan data
penduduk yang masuk dan keluar baik untuk bekerja sebagai buruh
industri, bangunan di luar kota dan kembali ke tempat asal untuk
pulang atau hanya panen.
Kepemilikan lahan pertanian rata rata merupakan lahan miliki
perhutani yang disewakan oleh para petani, seperti petani jagung di
Desa Krobokan, Juwangi yang menyewa lahan perhutani sebesar Rp.
150.000 per hektar setiap panen, selain itu ada juga lahan yang
merupakan milik Kepala Desa yang disewakan untuk penanaman padi.
Sistem ini berada di Desa Gilirejo Kecamatan Wonosegoro. Akan
tetapi tidak sedikit pula petani yang memiliki lahan pribadi. Petani yang
bekerja di lahan milik perhutani tentu hanya menjadi buruh tani
dikarenakan apabila lahan dari perhutani tersebut tutup untuk
sementara, maka petani-petani yang berkerja di lahan tersebut akan
berhenti berkerja dan mengganti perkerjaan untuk sementara waktu,
hal ini menjadikan petani hanya sebagai pekerjaan yang tidak tetap.
Berikut meupakan daftar desa yang lahan pertanian nya berasal dari
Perhutani :

Studio Proses Perencanaan E | 135


Tabel II. 44 Lahan Pertanian Milik Perhutani

BAB II
Nama Desa Nama Kecamatan
Desa Sambeng Kecamatan Juwangi
Desa Guwo Kecamatan Kemusu
Desa Ngaren Kecamatan Juwangi
Desa Pilangrejo Kecamatan Juwangi
Desa Cerme Kecamatan Juwangi
Desa Krobokan Kecamatan Juwangi

Aktivitas Industri
Di wilayah JKW terdapat beberapa macam jenis industri yang
tumbuh dan berkembang, baik itu industri besar, menengah maupun
industri kecil, diantaranya adalah industri produksi anyaman, produksi
minyak atsiri, arang kayu, batu split, produksi gethuk, gula, gula kelapa,
kerupuk, konveksi tas, rogo-rigi, serta produksi tahu tempe. Adanya
aktivitas industri di wilayah JKW didukung oleh beberapa kebijakan
yang ada, yaitu:
A. RTRW Kabupaten Boyolali Tahun 2011-2031
Di Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro tersebut
akan dikembangkan kawasan peruntukan industri besar,
menengah, kecil
B. RPJMD Kabupaten Boyolali Tahun 2016-2021
Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri
besar, sedang, dan kecil tadi didetailkan kedalam kebijakan
peningkatan daya saing industri yang berbasis sumber daya
lokal yaitu dalam rangka mewujudkan Boyolali sebagai
lumbung padi dan pangan nasional maka diperlukan strategi
yaitu :
1) Peningkatan keahlian dan kualitas petani dan produsen
hasil pertanian dalam menggunakan teknologi rekayasa
industri pengolahan hasil produksi pertanian.
2) Melengkapi infrastruktur penunjang koneksitas
pengadaan bahan baku-lokasi produksi-pintu
pemasaran hasil industri produksi pertanian dan
distribusi hasil produk pertanian

Studio Proses Perencanaan E | 136


3) Pengembangan industri pariwisata berbasis pertanian

BAB II
peternakan menambah daya saing kabupaten.
Kebijakan berkaitan dengan pengembangan industri ini
dilaksanakan setiap tahunnya mulai dari tahun 2017-2021.
Rencana pengembangan kawasan peruntukan industri
besar, sedang, dan kecil juga didetailkan kedalam strategi
pengembangan wilayah industri meliputi:
1) Meningkatkan kegiatan koperasi usaha mikro, kecil dan
menengah serta menarik investasi
2) Mengembangkan industri kecil dan industri rumah
tangga
3) Mengembangkan wilayah industri polutif berjauhan
dengan kawasan permukiman; dan
4) Mengembangkan pusat promosi dan pemasaran hasil
industri kecil dan kerajinan rumah tangga.

Gambar 2. 30 Peta Persebaran Industri di Kecamatan JKW


Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Berdasarkan peta diatas terlihat bahwa industri yang paling


dominan di wilayah JKW adalah industri meubel yang terdapat di

Studio Proses Perencanaan E | 137


Kelurahan Cerme, Krobokan, Bercak, Garangan, Kedungmulyo,

BAB II
Gosono, Banyusri, Kauman dan Kendel. Selanjutnya industri produksi
tempe dan industri produksi kerupuk.

Aliran Bahan Baku dan Aliran Penjualan Hasil Industri


Bahan baku yang diperoleh oleh tiap pelaku industri di wilayah
JKW ini rata-rata berasal dari dalam (petani lokal) Kecamatan Juwangi,
Kemusu dan Wonosegoro maupun dari luar wilayah JKW, misalnya
bahan baku kedelai yang diperoleh dari Kecamatan Karanggede yang
terletak di sebelah selatan wilayah JKW. Sedangkan untuk penjualan
hasil industrinya, rata-rata langusng dijual ke pasar yang ada di wilayah
JKW maupun dijual ke daerah lain melalui tengkulak dan sebagainya.
Untuk lebih jelasnya, aliran bahan baku dan aliran penjualan hasil
industri ini dapat dilihat dari mata rantai nilai masing-masing industri
sebagai berikut:
Produksi minyak atsiri

Gambar 2. 31 Diagram Alir Produksi Minyak Atsiri

Studio Proses Perencanaan E | 138


BAB II
Arang kayu

Bahan baku Proses produksi


Tempurung Tungku (pembakaran hingga
kelapa pengarngan pendinginan)

Pemasaran Dibongkar dan


Ke pasar JKW dikeluarkan

Gambar 2. 32 Diagram Alir Produksi Arang kayu

Produksi gethuk

Bahan baku
Singkong, ubi rambat, Ke produsen
talas, pisang (masuk ke dapur Proses produksi
Diperoleh dari petani produksi)
lokal

Dipasarkan ke pasar JKW


Pemasaran
maupun pemesan dari
getuk
luar JkW

Gambar 2. 33 Diagram Alir Produksi Gethuk

Studio Proses Perencanaan E | 139


BAB II
Gambar 2. 34 Diagram Alir Industri Tas

Gambar 2. 35 Diagram Alir Industri Meubel

Studio Proses Perencanaan E | 140


BAB II
Gambar 2. 36 Diagram Alir Industri Tempe Tahu

Aliran Manusia (Buruh Industri)


Suatu aktivitas tidak akan berjalan tanpa adanya pelaku. Pelaku
industri yang melakukan aktivitas industri di wilayah JKW berasal dari
dalam wilayah JKW itu sendiri karena rata-rata industri yang tumbuh
dan berkembang di wilayah ini adalah industri tingkat rumah tangga.

SISTEM AKTIVITAS NON-EKONOMI


Kependudukan
Migrasi Masuk dan Keluar

Studio Proses Perencanaan E | 141


BAB II
Gambar 2. 37 Peta Aliran Kependudukan
Sumber: Hasil Wawancara dan Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dilihat dari aktivitas atau mobilitas penduduknya secara umum,


terutama di wilayah Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro, penduduk
dengan migrasi masuk dengan keluar kurang lebih sama intensitasnya,
namun cenderung lebih besar intensitas penduduk dengan migrasi
keluar. Hal tersebut ternyata salah satunya dikarenakan oleh aktivitas
penduduk ke luar wilayah untuk mencari lapangan pekerjaan atau
pendapatan di wilayah lain. Dilihat dari kapasitas penduduknya, di
wilayah Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro lebih mengarah kepada
potensi penduduk terlatih sebagai tenaga pekerja terutama dalam
sektor pertanian.
(Tabel jumlah migrasi penduduk terlampir)

Dengan adanya hal tersebut, diperoleh beberapa potensi


dengan adanya migrasi keluar penduduk dengan kapasitas tenaga
kerja yang mencukupi salah satunya adalah adanya remitan yang
didapat dari pada emigran. Namun, dengan banyaknya penduduk yang
bermigrasi ke luar wilayah Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro, maka

Studio Proses Perencanaan E | 142


secara tidak langsung memperlambat atau menghambat pertumbuhan

BAB II
dan pembangunan dalam wilayah Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro
itu sendiri.
Gagasan perencanaan yang dapat diupayakan, salah satunya
adalah dengan cara adanya kebijakan pembatasan penduduk migrasi
masuk atau pun keluar dengan intensitas atau kapasitas tertentu,
sehingga diharapkan adanya keseimbangan dan kestabilan
pertumbuhan penduduk atau pun perkembangan wilayah di
Kecamatan Juwangi, Kemusu, dan Wonosegoro itu sendiri.

Tingkat Pelayanan dan Jangkauan Sarana Pelayanan yang


Menunjang
Kawasan perkotaan Juwangi dan Wonosegoro memiliki fasilitas
pendidikan yang cukup lengkap dimulai dari TK hingga SMA. Dilihat
dari jangkauan pelayanannya dapat dilihat sebagai berikut:

- Kawasan Perkotaan Wonosegoro

Gambar 2. 38 Peta Jangkauan TK Kawasan Perkotaan Wonosegoro


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan TK di Kawasan Perkotaan


Wonosegoro belum terjangkau seluruhnya, yaitu di bagian barat daya
dan timur Wonosegoro

Studio Proses Perencanaan E | 143


BAB II
Gambar 2. 39 Peta Jangkauan SD Kawasan Perkotaan Wonosegoro
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan SD di Kawasan Perkotaan


Wonosegoro sudah hampir terjangkau seluruhnya, kecuali sedikit
bagian timur Wonosegoro.

Gambar 2. 40 Peta Jangkauan SMP Kawasan Perkotaan Wonosegoro


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 144


Dapat dilihat bahwa jangkauan SMP di Kawasan Perkotaan

BAB II
Wonosegoro belum terjangkau seluruhnya, khususnya bagian barat
daya dan bagian timur Wonosegoro.

Gambar 2. 41 Peta Jangkauan SMA Kawasan Perkotaan Wonosegoro


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan SMA di Kawasan Perkotaan


Wonosegoro sudah terjangkau seluruhnya

Studio Proses Perencanaan E | 145


BAB II
Gambar 2. 42 Peta Jangkauan TK Kawasan Perkotaan Juwangi
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan TK di Kawasan Perkotaan


Juwangi belum terjangkau seluruhnya, khususnya bagian utara, barat
dan selatan Juwangi.

Studio Proses Perencanaan E | 146


BAB II
Gambar 2. 43 Peta Jangkauan SD Kawasan Perkotaan Juwangi
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan SD di Kawasan Perkotaan


Juwangi belum terjangkau seluruhnya, khususnya bagian utara, barat
dan selatan Juwangi.

Studio Proses Perencanaan E | 147


BAB II
Gambar 2. 44 Peta Jangkauan SMP Kawasan Perkotaan Juwangi
Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Dapat dilihat bahwa jangkauan SMP di Kawasan Perkotaan


Juwangi belum terjangkau seluruhnya, khususnya bagian utara, Barat
dan selatan Juwangi.

Gambar 2. 45 Peta Jangkauan SMA Kawasan Perkotaan Juwangi


Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 148


BAB II
Dapat dilihat bahwa jangkauan SMA di Kawasan Perkotaan
Juwangi sudah hampir terjangkau seluruhnya, kecuali sebagian kecil
selatan Juwangi.

Infrastruktur
Aksesbilitas dan Trayek Angkutan Umum
Berdasarkan arahan kebijakan yang ada di tiga kecamatan yang
menjadi wilayah studi dapat di jelaskah bahwa adanya pengembangan
berupa pengembangan jalan kolektor. Hal ini disebabkan karena fungsi
jalan di setiap Kecamatan sangat penting. Maka arahan kebijakan
pengembangan Kecamatan Juwangi, Wonosegoro dan Kemusu yakni
pengembangan jalan kolektor.

Apabila pengembangan dari jalan kolektor tersebut sudah


berjalan maka akan mempermudah pengembangan bidang
transportasi seperti, pengembangan terminal, pengembangan
angkutan desa, pengembangan stasiun kereta api, pengembangan
cagar budaya serta pengembangan stasiun kereta api Telawa.

Gambar 2. 46 Infrastruktur Jalan di Kecamatan Juwangi


Sumber: Dokumentasi Kelompok Studio E, 2017

Pada kecamatan Juwangi, pengembangan jalan kolektor akan


menjadi awal untuk pengembangan terminal penumpang kelas C yang
kemudian menjadi pengembangan jaringan trayek angkutan
penumpang antar Kota antar Propinsi. Hal ini akan menunjang
ketersediaan pengembangan angkutan perdesaan serta adanya

Studio Proses Perencanaan E | 149


pengembangan Stasiun kereta api Telawah akan semakin menunjang

BAB II
transportasi di Kecamatan Juwangi.

Gambar 2. 47 Infrastruktur Jalan di Kecamatan Wonosegoro


Sumber: Dokumentasi Kelompok Studio E, 2017

Berbeda dengan kecamatan Juwangi, kecamatan Wonosegoro


juga memiliki arahan kebijakan pengembangan yakni pada
pengembangan jalan kolektor untuk mengembangkan sistem
perdesaan, terminal penumpang C. Hal ini guna untuk menunjang
angkutan perdesaan di Kecamatan Wonosegoro. Selain itu, di
Kecamatan Wonosegoro juga memiliki arahan kebijakan
pengembangan Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

Gambar 2. 48 Infrastruktur Jalan di Kecamatan Kemusu


Sumber: Dokumentasi Kelompok Studio E, 2017

Pada Kecamatan Kemusu, arahan kebijakan


pengembangannya berupa pengembangan jalan kolektor untuk
mengembangkan sistem perdesaan, terminal penumpang C. Hal ini

Studio Proses Perencanaan E | 150


guna untuk menunjang angkutan perdesaan di Kecamatan Kemusu

BAB II
serta ketersediaan jaringan trayek angkutan penumpang antar kota
dalam provinsi. Selain itu, di Kecamatan Kemusu terdapat juga
pengembangan jaringan angkutan sungai dan penyeberangan.
Sosial
Berikut ini adalah kegiatan sosial yang ada di Kecamatan
Juwangi, Kemusu dan Wonosegoro yang menunjang kegiatan
ekonomi di ketiga kecamatan tersebut.
(Tabel kegiatan sosial terlampir)

Di salah satu desa wilayah studi, yaitu Desa Kalinanas, terdapat


aktivitas penduduk yang mendukung kegiatan perekonomian, namun
kegiatan tersebut tidak didukung oleh sarana-prasarana serta fasilitas
yang ada sehingga menimbulkan dampak yang merugikan warga
Kalinanas sendiri, yaitu sebagai berikut:
1. Desa dilewati tebing yang memisahkan menjadi bagian utara
dan bagian selatan
2. Terdapat sd di kedua bagian desa namun sd bagian selatan
tidak berfungsi secara optimal
3. Hal tersebut disebabkan karena desa bagian utara lebih baik
kondisinya dan lebih mudah aksesnya, sehingga murid dan guru
lebih memilih melakukan aktivitas pendidikan di desa tersebut
4. Potensi masalah yang ada persebaran penduduk tidak merata,
dikarenakan kondisi desa bagian utara lebih baik
5. Pemborosan Sumber daya manusia dan pembiayaan karena
tidak optimalnya fungsi sekolah

ASPEK SISTEM SOSIAL


Wilayah Makro
Status Sosial Wilayah Makro
Status merupakan perwujudan atau pencerminan dari hak dan
kewajiban individu dalam tingkah lakunya. Status sosial sering pula
disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam

Studio Proses Perencanaan E | 151


kelompok masyarakatnya. Berikut merupakan beberapa status social

BAB II
yang diperoleh berdasarkan usaha yang dilakukan, yaitu :

Penduduk Menurut Pendidikan Terakhir di


Kabupaten Boyolali 2015
2% 3%

14% 29% Tidak tamat SD


Tamat SD
18% Tamat SMP
Tamat SMA
34% D I/ II/ III
S1

Diagram 2. 31 Status Penduduk Menurut Pendidikan Terakhir di Kabupaten


Boyolali
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2016

Pendidikan penduduk Boyolali masihtergolong rendah, hal ini


dibuktikan dengan penduduknya didominasi oleh tamatan SD dengan
prosentase sebesar 34% dan penduduk yang bahkan belum
menamatkan jenjang pendidikan Sekolah Dasar, yaitu sekitar 29%. Hal
ini membuktikan bahwa masyarakatnya masih belum menganggap
bahwa pendidikan suatu hal yang penting dan utama. Melihat latar
belakang pendidikan yang ada di Kabupaten Boyolali maka dapat
disimpulkan juga kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Boyolali
pada tahun 2015 masih dianggap rendah. Penduduk yang memiliki
keahlian atau memiliki gelar sarjana hanya 3% dari seluruh penduduk
yang ada di Boyolali, angka ini sangatlah kecil apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk yang ada di Kabupaten Boyolali.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya
jenjang pendidikan masyarakat Boyolali, salah satunya adalah pola
pikir masyarakat yang masih menganggap pendidikan tinggi
merupakan suatu bonus dan tidak mutlak untuk didapatkan. Hal ini juga
terlihat di indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Boyolali

Studio Proses Perencanaan E | 152


pada tahun 2015 yaitu sebesar 71,73%, hal ini menunjukkan

BAB II
pembangunan manusia di Kabupaten Boyolali termasuk ke dalam
kategori menengah (rendah :IPM<50;menengah kebawah:
50IPM65,99; menengah : 66IPM79,99; tinggi : IPM80). Selain
kesehatan dan ekonomi, pendidikan atau angka melek huruf
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
pembangunan manusia suatu daerah. Semakin baik faktor tersebut
maka semakin tinggi pula kategori indeks pembangunan daerah
tersebut.

Tabel II. 45 Kepercayaan dan Kesenian di Kabupaten Boyolali


No. Jenis Lokasi Keterangan
1. Sadranan Kabupaten Sadranan adalah tradisi untuk
Boyolali membersihkan makam leluhur dan
ziarah kubur dengan prosesi doa dan
perayaan pengiriman Dilakukan oleh
warga setempat tidak berwujud
tumpeng.Tradisi makanan ringan dan
nasi diadakan setiap tahun pada
pertengahan Ruwah (kalender Jawa)
sebelum kedatangan Ramadan.

2. Tarian Kabupaten Sebuah atrian yang dimainkan oleh 40


Jlantur Boyolali orang pria dengan memakai ikat
kepala gaya turki. Tariannya
dilakukan dengan menaiki kuda
kepang dengan senjata tombak dan
pedang. Tarian ini menggambarkan
prajurit yang akan berangkat ke
medan perang, dahulu merupakan
tarian penyebar semangat
kepahlawanan dari keturunan prajurit
Diponegoro.

Sumber: Hasil Analisis Kelompok Studio E, 2017

Studio Proses Perencanaan E | 153


Budaya Wilayah Makro

BAB II
Terdapat beberapa objek kebudayaaan di Kabupaten Boyolali
yang telah ditetapkan secara nasional, yaitu :
Kompleks Pentirtaan Cabean Kunti yang terletak di Cepogo
Kabupaten Boyolali yang dikelola oleh Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala Jawa Tengah
Candi Sari yang terletak di Gedangan, Cepogo yang di kelola oleh
BP3 Jawa Tengah
Candi Lawang yang juga terletak di Kecamatan cepogo tepatnya
di Dusun Paras dan dikelola oleh BP3 Jawa Tengah
Kompleks Masjid Ciptomulyo yang terletak di Desa bendan
Kecamatan Banyudono

Gambar 2. 49 Kebudayaan di Kabupaten Boyolali


Sumber: kemdikbud.go.id

Studio Proses Perencanaan E | 154


Wilayah Meso

BAB II
Kebijakan Sistem Sosial Wilayah Meso

Diagram 2. 32 Struktur Organisasi Pemerintah Kecamatan


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Telaah Dokumen, 2017

Fungsi
Fungsi SKPD Kecamatan
CAMAT
- Pengkoordinasian, pembinaan, dan penyelenggaraan
- kegiatan pemerintahan
- kegiatan pemberdayaan masyarakat
- ketentraman dan ketertiban umum
- pemeliharaan sarana fasilitas umum
- pelayanan di bidang administrasi pertanahan dan
kependudukan
- Pengkoordinasian penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
- Pelaksanaan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya

Studio Proses Perencanaan E | 155


- Pengkoordinasian pencegahan, penanggulangan dan

BAB II
penanganan pasca bencana;
- Pelaksanaan pelaporan hasil monitoring kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasayarakatan di
wilayah kerja kecamatan;
- Pelaksanaan tugas dinas lain yang diberikan oleh Bupati
sesuai dengan bidang tugasnya.
SEKRETARIAT KECAMATAN
- Penyusunan usulan program dan evaluasi kegiatan
sekretariat;
- Pelaksanaan pelayanan administrasi kepada seluruh
perangkat/aparatur kecamatan;
- Pengelolaan urusan keuangan;
- Pelaksanaan tata usaha dan kepegawaian;
- Pelaksanaan urusan perlengkapan dan rumah tangga;
- Pengkoordinasian kegiatan antar seksi dalam rangka
penyusunan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan
program dan kegiatan kecamatan;
- Pemrosesan usulan dan pertimbangan pengangkatan
Lurah;
- Pelaksanaan inventarisasi aset daerah atau kekayaan
daerah lainnya yang ada di wilayah kerjanya;
- Penyusunan laporan hasil pelaksanaan program dan
kegiatan kecamatan;
- Pelaksanaan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh
Camat sesuai dengan bidang tugasnya.
Untuk menjalankan fungsinya Sekretariat Kecamatan terdiri
dari:
Sub Bagian Keuangan & Program
- Mengkoordinasikan dan melaksanakan pelayanan
urusan Penyusunan Program dan pembinaan bidang
keuangan Sekretariat Kecamatan
- Merencanakan dan menyusun program kerja dan
membuat laporan tahunan kecamatan

Studio Proses Perencanaan E | 156


- Mengkoordinasikan tindak lanjut temuan pemeriksa

BAB II
fungsional, laporan masyarakat dan pengawasan
lainnya
- Mengkoordinasikan dan menyusun data serta
informasi tentang kecamatan
- Memfasilitasi pelaksanaan pengadaan barang dan
jasa dilingkungan kecamatan
- Membagi tugas kepada bawahan dengan cara
tertulis atau secara lisan agar bawahan mengerti
dan memahami pekerjaanya
- Memberi petunjuk kepada bawahan dengan cara
tertulis atau secara lisan agar bawahan mengerti dan
memahami pekerjaannya
- Memeriksa pekerjaan bawahan berdasarkan hasil
kerja untuk mengetahui adanya kesalahan atau
kekeliruan serta upaya penyempurnaanya
- Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
pimpinan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
- Melakukan Verifikasi serta meneliti kelengkapan
Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
- Menyiapkan Surat Perintah Membayar (SPM)
- Melakukan Verifikasi harian atas Penerimaan
- Melakukan Verifikasi laporan
Pertanggungjawaban(SPJ) Bendahara Penerimaan
dan Bendahara Pengeluaran
- Melaksanakan Akutansi Sekretariat Kecamatan
- Melaporkan pelaksanaan tugas pembinaan bidang
keuangan Sekretariat Kecamatan kepada atasan
secara lisan maupun tertulis berdasarkan hasil kerja
sebagai bahan evaluasi bagi atasan
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
- Mengkoordinasikan dan melaksanakan pelayanan
urusan Kepegawaian, Umum dan Perlengkapan
- Merencanakan Program Kerja Sub Bagian
Kepegawaian,Umum dan Perlengkapan meliputi
koordinasi dan pelaksanaan tugas bidang

Studio Proses Perencanaan E | 157


Kepegawaian, Umum dan Perlengkapan

BAB II
berdasarkan petunjuk atasan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan sebagai pedoman
dalam pelaksanaan tugas
- Merencanakan program kerja dan inventarisasi aset
kecamatan dan kelurahan serta inventarisasi
permasalahan yang berhubungan kepegawaian,
pembinaan aparatur serta peningkatan kualitas
pegawai
- Merencanakan program kerja penyelenggaraan
pelayanan kebersihan, keindahan dan pertamanan
- Merumuskan dan melaksanakan pelayanan
administrasi, inventaris kantor dan dokumentasi
kegiatan kantor
- Melaksanakan urusan keprotokolan, upacara-
upacara, rapat-rapat dinas dan pelayanan
hubungan masyarakat
- Melaksanakan kegiatan-kegiatan penyusunan
kebutuhan dan materiil bagi unit kerja kecamatan
- Merumuskan dan mengkoordinasikan kegiatan
kebersihan, ketertiban, kenyamanan ruangan dan
halaman kantor, disiplin pegawai serta pengamanan
dilingkungan badan
- Melaksanakan penyusunan data kepegawaian,
DP3 PNS, registrasi PNS dan DUK
- Membagi tugas kepada bawahan dengan cara
tertulis atau lisan agar dapat diproses lebih lanjut
- Membagi tugas kepada bawahan mengerti dan
memahammi pekerjaanya
- Memeriksa pekerjaan bawahan berdasarkan hasil
kerja untuk mengetahui adanya kesalahan atau
kekeliruan serta upaya penyempurnaanya
- Mengevaluasi tugas sub bagian Kepegawaian,
Umum dan perlengkapan berdasarkan informasi,
data, laporan yang diterima untuk bahan
penyempurnaan lebih lanjut

Studio Proses Perencanaan E | 158


- Melaporkan pelaksanaan tugas sub bagian

BAB II
Kepegawaian, umum dan perlengkapannya kepada
atasan secara lisan maupun tertulis berdasarkan
hasil kerja sebagai bahan evaluasi bagi atasan
- Melaksanakan tugas lain sesuai dengan
kewenangan dan bidang tugas yang diberikan oleh
Camat.
SEKSI PEMERINTAHAN
- Perencanaan kegiatan urusan pemerintahan
- Koordinasi dan singkronisasi tugas urusan pemerintahan
- Pembinaan, evaluasi dan bimbingan urusan pemerintahan
- Pemeriksaan pekerjaan bawahan
- Pelaporan pelaksanaan tugas;
SEKSI EKONOMI DAN PEMBANGUNAN
- Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dibidang
pembangunan mayarakat Desa/Kelurahan
- Pemberiandukungan atas pelaksanaan tugas dibidang
pembangunan masyarakat Desa/Kelurahan
- Pembinaan dan Pelaksanaan tugas dibidang
pembangunan masyarakat Desa/Kelurahan
- Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Camat
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
SEKSI KESEJAHTERAAN SOSIAL
- Perumusan kebijakan teknis dibidang kesejahteraan sosial
- Pemberian dukungan dan koordinasi atas
pelaksanaan tugas dibidang kesejahteraan social
- Pembinaan, evaluasi dan pelaporan urusan kesejahteraan
sosial
- Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan Camat
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
SEKSI KEPENDUDUKAN
- Penyusunan program dan kegiatan bidang kendudukan;
- Pelaksanaan pelayanan kependudukan;
- Fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan program keluarga
berencana;
- Penyelenggaraan pendataan kependudukan.

Studio Proses Perencanaan E | 159


- Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan data dibidang

BAB II
kependudukan;
- Pelaksanaan pembinaan tertib data kependudukan pada
desa dan/atau kelurahan;
- Pemprosesan rekomendasi dispensasi nikah sesuai
dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
- Pemprosesan rekomendasi peryaratan perijinan tertentu
yang berhubungan dengan kependudukan sesuai dengan
peraturan perundang undangn;
- Melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh
Camat sesuai dengan bidang tugasnya.

Studio Proses Perencanaan E | 160


Status Sosial Wilayah Meso

BAB II
Berdasarkan Pendidikan

Penduduk Menurut Pendidikan Terakhir di


Wilayah JKW 2015
Kemusu Wonosegoro Juwangi

21626
20428
19219

12502
11512
9438
8083 8464

4088 4514
3170
1659
196 266 293 326 551 249

PT/DIV Akademi SLTA SLTP SD Tidak Tamat


SD

Diagram 2. 33 Penduduk Menurut Pendidikan Terakhir di Kecamatan JKW


Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2015

Penduduk wilayah JKW rata-rata memiliki pendidikan terakhir


hanya sampai menamatkan Sekolah Dasar, jumlahnya lebih dari 50%
dari jumlah penduduk yang berada di wilayah JKW. Diantara ketiga
kecamatan tersebut yaitu Kecamatan Juwangi, Kemusu dan
Wonosegoro yang memiliki jumlah penduduk dengan pendidikan
terakhir sampai dengan perguruan tinggi yang paling banyak adalah
Kecamatan Wonosegoro dengan jumlah 293 jiwa. Jumlah ini sangat
sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang
pendidikannya hanya sampai Sekolah Dasar atau bahkan tidak tamat
Sekolah Dasar. Dengan demikian dapat diindikasikan bahwa
penduduk angka melek huruf sangatlah sedikit sehingga
menyebabkan sumber daya manusia di wilayah JKW tergolong
rendah, hal ini dapat berdampak pada pekerjaan yang dimiliki,
pendapatan juga bahkan kesehatan masing-masing penduduknya.

Studio Proses Perencanaan E | 161


Berdasarkan Pekerjaan Utama

BAB II
Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Utama di
Wilayah JKW 2015
30000
25000
20000
15000
10000
5000
0

Kemusu Wonosegoro Juwangi

Diagram 2. 34 Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Utama di Kecamatan JKW


Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2015

Pekerjaan utama dari penduduk wilayah JKW adalah rata-rata


di sektor pertanian, jumlahnya lebih dari 50% dibandingakan dengan
jumlah penduduk yang ada di ketiga kecamatan tersebut. Jenis
pertanian yang banyak ditanam oleh penduduknya adalah jenisa
tanaman palawija seperti jagung, padi dan ubi kayu. Luas lahan yang
tidak terbangun yang masih luas, hampir 90% dari keseluruhan masih
banyak dijadikan lahan persawahan dan pertanian oleh warga.
Namun sudah beberapa penduduknya memiliki industry mebel
yang bersifat rumahan dikarenakan di wilayah JKW terdapat hutan jati
yang luas milik PERHUTANI, sehingga sumber daya industry
penduduknya berasal dari hutan tersebut dengan sebelumnya menjalin
kerja sama dengan pihak PERHUTANI, walaupun industry di wilayh
JKW masih bersifat rumahan dan kecil hasilnya banyak yang terjual ke
luar daerah seperti Kecamatan Boyoalli dan sekitarnya dan bahkan
ada yang sampai di Pulau Sumatera.
Sektor industry di wilayah JKW masih dengan peralatan dan
teknologi yang masih sangat sederhana, hal ini juga menyebabkan
jumlah mebel yang dihasilkan tidak terlalu banyak dan tenaga kerja
yang diserap juga masih sedikit. Selain industri mebel yang ada di

Studio Proses Perencanaan E | 162


wilayah JKW, juga terdapat industri tahu di Desa Wonosegoro

BAB II
Kecamatan Wonosegoro, industri tersebut juga sudah memiliki IPAL
sendiri sehingga untuk limbah dari industri tersebut tidak merusak
lingkungan sekitar.

Simbol Kebudayaan Wilayah Meso


Kecamatan Selo terdapat beberapa atraksi kesenian diantaranya
Tari tradisional Jelantur, Soreng, Jatilan, Budi Tani, Kobrosiswo,
Prajuritan, Otak Obro, Sholawatan.
Kecamatan Ampel terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya Seni tradisional Reog, Sholawatan, Ketoprak,
Karawitan, Wayang Orang tari tradisional Keprajuritan.
Kecamatan Cepogo terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya Seni Ketoprak, Sholawatan, tari tradisional Otak
Obrol.
Kecamatan Musuk terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni tradisional Reog, Jatilan, seni Karawitan,
Ketoprak.
Kecamatan Boyolali terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni tradisional Reog, Kuda Kepang, seni Ketoprak,
seni Sholawatan.
Kecamatan Mojosongo terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni Sholawatan, Ketoprak, seni tradisional Reog.
Kecamatan Teras terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni tradisional Siteran, Sholawatan.
Kecamatan Sawit terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni Wayang Kulit, Sholawatan.
Kecamatan Banyudono terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni Wayang Orang, Wayang kulit dan Karawitan,
Sholawat.
Kecamatan Sambi terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni tradisional reog, Ketoprak.
Kecamatan Ngemplak terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni Sholawatan dan Karawitan.
Kecamatan Nogosari terdapat beberapa atraksi kesenian
diantaranya seni Sholawatan, Ketoprak dan Karawitan.

Studio Proses Perencanaan E | 163


Kecamatan Simo Seni Ketoprak. Atraksi diadakan sesuai

BAB II
kebutuhan dapat dipesan melalui Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kabupaten Boyolali

WILAYAH MIKRO
Kebijakan Sistem Sosial Wilayah Mikro

Diagram 2. 35 Struktur Organisasi Pemerintah Desa


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Observasi Lapangan, 2017

Fungsi SKPD Kelurahan/Desa


Badan Permusyawaratan Desa
- Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa
- Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa
- Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa
Kepala Desa
- Menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan,
dan kemasyarakatan.
Sekretaris Desa
- Menyelenggarakan administrasi pemerintahan,
pembangunan, dan ke-masyarakatan

Studio Proses Perencanaan E | 164


- Mengkoordinasikan tugas-tugas dan membina kepala

BAB II
urusan
- Membantu pelayanan ketatausahaan kepada Kepala Desa
- Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh
Kepala Desa
Kepala Dusun
- Melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan,
kemasyarakatan, ketentraman dan ketertiban di wilayah
kerjanya
- Membantu kepala desa dalam kegiatan penyuluhan,
pembinaan dan kerukunan warga di wilayah kerjanya
- Melaksanakan keputusan dari kebijaksanaan kepala desa
diwilayah kerjanya
- Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh kepala
desa
Kepala Urusan Pemerintahan
- Mengelola Data Induk Penduduk Desa
- Mengelola Data Mutasi Penduduk Desa
- Mengelola Data Rekapitulasi Jumlah Penduduk Akhir
Bulan
- Mengelola Data Penduduk Sementara
Kepala Urusan Pembangunan
- Mengelola Buku Rencana Pembangunan
- Mengelola Buku Kegiatan Pembangunan
- Mengelola Buku Inventaris Proyek
- Mengelola Buku Kader-Kader Pembangunan
Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat
- Melaksanakan kegiatan pencatatan keadaan
kesejahteraan rakyat/ masyarakat termasuk bencana
alam, bantuan sosial, pendidikan dan kebudayaan,
kesenian, Olahraga, pemuda, pramuka dan PMI didesa.
- Menyelenggarakan inventarisasi penduduk yang Tuna
Karya, Tuna Wisma, Tuna Susila, Para penyandang Cacat
baik mental maupun fisik, Yatim piatu, jompo, panti
asuhan.

Studio Proses Perencanaan E | 165


- Mengikuti perkembangan serta melaporkan tentang

BAB II
keadaan kesehatan masyarakat
- Mengikuti perkembangan serta mencatat kegiatan
program kependudukan (Keluarga Berencana,
ketenagakerjaan, transmigrasi dan lingkungan hidup),
- Melaksanakan kegiatan pencatatan dan perkembangan
keagamaan, kegiatan Badan Amil Zakat (BAZ) dan
melaksanakan pengurusan kematian.
- Melaksanakan kegiatan DKM, Lumbung Bahagia/ beras
perelek.
- Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Sekretaris
desa.
Organisasi Sosial Masyarakat Wilayah Mikro
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu
hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
untuk memudahkan proses identifikasi, kelompok sosial pada wilayah
mikro dibagi berdasarkan sifat resmi tidaknya, dikenal ada dua jenis
organisasi sebagai berikut :
1. Kelompok Formal
Organisasi formal sifatnya lebih teratur, mempunyai struktur
organisasi yang resmi, serta perencanaan dan program yang akan
dilaksanakan secara jelas. Di wilayah studi mikro kami terdapat
berbagai macam kelompok lembaga/organisasi formal. Kelompok
tersebut antara lain lembaga Perangkat desa, RT/RW, Dukuh, Bayan ,
dan Linmas. Data tersebut kami peroleh dengan cara mengasumsikan
bahwa disetiap desa pasti ada lembaga/organisasi formal tersebut.
Sedangkan ada lembaga lain diluar yang disebutkan tadi yaitu
POLSEK, dan Koperasi Simpan Pinjam. Data tersebut kami peroleh
dengan cara mengasumsikan bahwa disetiap ibukota kecamatan
memiliki lembaga/organisasi tersebut. Selain itu ada pula lembaga
puskesmas yang ada di kelurahan Bercak, Repaking, Nglese, Keyen,

Studio Proses Perencanaan E | 166


Juwangi, Krobokan, Wonosegoro, Ketoyan, Wonoharjo, Guwo,

BAB II
Genengsari dan Kemusu. Data tersebut kami peroleh dari data
puskesmas di masing-masing kecamatan dalam angka.
2. Kelompok Informal
Karena sifatnya tidak resmi, pada organisasi ini kadangkala
struktur organisasi tidak begitu jelas/bahkan tidak ada. Begitu juga
dengan perencanaan dan program-program yang akan dilaksanakan
tidak dirumuskan secara jelas dan tegas, kadang-kadang terjadi
secara spontanitas. Terdapat beberapa kelompok informal pada
wilayah studi mikro kami. Lembaga/organisasi tersebut antara lain
irma, majelis ta'lim, Takmir Masjid, PKK, Ronda, IRMA, Kelompok
Yasinan, dan Arisan. Data tersebut kami peroleh dengan cara
mengasumsikan bahwa setiap kelurahan pasti ada lembaga/organisasi
tersebut.
(Tabel kelompok organisasi formal dan informal di Kecamatan JKW
terlampir)
- PKK

Gambar 2. 50 Keaktifan Lembaga PKK di Kecamatan JKW


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E, 2017

Banyak PKK di wilayah JKW memiliki banyak kegiatan di


berbagai bidang, baik itu ekonomi, pendidikan dan juga kesehatan.
Kegiatan tersebut dapat berupa arisan sampai dengan cek kesehatan

Studio Proses Perencanaan E | 167


untuk balita dan juga lansia yang diadakan dengan waktu legiatan

BAB II
tertentu dan dilakukan secara rutin. Hal ini berdampak pada
peningkatan kesehatan dan angka harapan hidup masyarakat di
Wilayah JKW.
Dibidang ekonomi banyak PKK yang memiliki kegiatan untuk
meningkatkan kreatifitas masyarakatnya bagaimana menambah nilai
suatu barang seperti mengolah kemasan menjadi tas yang dapat
diperjualbelikan dll. Selain itu juga terdapat kegiatan dalam pembinaan
keluarga dan pendidikan. Namun tidak semua desa memiliki PKK yang
aktif dan memiliki kegiatan yang aktif, terdapat beberapa desa yang
kegiatan PKK nya hanya sebatas kegiatan arisan dan pertemuan rutin.

Gambar 2. 51 Kegiatan PKK di beberapa desa


Sumber: Dokumentasi Kelompok Studio E, 2017

(Tabel kegiatan PKK di Kecamatan JKW terlampir)

- Kelompok Tani
Kelompok masyarakat yang aktif selain PKK adalh kelompok tani.
Dengan banyaknya jumlah petani di wilayah JKW maka setiap
desa memiliki kelompok tani sendiri beberapa kelompok tani
tersebut sudah memiliki badan hukum sendiri. Kelompok tani di
masyarakat wilayah JKW memiliki dampak yang sangat baik,
karena kegiatan-kegiatan di kelompok tani tersebut menunjang
aktivitas pertanian masyarakatnya misalnya simulasi menanam
padi dengan baik sampai dengan pembagian bibit unggul dari
pemerintah yang disalurkan melalui kelompok tani setiap desa.

Studio Proses Perencanaan E | 168


(Tabel peran dan kegiatan kelompok tani di masyarakat terlampir)

BAB II
Kebudayaan Wilayah Mikro
Wilayah mikro memiliki kekayaan kebudayaan yang cukup
banyak, seperti budaya nyadran yaitu pembersihan makam nenek
moyang, sedekah bumi sebagai kegiatan syukuran, tari reog dan
tarian-tarian bermacam lainnya. Reog adalah kesenian rakyat yang
berbentuk tarian dan diiringi gamelan Jawa kemudian ditarikan
beramai-ramai oleh orang biasa atau prajurit kerajaan. Fungsi awal
dari kesenian ini sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap
penguasa dan juga hiburan bagi rakyat.
(Tabel jenis kebudayaan di wilayah mikro terlampir)

Gambar 2. 52 Peta Kebudayaan di Kecamatan JKW


Sumber: Hasil Olahan Kelompok Studio E dari Wawancara, 2017
KAWASAN PERKOTAAN
Organisasi Sosial Masyarakat Kawasan Perkotaan
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu
hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.

Studio Proses Perencanaan E | 169


untuk memudahkan proses identifikasi, kelompok sosial pada wilayah

BAB II
mikro dibagi berdasarkan sifat resmi tidaknya, dikenal ada dua jenis
organisasi sebagai berikut :
a. Kelompok Formal
Organisasi formal sifatnya lebih teratur, mempunyai struktur
organisasi yang resmi, serta perencanaan dan program yang akan
dilaksanakan secara jelas. Di wilayah studi mikro kami terdapat
berbagai macam kelompok lembaga/organisasi formal. Kelompok
tersebut antara lain lembaga Perangkat desa, RT/RW, Dukuh, Bayan ,
dan Linmas. Data tersebut kami peroleh dengan cara mengasumsikan
bahwa disetiap desa pasti ada lembaga/organisasi formal tersebut.
Sedangkan ada lembaga lain diluar yang disebutkan tadi yaitu
POLSEK, dan Koperasi Simpan Pinjam. Data tersebut kami peroleh
dengan cara mengasumsikan bahwa disetiap ibukota kecamatan
memiliki lembaga/organisasi tersebut.

Studio Proses Perencanaan E | 170


Tabel II. 46 Kelompok dan Lembaga Formal Kawasan Perkotaan

BAB II
Lembaga Kelembagaan
Desa Kesehatan Koperasi keamanan Pemerintahan
Pendidikan Masyarakat
PAUD,
Playgroun,
Puskesmas
TK, SD, Badan
rawat inap, KUD, kepala
Ketoyan SMP, SMK, pos polisi permusyawaratan
poskedes, kospin desa/lurah
pondok desa,
posyandu
pesantren,
Madrasah
Rumah
PAUD, sakit Badan
Playgroun, bersalin, permusyawaratan
KUD, kepala
Juwangi TK, SD, puskesmas pos polisi desa, satuan
Kospin desa/lurah
SMP, SMA, tanpa lingkungan
SMK rawat inap, setempat
posyandu
PAUD, TK, Badan
Posyandu, kepala
Wonosegoro SD, SMP, permusyawaratan
poskedes desa/lurah
SMK, desa
Puskesmas Badan
PAUD , TK, kepala
Pilangrejo pembantu, kospin permusyawaratan
SD, desa/lurah
posyandu desa
Sumber: Data PODES, 2004

b. Kelompok Informal
Karena sifatnya tidak resmi, pada organisasi ini kadangkala
struktur organisasi tidak begitu jelas/bahkan tidak ada. Begitu juga
dengan perencanaan dan program-program yang akan dilaksanakan
tidak dirumuskan secara jelas dan tegas, kadang-kadang terjadi
secara spontanitas. Terdapat beberapa kelompok informal pada
wilayah studi mikro kami. Lembaga/organisasi tersebut antara lain
irma, majelis ta'lim, Takmir Masjid, PKK, Ronda, IRMA, Kelompok
Yasinan, dan Arisan. Data tersebut kami peroleh dengan cara
mengasumsikan bahwa setiap kelurahan pasti ada lembaga/organisasi
tersebut.

Studio Proses Perencanaan E | 171


Tabel II. 47 Kelompok dan Lembaga Informal Kawasan Perkotaan

BAB II
Lembaga Kelembagaan
Desa Kesehatan keamanan Pemerintahan
Pendidikan Masyarakat
Pos
keamanan satuan
Juwangi menjahit, lingkungan, lingkungan
regu setempat
keamanan,
satuan
Regu
Ketoyan lingkungan
keamanan,
setempat
satuan
Regu
Pilangrejo lingkungan
keamanan
setempat
satuan
Regu
Wonosegoro lingkungan
keamanan
setempat
Sumber: Data PODES, 2004

Status Sosial Kawasan Perkotaan


Status Berdasarkan Pendidikan
Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan Tahun 2015
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

Pilangrejo Wonosegoro Juwangi Ketoyan

Diagram 2. 36 Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Kawasan Perkotaan


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2015

Berdasarkan diagram tersebut terlihat bahwa di ke-4 Kelurahan,


yaitu Juwangi, Wonosegoro, Pilangrejo dan Ketoyan masih didominasi

Studio Proses Perencanaan E | 172


oleh penduduk yang tidak/belum tamat SD, dapat diindikasikan bahwa

BAB II
kulaitas sumber daya manusia di kelurahan ini masih rendah akibat
dari pendidikan yang rendah pula. Sedangkan untuk penduduk dengan
kualitas pendidikan yang cukup tinggi seperti lulusan perguruan tinggi
masih rendah. Namun berdasarkan perbandingan ke-4 kelurahan,
yang paling banyak memiliki lulusan perguruan tinggi adalah
Kelurahan Juwangi.
Apabila dibandingkan dengan kelurahan lainnya di Kecamatan
Juwangi, Kelurahan Juwangi masih berada di peringkat tertinggi
berdasarkan jumlah penduduk yang tidak/tamat SD. Hal ini mungkin
dikarenakan oleh jumlah penduduk kelurahan Juwangi tertinggi
pertama di Kecamatan Juwangi.

Status Berdasarkan Pekerjaan

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Utama


2015
2500
2000
1500
1000
500
0

Pilangrejo Wonosegoro Juwangi Ketoyan

Diagram 2. 37 Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Utama di Kawasan Perkotaan


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2015

Berdasarkan perbandingan diagram dari keempat desa


perkotaan diatas terlihat bahwa ke-4 nya memiliki penduduk yang
kebanyakan bekerja di bidang sektor pertanian. Selain itu sektor lainya
yang terlihat mendominasi adalah sektor perdagangan dan jasa. Hal
itu dikarenakan ke-4 desa tersebut juga memiliki karateristik perkotaan
di mana pekerjaan utama masyarakatnya tidak hanya bergerak di
sektor agraris.

Studio Proses Perencanaan E | 173


Tingkat Kesejahteraan Penduduk Kawasan Perkotaan

BAB II
Jumlah Keluarga Berdasarkan Tingkat Sejahtera 2015
1,000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
Prasejahtera Sejahtera I Sejahtera II Sejahtera III Sejahtera III+

Pilangrejo Wonosegoro Juwangi Ketoyan

Diagram 2. 38 Jumlah Keluarga Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan di


Kawasan Perkotaan
Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2015

Tingkat kesejahteraan di ke 4 desa masih didominasi oleh


penduduk dengan tingkat Prasejahtera, walaupun jumlahnya tidak
terlalu jauh dari jumlah tingkat sejahtera lainnya namun di Desa
Perkotaan Pilangrejo jumlah penduduk dengan tingkat
prasejahteranya masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan tingkat
sejahtera lainnya. Sedangkan di Desa Perkotaan Ketoyan dan
Wonosegoro, tingkat sejahtera tiap keluarganya terlihat hampir sama.

Studio Proses Perencanaan E | 174


Kepercayaan Kawasan Perkotaan

BAB II
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama 2015
4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
Islam Khatolik Kristen Hindu Budha

Pilangrejo Wonosegoro Juwangi Ketoyan

Diagram 2. 39 Jumlah Penduduk Menurut Kepercayaan di Kawasan Perkotaan


Sumber: Kabupaten Boyolali Dalam Angka, 2015

Keagamaan merupakan salah satu sistem sistem sosial yang


sangat berpengaruh, dimana didalam keagamaan memiliki norma-
norma yang harus ditaati salah satunya yakni saling menghormati
antar sesama manusia. Hal tersebut akan menjalin hubungan sosial
yang baik, karena adanya rasa tenggang rasa dan saling menghargai.
Dari ke-4 desa perkotaan tersebut memiliki penduduk beragama islam
paling banyak dibandingakan dengan agama lain. Pada Kelurahan
Ketoyan mayoritas penduduknya beragama islam, bahkan dalam data
BPS pada tahun 2015, seluruh penduduknya beragama islam dan
tidak terdapati masyarakat yang beragama selain islam.

Sosial dan Kepercayaan Masyarakat Kawasan


Perkotaan
Salah satu kegiatan kebudayaan yang ada di wilayah perkotaan
adalah sebagai berikut :

Studio Proses Perencanaan E | 175


Tabel II. 48 Kebudayaan
Perkotaan JKW

BAB II
Barongan Desa Terdapat beragam kesenian yang tumbuh
dan Juwangi, di 29 daerah Desa Juwangi diantaranya
ketoprak Kecamatan adalah barongan, ketoprak biasanya
Juwangi dipentaskan setiap satu tahun sekali tepat
HUT Kemerdekaan Republik Indonesia
(17 Agustus), campursari, keroncong,
rebana, karawitan (klenengan) pop,
dangdut, dan sebagainya dipentaskan
pada saat dibutuhkan pada orang punya
kerja, misalnya mantu, khitanan, kelahiran
Apitan Desa Acara ritual sedekah bumi di Desa
Juwangi, Juwangi dilakukan dengan tujuan untuk
Kecamatan memohon petunjuk agar Desa Juwangi
Juwangi terbebas dari kekacauan. Masyarakat
Desa Juwangi sampai sekarang selalu
menyelenggarakan upacara ritual apitan
sebagai bentuk ucapan syukur atas panen
dan terbebasnya dari gangguan
keamanan. Biasanya dalam melakukan
upacara 31 ritual apitan selalu disertakan
pertunjukkan Tayub. Kegiatan ritual
Apitan selalu melibatkan kesenian Tayub
sehingga antara upacara Apitan dan
kesenian Tayub tidak dapat dipisahkan.

Studio Proses Perencanaan E | 176

Anda mungkin juga menyukai