Laporan Resmi Bioremediasi Kelompok 1 Undip
Laporan Resmi Bioremediasi Kelompok 1 Undip
Laporan Resmi Bioremediasi Kelompok 1 Undip
Oleh:
Rachmat Afriyanto 26020114140104
Faith Dibri Kimberly 26020114140106
Fernando Simamora 26020114120036
Hendri Zand Fransiskus Lahagu 26020113140118
Kelompok 1
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat
dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Bioremediasi
dengan baik dan lancar. Laporan Resmi ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Bioremediasi. Adapun isi dari laporan Praktikum Bioremediasi
ini adalah hasil pengamatan kepiting bakau selama 7 hari yang telah diberi
perlakuan dengan penambahan bakteri untuk mengurangi amonia dengan cara
bioremediasi menggunakan mikroorganisme (bakteri M4).
Laporan ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada pembaca
tentang bioremediasi. Penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada bapak
Dr.Ir. Sunaryo selaku dosen koordinator praktikum bioremediasi serta Aktia Rizky
Y. Selaku asisten praktikum bioremediasi yang senantiasa membimbing dan
memberi pengetahuan baru kepada penulis selama melaksanakan praktikum dan
dalam menyusun laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan Laporan praktikum
bioremediasi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
laporan ini. Demikian, Laporan Resmi ini yang dalam pelaksanaannya telah
melibatkan berbagai pihak, semoga Laporan praktikum ini bermanfaat bagi semua
yang membacanya.
i
DAFTAR ISI
ii
IV. HasIL ............................................................................................................
14
V. PEMBAHASAN ........................................................................................ 20
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 23
6.2. Saran .................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 25
LAMPIRAN ...................................................................................................... 26
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR LAMPIRAN
vi
I. PENDAHULUAN
1
1.2 Perumusan Masalah
1. Apa nutrisi dan perannya yang dibutuhkan crustacean?
2. Bagaimana teknik kultivasi pada crustacean?
3. Penerapan seperti apa agar cara yang digunakan tepat?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penggunaan bakteri untuk memperbaiki kualitas air media
kultivasi organisme air
2. Mengetahui konsentrasi penggunaan bakteri yang berbeda untuk
memperbaiki kualitas air media kultivasi organisme air
3. Meningkatkan ketrampilan mahasiswa dalam memperbaiki kualitas air
media pemeliharaan organisme air
4. Meningkatkan ketrampilan mahasiswa dalam melaksanakan penelitian
5. Meningkatkan wawasan mahasiswa dalam bidang bioremediasi
1.4 Manfaat
1. Diketahuinya penggunaan bakteri untuk memperbaiki kualitas air media
kultivasi organisme air dapat memberikan informasi kepada masyarakat
yang sangat berguna dalam bidang akuakultur
2. Konsentrasi penggunaan bakteri untuk memperbaiki kualitas air media
kultivasi organisme air dapat diketahui, sehingga informasi penggunaannya
dalam bidang akuakultur dapat diketahui dengan pasti
3. Ketrampilan mahasiswa dalam memperbaiki kualitas air media
pemeliharaan organisme air dapat lebih meningkat
4. Ketrampilan mahasiswa dalam melaksanakan penelitian dapat lebih
meningkat
5. Wawasan mahasiswa dalam bidang bioremediasi dapat lebih meningkat
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
3
teknik ini dimulai dengan mengencerkan kultur bakteri yang telah ada dengan
aquades. Selanjutnya, diaduk hingga rata dengan cara memutar tabung reaksi
dengan telapak tangan selama beberapa kali. Larutan dilusi tadi sebanyak + 1 ml
dituang ke dalam cawan petri. Cawan petri diputar secara perlahan-lahan di atas
meja horizontal untuk mengaduk campuran media agar dengan dilusi kultur
mikroba. Terakhir, inkubasi kultur ini pada kondisi yang sesuai. Tahapan di atas
diilustrasikan pada gambar 5 di bawah ini.
Biakan murni yang dihasilkan, jika disimpan dalam jangka waktu yang lama akan
mudah sekali mengalami mutasi. Ini berarti, biakan murni yang disimpan terlalu
lama bukan lagi biakan murni yang semula. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang
harus dilakukan untuk mencegah atau setidaknya mengurangi kemungkinan
terjadinya mutasi, yaitu:
a. Secara periodik, biakan harus dipindahkan ke medium baru, sebaiknya
pemindahan dilakukan pada fase log.
b. Biakan harus disimpan pada suhu rendah dan terhindar dari radiasi. Mikroba
diliofilisasikan, yaitu dimasukkan dalam ampul berisis susu kering
bercampur CO2 kemudian disimpan pada tempat bersuhu rendah.
Menurut Akademi Perikanan Yokyakarta (2013), Dalam pemeliharaan Kepiting
bakau terdapat beberapa prinsip yang perlu dilakukan, antara lain:
a. Reproduksi dilakukan di perairan laut, telur setelah dibuahi ditempelkan di
bagian perut, di balik karapag yang berumbai-umbai, dierami selama 10-12
hari, larva kepiting bakau berkembang dari stadia zoea 1-5 selama 18-20
hari, megalopa selama 5-7 hari dan mencapi stadia crablet yang mengalami
moulting pada setiap 4-7 hari hingga menjadi bibit berukuran rata-rata 30-
50 g/ekor (panjang 2-5 cm) yang dicapai selama 50-70 hari.
b. Kualitas air yang dibutuhkan untuk hidup dan dapat tumbuh secara baik
yaitu: kadar garam 10-25 ppt, suhu 28-330C, pH 7,5-8,5 dan DO lebih dari
5 ppm.
c. Perilaku kepiting bakau bersifat kanibal, kepiting yang tidak sedang
moulting sering dijumpai memakan kepiting yang sedang moulting.
d. Pakan untuk kepiting bakau yaitu dari berbagai jenis binatang seperti ikan
rucah, amphibia, reptilia, jeroan dari limbah pemotongan ayam, juga suka
4
diberi pakan udang yang berupa pelet kering, kelas grower. Pakan larva
berupa phytoplankton (Chaetoceros sp, dan Tetraselmis sp) dan
zooplankton (Brachionus sp dan Artemia sp).
5
2. Cahaya
Fotosintesis bagi tumbuhan, baik tumbuhan darat maupun laut seperti alga,
bergantung pada adanya cahaya matahari. Laju fotosintesis tinggi apabila intensitas
cahaya tinggi dan sebaliknya (Nybakken, 1992). Cahaya sangat berpengaruh
terhadap fotosintesis pada alga. Laju fotosintesis akan tinggi apabila intensitas
cahaya tinggi dan sebaliknya. Penetrasi cahaya dalam air sangat dipengaruhi oleh
intensitas dan sudut datang cahaya pada permukaan air, kondisi permukaan air, dan
bahan-bahan terlarut dan tersuspensi di dalam air (Boyd, 1988; Welch, 1980).
Makin kecil sudut datang cahaya akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam
air. Sebaliknya makin tegak lurus sudutnya maka semakin sedikit cahaya yang
dipantulkan (Nybakken, 1992).
Semua tumbuhan tanpa kecuali memerlukan intensitas cahaya tertentu bagi
terlaksananya proses fotosintesis. Loban (1997), menyatakan bahwa kebutuhan
cahaya berbeda-beda pada setiap jenis makroalga. Spektrum cahaya yang
digunakan dalam fotosintesis berkisar 350-700 nm. Kualitas dan kuantitas cahaya
penting dalam respon fotosintesis dan pola metabolisme. Fotosintesis dan pola
metabolisme berubah oleh kedalaman tetapi perubahan tergantung pada kecerahan
dan partikel alami yang terlarut (Loban, 1997).
3. Kekeruhan
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
dalam air. Kekeruhan disebabkan bahan organik dan bahan anorganik baik
tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan
organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA, 1976; Davis dan
Cornwell, 1991). Kekeruhan merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis
dan produksi primer perairan karena mempengaruhi penetrasi cahaya matahari
(Boyd, 1988). Sutika (1989), mengatakan bahwa kekeruhan dapat mempengaruhi
terjadinya gangguan respirasi, dapat menurunkan kadar oksigen dalam air dan
terjadinya gangguan terhadap habitat.
4. Substrat
Substrat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
organisme laut berupa alga. Substrat perairan merupakan dasar perairan dimana
6
alga laut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Penyebaran alga laut dan
kepadatannya di suatu perairan tergantung pada tipe substrat, musim dan komposisi
jenis. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) jenis-jenis substrat yang dapat
ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang. Tipe substrat
yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan
pecahan karang.
5. Gerakan Air
Salah satu faktor penting dalam pertumbuhan adalah pergerakan air, karena
akan mempengaruhi ketersediaan makanan, pertumbuhan epifit dan pengendapan
(Kautsky, 1989). Tanpa pergerakan air kehidupan di bawah air akan terhambat
karena rata-rata difusi gas dan ion di air lebih rendah dibandingkan dengan di udara
(Luning, 1990). Arus dan pergerakan air mempunyai pengaruh yang besar terhadap
aerasi, transportasi nutrien, dan pengadukan air yang besar pengaruhnya terhadap
keberadaan oksigen terlarut (Trono dan Fortes, 1974). Peranan yang lain yaitu
untuk menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada thallus yang
dapat menghalangi pertumbuhan rumput laut. Semakin kuat arusnya, pertumbuhan
rumput laut akan semakin cepat besar karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman
semakin banyak sehingga metabolisme dipercepat (Soegiarto et al. 1979).
Pergerakan air pada medium yang menggenang sangat penting untuk
kehidupan makroalga. Hal ini dapat dilihat pada percobaan kultur makroalga
dimana rata-rata pertumbuhan yang diukur dalam medium menggenang lebih
rendah dibandingkan dengan medium yang diaerasi. Keuntungan dari pengaruh
aerasi pada kultur makroalga adalah untuk mengurangi batas lapisan difusi dan
meningkatkan nutrisi (Luning, 1990).
6. Salinitas
Kadar garam air biasanya didefinisikan sebagai jumlah (dalam garam) dari
total garam terlarut yang ada dalam 1 kilogram air laut dan biasanya diukur dengan
konduktivitas. Semakin tinggi konduktivitas semakin tinggi kadar garamnya.
Komposisi kadar garam tersebut selalu dalam keadaan yang konstan dalam jangka
waktu yang panjang. Hal ini disebabkan karena adanya kontrol dari berbagai proses
kimia dan biologi didalam perairan laut. Kondisi ini menyebabkan sebagian besar
organisme yang hidup di perairan laut merupakan organisme yang memiliki
7
toleransi (sensitivitas) terhadap perubahan salinitas yang sangat kecil atau
organisme yang diklasifikasikan sebagai organisme stenohalin (Widodo dan Suadi,
2006). Salinitas didefinisikan sebagai jumlah bahan padat yang terkandung dalam
tiap kilogram air laut, dinyatakan dalam gram per-kilogram atau perseribu (Sutika,
1989). Salinitas penting artinya bagi kelangsungan hidup organisme, hampir semua
organisme laut hanya dapat hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas
yang kecil (Hutabarat dan Evans, 2001). Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran air sungai (Nontji.
1987). Masing-masing rumput laut dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas
tertentu tergantung pada toleransi dan adaptasinya terhadap lingkungan (Trono dan
Fortes, 1988).
Konduktivitas juga berkaitan dengan temperatur air. Jika temperatur air naik
1 maka konduktivitas air akan meningkat sekitar 1.9%. Konduktivitas air laut
bergantung pada jumlah ion-ion terlarut per volumenya dan mobilitas ion-ion
tersebut. Perairan laut memiliki nilai konduktivitas yang sangat tinggi karena
banyaknya garam-garam terlarut di dalamnya (APHA, 1976 dalam Effendi, 2000).
Air sulingan memiliki konduktivitas antara 0.5 hingga 2 mhos/cm dalam
temperatur standar 25 . Air minum secara umum memiliki konduktivitas antara
50 hingga 1500 mhos/cm dan air laut memiliki konduktivitas hingga 53000
mhos/cm.
7. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hydrogen
dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. pH juga
merupakan faktor lingkungan yang mengendalikan fitoplankton dalam proses
pengambilan nutrient, keseimbangan nutrien (karbondioksida, fosfat, dan nitrogen)
sangat sensitif terhadap perubahan pH menurut (Muntsji, 1972). Nilai pH
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktifitas biologi seperti fotosintesis dan
respirasi organisme, temperatur, dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut
(Pescod, 1973).
8. Unsur Hara
Organisme air seperti makroalga memerlukan unsur hara untuk melakukan
proses fotosintesis dan menunjang pertumbuhannya. Masuknya unsur hara ke
8
rumput laut dilakukan dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Proses
difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air (Doty
dan Glenn, 1981).
Unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian yaitu makro nutrisi dan mikro nutrisi. Makro nutrisi yang dibutuhkan
alga laut adalah sulfat, potassium, kalsium, magnesium, karbon, nitrogen, dan
fosfor, sedangkan mikro nutrien meliputi Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mg, dan Cl (Iksan,
2005). Penambahan unsur hara dapat menunjang pertumbuhan rumput laut. Salah
satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrisi yang dapat
diperoleh dari pupuk (Aslan, 1998). Fungsi utama pemupukan adalah memberikan
unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut, memperbaiki struktur
tanah dan menghambat peresapan air pada tanah-tanah yang tidak kedap air
(porous). Unsur P merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama
dalam transformasi energi metabolik (Kuhl, 1974). Unsur P juga merupakan
penyusun ikatan pirofosfat dari ATP (Adenosine Tri Phosphat) yang kaya energi
dan merupakan bahan bakar untuk semua kegiatan biokimia di dalam sel hidup serta
merupakan penyusun sel yang penting. Fosfat (P) merupakan bentuk dari fosfor
yang bermanfaat bagi tumbuhan (Waite, 1984). Berkaitan dengan pertumbuhan
rumput laut, fosfor berperan sebagai faktor pembatas dalam proses fotosintesis
(Lapointe, 1987), dimana perbandingan antara N, P, dan K yang diperlukan oleh
rumput laut adalah 15:5:1,8 (Round, 1977). Menurut Soepomo (1974), kisaran
fosfat yang terdapat di laut adalah 0,021-0,201 ppm dan permukaan air laut
mengandung fosfat terlarut lebih rendah dibanding perairan laut yang lebih dalam.
Unsur hara K merupakan unsur hara makro yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam
jumlah banyak oleh tumbuhan. Menurut Nicholls (1993), kalium digunakan oleh
sel-sel tanaman selama proses asimilasi energi yang dihasilkan oleh proses
fotosintesis.
9. Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut di perairan menggambarkan jumlah kandungan gas oksigen
yang terlarut dalam air. Oksigen terlarut dalam perairan umumnya berasal dari
fotosintesis oleh alga dan difusi dari udara (APHA,1995). Kadar oksigen terlarut
dalam suatu perairan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: temperatur, tekanan parsial
9
gas di atmosfir dan salinitas (Ross, 1970). Faktor-faktor yang mempengaruhi
distribusi gas-gas terlarut adalah aktivitas biologi yang berpengaruh terhadap
kandungan oksigen terlarut dan karbondioksida, serta proses-proses fisika seperti
arus, gelombang dan turbulensi (Sverdrup et al., 1942). Penyebaran oksigen di
lautan bervariasi menurut kedalaman.
Oksigen terlarut merupakan unsur penting yang sangat diperlukan dalam
melakukan respirasi dan menguraikan zat organik oleh mikroorganisme (Harvey,
1982). Oksigen terlarut adalah besarnya kandungan oksigen yang terlarut dalam air
yang biasa dinyatakan dalam satuan mg/l. Kelarutan oksigen di perairan
dipengaruhi oleh temperatur, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara maupun di
air, kadar garam dan unsur-unsur yang mudah teroksidasi di dalam perairan.
Semakin meningkat temperatur air, kadar garam, dan tekanan gas-gas terlarut maka
semakin berkurang kelarutan oksigen dalam air (Wardoyo, 1981).
10. Pasang Surut
Menurut Bhatt (1978), pasang surut adalah periode naik dan turunnya
permukaan air laut yang merupakan hasil gaya tarik menarik antara bumi dengan
bulan, dan gaya tarik menarik antara bumi dengan matahari. Pasang surut
dipengaruhi juga oleh posisi kedudukan relatif bulan dan matahari terhadap bumi
dan pantai (Nontji, 1993). Pasang surut berpengaruh langsung maupun tidak
langsung terhadap fenomena biologi laut, seperti distribusi dan suksesi organisme.
Frekuensi pasang juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
alga laut di wilayah interdal. Pada wilayah semidurnal yang memiliki frekuensi
lebih besar dari pasang diurnal, lebih menyokong bermacam-macam populasi alga
laut.
10
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : enzim-enzim degradatif yang
dihasilkan oleh mikroorganisma tidak mampu mengkatalis reaksi degradasi
limbahyang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat rendah, dan limbah
organikbersifat toksik bagi mikroorganisma tersebut.Selain itu, pengaruh
lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembaban tanahjuga sangat berperan
dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi (Sopiah, 2012).
Seleksi dan optimasi bakteri pada bioremediasi lahan tercemar minyak bumi
sangat diperlukan agar bakteri yang bekerja pada proses bioremediasi mampu
beradaptasi dan mendegradasi secara optimal. Oleh karena itu bakteri yang terlibat
dalam proses bioremediasi bukanlah bakteri tunggal melainkan konsorsium bakteri
yang mampu memanfaatkan hidrokarbon sebagai substrat, bakteri yang mampu
mendegradasi hidrokarbon juga bakteri yang mampu menghasilkan biosurfaktan.
Dengan dihasilkannya biosurfaktan tersebut dapat menurunkan tegangan antar
muka, sehingga bakteri pendegradasi dapat bekerja secara optimal (Sopiah, 2012).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas bakteri
adalah penyediaaan nutrisi yang sesuai untuk kultivasi bakteri. Meskipun nutrisi
yang digunakan amat beragam, namun sebagai makhluk hidup bakteri mempunyai
kebutuhan dasar yang sama, yaitu meliputi air, karbon, dan mineral. Adanya
aktivitas bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon akan menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu lingkungan. Suhu yang semakin tinggi dapat
meningkatkan metabolisme hidrokarbon menjadi maksimum, yaitu 300C 450C.
Di atas suhu ini, aktivitas enzim akanmenurun dan toksisitas hidrokarbon pada
membran sel akan semakin tinggi. Pengaruh aktivitas bakteri pada proses
bioremediasi minyak bumi akan menyebabkan naiknya karbondioksida. Hal ini
disebabkan karena adanya respirasi bakteri dan terdegradasinya senyawa
hidrokarbon menjadi senyawa karbondioksida (Sopiah, 2012).
Beberapa bakteri mampu melakukan bioremediasi pada tanah tercemar
kromium. Achinetobacter calcoacetic memiliki kemampuan removal sebesar
67,14% dengan konsentrasi awal 500 ppm pada suhu 30oC selama 24 jam pada pH
7. Bacillus mampu bertahan hidup di lokasi yang tercemar oleh logam berat.
Logam berat yang terdapat di lokasi tersebut akan diabsorp oleh Bacillus karena
kemampuannya dalam bioabsorpsi. Proses biosorpsi ini akan menyebabkan
11
terserapnya logam berat ke dalam sel bakteri. Bacillus akan menghasilkan enzim
katalase. Enzim ini berfungsi untuk memecah zat berbahaya yang masuk ke dalam
sel bakteri. Bacillus juga mampu menghasilkan enzim reduktase. Enzim reduktase
berfungsi untuk menurunkan (rekduksi) kadar tokisitas logam berat yang menjadi
pencemar utamanya. Logam berat akan diubah struktur kimianya menjadi bentuk
yang tidak toksik (Putri, 2017).
12
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Hewan uji
Hewan uji berupa Kepiting Bakau betina (Scylla spp.) ukuran 50 gram
berjumlah 40 ekor.
13
3.1.4 Hewan Perlakuan
Bakteri EM4 (bakteri starter)
Bebagai macam konsentrasi bakteri (0 CFU, 5 CFU, 10 CFU, 15
CFU).
Dilakukan 3 kali pengulangan.
14
5. Refraktometer Untuk mengukur salini-tas
air.
15
12. Vacuum pump Alat untuk memfiltrasi
material padatan tersus-
pensi pada air.
3.2 Metode
3.2.1 Rancangan
Metode Ekperimen secara Laboratorium
Rancangan Acak Lengkap (3x3)
Rancangan percobaan yang digunakan berupa Rancangan Acak
Kelompok:
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D1
16
hewan uji. Selain itu pengukuran pengamatan ini berfungsi untuk menjaga
keseimbngan media kultivasi Kepiting bakau.
3.2.2.1 Pertumbuhan Hewan Kultivan
Pada praktikum kali ini pertumbuhan dai kultivan diuji dan diamati selama
1 minggu dengan pengukuran 4 kali satu hari (pada pukul 06.00;10.00;14.00;18.00
WIB).
3.2.4 Hipotesa
H=>H=> (u=u0) Diduga penggunakan bakteri sebagai bioremedial
menghasilkan respon yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan, FCR,
Efisien Pakan, PER dan SR kepiting bakau serta kualitas air media
peliharaan (NH3 dan Nitirit).
H=>H=> (uu0) Diduga penggunakan bakteri sebagai bioremedial
menghasilkan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan, FCR, Efisien
17
Pakan, PER dan SR kepiting bakau serta kualitas air media peliharaan (NH3
dan Nitirit).
Dimana untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup larva kepiting bakau, data yang diperoleh dianalisis denga
menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada taraf kepercayaan 95%. Bila
berpengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk
melihat perbedaan antara perlakuan.
Gambar 1. Skema rancangan bak kultivasi hewan uji. Keterangan 1. Bak
hewan uji, 2. Saluran air keluar, 3. Filter fisik, 4. Pompa air, 5. Biofilter, 6.
Protein skimmer, 7. Blower, 8. Pengering udara, 9. O3, 10. Sisa bahan
organik, 11. Reaktor bakteri, 2. Saluran air masuk.
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 pH
Tabel 2. Hasil pH
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
Perlakuan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A1 6 6 6 8 6 6 6 6 7 7 6 7 6 6 7 7
A2 6 6 6 8 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
A3 7 6 6 9 6 6 7 7 6 6 6 6 7 7 7 6
B1 7 6 6 8 6 6 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6
B2 6 7 7 7 7 7 7 7 6 6 6 7 6 6 7 6
B3 6 7 7 6 6 7 7 7 6 6 6 7 7 6 7 5
C1 6 6 6 7 7 6 6 6 6 6 6 7 7 6 7 6
C2 6 6 6 7 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6
C3 6 7 6 6 7 7 6 6 6 6 6 7 6 6 6 6
19
4.1.2 Suhu (oC)
Tabel 3. Hasil Suhu
Perlaku Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4
an 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2
A1 30
2 9 0 9 5 7 1 8 7 8 0 8 6 7 9
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 28,
A2
6 8 0 9 5 7 0 8 6 9 8 8 4 7 9 5
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3
A3 29
6 9 9 9 4 7 9 8 5 6 9 8 3 7 0
2 2 2 3 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2
B1 30
6 9 9 0 4 7 0 9 5 7 9 8 4 6 9
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 3
B2 29
6 8 0 9 4 8 0 9 4 6 9 8 4 7 0
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2
B3 29
6 8 1 9 4 7 0 9 4 7 9 9 6 7 9
2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 3 2 2 2 2
C1 28
6 8 0 9 5 7 0 9 4 8 0 8 6 7 8
2 2 3 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 2 2
C2 27
6 8 1 9 5 7 9 9 4 7 0 8 4 7 7
2 2 3 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 3
C3 29
6 8 0 8 5 5 7 9 4 0 0 8 7 7 0
20
26 28 30 29 26 28 30 29 22 28 29 29
26 28 31 29 26 28 30 29 22 28 29 29
29 29 29 29 26 28 30 30 27 28 29 29
21
41 45 42 45 46 44 42 43 45 43 50 46
45 44 43 45 48 46 44 44 45 45 51 49
46 45 45 48 41 45 46 45 51 46 45 45
48 46 48 49 47 46 46 46 55 45 46 51
43 39 39 48 45 46 40 45 45 40 41
50 46 46 42 48 46 43 45 46 40 46 50
49 49 49 49 48 48 46 45 50 52 47 50
Pa
Jumlah
Perl ka
Berat MPT Bakteri
akua n Panjang (cm) Lebar (cm)
(g) (mg/L) (cfu/ml
n (%
)
)
A A A
Ak Ak Ak
wa Awal Akhir Awal Akhir w w
hir hir hir
l al al
32 9, 9, 1
30 1
A1 4,6 3 6 1,
8,1 2
4 3 7 5
35
16 17 5, 5, 6, 7, 0,
0,0 x
A2 5 0,3 2,2 3 4 6 1 03 5
25 10
3 7 3 7 7 7 3 x
3
13 4, 10
15 6, 6,
4
A3 6,7 8 5
2,7 5 8
7 3
15 16 5, 7, 0,
5, 0,0 33
B1 10 2,9 7,9 6 7 3 02
8 17 x
8 8 7 3 8
22
17 20 5, 8, 8, 10
5,
B2 1,8 6,4 3 3 3 3
5
7 3 3 3 3
20 5, 7,
18 5, 7,
B3 9,3 3 8
4,6 7 6
9 3 9
16 5,
18 6,
C1 4,7 5 3 6
8,9 1
3 3
14,
18 20 6, 0,
6, 7, 8, 0,0 4x
C2 15 4,0 0,6 3 04
5 3 1 42 10
8 7 3 7
4
19 21 5, 6,
6,
C3 8,6 7,3 6 6 6
5
1 3 7 7
23
Tabel 6. Descriptive Statistics Dosis Pakan Terhadap Pertumbuhan
Descriptive Statistics
Std.
Mean Deviation N
Dosis_Pakan 10.0000 4.33013 9
Pertumbuhan 19.8044 6.92594 9
24
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6.111 4.678 1.306 .233
Pertumbuhan .196 .224 .314 .875 .410
a. Dependent Variable: Dosis_Pakan
4.1.6 Dosis Pakan Terhadap MPT
25
Correlations
Dosis_Pakan MPT
Pearson Dosis_Pakan 1.000 -.500
Correlation MPT -.500 1.000
Sig. (1-tailed) Dosis_Pakan . .085
MPT .085 .
N Dosis_Pakan 9 9
MPT 9 9
Model Summaryb
Change Statistics
Std. Error R F
R Adjusted of the Square Chang Sig. F
Model R Square R Square Estimate Change e df1 df2 Change
1 .500a .250 .143 4.00892 .250 2.333 1 7 .170
a. Predictors: (Constant), MPT
b. Dependent Variable:
Dosis_Pakan
26
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 16.667 4.564 3.651 .008
MPT -.833 .546 -.500 -1.528 .170
a. Dependent Variable: Dosis_Pakan
27
Dosis_Pakan Jumlah_Bakteri
Pearson Dosis_Pakan 1.000 .858
Correlation Jumlah_Bakter
.858 1.000
i
Sig. (1-tailed) Dosis_Pakan . .002
Jumlah_Bakter
.002 .
i
N Dosis_Pakan 9 9
Jumlah_Bakter
9 9
Tabel 18. Model Summaryi Dosis Pakan Terhadap Jumlah Bakteri
Model Summaryb
Change Statistics
R Adjuste Std. Error R F
Mod Squar d R of the Square Chang Sig. F
el R e Square Estimate Change e df1 df2 Change
1 19.54
.858a .736 .699 2.37738 .736 1 7 .003
0
28
Tabel 19. Coeffients Dosis Pakan Terhadap Jumlah Bakteri
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 5.227 1.339 3.902 .006
Jumlah_Bakter
6.755E-5 .000 .858 4.420 .003
i
a. Dependent Variable: Dosis_Pakan
V. PEMBAHASAN
29
Keputusan Men Kementerian Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, bahwa
standar baku mutu untuk NH3 adalah 0,3 mg/L (biota laut). Menurut Effendi
(2003), konsentrasi ammonia yang tinggi dapat mengganggu proses mengikatnya
oksigen oleh darah dan ahkirnya dapat menyebabkan kematian secara perlahan
karena lemas pada ikan, dimana ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar
ammonia bebas yang tinggi.
Ketika air mengandung banyak oksigen tidak akan berbahaya akan terjadinya
denitrifikasi. Sehingga konsentrasi nitrat tidak terlalu penting untuk di monitoring.
Akan tetapi, karena ammonia, standar kualitas air perlu dilakukan pencegahan
eutropikasi terjadinya pembentukan nitrat, dan berlebihannya pertumbuhan alga
dan tanaman, akan kemudian berdampak pada ikan. Tindakan yang bisa dilakukan
adalah dengan mengurangi volume pemberian pakan dan melakukan pergantian air
hinga 50%. Yang kemudian bisa dilanjutkan dengan pemberian probiotik yang
mampu mengikat ammonia.
5.3 Kadar pH
Berdasarkan pada praktikum yang telah dilaksanakan digunakan uji
bioremediasi pada budidaya kepiting bakau dengan berat masing-masing 50 gram
berjumlah 40 ekor. Uji bioremediasi ini menggunakan beberapa variable yaitu
ukuran dan berat dari kepiting berdasarkan pemberian pakan ikan ruvak (ikan
petek) yang telah diketahui nutrisinya dan penambahan bakteri EM4 (Bakteri
starter) dengan beberapa konsentrasi yang berbeda (0 CFU, 5 CFU, 10 CFU, 15
CFU) dilakukan 3 kali pengulangan selama 7 hari.
30
Dari tabel hasil diketahui bahwa pada budidaya kepiting yang dilakukan
dengan penambahan bakteri memiliki kondisi lingkungan yang tidak terlalu
berbeda pada hari pertama sampai hari ke tujuh dimana pH pada kepiting yang kami
budidaya (Kolam A1 dan A2) memiliki pH yang stabil dimana pH rata-rata pada
kolam A1 adalah 6,42 dan A2 adalah 6,14 yang berarti pHnya sedikit asam, dimana
seharusnya pH yang digunakan dalam budidaya bersifat basa (pH >7). Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada seluruh kolam akuarium memiliki nilai pH
yang berkisar 6 7. Menurut standar budidaya berdasarkan FAO (2011), yang
menyatakan bahwa daerah yang cocok untuk lokasi budidaya kepiting bakau
(Scylla serrata) ialah tambak yang dengan substrat berlumpur dengan pH 7,09,0.
Sehingga pada pH perairan yang berkisar antara 6,2 7,5 dapat dikatakan bahwa
nilai pH yang didapatkan masih sesuai dengan kondisi pH di alam sehingga bukan
menjadi penghambat pertumbuhan.
5.4 Salinitas
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa salinitas pada kolam
akuarium A1 sebesar 44,035 dan pada kolam A2 diperoleh 43,5. Jika dibandingkan
dengan salinitas yang diperoleh dari kelompok lain, maka dapat diketahui bahwa
salintasnya adalah 32-49 ppt. Menurut FAO (2011), mengatakan bahwa standar
salinitas untuk tambak kepiting adalah 10-30ppt. Hal ini berbeda dengan hasil yang
didapatkan, sebab pada hasil ditunjukkan nilai salinitas selalu diatas 30 ppt bahkan
mencapai 42 ppt. Hal ini dimungkinkan terjadinya error pada perangkat
refraktometer yang digunakan, seperti pembilasan yang kurang bersih maupun hasil
penglihatan yang tidak sesuai. Jika didasarkan pada penelitian Karim (2007), yang
menyatakan bahwa kepiting bakau tingkat salinitas tidak terlalu berpengaruh
terhadap sintasan kepiting bakau namun ternyata berpengaruh terhadap
pertumbuhan biomassanya. Namun jika ingin dimaksimalkan maka sebaiknya
penjagaan salinitas terhadap kolam budidaya dapat disesuaikan dengan standar
yang ditetapkan sebelumnya.
5.5 Suhu
31
Pada hasil suhu diperoleh rata-rata suhu pada kolam A1 adalah 27,928 oC
pada kolam A2 sebesar 28,01oC. Hasil dari kelompok lainnya menunjukkan suhu
berkisar antara 26-31 oC. kualitas dan pertumbuhan dari suatu Metabolik kepiting
akan berkurang dan berhenti ketika suhu tidak optimum atau perubahannya terlalu
ekstrim. Jika suhu air meningkat maka jumlah kandungan oksigen menurun dan
semakin parah ketika konsumsi oksigen oleh ikan, kepiting, udang dan organisme
di dalam air meningkat.
Berkurangnya oksigen sangat berdampak pada aktivitas ikan berkurang atau
berhenti karena nafsu makannya berhenti. Makanan akan tersisa dan berdampak
pada meningkatnya akumulasi ammoniak di air. Suhu juga berpengaruh terhadap
munculnya serangan penyakit dan jumlah ikan yang terkena penyakit. Berdasarkan
daur hidupnya, kepiting melewati berbagai kondisi perairan. Pada saat pertama kali
kepiting ditetaskan, suhu air laut umumnya berkisar 25-27 0C dan secara gradual
salinitas suhu air kearah pantai akan semakin rendah. Kepiting muda yang baru
berganti kulit yang memasuki muara sungai akan dapat mentolerir suhu diatas
10 0C. kebiasaan toleransinya terhadap suhu dan salinitas merupakan pedoman
dalam memodifikasi air pemeliharaan apabila kepiting dibudidayakan dan dalam
pembenihan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu dari akuarium
pengamatan berkisar 22 30 0C dan tidak jauh berbeda dengan standar FAO (2011),
yakni 2535 C. Namun suhu yang terlalu rendah dapat memperlambat laju
metabolisme dari kepiting sendiri.
32
bahwa kondisi yang sesuai dengan laju pertumbuhan kepiting akan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih cepat . beberapa faktor tersebut antara lain emperatur ,
cahaya, kekeruhan, substrat, gerakan air, salinitas, derajat keasaman (pH), unsur
hara seperi ammonia dan sebagainya, oksigen terlarut (DO). Banyaknya zat hara
(nutrien) yang dihasilkan dari sisa pakan yang berlebih akan meningkatkan sifat
racun akibat meningkatnya amoniak, nitrit, dan sebagainya yang ada dikolam
sehingga menbahayakan kehidupan kepiting. Statistik deskriptif menunjukkan
bahwa dosis pakan memiliki nilai mean 10,00 dan pertumbuhan 19,80. Nilai
standar deviasi dosis pakan dan pertumbuhan berturut-turut adalah 4,330 dan 6,925
dimana nilai ini dianggap terlalu besar yang berarti terjadinya penyimpangan nilai
sebesar 4,330 untuk dosis dan 6,925 untuk pertumbuhan. Hasil korelasi
menunjukkan bahwa hubungan dosis pakan dengan pertumbuhan berbentuk positif
senilai 0,314. Dapat diartikan bahwa penambahan dosis pakan dapat meningkatkan
pertumbuhan dari S. serrata. Korelasi yang muncul terhadap kedua variabel ini
tidaklah signifikan dikarenakan nilai korelasinya yang tidak mendekati 1.
Adanya korelasi pertumbuhan ini dapat terlihat dari hasil pengamatan selama
1 minggu. Data berat, panjang, dan lebar kepiting (C1) pada hari pertama berturut-
turut adalah 164,73 gram, 5 cm, dan 6 cm dan pada akhir pengamatan berukuran
188,9 gram, 5,33 cm dan 6,1 cm. Data berat, panjang, dan lebar kepiting (C2) pada
hari pertama berturut-turut adalah 184,08 gram, 6,33 cm, dan 7,3 cm dan pada akhir
pengamatan berukuran 200,67 gram, 6,5 cm dan 8,1 cm. Jiks dibandingkan dengan
peertambahan ukuran kepiting lain, pada akuarium C1 dan C2 tidaklah signifika,
hal ini bisa disebabkan kepiting tidak memakan semua makanan yang akhirnya
merusak parameter lingkungan yang berakibat menghambat pertumbuhan.
33
adalah pada penggunaan pakan 10% dari berat tubuh dengan konsentrasi jumlah
bakteri 5 x 104 dimana terjadi perubahan dari 0,028 menjadi 0,017 mg/L dimana
terjadi penurunan sejumlah 0,011 mg/L. Niilai mean dari MPT didapatkan sebesar
8,00 dengan standar deviasi 2,598. Nilai standar deviasi ini terhitung sedikit besar
untuk nilai sebuah penyimpangan. Hasil korelasi dosisi pakan dengan MPT
menunjukkan nilai 0,50 yang berarti memiliki hubungan negative, yakni bilamana
terjadi peningkatan dosis pakan maka akan terjadi pengurangan MPT. Namun nilai
signifikan tidak mendekati -1 yang berarti relasi kedua variabel ini tidak terlalu
signifikan. Data ini dapat dibuktikan dari hasil pengamatan MPT pada awal hingga
akhir pengamatan. Secara keseluruhan nilai MPT dari seluruh akuarium mengalami
penurunan hingga akhir pengamatan. Untuk akuarium C1 dan C2 dengan
penambahan jumlah pakan tidak menambah jumlah MPT. MPT tetap berkurang
dari 0,047mg/L menjadi 0,042 mg/L.
34
disebabkan karena nilai bakteri yang didapatkan juga sangat besar, tetapi pada nilai
standar deviasi ini cukup menyimpang dari nilai data asli.
Pada analisa nilai korelasi antara dosis pakan didapatkan nilai sebesar 0,858
yang menunjukkan kedua variabel memiliki korelasi positif, yakni bertambahnya
jumlah pakan meningkatkan jumlah bakteri di akuarium. Nilai korelasi yang
mendekati nilai 1 menandakan kedua variabel berkaitan kuat dan pengaruh dosis
pakan terhadap jumlah bakteri signifikan. Hal yang sama dapat terlihat dari data
pengamatan yang ada. Pada jumlah dosis pakan terbanyak, terjadi lonjakan jumlah
bakteri terbesar yakni dari 5 x 104cfu/ ml menjadi 14,4 x 104cfu/ ml. Hal ini diduga
semakin banyak pakan yang tersisa di akuarium memacu pertumbuhan bakteri
melakukan bioremediasi.
Berdasarkan perolehan diatas, dapat diketahui bahwa faktor lingkungan
sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting. Hasil diatas menunjukkan
bahwa kondisi yang sesuai dengan laju pertumbuhan kepiting akan menghasilkan
pertumbuhan yang lebih cepat . beberapa faktor tersebut antara lain emperatur ,
cahaya, kekeruhan, substrat, gerakan air, salinitas, derajat keasaman (pH), unsur
hara seperi ammonia dan sebagainya, oksigen terlarut (DO). Banyaknya zat hara
(nutrien) yang dihasilkan dari sisa pakan yang berlebih akan meningkatkan sifat
racun akibat meningkatnya amoniak, nitrit, dan sebagainya yang ada dikolam
sehingga menbahayakan kehidupan kepiting. Penambahan bakteri dimaksudkan
untuk mengurangi dampak negatif dari sisa pakan kepiting. Perubahan temperatur
dan penurunan jumlah menunjukkan bahwa terjadinya proses bioremediasi dimana
adanya penguraian bahan organik menjadi anorganik yang dilakukan oleh bakteri
sehingga tidak membahayakan kehidupan kepiting. Pada hasil yang diperoleh
diketahui bahwa penurunan MPT yang paling baik adalah pada penggunaan pakan
10% dari berat tubuh dengan konsentrasi jumlah bakteri 5 x 104 dimana terjadi
perubahan dari 0,028 menjadi 0,017 mg/L dimana terjadi penurunan sejumlah 0,011
mg/L.
.
35
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Penggunaan bakteri dimaksudkan untuk menjadi agen bioremediasi untuk
mengurai bahan organik menjadi bahan anorganik untuk menurunkan sifat
toksisitas nutrient yang ada dikolam pertumbuhan kepiting. Bakteri asam
laktat berfungsi untuk fermentasi bahan organik jadi asam laktat, percepat
perombakan bahan organik, lignin dan cellulose, dan menekan pathogen
dengan asam laktat yang dihasilkan.
2. Konsentrasi terbaik adalah penggunaan bakteri M4 pada konsentrasi pakan
105 dan jumlah bakteri 5 x 104. Penggunaan konsentrasi bakteri M4 yang
diberikan pada akuarium saat praktikum berbeda agar menegetahui
perbedaan pengaruh kualits perairan.
3. Pada praktikum memberikan pemahaman mahasiswa penambahan bakteri
dapat mendegradasi nitrat ataupun amoniak sisa pakan.
4. Pada praktikum ini dapat meningkat kemampuan mahasiswa dalam
budidaya kepiting dengan cara memperbaiki kualitas periaran dalam media
budidaya melalui bioremediasi.
5. Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan
mengubah struktur kimia polutan. Peristiwa ini disebut biotransformasi.
6.2 Saran
1. Praktikan lebih serius pada saat melakukan praktikum agar mendapatkan
hasil yang maksimal.
2. Saat pengukuran kualitas akuarium dan panjang kepiting agar lebih berhati-
hati lagi agar kepiting tidak stress
3. Lebih memperhatikan penggunaan alat ukur
4. Berhati - hati pada saat melakukan peraktikum agar terhindar dari hal hal
yang tidak diingkan
5. Menggunakan alat dan bahan sesuai prosedur.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
Luning, K. 1990. Seaweeds Their Environment, Biogeography and Ecophysiology.
A Wiley Interscience Publication. John Wiley and Sons.Inc. New York.
Mubarak, H., dan I.S. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut
Eucheuma spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan
Pengembangannya. Bul. Panel. Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perikanan. 1(2) :157-166.
Mubarak, H et.,al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Departemen
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Muntsji, A.R. 1972. Beberapa Aspek Biologi Rumput Laut, Skripsi Dalam Mata
Ajaran Pokok Hidrologi. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian.
Nicholls, R.E. 1993. Hidroponik Tanaman Tanpa Tanah. Dahara Prize. Semarang.
Nontji A. 1981. Fotosintesis dan Fitoplankton Laut. Tinjauan Fisiologis dan
Ekologis. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa H.M.
Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Pescod, N. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream For Tropical
Countries. AIT. Bangkok.
Putri, Tesya Paramita. 2017. Uji Kemampuan Bakteri Bacillus Subtilis Dalam
Penyisihan Logam Kromium Pada Tanah Tercemar Kromium. Jurusan
Teknik Lingkungan. Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Tugas Akhir.
Romimohtarto, K., dan Juwana, S., 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir Secara Berkelanjutan. Djambatan. Jakarta.
Ross, A.D. 1970. Introduction to Ocheanography, Meredith Corporation.
New York.
Round. F.E. 1977. The Biology of The Algae. Edward Arnold Publisher. London.
Soegiarto, A., Sulistijo, Atmadja, W.S., Mubarak, H. 1978. Rumput Laut (Algae)
Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI, Jakarta.
38
Soepomo, T.H.W. 1974. Kriteria Kualitas Air Untuk Pertanian dan Perikanan.
PSSDHLIPB.
Sopiah, Nida. 2017. Uji Coba Kinerja Bakteri Karbonoklastik Pada Tanah
Tercemar Minyak Bumi Dengan Teknik Landfarming. Jurnal Teknik
Lingkungan Volume 13. Hal, 131 - 140
Sutika, N., 1989. Ilmu Air. Universitas Padjadjaran. UNPAD Bandung. Bandung.
Sverdrup, H.U.M.W, Johnson and R. Fleeming. 1942. The Oceans. Their Physic,
Chemistry and General Biology. Prentice Hall inc. Englewood. Cliffs.
New York.
Trono, G. C, dan Fortes. 1974. Euchema Farming in The Phillipine. U: p. National
Science Research Center.
Trono, J.R., 1988, Eucheuma Farming in The Philipines U.P Natural Science
Research Centre, Quezon City.
Waite, T.D. 1984. Principle of Water Quality. Academic Press Inc. London.
Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Pertanian dan Perikanan.
Training Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-IPB, PUSDI. PSL. IPB.
Bogor.
Welch, E.B. 1980. Ecology Effects of Wastewater. Cambridge University Press.
London.
Widodo dan Suadi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta.
39
LAMPIRAN
40
DOKUMENTASI
41