Gangguan Kognitif Pasca Trauma Kapitis
Gangguan Kognitif Pasca Trauma Kapitis
Gangguan Kognitif Pasca Trauma Kapitis
DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2
II.1.1. Definisi 3
II.1.2. Epidemiologi 3
II.1.3. Patofisiologi 3
II.2.1. Definisi 4
II.2.2. Patogenesis 5
II.2.3.1. Memori 10
II.2.3.2. Bahasa 11
II.2.3.5. Visuospatial 11
II.2.5. Penatalaksanaan 12
II.2.6. Prognosis 15
DAFTAR PUSTAKA 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.2. Epidemiologi
Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per
tahun. Di Amerika serikat, sekitar 1,4 juta trauma kapitis terjadi setiap tahunnya. Di
Indonesia kajadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari
jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk
cedera kepala sedang dan 10% termasuk cedera kepala berat.5,6
II.1.3. PATOFISIOLOGI
Patologi kerusakan otak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan atas dua stadium,
utama yaitu cedera primer dan sekunder.4
3
ini diantaranya fraktur tengkorak, epidural hematom, subdural hematoma,
intraserebral hematoma, dan diffuse axonal injury.4
2. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan
neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal. Cedera
sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi yang menyebabkan
pengurangan dan perubahan cerebral blood flow (CBF) yang menimbulkan hipoksia
dan iskemik. Faktor sekunder akan memberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi
otak, robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, edem serebral, hipertensi
intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia, dan lainnya yang dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian neuron.4
Fungsi kogntif adalah aktifitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar
dan berbahasa. Fungsi kognitif meliputi kemampuan atensi serta eksekutif seperti
merencanakan, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi.7
4
II.2.2. Patogenesis
Derajat disfungsi kognitif pada trauma kapitis ditentukan oleh tingkat kerusakan pada
otak baik kerusakan primer ataupun sekunder. Dampak langsung pada otak atau gaya geser
(disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi cepat) dari cedera primer menyebabkan kerusakan
langsung pada neuron dan sel glia, pembuluh darah dan ketegangan akson. Insult primer
mengaktivasi siklus dari efek cedera sekunder yang mencakup komplikasi sistemik dan
mekanisme cedera seluler yang timbul selama jam sampai beberapa minggu setelah cedera
primer. Gangguan sistemik termasuk edema, peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan
perdarahan, semua berkontribusi terhadap penurunan alirah darah otak dan mengganggu
metabolisme yang mengakibatkan iskemi. Iskemia yang disebabkan oleh gangguan sistemik
ini memberikan kontribusi untuk inisiasi kaskade biokimia dan seluler termasuk eksitoksitas
glutamat, kalsium yang berlebihan, pembentukan radikal bebas, disfungsi mitokondria,
inflamasi, dan aktivasi gen pro-apoptosis. Proses cedera seluler mengakibatkan hilangnya sel
neuronal oleh karena nekrosis (cepat, tidak terkontrol) dan keterlambatan program kematian
sel. Program kematian sel terjadi oleh sejumlah mekanisme termasuk apoptosis, nekroptosis,
dan autofagi. Banyaknya hilangnya sel pada trauma kapitis berkolerasi dengan defisit kognitif
dan prognosis jangka panjang dalam studi klinis dan eksperimental.8
Selain hilangnya sel neuronal dan degenerasi aksonal, gangguan plastisitas sinaptik
juga berkontribusi terhadap disfungsi kognitif terutama pada kasus trauma kapitis ringan dan
sedang. Trauma kapitis menginduksi abnormalitas sistem neurotransmiter (misalnya
kolinergik, monoaminergik, dan katekolamin) yang mana berperan penting dalam kogntif.
Gangguan hemostasis kalsium pada trauma kapitis mempengaruhi sinyal pada protein kinase
CaMKII dan MAPK, yang memaikan peranan penting dalam efektor fosforilasi yang terlibat
dalam induksi long term potentiation (LTP) dan long term depression (LTD), kedua
mekanisme molekuler yang medasari utama pembelajaran dan memori. Skema fase cedera
primer dan sekunder pada trauma kapitis yang menyebabkan disfungsi kognitif terdapat pada
gambar 1.8
5
Peningkatan ektraseluler glutamat adalah awal kejadian utama yang bertanggung
jawab untuk intraseluler kalsium yang berlebihan dan kerusakan sekunder dari trauma kapitis.
Kerusakan dari cedera primer membran sel yang mengakibatkan pelepasan glutamat kedalam
ekstraseluler. Depolarisasi membran akibat cedera yang disebabkan ketidakseimbangan ion
dapat mengakibatkan pelepasan vesikular dari glutamat. Sementara cedera yang disebabkan
deplesi energi juga dapat menyebabkan kegagalan dalam penyerapan glutamat ekstraseluler
oleh ATP-dependet glial gluatamate trasnporters. Secara bersama-sama mekanisme ini
meningkatkan glutamat ekstraseluler pada trauma kapitis.8
Eksitositas menyebabkan cedera neuronal dalam dua fase. Pada tahap pertama
ditandai dengan pembengkakan neuronal oleh sodium-dependent akibat aktivasi ionotropik
reseptor glutamatergik mengakibatkan pembukaan kanal natrium sehingga masuknya ion Na+
(dan ion Ca++), keluarnya ion K+, yang kemudian diikuti oleh tertundanya calcium dependent
degenerasi neuronal. Masuknya ion Na+ yang menyebabkan depolarisasi membran, membuka
voltage dependent calcium channels, dan menghilangkan blok pada reseptor NMDA
menyebabkan masuknya lebih banyak dari kalsium ke sitosol. Masuknya kalsium lebih lanjut
diperkuat oleh perubahan dalam komposisi subunit reseptor AMPA (hilangnya subunit
GluR2) membuat lebih kalsium permeabel. Selain sebagai inotropik, reseptor gluatamat juga
6
dapat mengaktifkan metabotropik reseptor glutamat sehingga merangsang pembukaan
voltaged gated calcium dan selanjutnya lebih meningkatkan masuknya kalsium. Proses
masuknya kalsium dikombinasi dengan kegagalan energi menginisiasi pelepasan
penyimpanan intraseluler ion kalsium (Gambar 2).8
7
Disfungsi mitokondria juga memainkan peranan penting dalam disfungsi kogntif pada
trauma kapitis. Defisit dalam bioenergetika mitokondria terjadi cepat pada trauma kapitis
(kurang dari 1 jam) dan dapat bertahan sampai 14 hari. Kerusakan struktural dan fungsional
yang signifikan dari mitokondria menghasilkan kalsium yang berlebihan pada mitokondria.
Setelah trauma, kalsium intraseluler yang berlebihan dapat melemahkan kemampuan
penyangga mitokondria menyebabkan pembentukan mitochondrial permeability transport
pore (mPTP). Sebagai konsekuensi pembentukan mPTP adalah hilangnya potensial membran
mengakibatkan uncoupling transpor elektron dari produksi ATP dan pelepasan faktor
proapoptosis (sitokrom c dan AIF) dan aktivasi dari jalur kematian sel. Sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa memblokir komponen penting dari pembentukan mPTP pada tikus
eksperimen yang mengalama trauma kapitis menggunakan siklosporin A dan analog
siklosporin seperti NIM811 dapat meningkatkan fungsi mitokondria dan kinerja kognitif.8
Selain itu, hasil pembentukan mPTP dalam produksi Reactive Oxygen Species (ROS)
menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel-sel. Kerusakan
oksidatif memainkan peran penting dalam aktivasi jalur kematian sel, cedera aksonal dan
gangguan plastisitas sinaptik menyebabkan defisit kognitif pasca trauma kapitis. Reactive
Oxygen Species yang dihasilkan disfungsi mitokondria dan ROS yang dihasilkan melalui
aktivasi glutamate-mediated NMDAR dapat membentuk reactive species peroxynitrite, yang
merupakan toksik untuk sel. Peroksinitrit menginduksi nitrasi protein, peroksidasi lipid dan
fragmentasi peroksidasi DNA mengaktifkan caspase independent kematian sel apoptosis.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pengurangan stres oksidatif dapat
meningkatkan fungsi kognitif pada trauma kapitis.8
Trauma kapitis diinduksi neuroinflamasi adalah proses yang sangat kompleks dengan
kedua komponen neuroprotektif dan neurotoksik. Pada trauma kapitis, astrosit dan mikroglia
di sistem saraf pusat berespon terhadap gangguan sawar darah otak. Glia yang teraktivasi
mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi dan kemokin yang neurotoksik. Sitokin pro
inflamasi Tumor Necrosis Factor (TNF), Interleukin1 (IL-1) dan Interleukin-6 (IL-6) telah
terbukti meningkat dalam beberapa jam dari trauma kapitis. Peningkatan reseptor sitokin
mengaktifkan sejumlah sinyal intraseluler termasuk c-Jun N-terminal kinase (JNK), p38
mitogen activated protein kinase (p38/MAPK) dan extracellular signaling-related kinase
(ERK) yang memainkan peranan plastisitas sinaptik. Selanjutnya, sitokin yang terikat dapat
mencetuskan kematian sel melalui aktivasi caspase. Selain mensekresikan sitokin, mikroglia
telah dibuktikan mensekresikan zat tambahan termasuk ROS dan spesies nitrogen bersama
dengan glutamat, yang dalam kondisi normal memainkan peran penting dalam transmisi saraf
8
namun menjadi dalam keadaan inflamasi yang selanjutnya berkontribusi terhadap kematian
sel. Respon neuroinflamasi pada trauma kapitis terjadi persisten dengan terdeteksi inflamasi
setidaknya satu tahun pasca cedera pada hewan dan bertahun-tahun pada manusia.
Neuroinflamasi dan aktivasi mikroglia kronik telah terbukti berperan penting dalam disfungsi
kognitif pasca trauma kapitis.8
Perbaikan pada tehnik pencitraan telah memungkinkan deteksi kerusakan white
matter yang luas pada kasus trauma kapitis ringan sampai sedang. Dahulu, kebanyakan teori
menyatakan bahwa pemisahan aksonal terjadi karena robeknya dan bergesernya akson selama
cedera primer. Namun, sekarang diketahui bahwa trauma kapitis disebabkan degenerasi
aksonal sebagai akibat sekunder aktivasi dari biokimia dan kaskade cedera seluler.8
Selanjutnya, reseptor dopamin (DA) yang banyak terdapat didaerah otak yang cedera
akibat trauma kapitis, seperti korteks bagian frontal dan striatum, yang penting untuk fungsi
kognitif. Hipokampus yang juga penting untuk fungsi kognitif tidak memiliki banyak
ekspresi reseptor DA, tetapi tergantung pada aktivitas DA untuk memodulasi fungsi. Pada
gambar 3 merupakan gambaran sistem saraf pusat pada tikus yang menunjukkan proses
cedera yang terjadi pada trauma kapitis dan hubungan langsung terhadap dopaminergik yang
penting untuk kognisi. Sebagai ilustrasi, trauma kapitis memiliki dampak yang luas pada
anatomi dan fungsi otak didaerah dopaminergik. Jalur asending dopaminergik di sistem saraf
pusat dapat dibagi menjadi dua sistem utama yaitu yang pertama jalurnigrostriatal (substasia
nigra (SN) menginervasi striatum) dan jalur mesokortikolimbik (area ventral tegmental
(VTA) memproyeksi ke korteks prefrontal (PFC), hipokampus, amigdala, dan nucleus
accumbens (NAcc).9
Striatum yang meliputi NAcc dan putamen kaudatus, sebagai bagian anatomi yang
membantu fungsi terkait dengan dorsolateral projecting to the prefrontal cortex (DLPFC),
namun juga menerima input dari berbagai area otak termasuk hipokampus dan korteks
limbik. Dorsolateral projecting to the prefrontal cortex memproyeksikan ke kaudatus dan
terdapat jalur balik ke DLPFC melalui talamus. Karena hubungan tersebut kompleks dengan
struktur kortikal dan subkortikal melalui proyeksi Dopaminergik, striatum merupakan lokasi
utama untuk mediasi fungsi kognitif manusia. Studi telah menunjukkan bahwa striatum dan
DLPFC pengting untuk fungsi eksekutif dan working memory. Terdapat bukti bahwa sistem
dopamin pada manusia berubah pada manusia setelah trauma kapitis berdasarkan laporan
bahwa neurostimulan bermanfaat dalam terjadinya defisit kognitif dan data menunjukkan
terjadi perubahan transporter binding dopamin setelah trauma kapitis.9
9
Gambar 3. Trauma kapitis menginduksi kerusakan sistem dopamin di otak tikus
menunjukkan gangguan dalam struktur dopamin. Daerah yang terlibat asending dan
desending jalur dopaminergik yang rusak setelah trauma kapitis.9
Pada penelitian Kinnunen dkk (2010) mengenai kerusakan white matter dan gangguan
kognitif setelah trauma kapitis menyatakan bahwa fungsi kognitif yang biasanya terganggu
adalah memori dan fungsi eksekutif tergantung pada aktivitas yang koheren dari luas
didistribusikan jaringan otak. Jaringan otak tersebut dihubungkan oleh traktus white matter
yang mungkin rusak pada trauma kapitis akibat diffuse axonal injury. Lokasi dari kerusakan
white matter menentukan fungsi kognitif. Struktur forniks berkolerasi dengan pembelajaran
dan memori, sementara struktur koneksi lobus frontal berhubungan dengan fungsi eksekutif.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara struktur white matter dengan kognitif.10
10
kemampuan untuk mengingat informasi tentang diri sendiri, janji, peristiwa atau apa
yang orang katakan. Meskipun beberapa orang masih memiliki ingatan jangka panjang
yang baik (misalnya mengenai masa kanak-kanak dan riwayat keluarga).3
II.2.3.2 Bahasa
Kemampuan berbahasa pada orang dewasa dengan trauma kapitis telah dievaluasi
menggunakan tes afasia. Tes ini standar menginditifikasi defisit bahasa dasar termasuk
kefasihan, recall, penamaan, pengulangan, kompleksitas sintaksis dan kategorisasi.3
II.2.3.5. Visuospatial
Pada penilitian firdous dkk (2014) didapatkan defisit visuospatial sebesar 50% pada
pasien tiga bulan setelah trauma kapitis ringan sampai sedang.12
11
Pada penelitian Wong dkk tahun 2013 tentang validasi Montral Cognitive Assessment
(MoCA) pada pasien trauma kapitis dengan perdarahan intrakranial didapatkan bahwa MoCA
mudah diaplikasikan dan secara signifikan berkolerasi dengan outcomes yang baik pada
pasien dengan perdarahan intrakranial.14
Pada penelitian de Guise dkk tahun 2013 yang membandingkan MoCA dengan Mini
Mental State Examination (MMSE) pada pasien trauma kapitis didapatkan MoCA dan
MMSE memiliki fungsi yang sama dalam memprediksi outcome.15
II.2.5. Penatalaksanaan
II.2.5.1. Rehabilitasi kogntif
Rehabilitasi kognitif adalah suatu terapi yang dirancang untuk meningkatkan
kemampuan kognitif dan penerapan kognitif dalam kehidupan sehari-hari. Intervensi ini
dapat membentuk kembali atau memperkuat keterampilan yang dipelajari sebelumnya,
mengembangkan strategi kompensasi defisit kognitif, dan atau menfasilitasi adaptasi kognitif.
Rehabilitasi kognitif meliputi General Cognitive Rehabilitation Interventions seperti
intervensi pada domain kognitif tertentu.16
General Cognitive Rehabilitation Interventions
Rehabilitasi neuropsikologi komprehensif-holistik dianjurkan selama rehabilitasi
pasca trauma kapitis untuk mengurangi kecacatan kognitif dan fungsional untuk pasien
trauma kapitis sedang sampai berat. Pendekatan terapi meliputi rehabilitasi kognitif, terapi
disiplin khusus (terapi fisik, okupasi, dan bicara) serta terapi individu dan kelompok yang
diarahkan pada keterampilan metakognitif, emosional, interpersonal, dan fungsional. Dalam
hal ini, psikoterapi individu dan kelompok menekankan fungsi emosional, perilaku, dan
interpersonal yang dapat menfasilitasi keberhasilan dari intervensi kognitif spesifik.16
12
presinaps neuron dopaminergik secara sekunder meningkatkan neurotransmisi dopamin.
Agen ini juga diakui memiliki beberapa efek tambahan pada dopaminergik neurotransmisi,
meningkatkan pelepasan dopamin, menurunkan reuptake presinaptik dopamin, stimulus
reseptor dopamin, dan atau meningkatkan sensitivitas reseptor dopamin postsinaps.16
Pengobatan dengan amantadin dalam beberapa hari pertama setelah trauma kapitis
meningkatkan arousal pada satu minggu pasca cedera. Efek klinis muncul karena trauma
yang disebabkan eksitotoksitas glutamat selama periode pasca cedera awal dari pelepasan
dopamin, yang mana gangguan fungsional tersebut mengganggu dopamin otak oleh
neurotrauma biomekanik. Sebaliknya, amantadin memediasi pemulihan fungsi kogntif selama
periode pasca cedera setelah trauma kapitis. Efek menguntungkan amantadin pada atensi,
fungsi visuospasial, fungsi eksekutif dan fungsi kogntiv umum selama subakut atau periode
akhir pasca cedera pada trauma kapitis sedang sampai berat.16
Dosis standar 25 200 mg dua kali sehari (dosis harian tidak melebihi 400 mg per
hati). Kontraindikasi pada kehamilan dan menyusui. Pasien dengan riwayat kejang harus hati-
hati dipantau untuk perubahan aktivitas kejang. Pasien dengan gagal jantung kongestif juga
perlu pemantauan. Amantadin dapat mempontensiasi efek dari agen antikolinergik dan
psikostimulan lainnya. Triamterin / hidroklortiazid dapat menurunkan ekskresi ginjal dari
amantadin. Efek samping sakit kepala, mual, diare, anoreksia, pusing, hipotensi ortostatik,
ansietas, iritabilitas, depresi, halusinasi dapat terjadi selama penggunaan amantadin. Psikosis
dan kebingungan dapat terjadi pada dosis tinggi.16
2. Catecholamine Augmentation
Metilphenidat seperti dekstroamfetamin dan garam amfetamin campuran lainnya,
meningkatkan kada dopamin dan norepinefrin di otak melalui pelepasan dan pada dosis
tinggi, blok monoamin reuptake dan menghambat monoamin oksidase. Selama periode
subakut dan periode akhir pasca trauma kapitis, metilphenidat dapat meningkatkan
hypoarousal, atensi, processing speed, fungsi kognitif umum. 16
Dosis standar dimulai dari 5 mg dua kali sehari yang diberikan pagi hari dan tengah
hari. Kontraindikasi pada pasien yang menggunakan MAOI, hamil, dan menyusui.
Metilphenidat dapat mengeksarsebasi ansietas, psikosis, sindrom tourettes, tics, glaukoma,
hipertensi. Efek samping dari obat ini adalah ansietas, irritabilitas, insomnia, dan disforia.
Metilphenidat mungkin menekan nafsu makan, meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah. 16
13
3. Bromokriptin
Bromokriptin bekerja langsung pada reseptor dopamin 2 (D2). Pada dosis rendah,
bromokriptin bekerja sebagai reseptor D2 di presinaps, sehingga mengurangi pelepasan
dopaminergik dan fungsi dopaminergik pada sistem neural. Bromokriptin meningkatkan
fungsi eksekutif. Bromokriptin tidak menunjukkan perbaikan working memory atau atensi. 16
Dosis standar 2,5 7,5 mg dua kali sehari, dosis maksimal 100 mg per hari.
Kontraindikasi pada hipertensi yang tidak terkontrol, hipersensitivitas terhadap alkaloid
ergot, menyusui, kehamilan. Interaksi obat bromokriptin menurunkan efektifitas
antidopaminergik. Efek samping obat ini adalah dizziness, mengantuk, sinkop, mual, muntah,
kram perut, konstipasi, dan diare.16
4. Donepezil
Donepezil bekerja sentral sebagai inhibitor selektif asetilkoliesterase. Penggunaan
donepezil dapat meningkatkan atensi dan memori yang terganggu selama periode subakut
cedera kepala. Pada periode akhir cedera, donepezil meningkatkan atensi dan memori. 16
Dosis yang diberikan 5 10 mg perhari. Kontraindikasi hipersensitivitas donepezil
dan turunan piperidin, kehamilan dan menyusui. Efek samping sakit kepala, diare, muntah,
insomnia, kram otot, nyeri, mimpi buruk. 16
5. Rivastigmin
Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butirilkolinesterase. Mekanisme kerja obat
ini pada fungsi kolinergik otak. Pengobatan dengan rivastigmin meningkatkan atensi dan
woking memory. 16
Dosis yang diberikan 1,5 6 mg dua kali sehari. Kontraindikasi pada hipersensitivitas
dengan karbamat, kehamilan, dan menyusui. Efek samping obat sakit kepala, mual, diare,
muntah, dizziness, berkeringat. 16
6. Cytidine 5-Diphosphocholine (citicolin)
Cytidine 5-diphosphocoline meningkatkan metabolisme otak, meningkatkan aktivitas
ddopamin, norepinefrin, dan asetilkolin. Pengobatan dengan citicolin pada trauma kapitis
sedang dan berat meningkatkan gangguan kognitif, gangguan motorik, dan gangguan
psikiatri. 16
Dosis yang diberikan 1 -2 gram perhari. Kontraindikasi pada kehamilan, dan
menyusui. Efek samping yang jarang terjadi insomnia, penglihatan kabur, sakit kepala, mual,
diare, perubahan tekanan darah, dan nyeri dada. 16
14
II.2.6. Prognosis
Perbaikan pada fungsi kognitif dan neurobehavioral pada pasien dengan trauma
kapitis sedang sampai berat terjadi pada 6 bulan pertama setelah cedera dan berlangsung
selama 18 bulan atau lebih. Pasien dengan riwayat cedera kepala meningkatkan risiko
terjadinya demensia dikemudian hari. 17
Disabilitas yang lebih tinggi ditemukan satu tahun setelah cedera kepala dengan
gangguan kognitif yang muncul tiga bulan setelah cedera kepala. Gangguan kognitif pada
fase awal dapat merupakan faktor risiko disabilitas pada masa yang akan datang. 1
15
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan kognitif biasanya merupakan sekuel dari trauma kapitis sedang dan berat.
Gangguan kognitif pasca trauma kapitis seperti gangguan memori dan konsentrasi, serta
berkurangnya informatian processing speed dan gangguan fungsi eksekutif.
Derajat disfungsi kognitif pada trauma kapitis ditentukan oleh tingkat kerusakan pada
otak baik kerusakan primer ataupun sekunder. Gangguan sistemik termasuk edema,
peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan perdarahan, semua berkontribusi terhadap
penurunan alirah darah otak dan mengganggu metabolisme yang mengakibatkan iskemi yang
berkontribusi untuk inisiasi kaskade biokimia dan seluler termasuk eksitoksitas glutamat,
kalsium yang berlebihan, pembentukan radikal bebas, disfungsi mitokondria, inflamasi, dan
aktivasi gen pro-apoptosis. Banyaknya hilangnya sel pada trauma kapitis berkolerasi dengan
defisit kognitif dan prognosis jangka panjang dalam studi klinis dan eksperimental.
Ada banyak instrumen yang dapat digunakan dalam menilai fungsi kognitif. MoCA
mudah diaplikasikan dan secara signifikan berkolerasi dengan outcomes yang baik pada
pasien dengan perdarahan intrakranial. Pada penelitian de Guise dkk tahun 2013 didapatkan
MoCA dan MMSE memiliki fungsi yang sama dalam memprediksi outcome.
Terapi bertujuan untuk mengembalikan keterampilan yang hilang serta mengimbangi
kemampuan yang telah diubah secara permanen. Terapi dalam gangguan kognitif pasca
trauma kepala dibagi menjadi dua yaitu terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis.
Disabilitas yang lebih tinggi ditemukan satu tahun setelah cedera kepala dengan
gangguan kognitif yang muncul tiga bulan setelah cedera kepala. Gangguan kognitif pada
fase awal dapat merupakan faktor risiko disabilitas pada masa yang akan datang.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Skandsen T, Finnanger TG, Andersson S, Lydersen S, Brunner JF, and Vik, A. Cognitive
impairment 3 months after moderate and severe traumatic brain injury: A prospective follow-
up study. Arch Phys Med Rehabil. 2010. 91: 1904 1913.
2. Krisandi AE, Utomo W, dan Indriati G. Gambaran Status Kognitif pada pasien cedera
kepala yang telah diizinkan pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2013. 1-8.
5. Langlois JA, Brown WR, and Wald MM. The Epidemiology and Impact of Traumatic
Brain Injury. Journal Head Trauma Rehabilitation. 2006; 21(5): 375-378.
6. Salmond CH, Chatfield DA, Menon DK, Pickard JD, and Sahakian BJ. Cognitive sequelae
of head injury: involvement of basal forebrain and associated structures. Brain. 2005; 128:
189-200.
7. Strub RL, and Black FW. The Mental Status Examination in Neurology. 4thed. FA. Davis
Company. Philadelphia. 2000.
9. Bales JW, Wagner AK, Kline AE, and Dixon CE. Persistent cognitive dysfunction after
traumatic brain injury: A dopamine hypothesis. Neurosci Biobehav Rev. 2009; 33(7): 981-
1003.
10. Kinnunen KM, Greennwood R, Powell JH, Leech R, Hawkins PC, Bonnelle V, et all.
White matter damage and cognitive impairment after traumatic brain injury. Brain. 2011:
134(2); 449-463.
11. War FA, Jamuna R, and Arivazhagan A. Cognitive ans sexual functions in patients with
traumatic brain injury. Asian J Neurosurg. 2014: 9(1); 2932.
17
12. Kennedy MR, Coelho C, Turkstra L, Ylvisaker M, Sohlberg MM, Yorkston K, et all.
Intervention for executive functions after traumatic brain injury: A systematic review, meta-
analysis and clinical recommendations. Neuropsychol Rehabil. 2008: 18(3); 257-299.
13. Woodford HJ, and George J. Cognitive assessment in the elderly: a rivew of clinical
methods. Q J Med. 2007: 100;469-484.
14. Wong GK, Ngai K, Lam SW, Wong A, Mok V, and Poon WS. Validity of the Montreal
Cognitive Assessment for traumatic brain injury patients with intracranial haemorrhage.
Brain Inj. 2013: 27(4): 394-398.
15. de GE, Leblanc J, Champoux MC, Alturki AY, Lamooureux J, Desjardins M, et all. The
mini-mental state examination and the Montreal Cognitive Assessment after traumatic brain
injury: an early predictive study. Brain inj. 2013. 27(12); 1428-1434.
16. Wortzel HS, and Arciniegas DB. Treatment of Post Traumatic Cognitive Impairments.
Curr Treat Options Neurol. 2012: 14(5); 493-508.
17. Vincent AS, Spencer TM, and Cernich A. Cognitive changes and dementia risk after
traumatic brain injury: Implications for aging military personnel. Alzheimer & dementia.
2014: 174-187.
18