Refarat Meningitis TB

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

REFARAT

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Disusun oleh:
Krisna Puspita Dewi
1620221173

Pembimbing:
dr. Sholihul M, Sp.S, Msi Med

Disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf


RSPAD Gatot Subroto Jakarta

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT KEPRESIDENAN RSPAD GATOT
SOEBROTO DITKESAD JAKARTA
Periode: 03 Juli 2017 05 Agustus 2017

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak.....................................................7

II.2 Meningitis..............................................................................................8

II.2.1 Meningitis Tuberculosis......................................................................9

II.2.2 Epidemiologi.......................................................................................9

II.2.3 Tuberkulosis Ekstrapulmoner...........................................................10

II.2.4 Skema Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa...................................13

II.2.5 Gejala Klinis.....................................................................................14

II.2.6 Diagnosis dan Suspek Meningitis Tuberkulosa................................16

II.2.7 Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB...........17

II.2.7 Tatalaksana meningitis TB................................................................18

BAB III PENUTUP................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB
dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak daripada kematian karena
kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 - 30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama
meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara


negara yang sedang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan
Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan
danpelaporan yang standar, dan sebagainya).
Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang
tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)
Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara - negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

3
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
Dampak pandemi HIV.
Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat
danbanyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang
dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries).
Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai
kedaruratan dunia (global emergency).
Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB.
Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan.
Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug
resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil
disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
epidemi TB yang sulit ditangani.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia.
Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian
101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per100.000 penduduk.
(Werdani,2017)
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi
adalah tuberkulosis.TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia pada tahun
2004 sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita baru dan sekitar 140.000
kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang
berusia produktif antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab
kematian nomor tiga setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia.
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendallian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO)
merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni:

4
Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan
dunia)
Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO).
Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB. (Hayati, 2015)
Meningitis adalah sebuah inflamasi dari membran pelindung yang menutupi
otak dan medula spinalis yang dikenal sebagai meninges (susana, dkk, 2005).
Inflamasi dari meningen dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri atau
mikroorganisme lain dan penyebab paling jarang adalah karena obat-obatan
(Ginsberg, 2004). Meningitis dapat mengancam jiwa dan merupakan sebuah
kondisi kegawatdaruratan (Tunkel, dkk, 2004). Klasifikasi meningitis dibuat
berdasarkan agen penyebabnya, yaitu meningitis bakterial, meningitis viral,
meningitis jamur, meningitis parasitik dan meningitis non infeksius. Meningitis
bakterial merupakan meningitis yang disebabkan infeksi bakteri dan merupakan
kondisi yang serius yang dapat jika tidak segera ditangani akan menyebabkan
kerusakan otak dan bahkan kematian (susana,dkk, 2004). Berdasarkan penelitian
epidemiologi mengenai infeksi sistem saraf pusat di Asia, pada daerah Asia
Tenggara, meningitis yang paling sering dijumpai adalah meningitis tuberkulosis
(T. Ducombe,dkk, 2013)

I.2 Perjalanan Penyakit Tuberkulosis


Tubekrulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru.
Cara penularan:
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.

5
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama, ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Risiko menjadi sakit TB:
o Daya tahan tubuh rendah, diantaranya karena infeksi HIV/AIDS,
malnutrisi, dan konsumsi kortikosteroid.
o HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi
TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas
sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika
terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka
yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB juga akan meningkat, dengan
demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak

Gambar 1. Meninges

Otak dan sumsum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi


struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:

II.1.1 Lapisan Luar (Duramater)

Duramater merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,


sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Duramater
terbagi lagi atas duramater bagian luar yang disebut selaput tulangtengkorak
(periosteum) dan duramater bagian dalam (mengingeal) meliputi permukaan
tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma
sella.

7
Gambar 2. Duramater

II.1.2 Lapisan Dalam (Piameter)

Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat
erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara
arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini
berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang.

II.2 Meningitis

Meningitis adalah infeksi cairan otak disertaai radang yang mengenai


piameter dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan
otak dan medula spinalis yang superfisial.

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang


terjadi pada airan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus
merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.

8
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan
droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada
penularan penyakit ini. Bakteri disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara
dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen
(melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri
didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput otak dan otak.

II.2.1 Meningitis Tuberculosis

Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak atau meningen yang


disebabkan oleh bakteri M.tuberculosis. Meningitis tuberkulosis merupakan hasil
dari penyebaran hematogen dan limfogen bakteri M. tuberculosis dari infeksi
primer pada paru (5). Meningitis sendiri dibagi menjadi dua menurut pemeriksaan
Cerebrospinal Fluid (CSF) atau disebut juga Liquor Cerebrospinalis (LCS), yaitu:
meningitis purulenta dengan penyebab bakteri selain bakteri M. tuberculosis, dan
meningitis serosa dengan penyebab bakteri tuberkulosis ataupun virus. Tanda dan
gejala klinis meningitis hampir selalu sama pada setiap tipenya, sehingga
diperlukan pengetahuan dan tindakan lebih untuk menentukan tipe meningitis. Hal
ini berkaitan dengan penanganan selanjutnya yang disesuaikan dengan etiologinya.
Untuk meningitis tuberkulosis dibutuhkan terapi yang lebih spesifik dikarenakan
penyebabnya bukan bakteri yang begitu saja dapat diatasi dengan antibiotik
spektrum luas. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan
meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer
tuberkulosis, 83% disebabkan oleh komplikasi infeksi primer pada paru (10)

II.2.2 Epidemiologi

Meningitis tuberculosis (TB) merupakan penyakit yang paling sering


ditemukan di negara yang sedang berkembang, salah satunya adalah Indonesia,
dimana insidensi tuberkulosis lebih tinggi terutama bagi Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA). Meningitis tuberculosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan
memerlukan penanganan tepat karena mortalitas mencapai 30%, sekitar 5:10 dari
pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis walaupun telah di
berikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat

9
sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan neurologis yang mungkin
dapat bertambah parah jika tidak ditangani. Meningitis TB merupakan salah satu
komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas penyakit ini tinggi dan
prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer
yang tidak diobati. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan pada tahun 1990
morbiditas meningitis TB 6,2% dari seluruh kasus TB ekstrapulmonal. Insiden
meningitis TB sebanding dengan TB primer, umumnya bergantung pada status
sosio-ekonomi, higiene masyarakat, umur, status gizi dan faktor genetik yang
menentukan respon imun seseorang. Faktor predisposisi berkembangnya infeksi
TB adalah malnutrisi, penggunaan kortikosteroid, keganasan, cedera kepala, infeksi
HIV dan diabetes melitus. Penyakit ini dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih sering dibanding dengan dewasa terutama pada 5 tahun pertama kehidupan.
Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak pernah ditemukan
pada usia dibawah 3 bulan. Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat)
ditemukan dalam tiga bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis
spinalis. Ketiganya sering ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus
terbanyak berupa meningitis tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan
merupakan negara endemis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100
dari semua kasus tuberkulosis. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak
ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini
dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan
alamiah yang masih rendah. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6
bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan,
hampir tidak pernah ditemukan pada umur dibawah 3 bulan. Meningitis
tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati.
Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian
besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara
neurologis dan intelektual. Angka kejadian TB paru di Indonesia dilaporkan terus
meningkat setiap tahun dan sejauh ini menjadi negara dengan urutan ketiga dengan
kasus TB paru terbanyak, pada tahun 2001, dilaporkan perubahan dari tahun
sebelumnya, penderita TB paru dari 21 orang menjadi 43 oreng per 100.000
penduduk, dan pasien BTA aktif didapatkan 83 orang per 100.000 penduduk. Di

10
seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan
kematian pada anak. Di Amerika Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari
seluruh kasus meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang buruk, apabila
meningitis tuberkulosis tidak diobati, tingkat mortalitas akan meningkat, biasanya
dalam kurun waktu tiga sampai lima minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.

II.2.3. Tuberkulosis Ekstrapulmoner

Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang
persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan
penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati dengan TB paru juga
dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV). Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk,
gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi
saluran napas akut, asma, serta Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Walaupun
begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan digunakan pada
guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan prevalensi TB
yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, batuk
kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB. Dengan memfokuskan
terhadap dewasa dan anak dengan batuk kronik, kesempatan mengidentifikasi
pasien dengan TB paru dapat dimaksimalkan. Selain gejala batuk, pada pasien anak
penting mengevaluasi berat badan yang sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan
terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak semua pasien
dengan gejala respiratori menerima evaluasi yang adekuat untuk TB. Kegagalan ini
terjadi karena kurangnya deteksi dini TB sehingga menyebabkan meningkatnya
keparahan penyakit pada pasien dan meningkatnya kemungkinan transmisi
Mycobacterium tuberculosis ke orang-orang di sekitarnya.

Menurut Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2009, Pada


pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit ditemukan kelainan. Pada

11
umumnya kelainan paru terletak di lobus superior terutama apeks dan segmen
posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Temuan yang bisa didapatkan antara
lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pada pleuritis TB, apabila cairan di
rongga pleura cukup banyak, dapat ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada
auskultasi suara napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat
cairan. Pada limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher. Dari urutan terjadinya, tuberkulosis ekstrapulmoner paling banyak
terjadi di nodus limfa, pleura, sistem genitourinaria, tulang dan sendi, meningen,
peritoneum, dan perikardium. Secara singkat tuberkulosis ekstrapulmoner
diterangkan sebagai berikut:

Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah


bening yang tidak nyeri (pada umumnya servikalis posterior dan
supraklavikular).
Tuberkulosis pleura dapat bermanifestasi mulai dari efusi yang kecil, hingga
efusi besar sehingga menimbulkan nyeri pleura dan dispnu. Pemeriksaan
fisik menunjukkan efusi pleura (redup pada perkusi, suara napas
menghilang). Jenis efusi perlu ditentukan dengan melakukan pungsi pleura.
Dapat pula terjadi empiema tuberkulosis yang lebih jarang, pada umumnya
disebabkan oleh ruptur kavitas.
Tuberkulosis saluran napas atas merupakan komplikasi dari tuberkulosis
paru dengan kavitasi. Tuberkulosis jenis ini melibatkan laring, faring,
dan/atau epiglotis sehingga memunculkan gejala serak, disfonia, dan
disfagia disertai dengan batuk produktif.
Tuberkulosis genitourinaria dapat menimbulkan gejala frekuensi, disuria,
nokturia, hematuria, serta nyeri abdomen.
Tuberkulosis sistem muskuloskeletal mengenai tulang dan sendi, dan
patogenesisnya terkait dengan reaktivasi dari fokus hematogen dan
penyebaran melalui nodus limfa paravertebra. Dapat pula mengenai
vertebra sehingga terkena tuberkulosis spinal (Potts disease atau spondilitis
tuberkulosis).
Tuberkulosis meningitis dan tuberkuloma

12
Tuberkulosis perikardial akibat ekstensi langsung nodus limfa mediastinal
atau hilus.

Kejadian tuberkulosis ekstrapulmoner dapat terjadi sekitar 15-20% pada


populasi yang prevalensi HIV-nya rendah. Kejadian ini akan semakin meningkat
dengan tingginya prevalensi infeksi HIV. Sebagaimana yang diketahui bahwa
tuberkulosis merupakan infeksi poportunistik tersering pada ODHA di Indonesia.
Tuberkulosis paru adalah jenis tuberkulosis yang paling banyak ditemukan pada
ODHA, sedangkan tuberkulosis ekstrapulmoner sering ditemukan pada ODHA
dengan hitung CD4 yang lebih rendah.

Untuk mendiagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner, sampel perlu didapakan


dari tempat-tempat yang cenderung sulit, sehingga konfirmasi bakteriologis
tuberkulosis ektrapulmoner menjadi lebih sulit dibandingkan tuberkulosis paru.
Selain itu terdapat kecenderungan jumlah mikroorganisme M. tuberculosis pada
situs ekstrapulmoner lebih sedikit sehingga pemeriksaan mikroskopis basil tahan
asam (BTA) menjadi lebih sulit. Sebagai contoh, pemeriksaan cairan pleura pada
pleuritis tuberkulosis hanya berhasil menemukan BTA pada sekitar 5-10% kasus,
dan temuan sama rendahnya pada meningitis tuberkulosis. Mengingat fakta ini,
kultur dan pemeriksaan histopatologi terhadap jaringan (misal: biopsi jarum halus
nodus limfa) menjadi penting sebagai alat diagnostik. Pemeriksaan foto toraks juga
sebaiknya silakukan untuk mengetahui adanya TB paru atau TB milier bersamaan
dengan TB ekstraparu. Pada pasien anak, bila memungkinkan dilakukan
pemeriksaan dahak. (Huldani, 2012)

II.2.4. Skema Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa

BTA masuk tubuh (> melalui inhalasi)

Multipikasi

Infeksi paru/fokus infeksi lain

Penyebaran hematogen

Meningens

Membentuk tuberkel

13
BTA tidak aktif/ dorman

Bila daya tahan tubuh menurun

Rupture tuberkel meningen

Pelepasan BTA ke ruang subarachnoid

MENINGITIS

II.2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk pasing-masing penderita. Faktor-


faktor yang bertanggung jawab terhadap gejaala klinis erat kaitannya dengan
perubahan patologi yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul
perlahan-lahan dalam waktu beberapa minggu.

Keluhan utama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke tengkuk
dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya
otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus yaitu tengkuk kaku
dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi.
Kesadaran menurun , tanda Kernigs dan Brudzinsky positif.

Gambar 3. Kernigs sign

14
Gambar 4. Brudzinskis sign

Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia si penderita seta
virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita
merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas.

Gejala meningitis meliputi:

Gejala infeksi akut


Demam
Nafsu makan berkurang
Lesu
Gejala kenaikan tekanan Intrakranial
Kesadaran menurun
Kejang-kejang
Ubun-ubun besar menonjol
Gejala rangsang meningeal
Kaku kuduk
Kernig
Brudzinski I dan II positif

Gejala klinis meningitis TB dapat dibagi dalam 3 stadium:

Stadium I: Stadium awal

15
Gejala prodromal non spesifik: apatis, iritabilitas, nyeri kepala,
malaise, demam, anoreksia
Stadium II: Intermediate
Gejala menjadi lebih jelas
Defisit neurologik fokal: hemiparesis, paresis saraf kranial terutama
N.III dan N.VII, gerakan involunter
Rangsang kaku kuduk (+), kernig (+), brudzinsky (+)
Hidrosefalus, papil edema
Stadium III: Advance
Penurunan kesadaran
Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi

II.2.6 Diagnosis dan Suspek Meningitis Tuberkulosa

Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan gejala dan tanda


meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa dan pada
hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Meningitis tuberkulosa dapat terjadi melalui 2
tahapan. Tahap pertama adalah ketika basil Mycobacterium tuberculosis masuk
melalui inhalasi droplet menyebabkan infeksi terlokalisasi di paru dengan
penyebaran ke limfonodi regional. Basil tersebut dapat masuk ke jaringan meningen
atau parenkim otak membentuk lesi metastatik kaseosa focisubependimal yang
disebut rich foci. Tahap kedua adalah bertambahnya ukuran rich foci sampai
kemudian ruptur ke dalam ruang subarachnoid dan mengakibatkan meningitis.
Meningitis tuberkulosa merupakan bentuk tuberkulosis paling fatal dan
menimbulkan gejala sisa yang permanen, oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis dan
terapi yang segera. Penyakit ini merupakan tuberkulosis ekstrapulmoner kelima
yang sering dijumpai dan diperkirakan sekitar 5,2% dari semua kasus tuberkulosis
ekstrapulmoner serta 0,7% dari semua kasus tuberkulosis. Gejala klinis saat akut
adalah defisit saraf kranial, nyeri kepala, meningismus, dan perubahan status
mental. Gejala prodromal yang dapat dijumpai adalah nyeri kepala, muntah,
fotofobia, dan demam.

16
II.2.7. Kriteria diagnosis untuk klasifikasi diagnosis meningitis TB

Tabel 1. Skoring Meningitis TB


VARIABLE SCORE
Age (years)
36 +2
< 36 0
Blood white cell count (103/ml)
15000 +4
< 15000 0
Duration of illness (days)
6 -5
<6 0
CSF Total white cell count (103/ml)
900 +3
< 900 0
CSF percentage neutrophils
75 +4
< 75 0
Total score 4 suggests tuberculous meningitis
Total score > 4 is against tuberculous meningitis
Sumber: Perdossi 2011

Tabel 2. Kriteria Diagnosis dari Meningitis TB


1. Definit - Klinis meningitis / meningoensefalitis plus
- Analisa CSF tidak normal plus
- Pewarnaan Basil Tahan Asam positif pada cairan
serebrospinal (secara mikroskopis) dan atau kultur
positif untuk for M. Tuberculosis dan atau PCR TB
positif
2. Probable - Klinis meningitis / meningoensefalitis plus

17
- Analisa CSF tidak normal plus
- Salah satu dari
o Basil Tahan Asam ditemukan pada jaringan lain
o Foto torak sesuai dengan TB paru aktif
3. Possible - Klinis meningitis / meningoensefalitis plus
- Analisa CSF tidak normal plus
- Salah satu dari
o Riwayat TB atau Kontak TB berat
o Sakit > 5 hari
o Gangguan kesadaran
o Tanda neurologis fokal
o Dominasi mononuklear pada cairan serebrospinal,
rasio glukosa serum dengan LCS < 0.5, Cairan
serebrospinal berwarna kekuningan (xantokrom)
Sumber: Perdossi,2011

Tabel 4. Stadium Meningitis TB


Grade I GCS 15, tanpa defisit fokal
Grade II GCS 11 14 / GCS 15 + defisit fokal
Grade III GCS 10
Sumber: Perdossi,2011

II.2.7 Tatalaksana meningitis TB

The British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan pengobatan


Meningitis TB mengikuti model kemoterapi TB paru fase intensif dengan
pemberian 4 obat diikuti dengan 2 obat pada fase lanjutan. Jika diagnosis dini
Meningitis Tb meragukan, daapat diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya
seftriakson 2 x 2 g). (Dewanto. G, 2009)

Bila pungsi lumbal tidak dapat segera dilakukan, dapat dilakukan


pengambilan darah untuk kultur sebelum pemberian antibiotik. Pungsi lumbal
sebaiknya dilakukan sebelum atau dalam waktu 2 jam setelah pemberian antibiotik.
Evaluasi klinis dilakukan selama 48 jam dan sebaiknya dilakukan lumbal pungsi
kedua. Setelah pemberian antibiotik spektrum luas dalam 48 jam, lakukan evaluasi

18
umtuk kemungkinan diagnosis MT.( Dewanto G, 2009). Berikan antibiotik yang
dapat menembus sawar darah otak.

Menurut PERDOSSI 2016:

Anamnesis: malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin


memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang, kelemahan 1
sisi.
Pemeriksaan fisik: pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik
menyeluruh, pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS, pemeriksaan kaku
kuduk, pemeriksaan saraf kranialis (kelumpuhan saraf kranialis II, III, IV,
VI, VII, VIII), kekuatan motorik (hemiparesis), pemeriksaan funduskopi
(tuberkel pada khoroid dan papil edema sebagai tanda peningkatan tekanan
intrakranial)
Kriteria diagnosis: memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan imaging dan cairan serebrospinal.
Diagnosis banding: meningitis Bakterialis
Pemeriksaan penunjang: CT scan kepala / MRI kepala dengan kontras,
thorax foto PA, Lab: darah rutin (Hb/leuko), ureum, kreatinin, gula darah
sewaktu, natrium, test HIV, pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan
langsung dengan ZN, kultur Ogawa, GeneXpert
Pemeriksaan Laboratorium :
pemeriksaan LCS (bila tidak ada tanda tanda peninggian tekanan
intrakranial)
Tabel. 3 Analisis Cairan Serebrospinal
Etiologi Leukosit Sitologi Glukosa Protein Gram Kultur
Bakterial 200 - 5000 PMN Rendah Tinggi + +
Telah diobati 200 - 5000 PMN ++ Rendah Tinggi
Tuberculosis 100 - 500 Limfosit1 Rendah2 Tinggi - +
Aseptic 100 - 700 Limfosit1 Normal2 Sedikit - +
meningkat
1
Meningitis virus dan Tb polimormonuklear dapat predominasi pada taahap awal penyakit. Pada meningoenhepalitis HSV
CSS seringkali mengandung banyak sel darah merah. 2pada mengitis virus, glukosa kemungkinan rendah pada sekitar 20%
pasien. Pada Tb, biasanya glukosa darah rendah 50%, namun bisa juga normal pada sekitar 10% pasien. (D. Lennon et al.,
2001)

19
Tatalaksana:
Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif
Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit,
kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih, dan
defekasi.
Pengobatan:

Tabel 3. Sediaan OAT


Sediaan OAT Dosis
Rifampicin 10 20 mg/kgBB/hari, dosis 600 mg/hari dengan dosis
tunggal (dewasa)
Isoniazid (INH) 10 20 mg/kgBB/hari (anak), 400 mg/hari (dewasa)
Pyrazinamid 25 mg/kgBB/hari po; maks 2 g/hari
Ethambutol 25 mg/kgBB/hari sasmpai 150 mg/ hari
Streptomcin i.m 3 bulan dengan dosis 30 50 mg/kgBB/hari.
Sumber: Perdossi, 2016

OAT kombo

Rimstar : Rifampicin 150 mg, INH 75 mg, Pyrazinamide 400 mg dan


Ethambutol 275 mg
Combipack : Rifampicin 150 mg, INH 300 mg, Etambutol 750 mg

Lama pemberian : 2 R-H-Z-E / S + 7 10 R-H-Z

PAS (Para Amino Salicilyc acid) 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3bdosis
dapat diberikan sampai 12 g/hari.
Kortikosteroid : prednisone 2 3 mg/kgBB/hari (dosis normal), 20 mg/hari
dibagi dalam 3 dosis selama 2 4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 2 minggu. Deksametason IV (terutama bila ada
edema otak) dosis 10 mg setiap 4 6 jam, bila membaik dapat diturunkan
sampai 4 mg setiap 6 jam.
Tatalaksana operatif: jika terdapat hidrosefalus, pemasangan VP shunt atau
EVD.

20
BAB III

PENUTUP

Meningitis tuberkulosis (TB) merupakan komplikasi hasil dari penyebaran


hematogen dan limfogen bakteri M.tuberculosis dari infeksi primer pada paru ke
meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia masih banyak sehingga diperlukan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB merupakan penyakit yang
mengancam jiwa dan memerlukan penanganan cepat karena mortalitas mencapai
30%, sekitar 5:10 dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis
walaupun telah diberikan antibiotik yang adekuat. Diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi risiko gangguan
neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani.

21
DAFTAR PUSTAKA

Dewanto G, dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tatalaksana Penyakit


Saraf. Jakarta: EGC

Hayati, Khulaida Fatila. 2015. Refarat Meningitis Bakterial. Jember: FK jember.


https://id.scribd.com/document/286392991/Referat-Meningitis-Tb-Ay

Huldani, 2012. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosis.


Banjarmasin: FK Universitas Lambung Mangkurat.

Perdossi, 2011. Hand Out Workshop Neuro-Infeksi. Jakarta: Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia.

Perdossi, 2016. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta: Perhimpunan Dokter


Spesialis Saraf Indonesia.

Werdhani, Retno Asti. 2017. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klasisikasi


Tuberkulosis.Jakarta:FKUIhttp://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/m
aterial/patodiagklas.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai