Makalah Efusi Pleura, Abses Paru Dan Empiema
Makalah Efusi Pleura, Abses Paru Dan Empiema
Makalah Efusi Pleura, Abses Paru Dan Empiema
PEMBAHASAN
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural
mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C Suzanne,
2002).
Efusi pleura adalah istilah yang digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura.
(Price C Sylvia, 1995).
2. Anatomi Pleura
Pleura adalah membrane serosa yang licin, mengkilat, tipis, dan transparan yang
membungkus paru (pulmo). Membran ini terdiri dari 2 lapis:
a. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, langsung menutupi permukaan paru.
b. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, berhubungan dengan dinding dada.
Pleura parietal berdasarkan letaknya terbagi atas :
1) Cupula Pleura (Pleura Cervicalis)
Merupakan pleura parietalis yg terletak di atas costa I namun tdk melebihi dr collum
costae nya. Cupula pleura terletak setinggi 1-1,5 inchi di atas 1/3 medial os. Clavicula
2) Pleura Parietalis pars Costalis
Pleura yg menghadap ke permukaan dalam costae, cartilage costae, SIC/ ICS, pinggir
corpus vertebrae, dan permukaan belakang os. Sternum.
3) Pleura Parietalis pars Diaphragmatica
Pleura yg menghadap ke diaphragm permukaan thoracal yg dipisakan oleh fascia
endothoracica.
4) Pleura Parietalis pars Mediastinalis (Medialis)
Pleura yg menghadap ke mediastinum / terletak di bagian medial dan membentuk bagian
lateral dr mediastinum.
Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel (yang memproduksi cairan),
membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe. Membran
pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes keluar dari
pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh pembuluh darah
pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah.
Diantara kedua lapisan pleura ini terdapat sebuah rongga yg disebut dg cavum pleura.
Dimana di dalam cavum pleura ini terdapat sedikit cairan pleura yg berfungsi agar tdk
terjadi gesekan antar pleura ketika proses pernapasan. Rongga pleura mempunyai ukuran
tebal 10-20 mm, berisi sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung
protein < 1,5 gr/dl dan 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit,
sejumlah kecil limfosit, makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah
merah dijumpai dalam jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura. Keluar dan
masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai normal cairan
pleura dapat dipertahankan.[4]
3. Fisiologi Pleura
Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thoraks kedalam paru-paru,
sehingga paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat
(resting pressure) dalam posisi tiduran pada adalah -2 sampai -5 cm H2O; sedikit
bertambah negatif di apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif
meningkat menjadi -25 sampai -35 cm H2O.
Selain fungsi mekanis, rongga pleura steril karena mesothelial bekerja melakukan
fagositosis benda asing dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai lubrikans.
Cairan rongga pleura sangat sedikit, sekitar 0.3 ml/kg, bersifat hipoonkotik dengan
konsentrasi protein 1 g/dl. Gerakan pernapasan dan gravitasi kemungkinan besar ikut
mengatur jumlah produksi dan resorbsi cairan rongga pleura. Resorbsi terjadi terutama
pada pembuluh limfe pleura parietalis, dengan kecepatan 0.1 sampai 0.15 ml/kg/jam. Bila
terjadi gangguan produksi dan reabsorbsi akan mengakibatkan terjadinya pleural
effusion.[5]
B. Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbetuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat dan
eksudat.
a. Transudat
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Transudat ini disebabkan oleh
kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena
sirosis kepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig, hipoalbumenia,
dialysis peritoneal,Hidrothoraks hepatik .
b. Eksudat
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia dan sebagainya, tumor, ifark paru,
radiasi, penyakit kolagen.
Tabel 1 Perbedaan cairan transudat dan eksudat
Bekuan - -/+
Bakteri - -/+
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi dua yaitu
a. Unilateral
Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya
b. Bilateral
Effusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit dibawah ini : Kegagalan jantung
kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan
tuberkolosis.[6]
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang menurut ( Tierney, 2002 dan Tucker 1998 ) adalah
1. Sesak nafas
2. Nyeri dada
3. Kesulitan bernafas
4. Peningkatan suhu tubuh jika terjadi infeksi
5. Keletihan
6. Batuk
Manifestasi klinis menurut Suzanne & Brenda, 2002 yang dapat ditemukan pada Efusi
Pleura adalah
a. Demam
b. Menggigil
c. Nyeri dada pleuritis
d. Dispnea
e. Batuk Suara nafas ronchi
Manifestasi klinis menurut Irman Somantri, 2008 adalah
Kebanyakan efusi pleura bersifat asimpomatik, timbul gejala sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritik. Ketika efusi sudah membesae dan menyebar kemungkinan timbul dispenea dan
batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan nafas sesak. Tanda fisik meliputi
deviasi trakea menjauhi sisi yang terkena, dullness pada perkusi dan penurunan bunyi
pernafasan pada sisi yang terkena.
D. Patofisiologi
Pada umumnya, efusi pleura terjadi karena pleura hamper mirip plasma (eksudat)
sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat).
Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pleura parientalis sekunder (efek samping dari) peradangan atau keterlibatan neoplasma.
Contoh bagi efusi pleura dengan pleura normal adalah payah jantung kongesif. Pasien
dengan pleura yang awalnya normal pun dapat mengalami efusi pleura ketika terjadi
payah/gagal jantung kongesif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara
maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostastik pada kapiler yang
selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam
pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam
pleura. Peningkatan pembentukan cairan dari pleura parientalis karena hipertensi kapiler
sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura.
Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan
cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi, hal tersebut berdasarkan adanya penurunan
pada tekanan onkontik intravaskuler (tekanan osmotic yang dilakukan oleh protein)
Luas efusi pleura yang mengancam volume paru-paru, sebagian akan tergantung atas
kekakuan relative paru-paru dan dinding dada. Dalam batas pernafasan normal, dinding
dada cenderung untuk recoil ke dalam (paru-paru tidak dapat berkembang secara
maksimal melainkan cenderung untuk mengempis).[7]
E. Komplikasi Klien dengan Efusi Pleura
1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan
terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan ini disebut
dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang
berat pada jaringan-jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan
pengupasan(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membrane-membran pleura
tersebut.
2. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh
penekanan akibat efusi pleura.
3. Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai kelanjutan
suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis
yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang terserang
dengan jaringan fibrosis.
4. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada
sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan kolaps
paru.[8]
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan diagnostic
a. Rongent dada atau thoraxs
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti
kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari bagian medial. Bila
permukaannya horisontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga
tersebut yang dapat berasal dari luar dan dari dalam paru paru itu sendiri.
b. Torakoskopi (Fiber optik pleurascopy)
Dilakukan pada kasus kasus dengan neoplasma atau tuberkulosis pleura. Biasanya
dilakukan sedikit insisi pada dindidng dada (dengan resiko kecil terjadinya
pneumotoraks) cairan ditemukan penghisapan dan udara dimasukkan supaya dapat
melihat kedua pleura.
c. Biopsi pleura
Pemeriksaan histologi atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50% -
75% diagnosa kasus kasus pluritistuberkulosa dan tumor paru.
d. Ultrasonografi
Untuk menentukan adannya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membatu
sebagai penentu waktu melakkukan aspirasi cairan tersebut, terutama pada efusi yang
terlokalisir.
2. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah lengkap : Leukosit meningkat, Hemoglobin menurun, LED meningkat
b. Kimia darah : Albumin menurun, protein total menurun
c. Sputum : kultur, basil asam dan PH
d. Sitologi cairan pleura.[9]
G. Problematika Fisioterapi
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan didapatkan hasil adanya spasme atau
ketegangan otot bantu pernafasan yaitu pada m. pectoralis mayor, m. pectoralis
minor, dan m. sternocleidomastoideus sinistra, adanya nyeri pada luka bekas incisi
pemasangan water seal drainage (WSD), serta adanya penurunan ekspansi sangkar
thorak.
2. Fungsional limitation
Pasien mengalami penurunan aktivitas kerja baik ditempat kerja maupun di rumah
dan mudah merasa lelah saat beraktivitas.
3. Disability
Dari pemeriksaaan yang telah dilakukan didapatkan dengan adanya keterbatasan yang
dimiliki, menyebabkan aktifitas sehari-harinya menjadi terganggu, selain itu
kemampuan pasien untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan masyarakat juga
akan berkurang.
Sama seperti latihan abdominal breathing exercise, tetapi pada metode ini tangan
fisioterapis diletakkan pada dinding dada dengan tujuan untuk mengkompresi dinding
thorak ketika inspirasi agar dapat memperkuat kontak otot-otot bantu pernafasan atau
otot-otot intercostalis, sehingga dapat meningkatkan mobilisasi sangkar thorak (Rab,
2010). Latihan ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut :
a. Tangan Fisioterapis di bawah costa
3. Static Contraction
Static contraction merupakan kontraksi oto tanpa disertai adanya perubahan otot dan
perubahan lingkup gerak sendi. Static contraction dapat memperlancar peredaran
darah sehingga nyeri karena luka pemasangan Water Seal Drainage (WSD) dapat
berkurang dan dapat mengurangi spasme otot-otot bantu pernafasan karena terjadinya
rileksasi otot-otot tersebut dan dilakukan secara terus-menerus (Kisner, 1996). Pada
kasus ini kontraksi otot yang dipertahankan adalah otot-otot bantu pernafasan yaitu m.
pectoralis mayor, m. pectoralis minor, dan m. sternocleidomastoideus sinistra dengan
dilakukan sekurang-kurangnya 6 detik. Untuk pengulangan dan intesitas disesuaikan
dengan kondisi pasien dan tujuan dari terapi itu sendiri. Pada pasein ini pengulangan
dilakukan 5 sampai 10 kali (Kisner, 1996).
PROSES FISIOTERAPI
Setelah dilakukan tindakan terapi sebanyak 6 x kepada Tn. Yusuf Abraham yang
berumur 39 Tahun dengan kondisi efusi pleura, didapatkan hasil sebagai berikut :
1. Adanya penurunan spasme pada otot bantu pernafasan yaitu otot-otot m. pectoralis
mayor sinistra, m. pectoralis minor sinistra, m. sternocleido mastoideus sinistra.
2. Adanya penurunan nyeri diam dan gerak pada luka bekas incisi pemasangan water
seal drainage (WSD).
3. Mobilisasi sangkar thorak meningkat yaitu axilla dari selisih 2 cm menjadi selisih 3
cm, intercosta space 5 dari selisih 3 cm menjadi selisih 4 cm, dan processus
xyphoideus dari selisih 3 cm menjadi selisih 4 cm.
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
3 M. Sternocledomastoideus kiri ++ ++ ++ ++ ++ + +
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Axilla 2 2 2 2 2 3 3
2 Intercostal ke 5 3 3 3 3 3 4 4
3 Proc. xyphoideus 3 3 3 3 3 4 4
B. PEMBAHASAN
1. Penurunan Spasme otot-otot bantu pernafasan
Breathing exercise dapat mengurangi atau menghilangkan spasme otot bantu
pernafasan. Pada saat inspirasi dan ekspirasi otot-otot bantu nafas tidak bekerja sama
sekali yang kemudian jika ada gangguan pernafasan seperti sesak nafas, maka otot-
otot pernafasan meminta bantuan kepada otot-otot bantu nafas. Pada saat melakukan
pernafasan otot-otot bantu nafas mengeluarkan energi yang lebih sehingga terjadi
spasme pada otot bantu nafas khususnya m. pectoralis mayor, m. pectoralis minor,
dan m. sternocleidomastoideus, maka dengan bantuan modalitas breathing exercise
maka otot bantu nafas dapat berkurang karena terjadinya rileksasi otot-otot bantu
pernafasan yang dilakukan secara rutin dan teratur, serta karena sifat otot yang
digunakan secara terus-menerus akan membantu mempercepat menghilangkan
spasme otot (Rab, 2010). Sedangkan modalitas lainnya adalah dengan menggunakan
terapi latihan yaitu static contraction yang dapat mengurangi spasme otot-otot bantu
pernafasan karena terjadinya rileksasi otot-otot bantu pernafasan yang dilakukan
secara terus-menerus (Kisner, 1996)
2. Penurunan Nyeri karena luka pemasangan Water Seal Drainage (WSD)
Abses paru dapat terjadi secara akut atau kronik. Abses paru akut terjadi
dalam 2 minggu atau kadang lebih yang disebabkan oleh infeksi bakteri aerob
yang virulen. Sedangkan abses paru kronik terjadi dalam waktu lebih dari 4
sampai 6 minggu dengan penyakit dasar neoplasma atau infeksi dengan bakteri
yang kurang virulen dan anaerob.
Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small
abscesses) dinamakan necrotising pneumonia. Abses besar atau abses kecil
mempunyai manifestasi klinik berbeda namun mempunyai predisposisi yang sama
dan prinsip diferensial diagnose sama pula. Abses timbul karena aspirasi benda
terinfeksi, penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau virulensi kuman yang
tinggi.
B. Etiologi
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya Abses paru bervariasi sesuai dengan
peneliti dan teknik penelitian yang digunakan. Finegolal dan fisliman
mendapatkan bahwa organisme penyebab abses paru lebih dari 89 % adalah
kuman anaerob. Asher dan Beandry mendapatkan bahwa pada anak-anak kuman
penyebab abses paru terbanyak adalah stapillococous aureus (1).
Alpha-hemolytic streptococci
Neisseria sp.
Mycoplasma pneumoniae
Sekunder Aerob
Haemophilus aphropilus, parainfluenzae
Klebsiella penumoniae
Aerobacter aeruginosa
Candida
Rhizopus sp.
Aspergillus fumigatus
Nocardia sp
Eikenella corrodens
Serratia marcescen
Anaerob
Bifidobacterium sp.
C. Patofisiologi
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi dilanjutkan
dengan proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama dimulai
dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang menimbulkan nekrosis
dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi terjadi mengelilingi abses,
melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik. Suatu saat abses pecah, lalu
jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang terjadi aspirasi pada bagian lain
bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya biasanya berbau busuk, bila abses
pecah ke rongga pleura maka terjadi empyema.
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala klinis :
Gejala klinis yang ada pada abses paru hampir smirip dengan gejala awal
pneumonia atau kondisi penyakit dasar yang lain, yaitu:
Panas badan : Dijumpai berkisar 70% - 80% penderita abses paru. Kadang
dijumpai dengan temperatur > 40C.
Batuk, pada stadium awal non produktif. Bila terjadi hubungan rongga
abses dengan bronkus batuknya menjadi meningkat dengan bau busuk
yang khas (Foetor ex oroe (40-75%).
Produksi sputum yang meningkat dan Foetor ex oero dijumpai berkisar 40
75% penderita abses paru.
Nyeri dada (50% kasus)
Batuk darah (25% kasus)
Gejala tambahan lain seperti lelah, penurunan nafsu makan dan berat
badan.
Pada pemeriksaan dijumpai tanda-tanda proses konsolidasi seperti redup,
suara nafas yang meningkat, sering dijumpai adanya jari tabuh serta
takikardi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah rutin. Ditentukan leukositosis, meningkat lebih
dari 12.000/mm3 (90% kasus) bahkan pernah dilaporkan peningkatan
sampai dengan 32.700/mm3. Laju endap darah ditemukan meningkat > 58
mm / 1 jam. Pada hitung jenis sel darah putih didapatkan pergeseran shit to
the left
Pemeriksaan sputum dengan pengecatan gram tahan asam dan KOH
merupakan pemeriksaan awal untuk menentukan pemilihan antibiotik
secara tepat.
Pemeriksaan kultur bakteri dan test kepekaan antibiotikan merupakan cara
terbaik dalam menegakkan diagnosa klinis dan etiologis.
E. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang timbul adalah :
Empyema
Abses otak
Atelektasis
Sepsis
C. EMPIEMA
A. Definisi Empiema
Empiema toraks di definisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang
berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas
dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada
cairan pleura dani n o k u l a s i b a k t e r i . E m p i e m a a d a l a h a k u m u l a s i p u s
d i a n t a r a p a r u d a n m e m b r a n ya n g menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat
terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisisel sel darah putih yang berperan untuk
melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah
yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang
pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi
sulitdan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka
fibrin-fibrin tersebutakan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi).
Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya
mengakibatkan kerusakan yang permanen
B. Klasifikasi
a. Empiema akut
Terjadi akibat infeksi sekunder dari tempat lain bukan primer dari pleura.
Gejala mirip dengan pneumonia yaitu panas tinggi, nyeri pleuritik, apabila
stadium ini dibiarkan dalam beberapa minggu akan timbul toksemia, anemia, pada
jaringan tubuh dan clubbing finger . Jika nanah tidak segera dikeluarkan
akantimbul fistel bronchopleura dan empiema neccesitasis. Adanya fistel ditandai
dengan batuk produktif, bercampur nanah dan darah massif dan kadang
menyebabkan sufokasi(mati lemas). Empiema karena pneumothorak pneumonia,
timbul setelah cairan pneumonia membaik.
b. Empiema kronik
Batas yang tegas antara akut dan kronis sukar ditentukan disebut kronis
apabila terjadi lebih dari 3 bulan.Penderita mengelub badannya lemah, kesehatan
penderita tampak mundur, pucat pada jari tubuh, dada datar, dan ditemukan
adanya tanda cairan pleura.
C. Etiologi
S t a f i l o k o k u s a u r e u s m e r u p a k a n b a k t e r i p e n ye b a b e m p i e m a
y a n g p a l i n g s e r i n g ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya
adalah bakteri gram negatif. Seringditemukannya bakteri gram negatif pada
biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensir e s i s t e n karena
pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Pada
p e n e l i t i a n ya n g dilakukan Yu Chen dkk pada pasien efusi pleura
dengan empiema didapatkan KlebsiellaPneumoniae merupakan penyebab
terbanyak.
Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi menjadi:
1. Infeksi yang berasal dari dalam paru :
a. Pneumonia
b. Abses paru
c. Bronkiektasis
d. TBC paru
e. Aktinomikosis paru
f. Fistel Bronko-Pleura
2. Infeksi yang berasal dari luar paru :
a. Trauma Thoraks
b. Pembedahan thorak
c. Torasentesi pada pleura
d. Sufrenik abses
e. Amoebic liver abses
D. Patofisiologi
Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang
akut yang d i i k u t i pembentukan eksudat serous. Dengan
b a n y a k n y a s e l P M N y a n g m a t i a k a n meningkatkan kadar protein dimana
mengakibatkan timbunan cairan kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan
membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus
bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding
thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema nesessitasis. Emphiemad a p a t
digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema akut dapat
b e r l a n j u t k e k r o n i s . Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan proses ini
berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.
E. Manifestasi Klinis
Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu :
A . ) E m p i e m a A k u t Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan
primer dari pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan
pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga
pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul
toksemia, anemia, dan clubbing finger.Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan
timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang makin
produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul
sufokasi (mati lemas). Pada kasus empiema karena pneumotoraks
pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik.
Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema timbul sewaktu masih akut.
Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E.coli atau Bakterioidssering kali
menimbulkan empiema.
B . ) E m p i e m a K r o n i s Batas yang tegas antara empiema akut dan
kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih
dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa lemas,kesehatan makin menurun,
pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura. Bila
terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.
F. Komplikasi
1. Fistel Bronko pleura
2. Syok
3. Sepsis
4. Gagal jantung kongesti
DAFTARPUSTAKA
Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi
FKUI.
Lailatul, Kutsiyah.2014.Makalah Empiema.
https://www.scribd.com./mobile/doc/11089558/TUGAS
Arif, Muttaqin.2015.Empiema.
http://www.klikparu.com/2013/01/empiema.html